Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 12


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



"Eh, kau sudah siap?"

   Sulastri menoleh dan bertanya, hatinya makin geli melihat pemuda itu kelihatan tidak senang. Pemuda itu mengangguk tanpa mengeluarkan suara.

   "Kita mengambil jalan belakang, melalui kebun,"

   Kata Sulastri.

   "Mari!"

   Dia lalu berjalan cepat ke belakang, membuka pintu belakang, dan dengan dibayangi oleh pemuda tinggi tegap itu, dia meloncat ke dalam kebun sambil memondong tubuh Warsini yang bukan merupakan beban berat baginya itu.

   Akan tetapi baru saja beberapa langkah mereka memasuki kebun itu, terdengar bentakan-bentakan nyaring dan enam orang anak buah lurah Jati sudah melompat keluar sambil menggerakkan senjata parang mereka. Melihat ini, Warsini menjadi ketakutan dan dia menyembunyikan mukanya di leher Sulastri. Sulastri sendiri meloncat maju dan dengan lengan kiri memondong tubuh Warsini, tangan kanannya memukul disusul kaki kirinya dan robohlah dua orang musuh yang menerjang dari depan. Pemuda tinggi tegap itu pun dengan amat mudahnya telah merobohkan empat orang yang lain. Mereka berlari terus ke belakang, menuju ke gubug di ujung kebun karena memang Sulastri ingin sekali bertemu dengan Gianti dan lurah Jati sebelum dia melarikan gadis yang dipondongnya itu.

   Akan tetapi makin banyak kini anak buah lurah Jati berdatangan karena teriakan-teriakan memberi tahu mereka bahwa dua orang pemuda itu melarikan diri melalui kebun belakang. Mereka dikurung dan mulailah mereka berdua mengamuk. Biar pun Sulastri hanya dapat menggunakan kedua kaki dan satu tangan kanannya, namun sepak terjangnya hebat dan menggiriskan karena setiap kali tangan kanannya bergerak tentu ada seorang pengeroyok yang terpelanting roboh. Juga pemuda tinggi tegap itu mengamuk seperti seekor banteng terluka.

   Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncul dua orang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan berkumis sekepal sebelah. Dua orang laki-laki inilah jagoan dari Jati yang menjadi kaki tangan lurah, dan mereka memang merupakan orang-orang kuat yang kini menerjang maju dengan golok mereka.

   "Kawan, cepat lari biar aku menahan mereka!"

   Teriak pemuda tinggi tegap kepada Sulastri ketika dia melihat munculnya dua orang yang dari gerakannya jelas tidak dapat disamakan dengan para pengawal lainnya itu. Pemuda tinggi tegap itu telah merampas sebatang tombak dan kini dengan tombak rampasan itu dia menahan amukan dua orang raksasa itu sehingga terjadilah pertandingan yang hebat.

   Sulastri maklum bahwa biar pun dia sendiri dapat menjaga diri, namun tubuh di dalam pondongannya itu terancam bahaya maut. Kalau dilanjutkan pertarungan keroyokan, mungkin saja ada senjata yang salah alamat dan mengenai tubuh Warsini,maka dia segera meloncat sambil mendorong roboh seorang penghalang di depannya,terus dia lari ke arah gubug. Pada saat itu lurah Jati dan Gianti sedang bermain cinta dan biar pun mereka mendengar suara ribut-ribut di kebun, namun karena asyik dan kepalang mereka tidak muncul ke luar. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika tiba-tiba gubug itu roboh oleh dorongan tangan Sulastri!

   Sungguh lucu sekali melihat dua orang itu merangkak ke luar dan mengaduh-aduh. Melihat Gianti merangkak ke luar dengan pakaian setengah telanjang, timbul rasa muak dan marah di hati Sulastri. Dia menyambar sebatang ranting dan dengan pengerahan tenaga saktinya dia menyambitkan ranting itu ke arah muka Gianti yang baru saja hendak bangkit.

   "Prat... auhhh...!!"

   Gianti menjerit mengerikan karena ranting itu telah menghantam mukanya, meremukkan hidungnya dan membelah bibirnya! Dia roboh mandi darah dan pingsan.

   "Huh, kau tidak akan dapat melacur dengan kecantikanmu lagi!"

   Sulastri berbisik dan dia terus melarikan diri, tidak sempat menghajar ki lurah Jati karena para pengawal sudah datang berbondong-bondong mengejarnya.

   Sementara itu, ketika pemuda tinggi tegap melihat bagaimana "pemuda"

   Perkasa yang melarikan Warsini itu merobohkan gubuk dan melihat lurah Jati merangkak setengah telanjang sambil mengaduh-aduh, timbullah satu pikiran yang baik sekali. Dua orang jagoan itu memang cukup tangguh dan biar pun dia yakin akan dapat mengalahkan mereka, namun jumlah pengeroyok terlalu banyak dan juga dia harus membiarkan kawannya itu berhasil lari tanpa dikejar musuh. Setelah menangkis dua batang golok sambil mengerahkan tenaga sehingga dua orang jagoan itu terhuyung ke belakang, pemuda itu meloncat dan berlari cepat menghampiri lurah Jati.

   Sebelum lurah itu dapat menghindar, dia sudah cepat menjambak rambut lurah itu yang terurai ketika gubuk tadi roboh. Dijambaknya rambut itu dan diputar ke belakang, lalu tombak rampasannya itu ditodongkan ke leher sang lurah sambil membentak.

   "Berhenti semua! Jangan mengejar, kalau tidak tombak ini akan menembus leher lurah kalian!"

   Suara pemuda itu mengandung getaran hebat dan terdengar oleh semua orang. Ki lurah sendiri menjadi takut setengah mati. Kedua tangannya diangkat naik ke arah rambutnya yang seperti akan jebol rasanya sehingga kini karena tidak ada lagi tangan yang menahannya, celananya merosot ke bawah dan telanjanglah kini pengantin pria yang gagal ini!

   "Aduhhh... aduh... ampun... !"

   "Suruh mundur semua anak buahmu. Kalau tidak, akan kusembelih kau!"

   Pemuda itu menghardik dan seluruh tubuh yang telanjang bulat itu menggigil ketakutan.

   "Mundurrr... semua mundur... aduh, jangan maju...!"

   Dua orang tinggi besar yang melihat lurah mereka ditangkap dan diancam, otomatis menghentikan gerakan kaki mereka dan mundur sehingga semua anak buahnya juga tidak ada yang berani berkutik.

   "Kalau kalian berani mengejarku, kubunuh lurah jahanam ini!"

   Pemuda itu berseru dan kini dia mengempit tubuh ki lurah yang telanjang itu dan membawanya lari dari situ. Para anak buah lurah Jati tidak ada yang berani berkutik, saling pandang dengan bingung sampai bayangan pemuda itu lenyap.

   "Hayo kejar...!"

   Dua orang tinggi besar itu sadar bahwa lurah mereka diculik,maka mereka cepat mengejar ke arah larinya pemuda itu, yaitu ke timur. Akan tetapi hampir saja mereka jatuh tunggang-langgang karena kaki mereka hampir menginjak tubuh lurah mereka yang ternyata ditinggalkan di tengah jalan dalam keadaan telanjang dan lurah itu menggigil ketakutan dan kedinginan.

   Anak buahnya masih mencari ke sana ke mari, akan tetapi tidak dapat menemukan jejak dua orang pemuda yang telah melarikan Warsini itu. Ki lurah mencak-mencak dan marah-marah, mengerahkan semua pembantunya untuk mencari Warsini sedangkan dia sendiri kembali ke dusun Jati setelah mengenakan kembali pakaiannya, dengan bersungut-sungut dan marah sekali, apalagi dilihatnya bahwa wajah Gianti yang tadinya cantik itu kini menjadi mengerikan, hidungnya remuk dan bibirnya sumbing!

   Siapakah pemuda tinggi tegap berkumis tipis yang perkasa itu? Pemuda berusia kurang lebih sembilan belas tahun yang sepak terjangnya gagah perkasa itu? Dia ini adalah bukan lain adalah Sutejo! Seperti telah diceritakan di dalam jilid pertama dari cerita ini, Sutejo pada sembilan tahun yang lalu hampir saja mati terbakar di dalam rumah ibunya yang menjadi lautan api. Ibunya tewas dan kakaknya, Lestari, dibawa oleh Penewu Progodigdoyo sedangkan Sutejo sendiri menggeletak pingsan di dalam rumah yang sedang terbakar itu. Akan tetapi memang dia belum tiba saatnya harus mati terbakar, pada saat yang amat berbahaya itu muncullah seorang kakek tua renta yang berkelebat memasuki rumah yang terbakar itu, menentang api seolah-olah api itu bukan apa-apa baginya dan kakek itu berhasil menyelamatkan Sutejo dan dibawa lari dari dusun Kembangsri.

   Kakek itu bukan lain adalah Panembahan Ciptaning, seorang pertapa yang sakti mandraguna, bijaksana dan hidup seperti dewa di lereng gunung Kawi. Panembahan Ciptaning ini dahulu adalah guru dari Raden Lembu Tirta, ayah dari Sutejo. Setelah siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya berada di pondok sederhana di lereng gunung Kawi, Sutejo terheran-heran. Ketika dia mendengar jelas bahwa kakek tua renta di depannya itu adalah Panembahan Ciptaning, eyang gurunya sendiri dia menangis dan menceritakan semua yang terjadi, semua malapetaka yang menimpa keluarganya. Sang Panembahan hanya menarik napas panjang mendengar penuturan itu dan kakek ini lalu mendidik Sutejo sebagai cucu muridnya.

   Selama sembilan tahun lamanya Sutejo digembleng segala macam ilmu di lereng gunung Kawi dan akhirnya dia diperkenankan turun gunung untuk mencari mbakayunya,yaitu Lestari yang dia tahu dibawa lari oleh Panewu Progodigdoyo.

   "Angger, Sutejo. Ingatlah selalu semua pesan dan nasehatku. Semua ilmu yang kau pelajari dariku bukan sekali-kali dimaksudkan untuk kau pakai mencelakakan atau membunuh orang begitu saja, bukan sekali-kali untuk urusan balas dendam. Kalau ilmu-ilmu itu kau pergunakan untuk melampiaskan balas dendam dan kebencian, maka ilmu-ilmu itu menjadi ilmu hitam, kulup! Aku tahu, Progodigdoyo telah melakukan perbuatan yang tidak patut dan jahat terhadap keluargamu, akan tetapi kalau engkau mencari dia dengan hati penuh dendam dan benci, lalu kau membunuhnya untuk melampiaskan kebencian dan dendammu, maka engkau tidaklah lebih baik daripada si Progodigdoyo sendiri! Bertindaklah melihat keadaan pada saat itu juga, tanpa didasari kebencian dan dendam. Aku menurunkan ilmu-ilmu kepandaian agar engkau dapat menyumbangkan tenagamu untuk kemanusiaan, angger. Ketahuilah bahwa kemelut sedang terjadi di Mojopahit, dan apabila negara sedang dilanda kemelut, hanya orang-orang muda seperti engkaulah yang dapat mendatangkan penerangan dan menghalau semua malapetaka, angger."

   Demikianlah antara lain wejangan dari Sang Panembahan Ciptaning. Dengan bekal wejangan dan ilmu kesaktian dari pertapa ini, Sutejo turun gunung dan secara kebetulan sekali pada hari itu dia bertemu dengan Sulastri atau Bromatmojo yang sedang mengamuk terhadap rombongan pengantin itu. Sutejo mengerutkan alisnya ketika dia tidak melihat ke mana larinya pemuda tampan yang memondong Warsini. Dia menggunakan ilmunya berlari cepat, lalu dia meloncat naik ke atas pohon waringin yang tinggi. Dari tempat tinggi ini dia dapat melihat berkelebatnya bayangan pemuda itu ke arah timur, maka cepat dia turun dan mengejar lagi ke timur.

   Hatinya merasa tidak senang. Pemuda tampan itu memang memiliki kepandaian yang cukup hebat, akan tetapi sikapnya mencurigakan sekali. Pemuda itu terlalu ceriwis dan jangan-jangan pemuda itu mengandung niat yang kurang senonoh terhadap Warsini! Sudah beberapa kali dia melihat pemuda itu bersikap terlalu mesra terhadap Warsini, hal yang amat tidak patut dilakukan seorang pria kepada seorang wanita yang bukan apa-apanya. Dan dia dapat menduga bahwa agaknya Warsini, bekas pengantin wanita itu, juga jatuh hati kepada pemuda itu! Tidak mengherankan. Memang pemuda itu tampan sekali, ganteng dan juga pandai merayu, dengan sinar matanya yang seperti bintang itu, dengan senyumnya yang benar-benar amat manis menarik hati.

   Dia mengejar terus dan kini sudah dapat menyusul pemuda itu tidak lari lagi,kini bahkan memondong tubuh Warsini sambil berjalan kaki memasuki sebuah hutan! Hati Sutejo menjadi makin tidak senang. Kenapa gadis itu dibawa masuk ke dalam hutan? Apa yang terkandung dalam hati pemuda tampan yang amat ceriwis itu? Kalau ternyata benar seperti yang dicurigainya bahwa pemuda tampan itu setelah menolong Warsini lalu hendak merayu dan menodai gadis itu, dia akan turun tangan menghajarnya!

   Sutejo membayangi mereka di dalam hutan, sama sekali tidak tahu bahwa tadi "pemuda"

   Tampan itu telah melihat berkelebatnya bayangannya. Dan dia pun tidak tahu bahwa melihat pemuda tinggi tegap itu membayanginya secara tidak wajar, timbul pula kecurigaan di dalam hati Sulastri! Mengapa pemuda tinggi tegap itu tidak secara langsung saja menemui dan membayangi seperti itu?

   "Warsini, kurasa sekarang telah aman, kau dapat berjalan sendiri,"

   Katanya sambil menurunkan pondongannya. Warsini lalu berlutut dan menyembah.

   "Raden, sungguh besar sekali budi paduka yang telah menyelamatkan saya, entah bagaimana saya harus membalas budi yang demikian besarnya."

   Sulastri menghela napas panjang.

   "Sudah saja tak usah dibalas,"

   Jawabnya. Matanya melirik ke sana-sini mencari-cari karena dia tahu bahwa pemuda tinggi tegap pasti sedang mengintai mereka!

   "Tapi... tapi saya... tidak mempunyai sanak kadang... maka harap kau suka menerima saya, raden. Saya akan ikut bersamamu ke mana juga..."

   "Bangkitlah, dan mari ikut bersamaku,"

   Kata Sulastri singkat karena dia sudah melihat bayangan pemuda tinggi tegap itu di balik sebatang pohon di depan... Alisnya berkerut dan dia menjadi makin curiga. Jangan-jangan pemuda tinggi tegap dan tampan itu...

   "Ahhh...!"

   Sulastri tiba-tiba berseru kaget.

   "Ada apa, raden?"

   Warsini bertanya karena gadis ini pun kaget ketika dia berdiri melihat wajah pemuda itu berubah.

   "Tidak apa-apa, mari kita pergi,"

   Kata Sulastri dan karena ketegangan hatinya,sejenak dia lupa bahwa dia adalah seorang "pemuda"

   Dan tanpa ragu-ragu lagi dia menggandeng tangan Warsini. Gadis itu terkejut, mukanya menjadi merah sekali,akan tetapi mata yang indah itu bersinar girang dan bibirnya tersenyum. Mereka lalu melangkah maju dengan bergandengan tangan! Sulastri masih memandang ke depan, alisnya berkerut dalam karena kini dia teringat akan cerita kakek Kaloka.

   Pemuda tampan berkumis! Jangan-jangan pemuda tinggi tegap itu yang dimaksudkan! Dan kini pemuda itu membayanginya, bahkan menghadang di depan seolah-olah ada niat tersembunyi terhadap dia, ah, tentu saja terhadap Warsini! Mengingat akan ini, dia membayangkan mendiang Katmi, puteri Kaloka yang diperkosa sampai mati dan otomatis Sulastri merangkul pundak Warsini dengan sikap melindungi. Melihat ini, Warsini menjadi makin merah mukanya, nafasnya terengah dan dia menggigit bibirnya sendiri. Di balik batang pohon, Sutejo memandang dengan mata bersinar penuh kemarahan karena dia menduga bahwa sudah pasti pemuda tampan itu mempunyai niat yang tidak senonoh terhadap diri Warsini.

   Kiranya pemuda itu menolong bukan berdasarkan prikemanusiaan, melainkan berdasarkan niatnya yang tidak senonoh terhadap gadis cantik itu. Keparat! Sutejo meloncat dan tahu-tahu berdiri di depan Warsini dan Sulastri dengan kedua tangan bertolak pinggang, mukanya merah dan matanya memancarkan kemarahan sehingga mata itu seperti berkilat.

   Melihat sikap ini, Sulastri makin curiga dan dia mendorong Warsini ke belakangnya, kemudian melangkah maju, mengangkat dada, teringat bahwa hal itu akan membuat buah dadanya menonjol maka dia menarik lagi dadanya ke dalam..

   "Eh,mau apa kau menghadang kami? Kenapa kau membayangi kami dan kini menghadang seperti seorang perampok?"

   Sulastri menghardik.

   "Dan kenapa kau membawa gadis itu ke dalam hutan?"

   Sutejo balas bertanya,suaranya penuh tuduhan dan kemarahan. Sulastri kini memperhatikan kumis itu.

   "Mau kubawa ke mana pun, apa perdulimu? Kau mau apa?"

   "Mau mencegahmu membawa pergi gadis itu dan..."

   "Apa?"

   Sulastri membentak dan kini yakinlah dia bahwa pemuda tinggi tegap itu ternyata hendak merampas Warsini, tepat seperti yang diduganya.

   "Jadi kau hendak merampas Warsini dari tanganku?"

   Sutejo juga merasa yakin bahwa pemuda tampan ini benar-benar hendak menguasai Warsini, maka dia pun menjadi marah.

   "Benar!"

   Berikan gadis itu padaku!"

   Tentu saja maksudnya agar pemuda tampan itu membebaskan Warsini.

   Ucapan ini membuat Sulastri makin marah.

   "Ahh, sungguh kebetulan. Dicari-cari setengah mati belum tentu dapat berjumpa, kiranya engkau datang sendiri seperti ular pencari penggebuk. Kiranya engkau orang itu, ya?"

   Sulastri mengangguk-angguk dan tersenyum mengejek.

   Tentu saja Sutejo menjadi terheran-heran.

   "Apa maksudmu?"

   Tanyanya karena dia sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan ucapan itu.

   "Kiranya engkau bedebah itu dan selagi arwah Katmi masih penasaran dan berkeliaran, engkau sudah mencari korban baru lagi, ya?"

   Sutejo makin bengong dan ia memandang Sulastri penuh perhatian. Gilakah pemuda ini? Mungkin! Pemuda yang luar biasa tampan, galak dan ceriwis ini mungkin saja gila! "Apakah engkau gila?"

   Tanyanya.

   Tentu saja pertanyaan ini sama saja dengan mencubit hidungnya, membuat Sulastri marah bukan main.

   "Jangan pura-pura. Engkau tampan, dan engkau berkumis!"

   Sutejo meraba kumisnya, kumis tipis yang baru tumbuh belum lama ini.

   "Memang aku berkumis, mengapa?"

   Tanyanya, agak tersinggung juga karena kumisnya dianggapnya indah dan pantas.

   "Tapi tidak ada tahi lalat... hemm, tentu kau sudah buang tahi lalat itu atau kau tutupi dengan bedak..."

   Sutejo memandang penuh perhatian, lalu menggeleng-geleng kepalanya.

   "Sayang,engkau benar-benar telah gila. Dan engkau gila karena watakmu yang tidak senonoh."

   "Eh, orang gila memaki gila, orang cabul memaki orang lain tidak senonoh."

   "Tentu saja engkau tidak senonoh. Engkau membawa gadis itu ke dalam hutan dan merayunya, dengan maksud apa lagi kalau bukan maksud cabul dan tidak senonoh?"

   Sutejo mengepal tinjunya.

   "Sejak tadi aku membayangimu. Setelah berhasil melepaskan diri dari kepungan, engkau sengaja melarikan gadis ini ke hutan. Mengapa ke hutan? Karena engkau hendak menghindar dari aku, karena engkau ingin berdua saja dengan gadis ini, untuk merayunya. Akan tetapi jangan kira engkau akan mudah saja melakukan perbuatanmu yang terkutuk itu selama di dunia ini masih ada Sutejo!"

   "Siapa itu Sutejo!"

   "Aku!"

   Tiba-tiba Sulastri tertawa dan cepat dia menutupi mulutnya. Ucapan pemuda tinggi tegap itu telah membuka matanya bahwa dia salah duga, bahwa tidak mungkin pemuda ini yang memperkosa Katmi dan tahulah dia sekarang mengapa pemuda yang bernama Sutejo ini tadi membayanginya dan bersikap demikian mencurigakan. Kiranya justru pemuda itu yang mencurigai dia, mengira dia hendak melakukan kekurangajaran terhadap Warsini! Mana mungkin seorang dara seperti dia melakukan perbuatan terkutuk terhadap seorang gadis lain seperti Warsini?

   "Jadi namamu Sutejo?"

   "Ya, dan kenapa kau tertawa seperti setan?"

   "Apa kau tidak tanya namaku?"

   "Hemm, siapa namamu?"

   "Namaku Bromatmojo!"

   "Bocah dari Bromo! Hemm, namamu aneh, seperti orangnya. Akan tetapi kenapa kau tertawa?"

   "Karena geli mendengar bahwa kau menduga aku hendak berbuat yang bukan-bukan terhadap dia ini."

   Sulastri menuding ke arah Warsini yang berdiri menundukkan muka di belakangnya.

   "Tentu saja aku menduga demikian! Kau bilang bahwa kau hendak menyerahkan dia kepada seorang sahabatmu untuk menjadi anaknya, akan tetapi kenapa kau membawanya ke dalam hutan?"

   "Aku membawanya ke hutan, atau ke lautan atau ke mana pun juga apa sih hubungannya dengan kau? Mengapa kau perduli amat?"

   "Karena aku tidak ingin melihat engkau melakukan perbuatan terkutuk..."

   "Apa perdulimu aku melakukan perbuatan apa pun?"

   "Maksudku, aku tidak ingin melihat gadis ini menjadi korban kebiadabanmu."

   Tiba-tiba Warsini melangkah maju dan berkata kepada Sutejo.

   "Raden, harap paduka jangan salah sangka. Saya merasa yakin bahwa raden ini... Raden Bromo..."

   "Eh, jangan disingkat begitu, Bromo kan nama dewa atau nama bukit!"

   Sulastri menegur dan Sutejo menutupi mulutnya menahan tawa.

   "Namaku Bromatmojo!"

   "Ah, maaf, Raden Bromatmojo bukanlah orang yang begitu rendah wataknya, dan saya... saya sudah percaya sepenuhnya... dan saya pun rela dibawa ke mana pun juga."

   Sulastri memandang Sutejo dengan sikap seperti anak kecil yang menang.

   "Nah,katakan lagi apakah aku seorang yang hendak melakukan perbuatan terkutuk? Kau ini memang kurang ajar sekali. Baru bertemu pertama kali saja sudah menuduh aku perampok pengantin, sekarang menuduh hendak melakukan perbuatan biadab. Hem,kalau saja kau mempunyai tahi lalat di pipi kirimu, tentu sekarang juga sudah kuhancurkan kepalamu!"

   Sutejo mengerutkan alisnya.

   "Mendengar omonganmu, siapa pun tentu akan menduga bahwa engkau sinting. Dan biar pun gadis ini sudah terpengaruh oleh rayuanmu, akan tetapi tentu saja aku curiga karena kalau kau hendak memberikan dia kepada seorang sahabatmu untuk diambil anak, mengapa ke dalam hutan?"

   "Tentu saja, tolol! Orang itu memang tinggalnya di tengah hutan! Wah, goblok benar engkau!"

   Sulastri berseru penuh kemengkalan hati.

   "Di dalam hutan?"

   "Ya, dan sudah dekat tempatnya. Hayo kau ikut kalau tidak percaya!"

   Sulastri memang ingin mempertemukan Sutejo dengan Kaloka, kalau-kalau memang benar pemuda ini yang dulu memperkosa Katmi.

   Berangkatlah mereka ke dalam hutan dan ketika tiba di tengah hutan, Sulastri mengajak mereka menghampiri sebuah pondok kayu di tengah hutan.

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Paman Kaloka...!"

   Dari jauh dia memanggil.

   Seorang laki-laki muncul dari pondok itu dan Sulastri memperoleh kenyataan dengan hati girang bahwa Kaloka kini berbeda dengan ketika dia temui pertama kali. Kini pakaiannya tidak awut-awutan seperti dulu lagi, bahkan wajahnya bersih dan kelihatan sebagai seorang setengah tua yang baik-baik.

   "Oh, Raden Bromatmojo...!"

   Katanya dan dengan cepat dia menghampiri mereka,memandang kepada Warsini dan kepada Sutejo dengan penuh perhatian dan dengan sinar mata terheran-heran. Sulastri memperhatikan sikap Kaloka dan hatinya kecewa. Agaknya orang tua itu tidak mengenal Sutejo!

   "Paman, apakah engkau tidak mengenal pemuda ini?"

   Tanyanya.

   Kaloka memandang kepada Sutejo penuh perhatian, lalu menggeleng kepala.

   "Belum pernah saya bertemu dengannya."

   "Dia berkumis..., ingat paman?"

   Kaloka menggeleng kepala .

   "Memang dia berkumis, akan tetapi kumisnya tidak setebal si tahi lalat itu dan wajahnya pun berbeda, juga raden ini lebih tinggi..."

   "Wah, sayang,"

   Sulastri berkata dan memandang gemas kepada Sutejo yang tersenyum mengejek.

   "Apa yang kalian bicarakan aku tidak mengerti, akan tetapi sekali ini engkau patut mendapatkan hidung panjang, Bromo, karena sembarangan menuduh orang!"

   Kata Sutejo yang sengaja menyebut Bromo untuk mengejek.

   Sulastri hendak mengamuk, akan tetapi karena dia memang merasa salah sangka, dia hanya melotot dan dia lalu berkata kepada Kaloka.

   "Paman, aku datang untuk menyerahkan gadis ini kepada paman sebagai pengganti Katmi."

   Dia lalu menceritakan riwayat Warsini dan akhirnya berkata.

   "Paman telah kehilangan Katmi,dan Warsini tidak mempunyai sanak kadang lagi, maka paman mendapatkan seorang pengganti sebagai puteri paman, sedangkan Warsini pun kini ada seorang ayah yang dapat melindunginya dan tidak akan memaksanya kawin dengan seorang tua bangka. Bagaimana pendapat kalian, paman Kaloka dan kau, Warsini?"

   Kaloka memandang kepada Warsini dan ketika mendengar riwayat gadis itu, tadi pun dia telah merasa kasihan dan suka.

   "Kalau... kalau dia sudi menjadi anakku... tentu saja akan kulindungi dia dengan taruhan nyawaku dan akan kujadikan dia anakku yang berbahagia."

   "Dan kau, Warsini?"

   Warsini mengangkat muka memandang Sulastri dan matanya menjadi basah. Kemudian dia menunduk dan berkata lirih.

   "Telah saya katakan bahwa saya menurut segala kehendak paduka, raden."

   "Bagus kalau begitu. Paman Kaloka, setelah engkau memperoleh seorang anak sebagai pengganti Katmi, apakah engkau akan membiarkan anakmu hidup di tengah hutan seperti ini?"

   Tanya Sulastri memancing, sedangkan kini Sutejo memandang Sulastri dengan sinar mata lain, lenyaplah semua keraguannya dan kini dia memandang dengan sinar mata kagum. Biar pun galak, suka memaki, dan sikapnya ceriwis, ternyata pemuda tampan ini benar-benar seorang pendekar yang gagah dan berbudi!

   "Ah, tentu saja tidak, raden! Tentu saja saya tidak ingin melihat anak saya hidup seperti ini, seperti binatang buas di hutan. Saya akan kembali ke dusun saya di Turen di mana saya masih mempunyai rumah dan mempunyai harta. Saya akan hidup biasa lagi dan hidup berbahagia dengan anak saya nini Warsini!"

   "Nah, lega hatiku, paman Kaloka. Sekarang aku minta diri, aku harus melanjutkan perjalananku."

   "Selamat jalan, raden dan semoga para dewata melindungi paduka. Paduka telah menyadarkan saya, dan bukan itu saja, paduka telah menghidupkan lagi saya dengan mencarikan seorang pengganti Katmi bagi saya. Terima kasih, raden, terima kasih..."

   Dan Kaloka menggunakan punggung kepalan tangannya untuk mengusap dua tetes air mata dari pipinya.

   "Warsini, aku pergi. Yang baik-baik kau berbakti kepada ayahmu. Dia seorang yang baik, dan boleh diandalkan."

   Warsini hanya menangis dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, sesenggukan.

   Sulastri menoleh kepada Sutejo, tersenyum mengejek dan tanpa berkata apa-apa dia meninggalkan tempat itu. Sejenak Sutejo termangu-mangu, merasa serba salah, kemudian dia pun mengangguk kepada Kaloka dan kepada Warsini yang masih menangis, dan dia pun melangkah pergi.

   "Raden Bromatmojo...!"

   Warsini berlari-lari menghampiri Sulastri yang sudah agak jauh. Sulastri berhenti dan membalikkan tubuhnya, sedangkan Sutejo juga berhenti agak jauh memandang tanpa mengeluarkan kata-kata.

   "Raden...!"

   Sulastri terkejut ketika melihat Warsini menubruk kedua kakinya dan menangis sesenggukan sambil merangkul kedua kakinya.

   "Raden...paduka meninggalkan saya dan... dan... entah kapan dapat bertemu kembali..."

   Sulastri melirik ke arah Sutejo yang menonton dengan sikap tertarik sekali. Sulastri lalu membungkuk, memegang kedua pundak Warsini dan menariknya berdiri.

   Dengan sikap mesra dia menyingkap rambut yang mawut itu dari wajah yang basah air mata, lalu tersenyum dan berkata lembut.

   "Warsini, ada waktunya bertemu tentu ada waktunya berpisah. Jangan kau berduka, karena aku yakin benar dengan kebaikan hati paman Kaloka. Engkau boleh melegakan hatimu karena engkau memperoleh seorang ayah yang baik sekali. Dan aku berjanji bahwa aku tidak akan melupakan engkau, cah ayu, dan kelak, tentu aku akan singgah di rumahmu."

   "Be... benarkah... paduka tidak akan melupakan saya?"

   "Ahhh..."

   Sulastri kembali melirik ke arah Sutejo yang menonton dengan alisnya yang tebal itu berkerut.

   "Bagaimana bisa melupakan seorang gadis manis seperti engkau, Warsini? Nah, selamat berpisah, cah ayu."

   Sulastri lalu mendekatkan mukanya dan sambil melirik ke arah Sutejo, dia mengambung pipi kiri Warsini dengan hidungnya dengan mesra.

   Warsini masih berdiri dengan mata terbelalak, mukanya merah sekali dan tangannya mengusap-usap pipi kirinya ketika Sulastri sudah berkelebat dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Sutejo. Tiba-tiba dia merasa pundaknya disentuh tangan dari belakang dan terdengar suara Kaloka.

   "Anakku, memang Raden Bromatmojo seorang yang gagah perkasa dan patut kau puja dalam hatimu. Akan tetapi, aku melihat dia itu masih muda sekali sehingga agaknya hatinya belum dapat tersentuh oleh rasa kasih seorang wanita, anakku."

   "Tenanglah, anakku, tenangkan hatimu. Hidup memang selalu penuh kekecewaan bagi orang yang banyak mengharap. Jangan engkau mengharapkan sesuatu yang kiranya tidak akan terjangkau olehmu, anakku. Mari, kita pergi ke Turen dan di sana engkau akan hidup sebagai anakku yang tersayang, dan sebagai anakku tidak ada seorang pun yang akan memaksamu melakukan sesuatu di luar kehendakmu."

   Kaloka lalu mengajak anak angkatnya itu pergi meninggalkan hutan, menuju ke Turen untuk memulai hidup baru, di mana Warsini hidup sebagai seorang gadis yang terlindung oleh seorang ayah yang benar-benar mencintainya dan ingin melihat dia hidup bahagia.

   Sampai lama mereka berjalan cepat tanpa mengeluarkan suara. Sulastri maklum bahwa pemuda itu berjalan di belakangnya, akan tetapi dia mengambil sikap pura-pura tidak tahu sampai mereka tiba di luar hutan, karena dianggapnya bahwa mereka hanya akan bersama-sama ke luar dari hutan itu. Akan tetapi setelah keluar dari hutan itu dan dia membelok ke barat, pemuda itu pun masih terus mengikuti di belakangnya.

   Sulastri berhenti dan menengok, bertolak pinggang.

   "Eh, Tejo! Mau apa kau mengikuti aku terus?"

   Dia melihat betapa wajah pemuda tinggi tegap yang gagah itu merah dan sinar matanya berkilat.

   "Bromo aku mengikutimu untuk mengatakan penasaran yang terpendam di hatiku.

   "Hemm, penasaran terhadap siapa?"

   "Terhadap andika, Bromo!"

   "Eh, eh, kalau begitu coba katakan! Penasaran apakah itu?"

   "Bromo, ingin sekali aku mengatakan bahwa engkau adalah seorang pemuda yang ceriwis, tak tahu malu, mata keranjang dan kurang ajar! Nah, puas sudah hatiku!"

   Wajah yang halus tampan itu menjadi merah, sepasang mata yang bening tajam itu bersinar-sinar.

   "Dan engkau seorang pemuda yang gila dan tolol! Kenapa tiada hujan tiada angin kau memaki-maki orang? Kalau memang kau berani, majulah dan jangan banyak mulut memaki orang!"

   "Eh, eh, kau menantang? Kau kira aku tidak berani melawan seorang pemuda ringkih,kecil kurus macam engkau?"

   Sutejo makin marah karena memang hatinya sudah gemas sekali melihat sikap Bromatmojo itu, apalagi ketika dia tadi melihat keadaan Warsini yang begitu mengenaskan hati, ditinggal pergi oleh pemuda tampan itu setelah menaklukkan hatinya. Dia melangkah maju dengan kedua tangan dikepal.

   "Sombongnya!"

   Kau belum mengenal kedigdayaan anak gunung Bromo, ya?"

   "Bromo bocah kementus! Kalau aku tidak bisa mengalahkan engkau, jangan panggil lagi aku Sutejo!"

   "Heeeeiiiittt...!!"

   Sulastri sudah memekik dengan suara melengking, lalu dia secepat kilat sudah menerjang ke depan, melancarkan pukulan kepalan tangan kiri ke arah lambung Sutejo sedangkan tangan kanannya menampar ke arah kepala.

   "Aiiiihhhh...!!"

   Sutejo juga melengking dan menggerakkan kaki tangannya,menangkis dua pukulan itu dengan kedua tangan.

   "Dukk! Plaakk!!"

   Dua pasang lengan bertemu dan keduanya terdorong ke belakang saking kuatnya tenaga lawan. Diam-diam Sulastri terkejut. Dia tadi telah mengerahkan tenaganya untuk menguji pemuda ini dan ternyata tangkisan pemuda itu membuat dia terdorong ke belakang. Diam-diam dia merasa kagum sekali. Di lain pihak, Sutejo kagum dan kaget. Biar pun dia telah mempergunakan tiga perempat tenaganya untuk menangkis, tetap saja dia terdorong mundur, tanda bahwa tenaga pemuda ceriwis ini hampir mengimbangi tenaganya sendiri.

   Sulastri yang terkejut dan kagum itu juga merasa penasaran dan marah. Dia lalu memekik lagi dan kini dia melancarkan serangan bertubi-tubi yang dilakukan dengan gerak cepat! Tubuhnya berkelebat seperti seekor burung srikatan menyambari capung, cepat bukan main dan setiap pukulannya mengandung tenaga dasyat. Namun Sutejo juga sudah mempercepat gerakannya dan setiap kali menangkis atau mengelak, dia tentu membalas dengan satu serangan sehingga terjadilah pukul-memukul, tangkis-menangkis dan tendang-menendang antara dua orang muda yang sama tangkas dan sama kuatnya itu. Setelah puluhan jurus lewat dan dia belum juga mampu menyentuh tubuh lawan, Sulastri menjadi gemas bukan main.

   "Hiaaatttt...!!"

   Dia melengking panjang dan kini gerakannya berubah, kedua tangannya melakukan serangan yang amat hebat sehingga dari kedua tangan itu datang angin menyambar-nyambar dahsyat. Kiranya dalam keadaan penasaran dan marah, dia telah mengeluarkan ilmu pukulan yang dipelajarinya dari Ki Jembros dan yang oleh Empu Supamandrangi dianggap sebagai ilmu yang keji dan terlalu dahsyat. Akan tetapi diam-diam di puncak Gunung Bromo itu, Sulastri malah memperdalam ilmu pukulan ini, yang dinamakan Hasto Bairowo (Tangan Dahsyat).

   "Ehhh!!"

   Sutejo terkejut bukan main karena tahu bahwa sekali ini lawannya benar-benar mengeluarkan ilmu yang amat hebat dan dua buah tangan yang jari-jari tangannya terbuka itu, jari-jari yang kecil dan kelihatan lemah, merupakan tangan-tangan maut yang amat berbahaya. Maka dia pun lalu menggetarkan kedua lengannya, mengerahkan aji kesaktiannya, yaitu Ilmu Kolocokro yang dahsyat pula dan ketika dia menggerakkan kedua tangan yang telah mengandung Ilmu Kolocokro ini, nampak uap putih mengepul dari kedua telapak tangannya.

   Hebat bukan main pertempuran itu kali ini. Dua pasang tangan yang sama-sama mengandung getaran tenaga mujijat itu jika bertemu menggetarkan pohon-pohon di sekeliling mereka dan keduanya tentu terhuyung ke belakang. Sulastri yang merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya melalui lengannya yang bertemu dengan lengan lawan, merasa terkejut bukan main. Beberapa kali dia merasa lengannya panas dan setengah lumpuh ketika dia terhuyung ke belakang. Maklumlah dia bahwa sesungguhnya pemuda ini benar-benar amat digdaya. Akan tetapi dia masih belum mau menerima kalah. Ketika mendapat kesempatan, tangan kirinya menampar dengan pengerahan tenaga sakti Hasto Nogo.

   Memang hebat bukan main tamparan tangan dengan tenaga mujijat ini. Terdengar suara keras ketika Sutejo menangkis dan sekali ini pemuda tinggi tegap inilah yang terhuyung sampai beberapa langkah. Dia memandang dengan mata terbelalak dan Sulastri tersenyum puas karena sedikitnya dia telah mampu membalas dan mengejutkan pemuda itu.

   Pada saat itu terdengar suara berisik dan muncullah banyak sekali orang mengurung tempat itu. Mereka adalah orang-orang yang membawa senjata dan dikepalai oleh dua orang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar. Orang-orangnya pak lurah Jati!

   "Nah, inilah mereka!"

   "Tangkap!"

   "Bunuh!"

   Sulastri dan Sutejo saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata sebentar itu, terhapuslah semua kemarahan di antara mereka dan terjalin persetujuan tanpa kata untuk menghadapi bahaya ini bersama-sama. Seperti mendapat komando, dua orang muda itu lalu menerjang ke kanan dan ke kiri dan mengamuklah mereka dikeroyok oleh puluhan orang. Kalau tadi mereka saling serang dalam pertandingan, kini mereka agaknya berlomba untuk menang banyak dalam merobohkan para pengeroyok!

   Segera terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan senjata-senjata golok, pedang,tombak dan penggada beterbangan jatuh disusul tubuh pemiliknya. Dua orang setengah tua itu kini sudah menerjang Sulastri dan Sutejo dan ternyata mereka ini bukan orang-orang sembarangan, pandai pula dalam ilmu berkelahi sehingga dua orang muda itu kini bertemu tanding. Akan tetapi, dua orang setengah tua itu segera terdesak hebat dan andaikata mereka tidak dibantu oleh banyak orang,tentu mereka sudah roboh oleh dua orang muda yang sakti itu.

   Hampir semua pengeroyok telah mengalami jatuh bangun dan setelah kakek pertama remuk tulang pundaknya kena hantaman tangan Sutejo sedangkan kakek ke dua hancur daun telinga kanannya kena disambar pukulan Hasto Nogo dari tangan Sulastri,akhirnya dua orang kakek itu terpaksa melarikan diri diikuti oleh anak buah mereka yang menyeret kawan-kawan yang terluka dan tidak mampu jalan sendiri. Sulastri dan Sutejo hanya berdiri bertolak pinggang mengikuti mereka dengan pandang mata sambil tersenyum dan tidak mengejar.

   Setelah para pengeroyok itu pergi semua dan suara mereka tidak terdengar lagi, barulah mereka kini membalikkan tubuh dan saling berhadapan lagi. Akan tetapi segala nafsu saling serang sudah lenyap dari pandang mata mereka.

   "Kita lanjutkan pertandingan kita?"

   Sulastri menantang akan tetapi suaranya meragu karena dalam perkelahian keroyokan tadi, beberapa kali Sutejo melindunginya dengan merobohkan orang-orang yang menyerangnya dari belakang,sungguh pun dia sama sekali tidak membutuhkan perlindungan ini. Juga tadi dia melihat pemuda itu terhuyung karena kakinya keserimpet akar pohon, telah meloncat dan merobohkan dua orang lawan yang menubruk pemuda itu. Mereka telah bertanding melawan pengeroyokan musuh bersama, saling bantu, tentu saja Sulastri merasa tidak enak kalau kini mereka harus saling gempur sendiri!

   Sutejo saling menggeleng kepala.

   "Bromo, aku telah bersikap kasar kepadamu. Ternyata engkau seorang pemuda yang gagah perkasa yang patut menjadi sahabatku. Kalau kau masih penasaran, kau boleh pukul aku dan aku tidak akan membalas."

   "Akulah yang salah! Engkau seorang pemuda perkasa yang baik, Sutejo, hanya engkau bodoh."

   Sutejo menundukkan mukanya.

   "Aku tentu lebih tua daripada engkau, akan tetapi agaknya engkau memang lebih pintar daripada aku, lebih pintar dalam segala-galanya!"

   Sulastri tersenyum.

   "Ah, engkau terlalu memuji. Dalam hal kesaktian, kalau dilanjutkan pertandingan kita, akhirnya aku pasti akan kalah."

   "Sudahlah, kita belum ada yang kalah atau menang. Yang pasti, kita telah berhasil memukul mundur kaki tangan lurah Jati dan kita telah bantu-membantu,jadi kita bukanlah musuh karena tidak ada hal yang membuat kita saling bermusuhan."

   "Kalau begitu kita menjadi sahabat?"

   "Kalau kau suka...

   "

   "Tentu saja! Siapa tidak suka bersahabat dengan seorang pemuda gagah perkasa seperti engkau, Tejo? Akan tetapi agar tidak ganjalan di antara kita sebagai sahabat, aku masih ingin tahu mengapa tadi engkau memaki aku sebagai pemuda ceriwis, tak tahu malu, mata keranjang dan kurang ajar?"

   "Ah, kau maafkan kata-kataku tadi, Bromo."

   "Memang sudah kumaafkan, hanya aku akan terus merasa penasaran kalau belum kau jelaskan mengapa kau mengatakan seperti itu. Siapa tahu, aku betul-betul seperti yang kau katakan itu! Nah, secara hati terbuka, jelaskanlah, Tejo, aku tidak akan marah."

   Sutejo menarik napas panjang. Dia kagum kepada Bromatmojo karena dari cara pemuda tampan tadi bertempur melawan peneroyokan musuh, dia memperoleh kenyataan bahwa memang pemuda tampan ini amat hebat sepak terjangnya, dan juga seperti dia pula, pemuda tampan ini tidak mau membunuh lawan. Kalau dikehendaki dengan tamparan-tamparannya yang ampuh dan sakti, tentu dengan mudah Bromatmojo akan dapat membunuh banyak orang dalam pertempuran tadi. Hal ini saja sudah menimbulkan rasa suka di dalam hatinya dan dia maklum bahwa pemuda ini pun seorang pendekar yang bukan orang jahat haus darah. Akan tetapi, harus diakui pula bahwa pemuda ini terlalu tampan, terlalu ceriwis, dan terlalu cerewet!

   "Baiklah, aku pun tidak ingin menyembunyikan semua perasaan hatiku kepada seorang sahabat. Nah, dengarlah dan jangan marah seperti telah kau janjikan tadi. Aku mengganggap engkau ceriwis karena sikapmu kepada Warsini terlalu mesra dan terlalu berani, aku mengatakan engkau tak tahu malu karena engkau telah membelai dan merayunya di depan orang lain, aku menganggap engkau mata keranjang karena engkau pandai memikat hati Warsini dan engkau kurang ajar karena engkau telah memperlihatkan cintamu akan tetapi engkau lalu meninggalkannya begitu saja sehingga hatinya menjadi tersiksa. Nah, aku telah minta maaf, akan tetapi itulah isi hatiku tadi."

   Sulastri tersenyum.

   "Hemm, mengapa baru kau nyatakan tadi?"

   "Karena aku makin tidak tahan ketika melihat engkau menciumnya."

   Sulastri tertawa.

   "Aaahh, kalau begitu itu berarti bahwa engkau iri dan cemburu,Tejo!"

   Sutejo mengangkat mukanya tiba-tiba dan pipinya menjadi merah.

   "Tidak mungkin! Aku sama sekali tidak iri atau cemburu!"

   "Tejo, apakah engkau tidak ingin pula mencium pipinya yang halus?"

   "Tidak sudi!!"

   "Kalau begitu, benar makianku tadi bahwa engkau adalah seorang pemuda yang gila dan tolol!"

   "Mengapa? Mengapa karena aku tidak sudi mencium pipi gadis kau maki gila dan tolol?"

   "Tejo! Karena sudah sepatutnya gadis cantik dicium pria muda yang tampan seperti engkau!"

   "Huhh!"

   "Wanita adalah seperti kembang..."

   "Hemm..."

   "Cantik indah dan harum, tentu haus akan pujian seorang pria tampan dan akan merasa senang dan bangga sekali kalau dipuji dan dicium..."

   "Bohong!"Wanita macam apa itu! Mau saja dicium oleh sembarang laki-laki?"

   "Bukan sembarang laki-laki, melainkan pria yang disuka dan dipujanya tentu! Apakah engkau tidak suka mencium bunga yang cantik dan harum, Tejo?"

   "Sudahlah! Aku tidak suka bicara tentang cium-mencium!"

   "Akan tetapi pipinya halus sekali, keringatnya sedap dan kulitnya hangat..."

   Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau kurang ajar memang!"

   "Aku menciumnya tadi dan kau melihat sendiri betapa dia tidak mengelak, tidak marah, dan aku tidak memaksanya."

   "Memang dia telah tergila-gila kepadamu karena kepandaianmu merayu. Akan tetapi engkau lalu meninggalkannya begitu saja, bukankah kau kejam sekali? Betapa akan hancur hatinya."

   "Andaikata engkau yang menjadi aku..."

   "Tidak mungkin. Aku bukan perayu wanita!"

   "Benarkah engkau belum pernah mencium wanita, Tejo?"

   "Hushh! Ceriwis kau! Tentu saja belum."

   "Dan dalam mimpi pun belum?"

   Sutejo menggeleng kepalanya.

   "Benar-benar belum pernah mimpi mencium wanita?"

   Sulastri mendesak.

   Sutejo termenung. Tentu saja sebagai seorang pemuda yang usianya sudah sembilan belas tahun, dia pernah membayangkan seorang puteri yang cantik dan menarik hatinya. Akan tetapi dengan nekat dia menggeleng.

   "Jadi engkau belum pernah mencinta wanita?"

   "Belum. Sudahlah, kau cerewet benar sih?"

   Hening sejenak dan Sulastri agak cemberut. Sutejo pun diam ketika melihat temannya cemberut, agak menyesal mengapa dia memakinya cerewet. Sebagai seorang sahabat baru agaknya Bromatmojo ini ingin sekali mengetahui segala hal tentang dirinya. Hal itu lumrah, mengapa dia marah-marah dan memakinya cerewet?

   "Bromo maafkan aku..."

   "Kenapa minta maaf? Untuk apa?"

   "Karena aku mengatakan engkau cerewet. Sesungguhnya, kalau bicara tentang hal lain aku akan suka sekali. Akan tetapi tentang wanita..., hemm, aku... aku belum ada waktu untuk memperhatikan wanita."

   "Kenapa belum ada waktu?"

   "Karena... hemm, agaknya aku tidak suka kepada wanita!"

   "Wah-wah sombongnya manusia ini!"

   Sutejo terheran-heran melihat Bromatmojo seperti orang yang marah.

   "Jadi engkau ini seorang pemuda yang alim, ya? Seorang pertapa yang tahan uji, yang suci dan alim."

   "Bukan pertapa tapi... ah, sudahlah, mungkin juga alim!"

   "Hemm..., pemuda Sutejo yang gagah perkasa, yang tampan dan ganteng, dia membenci wanita."Sulastri kini duduk di atas akar pohon dan Sutejo juga duduk di atas sebuah batu tak jauh dari situ.

   "Aku tidak bilang membenci,"bantahnya sambil menoleh.

   "Tidak ada bedanya. Kau bilang tidak suka, itu berarti benci. Tejo, aku yakin sekali bahwa engkau..."

   "Ya? Teruskan!"

   "Kelak kalau bertemu dengan seorang gadis yang berkenan di hatimu, engkau akan bertekuk lutut menyembahnya, mengharapkan cinta kasihnya..."

   "Tak mungkin!"

   "Dan wanita itu akan melihat ketololanmu, kesombonganmu, dan dia akan mencemoohkanmu."

   "Biar saja! Aku tidak butuh dengan dia."

   "Aku sendiri pun muak melihat sikapmu."

   "Ehhh?"

   Sutejo membalik dan mendekati.

   "Kenapa sih engkau ini?"

   Dengan muka merah dan mulut cemberut, Sulastri menjawab tanpa menoleh.

   "Habis,engkau begitu sombong, seolah-olah engkau seorang pria yang paling hebat, yang suci murni, yang tidak membutuhkan wanita, yang memandang rendah wanita. Hati siapa tidak akan menjadi muak melihatmu?"

   Sutejo tertawa dan memegang pundak Sulastri, akan tetapi tentu saja dara ini tidak membiarkan pundaknya dipegang dan dia cepat mengelak dan menangkis lalu meloncat berdiri.

   "Eh, eh, engkau marah benar, Bromo? Sudahlah, aku minta maaf. Aku lupa betapa engkau amat mengagungkan wanita. Engkau seorang pembela wanita agaknya. Nah,biarlah aku minta maaf kepadamu."

   "Tidak, sebelum engkau menarik kembali omonganmu."

   "Omongan yang mana? Tadi begitu banyak."

   "Bahwa engkau membenci wanita dan tidak butuh wanita."

   "Hemm, baiklah. Memang ucapanku tadi mungkin terlanjur. Aku tidak membenci wanita, dan siapa tahu... mungkin saja kelak aku membutuhkan wanita... eh, tapi aku sungguh tidak mau kalau dikatakan bahwa aku mata keranjang seperti..."Sutejo menahan kata-katanya karena tidak ingin dia membikin marah lagi hati kawannya yang agaknya selain ceriwis juga mudah naik darah ini.

   "Seperti aku?"Sulastri tertawa dan hati Sutejo menjadi lega.

   "Biarlah, biar aku mata keranjang dan kau pertapa alim. Eh, Tejo, sebenarnya engkau dari manakah? Dan hendak ke mana?"

   Melihat perubahan yang demikian cepatnya, Sutejo terheran. Baru saja marah-marah sekarang telah memperlihatkan sikap manis sekali, sikap manis dan ramah penuh rasa persahabatan. Dia pun duduk di atas akar berhadapan dengan sahabat barunya akan tetapi yang dirasakannya seperti telah dikenalnya bertahun-tahun. Betapa tidak? Dengan sahabat yang baru dijumpainya kemarin ini dia telah berkelahi,saling serang mati-matian, kemudian saling membela ketika dikeroyok, dan sudah cekcok sampai ribut pula!

   Betapa anehnya! Maka timbul kepercayaan yang luar biasa di dalam hatinya terhadap sahabat ini dan Sutejo pun menceritakan semua riwayatnya. Betapa sembilan tahun yang lalu ibunya diperkosa di depan matanya oleh Progodigdoyo, kemudian rumah terbakar dan kakak perempuannya, Lestari, entah bagaimana nasibnya.

   "Si jahanam busuk! Manusia iblis macam itu harus kuhancurkan kepalanya!"

   Sulastri sudah meloncat berdiri dan mengepalkan tinjunya, mengamang-amangkan tinju kanannya di atas seolah-olah pada saat itu Progodigdoyo sudah berdiri di depannya!

   (Lanjut ke Jilid 13)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   Sutejo kembali terbelalak keheranan melihat sikap Bromatmojo itu dan diam-diam ada rasa terima kasih yang besar di dalam hatinya terhadap pemuda yang kelihatannya masih remaja ini.

   "Memang dia seorang manusia yang jahat sekali, Bromo. Sebelum itu, ayahku juga tewas karena kecurangannya, padahal ayah adalah teman seperjuangannya. Dia membunuh ayah dengan tusukan dari belakang dan semua itu dilakukannya untuk merebut ibuku."

   Sulastri menghampiri Sutejo dan menaruh tangan kanannya di atas pundak pemuda itu.

   "Jangan khawatir, Tejo. Aku akan membantumu sampai engkau berhasil membalas jahanam keparat itu. Sungguh engkau seorang yang amat malang..."

   Sutejo memegang tangan yang berada di atas pundaknya itu dan sejenak mereka berada dalam keadaan demikian. Kemudiaan Sulastri menarik tangannya dan mundur,duduk kembali ke atas akar pohon di depan pemuda itu.

   "Lalu bagaimana, Tejo? Engkau pingsan di dalam rumahmu yang terbakar..."

   "Agaknya Yang Maha Kuasa masih melindungiku, Bromo. Aku sempat diselamatkan oleh kakek guruku sendiri, guru dari mendiang ayahku, yaitu eyang guru Panembahan Ciptaning yang bertapa di lereng gunung Kawi. Aku lalu menjadi murid eyang sampai sekarang, dan baru saja aku diperkenankan turun gunung dan bertemu denganmu di tepi sungai itu."

   "Ah, kasihan sekali nasibmu, Tejo. Entah bagaimana dengan nasib mbakayumu itu."

   "Aku akan mencarinya, Bromo. Mudah-mudahan dia masih hidup."

   "Jangan khawatir, aku akan membantumu, Tejo. Di mana sih dusun tempat tinggalmu itu?"

   "Dusun Kembangsri dekat Tuban."

   "Ah, kalau begitu kita masih satu daerah! Aku berasal dari dusun Gedangan dekat sungai Tambakberas, juga daerah Tuban!"

   "Hemm, dan sekarang orang tuamu masih tinggal di sana, Bromo?"

   "Orang tuaku?"

   Sulastri menunduk.

   "Di dunia ini hanya mempunyai tiga orang, yaitu ayah ibu, dan mbakayuku. Akan tetapi ketiganya itu sudah meninggal semua."

   "Ahhh! Maaf... ah, Bromo, engkau kasihan kepadaku, akan tetapi kau sendiri..., betapa sama nasib kita. Engkau sebatang kara, dan aku pun juga!"

   "Tidak sama benar, Tejo. Engkau mempunyai penasaran besar, ayahmu, ibumu, dan mbakayumu juga mungkin dibunuh orang. Akan tetapi aku tidak mempunyai musuh tertentu, kecuali dua orang yang telah menghina jenazah mbakayuku, dan majikan mereka."Sulastri yang juga merasa akrab sekali dengan Sutejo, telah menaruh kepercayaan besar, lalu menceritakan riwayatnya, betapa mbakayunya bela pati atas kematian Adipati Ronggo Lawe yang dicintanya, kemudian betapa dia ditolong oleh Ki Jembros yang kemudian menjadi gurunya selama lima tahun.

   "Ki Jembros? Pantas engkau amat digdaya, kiranya engkau murid Ki Jembros. Eyang guruku, Panembahan Ciptaning, pernah menyebut nama Ki Jembros sebagai orang yang gagah perkasa yang sakti. Di mana beliau sekarang?"

   "Entahlah, dahulu kami berpisah di Pegunungan Pandan, guruku menyuruh aku pergi ke tempat pertapaan eyang guru Supamandrangi di puncak gunung Bromo sedangkan dia sendiri tinggal bersama paman Juru Demung, Gajah Biru dan lain-lain paman yang melarikan diri dari Mojopahit."

   "Jadi akhirnya engkau berguru kepada Empu Supamandrangi?"

   Tanya Sutejo.

   "Ya, empat tahun lamanya dan sekarang aku diperbolehkan turun gunung untuk mencari Kolonadah."

   "Kolonadah?"

   "Ya, keris kepunyaan mendiang Adiapati Ronggo Lawe, ciptaan eyang guru Supamandrangi. Menurut eyang, keris itu diciptakan untuk seorang raja, maka harus kuambil pusaka itu dan harus kuserahkan kepada Pangeran Kolo Gemet putera sang prabu di Mojopahit."

   Sutejo mengangguk-angguk.

   "Hemm, tugasmu berat, Bromo. Apakah kau tahu di mana adanya keris pusaka Kolonadah itu?"

   "Tentu saja! Akulah yang menyimpannya, akulah yang menguburnya."

   "Menguburnya?"

   Sutejo bertanya kaget.

   "Belum kuceritakan tadi. Mbakayuku berbela pati atas gugurnya Adipati Ronggo Lawe dan mbakayuku melakukan suduk seliro (membunuh diri dengan keris)menggunakan keris pusaka Kolonadah milik adipati itu. Ketika aku mengubur jenazah mbakayuku, keris itu masih menancap di dadanya."

   "Ahhh...!"

   Sutejo memandang dengan mata terbelalak.

   "Kalau begitu, tentu bisa saja diambil oleh orang lain."

   Sulastri menggeleng kepala sambil tersenyum dan Sutejo yang sedang menatap wajahnya itu diam-diam mengakui bahwa pemuda ini benar-benar luar biasa tampannya, senyumnya benar-benar amat memikat. Dia saja yang sama-sama pria merasa tertarik sekali, apalagi wanita! Benar-benar wajah seorang pemuda yang amat "berbahaya"bagi seorang gadis.

   "Tidak ada yang melihat ketika aku mengubur jenazah mbakayuku Sri Winarti. Tempatnya pun tersembunyi dan hanya aku seorang yang bisa mencari makamnya yang tidak ada tanda-tandanya sama sekali."

   "Sembilan tahun yang lalu engkau tentu masih amat kecil..."

   "Ketika itu aku berusia sembilan tahun."

   "Dan kau sudah dapat melakukan itu. Hebat! Dan juga mbakayumu itu seorang wanita yang hebat. Tentu dia adalah isteri dari Adipati Ronggo Lawe, bukan?"

   Sulastri menggeleng kepalanya.

   "Bukan."

   "Kalau begitu selirnya?"

   "Juga bukan."

   "Eh, kalau begitu, mengapa mbakayumu berbela pati atas gugurnya adipati itu?" Sutejo bertanya, terheran-heran.

   "Mbakayu dan aku pernah ditolong oleh Adipati Ronggo Lawe ketika kami diganggu perampok, dan karena pertolongan itu, mbakayu diam-diam jatuh cinta kepada sang adipati. Maka, melihat orang yang dicintanya itu gugur dalam peperangan itu,mbakayuku demikian berduka sehingga dia lari menghampiri dan membunuh diri di dekat jenazah Adipati Ronggo Lawe di tengah Sungai Tambakberas. Dengan susah payah aku menyelamatkan jenazah mbakayuku dan kumakamkan di tempat tersembunyi."

   Sutejo menarik napas panjang.

   "Betapa sama nasib kita. Engkau kehilangan orang tua dan satu-satunya kakakmu, demikian pula aku. Dan kita bertemu secara kebetulan sekali. Sembilan tahun yang lalu engkau berusia sembilan tahun,berarti kini usiamu delapan belas tahun, dan usiaku sembilan belas tahun. Aku lebih tua setahun. Eh adi Bromatmojo, bagaimana kalau kita saling bantu seperti kakak dan adik? Kita pun sudah saling bantu sejak bertemu pertama kali dan saling menceritakan riwayat seolah-olah tidak ada lagi rahasia di antara kita."

   Hati Sulastri merasa terharu sekali. Semenjak bertemu untuk pertama kali, dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada pemuda ini, pemuda yang tampan dan gagah perkasa, pemuda yang pemalu, pemuda yang canggung namun amat cekatan apabila menghadapi lawan. Hampir dia melinangkan air mata ketika mendengar pemuda itu menyebutnya adi dan mengakuinya sebagai adiknya. Akan tetapi cepat ditekannya perasaan hatinya dan dia menjawab sambil tersenyum,

   "Terima kasih,kakang Tejo. Engkau memang seorang yang baik sekali. Akan tetapi, engkau mempunyai tugas mencari mbakayumu dan mencari musuh besarmu, sedangkan aku mempnyai tugas mencari keris pusaka Kolonadah lebih dulu, baru akan kucari dua orang keparat yang pernah menghina jenazah mbakayuku."

   "Tidak mengapa, adi Bromo. Bukankah perjalanan ke dusunku di Kembangsri harus melewati tempat kau mengubur mbakayumu itu? Biarlah aku akan menemanimu mencari keris pusaka sampai dapat, baru aku akan pergi ke Kembangsri."

   Berseri wajah Sulastri. Tentu saja jauh lebih senang melakukan perjalanan dengan pemuda perkasa ini daripada sendirian saja, akan tetapi ada beberapa hal yang amat membingungkan hatinya, maka dia cepat berkata.

   "Akan tetapi, kakang Tejo. Aku khawatir kalau kita melakukan perjalanan bersama, aku hanya akan menjengkelkan hatimu saja."

   "Ah, mengapa begitu? Tentu saja tidak!"

   Jawab Sutejo cepat-cepat.

   "Karena aku mempunyai watak yang aneh. Aku kadang-kadang ingin menyendiri dan tidak mau ditemani orang, biar pun orangnya sebaik engkau, kakang. Terutama sekali aku tidak pernah tidur sekamar dengan orang lain, kalau ada temanku, aku tidak bisa tidur. Hal ini mungkin karena sudah kebiasaanku sejak kecil, yaitu tidur sendirian."

   Sutejo tertawa. Memang dia melihat sifat-sifat aneh pada pemuda tampan ini,terutama sekali wataknya yang sukar untuk diukur, kadang-kadang gembira, kadang-kadang galak, kadang-kadang baik sekali! "Tenangkan hatimu, adi Bromo. Aku pun bukan orang yang suka mengganggu teman, apalagi engkau yang seperti adikku sendiri. Aku tidak akan mengganggu tidurmu."

   Sulastri tersenyum dan menatap wajah yang tampan gagah itu dengan hati gembira.

   

Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini