Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 10


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Ha-haha, pertapa cabul, kalau benar berani, majulah!"

   Kata Ki Jembros sambil menangkis pukulan dari samping yang dilakukan oleh Empu Tunjungpetak. Sebetulnya Empu Tunjungpetak, sebagai seorang ahli pula dalam pembuatan keris, tentu saja mempunyai sebatang keris pusaka ampun, akan tetapi melihat lawan juga bertangan kosong, maka dia segan mengeluarkan senjata, apalagi setelah melihat Resi Harimurti membantunya.

   "Tar-tar-tarrr...! Wuuuuutttt... plak-plakkk!"

   Serangan pecut dan kipas itu ditangkis oleh Ki Jembros sambil tertawa-tawa dan tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti itu membuat Resi Harimurti terdorong ke belakang.

   Akan tetapi, Empu Tunjungpetak sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya dan kini,menghadapi dua

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   orang lawan yang sama sekali bukan orang-orang lemah melainkan pertapa-pertapa yang sakti, Ki Jembros terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya dan terjadilah pertandingan yang amat hebat dan seru,pertandingan yang menyebabkan debu berterbangan dan tercipta pusaran angin karena hawa sakti mereka yang terkandung dalam tiap gerakan sehingga tidak ada perajurit biasa-biasa berani mendekat.

   Hebat bukan main perang kecil yang terjadi di alun-alun depan keraton itu. Keduanya bertempur dengan mati-matian, karena pihak Lembu Sora menganggap bahwa mereka dikhianati dan hendak dibasmi oleh Patih Nambi, sedangkan pihak Patih Nambi menganggap bahwa Lembu Sora dan kawan-kawannya hendak memberontak dan hendak membunuh sang prabu. Maka kedua pihak melawan mati-matian, sungguh pun keadaan mereka tidak seimbang sama sekali karena pihak Lembu Sora hanya ada seratus orang lebih sedikit, sedangkan pihak kerajaan yang dipimpin seribu orang pasukan!

   Yang merasa gembira adalah Mahapati dan selirnya, Lestari. Wanita muda ini dengan senyum manis dan sinar mata berkilat-kilat seperti mata harimau melihat darah, menonton pertandingan itu dan dia mengepal-gepal tangannya yang kecil,dan dari dalam lehernya yang panjang dan indah bentuknya itu terdengar geram-geram kecil seperti orang merintih kenikmatan, seperti orang yang terpuaskan nafsu berahinya.

   "Ibu... ibu... Tejo... lihatlah... hemmm... lihatlah... tidakkah puas hati kalian...?"

   "Eh, kau bicara apa, manis?"

   Mahapati merangkulnya dan memandangnya dengan heran.

   Lestari menggeserkan hidungnya dipipi yang mulai kisut itu, memberi ciuman hangat.

   "Paduka hebat! Lihat betapa Lembu Sora dan kawan-kawannya terbasmi! Hati saya girang sekali!"

   "Eh, giranglah hatimu? kenapa girang melihat pertempuran mengerikan di bawah itu?"

   "Mengerikan? Mereka itu merintis jalan yang paling baik untuk paduka, bukan?"

   Mahapati menarik kepala selirnya dan mencium mulutnya dengan penuh dan mesra.

   "Untuk kita, manis, untuk kita berdua!"

   Dia lalu memandang ke bawah lagi, lupa akan pertanyaannya ketika dia tadi seperti mendengar selirnya menyebut-nyebut "ibu", dan memang pertempuran di bawah itu sungguh hebat. Ki jembros yang dikeroyok oleh dua orang kawannya itu,oleh Empu Tunjungpetak yang merupakan kakak seperguruannya dan memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya, dan oleh Resi Harimurti yang juga tinggi tingkat kepandaiannya, akan tetapi tetap saja Ki Jembros memperhatikan keunggulan dan sama sekali tidak terdesak!

   Akan tetapi selain Ki Jembros, semua pembantu Lembu Sora termasuk dia sendiri,mulai terdesak hebat. Lembu Sora sudah menderita luka-luka karena dialah yang terkurung dan diserang oleh banyak perajurit yang membantu Patih Nambi, dan Joko Taruno yang kemudian muncul dan ikut mengeroyok untuk membalas kematian ayahnya,Tumenggung Pamandana dan beberapa orang perwira lagi. Namun, tidak pernah senopati yang gagah perkasa ini mengeluh biar pun tubuhnya sudah mulai penuh belepotan darah dan entah sudah berapa banyak perajurit yang roboh oleh keris di tangan kanan kirinya. Dia mengamuk sambil menggereng dan menantang-nantang,bahkan luka-lukanya membuat dia makin beringas, sepak terjangnya makin menggiriskan, seolah-olah darahnya sendiri itu menjadi penambah semangatnya!

   Juru Demung juga mengamuk dan dia dihadapi oleh senopati Pranarojo yang sakti dan yang juga dibantu oleh banyak perajurit sehingga Juru Demung yang kelihatan letih itu mulai terdesak hebat. Demikian pula Raden Gajah Biru yang dihadapi oleh Tumenggung Singosardulo dan belasan orang perajurit, sudah terdesak dan menderita luka-luka, sungguh pun dia masih terus bertahan sekuatnya. Yang sudah kelihatan payah adalah para perajurit pengikut Lembu Sora. Mereka itu adalah perajurit-perajurit pilihan dan kalau hanya dikeroyok oleh dua orang perajurit yang dibawa Patih Nambi, agaknya belum tentu mereka kalah. Akan tetapi,perbandingan mereka adalah satu lawan sepuluh! maka biar pun berhasil menjatuhkan lawan masing-masing sedikitnya dua orang, akhirnya mereka sendiri roboh seorang demi seorang sampi akhirnya habis sama sekali! Mereka menggeletak di sana-sini di antara mayat-mayat berserakan dari pihak lawan yang roboh oleh amukan mereka.

   "Kakangmas resi..."

   "Emmm...?"

   Resi Mahapati menjawab manja!

   "Mereka itu memperlihatkan kegagahannya di sana, mengapa paduka diam saja? Padahal sudah sering kali paduka memamerkan kejantanan paduka kepada saya. Apakah kejantanan paduka itu hanya kalau berada di pembaringan dalam kamar saja?"

   "Ihh? Ha-ha-ha, kau belum tahu akan sepak terjang suamimu, cah ayu? Kau lihat Resi Mahapati oleh ejekan kekasihnya itu, maka dipasanglah sebatang anak panah pada gendewanya yang memang telah disediakan dan dipersiapkan kalau-kalau teman-teman di bawah membutuhkan bantuan, maka sejak tadi dia diam saja tidak mau menggunakan gendewa dan anak panahnya. Akan tetapi ejekan kekasihnya membakar hatinya.

   "Lihat panahku pertama. Aku akan membunuh Juru Demung dari sini dengan sekali jemparing!"

   Katanya dengan penuh gaya sambil mementang gendewanya dan mengincar kearah mereka yang sedang bertempur di bawah.

   "Mana bisa kena tepat? Dia sedang dikepung dan dikeroyok. Jangan-jangan malah mengenai orang lain!"

   "Pasti kena dan kalau tepat mengenai dadanya, apa upahnya, sayang?"

   "Upahnya?"

   Lestari tersenyum manis, mencibirkan bibir bawahnya yang merah.

   "Upahnya cium satu kali!"

   Resi Mahapati tertawa, kemudian melanjutkan penarikan tali gendewanya.

   "Nah,lihatlah dia roboh, Tari...!"

   Tali gendewa dilepas, terdengar suara menjepret dan nampak sinar kilat meluncur dan menyambar ke bawah. Sang Resi ini memang terkenal sebagai seorang ahli panah yang amat hebat. Biar pun dalam hal ilmu pukulan dia masih kalah jauh dibandingkan dengan kakak seperguruannya, yaitu Empu Tunjungpetak, akan tetapi dalam hal ilmu sihir panah, dia jauh lebih unggul.

   Juru Demung memang sudah payah. Seperti juga hanya keadaan Lembu Sora, dia telah menerima banyak tusukan dan bacokan sehingga tubuhnya telah luka-luka. Bahkan lebih parah daripada Lembu Sora. Akan tetapi dia masih terus mengamuk dan tidak akan menyerah sebelum roboh. Tiba-tiba, sinar kilat anak panah dari atas itu menyambar dan tepat mengenai dada Juru Demung!

   "Wirrr...cepp.. aahhhh!"

   Juru Demung mendekap anak panah yang menancap di dadanya, memandang terbelalak ke atas dan melihat Resi Mahapati berada di menara, dia mengeluarkan suara yang tak dapat dimengerti artinya, lalu roboh terjengkang dan tewas seketika. Di atas menara, Lestari sudah merangkul Resi Mahapati dan ditarik ke dalam agar tidak nampak dari luar, kemudian dengan penuh kegirangan dan kemesraan dia mencium pipi kakek yang merasa amat bangga itu.

   "Eehhh, kenapa cium di pipi? Janjinya cium yang mesra, bukan sekedar ambung saja."

   Lestari tersenyum manja dan berkata.

   "Upahnya haruslah sesuai dengan jasanya, kakangmas resi! yang paduka panah hanya seorang yang tidak begitu berharga, maka upahnya pun cukup berharga ditukar dengan ambung pipi kiri. Dan nyawa orang yang mengamuk di bawah itu, siapa namanya tadi, yang kakangmas katakan sebagai adik seperguruan Ronggo Lawe..."

   "Raden Gajah Biru?"

   "Ya, nah kalau nyawa dia saya mau menukar dengan ambung di pipi kanan."

   "Ha-ha, engkau memang lucu. Nah, lihat betapa panahku akan menghabiskan nyawa Raden Gajah Biru!"

   Kembali gendewanya dipentang, anak panah dibidikkan dan setelah gendewa menjepret dan anak panah meluncur ke bawah seperti kilat menyambar, di bawah sana, di antara mereka yang sedang bertanding, terdengar teriakan keras dan robohlah Raden Gajah Biru karena lehernya tertembus anak panah! Tentu saja Lestari menjadi kagum sekali dan dengan kemesraan yang membuar si resi makin bangga hatinya, dia mencium pipi kanan sang resi dengan satu kali kecupan. Watak sang resi, di samping kekejaman dan kecurangannya sebagai akibat dari pengejaran cita-citanya yang setinggi langit, juga dia suka sekali dipuji. Apalagi kalau yang memujinya itu seorang seperti selirnya yang dicintainya itu. Dan seperti watak semua orang yang suka sekali menerima pujian, makin dipuji makin hebatlah dia berusaha untuk memperoleh pujian selajutnya!

   "Tari kekasihku, kalau sekarang aku menggunakan anak panahku untuk merobohkan Lembu Sora sendiri, apa upahnya darimu, manis?"

   "Dia? benarkah paduka dapat merobohkan dia yang begitu perkasa itu dari sini dengan anak panah?"

   Tanya Lestari girang.

   "Tentu saja. Akan tetapi, aku minta upahnya cium di mulut."

   "Baiklah, kakangmas resi!"

   Sekali ini Resi Mahapati agak lama membidikkan anak panahnya, dan lebih kuat pula dia menarik tali gendewanya karena dia pun maklum bahwa merobohkan Lembu Sora dengan anak panah tidaklah semudah dua orang tadi. Kalau saja Lembu Sora belum terluka seperti itu, agaknya malah tidak mungkin dapat mengharapkan panahnya akan mengenai tubuh senopati yang perkasa itu, apalagi melukainya. Akan tetapi, pada saat itu Lembu Sora juga sudah payah sekali, gerakannya sudah mulai mengendur karena banyaknya darah yang keluar dari tubuhnya dan terutama sekali karena dia melihat bahwa dua orang pembantunya yang setia telah roboh sehingga kini hanya tinggal dia sendiri dan Ki Jembros saja yang masih mengamuk dan dikeroyok!

   "Prattt...singgg...!!!"

   Anak panah yang terlepas dari gendewa di tangan Mahapati kini tak nampak bayangannya, seperti kilat menyambar saja, dan karena Mahapati maklum akan kedigdayaan Lembu Sora, maka yang diarah adalah pusar senopati itu. Memang tidak mudah memanah pusar dari atas, akan tetapi yang diarahnya itu merupakan tempat berbahaya, karena dari tempat dia berdiri, letak pusar sasarannya tertutup oleh ulu hati.

   Pada saat itu Lembu Sora memang sedang sibuk membela diri dan juga mengirim serangan-serangan balasan yan masih berbahaya. Sebagai seorang yang sakti, dia dapat melihat berkelebatannya sinar dari atas dan mendengar suara mendesingnya anak panah, dan biar pun dia sama sekali tidak sempat lagi mengelak karena dia masih dapat mendoyongkan tubuh atasnya ke belakang dan sinar itu menyambar ke bawah dan mengenai paha kaki kananya.

   "Cappp...!"

   Tubuh Lembu Sora terhuyung dan dia menengadah. Tampak olehnya Mahapati di atas menara memegang gendewa. Seperti sinar kilat memasuki kepalanya, Lembu Sora kini dapat melihat apa yang kemungkinan besar telah terjadi dan dilakukan oleh Resi mahapati, teringatlah dia akan semua perbuatan dan kata-kata resi itu dari sejak awal terjadinya desas-desus atau berita tentang kematian Kebo Anabrang olehnya,sampai kepada berita-berita selajutnya yang dibawa resi itu dan kunjungan resi itu ke Pegunungan Pandan. Terbukalah matanya dan kini dia mengerti bahwa Resi Mahapati berdiri di balik ini semua, juga pengepungan dan penyerbuan terhadap dia seteman di alun-alun ini tentu akibat siasat sang resi itu!

   "Mahapati penghianat...!"

   Dia berteriak lantang.

   "manusia macam engkau kelak akan mati cineleng-celeng (dicincang)!"

   akan tetapi Lembu Sora tidak dapat melanjutkan kutukannya karena tubuhnya telah dihujani senjata sehingga dia roboh dan tewas. Joko taruno, atau Kebo Taruno putera Kebo Anabrang, cepat meloncat ke depan, menggunakan parangnya yang dicabetkan ke leher musuh besarnya itu,memenggal kepala Lembu Sora sebagai pelaksanaan pembalasan dendamnya.

   Para perajurit Mojopahit bersorak-sorak menghabisakan sisa anak buah Lembu Sora dan akhirnya hanya tinggal Ki jembros seoarang yang masih terus melawan pengeroyokan dua orang pendeta itu. Senopati Pranarojo yang mencoba untuk membantu dua orang pendeta itu, baru segebrakan saja sudah terlempar sampai bergulingan diserempet hawa pukulan dari tangan Ki Jembros. Melihat ini, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba untuk terjun ke gelanggang pertempuran yang amat dahsyat itu. Setelah mendekap dan mencium mulut Lestari sebagai upahnya merobohkan Lembu Sora, kini Lestari berbisik manja.

   "Kakangmas, lihat kakek mengerikan itu yang masih terus mengamuk."

   Mahapati menjenguk ke bawah dan tertawa.

   "Ha-ha, memang kakek itu hebat sekali dan sekarang aku dapat menduga siapa adanya orang itu, seperti yang diceritakan oleh Reksosuro dan Darumuko. Biar aku membantu kakang Empu Tunjungpetak dan kakang Resi Harimurti. Kalau tidak aku yang turun tangan, agaknya sukar merobohkan kakek gila itu,"

   Katanya dengan nada suara sombong.

   "Kalau benar paduka dapat merobohkan dia..."

   "Ha-ha, upahnya...?"

   "Upahnya malam nanti..., hi-hik...!"

   Lestari terkekeh genit dan manja.

   Mahapati kembali merangkul dan menciumnya.

   "Engkau selalu menyenangkan hatiku. Lihatlah baik-baik betapa suamimu akan merobohkan kakek gila di bawah itu. Kau tunggulah saja di sini!"

   Setelah berkata demikian, Resi Mahapati lalu lari menuruni tangga menara dan berloncatan menghampiri tempat terjadinya pertandingan dahsyat itu yang dikurung oleh para perajurit dari tempat yang agak jauh karena mereka tidak berani mendekat sama sekali.

   Sambil mengeluarkan pekik melengking yang bukan hanya ditujukan untuk menggetarkan Ki Jembros, akan tetapi terutama sekali agar tedengar dari jendela menara, Resi Mahapati terjun ke gelanggang pertarungan itu membantu Empu Tunjung Petak dan Resi Harimurti. Dua orang pertapa ini merasa lega dengan masuknya Resi Mahapati karena mereka berdua sudah merasa kewalahan menghadapi Ki Jembros yang benar-benar amat sakti itu, sungguh pun Ki Jembros sendiri juga tidak begitu mudah saja untuk dapat merobohkan mereka berdua yang menggabungkan kekuatan untuk menghadapinya itu. Kini, masuknya Resi Mahapati yang masih segar tenaganya membuat Ki Jembros terkejut dan terdesak. Akan tetapi, kakek ini tidak menjadi gentar malah tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, inilah kiranya yang bernama Resi Mahapati, si pengecut laknat itu! Pantas saja muridku amat membencimu, biar pun belum pernah melihatmu. Kiranya memang wajahmu membayangkan seorang manusia berwatak rendah!"

   "Kakek gila mampuslah engkau!"

   Resi Mahapati membentak marah dan dia sudah menerjang ke depan sambil mengerahkan aji kesaktiannya dan juga dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menundukkan Ki Jembros. Ki Jembros menangkis, akan tetapi diam-diam dia terkejut ketika merasa betapa jantungnya tergetar dan berdebar keras, kepalanya menjadi agak pening. Itulah akibat kekuatan sihir yang mulai dipergunakan oleh Resi Mahapati melalui pandang matanya! Kalau saja bukan Ki Jembros yang diserang kekuatan ilmu sihirnya ini,tentu sudah celaka karena kekuatan sihir ini dapat melumpuhkan lawan.

   Betapa pun juga, serangan sihir itu merupakah hal yang amat mengacaukan Ki Jembros karena dia harus membagi perhatiannya, melawan serangan luar dan juga dalam! Hal ini mengacaukan gerakannya, apalagi tiga orang pengeroyoknya itu menghujankan serangan dan setiap pukulan mereka merupakan pukulan-pukulan maut yang amat kuat.

   "Plakkkk!"

   Sebuah tamparan dari tangan kiri Empu Tunjung Petak menyelinat di antara banyak serangan yang dapat ditangkis Ki Jembros, dan tamparan yang satu ini sukar dielakkannya lagi sehingga mengenai pundaknya. Bukan main hebatnya tamparan Empu Tunjungpetak ini karena tamparan tangan kirinya mengandung aji kesaktian Wisa Dahana yang panasnya melebihi api. Dengan aji kesaktian ini,kabarnya tangan kiri Empu Tunjungpetak itu mampu membuat keris pusaka tanpa menggunakan api! Ki Jembros mengeluarkan teriakan seperti seekor singa meraung dan tubuhnya terhuyung, akan tetapi segera dia meloncat dan kaki tangannya bergerak seperti badai mengamuk sehingga tiga orang pengeroyoknya terpaksa tidak berani mendekat dan mengelak.

   Pertarungan dilanjutkan dan biar pun Ki Jembros merasa betapa pundaknya amat nyeri dan panas, namun amukannya masih hebat sekali dan setiap kali tiga orang pengeroyoknya itu beradu lengan dengannya, mereka tentu mencelat atau terdorong mundur sampai beberapa langkah. Akan tetapi, begitu mereka bertiga mendesak dan menyerang dengan berbareng dari tiga jurusan, ditambah dengan serangan sihir yang tetap memancar dari pandang mata Resi Mahapati, Ki Jembros menjadi bingung dan kembali terkena pukulan dari seorang di antara mereka. Dan pukulan dari orang-orang tua ini bukanlah pukulan biasa, melainkan pukulan yang mengandung kekuatan dahsyat dari aji kesaktian mereka, yang bagi lawan lain yang tidak memiliki kekebalan seperti Ki Jembros tentu dapat mematikan.

   "Ki Jembros, berlututlah engkau...!"

   Tiba-tiba terdengar teriakan terdengar dari bentakan mulit Resi Mahapati dan secara aneh, Ki Jembros merasa kedua lututnya lemas dan hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut.

   "Gila...!"

   Bentaknya dan.

   "Wuuuuttt...!"

   Lengan kirinya yang panjang menyambar kearah Mahapati, akan tetapi resi ini dengan tangkas sudah mengelak dengan loncatan ke belakang sedangkan Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti sudah menubruk dari belakang sehingga Ki Jembros terpaksa membalik dan tidak mendesak Resi Mahapati.

   "Plak-plak... desss....!"

   Ketika Ki Jembros menangkisi serangan-serangan Resi Harimurti yang menggunakan kipas bambunya dan Empu Tunjungpetak yang menggunakan tangannya yang ampuh, Resi Mahapati menggunakan kesempatan ini untuk menghantam dari belakang dan tepat mengenai punggung Ki Jembros.

   Kembali Ki Jembros terhuyung dan dari dalam dadanya keluar gerengan melalui kerongkongannya. Dia membalik dan terus mengamuk. Kalau saja hantaman-hantamannya itu mengenai Resi Mahapati, tentu akan tamatlah riwayatnya. Akan tetapi Mahapati adalah seorang yang cerdik dan dia sudah cepat-cepat menghindar dengan loncatan ke belakang, memberi kesempatan kepada dua orang temannya untuk menerjang selagi Ki Jembros mengejarnya.

   Demikianlah, keadaan Ki Jembros tiada bedanya dengan seekor harimau buas yang amat kuat dan berbahaya dikurung oleh orang-orang yang cerdik dan curang, yang menyerang selagi harimau itu membelakanginya dan lari kalau harimau itu membalik dan mengejarnya untuk memberi kesempatan kepada pengurung di belakang harimau untuk menyerang. Beberapa kali Ki Jembros menerima hantaman dari belakang, baik hantaman tangan Resi Mahapati atau Empu Tunjungpetak yang ampuh, juga hantaman kipas bambu atau lecutan pecut panjang di tangan Resi Harimurti.

   Karena dia sendiri tidak pernah berhasil membalas pukulan-pukulan itu dan tiga orang pengeroyoknya selalu dapat menghindarkan setiap serangan balasan, marahlah Ki Jembros. Kakek yang biasanya gembira dan tertawa-tawa itu, kini menggereng-gereng seperti harimau terluka. Dia maklum bahwa dia telah dikepung pasukan Mojopahit dan bagaimana pun juga, dia tidak dapat meloloskan diri. Lembu Sora dan kawan-kawannya yang dibantunya telah tewas semua dan dia harus berani mengadu nyawa dengan tiga orang lawan tangguh ini, karena kalau dilanjutkan bertanding seperti ini, dia akhirnya akan kehabisan tenaga dan kalah.

   Terdengar teriakannya yang menggetarkan bumi dan banyak perajurit Mojopahit yang roboh pingsan, ada yang menjadi lumpuh seketika kedua kaki mereka dan ada pula yang menggigil ketika mendengar teriakan ini. Lalu Ki Jembros menubruk maju,kedua tangannya menyambar ke arah Empu Tunjungpetak yang baru saja kembali berhasil menampar dadanya. Seperti tadi, Empu Tunjungpetak meloncat ke belakang untuk memberi kesempatan kepada dua kawannya agar menyerang dari belakang. Dan memang, Resi Harimurti dan Resi Mahapati segera menyerang dari belakang dengan hebatnya, dan pecut panjang Resi Harimurti lebih dulu dapat mengenai punggung dan tengkuk Ki Jembros dengan lecutannya.

   "Tarrr... plakkk, brettt...!"

   Baju di punggung itu robek seperti dikerat pisau,punggung dan tengkuknya terkena lecutan, rasanya panas seperti disengat kalajengking. Akan tetapi, sekali ini Ki Jembros tidak memperdulikan serangan dari belakangnya, menubruk ke arah Empu Tunjungpetak.

   "Plakk! Desssss....!"

   Empu Tunjungpetak cepat menangkis serangan lawan dan pada saat itu, pukulan kipas bambu di tangan Resi Harimurti telah mengenai lambung kiri dan hantaman tangan Resi Mahapati mengenai punggung dengan hebat sehingga tubuh Ki Jembros terdorong ke depan. Hal ini mencelakakan Empu Tunjungpetak,karena kecepatan gerak tubuh Ki Jembros menjadi makin hebat tersurung oleh serangan dari belakang itu dan tiba-tiba tubuhnya telah berhasil menubruk tubuh Empu Tunjungpetak dan kedua tangannya telah berhasil mencekik leher Empu Tunjungpetak! Empu Tunjungpetak cepat menggunakan kedua tangan untuk berusaha melepaskan cekikan, namun terdengar Ki Jembros tertawa tergelak-gelak dan cekikannya tidak pernah mengendur. Resi Mahapati yang melihat kakak seperguruannya terancam bahaya, cepat melakukan pemukulan-pemukulan hebat dari belakang, demikian pula Resi Harimurti, akan tetapi Ki Jembros tidak mempedulikan serangan dan pukulan-pukulan mereka berdua itu, dan melihat betapa Empu Tunjungpetak yang telah dicekiknya itu masih juga belum menyerahkan nyawanya, Ki Jembros tertawa bergelak lalu dia menggerakkan kepalanya, dihantamkan ke depan mengenai kepala Empu Tunjungpetak.

   "Prakkkk!"

   Pecahlah kepala Empu Tunjungpetak dan pada saat itu, Resi Mahapati dan Resi Harimurti juga mengerahkan seluruh tenaga mereka menghantam kearah tengkuk dan punggung Ki Jembros.

   "Dessss! Dessss...!"

   Ki Jembros melepaskan tubuh Empu Tunjungpetak yang sudah tak bernyawa lagi, dan dia muntahkan darah segar, cepat membalik dengan kedua lengan menyambar. Akan tetapi kedua orang lawannya itu telah mencelat mundur dan memandang dengan muka pucat, mata terbelalak penuh rasa kaget dan jerih melihat betapa Empu Tunjungpetak telah tewas dan juga betapa Ki Jembros yang telah menerima pukulan-pukulan maut bertubi-tubi itu masih dapat melawan dengan demikian hebatnya. Muka yang penuh cambang bauk itu berlepotan dara yang menyembur dari mulutnya dan matanya terbelalak, mulutnya terbuka dan masih mengeluarkan suara tertawa! Tiba-tiba Ki Jembros menubruk, mengembangkan kedua lengannya. Resi Mahapati dan Resi Harimurti cepat mengelak ke belakang, akan tetapi ternyata Ki Jembros hanya menubruk tanah dengan kedua tangan yang dikembangkan dan sama sekali tidak bergerak lagi.

   Ketika dengan hati-hati dua orang resi itu memeriksa tubuh kakek raksasa itu,ternyata Ki Jembros telah mati pula. Para perajurit bersorak gembira melihat orang terakhir yang mengerikan dari pihak musuh itu tewas, akan tetapi diam-diam Resi Mahapati dan Resi Harimurti harus mengakui bahwa selama hidup, baru sekarang ini menghadapi lawan yang demikian saktinya. Yang paling berduka mendengar berita kematian Lembu Sora adalah sang prabu sendiri. Semenjak kematian Ronggo Lawe, sang prabu sudah merasa amat berduka,apalagi kini ditambah dengan kematian Lembu Sora, seorang yang paling dipercaya,paling disayang selama ini, sejak sebelum dia menjadi raja sampai sekarang!

   Kalau dia teringat betapa Lembu Sora di waktu masih sengsara dahulu, melakukan perjalanan penuh derita bersama Dyah Tribuana, melindunginya dan membelanya dengan taruhan nyawa, bahkan pernah menyediakan tubuhnya untuk dijadikan tempat duduk oleh sang prabu dan isterinya karena tempat itu kotor dan becek, teringat akan semua pembelaannya di dalam perang, maka hati sang prabu seperti disayat-sayat rasanya mendengar kematian Lembu Sora sebagai seorang pemberontak! Sang prabu adalah seorang manusia yang bijaksana, yang tidak akan berduka menghadapi kematian siapa pun, akan tetapi yang mendukakan hatinya adalah melihat Lembu Sora mati sebagai seorang pemberontak.

   Apalagi ketika para isterinya, putri-putri mendiang Raja Kertanegara, menyatakan penyesalan mereka atas peristiwa yang mengakibatkan kematian Lembu Sora, sang prabu menjadi makin berduka. Akan tetapi,rasa girang yang diperlihatkan oleh isterinya yang paling disayangnya, yaitu Sri Indreswari atau Dara Petak dari Malayu, yang merasa puas mendengar kematian Lembu Sora yang dianggapnya berdosa karena membunuh Kebo Anabrang senopati yang disayang oleh isteri dari Malayu ini, membuat hati sang prabu yang berduka itu menjadi hancur dan bingung. Dan akhirnya, sang prabu jatuh sakit dan semenjak itu, kesehatannya mundur sekali, wajahnya sering sekali murung dan sang prabu banyak termenung dengan wajah muram.

   Sementara itu, peristiwa yang terjadi berturut-turut semenjak pemberontakan Ronggo Lawe yang baru lima tahun kemudian disusul pemberontakan Lembu Sora, juga menyedihkan hati seorang senopati tua di Kerajaan Mojopahit. Senopati itu adalah Aryo Pranarojo, yang juga merupakan seorang di antara deretan senopati yang setia dan sudah bertahun-tahun mengabdi kepada Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana semenjak sang prabu masih belum menjadi raja dan bernama Raden Wijaya dulu. Aryo Pranarojo ini bukan lain adalah ayah dari Ki Patih Nambi! Sebagai seorang yang bijaksana, Aryo Pranarojo berduka karena melihat kenyataan bahwa terjadinya huru-hara, terjadinya pemberontakan-pemberontakan itu, yang mengakibatkan gugurnya banyak senopati gemblengan dan pilihan, semata-mata adalah karena pengangkatan puteranya, Raden Nambi sebagai patih. Dan ayah ini pun melihat betapa puteranya mempertahankan kedudukannya itu dengan mati-matian.

   Melihat betapa kedudukan yang dipertahankan puteranya itu telah mengakibatkan gugurnya begitu banyak senopati dan perajurit, hati Aryo Pranarojo seperti diremas-remas rasanya. Begitu banyak sahabat-sahabatnya yang gugur, Ronggo Lawe,Kebo Anabrang, Lembu Sora, Juru Demung, Raden Gajah Biru, bahkan juga pertapa-pertapa sakti seperti Empu Tunjungpetak dan Ki Jembros, belum lagi ratusan bahkan ribuan perajurit, telah tewas. Dan setelah tewasnya Lembu Sora, dia melihat betapa sang prabu menjadi berduka dan kesehatannya mundur, maka makin sedihlah hatinya. Maka dia teringat kepada sahabatnya yang terbaik sejak muda, yaitu Aryo Wirorojo,ayah Ronggo Lawe yang kini menjadi adipati di Lumajang. Sahabatnya itu, biar pun telah kehilangan puteranya, namun tidak mau mencampuri urusan perebutan kekuasaan, bahkan kini mengundurkan diri ke Lumajang setelah menerima bagian tanah dan sama sekali tidak mau campur tangan dalam urusan Mojopahit.

   Betapa bahagianya sahabatnya itu yang tidak mau mengikatkan dirinya. Teringat akan sahabatnya, dia pun lalu mengundurkan diri dan membawa keluarganya berangkat ke Lumajang, meninggalkan puteranya, Ki Patih Nambi yang masih haus akan kekuasaan dan mempertahankan kedudukannya melebihi nyawanya sendiri. Dan kepergian Aryo Pranarojo ini makin mendatangkan rasa kesepian di hari sang prabu, namun mengingat bahwa senopati ini sudah tua dan berhak untuk menghabiskan waktu hidupnya dengan tentram, sang prabu tidak tega untuk mencegahnya.

   Waktu berjalan terus, tidak memperdulikan segala peristiwa yang terjadi di dunia. Dan waktu akan menelan segalanya yang terbentang di hadapannya! Waktu akan menghapus segala noda dan luka dari hati manusia. Tidak ada kesukaan atau kedukaan yang dapat menahan, semuanya digulung oleh waktu! Akan tetapi, sebelum sang waktu menggulung dan menghapusnya, kita selalu menyimpan segala peristiwa itu sebagai kenangan, baik yang menyenangkan mau pun yang tidak menyenangkan. Dan penyimpanan sebagai ingatan atau kenangan inilah yang menimbulkan derita dalam hidup! Peristiwa yang menyenangkan badan atau batin, kita simpan sebagai pengalaman yang nikmat dan menyenangkan dan hal ini membuat kita selalu teringat dan selalu mengejar terulangnya kembali peristiwa itu. Dalam pengejaran inilah terjadi banyak sekali hal-hal yang menimbulkan derita hidup, karena pengejaran ini melahirkan kekerasan, yaitu kita ingin menyingkirkan segala penghalang tercapainya yang kita kejar-kejar sehingga dengan sendirinya perbuatan ini menimbulkan pertentangan dan permusuhan. Juga,kalau pengejaran kita tidak berhasil, maka timbullah kecewa dan duka.

   Sebaliknya,kalau pengejaran kita itu tercapai, kita akan menjadi bosan atau tidak lagi menghargai yang kita kejar-kejar itu karena kita haus akan pengalaman-pengalaman lain yang LEBIH menyenangkan. Sebaliknya, peristiwa yang tidak menyenangkan disimpannya sebagai pengalaman yang tidak enak sehingga kita ingin selalu menjauhi dan menentangnya. Di samping ini, peristiwa yang tidak menyenangkan menimbulkan amarah dan dendam sehingga membuat kita ingin sekali membalas kepada penyebab dari ketidaksenangan itu! Demikianlah, peristiwa yang disimpan dalam kenangan, baik yang menyenangkan mau pun yang tidak, menimbulkan serangkaian hal yang dapat menyeret kita ke lembah derita dan duka, sebelum sang waktu menggulung dan menghapusnya.

   Betapa akan lain keadaannya apabila kita dapat MENGAKHIRI segala peristiwa kita,baik yang menyenangkan maupun yang tidak, mengakhirinya pada saat itu pula dan tidak menyimpannya sebagai kenangan! Mengakhiri segala peristiwa berarti lenyapnya keinginan untuk mengulang, dan lenyapnya sakit hati dan dendam. Batin menjadi kosong dan hening, siap untuk menghadapi segala macam peristiwa yang terjadi saat ini tanpa dikotori oleh peristiwa masa lalu dan tanpa memusingkan perisitwa yang akan atau mungkin terjadi.

   Akan tetapi sayang, kita sudah terbiasa untuk mengenangkan kembali, terbiasa untuk mengunyah kembali segala peristiwa. Kalau kita berduka, kita sudah biasa untuk meremas-remas batin kita, mengenangkan semua yang mendukakan itu kembali sehingga timbullah penyesalan, sakit hati dan lain-lain. Sebaliknya kalau kita merasakan suatu kesenangan kita menyimpannya dalam kesenangan sehingga timbul pengejaran terhadap kesenangan-kesenangan itu yang tiada hentinya. Jadi sebelum sang waktu menggulung semua itu, sebelum sang waktu menggulung kita ke detik terakhir dari hidup kita, kita selalu dipermainkan oleh pikiran kita sendiri,diombang-ambingkan dalam kehidupan seolah-olah kita hidup dalam alam kenangan dan khayal dan tidak pernah hidup dalam alam kini atau saat ini!

   Empat tahun telah lewat tanpa terasa, dan memang empat tahun bukan apa-apa bagi sang waktu yang tak dapat diukur lagi berapa tuanya. Sejuta tahun, sepuluh juta tahun, seratus juta? Mungkin lebih! Dan dunia berputar terus. Manusia lahir dan mati, dan hidup selalu penuh derita, penuh permusuhan, dengan hanya sedikit sekali suka cita dibandingkan dengan banyaknya duka.

   Gunung Bromo merupakan sebuah di antara gunung-gunung yang besar dan tinggi di Jawa Dwipa dan merupakan sebuah gunung berapi yang mempunyai kawah besar yang selalu mengepulkan uap dan dianggap pula sebagai sebuah gunung yang keramat. Sesuai dengan namanya, gunung itu dianggap sebagai tempat yang dikuasai oleh sang Bathara Bromo, Dewa Api. Seperti keadaan gunung-gunung berapi, di lereng-lereng Gunung Bromo bayak terdapat batu-batu besar dan daerah-daerah tandus yang pernah dilalui oleh lahar,akan tetapi daerah-daerah lain di sekitarnya amat subur sehingga penuh dengan hutan-hutan yang lebat. Juga pegunungan ini mempunyai banyak puncak-puncak yang indah pemandangan alamnya.

   Puncak kecil itu merupakan daerah terpencil, jauh dari dusun yang kebanyakan terdapat di lereng agak bawah, dimana tanahnya paling subur. Hanya ada sebuah gubuk di puncak itu, gubuk kecil berkamar dua terbuat dari bilik bambu sederhana dan atap daun ilalang. Akan tetapi, biar pun amat sederhana dan tentu disebut miskin, harus diakui bahwa gubuk itu bersih dan terpelihara baik-baik, bahkan pelataran di sekitar gubuk itu pun bersih dari daun-daun kering, tanda bahwa setiap hari tempat itu tentu disapu orang. Juga disebelah belakang gubuk terdapat sebuah taman kecil penuh dengan bunga-bunga indah yang memang amat subur hidupnya di tanah pegunungan. Di sebelah dan taman itu terdapat kebun sayur yang cukup luas. Pagi itu, seorang pemuda yang usianya kurang lebih delapan belas tahun,melenggang seenaknya keluar dari dalam kebun, tangan kanan membawa seikat sayur segar dan dengan wajah yang amat tampan dan cerah dia memasuki taman, lalu dengan tangan kirinya memetik setangkai kembang mawar merah dan mencium kembang itu lalu menancapkan tangkainya diantara rambutnya yang hitam.

   Kemudian dia melenggang lagi menuju ke gubuk. Ketika dia tiba di depan gubuk menuju ke pintu karena gubuk itu hanya mempunyai satu pintu depan saja, tiba-tiba wajahnya berubah dan heran melihat seorang kakek yang tua renta, pakaiannya hanya kain kuning yang dibelit-belitkan di tubuhnya yang kurus kering, rambutnya panjang,demikian pula jenggot dan kumisnya, semuanya telah putih. Kakek itu duduk diatas dipan bambu yang berada di depan gubuk, duduk bersila dengan tenangnya.

   "Ah, eyang guru telah berada di luar sepagi ini?"

   Kata pemuda itu dengan suaranya yang halus namun penuh dengan gairah hidup, penuh dengan kegembiraan seperti biasa suara seorang muda yang belum dikotori batinnya oleh segala macam persoalan hidup. Cepat dia menghampiri kakek itu, menaruh sayur di atas dipan lalu berlutut dan mencium tangan kakek itu penuh khidmat.

   Wajah kakek yang lembut dan penuh ketenangan dan kesabaran itu tersenyum ketika dia memandang kembang mawat merah di atas kepala pemuda itu. Lalu dia berkata dengan halus.

   "Cucuku, Sulastri, engkau memang bocah yang aneh!"

   Pemuda itu kini duduk di atas dipan setelah tangannya ditarik oleh kakek itu,dan sambil menatap wajah kakek yang lembut itu dia berkata matanya yang bening lebar terbelalak, alisnya terangkat dan dia menjawab lincah.

   "Saya...? Aneh...? Eyang, apakah hidung saya dua, ataukah mata saya hanya sebuah maka eyang bilang saya aneh?"

   Senyum di mulut ompong itu melebar. Harus diakuinya bahwa semenjak cucu muridnya ini tinggal di dalam gubug itu, kecerahan dan kegembiraan selalu mengelilinginya dan dia yang sudah tua dan sudah biasa menyepi itu tidak dapat tidak terseret ke dalam arus kegembiraan cucu muridnya itu. Siapakah kakek yang tua renta itu? Dan siapa pula "pemuda"

   Yang dipanggil dengan nama wanita itu? Pembaca tentu masih ingat akan nama Sulastri, dara yang empat tahun lalu masih merupakan dara remaja yang lincah jenaka dan bengal, murid Ki Jembros, bocah perempuan yang datang dari dusun Gedangan itu. Memang "pemuda"

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ini adalah Sulastri dan kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun bertapa di puncak itu, puncak Pegunungan Bromo dan dia adalah Empu Supamandrangi yang sakti mandraguna dan yang sudah tidak mencampuri lagi urusan duniawi. Dahulu, puluhan tahun yang lalu sebelum dia menjadi pertapa, dia terkenal sebagai seorang ahli pembuat keris yang ampuh-ampuh, di antaranya adalah keris pusaka Kolonadah milik Ronggo Lawe. Kakek ini adalah guru dari Ronggo Lawe, dan karena semenjak kecil Sulastri telah "mengaku murid"

   Dari Ronggo Lawe, maka dia menyebut eyang guru kepada kakek yang kini menjadi gurunya itu.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, tadinya Sulastri,empat tahun yang lalu, masih ikut merantau dan berkeliaran tak tentu tempat tinggalnya bersama gurunya yang aneh, yaitu Ki Jembros. Ketika Ki Jembros bertemu dengan Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti, kemudian bertanding di keroyok dua, Ki Jembros terluka dan kebetulan mereka lalu bertemu dengan Juru Demung dan Raden Gajah Biru di Pegunungan Pandan, di mana Ki Jembros akhirnya lalu beristirahat untuk menyembuhkan luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya. Dan karena dia tidak ingin muridnya yang tersayang itu terlibat dalam keributan yang agaknya akan terjadi antara kawan-kawan Lembu Sora dan Mojopahit, maka dia menyuruh muridnya itu untuk pergi sendiri ke Pegunungan Bromo dan mencari kakek gurunya, yaitu Empu Supamandrangi di puncak Pegunungan Bromo.

   Tentu saja perjalanan seorang diri itu merupakan perjalanan yang amat sukar dan berbahaya bagi seorang gadis yang ketika itu baru berusia empat belas tahun seperti Sulastri. Namun berkat ketekunan dan keberaniannya, dengan susah payah,setelah menempuh banyak sekali kesengsaraan, akhirnya dapat juga Sulastri menemukan Gubug itu dia menyembah di depan kaki sang pertapa. Setelah mendengar akan penuturan Sulastri, kakek itu menerimanya tinggal di situ dan menjadi muridnya. Demikianlah, ketika pada pagi hari itu Sulastri melihat gurunya pagi-pagi telah berada di depan gubug, dia telah menjadi murid Empu Supamandrangi selama empat tahun dan kini dia bukan lagi Sulastri yang dulu, melainkan telah menjadi seorang dara perkasa yang dewasa, namun masih lincah dan kenes, jenaka dan manja seperti dahulu, bahkan kini dia mengenakan pakaian pria dan menjadi seorang "pemuda"

   Yang amat tampan, bahkan "terlalu"

   Tampan!

   "Kenapa eyang diam saja? Jawablah, eyang, kenapa saya dianggap aneh?"

   Sulastri mendesak kakek itu ketika pertanyaannya tidak dijawab.

   Kakek itu menarik napas panjang.

   "Sulastri, engkau adalah seorang anak perempuan yang cantik dan jenaka, seorang wanita tulen, akan tetapi engkau selalu memakai pakaian pria. Aku tidak hendak melarang kesukaan orang, hanya bukankah hal itu merupakan suatu keanehan?"

   "Eyang, saya telah bersumpah kepada diri sendiri sebelum tercapai atau terlaksana idaman hati saya, maka saya akan terus mengenakan pakaian pria!"

   "Hemmm... begitukah? Dan apakah idaman hatimu itu?"

   "Pertama, membunuh Reksosuro dan Darumuko! Ke dua..."

   "Sulastri, sungguh sedih hatiku mendengar ini. Amat tidak baik idaman hatimu,cucuku. Tak baik hidup menanggung dendam dan permusuhan. Apalagi membunuh orang."

   "Habis untuk apa saya bersusah payah sejak kecil mempelajari ilmu kalau saya tidak boleh membunuh mereka yang telah melakukan perbuatan jahat terhadap saya,maksud saya terhadap mendiang kakek saya?"

   "Mempelajari segala macam ilmu boleh dan baik saja, akan tetapi kalau dengan tujuan yang buruk, ilmu itu pun menjadi sesuatu yang buruk, merupakan kutukan. Yang paling penting adalah membela kebenaran, cucuku, dan pada siapa pun kebenaran itu berada, haruslah dibela. Sebaliknya, yang salah haruslah ditentang,biar pun yang salah adalah dirimu sendiri."

   Kakek itu kembali menghela napas panjang karena dia maklum betapa sia-sianya memberi nasihat, seperti sia-sianya semua nasihat di dunia ini, karena yang paling penting adalah kesadaran diri sendiri. Tanpa adanya kesadaran dan pengertian sendiri itu, sesmua nasihat dan wehangan hanya akan merupakan angin lalu berlaka, terasa semilirnya lalu lenyap tanpa bekas, atau lebih celaka lagi, wejangan itu hanya akan menjadi semacam hiasan untuk membanggakan diri, atau disalah gunakan sebagai "bukti"

   Kebersihan dan kebaikan dirinya.

   "Kalau engkau akan terus memakai pakaian pria, hal itu terserah kepadamu, akan tetapi janganlah berbuat kepalang tanggung, cucuku, karena kalau demikian,engkau hanya akan menjadi buah tertawaan orang lain saja."

   "Maksud eyang...?"

   Kakek itu memandang kearah bunga mawar merah di rambut Sulastri.

   "Kembang mawar di rambutmu itu."

   Sulastri meraba kembang itu dan tersenyum.

   "Apa salahnya, eyang? Apakah seorang pria tidak boleh menghias rambutnya dengan kembang?"

   "Tidak ada yang melarang dan tidak ada yang menganjurkan, hanya biasanya, wanita sajalah yang menghias rambutnya dengan kembang seperti itu. Maka, kalau memang engkau hendak menyamar sebagai pria, hal itu memang baik sekali dan menjauhkan kesulitan dalam perjalananmu, akan tetapi enkau harus pula menyembunyikan kesukaanmu bersolek seperti kebiasaan seorang wanita."

   "Perjalanan? Apakah saya harus melakukan perjalanan, eyang?"

   Kakek itu mengangguk.

   "Karena itulah pagi-pagi aku menunggumu di sini, Sulastri. Hari ini juga engkau harus turun dari puncak dan melakukan perjalanan jauh."

   "Ahhh...!"

   Berita ini terlalu mengejutkan buat Sulastri. Sudah selama setahun akhir-akhir ini dia selalu merengek minta ijin untuk turun gunung, akan tetapi kakek itu selalu melarangnya dan memerintahkannya untuk memperdalam ilmunya yang dikatakan masih belum cukup untuk bekal turun gunung. Maka kini, ucapan kakek itu mengejutkan, sekaligus menggirangkan hatinya.

   "Terima kasih, eyang...!"

   Dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek Empu Supamandrangi.

   "Aihh, bocah ini..."

   Sang Empu mengomel geli.

   "Sikapmu seperti orang yang mau pergi ke pesta atau mau pesiar saja, padahal perjalananmu akan menempuh banyak macam bahaya. Engkau harus dapat merubah sikapmu yang seperti kanak-kanak,Lastri, karena hidup bukanlah main-main belaka. Apalagi hidup seorang seperti engkau yang diracuni oleh latar belakang penuh dendam. Mulai sekarang keputusan dalam langkah hidupmu sepenuhnya berada di tanganmu, dan kau boleh melakukan apa pun juga menurut keputusan dirimu sendiri, dan hal itu amat berbahaya. Aku hanya mempunyai suatu pesan yang kuharap engkau dapat memenuhinya."

   "Pesan apakah itu, eyang? Saya berjanji akan melaksanakannya dan memenuhinya dengan sepenuh hati saya!"

   Kembali kakek itu tersenyum.

   "Cucuku, lain kali jangan engkau begitu mudah menjatuhkan janji dan sumpah. Yang penting dalam hidup ini bukan segala macam janji melainkan kenyataan dalam perbuatan. Pesanku adalah agar engkau suka mengambil kembali keris pusaka Kolonadah dan kemudian menyerahkan kepada Pangeran Kolo Gemet, putera sang prabu di Mojopahit."

   "Eh, kenapa harus diserahkan kepada Pangeran Kolo Gemet, eyang?"

   Sulastri bertanya, heran dan juga kecewa karena tadinya dia ingin memiliki sendiri keris pusaka itu.

   "Tidak perlu kau mengetahui terlalu banyak akan rahasia ini, cucuku, hanya ketahuilah bahwa keris itu dahulu kubuat dengan susah payah dan kubuat khusus untuk seorang raja. Sayang bahwa keris itu memiliki wibaya yang demikian kuat sehingga muridku Ronggo Lawe-pun terdorong memperebutkan kekuasaan dan karenanya dia menemui kematian. Hanya demikian saja yang dapat kujelaskan, maka Kolonadah itu supaya kau serahkan kepada Pangeran Kolo Gemet."

   Sulastri menyembah dan berkata.

   "Baik, eyang, akan saya taati perintah eyang. Akan tetapi..."

   "Hemm, apalagi? Mengapa ada bayangan keraguan di wajahmu?"

   "Eyang sudah sangat tua, selama empat tahun ini ada saya di sini untuk membantu dan melayani eyang, memelihara tanaman, mencuci dan masak. Kalau saya pergi dan eyang hidup sendiri..."

   "Ha-ha-ha, memang kehadiranmu di sini hanya membuat aku menjadi malas dan keenakan saja, cucuku. Kau kira siapakah yang melayani aku selama engkau belum tiba di sini? Kalau aku ingin dilayani orang, ingin hidup mulia secara lahiriah,apa kau kira aku bertapa dan berada di sini selama puluhan tahun? Ha-ha-ha,dengan membikin dan menjual keris saja aku dapat hidup kaya dan mempunyai banyak pelayan di kota. Jangan khawatir, cucuku, seekor semut saja dapat merawat dan memelihara diri sendiri, masa aku kalah oleh semut?"

   Mendapat jawaban demikian, Sulastri tersenyum dan legalah hatinya. Dia lalu berkemas, mengumpulkan pakaiannya yang tidak berapa banyak, semua pakaian pria yang sederhana namun cukup rapat menutupi tubuhnya sehingga tidak akan ada yang tahu bahwa dia seorang wanita. Kemudian, dengan sebuah buntalan pakaian di pundaknya, dia berlutut lagi di depan kakek yang masih duduk bersila di atas dipan bambu di depan gubug.

   "Apakah saya boleh berangkat sekarang, eyang?"

   "Berangkatlah, cucuku, dan berhati-hatilah,"

   Kata si kakek sambil tersenyum melihat bahwa kembang mawar merah tadi sudah tidak lagi menghias rambut kepala Sulastri.

   "Dan engkau pun tentu saja tidak dapat mempergunakan nama Sulastri di dalam perjalanan. Mana mungkin ada seorang pemuda tampan seperti ini bernama Sulastri!"

   Sulastri tersenyum lagi. Kejenakaan eyangnya itu membuat hatinya ringan dan tidak terasa terlalu berat meninggalkan tempat di mana dia telah tinggal selama empat tahun, terutama meninggalkan kakek renta yang selama ini menggemblengnya dan dilayaninya itu.

   "Mohon eyang sudi memberi nama samaran kepada saya."

   "Kenapa tidak kau cari sendiri? Apakah kau sudah memilih sebuah nama yang baik?"

   "Saya sudah memilih sebuah nama, eyang, nama yang sederhana dan mudah, yaitu Joko Bromatmojo."

   "Heh-heh, cukup bagus. Bromatmojo berarti Bromo-atmojo (anak Bromo), anak Gunung Bromo. Nama yang baik sekali."

   Setelah berpamit lagi dari kakek itu dan mendapatkan doa restunya, berangkatlah Sulastri turun dari puncak itu, diikuti pandang mata kakek Empu Supamandrangi dengan sinar mata sayu. Setelah bayangan dara itu lenyap, kakek itu menarik napas tiga kali dan berkata lirih.

   "Betapa kuatnya ikatan yang timbul dari pementingan diri!"

   Dia lalu memejamkan matanya dan diam sampai lama sekali.

   Memang demikianlah. Biar pun seorang pertapa seperti Empu Supamandrangi yang sudah melepaskan keduniawian, begitu bertemu dengan sesuatu yang menyenangkan dirinya, sesuatu yang dinikmatinya, terjadi ikatan dan terasa nyeri di dalam hati kalau ikatan itu dipatahkan. Hidupnya tadinya tenang dan tenteram, seperti air yang tiada gelombang. Akan tetapi muncullah Sulastri yang membawa kecerahan di dalam hidupnya yang menyenangkan hatinya, melayaninya dan berbakti kepadanya sehingga timbul rasa sayang di dalam hatinya. Perasaan sayang yang timbul karena dia disenangkan! Perasaan ini menonjolkan sifat pementingan diri pribadi dan menciptakan suatu ikatan di dalam batinnya karena dia ingin agar kesenangan itu dilanjutkan dan jangan sampai diambil dari dia! Karena itulah maka perpisahan merupakan sesuatu yang amat berat bagi orang yang terikat batinnya.

   Jadi terang bahwa ikatan menimbulkan duka, yaitu apabila kita diharuskan berpisah dari yang terikat kepada kita, dan ikatan timbul dari keinginan melanjutkan kesenangan. Hal ini sudah jelas. Bukan berarti bahwa kita harus menolak atau menentang kesenangan, sama sekali tidak, melainkan kita tidak mengejarnya. Dan kita baru bisa mengejar kesenangan kalau kita tidak menyimpan pengalaman yang menyenangkan di dalam ingatan atau kesenangan!

   Pada suatu pagi tibalah Sulastri di sebuah hutan yang lebat. Baru saja malam tadi dia bermalam di sebuah dusun, di rumah seorang petani tua bersama isterinya dan dari mereka ini dia mendengar bahwa hutan di sebelah barat dusun ini terkenal gawat. Apalagi karena di situ akhir-akhir ini, selama beberapa bulan ini, berkeliaran seorang gila yang sudah membunuh beberapa orang.

   "Anehnya, yang dibunuhnya selalu adalah orang muda yang tampan. Oleh karena itu,raden, kami harap andika jangan melalui hutan di barat itu,"

   Kata tuan rumah dengan khawatir melihat betapa "pemuda"

   Yang menjadi tamunya begitu tampan dan halus, kelihatan begitu lemah. Sulastri berjanji akan mengambil jalan lain agar tidak mengkhawatirkan keluarga yang demikian baiknya, akan tetapi tentu saja penuturan itu malah membuat hatinya tertarik sekali dan andaikata dia tidak sedang melakukan perjalanan ke barat sekalipun, agaknya kalau mendengar cerita itu dia akan sengaja memasuki hutan itu untuk menyelidiki! Ada orang gila berkeliaran membunuhi orang, sungguh amat berbahaya kalau didiamkannya saja.

   Mendengar ada orang gila tukang bunuh,sama halnya bagi dara perkasa ini seperti melihat sebuah lubang tersembunyi di tengah jalan. Hatinya tidak akan tenang sebelum dia menutup lubang itu agar jangan ada orang lain yang terperosok dan celaka. Maka sekarang pun dia merasa tidak enak sebelum dia memasuki hutan itu dan menaklukkan orang gila yang berbahaya itu! Sejak kecilnya Sulastri memang memiliki ketabahan luar biasa. Keberanian hatinya ini digembleng pula oleh pengalaman-pengalaman pahit dan kemudian ditambah oleh gemblengan Ki Jembros sehingga dia hampir saja menjadi seorang yang liar dan ganas! Untung baginya bahwa menjelang dewasa, dia terdidik oleh Empu Supamandrangi sehingga kesadarannya terbuka dan dia tidak lagi liar sungguh pun tidak dapat melenyapkan wataknya yang jenaka, aneh, dan Bengal suka menggoda orang!

   Dengan hati agak ngeri juga, kengerian orang menghadapi orang gila, ngeri bercampur jijik, Sulastri memasuki bagian yang paling lebat di hutan itu. Pohon-pohon besar yang usianya mungkin sudah ratusan tahun seperti raksasa-raksasa menyeramkan dan semak-semak belukar kadang-kadang demikian tebal menghalang jalan sehingga Sulastri harus mengambil jalan memutar. Tentu saja dia sama sekali asing dengan daerah ini, dan dia pun sudah lupa lagi jalan mana yang diambilnya empat tahun lalu ketika dia datang dari barat menuju ke Pegunungan Bromo. Satu-satunya pegangan baginya agar tidak tersesat hanyalah matahari yang dia tahu timbul dari timur dan kalau pagi hari itu dia menuju kearah depan dengan matahari di belakangnya, kemudian kalau sore atau lewat tengah hari dia mengambil arah dengan matahari di depannya, maka dia tidak akan tersesat!

   "Hua-ha-ha-hah!"

   Sulastri melonjak saking terperanjatnya. Dia baru enak-enak melamun tiba-tiba saja ada suara ketawa sekeras itu, suara ketawa yang menyeramkan sekali dan orangnya yang tertawa itu tidak nampak! Siapa orangnya tidak akan kaget dan merasa serem? Sulastri menghentikan langkahnya, terasa betapa jantungnya membuat suara seperti sebuah gendang dipukul sekuatnya.

   "Duk-duk-duk-duk..."

   Berdenyut-denyut sampai terasa ke ubun-ubun kepalanya! Dia menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya dan matanya menendang ke sekeliling dengan waspada. Kewaspadaan ini yang membuat dia cepat memutar tubuh ke kanan ketika ada gerakan dari semak-semak belukar di sebelah kanannya.

   "Wuuuuutttt.... blukkkk!"

   Batu sebesar gentong itu terbaring ke atas tanah di dekat kakinya ketika Sulastri cepat mengelak, kemudian memandang dengan penuh perhatian ketika dari balik semak-semak belukar itu muncul seorang laki-laki yang bentuk tubuhnya sedang saja, namun wajahnya bengis dan pakaiannya biar pun ada bekasnya sebagai pakaian yang mahal dan pantas, namun karena tidak terawat kini menjadi compang-camping. Matanya bukan seperti orang gila, pikir Sulastri.

   Tentu ini dia yang disebut orang gila berbahaya itu, buktinya tiada hujan tiada angin tanpa sebab apa-apa orang itu hampir saja membunuhnya dengan lontaran batu yang demikian besarnya. Kalau mengenai orang yang tidak pandai mengelak, tentu akan pecah kepalanya atau remuk badannya. Akan tetapi di samping ini, ada bukti lain yang menarik hatinya, ialah bahwa orang ini bukan orang sembarangan. Orang yang dapat melontarkan batu seberat itu dengan tenaga lontaran yang demikian kuat, tentu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi.

   "Hei, apa artinya ini?"

   Sulastri bertanya kepada laki-laki yang kini sudah menghampirinya, laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun.

   "Ha-ha-ha, sekali ini tidak salah lagi. Engkaulah si manusia busuk!"

   Laki-laki itu makin beringas matanya dan memang Sulastri melihat sinar mata yang lain daripada mata orang biasa, mengandung dendam kebencian dan kemarahan yang sudah mendekati kegilaan. Orang itu sudah menubruk maju, serangannya cepat dan kuat,akan tetapi membabi buta seperti yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang tidak lagi memperdulikan pembelaan dirinya, hanya ingin menyerang dan membunuh!

   "Wirr-wirr... plak-plakk!"

   Orang itu terhuyung miring ketika Sulastri mengelak kemudian menangkis dengan lengan kirinya dua kali sambil mengerahkan sebagian tenaganya.

   "Ha-ha-ha!"

   Orang itu malah tertawa dan menyerang lagi.

   "Eh, kisanak, nanti dulu!"

   Sulastri mengelak sambil berseru.

   "Mengapa engkau menyerangku? Kita belum saling mengenal dan aku tidak pernah melakukan suatu kesalahan kepadamu. Kalau ada urusan, mari kita bicarakan dulu sebelum kau menyerangku!"

   "Wuuutt-wir-wirr...!"

   Pukulan-pukulan yang keras menyambar-nyambar namun semua dapat dielakkan oleh Sulastri dengan mudah.

   "Ha-ha-ha, jelas sekarang! Siapa lagi kalau bukan kau? Kau pandai bicara,suaramu merdu dan halus, dengan itu engkau telah merayu Katmi! Engkau juga pandai berkelahi, tenagamu kuat, dengan itu engkau telah membunuhnya. Bagus.... engkaulah orangnya, kini tidak salah lagi!"

   Kakek itu berkata sambil tertawa-tawa dan terus menyerang tak pernah berhenti.

   "Bukan! Jangan menuduh yang tidak-tidak. Mari kita bicara!"

   Sulastri membentak sambil mengelak lagi. Akan tetapi kini laki-laki itu tidak menjawab, hanya mengeluarkan suara menggereng dan tiba-tiba dia telah mencabut sebuah parang yang tajam mengkilap dan dengan senjata ini, dia menyerang dengan ganas.

   

Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini