Kemelut Di Majapahit 19
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
"Mau tahu apa yang dipesan oleh Dyah Sri Winarti? Dia pesan kepadaku untuk mencari kalian berdua yang telah menghina jenazahnya dahulu itu, dan aku diharuskan menghajar kalian sampai setengah mati!"
"Babo-babo, keparat bermulut besar!"
Bentak Darumuko yang kini timbul kembali keberaniannya karena dia maklum bahwa pemuda ini hanya mempermainkannya saja,sama sekali bukan utusan dari alam baka!
"Jahanam sombong, kau sudah bosan hidup!"
Reksosuro juga membentak dan dia sudah mendahului Darumuko untuk menubruk dan menghantam ke arah dada pemuda halus itu dengan pengerahan tenaga sekuatnya karena dia ingin sekali pukul memecahkan dada yang tidak berapa besar itu.
"Plak-plak, plengg...!!"
Tubuh Reksosuro berpusing seperti gasing ketika dia terkena tempilingan pipinya oleh tamparan tangan Bromatmojo setelah dua kali pukulannya tadi kena ditangkis. Matanya berkunang-kunang dan kepalanya pening dan akhirnya dia jatuh bergelimpang, berpegang kepada bangku akan tetapi tetap saja dia masih terbanting dan bangku itu ikut pula terseret.
"Mampuslah!"
Darumuko marah sekali dan menerjang dengan tendangan kakinya yang kecil pendek. Melihat menyambarnya kaki lawan ini, Bromatmojo miringkan tubuhnya membiarkan kaki itu lewat, kemudian secepat kilat dia menyambar mata kaki dan mendorong kaki itu ke atas.
"Blukk, ngekkk!"
Pantat yang kerempeng itu terbanting keras sekali di atas lantai dan perut Darumuko seketika terasa mulas, kepalanya berputar dan matanya menjadi juling menyaingi mata rekannya, Reksosuro yang kini sudah merangkak bangun.
Mereka bangkit dan menggoyang-goyang kepala mengusir pening dan keheranan. Mereka merasa heran dan terkejut sekali karena sama sekali mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi roboh, seolah-olah mereka disambar petir layaknya. Akan tetapi mereka dapat menduga bahwa pemuda tampan itu tentu memiliki kesaktian hebat, maka mereka menjadi marah dan nekat. Keduanya mencabut keris yang terselip di pinggang. Keris di tangan Reksosuro adalah masih keris yang dulu juga. Bromatmojo teringat dan menahan ketawanya. Teringat dia akan gurunya yang pertama, yaitu Ki Jembros, ketika Ki Jembros mempermainkan kedua orang ini.
Keris di tangan Reksosuro itulah yang dulu oleh gurunya ditekuk-tekuk seperti terbuat dari timah saja! Dan kini, keris itu telah lurus lagi, keris berluk sembilan yang namanya Kyai Bandot! Sedangkan keris di tangan Darumuko juga panjang sekali, seperti golok saja!
"Hemm, kau mengeluarkan Kyai Bandot?"
Bromatmojo mengejek kepada Reksosuro. Pemilik keris ini terkejut mendengar orang muda itu mengenal nama kerisnya, akan tetapi dia menjadi girang. Agaknya pemuda itu telah mengenal keris pusakanya yang terkenal dan merasa jerih tentunya.
"Hemm, kau mengenal pusakaku yang ampuh? Kyai Bandot ini sekarang telah menjadi pusaka yang ampuhnya tidak kalah oleh Kolonadah! Ditusukkan gunung akan jebol,ditusukkan lautan akan kering..."
"...ditusukkan sate malah patah!"
Bromatmojo menyambung dan lagaknya demikian jenaka sehingga terdengar ada suara terkekeh di antara para pelacur yang tadi melihat betapa dalam segebrakan saja dua orang yang ditakuti itu gelayaran oleh pemuda luar biasa itu. Benar-benar mereka merasa kagum, seolah-olah mereka menonton pertunjukkan wayang di mana Raden Arjuno dikeroyok dua oleh raksasa-raksasa cebol!
"Keparat, berani kau menghina pusakaku?"
Reksosuro membentak.
"Pusaka apa? Pisau dapur lebih tajam! Mari, kau boleh tusuk aku dengan keris tempe itu!"
Reksosuro marah bukan main. Keris pusakanya itu adalah senjata pusaka yang setiap pekan sekali tentu dia bakari kemenyan, dia kutugi (diasapi kemenyan) dan beri sesajen kembang tujuh macam dan sekarang dimaki orang sebagai keris tempe dan ditantang! Dengan kemarahan meluap, dia lalu menggerakkan kerisnya itu menusuk ke arah perut Bromatmojo yang sengaja agak dibusungkan ke depan.
Bromatmojo dulu melihat gurunya, Ki Jembros menerima keris itu dengan dada. Kini,setelah dia berguru kepada Empu Supamandrangi, tentu saja dia juga sudah memiliki aji kekebalan yang amat kuat. Karena dia tahu bahwa keris yang bernama Kyai Bandot itu hanya namanya saja yang serem, maka dia berani menerima tusukannya dengan mengandalkan aji kekebalannya. Dan dalam hal ini, Bromatmojo sama sekali bukanlah seorang yang sembrono. Dia adalah murid seorang empu,bahkan seorang maha empu. Tentu saja pengetahuannya tentang perkerisan sudah cukup mendalam dan dia dapat melihat dari jauh apakah sebabnya keris itu ampuh atau tidak. Dan keris Kyai Bandot di tangan Reksosuro itu hanyalah keris yang boleh dipakai untuk menakuti-nakuti orang saja!
"Tukk!"
Keris itu tepat mengenai perut atas dari Bromatmojo dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Reksosuro ketika dia merasa seperti menusukkan kerisnya pada sebongkah besi saja. Kerisnya membalik dan hampir terlepas dari pegangan tangannya!
"Mati kau!"
Darumuko juga membentak dan menusukkan kerisnya pada lambung Bromatmojo. Pemuda itu sama sekali tidak mengelak, melainkan melindung lambungnya dengan hawa sakti dari tubuhnya, mengerahakan aji kekebalannya.
"Tukkk!"
Juga keris panjang di tangan Darumuko itu membalik dan "pemuda"
Tampan itu sedikit pun tidak terluka.
"Hemm, apa kataku?"
Bromatmojo mengejek.
Darumuko merasa bulu tengkuknya berdiri dan dia memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak. Tentu setan, pikirnya! Celaka, agaknya orang ini benar-benar iblis. Kalau tidak, mana mungkin bisa membawa pesan orang mati dan kini dapat menerima tusukan keris mereka sedemikian enaknya? Saking ngerinya, dia hanya bengong saja. Akan tetapi Reksosuro lebih cerdik. Si Juling ini maklum bahwa pemuda di depan mereka itu benar-benar sakti dan bukan lawan mereka, maka dia mencari siasat untuk dapat melarikan diri.
"Aku tahu! Engkau menggunakan aji kekebalan. Kalau punggungmu yang kutusuk tentu kau akan mampus!"
Bentaknya.
Bromatmojo tersenyum mengejek. Sebetulnya dia sayang kepada pakaiannya yang setidaknya tentu berlubang sedikit oleh ujung keris, akan tetapi karena ditantang seperti itu, dia tidak dapat mundur. Dia berkata.
"Begitukah? Nah, kau boleh menusuk punggungku sekuatmu dengan keris tempemu itu!"
Dia lalu membalikkan tubuhnya, memberikan punggungnya sambil mengerahkan aji kekebalannya. Reksosuro memberi isyarat kepada kawannya. Mereka menggerakkan keris secara berbareng, Reksosuro menusuk ke arah punggung, dan Darumuko menusuk ke bukit pinggul kiri.
"Tukk! Tukk!!"
Apalagi punggungnya, bahkan bukit pinggul yang membulat dan yang mestinya lunak penuh daging itu ternyata berubah keras seperti besi! Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Reksosuro menowel lengan temannya dan mempergunakan kesempatan selagi lawan yang tangguh itu berdiri membelakangi mereka, keduanya lalu menggerakkan kaki mereka, melarikan diri terbirit-birit keluar dari pintu depan.
"Hemm, enak saja mau lari!"
Tiba-tiba terdengar bentakan halus itu dan nampak bayangan berkelebat, tahu-tahu pemuda yang amat sakti itu telah berdiri di pekarangan depan menghadang mereka. Kiranya Bromatmojo telah mempergunakan Aji Turonggo Bayu sehingga ketika dia meloncat dan lari, dia seperti angin saja cepatnya mendahului kedua orang lawannya dan menghadang di halaman depan. Dua orang itu saking takutnya menjadi nekat. Mereka berdua lalu menerjang dengan keris di tangan, menyerang secara membabi buta, Bromatmojo kini tidak lagi mau menerima tusukan-tusukan keris itu karena takut kalau-kalau pakaiannya rusak.
Beberapa kali dia mengelak dengan mudah, kemudian dua kali tangannya bergerak memukul dengan tangan terbuka dan miring mengenai pergelangan tangan kedua orang itu, dan keris mereka terlepas dari pegangan karena tulang pergelangan tangan mereka telah patah oleh pukulan yang dilakukan dengan pengerahan Aji Hasto Nogo itu!
"Duhh... celaka...!"
Reksosuro berseru kaget dan memegangi lengan kanan dengan tangan kirinya.
"Ampun... desss!"
Darumuko terpelanting dan teriaknya minta ampun tadi berubah menjadi rintihan ketika kaki Bromatmojo menendang dan mengenai dadanya. Serasa ambrol dadanya oleh tendangan kaki yang kecil itu. Reksosuro yang licik itu sudah hendak melarikan diri lagi, akan tetapi kaki Bromatmojo lebih cepat lagi, sekali tendang robohlah Reksosuro. Dia hendak bangkit lagi akan tetapi Bromatmojo sudah menggerakkan tangannya.
"Plakk! Ngekkk!"
Tengkuknya kena ditampar dan mata yang juling itu mendelik dan dia gelayaran seperti seekor ayam jago kena dijalu lawannya tepat pada lehernya. Akan tetapi Bromatmojo memang tidak bermaksud membunuh mereka, maka dia membatasi tenaganya dan tamparannya itu pun hanya cukup untuk merobohkan orang tanpa membunuhnya. Beberapa kali mereka berdua bangkit berdiri dan hendak lari,akan tetapi dengan tamparan dan tendangan Bromatmojo membuat mereka roboh lagi. Semua pelacur kini berjubal di pintu, menonton ke luar dengan sinar mata kagum bukan main.
"Benar-benar dia Raden Arjuno..."
"Bukan, lebih pantas menjadi Raden Abimanyu, masih begitu remaja!"
Mereka berbantahan sendiri dan kini tidak merasa takut atau khawatir lagi setelah jelas tampak oleh mereka betapa dua orang "raksasa kerdil"
Itu sama sekali tidak berdaya mengeroyok Sang Arjuno.
"Hayo kalian berlutut dan minta ampun kepada Mbakayu Sri Winarti!"
Bentak Bromatmojo.
Akan tetapi pada saat itu datanglah sepasukan perajurit yang belasan orang jumlahnya. Melihat kedatangan mereka, Reksosuro dan Darumuko bangkit kembali, semangat mereka menjadi besar lagi dan mereka segera berteriak-teriak.
"Tolong... tolong..."
"Penjahat ini hendak membunuh kami...!"
Belasan orang perajurit itu berlari-larian dan segera mengepung Bromatmojo. Akan tetapi Bromatmojo tidak perduli, tetap dia merobohkan Darumuko dan Reksosuro setiap kali kedua orang ini hendak bangkit berdiri sambil menangkis dan merobohkan para pengeroyok lainnya. Setiap orang perajurit yang berani datang mendekat tentu terlempar atau terguling dan kehebatan sepak-terjang Bromatmojo ini menggegerkan para perajurit yang menjadi jerih melihatnya. Sedangkan Reksosuro dan Darumuko kini tidak berani bangkit lagi, hanya mendekam di atas lantai sambil menangis saking takutnya.
"Hayo kalian minta ampun kepada Mbakayu Sri Winarti!"
Bentak Bromatmojo berulang-ulang.
"Desss! Desss!"
Dua tendangan itu membuat dua orang itu untuk ke sekian kalinya terguling-guling. Sudah bengkak-bengkak muka mereka, berdarah hidung mereka dan patah tulang pergelangan tangan mereka sehingga seluruh tubuh terasa nyeri semua.
Akan tetapi setelah kini datang pasukan yang menyaksikan, dua orang itu makin enggan untuk memenuhi permintaan Bromatmojo. Mereka yang biasa berlagak dan menyombongkan diri di depan para perajurit, mana mungkin kini berlutut dan minta-minta ampun kepada seorang wanita yang tidak ada di situ? Sungguh akan memalukan sekali dan tentu nama mereka sudah tidak akan laku dijual sekeping pun, dan akan menjadi buah tertawaan semua orang.
Tentu saja kekerasan hati dua orang itu membuat Bromatmojo menjadi makin gemas sekali. Kalau saja kedua orang itu mau minta ampun dan menyebut nama mbakayunya,dia sudah akan merasa puas, karena sebetulnya dua orang ini hanyalah orang-orang sombong yang kosong belaka, yang terhadap semua orang yang dianggap lemah tentu akan bersikap menghina seperti yang telah mereka perlihatkan kepada jenazah mbakayunya dan kepada dirinya ketika dia masih kecil. Kembali dia menendang dan sekali ini dia mengarahkan tendangannya ke kaki mereka.
"Krek! Krek!"
Terdengar tulang-tulang patah dan mereka mengaduh-aduh karena tulang kaki mereka tertendang patah. Empat orang perajurit yang berusaha menolong dan mendekat, terlempar kembali oleh tamparan dan tendangan kaki Bromatmojo. Kembali ada seorang perajurit berkelebat maju.
"Pergi kau!"
Bentaknya dan tangannya mendorong.
"Plakk!"
Terkejut bukan main Bromatmojo karena perajurit itu menangkis dan tangkisannya demikian kuatnya sehingga dia terdorong mundur! Cepat dia memandang dan alisnya berkerut.
"Kau...???"
Orang itu ternyata bukan seorang perajurit, melainkan Sutejo! Tentu saja Bromatmojo merasa heran, terkejut dan juga penasaran sekali.
"Kau... kau membela mereka?"
"Adi Bromo, hentikan amukanmu itu. Tidak baik menentang ponggawa-ponggawa Kerajaan Mojopahit,"
Tegur Sutejo dengan suara halus.
"Kakang Sutejo! Engkau tentu tahu siapa mereka ini! Mereka adalah Darumuko dan Reksosuro yang pernah kuceritakan kepadamu. Aku memang sengaja hendak menghajar mereka."
"Sudah cukup, Adi Bromo. Urusan pribadi tak perlu direntang panjang. Kalau sampai kau membunuh mereka, kau bisa dianggap sebagai seorang pemberontak terhadap Kerajaan Mojopahit!"
Memang tadinya sama sekali tidak ada niat di dalam hati Bromatmojo untuk membunuh mereka, akan tetapi melihat betapa Sutejo membela mereka, hatinya menjadi panas seperti dibakar. Dia marah dan penasaran sekali! Sutejo, teman seperjalanan yang selama ini bersama-sama dengan dia menghadapi kejahatan, yang berkelahi bahu-membahu menentang kejahatan, kini tiba-tiba saja berbalik dan menentang dia, membela dua orang musuhnya. Hati siapa tidak akan panas?
"Tidak perduli mereka itu ponggawa Kerajaan Mojopahit atau ponggawa neraka sekali pun. Aku mau menghajar mereka sampai mati atau tidak, tidak ada orang lain boleh mencampuri apalagi menentangku!"
Bentaknya dengan napas memburu saking marahnya.
Sutejo mengerutkan alisnya. Dia amat suka kepada Bromatmojo, amat mengagumi pemuda yang tampan seperti Arjuno, yang cerdik bukan main dan yang biasanya berwatak jenaka, juga agak bengal suka menggoda orang, akan tetapi agak mata keranjang atau ceriwis terhadap wanita ini. Akan tetapi, rasa sukanya itu kadang-kadang berkurang kalau Bromatmojo sudah bersikap merayu dan memikat wanita cantik, dan kini dia memandang marah karena Bromatmojo tidak mau diajak bicara baik-baik dan hendak memperlihatkan kekerasan kepalanya seperti yang pernah terjadi di antara mereka sehingga pernah mereka saling serang dengan hebat.
Kalau tidak muncul Joko Handoko dan Roro Kartiko, entah bagaimana jadinya dengan pertandingan hebat di antara mereka dahulu di dalam hutan itu. Kalau dia mau, tentu dia akan dapat merobohkan dan melukai hebat pemuda tampan ini, akan tetapi sungguh hatinya tidak tega untuk melakukan itu dan Bromatmojo murid Supamandrangi itu memang sakti bukan main. Dan kini, kembali Bromatmojo bersikap keras, bahkan menantangnya!
"Adi Bromo mengapa engkau selalu berkeras kepala? Kita berada di luar tembok Kota Raja Mojopahit. Tidak boleh engkau di sini bertindak sewenang-wenang. Kalau kau dianggap pemberontak, selain engkau celaka, juga nama baikmu akan tercemar!"
Dinasihati seperti itu, Bromatmojo menjadi makin marah. Dia teringat sekarang mengapa Sutejo datang bersama pasukan itu. Sutejo adalah adik ipar Resi Mahapati,seorang ponggawa Kerajaan Mojopahit, seorang ponggawa Kerajaan Mojopahit yang berkedudukan tinggi! Tentu saja kini Sutejo bersikap membela perajurit-perajurit Mojopahit termasuk Reksosuro dan Darumuko ini! Hatinya makin panas.
"Kakang Tejo! Setelah kini engkau menjadi adik ipar Mahapati, engkau tentu menjadi kaki tangannya pula dan kau datang hendak membela dua orang jahanam ini? Majulah, siapa takut kepadamu, Sutejo?"
Bromatmojo sudah marah sekali, lebih marah lagi daripada dia cekcok dengan Sutejo di dalam hutan dahulu itu, karena sekarang hatinya merasa sakit bahwa Sutejo lebih berat kepada dua orang jahanam ini daripada dia!
"Adi Bromo wawasanmu sungguh terlalu. Aku hanya tidak ingin melihat engkau membunuh ponggawa kerajaan dan dianggap pemberontak."
"Tak usah banyak cakap, mari kita lanjutkan pertempuran kita di hutan itu!"
Bromatmojo sudah menerjang dengan kemarahan yang meluap-luap.
"Hiaaattt....!"
Bromatmojo sudah menggunakan Aji Turonggo Bayu dan menyerang dengan pukulan-pukulan Hasto Bairowo yang amat dahsyat.
"Ehhh...!"
Sutejo mengenal pukulan yang mengandung aji kesaktian dahsyat itu,maka dia meloncat keluar, ke halaman yang lebih luas. Akan tetapi Bromatmojo terus menerjangnya dan terjadilah pertempuran yang amat hebat di dalam halaman rumah pelacuran itu, ditonton oleh para perajurit.
Diam-diam Reksosuro dan Darumuko merangkak menjauhi dan mereka minta tolong kepada perajurit untuk memapah mereka pergi, juga mereka menyuruh perajurit untuk melapor dan minta bantuan untuk menangkap pemuda yang sakti mandraguna itu. Ketika mendengar bahwa pemuda tinggi tegap yang baru datang dan yang kini melawan Bromatmojo dengan hebatnya itu adalah adik ipar dari Resi Mahapati, yaitu adik selir terkasih Lestari, mereka merasa heran akan tetapi bersyukur. Entah akan apa jadinya dengan mereka kalau pemuda itu tidak cepat muncul.
Sementara itu, terpaksa Sutejo juga mengeluarkan kepandaiannya dan mengerahkan tenaganya untuk menandingi amukan Bromatmojo yang memang amat marah itu. Kedua lengannya sampai terasa panas dan nyeri-nyeri karena seringnya bertemu dengan lengan Bromatmojo dan dalam kemarahannya, Bromatmojo sampai tidak merasakan betapa lengan kanan kirinya terasa panas, nyeri dan bengkak-bengkak semua!
Semenjak tadi, dia saja yang terus menyerang dan Sutejo hanya mempertahankan diri, mengelak dan lebih sering menangkis karena serangan pukulan-pukulan Bromatmojo terlalu cepat sehingga berbahaya kalau dielakkan terus, melainkan lebih baik dilawan dengan tangkisan yang sama kuatnya. Hanya kadang-kadang saja Sutejo membalas dengan tamparan-tamparan ke arah bagian tubuh yang tidak berbahaya dari lawannya.
"Adi Bromo, sudahlah. Pergilah cepat!"
Berkali-kali Sutejo berkata lirih, akan tetapi hal ini merupakan minyak tanah yang disiramkan kepada api yang sudah berkobar sehingga kemarahan ini makin melangit. Bromatmojo merasa seolah-olah Sutejo "mengalah"
Kepadanya, seolah-olah Sutejo mengasihinya dan bahkan mengusirnya! Maka sambil menggigit bibir dan kedua matanya sudah panas-panas karena penuh air yang hendak membanjir keluar, dia menyerang makin dahsyat, kini seringkali mengeluarkan tamparan-tamparannya yang dapat mendatangkan maut, yaitu tamparan Hasto Nogo dengan tangan kiri! Ketika untuk ke sekian kalinya dia memperoleh kesempatan, Bromatmojo melayangkan lagi tangan kirinya itu yang membawa angin berdesing saking kuatnya. Sutejo cepat menggunakan tangan kanan memapaki.
"Derrrr...!!"
Seperti ledakan bunyinya kedua telapak tangan itu bertemu dan akibatnya, Sutejo terhuyung ke belakang dengan muka pucat sedangkan Bromatmojo terlempar dan terbanting keras!
"Adi Bromo...!"
Sutejo melompat dan mengulur tangan hendak menolong Bromatmojo yang terbanting itu, akan tetapi tiba-tiba kaki Bromatmojo mencuat dan menendang.
"Desss...!"
Dada Sutejo kena ditendang dan pemuda ini gelayaran, dadanya terasa ampeg (sesak). Bromatmojo sudah meloncat bangun lagi dan kini mendesak Sutejo dengan serangan-serangan kilat. Pada saat itu, dari jauh nampak debu mengepul dan ternyata ada sepasukan besar perajurit datang menuju ke dusun itu!
"Celaka...! Adi Bromo, cepat kau lari! Ada pasukan besar datang, engkau tentu akan tertangkap dan celaka. Cepatlah, aku... aku sayang padamu, Adi Bromo!"
Kata Sutejo sambil meloncat mundur, tidak mau lagi melayani serangan Bromatmojo.
Bromatmojo menoleh dan melihat datangnya pasukan itu. Kalimat terakhir yang diucapkan Sutejo membobolkan bendungan itu dan air matanya pun bercucuran. Dengan isak tertahan dia membalikkan tubuhnya dan melompat dengan Aji Turonggo Bayu, melarikan diri dari tempat itu. Tubuhnya berkelebat seperti tatit dan sebentar saja bayangannya lenyap. Sutejo berdiri bengong, telinganya masih mendengar gema tangis Bromatmojo. Dia menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. Pemuda itu hebat sekali memang. Akan tetapi pemuda yang amat aneh,begitu gagah perkasa, begitu lemah lembut, tampan, akan tetapi kadang-kadang amat pemarah dan juga... cengeng! Benar-benar seorang pemuda yang amat luar biasa dan aneh.
Hati Sutejo lega ketika Bromatmojo sudah tidak kelihatan lagi. Dia percaya bahwa tidaklah mudah untuk mengejar seorang yang memiliki Aji Turonggo Bayu seperti pemuda tampan itu. Dia lega karena dia melihat bahwa pasukan itu dipimpin oleh Sang Resi Mahapati sendiri! Kalau Bromatmojo masih berada di situ, tentu akan repotlah dia!
Di mana dia, Adimas Sutejo?"
Mahapati bertanya, matanya memandang penuh perhatian ke kanan kiri. Sutejo menarik napas panjang.
"Dia sudah pergi, Kakangmas Resi."
"Kenapa tidak kau tangkap?"
Sutejo menggeleng kepala.
"Tidaklah mudah menangkap seorang yang memilki kesaktian seperti Adi Bromatmojo. Dan dia memiliki ilmu berlari cepat Turonggo Bayu yang sukar dilawan. Pula, dia sahabatku, perlu apa ditangkap? Keributan ini hanyalah karena urusan pribadi."
Resi Mahapati mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi, dia ada hubungannya dengan keris pusaka Kolonadah..."
"Benar, Kakangmas Resi. Akan tetapi percayalah kepada saya, dia tidak membawa pusaka itu. Saya tahu benar dan melihat sendiri betapa keris pusaka itu dia tinggalkan kepada Empu Singkir. Sungguh sayang, setelah saya berhasil mencari Adi Bromo di sini, sebelum sempat menasihatinya dan membujuknya agar dia suka membantu usaha kita berbakti kepada Mojopahit, dia telah keburu marah-marah. Semua ini hanya karena ulah tingkah dua orangmu itu, Kakangmas Resi."
Sutejo merasa menyesal sekali.
"Siapa mereka, Dimas?"
"Reksosuro dan Darumuko. Hampir saja mereka dibunuh oleh Adi Bromatmojo, kalau saya tidak keburu datang tentu mereka sudah mati."
"Panggil mereka ke sini!"
Bentak Mahapati kepada pengawalnya.
"Mereka berdua luka-luka dan tidak bisa jalan, Sang Resi,"
Lapor seorang perwira.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Seret dia ke sini!"
Bentak Resi Mahapati. Tak lama kemudian, dua orang yang bengkak-bengkak dan berdarah mukanya, yang hanya dapat bergerak ketika dipapah itu telah berlutut di depan Resi Mahapati dengan muka membayangkan ketakutan.
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
Bentak Resi Mahapati
"Am...ampun Gusti... hamba berdua... eh, mencari hiburan..."
Kata Reksosuro mewakili mereka karena Darumuko sudah tak mampu bersuara saking takutnya.
"Kenapa ribut dengan pemuda itu?"
"Dia... dia yang datang mencari hamba berdua... dia... memukul hamba berdua..."
"Kenapa?"
"Katanya... katanya dia disuruh oleh... mendiang Sri Winarti yang membunuh diri dengan pusaka Kolonadah itu untuk menghajar hamba berdua..."
Resi Mahapati mengerutkan alisnya, tidak jadi marah kepada dua orang kepercayaanya itu, lalu menoleh kepada Sutejo.
"Dimas Sutejo, kiranya sahabatmu itulah yang sengaja datang untuk membikin ribut."
"Memang sudah dia ceritakan kepada saya, Kakangmas Resi. Dua orang ini dahulu pernah menghina jenazah mbakayunya yang bernama Sri Winarti dan karena itulah maka mereka ini dia cari untuk dihajar, membalaskan penghinaan itu. Kalau tidak gara-gara mereka ini, tentu saya sudah dapat bicara dengan dia dan meyakinkan hatinya untuk membantu kita."
"Saya... kami... tidak bersalah..."
Darumuko berkata gagap dan memandang kepada Sutejo dengan marah.
"Dess! Desss!"
Tubuh mereka terpental dan bergulingan kena ditendang oleh Resi Mahapati.
"Sekali ini kuampuni kalian. Lain kali kalau kalian melakukan sesuatu tanpa perintahku sehingga merugikan keadaan, kalian tentu akan kuhukum mati!"
Bentaknya.
"Mari, Dimas Sutejo, kita kembali saja."
Sutejo mengangguk dan mengikuti Kakak iparnya itu kembali ke kota raja.
Bagaimana ini? Benarkah dugaan Bromatmojo bahwa Sutejo telah menjadi kaki tangan Mahapati? Tidak sepenuhnya seperti yang disangka oleh Bromatmojo. Memang benar bahwa Sutejo kini membantu Mahapati, akan tetapi sama sekali bukan untuk mencari kedudukan, sama sekali bukan karena pengaruh harta benda dan kemuliaan, bukan pula karena Mahapati adalah Kakak iparnya. Dia membantu Mahapati setelah mendengar bujukan-bujukan Mahapati yang amat cerdik itu. Dibantu oleh Lestari, Mahapati berhasil membujuk Sutejo untuk membantunya dengan alasan bahwa Mahapati berjuang mencari Kolonadah demi keselamatan Mojopahit! Mahapati menceritakan betapa dia telah membela Mojopahit ketika terjadi pemberontakan-pemberontakan Adipati Ronggo Lawe, kemudian pemberontakan Lembu Sora. Dan dari Mbakayunya, Sutejo mendengar bahwa Mahapati amatlah berbudi dan bijaksana, amat mencinta Mbakayunya itu, dan atas bantuan Mahapati pulalah Mbakayunya berhasil membalas dendam keluarganya kepada Progodigdoyo!
"Sekarang Kolonadah terjatuh ke tangan musuh,"
Demikian kata Resi Mahapati di antara bujukan-bujukannya, disaksikan oleh Lestari.
"Tentu oleh Ki Ageng Palandongan dibawa ke Lumajang. Di sanalah pusat orang-orang yang merasa tidak senang kepada Mojopahit, di sanalah sarang orang-orang yang mengandung hati khianat dan memberontak, diketuai oleh Aryo Wirorojo, Ayah mendiang Ronggo Lawe yang tentu selalu menaruh dendam kepada Mojopahit. Di sana pula larinya sisa-sisa pengikut Ronggo Lawe dan Lembu Sora. Karena itu, Dimas Sutejo, setelah Kolonadah dilarikan ke Lumajang, maka gawatlah keadaannya. Kolonadah itu adalah pusaka yang khusus diciptakan oleh Maha Empu Supamandrangi untuk raja! Akan tetapi oleh Ronggo lawe dikuasainya sendiri! Dan sekarang pusaka itu berada di Lumajang. Kita sebagai orang-orang gagah, sebagai kawula Mojopahit yang setia, berkewajiban untuk mempertahankan kejayaan Mojopahit. Kalau sudah begitu, barulah tidak sia-sia engkau mempelajari ilmu, Dimas Sutejo."
Sutejo menundukkan mukanya sehingga dia tidak melihat betapa Mahapati memberi isyarat dengan sinar matanya kepada Lestari. Mbakayunya itu lalu mendekatinya, menaruh tangan di pundak Adiknya dengan mesra, lalu berkata.
"Tejo, Adikku sayang. Semua yang diucapkan oleh Kakak iparmu itu benar belaka. Kalau tidak ada dia, entah sudah bagaimana jadinya dengan diriku, dan kalau tidak karena bantuannya, entah bagaimana pula aku dapat membalas dendam keluarga kita terhadap Progodigdoyo. Kita berhutang budi kepada Kakangmas Resi Mahapati, Tejo."
"Ah, jangan bicara tentang budi, Diajeng Lestari. Aku cinta padamu dan semua yang kulakukan untukmu itu adalah demi cintaku, jadi bukan budi, memang sudah semestinya demikian,"
Kata Resi
(Lanjut ke Jilid 20)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 20
Mahapati yang pandai sekali bicara dan bersikap tepat.
Sutejo makin termenung. Dia teringat akan mendiang Ayahnya. Nama Lembu Tirta adalah nama seorang pahlawan, seorang pembela kerajaan yang setia. Dan sekarang, dia sebagai keturunan pahlawan itu melihat betapa Mojopahit terancam bahaya seperti yang diceritakan oleh Resi Mahapati. Memang ada rasa tidak senang melihat kenyataan bahwa Mbakayunya hanya menjadi selir seorang yang sudah tua seperti Resi ini, akan tetapi dia harus mengesampingkan perasaan demi urusan pribadi dan keluarga, dan mementingkan pembelaan Mojopahit!
"Aku mendengar dari Kakang Resi Harimurti bahwa sahabatmu itu, pemuda tampan itu,juga memiliki kesaktian heabat, bahkan kabarnya dia adalah murid Empu Supamandrangi sendiri, pencipta pusaka Kolonadah. Alangkah baiknya kalau kau dapat menarik dia agar bersama dengan kita berbakti kepada Mojopahit, Adimas Sutejo."
Sutejo yang berwatak polos dan wajar itu, yang masih belum banyak mengenal manusia sehingga dia tidak tahu bahwa di dunia ini jauh lebih banyak terdapat manusia yang curang, palsu dan jahat daripada yang jujur, wajar dan baik, mudah saja terkena bujukan Resi Mahapati dan Lestari. Mengapa pula Lestari ikut membujuk Adiknya? Sudah tentu saja! Wanita ini tidak ingin melihat Adiknya bermusuhan dengan suaminya, dia ingin agar Adiknya itu selalu berada di dekatnya dan tidak akan berpisah lagi. Selain itu, juga dia mempunyai cita-cita sendiri,yaitu dia hendak membasmi semua ponggawa Mojopahit yang amat dibencinya, ponggawa-ponggawa Mojopahit rekan-rekan Progodigdoyo yang mendiamkan saja ketika keluarganya dihancurkan! Dan untuk dapat melaksanakan cita-cita itu, dia harus lebih dulu mempergunakan Mahapati yang sudah jatuh di bawah telapak kakinya.
Maka dia ingin melihat adiknya membantu pula, membantu terlaksananya cita-citanya demi untuk membalas dendam Ayah dan Ibu mereka. Karena itulah maka dia turut membujuk, seolah-olah dia merasa setuju dengan siasat suaminya sehingga tentu saja hati Resi Mahapati menjadi makin jatuh karena hal ini dianggapnya sebagai kesetiaan dan cinta kasih dari Lestari kepadanya. Demikianlah, setelah terkena bujukan Kakak ipar dan Mbakayunya, pada keesokan harinya Sutejo keluar diiringi pasukan untuk mencari Bromatmojo dan akhirnya seorang perajurit memberi tahu kepadanya bahwa temannya itu berada di dusun Pemintihan di rumah ledek Madumirah. Bersama pasukan itu pergilah Sutejo menyusul ke sana sehingga terjadi perkelahian hebat antara dia dan Bromatmojo.
Hatinya terasa kecewa dan cemas sekali ketika dia pulang bersama Kakak iparnya,memikirkan Bromatmojo yang kini menganggapnya sebagai musuh. Namun, karena dia merasa betapa dia memikul tanggung jawab dan kewajiban yang berat, juga amat penting, yaitu berdarma bakti kepada kerajaan, maka ditanggunglah derita batin itu dan dia mengesampingkan urusan pribadinya dengan Bromatmojo. Sama sekali dia tidak tahu bahwa pada waktu itu ada dua orang lain yang merasa amat benci kepadanya. Mereka ini adalah Reksosuro dan Darumuko!
"Huh, mentang-mentang menjadi Adik ipar Sang Resi, begitu datang dia sudah berani panjang mulut sehingga kita ditendang oleh Sang Resi!"
Darumuko mengomel ketika dia dan Reksosuro rebah di atas pembaringan dalam satu kamar di rumah pelacuran itu, dirawat oleh germo Madumirah yang memanggil dukun untuk mengobati tulang mereka yang patah-patah dan luka-luka lainnya.
"Dan dia itu kurasa hanya pura-pura saja baik kepada Sang Resi!"
Kata Reksosuro. Darumuko menoleh dan memandang kepada temannya.
"Apa katamu, Kakang Reksosuro? Apa yang kau maksudkan dengan kata-kata itu?"
"Hemm, apakah kau tidak melihat, Adi Darumuko? Kalau dia betul-betul setia kepada Sang Resi, tentu dia sudah menangkap atau setidaknya merobohkan bocah bernama Bromatmojo itu. Dia begitu sakti dan Bromatmojo itu, hemm... amat mencurigakan sekali. Tentu ada hubungan antara Sutejo ini dengan dara itu."
"Dara? Siapa yang kau maksudkan?"
Tanya Darumuko makin heran.
"Siapa lagi kalau bukan Bromatmojo itu,"
Jawab Reksosuro, meringis karena kakinya terasa nyeri bukan main, rasa nyeri yang menusuk ke ulu hatinya.
"Eh? Bukankah dia seorang pria, seorang pemuda yang amat sakti?"
Darumuko bertanya sambil membelalakkan matanya yang liar.
"Ha-ha, dia boleh mengelabuhi orang lain, akan tetapi aku adalah seorang laki-laki yang sudah kenyang bermain dengan wanita! Sejak berusia belasan tahun aku sudah banyak bergaul dengan wanita, sampai sekarang entah sudah berapa ribu orang wanita yang kugauli. Dan dia hendak mengelabuhi aku? Huh, tidak mungkin! Kulit mukanya begitu halus, matanya begitu bening, alis matanya kecil panjang, bulu matanya lentik, hidungnya kecil, bibirnya merah basah dan mungil, giginya pun keci-kecil, lehernya jenjang tanpa kalamenjing, rambutnya begitu panjang halus sekali, hemm, ketika kita melawan dia, apakah tidak tercium olehmu, Adi Darumuko?"
"Tercium apanya?"
"Ah, percuma saja engkau selama ini menjadi serigala penerkam wanita! Kiranya masih hijau. Tentu saja bau badannya, bau keringatnya!"
"Eh, apa bedanya?"
"Tentu saja beda! Wanita memiliki ciri bau yang khas, seperti juga pria, dan aku sudah hafal akan bau badan wanita..."
Darumuko terbelalak memandang kepada temannya dengan kagum. Tak disangkanya temannya itu mempunyai pengetahuan begitu mendalam tentang wanita! "Eh, Kakang Reksosuro, katakan kepadaku, bagaimanakah baunya?"
"Bau wanita mengandung bau seperti air susu, seperti bau bayi dan kembang, sedangkan bau pria mengandung bau seperti binatang jalang."
"Wah, kau pandai sekali, Kakang."
"Hemm, siapa bilang aku bodoh? Bukan itu saja yang kuketahui, akan tetapi untuk membuktikan kebenaran dugaanku, mari kita tanya kepada Si Tanjung. Njunggg...! Tanjungggg...! Ke sinilah sebentar!"
Dia berteriak keras dan tak lama kemudian terdengar suara menyahut dari luar, daun pintu kamar terbuka dan masuklah wanita muda berbaju merah yang tadi paling hebat merayu Bromatmojo.
"Ada apakah, Kakangmas Reksosuro?"
Tanya wanita itu, menekan perasaan tak senangnya kepada dua orang kasar itu.
"Anu, nduk cah ayu, engkau tadi sudah berdekatan dan bersentuhan dengan pemuda bernama Bromatmojo tadi. Nah, katakanlah terus terang, bagaimana kesanmu tentang dia?"
Dua orang itu memandang tajam penuh selidik ke arah wajah dan bibir wanita itu, menanti keluarnya jawaban.
"Kesan apa?"
Tanya wanita itu terheran-heran dan juga khawatir karena dia tidak mau tersangkut setelah melihat betapa Bromatmojo dimusuhi oleh para perajurit bahkan Sang Resi Mahapati sendiri tadi datang mencarinya.
"Jangan takut, katakan terus terang. Kau tadi sudah mencium pipiya, bukan? Dan meraba-raba badannya? Apakah tidak ada sesuatu yang luar biasa pada orang itu?"
Tanya Reksosuro memancing.
"Tidak... hanya dia... eh, tampan sekali, terlalu tampan..."
Jawab Tanjung mengingat-ingat dengan penuh dendam birahi.
"Terlalu tampan bukan? Terlalu halus kulitnya, bukan? Herankah kau kalau kukatakan bahwa dia itu seorang perempuan?"
Desak Reksosuro.
"Perempuan? Ya, Dewa Bathara...! Perempuankah dia? Ah, Andika benar juga, Kakangmas Reksosuro. Gerak-geriknya, senyumnya, pandang matanya... ah, pantas dia tampan bukan main. Dia mestinya seorang gadis yang cantik jelita. Aih,mengapa kami begitu bodoh? Akan tetapi, kalau perempuan... ah, dia begitu sakti..."
"Ha-ha-ha, apa kataku, Adi Darumuko? Nah, pergilah, Tanjung, sudah cukup keteranganmu, ha-ha-ha!"
Reksosuro tertawa-tawa girang sekali karena kini dugaannya dibenarkan dan diperkuat oleh Tanjung yang sebagai seorang wanita tentu akan mengenal kaumnya. Tanjung cepat pergi meninggalkan kamar itu dengan hati lega. Dia sudah khawatir kalau-kalau dua orang pria kasar itu akan minta dilayani, biar dalam keadaan seperti itu dan dia merasa jijik untuk melakukannya.
"Wah, engkau memang hebat, Kakang! Dan apalagi yang kau ketahui tentang dara yang menyamar sebagai laki-laki itu?"
"Ada lagi, lebih hebat!"
Jawab Reksosuro sambil tersenyum bangga.
"Biarpun dia telah menghajar kita, akan tetapi kita rugi. Aku telah tahu rahasianya, dan biar Sutejo itu tahu rasa! Tentu dia kekasih dara itu, tak salah lagi, dan pertempuran antara mereka itu agaknya hanya pura-pura saja! Aku tahu siapa dara itu."
"Eh, benarkah? Siapa dia, Kakang?"
"Kita berdua sudah seringkali bertemu dengan dia."
"Eh, aku tidak ingat lagi... siapa sih?"
"Ingat baik-baik, Adi Darumuko. Pernahkah keris pusakaku Kyai Bandot tidak mempan menusuk tubuh orang? Hanya satu kali sebelum ini, ingat saja."
"Ya, aku ingat pengalaman pahit itu. Ketika kau mempergunakannya menyerang Setan Jembros."
Benar, kau cerdik juga! Nah, bukankah orang tadi pun sama kebalnya dengan Setan Jembros? Tentu dia murid Setan Jembros! Dan kau ingat anak perempuan dulu itu yang ditolong Setan Jembros dan menjadi muridnya? Dia tadi datang untuk membalaskan dendam Sri Winarti, bukan? Lupakah kau akan bocah perempuan bernama Sulastri, Adik Sri Winarti itu? Dan dia tadi menyebut Sri Winarti sebagai Mbakayunya."
Makin lama makin berseri wajah Darumuko dan tiba-tiba dia menggebrak amben yang ditidurinya.
"Brakk! Kau betul... aduhhh..."
Dia menyeringi karena saking gembiranya dia sampai lupa dan hampir saja dia terloncat bangun sehingga gerakan itu membuat kaki dan tangannya yang patah tulang itu nyeri bukan main, kiut miut rasanya menyusup ke tulang-tulang sumsum.
"Jelaslah. Dia itu Sulastri, anak perempuan yang dulu itu! Dan pernah pula Ki Ageng Palandongan menolongnya ketika kita menangkapnya. Nah, jelas sekarang. Dan keris pusaka Kolonadah kabarnya dilarikan oleh Ki Ageng Palandongan. Tentu mereka itu sekomplotan! Sekomplotan yang diutus dari Lumajang. Tidak salah lagi. Dan Sutejo ini pun tentulah kaki tangan Lumajang!"
Kata Reksosuro.
"Hati-hati, Kakang, dia adalah adik dari Lestari, selir terkasih Sang Resi."
"Tentu saja. Cukup kita secara diam-diam melaporkannya kepada Sang Resi saja. Laporan ini penting sekali bagi Sang Resi dan tentu kemarahannya terhadap kita akan berubah menjadi pujian, dan tentu dia akan terus diawasi. Rasakan engkau, Sutejo, engkau telah membikin celaka kami, dan kelak kami akan membalasnya, tunggu saja!"
Demikianlah, rahasia penyamaran Bromatmojo telah dapat diketahui oleh dua orang ini sehingga tanpa disadarinya sendiri, Sutejo terancam bahaya dari fihak Kakak iparnya sendiri yang tentu saja mencurigainya dan selalu mengawasi gerak-geriknya setelah mendengar laporan dari dua orang itu, sungguh pun pada lahirnya Resi Mahapati tetap bersikap ramah. Resi Mahapati terkejut juga ketika mendengar pelaporan dua orang itu yang disampaikan secara rahasia dan tidak diketahui oleh orang lain. Setelah menyatakan kegembiraannya dan memberi hadiah kepada dua orang itu dengan pesan agar hal itu dirahasiakan, Sang Resi Mahapati termenung. Dia masi ragu-ragu.
Benarkah Sutejo tersangkut dalam komplotan itu dan menjadi mata-mata Lumajang? Dia harus berhati-hati dan menyelidiki hal ini sedalam-dalamnya. Jadi Bromatmojo itu adalah anak perempuan, adik dari wanita yang membunuh diri menggunakan Kolonadah? Murid Eyang Empu Supamandrangi? Kalau begitu sungguh sayang dia tidak dapat menangkapnya. Dan bagaimana dengan Sutejo? Benarkah Sutejo tidak mampu menangkapnya ketika mereka bertempur? Ataukah Sutejo sengaja melepaskannya? Dia harus menyelidiki, katanya dalam hati sambil mengepal tinju. Dan dia tidak akan memberitahukan hal ini kepada Lestari. Sebaliknya, dia menarik Resi Harimurti dan membisikinya tentang rahasia itu. Hanya mereka berdua, Reksosuro dan Darumuko saja yang mengetahui akan hal itu.
"Kau manusia bodoh..., kau manusia tolol dan lemah... ohhh... Sulastri, kau benar-benar tolol...!"
Bromatmojo menjambak rambutnya sendiri sambil berjalan di dalam hutan itu dan menangis. Dia masih marah, kecewa, berduka dan penasaran setelah tadi lari meninggalkan dusun Pemintihan. Ketika dia mendapat kenyataan betapa perasaan hatinya merasa trenyuh, sunyi, berduka dan kecewa karena Sutejo kini memusuhinya dan jauh dari padanya, tangisnya menjadi-jadi dan dia memaki dirinya sendiri.
"Engkau cinta padanya... ah, gadis bodoh, engkau cinta padanya...!"
Kini dia menghentikan langkahnya, bersandar pada batang pohon randu yang halus kulitnya itu sambil menangis. Terbayanglah semua keakraban antara dia dan Sutejo selama dalam perjalanan berdua itu, semua kebaikan-kebaikan Sutejo terhadap dirinya dan tangisnya makin mengguguk.
"Kakang Tejo... engkau kejam padaku, Kakang, ah, kenapa engkau kejam padaku...?"
Setelah semua kesedihannya diluapkan melalui tangisan yang tidak ditahan-tahan,karena betapa seringnya dia menahan tangis selama bersama Sutejo, hatinya terasa agak ringan dan akhirnya dia duduk di atas batu di bawah pohon randu itu,termenung dan kadang-kadang masih terisak sebagai sisa tangis tadi. Mulailah dia berpikir dan perasaannya makin ringan ketika dia teringat bahwa Sutejo melakukan hal itu karena belum tahu bahwa dia adalah seorang wanita. Bagaimana kalau pemuda itu mengetahuinya? Ah, tidak, dia tidak akan membuka rahasianya. Selain memalukan, juga akan makin menyakitkan hati saja kalau pemuda itu tetap tidak senang dan marah kepadanya. Kini Sutejo telah menjadi kaki tangan Mahapati!
Kenyataan ini sungguh menyakitkan hatinya karena dia tahu sekarang bahwa dia telah jatuh cinta kepada pemuda itu! Tadinya, ketika mereka masih bersama-sama,dia hanya merasa suka sekali kepada pemuda itu, dan kini setelah mereka cekcok dan berpisah, baru dia tahu dari penderitaan batinnya bahwa dia mencinta pemuda itu! Teringat semua olehnya betapa dia cemburu sekali kepada Roro Kartiko ketika mengira bahwa Sutejo mencinta puteri itu!
"Kakang Tejo, aku cinta padamu, akan tetapi jalan hidup kita bersimpang...!"
Dia mengeluh. Akan ke manakah dia sekarang setelah dia berpisah dari pemuda itu? Hidup seolah-olah menjadi begini sepi tanpa tujuan! Kemudian dia teringat tugas yang diberikan oleh Gurunya kepadanya. Dia harus mencari Kolonadah. Bukankah Gurunya mengutusnya untuk menyerahkan keris pusaka Kolonadah itu kepada Pangeran Kolo Gemet, putera Sang Prabu yang menjadi Pangeran Pati atau Pangeran Mahkota? Dan sekarang Kolonadah dilarikan oleh Ki Ageng Palandongan. Akan tetapi sebelum mencari ke Lumajang, dia akan mencari Gurunya yang pertama lebih dulu. Ki Jembros!
Dalam keadaan sepi seperti itu, tiba-tiba saja dia teringat kepada Ki Jembros. Ingin dia berjumpa dengan kakek itu, menyampaikan semua keluhan hatinya,menyampaikan semua isi hatinya dan minta nasihat dari kakek yang aneh namun bijaksana dan amat mencintanya itu. Ke Pegunungan Pandan! Dahulu, di sanalah dia meninggalkan Gurunya itu yang katanya hendak beristirahat dan berobat bersama anak buah dua orang gagah yang menjadi pelarian Mojopahit, yaitu Raden Gajah Biru dan Juru Demung yang gagah perkasa.
"Benar,"
Pikirnya.
"Seorang diri saja mencari Kolonadah tentu akan sukar. Aku dapat minta bantuan Eyang Jembros, paman-paman yang gagah perkasa itu. Dan aku akan minta bantuan Eyang Jembros untuk menghadapi Resi Mahapati, untuk menginsyafkan Kakang Sutejo bahwa dia membantu orang jahat!"
Dengan pikiran ini yang menjadi keputusan hatinya, berangkatlah Sulastri atau karena dia masih berpakaian sebagai pria lebih tepat menyebutnya Bromatmojo,menuju ke Pegunungan Pandan di sebelah utara Mojopahit. Dia melakukan perjalanan cepat dan dengan hati penuh harapan. Akan tetapi, ketika dia tiba di Pegunungan Pandan beberapa hari kemudian, sunyi saja di pegunungan itu. Bahkan dia tidak bertemu dengan seorang pun ketika dia tiba di tempat yang dulu dijadikan markas oleh Gajah Biru dan kawan-kawannya.
Dia masih ingat betul bahwa di tempat itulah dia dahulu berusaha mencuri ketan untuk Ki Jembros. Akan tetapi rumah itu telah rusak-rusak dan kosong, tidak ada orangnya sama sekali. Dengan hati kecewa Bromatmojo meninggalkan tempat itu, akan tetapi dia masih terus melakukan penyelidikan di sekitar Pegunungan Pandan. Ternyata hanya sedikit saja orang yang tinggal di sekitar kaki pegunungan itu, dan dusun-dusun yang berada di lereng-lereng gunung telah kosng ditinggalkan para penghuninya.
Dan sedikit kelompok orang yang tinggal di kaki gunung adalah pendatang-pendatang baru yang tidak mengenal nama Ki Jembros, Gajah Biru atau pun Juru Demung. Penghuni-penghuni lama sebagian besar ikut dalam pemberontakan dan tewas,sedangkan keluarganya yang tidak ikut telah melarikan diri takut kalau tersangkut.
Di bagian mana pun di dunia ini, dalam jaman apa pun, perang merupakan peristiwa yang paling jahat dan busuk di antara manusia. Bukan hanya karena perang menjatuhkan korban manusia di kedua fihak, akan tetapi lebih dari itu. Juga keluarga mereka yang tidak turut apa-apa akan terkena getahnya, ada yang ditangkap, dibunuh, difitnah dan dipermainkan. Kalau tidak begitu, karena kepala keluarganya mati, maka wanita-wanita menjadi janda dan keluarga kehilangan mata pencaharian. Dan masih banyak akibat-akibat dari perang yang amat jahat, yaitu munculnya kekacauan dan kekerasan, munculnya penjahat-penjahat yang mempergunakan kesempatan memancing di air keruh, munculnya pejabat-pejabat yang mempergunakan kedudukan dan kekuasaannya untuk menekan rakyat dengan dalih apa pun untuk menakut-nakuti mereka demi tercapainya kesenangan yang diinginkannya,pemerasan, perkosaan, dan lain sebagainya. Dan lebih mengenaskan lagi, rakyat yang tak terhitung banyaknya itu, manusia-manusia itu, berperang karena digerakkan oleh beberapa gelintir orang pula yang kebetulan duduk di atas!
Manusia-manusia menjadi semacam boneka yang tidak berdaya menurut saja disuruh saling bunuh demi tercapainya kemenangan beberapa gelintir orang yang berkuasa itu, yang menutupi keinginannya untuk menang itu dengan slogan-slogan dan kata-kata indah dan suci. Perang terjadi di mana-mana di dunia ini, di jaman apa pun, dan selalu didengungkan alasan-alasan yang amat baik untuk itu! Bahkan tidak jarang alasannya adalah untuk menciptakan damai! Menciptakan damai dengan jalan perang! Betapa gilanya ini!
Namun, kita hidup di dalam kekerasan sejak nenek moyang kita. Kita dilatih sejak kecil untuk menang, menang, menang! Dalam hal apa pun juga, kita dididik untuk jangan kalah oleh orang lain! Tentu saja dorongan atau hasrat untuk menang ini selalu menimbulkan kekerasan. Hal ini dapat kita lihat setiap saat, setiap hari di sekitar kita, dapat kita lihat semenjak dalam kehidupan anak-anak. Sekelompok anak-anak akan bermain tari-tarian atau nyanyi-nyanyian dengan rukun dan damai,akan tetapi begitu semacam permainan mereka lakukan, permainan di mana terdapat kemenangan dan kekalahan, maka timbullah percekcokan dan perkelahian! Karena tidak berhasil mencari keterangan tentang Ki Jembros, akhirnya Bromatmojo mengambil keputusan untuk melanjutkan saja perjalanannya ke Lumajang. Maka dia lalu kembali ke selatan untuk kemudian melanjutkan perjalanannya ke timur.
Dua hari kemudian ketika dia sedang berjalan di hutan sebelah utara Sungai Tambakberas, dekat perbatasan timur antara wilayah Tuban dan Mojopahit, dia mendengar teriakan-teriakan orang bertempur. Bromatmojo mempercepat jalannya,bahkan dia lalu berlari menuju ke suara itu dan terkejutlah dia melihat bahwa yang bertempur adalah Joko Handoko, Roro Kartiko yang dibantu oleh tujuh orang wanita anggauta-anggauta Sriti Kencana, dikeroyok oleh dua puluh orang lebih perajurit Tuban yang dipimpin oleh Gagaksona dan Klabang Curing! Di tengah-tengah tempat pertempuran itu nampak sebuah kereta di mana duduk seorang wanita setengah tua yang cantik dan bersikap tenang, menonton pertempuran itu dengan alis berkerut namun tidak memperlihatkan ketakutan. Wanita itu adalah Sariningrum, ibu dari Joko Handoko dan Roro Kartiko, yang sedang mereka kawal untuk melarikan diri dari Tuban.
Karena jumlah musuh lebih banyak dan dua orang pemimpin mereka, terutama Gagaksona, memiliki kepandaian tinggi, maka pihak Joko Handoko terdesak hebat. Melihat ini, Bromatmojo berteriak keras dan terjun ke dalam pertempuran,mengamuk dan sekali bergerak dia telah merobohkan empat orang perajurit pengeroyok! Melihat munculnya Bromatmojo, tentu saja putera-puteri Progodigdoyo itu menjadi girang sekali dan demikian pula anak buah Sriti Kencana. Mereka kini bertempur dengan semangat berkobar.
"Kakangmas Joko! Diajeng Roro! Serahkan dua ekor celeng (babi hutan) ini kepadaku!"
Teriak Bromatmojo sambil menerjang ke depan, menendang ke arah Gagaksona dan menampar ke arah Klabang Curing dengan dahsyat. Dua orang itu terkejut dan cepat meloncat ke belakang.
"Terima kasih, Kakangmas Bromatmojo!"
Roro Kartiko berkata dengan kedua pipi merah dan mata bersinar-sinar, lalu bersama Kakaknya dia membantu anak buah mereka, mengamuk di antara para perajurit Tuban. Gagaksona dan Klabang Curing mengenal Bromatmojo yang pernah mereka lawan itu. Tentu saja mereka menjadi marah sekali, juga girang karena inilah pemuda yang dulu menggali lubang kuburan dan menemukan keris pusaka Kolonadah! Maka dengan keris di tangan, kedua orang itu lalu menerjang dengan hebat, mengeroyok Bromatmojo dari kanan kiri.
Boleh jadi Gagaksona merupakan lawan yang agak berat bagi Joko Handoko atau Roro Kartiko, akan tetapi dia adalah lawan yang ringan saja bagi Bromatmojo, biarpun dia masih dibantu oleh Klabang Curing. Melihat bahwa dua orang temannya itu masih dikeroyok oleh banyak perajurit lawan, maka Bromatmojo tidak mau membuang banyak waktu dalam menandingi dua orang lawannya. Dia tidak memandang kepada keris di tangan mereka, ketika mereka menyerang, dia malah maju memapaki dengan kedua tangan kosong, menyambut keris-keris itu dengan tamparan Hasto Bairawa!
"PLAK! Plak!"
Dua orang itu terpental ke belakang dengan mata terbelalak. Keris di tangan mereka tentu saja mengenai lengan Bromatmojo, namun lecet sedikit pun tidak kulitnya, rontok sehelai pun tidak bulunya, bahkan mereka merasa seolah-olah mereka tertiup badai yang dahsyat, yang membuat keris mereka membalik dan tubuh mereka terpental.
Tentu saja mereka kaget dan juga marah, penasaran, lalu sambil mengeluarkan gerengan seperti dua ekor singa mereka maju menubruk lagi dengan keris mereka.
"Robohlah kalian!"
Bentak Bromatmojo dan kedua tangannya menyambut tanpa memperdulikan tusukan keris lawan.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dess! Dess!!"
"Aduh...!"
Gagaksona terguling.
"Tobaaattt...!"
Klabang Curing juga terlempar dan terbanting. Keduanya setengah klenger (pingsan) dan hanya dapat mengeluh panjang pendek memegangi kepala mereka yang seperti hendak pecah rasanya, telinga mereka penuh dengan suara terngiang-ngiang, mata mereka hanya melihat warna merah.
Bromatmojo lalu membantu kakak beradik itu mengamuk. Tentu saja para perajurit Tuban menjadi gentar. Memang di dalam hati, mereka sudah agak enggan untuk melawan Joko Handoko dan Roro Kartiko, putera-puteri bekas bupati mereka itu.
Mereka mengenal dua orang kakak beradik ini sebagai dua orang muda yang gemblengan dan juga amat baik. Hanya karena terpaksa saja mereka tadi menurut perintah Gagaksona dan Klabang Curing melakukan pengeroyokan. Akan tetapi setelah kini mereka berdua itu roboh, dan mereka memang tidak kuat menghadapi amukan wanita-wanita cantik dan seorang pemuda seperti Joko Handoko, kini ditambah pula oleh pemuda tampan yang amat sakti itu, maka para perajurit itu lalu melarikan diri sambil memondong tubuh Gagaksona dan Klabang Curing yang masih belum sadar betul.
"Mari cepat kita melarikan diri sebelum pasukan yang lebih besar datang lagi!"
Kata Joko Handoko yang mengkhawatirkan keselamatan Ibunya.
"Maaf, Adimas Bromatmojo, nanti saja kita bicara!"
Bromatmojo mengangguk, malah menghampiri kereta dan bertanya.
"Siapakah Bibi ini?"
"Dia Ibuku...!"
Kata Roro Kartiko yang sejak tadi menatap wajah Bromatmojo dengan penuh kagum.
"Kalau begitu, kita tinggalkan saja kereta. Biar kupondong beliau agar perjalanan lebih cepat,"
Kata Bromatmojo dan tanpa menanti jawaban lagi, dia menyembah kepada wanita setengah tua itu lalu memondongnya dan lari dengan cepat.
Joko Handoko dan Adiknya saling pandang, Roro Kartiko tersenyum dan mereka lalu cepat mengejar, diikuti oleh tujuh orang anak buah mereka. Dan memang benar,melarikan diri memang lebih baik kalau berjalan kaki, mereka dapat lari nyusup-nyusup di antara semak belukar. Kalau mereka naik kereta mengawal Ibu mereka, mereka harus melalui jalan besar yang kadang-kadang terhalang oleh jalan yang becek akibat hujan besar semalam dan juga pohon-pohan yang tumbang.
Mereka berdua makin kagum melihat betapa Bromatmojo dapat berlari lebih cepat dari mereka biarpun pemuda tampan itu memondong tubuh Ibu mereka. Kalau saja mereka tidak sering meneriakinya, tentu pemuda itu sudah jauh meninggalkan mereka. Dan mereka semua, termasuk para anggauta Sriti Kencana, telah terengah-engah kehabisan napas ketika mereka berlari terus menerus tanpa berhenti, akan tetapi Bromatmojo masih enak-enak saja berlari. Hal itu adalah karena Bromatmojo mempergunakan aji kesaktian Turonggo Bayu sehingga dia dapat berlari cepat tanpa banyak mempergunakan tenaga.
Menjelang senja barulah mereka menghentikan perjalanan itu. Mereka beristirahat di bawah pohon-pohon besar yang rimbun. Ketika Bromatmojo menurunkan tubuh Sariningrum ke atas rumput di bawah pohon itu, wanita ini memandangnya dengan kagum dan tersenyum sambil berkata.
"Betapa kuatnya engkau!"
Setelah mereka mengaso, mereka mendapat kesempatan bercakap-cakap. Roro Kartiko menghampiri Bromatmojo dan dengan suara menggetar saking terharu dia berkata.
"Kakangmas Bromatmojo. Tak terukur besarnya rasa syukur dan terima kasih kami kepadamu. Kalau tidak ada Andika yang datang menolong, entah bagaimana jadinya dengan kami."
"Benar, ucapan Diajeng Roro, pertolonganmu besar sekali artinya bagi kami,Adimas Bromatmojo. Entah bagaimana kami akan dapat membalas budi pertolonganmu itu,"
Sambung Joko Handoko dengan pandang mata kagum dan penuh syukur.
"Sudahlah, di antara kita sebagai sahabat-sahabat, perlu apa bicara tentang budi?"
Kata Bromatmojo.
"Akan tetapi, bagaimanakah Andika berdua dengan Ibu Andika berada di tempat itu, hendak pergi ke mana, dan mengapa pula dikeroyok oleh pasukan Tuban?"
"Kami memang melarikan diri dari Tuban setelah Ayah meninggal... dan kami dikejar, tersusul di perbatasan. Kami hendak dijadikan orang-orang tawanan,tentu saja kami tidak mau dan melawan,"
Jawab Joko Handoko yang agaknya hendak menyembunyikan tentang kematian Ayahnya.
"Kakangmas Bromatmojo... sungguh tidak kusangka..."
Roro Kartiko menangis kini.
"Ayah kami... dibunuh secara kejam sekali oleh Kakangmas Sutejo..., disiksa dan dibunuh secara mengenaskan..., ahhh..."
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo