Jaka Galing 2
Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Hati Jaka Galing terpukul oleh kata-kata ini dan ia lalu menubruk dan menciumi kedua tangan Eyangnya yang penuh darah.
"Ampun, Eyang. Ampun..."
Tapi tiba-tiba ia merasa betapa tangan yang di ciumi nya itu dingin sekali. Ia cepat memandang wajah orang tua itu. Ternyata Panembahan Ciptaning telah melepaskan napas terakhirnya dan telah wafat dalam keadaan duduk!
"Eyang..."
Hanya demikian Jaka Galing dapat berbisik. Ia tetap berlutut didepan Eyangnya sambil mencium tangan orang tua itu. Lama sekali ia berada dalam keadaan seperti itu seakan-akan kakek itu sedang memberi berkah kepada seoarang cucu atau muridnya yang berlutut dan menyembah di depannya. Kemudian Jaka Galing bergerak perlahan dan memondong jenazah Eyangnya dibawa pergi dari situ dengan tindakan perlahan dan kepala ditundukkan, para prajurit sama sekali tidak berani mengganggunya. Mereka hanya memandang dengan hati terharu, melihat betapa pemuda yang gagah perkasa itu berjalan perlahan dan betapa rambut dan jenggot Panembahan yang putih dan panjang itu melambai-lambai tertiup angin.
Adipati Gendrasakti yang melihat dari tempat jauh, tak tahu harus berbuat apa, maka lalu menyusul Sariti yang telah diantar pulang oleh para pelayan ketika terjadi keributan tadi. Para penonton juga tidak ada yang berani menegeluarkan suara sedikitpun dan memandang pemuda yang memandang tubuh Eyangnya itu dengan pandangan sayu, mengikuti gerakan Jaka Galing dengan pandang mata mereka sampai pemuda itu lenyap dari pemandangan. Peristiwa ini menggores di kalbu rakyat Tandes dan meninggalkan kesan mendalam yang mengharukan Rakyat ikut berduka cita didalam hati, mereka mengutuk perbuatan Adipati Gendrasakti yang terlalu kejamdan menurutkan dorongan nafsu angkara. Namun, siapakah di antara mereka yang berani menyatakan ini dan berterus terang?
Betapapun juga, Adipati Gendrasakti adalah pembesar yang paling berkuasa di Kadipaten Tandes, dan wilayah itu, kekuasannya tak terbatas dan boleh dikata bahwa hidup atau mati seluruh rakyat Tandes berada di dalam gemgaman tangannya. Oleh karena inilah maka peristiwa berdarah itu berlaku tidak berkesan lama, dan lenyap dari kenangan orang bersama dengan terbangnya waktu... Kamar tidur yang disediakan untuk Sariti adalah yang sebuah kamar yang terbesar dan terindah di antara sekian banyak kamar di dalam gedung besar Kadipaten. Kamar ini dulu adalah kamar pertama, dewi cahyaningsih, akan tetapi semenjak Sariti diboyong masuk kedalam Kadipaten, puteri Majapahit yang sabar dan halus budi pekertinya itu mengalah dan pindah ke dalam sebuah kamar yang tidak begitu besar di ruang belakang bersama anak perempuannya.
Sariti yang cantik jelita tengah duduk menghadapi cermin dan membereskan rambutnya dengan sebuah sisir. Rambutnya memeng indah. Hitam panjang sampai ke paha dan sekalian halus juga mengombak air, harum sedap karena selalu digosok pandan dan sari kembang melati dan mawar. Wanita muda ini dengan perasaan bangga memandang bayangannya di dalam cermin. Memang ia cantik dan manis, tubuhnya ramping dengan kulit kuning halus menggairahkan, sedang usianya masih muda sekali. Maka, tak heran apabila Adipati Gendrasakti sampai lupa daratan dan mabuk. Akan tetapi pada saat itu, sang ayu Sariti bermuram durja. Sepasang alis matanya bertemu dan kedua matanya yang jernih indah itu memerah, seakan-akan menahan tangis yang mendesak, air matanya hendak tumpah.
Adipati Gendrasakti tampak duduk diatas pembaringan yang indah bertilam sutera merah muda berkembang sulam bunga seruni dengan bantal-bantal yang bersarung indah pula serta berbau harum mewangi mengingatkan dia bau rambut selirnya itu. Gendrasakti duduk bersila dengan wajah bingung. Ia maklum bahwa selirnya yang tercinta itu sedang marah dan tak senang hati. Atas desakan selirnya ini, ia telah mengusir pergi semua selir lain dan kini Sariti mendesaknya agar ia mengusir pula Dewi Cahyaningsih! Tentu saja ia tak dapat meluluskan permintaan ini. Pada saat itu, Sariti memutar tubuhnya yang indah itu menghadapi Adipati Gendrasakti. Air matanya tak dapat ditahannya pula dan telah membasahi kedua pipinya yang kemerah-merahan seperti warna mawar yang seindah-indahnya.
"Kang Mas, Adipati, kalu begitu, cinta Kang Mas terhadap diri saya hanya... palsu belaka..."
Ia lalu menggunakan sepuluh jari tangannya yang halus runcing untuk menutupi mukanya karena air matanya mengucur makin banyak. Adipati Gendrasakti turun dari pembaringan dan dengan penuh kasih sayang memegang pundak selirnya sambil berkata perlahan.
"Jangan kau berkata demikian, Sariti kau tahu betul bahwa cintaku kepadamu cinta murni dan tak dapat diukur besarnya. Permintaanmu yang manakah yang pernah kutolak?"
"Buktinya... Kang Mas lebih memberatkan yunda Dewi daripada aku..."
Adipati Gendrasakti membelai-belai rambut Sariti yang hitam dan harum.
"Permintaanmu kali ini memng sukar untuk dapat dilaksanakan, Sariti. Telah berkali-kali aku jelaskan, bahwa untuk menyuruh Cahyaningsih pulang tidaklah semudah kau kira. Hal ini berlainan sekali dengan keadan para selir yang telah kita usir dri sini. Ingatlah, dia adalah isteriku yang sah dan isteri pertama. Tentu akan menimbulkan perasaan tidak senang di kalangan para hamba sahaya dan rakyat di Tandes."
Dengan gaya manja sekali Sariti menolakkan kedua tangan Adipati Gendrasakti yang membelai-belai rambutnya itu, lalu katanya.
"Itu hanya alasan kosong belaka, Kang Mas. Apa hubungan para hamba sahaya dan rakyat dengan urusan rumah tangga Kang Mas sendiri? Bilang saja bahwa hatimu masih berat sebelah kepada yunda Dewi."
"Ingat bahwa Cahyaningsih telah mempunyai seorang puteri dariku, apa akan jadinya dengan dia dan anakku Puspasari?"
Sariti cemberut dan bibirnya yang berbentuk gendawa dan merah segar itu ditajamkan, menambah manisnya.
"Kang Mas maklum bahwa yunda Dewi benci kepadaku. Biarlah, daripada hidup dibenci dan selalu terancam, lebih baik Kang Mas pulangkan saja aku atau bunuh saja. aku tidak kuat hidup di bawah satu wuwungan dengan orang yang membenciku dan biarlah kalau memang Kang Mas lebih mencintai nenek tua itu daripada aku"
Mendengar ucapan ini, dengan cepat Gendrasakti memeluk selirnya dengan hati cemas.
(Lanjut ke Jilid 02)
Jaka Galing (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
"Sariti. jangan kau mengambil keputusan nekat seperti itu. Aku takkan hidup lama lagi tanpa kau. aku, mencintaimu sepenuh jiwaku. Aku tak peduli lagi akan keadaan Dewi Cahyaningsih, jangankan baru seorang, biarpun ada seribu Cahyaningsih, aku masih berat kepadamu, manis. Sariti cepat berkata dengan suara manis dan merdu,
"Kalau begitu, suruhlah dia pergi, Kang Mas. Biar kita berdua hidup rukun dan tenteram, penuh cinta kasih dan damai!"
"Tapi, Sariti manisku, dia adalah keturunan Prabu Brawijaya di Majapahit. Kalau sang prabu mendengar akan hal puterinya terusir dari sini, pasti beliau akan marah sekali. Bibir Sariti yang tadinya sudah membayangkan senyum manis, kembali cemberut, bahkan sepasang matanya yang bersinar-sinar dan berkelap-kelip bagaikan dian terhembus angin itu memandang dengan cahay menghina.
"Kau takut Kang Mas? Apa yang kau takutkan? Bukankah kau terkenal gagah perkasa dan mempunyai prajurit-prajurit pilihan dan kuat? Lagi pula, bukankah kau dahulu menjadi senopati Majapahit yang terkenal paling sakti? Prabu Brawijaya mampu berbuat apa terhadap kita?"
Untuk beberapa lama Adipati Gendrasakti termenung, lalu berkata perlahan.
"Biarpun ucapanmu itu betul, akan tetapi harus diingat bahwa Majapahit mempunyai banyak perwira yang sakti dan tentara yang sangat kuat. Kalau sang prabu marah kepada kita dan mengirim barisan ke sini, tentu akan pecah peperangan dasyat yang akan menimbulkan banyak korban jiwa di kedua belah pihak. Apakah tidak ada jalan lain yang lebih aman dan baik untuk mencapai maksud kita?"
Adipati yang sudah berumur 50 th lebih itu mengerutkan keningnya yang sudah penuh garis. Tiba-tiba Sariti menghampiri Adipati Gendrasakti yang duduk di atas kursi sambil termenung menggigit-gigit bibirnya, lalu dengan gaya menarik hati sekali menjatuhkan diri di atas pangkuan Adipati itu.
"Kang Mas, mengapa kau begitu bodoh dan kurang akal? Serahkan saja hal ini kepada Sariti, isterimu yang cerdik dan setia, isterimu yang mencintaimu dengan penuh jiwa."
Kemudian dengan bisik-bisikan di dekat telinga Adipati Gendrasakti, Sariti menceritakan siasatnya. Adipati Gendrasakti mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu mengangguk-angguk dan memandang selirnya yang cantik jelita itu dengan pandangan kagum dan gembira.
"Alangkah pandainya kau mengatur siasat, isteriku manis. Baik, baik! Memang harus diatur begitu!"
Memang tidak keliru ucapan para pujangga purbakala yang menyatakan bahwa betapapun pandai, gagah perwira, kuat dan saktinya seorang laki-laki, namun apabila ia telah tergila-gila akan kecantikan dan berada di bawah pengaruh seorang wanita maka segala kepandaian dan kegagahannya itu akan sia-sia belaka dan ia hanya merupakan tanah liat yang lembek sekali dalam gemgaman tukang periuk yang pandai, ia akan menyerah dan menurut saja di-bentuk oleh wanita yang dikasihinya itu! Adipati yang mabok akan belaian dan rayuan Sariti yang cantik jelita, lupa akan anak bini, bahkan rela mengorbankan isteri dan anaknya demi kesenangan dan kepuasan hati kekasihnya itu.
Sariti memang berpikiran cerdik dan mempunyai banyak muslihat licin. Ia majukan siasatnya, yakni Dewi Cahyaningsih dan anaknya akan diantar pulang ke Majapahit dengan pengawal-pengawal sebagaimana mestinya. Akan tetapi, di tengah jalan kedua ibu anak itu akan di binasakan, kemudian para pengawal itu lalu diharuskan lari ke Majapahit dan memberi laporan kepada Sang Prabu Brawijaya bahwa ketika mereka mengantar Dewi Cahyaningsih dan puterinya berkunjung ke Majapahit, ditengah jalan di serang oleh... Jaka Galing yang berhasil membunuh ibu anak itu! Sungguh siasat yang kejam tapi licin luar biasa. Seperti telah merencanakan untuk menggunakan sebatang pedang yang bermata dua hingga dapat sekali pukul meruntuhkan dua lawan. Di satu pihak membinanasakan kedua wanita yang menjadi penghalang baginya itu,
Di pihak lain dapat merusak nama Jaka Galing yang berbahaya pula bagi Adipati Gendrasakti, hingga sang prabu tentu akan mengutus prajurit untuk menangkap Jaka Galing! Satu siasat yang harus dipuji, tapi yang harus dikutuk karena kejamnya. Pada keesokan harinya. Adipati Gendrasakti dengan menguatkan hati dan melenyapkan segala rasa segan dan malu, memasuki kamar isterinya. Kedatangannya disambut dengan wajah heran oleh isterinya dan dengan kegembiraan oleh Puspasari, anaknya. Telah berbulan-bulan Adipati ini tak pernah masuk ke dalam kamar isterinya, maka kedatangannya ini tentu saja menimbulkan heran kepada isteri yang sudah tak mengharapkan lagi kunjungan suaminya itu. Dengan cekatan Puspasari menyuguhkan minum kepada ayahnya. Setelah duduk berhadapan dengan isterinya, Gendrasakti lalu berkata.
"Yayi Dewi, sebenarnya kedatanganku ini hendak minta pertimbanganmu. Sebagaimana kau ketahui, telah berbulan-bulan aku tidak pergi menghadap ke Majapahit."
"Mengapa kanda tidak pergi menghadap Rama Prabu?"
Tegur Dewi Cahyaningsih yang tidak menyangka sesuatu. Gendrasakti menghela napas.
"Kau tahu, yayi, pekerjaan di sini amat banyak dan aku... Tak punya waktu untuk pergi-pergi jauh. Memang, kalau terlalu lama tidak menghadap, aku takut kalau-kalau Rama Prabu marah. Oleh karena itu, malam tadi aku mgambil keputusan untuk minta bantuanmu, yayi. Kau telah lama tidak bertemu dengan keluargamu di Majapahit, maka sekalian kau tengok mereka, kau wakililah aku menghadap Rama Prabu, menuturkan keadaan di Tandes yang tidak ada halangan suatupun apa."
Memang di dalam hatinya, semenjak suaminya tergila-gila kepada Sariti, Dewi Cahyaningsih merasa bosan dan tidak senang tinggal di Tandes, dan sering kali terkenang kepada sanak familinya yang berada di Majapahit. Mendengar usul suaminya ini, ia merasa genbira, lalu menjawab,
"Baiklah, kanda. Kalau kanda Adipati memerintahkan begitu, tentu saja saya tak berani membantah."
"Rama, ijinkanlah saya ikut kalau ibu pergi ke Majapahit."
Puspasari berkata. Ayahnya mengangguk-angguk,
"Tentu saja boleh, kalian pergilah berdua. Berkemeslah dan sementara itu aku akan memerintahkan pengawal-pengwal yang cakap untuk mengiringi perjalanan kalian, juga menyediakan barang-barang berharga untuk dihaturkan kepada Rama Prabu."
Kata Adipati Gendrasakti dengan suara manis, seperti seorang ayah yang baik hati!
Dengan gembira sekali Puspasari menari-nari dan lari masuk ke kamarnya sendiri di sebelah kamar ibunya untuk menyiapkan apa yang perlu di bawa dalam perjalanan jauh itu. Gendrasakti memilih 12 orang perwira yang paling dipercaya dan setelah memberi pesan kepada mereka, lalu disiapkan tandu dan segala keperluan. Sariti juga hadir dalam keberangkatan ini dan selir cantik jelita ini dengan gaya manis memberi bekal nasihat dan pesan agar mereka yang melakukan perjalanan itu berlaku hati-hati dan dapat menjaga diri di tengah jalan, serta membekali doa-doa selamat bagi ibu dan anak! Setelah rombongan itu berangkat Gendrasakti menjatuhkan diri di atas kursi di dalam kamar Sariti, dan Adipati tua itu termenung denga muka pucat betapapun juga,
Hati nuraninya memberontak dan suara hatinya mencaci maki dan mengutuknya, membuatnya termenung dengan hati menyesal. Akan tetapi, tiba-tiba sebuah lengan yang berkulit halus memeluk lehernya dengan suara merayu-rayu dan belaian-belaian penuh kasih sayang Sariti menghiburnya hingga hati nuraninya kembali tertutup. Dua belas orang yang dipilih oleh Gendrasakti untuk mengantar anak dan isterinya adalah bekas perampok-perampok jahat dan kejam yang tak pantang mundur menghadapi perbuatan yang bagaimana kejam dan ngerinya. Mereka ini adalah orang-orang taklukan, bekas pemimpin perampok yang didalam hatinya memang mempunyai sikap dendam dan memberontak terhadap kerajaan Majapahit, hingga mereka memang tepat sekali kalau diperalat oleh Gendrasakti untuk melakukan pembunuhan kejam ini.
Rombongan itu berjalan dengan cepat dan ketika hari telah menjadi senja, mereka masih berada di dalam sebuah hutan yang amat liar dan luas. Memang kedua belas pengawal itu sengaja membawa ibu dan anak itu kedalam hutan ini agar mereka dapat melakukan tugas mereka dengan leluasa. Setelah tiba di tempat yang mereka anggap cocok untuk melakukan kejahatan itu, tiba-tiba kepala pengawal, seorang tinggi besar bernama Klabangkoro berteriak memerintah agar rombongan itu berhenti. Delapan orang pelayan pemanggul tandu merasa lega mendengar perintah ini, karena mereka telah merasa lelah sekali. Dengan perlahan mereka menurunkan kedua tandu itu dan menggunakan kain ikat kepala untuk menyeka peluh mereka yang membasahi seluruh tubuh. Dewi Cahyaningsih dan Puspasari membuka kain renda penutup tandu dan Dewi Cahyaningsih bertanya.
"Hei, pengawal, mengapa berhenti di tengah hutan? Hari sudah menjadi gelap, hayo kita lanjutkan perjalanan mencari tempat penginapan di kampung depan."
Tapi 12 pengawal itu mendekatinya sambil ketawa menyeringai. Melihat keadaan ini, hati Dewi Cahyaningsih merasa tidak enak, maka ia lalu keluar dari tandunya. Juga Puspasari keluar dari tandunya.
"Kita takkan melanjutkan perjalanan!"
Kata Klabangkoro sambil mengurut kumisnya. Kemudian dengan cepat sekali ia mencabut goloknya yang terselip di pinggang dan sekali mengayun senjata itu, dua orang pemanggul tandu roboh mandi darah dan mati di saat itu juga tanpa dapat berteriak lagi! Alangkah terkejutnya semua pemanggul tandu yang enam orang itu. Tapi kekagetan mereka hanya sebentar, karena pengawal-pengawal lain lalu menggunakan senjata mereka dan sekejap kemudian kedelapan pemenggul tandu itu terbunuh dan tubuh mereka berserakan di atas rumput dalam keadaan yang mengerikan! Dewi Cahyaningsih dan anak gadisnya hampir saja pingsan melihat kekejaman dan pembunuhan ini. Mereka saling peluk dan menutup muka sambil menangis dan dengan tubuh menggigil mereka menanti kemungkinan selanjutnya.
"Ha, ha, ha!"
Terdengar Klabangkoro tertawa tergelak-gelak.
"Sayang Adipati tidak melihat sendiri hal ini!"
Mendengar ucapan ini, timbul dugaannya yang mengerikan di dalam hati Dewi Cahyaningsih. Dengan hati nekat, ia membuka matanya dan memandang kepada kepala pengawal ini.
"Klabangkoro! Apakah maksudmu maka kalian membunuh para pemikul tandu ini? Siapakah yang akan memenggul tandu kami selanjutnya?"
"Ha, ha,ha! Perempuan bernasib celaka, yang akan memanggul kau hanyalah setan-setan akhirat, karena sebentar lagi kaupun akan mengikuti kedelapan anjing-anjing ini! Ha-ha! Adapun yang akan memanggul puterimu yang cantik ini, jangan kau khawatir, tanganku masih kuat memondongnya! Betul tidak, kawan-kawan?"
Kawan-kawannya tertawa geli, dan seorang diantara mereka berkata.
"Kakang Klabangkoro, jangan kau habiskan sediri. Beri aku bagian! Ha, ha!"
Mendengar ucapan ini, bukan main kaget Dewi Cahyaningsih dan Puspasari.
"Apa? Kau hendak membunuh kami? Mengapa Klabangkoro, mengapa?"
Tanya Dewi Cahyaningsih dengan suara gemetar, sedangkan Puspasari memeluk ibunya dengan tubuh menggigil ketakutan.
"Jangan kau salah sangka, Wanita! Kami hanya menjalankan perintah Adipati Gendrasakti. siapa lagi yang menyuruh kami membunuhmu kalau bukan suamimu sendiri?"
"Tetapi... tak mungkin... mengapa begitu..."
Wanita yang bernasib malang itu mengeluh.
"Ha, ha, ha!"
Klabangkoro tertawa. Mudah saja diterka. Kau sudah tua, suamimu sudah tak suka lagi padamu, sudah mendapat yang baru, yang muda, yang cantik, tidak seperti kau yang sudah kisut. Ha, ha!"
Kini mengertilah Dewi Cahyaningsih. Jadi suaminya sendiri yang merencanakan pembunuhan ini! Tentu diatur bersama dengan perempuan siluman itu. Alangkah kejamnya! Tiba-tiba wanita tua itu mengangkat dada dan datang keberaniannya.
"Klabangkoro! Kau mau membunuh kami, bunuhlah. Aku tidak takut mati. Tetapi kuminta padamu dan kepada semua kawanmu. Kasihanilah anakku si Puspasari. Dia tidak tau apa-apa. Demi perikemanusian dan demi Gusti Yang Maha Agung, bebaskanlah anakku ini. Kalian boleh mengambil semua barang-barang berharga milik kami, boleh bunuh aku, tetapi kalian jangan bunuh anakku ini..."
Dewi Cahyaningsih memeluk anaknya yang sudah lemas itu dengan tersedu-sedu.
"Ah, perempuan cerewet! Jangan banyak cakap!"
Bentak Klabangkoro sambil menarik tangan Dewi Cahyaningsih yang memeluk anaknya, tetapi ibu itu tak mau melepaskan pelukannya. Puspasari menjerit-jerit dan mengeluh.
"Ibu... Ibu..."
"Sari... Sari anakku..."
Dewi Cahyaningsih juga menjerit pilu. Kakang Klabangkoro. Mampuskan saja perempuan tua itu supaya jangan banyak rewel lagi!"
Kata seorang diantara pengawal-pengawal itu. Dengan wajah menyeringai mengerikan Klabangkoro mengangkat goloknya yang masih berlumuran darah itu keatas dengan sepenuh tenaga ia membacok!
"Trang!"
Klabangkoro berteriak kesakitan dan goloknya hampir saja terlepas dari pegangan! Ternyata ketika ia menganyunkan goloknya membacok ke arah leher Dewi Cahyaningsih, tiba-tiba dari belakang sebatang pohon meloncat keluar seorang laki-laki memegang tombak dan secepat kilat menggerakkan tombaknya menangkis golok yang mengancam leher wanita itu!
"Bangsat jahanam! Siapa kau begitu lancang berani mencampuri urusan kami?"
Bentak Klabangkoro, sedangkan sebelas orang kawannya lalu maju mengepung. Laki-laki itu ternyata adalah seorang yang memakai kedok ikat kepala hitam yang dibalutkan di depan mukanya sebatas mata. Dari sinar matanya dan tubuhnya, dapat diketahuai bahwa ia masih muda benar, tetapi tubuhnya tegap berisi dan tampak kuat. Melihat dirinya dikepung, pemuda berkedok itu mengangkat tombaknya ke atas dan tiba-tiba dari atas sebatang pohon melayang keluar seorang pemuda lain yang juga berkedok! Pemuda ini bersenjata sebatang pedang dan karena pakaian dan kedoknya serupa dengan yang dikenakan pemuda bertombak, mereka ini seakan-akan dua saudara kembar!
"Keparat!"
Pemuda bertombak itu balas memaki.
"Pembunuh-pembunuh kejam, iblis bermuka manusia! Iblis-iblis macam kalian ini harus dibasmi dari muka bumi!"
Bukan main marahnya Klabangkoro mendengar caci maki ini. Biarpun dari tangkisanh tadi ia maklum bahwa pemuda bertombak ini memiliki tenaga kuat, namun mereka hanya berdua, sedangkan dia mempunyai sebelas orang kawan yang telah diketahui kekuatan dan kepandaiannya. Maka ia berbesar hati dan tertawa menghina.
"Ha-ha! Cacing-cacing busuk hendak berlaku sombong di depan naga! Mampuslah kau!"
Goloknya diayun tanpa ada peringatan, menunjukkan betapa curangnya kepala pengawal itu!"
Akan tetapi dengan memiringkan sedikit kepalanya, bacokan itu tak mengenai sasaran dan pemuda bertombak lalu balas menyerang. Kawannya tertawa bergelak lalu memutar pedangnya yang mempunyai gerakan hebat juga. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran hebat dan mati-matian. Dua orang berkedok di keroyok oleh dua belas orang pengawal yang buas dan bertenaga kuat.
"Indra, mari pencarkan mereka!"
Pemuda bertombak berseru kepada kawannya. Memang, dalam keroyokan campur aduk itu mereka tak dapat bergerak leluasa, maka mereka lalu berkelahi sambil mundur saling menjauhi hingga para pengeroyok menjadi terpencar. Pemuda berpedang dikeroyok enam orang dan pemuda bertombakpun dikeroyok enam orang termasuk Klabangkoro!
Karena pemuda bertombak itu mengetahui bahwa para lawannya hanyalah orang-orang yang mengandalkan kebuasan dan kekuatan belaka, maka ia yakin bahwa ia dan kawannya pasti akan dapat mengalahkan mereka. Kalau kiranya para pengeroyokitu berkepandaian tinggi dan cukup membahayakan, tentu ia akan lebih senang membela diri di dekat kawannya hingga dapat saling membantu. Kini, menghadapi enam orang pengeroyok, ia berlaku lebih leluasa karena dapat mencurahkan perhatiannya. Tombaknya diputar sedemikian rupa hingga ujung tombak berubah seakan-akan menjadi berpuluh-puluh banyaknya dan tiap ujung tombak mengeluarkan tenaga yang luar biasa, karena tiap kali senjata lawan tersentuh ujung tombak itu, senjata lawan pasti terpental!
Keenam pengeroyoknya tak berdaya dan tak dapat menyerang, karena tubuh pemuda itu dilindungi oleh puluhan batang tombak yang bergerak dan berputar cepat sekali! Tak lama kemudian, setelah bertempur puluhan jurus,terdengar teriakakn-teriakan ngeri karena dua orang pengeroyok telah tertembus perut dan dadanya oleh ujung tombak!"
Sentara itu, pemuda berpedang juga tidak kalah hebatnya. Pedangnya berputar cepat dalam gerakan-gerakan yang tak terduga sama sekali oleh keenam lawannya. Tubuhnya lincah dan gesit sekali. Selain itu, pemuda ini berwatak jenaka, karena sambil berputar tiada hentinya ia mengejek dan menggoda. Pernah ia sengaja mengetok tulang kaki seorang lawan dengan gagang pedangnya, hingga lawan itu berjingkrak-jingkrak karena kakinya merasa demikian sakit sampai terasa menyusup tulang!"
"Ha, ha! Kau seperti Burisrawa kebakaran jenggot!"
Pemuda itu mengejek sambil mengirimkan serangan kilat yang membuat pedangnya menari-nari itu! Sebentar saja iapun dapat merobohkan lagi tiga orang lawan dengan pedangnya!"
Sementara itu, pemuda bertombak telah berhasil menewaskan empat orang dan yang melawannya kini tinggal Klabangkoro dean seorang temannya. Melihat betapa gagah perkasanya pemuda lawannya itu dan betapa kawan-kawannya telah banyak yang tewas, tiba-tiba Klabangkoro melompat jauh dan lari kearah Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang saling peluk dan berdiri menggigil di dekat tandu mereka!
Klabangkoro mengayun-ayunkan goloknya untuk membinasakan dua orang wanita itu untuk menunaikan tugas. Melihat hal ini, pemuda bertombak merasa terkejut sekali. Ia hendak meloncat mengejar, tapi lawannya yang tinggal seorang itu menghalanginya dengan pedang dan mengirim serangan ke arah lambungnya. Karena perhatian pemuda itu dicurahkan kepada Klabangkoro, hampir saja lambungnya tertusuk pedang kalau ia tidak cepat-cepat melempar tubuh kebelakang. Pada saat ia menggulingkan diri, ia melihat betapa Klabangkoro telah berada dekat dengan kedua wanita itu dan telah mengangkat goloknya. Tidak ada jalan lain untuk menolong kecuali dengan melemparkan tombaknya dengan sekuat tenaga ke arah tubuh Klabangkoro.
Lemparannya tepat sekali dan pada saat Klabangkoro hampir berhasil membunuh Dewi Cahyaningsih dan gadisnya, tiba-tiba punggung manusia jahat itu tertikam tombak hingga menembus ke dadanya! Klabangkoro berteriak ngeri dan goloknya terlepas dari tangannya. Tubuhnya terhuyung-huyung dan akhirnya roboh telungkup tak bernyawa lagi! Pemuda itu segera lari menghampiri tubuh Klabangkoro dan mencabut keluar tombaknya. Ketika ia menengok, ternyata orang terakhir yang melawannya tadi telah lenyap! Ia merasa menyesal karena orang itu tentu telah melarikan diri. Ketika ia berpaling, ternyata kawannya yang bersenjata pedangpun baru saja menyelesaikan pertempurannya dan dengan puas membersihkan pedangnya sambil memandangi lima orang lawannya yang telah tewas bergelimpangan di sekelilingnya!
"Indra, kau hebat sekali!"
Pemuda bertombak itu memuji kawannya sambil tertawa membuka kedok. Ternyata bahwa pemuda bertombak itu bukan lain ialah Jaka Galing! Kawannya yang bernama Indrapun membuka kedoknya dan ternyata ia adalah seorang pemuda yang tampan juga, berambut keriting dan bermata penuh kegembiraan.
"Kaupun hebat, Galing."
"Tapi lawanku ada yang lari seorang."
Mereka lalu menghampiri Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang masih saling rangkul dengan wajah pucat. Jaka Galing dan Indra tidak mengenal siapa kedua wanita itu, mereka berdua memandang kagum kepada Puspasari yang cantik manis.
"Ibu dan adik, bahaya telah lalu dan tak perlu takut dan khawatir lagi."
Galing menghibur. Ia tak pernah menyangka bahwa wanita tua itu adalah isteri Adipati Gendrasakti dan mengira bahwa mereka berdua hanyalah wanita-wanita kampung karena memang Dewi Cahyaningsih berdua puterinya mengenakan pakaian sederhana.
"Aduh, raden... semoga Gusti Yang Maha Agung melimpahkan rahmatNya kepada kalian berdua. Kalian telah menolong jiwa kami ibu dan anak, kalau tidak ada kalian...entah bagaimana jadinya..."
Wanita tua itu tersendu-sendu karena merasa terharu dan sedih.
"Sudahlah, ibu, jangan bersedih, penjahat-penjahat kejam itu telah kami bunuh semua. Kalau kami boleh bertanya, ibu dan adik ini siapakah dan hendak pergi kemana?"
Sebelum ibunya sempat menjawab, Puspasari menjawab dengan suara malu-malu dan pipi merah sambil menundukkan mukanya,
"Kami... kami orang Tandes, ibuku seorang janda dan aku anak tunggalnya. Kami hendak pergi ke Majapahit mengunjungi sanak keluarga kami. Tapi dihutan tiba-tiba bertemu dengan perampok-perampok. Untung kalian berdua menolong kami, raden, dan terimalah pernyataan terima kasih kami!"
Tiba-tiba gadis itu berlutut menyembah hingga Jaka Galing merasa kikuk. Hendak membangunkan gadis itu, ia harus menyentuh pundaknya dan ia tidak berani melakukan ini. Didiamkan juga tidak enak.
"Nona... jangan... jangan kau melakukan segala upacara ini. Sudah sepantasnya manusia di dunia saling tolong-menolong."
Setelah Puspasari berdiri kembali, ibunya berkata.
"Benar kata Puspasari anakku ini, raden.Kami memang hendak pergi ke Majapahit."Kami memang hendak pergi ke Majapahit."
Dewi Cahyaningsih maklum akan maksud Puspasari yang sengaja berbohong,karena kalua ia berterus terang, tentu kedua pemuda ini merasa terkejut dan siapa tahu kalau-kalau kedua pemuda ini meras berkewajiban untuk mengantarkan dan memaksa mereka pulan ke Tandes.
"Tapi hari sudah menjadi gelap, dan tak mungkin melanjutkan perjalanan yang masih jauh. Lagi pula, para pemikul tandu telah binasa semua. Kalau kalian sudi, kami persilakan singgah di kampung kami yang berada tak jauh dari sini dan besok barulah kalian melanjutkan perjalanan menuju ke Majapahit."
Kata Indra sambil memandang gadis yang manis itu. Kedua wanita itu menyetujui dan Galing bersama kawannya mengiringkan mereka menuju ke sebuah kampung yang berada tak jauh dari hutan itu. Dewi Cahyaningsih dan Puspasari heran dan kagum ketika mereka tiba di kampung itu, karena di dusun yang baru itu berkumpul banyak sekali orang dari segala golongan dan mereka ini ramah tamah sekali. Mereka disambut dengan segala kehormatan dan hampir semua orang,
Laki-laki maupun perempuan yang menyambut mereka, menyantakan simpati dan mengutuk para perampok yang berniat jahat terhadap mereka. Karena keramah-tamahan orang-orang itu. Dewi Cahyaningsih dan Puspasari merasa terharu dan suka sekali berada di situ. Bagaimanakah Jaka Galing yang dulu tinggal di dusun Tiban bersama kakeknya kini berada di dusun itu dan siapa pula kawan-kawannya penduduk dusun itu? Dulu ketika Jaka Galing membawa pulang jenazah kakeknya dengan hati hancur karena sedihnya, ia disambut rakyat dengan perasaan terharu dan sedih. Memang nama Panembahan Ciptaning telah terkenal sebagai seorang sakti yang berbudi dan bijaksana, juga tidak sedikit orang yang telah ditolong oleh Panembahan itu, baik berupa nasehat atau petuah maupun pertolongan mengobati mereka yang menderita sakit.
Selain daripada itu banyak yang mengangkat dia sebagai guru mereka, karena sedikit banyak mereka telah menerima petunjuk-petunjuk dan petuah-petuah yang berharga dari orang suci itu. Oleh karena itu, maka tidak heran apabila nasib Panembahan Ciptaning yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu telah membangkitkan perasaan marah dan dendam di hati para pemuda itu. Di antara para pemuda yang sakit hati terhadap Adipati Gendrasakti, adalah Indra, seorang putera kepala kampung di dusun Keling, yang menjadi murid terkasih dari Panembahan Ciptaning dan seorang kawan baik Jaka Galing semenjak kecil. Disaksikan oleh banyak orang, Jaka Galing mencabut tombak pusaka Kyai Santanu yang menancap di dada kakeknya dan ia bersumpah di depan tombak pusaka itu dengan ucapan keras dan tegas.
"Aku bersumpah untuk membalas dendam rama Panembahan yang terbunuh oleh Gendrasakti dan pada suatu saat aku tentu akan mengembalikan tombak ini ke dalam dada Gendrasakti!"
Jaka Galing maklum bahwa dirinya tentu dimusuhi oleh Adipati Gendrasakti dan bukan tak mungkin besok atau lusa akan datang prajurit-prajurit dari Tandes ke dusun Tiban untuk menangkap atau membunuh dirinya. Dugaan ini dibenarkan oleh banyaknya anak muda di dusun Tiban, maka Jaka Galing lalu mengambil keputusan untuk pergi dari Tiban. Alangkah terharu hatinya ketika hampir semua pemuda Tiban, bahkan ada beberapa orang pula dari desa Keling, yakni Indra dan kawan-kawannya, menyokong maksudnya hendak membalas dendam, Mereka lalu berkumpul dan merupakan satu pasukan terdiri dari pemuda-pemuda yang gagah berani dan bersemangat! Karena takut kalau-kalau Adipati Gendrasakti menumpahkan amarahnya kepada keluarga mereka, maka para pemuda itu lalu memboyongi keluarga mereka dan menebang hutan untuk mendirikan sebuah dusun baru di tengah-tengh hutan.
Dusun ini mereka beri nama dusun Bekti dan di dalam hutan lebat ini Galing dan Indra melatih para kawannya dalam olah keprajuritan dan permainan tombak dan pedang. Mereka siap untuk sewaktu-waktu menyerbu ke Kadipaten Tandes dan membalas dendam kepada Adipati Gendrasakti. Sementara itu, seringkali Jaka Galing termenung jika teringat akan cerita Panembahan Ciptaning sebelum menghembuskan napas terakhir, yakni bahwa mendiang ibunya adalah seorang isteri Sang Prabu Brawijaya. Kalau begitu, dia masih berdarah bangsawan, berdarah raja, seorang Pangeran. Namun ia simpan rahasia ini baik-baik dan tak pernah menceritakan kepada siapapun juga. Oleh karena itu maka semua orang masih menganggap bahwa ia adalah Jaka Galing putera Panembahan Ciptaning.
"Perjumpaannya dengan Dewi Cahyaningsih dan anak gadisnya, membuat Jaka Galing makin benci kepada Adipati Gendrsakti. Malam itu juga, ia mengumpulkan kawan-kawannya dan menyatakan pendapatnya.
Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kawan-kawanku, peristiwa yang baru saja dialami oleh kedua tamu kita itu menyatakan betapa kacau-balaunya daerah yang yang dikuasai oleh Gendrasakti. Perampok berani muncul dimana-mana dan mengganggu rakyat, tanpa mendapat perhatian sama sekali dari Gendrasakti. Bahkan aku merasa curiga melihat pakaian para perampok itu, karena pakaian macam itu tidak layak dipakai oleh para perampok. Lebih pantas kalau mereka itu disebut pengawal-pengawal atau pemimpin-pemimpin prajurit Kadipaten."
Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang berada di ruang tengah itu dan mendengar kata-kata Jaka Galing, menjadi terkejut sekali. Tadinya mereka hanya menyangka bahwa Jaka Galing dan Indra hanyalah dua orang pemuda dusun yang gagah perkasa, dan tidak menyangka bahwa pemuda ini demikian cerdik dan seakan-akan mempunyai sikap bermusuh dan membenci Adipati Gendrasakti. Mereka berdua mendengar lebih lanjut dengan penuh perhatian.
"Memang akupun sudah menaruh curiga,"
Indra membenarkan kata-kata Galing.
"Mereka itu memainkan senjata dengan baik sekali dan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, sekali-kali tak pantas kalau mereka hanya perampok-perampok biasa. Lebih baik kita bertanya lagi kepada tamu-tamu kita."
Semua orang menyatakan setuju dan Dewi Cahyaningsih serta puterinya dipersilakan maju mendekat. Wanita tua itu merasa kagum memandang para pemuda tampan yang duduk bersila dalam deretan rapi dan sikap mereka yang sopan-sopan itu, sedangkan Puspasari menundukan kepala dengan wajah merah. Ia tidak kuasa menentang pandang mata sekian banyak pemuda yang kesemuanya ditujukan padanya dengan pandang mata kagum.
"Kanjeng bibi, harap maafkan kami kalau kami mengganggu kanjeng bibi. Sebetulnya kami merasa curiga sekali melihat keadaan para perampok yang mencegat perjalan bibi berdua sore tadi. Apakah kanjeng bibi tidak pernah melihat orang-orang itu atau tidak menyangka sesuatu mengapa bibi berdua diganggu?"
Sambil berkata demikian, Jaka Galing memandang tajam. Dewi Cahyaningsih adalah seorang puteri dari Majapahit yang bagaimanapun juga mempunyai keagungan dan perbawa besar. Melihat betapa anak muda itu mengajukan pertanyaan seakan-akan sedang memeriksanya, ia balas bertanya denga suara angkuh.
"Anak muda, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, lebih dulu perkenalkan dirimu. Siapa kau ini, raden? Dan ada hubungan apa engkau dengan Adipati Gendrasakti, siapa pula sekian anak muda yang berkumpul di sini?"
Jaka Galing tercengang mendengar suara dan pertanyaan ini. Karena ini bukanlah suara seorang wanita tua dari dusun dan pertanyaan inipun membayangkan bahwa wanita di depannya tentu tahu banyak tentang diri Gendrasakti!
"Kanjeng bibi, kiranya kepadamu aku tidak perlu membohong atau menyimpan rahasia. Aku adalah Jaka Galing putera mendiang Panembahan Ciptaning yang dibunuh mati oleh Gendrasakti!"
"Biarpun Dewi Cahyaningsih telah menekan perasaan hatinya, namun wajahnya masih berpucat mendengar pengakuan ini. Untung baginya bahwa cahaya dian yang tidak begitu terang itu membuat perubahan wajahnya tidak tampak oleh yang lain. Sementara itu, diam-diam Puspasari menggerakkan sedikit mukanya dan ia mengerling ke arah Jaka Galing.
"Jadi... kau adalah putera Panembahan Ciptaning yang bernasib malang itu raden? Aduh, raden. Kasihan sekali ramamu!"
Dewi Cahyaningsih berkata perlahan.
"Dan kau kumpulkan kawan-kawanmu ini untuk membalas dendam? Hendak menggempur dan mengobrak-abrik Kadipaten Tandes?"
"Bukankah sudah selayaknya kalau aku membalaskan dendam rama Panembahan? Tidak pantaskah kalau ujung tombak yang mengantar nyawa rama Panembahan ini kugunakan untuk mengantar nyawa Gendrasakti menysulnya?"
Kemudian, Jaka Galing yang untuk sesaat dikuasai oleh nafsu amarah itu teringat kembali dan menyambung kata-katanya kepada Dewi Cahyaningsih dengan suara perlahan.
"Maaf, kanjeng bibi, tidak seharusnya didepan seorang tamu yang tiada sangkut pautnya sama sekali dengan urusan ini aku melampiaskan amarahku."
Ia lalu menyembunyikan tombak pusaka Kyai Santanu di belakang tubuhnya. Tapi Dewi Cahyaningsih telah mendengar itu semua, telah merasai ancaman yang tersembunyi dalam kata-kata Jaka Galing tadi. Betapapun juga, Adipati Gendrasakti adalah suaminya, suami yang pernah dicintainya, walaupun ia telah dikhianati dan hampir saja dibunuh! Sebagai seorang wanita bangsawan ia harus berani menghadapi kenyataan, berani menghadapi segala akibat dari kejahatan suaminya. Maka sambil menatap wajah anak muda yang tampan di depannya itu ia berkata, suaranya lantang.
"Baik sekali, anak muda! Kau sudah mengaku dan sudah mengutarakan semua isi hatimu. Kini, kau dengarlah baik-baik 12 orang perampok yang kau tewaskan iu, adalah pengawal-pengawal pilihan dari Gendrasakti! Mereka itu memang sengaja hendak membunuh aku dan anakku. Ketahuilah,aku adalah isteri Gendrasakti dan puspasari adalah anakku, anak Adipati Gendrasakti!"
"Ibu..."
Puspasari mencegah dan memandang wajah ibunya denga air mata berlinang. Mengapa ibunya seberani ini membuat pengakuan di depan musuh-musuh ayahnya? Untuk sesaat semua orang berdiam dengan mata terbelalak dan keadaan menjadi sunyi. Dan sesaat kemudian ramailah mereka itu berteriak-teriak dengan suara mengancam, bahkan Indra telah mencabut keris pusaka yang terselip di pinggangnya! Tapi Jaka Galing mengangkat kedua tangannya dan berkata perlahan.
"Diam semua! Kanjeng bibi, kau teruskan ceritamu! Mengapa kau hendak dibunuh oleh pengawal-pengawal suamimu sendiri?"
Sepasang mata Jaka Galing kini memancarkan cahaya, memandang ke wajah wanita itu seakan-akan hendak menembus dan membaca isi hatinya.
"Para pengawal itu memang sengaja disuruh untuk membinasakan kami berdua. Kami disuruh pergi ke Majapahit dan diantar oleh 12 orang pengawal. Tapi di tengah hutan, kami hendak dibunuh dan menurut mereka, memang mereka diperintah untuk membunuh kami."
Orang-orang yang tadinya memandang marah kepada Dewi Cahyaningsih kini menggeleng-geleng kepala dan merasa heran sekali. Juga Jaka Galing merasa tak mengerti.
"Tapi, mengapa suamimu hendak membunuhmu dan membunuh puterinya sendiri?"
Tanyannya.
Dewi Cahyaningsih menghela napas, sementara itu Puspasari terisak-isak.
"Ini semua gara-gara perempuan siluman itu. Gara-gara Sariti! Memang betul kata-kata Panembahan Ciptaning dulu bahwa dia adalah seorang perempuan siluman! Rupa-rupanya perempuan itu ingin berkuasa di Tandes, dan setelah berhasil mengusir semua selir, ia juga ingin sekali melenyapkan aku dan anakku yang dianggap penghalangnya."
"Alangkah kejamnya! Binatang berwajah manusia!"
Indra menggeram. Dewi Cahyaningsih menggeleng-gelengkan kepala dengan sedih.
"Ia tidak jahat, raden. Dulu ia adalah seorang senopati yang gagah perwira dan berhati mulia. Tapi... Setelah ia memboyong ledek dari Surabaya itu ke Kadipaten... ah, ia menjadi tersesat demikian jauh! Bahkan kematian Panembahan Ciptaning juga gara-gara Sariti! Aduh, suamiku, nasib apakah yang akan menimpamu kelak?"
Wanita tua itu tak dapat menahan kesedihan hatinya dan ia lalu menangis tersedu-sedu.
"Keparat betul!"
Jaka Galing berkata gemas.
"Sayang sekali aku biarkan lepas seorang dari mereka. Tentu ia pergi membuat laporan kepada Gendrasakti dan Adipati itu akan tahu bahwa isteri dan anaknya belum terbunuh."
Kini kebencian semua orang terhadap Dewi Cahyaningsih dan Puspasari lenyap, berganti dengan perasaan kasihan, karena bukankah kedua orang ibu dan anak itupun bernasib malang dan sengsara akibat kekejaman Adipati Gendrasakti? Sampai hampir menjelang fajar mereka bercakap-cakap dan mengingat bahwa Gendrasakti Tentu akan mengejar-ngejar isteri dan puterinya yang belum terbunuh, maka Jaka Galing berpikir lebih baik kedua orang itu untuk sementara tinggal bersama mereka di kampung itu untuk menyembunyikan diri.
Hal inipun akhirnya disetujui oleh Dewi Cahyaningsih. Tadinya puteri itu hendak pergi ke Majapahit dan mengadukan hal suaminya itu kepada Prabu Brawijaya, akan tetapi sebagai seorang puteri ia merasa malu kalau terdengar oleh orang lain bahwa dia sebagai isteri Adipati Gendrasakti mengadukan suaminya sendiri. Ia tentu akan dipandang hina dan karenanya ia pikir lebih baik untuk sementara waktu bersembunyi di antara orang-orang yang ramah-tamah dan sopan itu. Semenjak saat itu, Dewi Cahyaningsih dan puterinya tinggal di kampung Bekti, hidup di antara para petani kampung. Kedua puteri bangsawan itu melewatkan waktunya dengan memberi petunjuk-petunjuk dan pelajaran kerajinan tangan kepada para wanita kampung hingga sebentar saja mereka dikasihi oleh orang-orang kampung.
Dewi Cahyaningsih dikenal sebagai seorang wanita yang cerdas dan berpengetahuan luas dan orang-oarang datang minta nasihat dan petuah dari padanya, sedangkan Puspasari dikagumi karena kecantikannya dan kepandaiannya dalam pelajaran membatik dan kerajinan tangan lainnya. Ia segera terkenal menjadi kembangnya dusun Bekti dan dipuja serta dikagumi oleh semua pemuda! Bukan main terkejut dan herannya Adipati Gendrasakti ketika pagi hari itu melihat seorang pengawalnya datang kembali berlari-lari denga wajah pucat, pakaiannya robek-robek dan napas terengah-engah serta tubuhnya lemas dan lemah karena semalam-malaman pengawal itu berlari cepat. Ia menjatuhkan diri sambil menangis di depan kaki Adipati Gendrasakti dan bersembah.
"Aduh, gusti Adipati, celakalah hamba kali ini..."
"Dwipa, kenapa kau...? Dan di mana kawan-kawanmu?"
Ketika melihat bahwa semua orang yang telah menghadap di situ memandang heran, ia lalu membubarkan orang-orang itu hingga ia berada berdua saja dengan Dwipa yang berhasil menyelamatkan diri dan pulang. Pada saat itu Sariti muncul dari ruang dalam dan wanita cantik inipun menjadi pucat melihat keadaan Dwipa.
"Apa yang terjadi?"
Tanyanya dengan bibir gemetar. Dengan suara terputus-putus, akhirnya kuasa juga Dwipa menuturkan pengalamannya, betapa mereka dua belas orang yang bertemu dengan dua orang pemuda berkedok yang membinasakan sebelas orang di antara mereka,dan menolong Dewi Cahyaningsih dan Puspasari.
"Apa katamu?"
Gendrasakti marah sekali dan kakinya bergetar menendang hingga tubuh pengawal yang bernasib malang itu terpental jauh bergulingan di atas lantai.
"Ampun, gusti Adipati..."
Dwipa merintih-rintih.
"Bangsat, pengecut! Manusia-manusia tiada guna! Kalian dua belas orang yang mengaku diri gagah perkasa, kalah oleh dua orang anak muda saja! Alangkah hina dan memalukan!"
Adipati Gendrasakti lalu menjatuhkan diri di atas kursi dan wajahnya pucat sekali. Hal isteri dan puterinya tak sampai terbunuh, tidak membuat ia menyesal bahkan ia bersyukur karenanya. Akan tetapi ia teringat bahwa isteri dan anaknya itu tentu akan terus pergi ke Majapahit dan kalau pengkhianatannya itu dilaporkan kepada Sang Prabu Brawijaya, apa jadinya? Sariti menghampiri Gendrasakti dan memegang pundaknya denga jari-jari gemetar.
"Celaka, Kang Mas... tentu sang parbu akan mengirim barisan menggempur Kadipaten Tandes..."
Tiba-tiba Gendrasakti meloncat bangun dan membentak kepada Dwipa.
"Bangsat, bangunlah dan panggil Dimas Suranata ke sini! Ingat, kalau ada yang bertanya kau harus menceritakan bahwa rombonganmu dicegat dan dirampok oleh Jaka Galing anak Panembahan Ciptaning di dalam hutan dan bahwa gustimu Dewi Cahyaningsih dan puterinya telah mereka culik, mengerti?"
Dwipa berlutut menyembah lalu mengundurkan diri uantuk menyampaikan perintah memenggil Suranata. Tak lama kemudian Suranata datang menghadap. Ia adalah seorang perwira yang terkenal gagah dan menjadi tangan kanan Gendrasakti hingga mendapat julukan "Banteng Tandes".
"Dimas Suranata, apakah Dwipa telah menceritakan peristiwa yang dialami oleh isteri dan puteriku?"
Tanya Gendrasakti setelah mempersilahkan Suranata duduk.
"Sudah, Kang Mas Adipati, tapi belum jelas. Mohon keterangan lebi jauh,"
Jawab Suranata.
"Si keparat Jaka Galing, anak Panembahan Ciptaning dukun palsu itu, ternyata telah memberontak dan menjadi perampok. Dia dan kawan-kawannya telah menjegat mbakyumu Dewi Cahyaningsih dan anakku Puspasari di dalam hutan Kledung dan membunuh mati sebelas orang pengawal serta menculik mbakyumu dan keponakanmu. Sekarang jangan sampai terlambat, adimas, kau kerahkan barisan tamtama dan seranglah kawanan perampok di hutan Kledung itu. Bawalah Dwipa sebagai petunjuk jalan."
"Baiklah, Kang Mas Adipati. Jangan kau khawatir, kalau baru Jaka Galing dan beberapa orang kawannya saja bukan makanan keras bagiku. Mohon pangestumu saja!"
"Berangkatlah, adimas, dan doa restuku bersamamu!"
Pada saat Suranata menyiapkan barisan tentaranya, diam-diam Adipati Gendrasakti memberi pesan kepada Dwipa untuk membawa beberapa orang kawan ikut dalam barisan itu dan kelak setelah dapat mengobrak-abrik sarang Jaka Galing, hendaknya Dewi Cahyaningsih dan Puspasari dibunuh di dalam keributan pertempuran itu.
Biarpun Suranata telah menyatakan kesanggupannya dan telah berangkat membawa sepasukan prajurit seratus dua puluh orang banyaknya, namun Adipati Gendrasakti tetap merasa tidak enak hati, Ia merasa khawatir dan entah bagaimana, ada sesuatu yang tak sedap terasa dalam hatinya. Belum lama barisan Suranata berangkat, tiba-tiba terdengar gong berbunyi dan seorang penjaga memberi laporan sambil berlari-lari bahwa telah datang seorang utusan dari Sang Prabu Brawijaya dari Majapahit dan utusan itu bersama rombongannya telah memasuki pintu gapura. Kalau ada petir menyambarnya di saat itu, mungkin Gendrasakti tidak sanggup dan setakut saat ia mendengar laporan ini. Bergegas-gegaslah ia berdiri dari kursinya, bertukar pakaian lalu keluar untuk menyambut tamu agung itu.
Diam-diam ia memerintahkan pelayan kepercayaannya untuk memberitahu kepada pegawai-pegawai pribadinya untuk berjaga-jaga dan bilamana perlu, membelanya. Ia menyangka kedatangan ini tentu ada hubungannya dengan Dewi Cahyaningsih, sungguhpun menurut perhitungan agak tidak masuk akal bahwa sang prabu dapat mengetahui sedemikian cepat. Akan tetapi, ketika melihat bahwa rombongan yang datang hanya terdiri dari belasan orang pengiring yang mengawal dua orang laki-laki, hatinya menjadi tenang kembali. Ia merasa girang sekaali melihat bahwa dua orang utusan yang datang itu adalah seorang laki-laki tua yang dikenalnya, yakni penasihat Majapahit bernama Ki Ageng Bandar dan seorang pemuda tampan dan berpakaian indah sekali ialah seorang Pangeran, putera selir, dan bernama Pangeran Bagus Kuswara! Dengan senyum lebar, Adipati Gendrasakti menyambut para tamunya.
"Wahai, Paman Bandar, angin baik dari manakah yang meniup paman sampai ke pondokku yang buruk ini?"
Kemudian kepada Pangeran Bagus Kuswara, ia berkata.
"Dimas Pangeran, kau makin tampan dan gagah saja! Kalian baik-baik saja bukan?"
Mereka saling menyapa dan menyalam denag gembira dan Adipati Gendrasakti lalu menggiringkan para tamu agungnya ke ruang dalam. Para pelayan sibuk melayani mereka, mengeluarkan segala hidangan yang terbaik dengan sikap yang sangat hormat. Para pelayan wanita itu tak dapat mencegah mata mereka yang mengerling kearah Pangeran yang tampan itu dengan kagum sekali. Dan Pangeran ini, yang biasa hidup mewah dan memang terkenal sebagai seorang Pangeran muda yang mata keranjang, tiada hentinya melirik ke sana ke mari mencari "obat mata". Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, Ki Ageng Bandar menuturkan maksud kedatanganya.
"Karena ananda Adipati telah berbualn-bulan tidak pernah datang menghadap ke Majapahit, maka saya diutus oleh sang prabu untuk menjenguk ke Kadipaten Tandes melihat keadaan. Gusti prabu merasa khawatir kalau-kalau di sini terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki. Akan tetapi, syukurlah bahwa ternyata keadaan di sini tentram dan damai."
Ki Ageng Bandar lalu minum air teh wangi yang dihidangkan dengan nikmatnya.
"Dan aku hanya ikut saja, Kang Mas Adipati. Ingin melihat betapa cantiknya Kadipatenmu dan ingin sekali aku berjalan-jalan di tepi pantai laut!"
Kata Pangeran Bagus Kuswara, kemudian Pangeran ini teringat akan kakaknya dan bertanya.
"Dan di manakah kakang mbok Dewi Cahyaningsih, Kang Mas? Aku tidak melihat beliau keluar menemui kami."
Gendrasakti menghela napas dan tiba-tiba wajahnya berubah sedih, Setelah menghela napas berkali-kali, akhirnya berkata.
"Inilah yang mengganggu pikiranku dimas Pangeran. Memang dilihat dari luar seakan-akan di sini tidak terjadi sesuatu, akan tetapi sebenarnya telah terjadi peristiwa hebat yang menggoncangkan seluruh Kadipaten Tandes ini!"
Ki Ageng Bandar memandang kepada tuan rumah dengan heran.
"Ada peristiwa hebat apakah, ananda Adipati?"
"Kemarin aku telah mengutus isteriku yayi Dewi Cahyaningsih beserta anakku Puspasari untuk menghadap Rama Prabu di Majapahit dengan dikawal oleh dua belas orang pengawal pilihan. Akan tetapi..."kembali Adipati itu menghela napas dan tiba-tiba saja dari kedua matanya menitikkan dua butir air mata!
"Apa yang terjadi?"
Kedua orang tamu itu bertanya cemas.
"Mereka telah dicegat perampok yang dikepalai seorang perampok muda bernama Jaka Galing. Para pemikul tandu dan para pengawal dibunuh mati, hanya seorang saja yang dapat menyelamatkan diri, sedangkan..."
Pangeran Bagus Kuswara memegang lengan kakak iparnya.
"Apa yang terjadi dengan kakang mbok dan puterinya?"
"Kakakmu dan... Puspasari... telah... telah diculik oleh gerombolan Jaka Galing...!
"Ya Jagat Dewa Batara!"
Ki Ageng Bandar menyebut nama dewata.
"Babo, babo! Si keparat Jaka Galing itu harus dibinasakan!"
Pangeran Bagus Kuswara mencaci. Adipati Gendrasakti lalu menuturkan betapa ia telah mengutus Suranat membawa seratus dua puluh orang prajurit untuk membasmi kawanan perampok itu dan menolong isteri dan puterinya. Mereka lalu bercakap-cakap dan Adipati itu sedapat mungkin memperlihatkan wajah muram dan sedih. Akan tetapi, Pangeran muda yang sembrono itu dapat menghibur suasana dengan kata-katanya yang jenaka dan gembira. Bahkan ia berani bertanya.
"Kang Mas Adipati, aku mendengar berita angin bahwa kau telah memboyong kembang juita dari Surabaya, betulkah?"
Ki Ageng Bandar menggunakan matanya memberi isyarat untuk menegur Pangeran yang sembrono ini, akan tetapi Adipati Gendrasakti menjawab.
"Kau maksudkan Sariti? Memang benar adimas."
"Kang Mas, mengapa kau anggap kami sebagai orang-orang asing? Bukankah kita masih sanak dekat? Mengapa kau simpan selir-selirmu di dalam dan tidak disuruh menyambut kami?"
Pertanyaan ini memang kurang ajar sekali, akan tetapi karena Pangeran ini sudah biasa berlaku demikian, Adipati Gendrasakti hanya tersenyum dan menjawab,
"Dimas Pangeran, aku hanyalah seorang Adipati kecil, tidak seperti engkau. Mana aku berani memelihara banyak selir? Selirku hanyalah Sariti seorang!"
Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo