Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 22


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



Akan tetapi sekali meloncat, dia segera menurunkan kedua kaki depannya itu kembali. Dia meronta, akan tetapi keempat kakinya gemetaran dan ketika dicobanya untuk melompat lagi, dia tidak mampu menggerakkan kaki dan diam saja,hanya keempat kakinya yang masih gemetar. Ternyata Joko Handoko telah menggunakan aji memberatkan tubuhnya sehingga kuda itu hampir tidak kuat menahannya. Setelah kuda itu tidak lagi meronta, barulah Joko Handoko menghentikan ajinya dan kuda itu tidak lagi gemetar. Akan tetapi, begitu dia hendak meronta, kembali tubuh penunggangnya menjadi berat sekali dan akhirnya agaknya kuda putih itu mengerti bahwa dia tidak akan mampu melemparkan penunggang ini maka dia menerima kekalahannya dan menjadi jinak. Setelah kuda itu menjadi anteng, barulah Joko Handoko menggerakkan kendali dan kuda itu lalu berlari ke depan dengan cepat dan tetap.

   Ketika lewat di tempat yang ditandai di mana dia harus melepaskan anak panah, terdengar tali gendawa menjepret dan seperti kilat cepatnya, sinar anak panahnya menyambar dan tepat mengnai kepala orang-orangan itu di tengah-tengahnya,di antara kedua mata! Sungguh merupakan bidikan yang tepat sekali dan para penonton bersorak memuji.

   Akan tetapi hal itu masih belum hebat. Sorak-sorai meningkat ketika pemuda halus itu membalapkan kudanya dan setiap kali lewat di depan orang-orangan , terdengar tali gendawa menjepret. Tiga kali dia lewat, tiga kali anak panah meluncur dan tiga kali pula anak panah menancap tepat di antara kedua mata orang-orangan itu sehingga kini nampak tiga batang anak panah menancap di tempat yang sama seperti bedesak-desakan! Tentu saja hal ini cukup membuktikan kemahiran Joko Handoko mempergunakan anak panah dan dia lulus dengan baik, disambut oleh senyum Raden Turonggo dan sorak-sorai para penonton, terutama dari mereka yang memang menjagoi pemuda yang mereka beri julukan Gatutkaca itu.

   Berturut-turut para peserta lain memasuki ujian ini dan di antara banyak yang gagal, ada pula beberapa orang yang berhasil lulus, sungguh pun mereka nyaris gagal, terpontang-panting di atas punggung kuda liar dan bidikan anak panah mereka hanya mengenai bagian tubuh tidak berbahaya dari orang-orangan itu, yaitu di pundak, lengan, paha dan sebagainya.

   Hanya ketika tiba giliran pemuda berwajah muram dan tinggi kurus tadi saja maka para penonton kembali bersorak dan memuji, karena pemuda tinggi kurus itu kembali telah membuktikan kesaktiannya. Dia memilih kuda dawuk dan begitu dia meloncat ke atas punggung kuda itu seketika berubah menjadi jinak dan sama sekali tidak meronta! Ketika kuda itu lari sampai di tempat yang sudah diberi tanda, dengan tenang akan tetapi mukanya masih cemberut dia sekeligus memasangkan tiga batang anak panah pada busurnya, membidik dan sekali terdengar bunyi menjepret keras, nampak tiga sinar meluncurke arah orang-orangan dan tiga batang anak panah menancap dengan tepat di dada orang-orangan itu, berjajar dengan rapi dari kiri ke kanan, ketiganya merupakan anak panah yang mematika apabila mengenai tubuh lawan! Tentu saja semua penonton bersorak-sorai dengan penuh kagum, bahkan Raden Turonggo sendiri menggelengkan kepala dengan kagum karena harus diakuinya bahwa di sendiri tidak akan dapat meniru perbuatan Si Tinggi Kurus yang berwajah muram itu.

   Setelah kembali beberapa orang peserta maju, ada yang gagal dan ada yang lulus namun tidak begitu mengesankan, orang terakhir yang maju adalah Bromatmojo. Pemuda tampan seperti Arjuno ini melangkah maju dan tersenyum manis ketika disambut tepuk sorai gemuruh. Melihat dia tersenyum, sorak-sorai makin hebat dan terdengarlah teriakan-teriakan memuji, di antaranya terdengar teriakan.

   "Kuda hitam! Kuda hitam!"

   Bromatmojo tersenyum. Maklum dia bahwa para penonton itu mengharapkan agar dia menunggang kuda hitam, satu-satunya kuda di antara lima ekor kuda liar yang sejak tadi belum ada yang berani mencoba untuk menungganginya. Memang kuda itu paling ganas dan liar, bahkan tadi, ada seorang penjaga yang tergigit pundaknya sampai remuk tulangnya ketika dia lengah dan kuda itu meronta. Kini yang menjaga kuda ini ada tiga orang, kendalinya dipegang oleh dua orang, namun tetap saja dia meronta-ronta dan mencoba untuk membebaskan diri.

   Sudah kepalang tanggung, pikirnya. Sulastri memang seorang dara remaja yang lincah dan jenaka, gembira dan memiliki sedikit watak ugal-ugalan. Mungkin watak ini ditirunya dari gurunya yang pertama, yaitu Ki Jembros! Maka, melihat sambutan para penonton dan terutama sekali karena hatinya agak "panas"

   Melihat kehebatan Si Tinggi Kurus berwajah muram, dia lalu menghampiri kuda hitam. Hal ini kembali disambut tepuk sorak dan tiga orang penjaga kuda hitam itu memandang kepada Bromatmojo dengan wajah khawatir. Mereka telah mengenal betul kuda hitam yang ganas dan liar ini. Sedangkan para peserta lain yang kelihatan kuat-kuat tidak berani mencoba untuk menunggang kuda liar ini. Apakah pemuda bertubuh kecil ini hendak bunuh diri? Gagal menunggang kuda yang lain mungkin hanya akan luka-luka dan babak bundas saja, akan tetapi kalau sampai terjatuh dari punggung si Kuda Hitam ini akan berbahaya sekali bagi penunggangnya karena kuda hitam ini buas, kalau penggang nya terjatuh tentu akan disepaknya, digigitnya dan mungkin juga diinjak-injaknya!

   Bromatmojo tidak memperdulikan pandang mata khawatir dari tiga orang itu, melainkan tersenyum dan mengambil kendali dari tangan mereka. Tiga orang itu mundur dan Bromatmojo meloncat dengan gerakan yang ringan dan cekatan, tahu-tahu tubuhnya telah berada di atas punggung kuda hitam. Karena dia mempergunakan aji meringankan tubuh, maka dia seperti seekor burung gereja saja ketika hinggap di atas punggung kuda. Namun kuda itu memang liar dan ganas. Biarpun hanya terasa sedikit saja olehnya bahwa ada orang menduduki punggungnya, dia sudah meringkik keras dan berloncatan seperti kemasukan setan! Bromatmojo yang hendak memperlihatkan ketangkasannya, tidak mau mempergunakan aji memberatkan tubuhnya seperti yang dilakukan oleh Joko Handoko dan juga oleh pemuda berwajah muram.

   Sebaliknya malah, dia membiarkan dirinya pontang-panting dan terlempar-lempar ke atas, akan tetapi berkat aji meringankan tubuh, dia selalu dapat duduk kembali ke atas punggung kuda itu. Semua penonton memandang dengan mulut ternganga, bengong penuh ketegangan dan kekhawatiran melihat tubuh pemuda tampan itu dipontang-pantingkan dan dilempar-lemparkan ke atas, Celaka,pikir mereka, tak lama lagi tentu pemuda itu akan terlempar dan terbanting jatuh! Akan tetapi, ternyata tidak demikian karena pemuda itu malah tertawa-tawa, tersenyum dan melambaikan tangan kepada mereka! Melihat sikap ini,barulah mereka percaya akan kehebatan pemuda itu dan bersorak mereka. Terutama para perawan yang sedang berani terhadap pemuda seperti Arjuno itu, mereka berteriak-teriak seperti gila, menjerit-jerit dan kedua tangan mereka mencengkeram, ada yang mengembangkan kedua lengan seperti hendak memeluk pemuda itu, mata mereka basah air mata memandang Arjuno yang memang kelihatan gagah perkasa dan tampan sekali ketika mempermainkan kuda liar itu.

   Joko Handoko diam-diam memandang dengan hati penuh kagum. Hebat sekali dara itu,pikirnya dan jantungnya berdebar keras. Dia mengerti benar bahwa semenjak dia tahu bahwa Bromatmojo adalah seorang dara cantik jelita bernama Sulastri, dia sudah jatuh cinta! Kini, melihat dara perkasa itu demikian hebatnya mempermainkan kuda liar yang dia sendiri tadi tidak berani mencobanya, dia makin kagum.

   Bromatmojo memang sengaja membiarkan si Hitam itu mengamuk, meronta, meringkik dan membeker-beker, berloncatan ke atas, menarik punggungnya sampai melengkung,mencak-mencak seperti gila, bahkan menjatuhkan diri bergulingan! Namun, dengan mengandalkan aji meringankan tubuh, dia selalu dapat membiarkan tubuhnya mencelat ke atas untuk kemudian turun cepat di atas punggung kuda itu kembali,dan ketika kuda hitam itu menjatuhkan diri bergulingan, dia meloncat ke atas sampai tinggi kemudian turun tepat di atas punggung kembali setelah kuda itu berdiri kembali. Kuda hitam itu seperti gila dan membuat loncatan-loncatan aneh dan lucu. Napasnya terengah-engah,mulutnya mengeluarkan busa, matanya menjadi merah liar, hidungnya kembang-kempis dan akhirnya dia kehabisan tenaga atau kehabisan napas, gerakannya meronta makin lemah dan ringkikannya berkurang,akhirnya dia berdiri mendengus-dengus, tidak meronta lagi, keempat kakinya menggigil.

   Pecah sorak-sorai menyambut kemenangan ini, kemenangan yang amat gemilang dan enak dipandang karena tampak betapa Bromatmojo benar-benar berjuang untuk menundukkan itu, kekuatan dan keganasan kuda dilawan dengan kecekatan dan kelincahan, tidak seperti para pemenang lain yang menggunakan aji penyirepan dan lain-lain sehingga kuda yang mereka tunggangi itu ditundukan tanpa perjuangan hebat seperti yang diperlihatkan oleh Bromatmojo!

   "Anak itu hebat sekali, Dimas Aryo. Ilmunya tinggi...."

   Sang Adipati Wirorojo memuji.

   Aryo Pranarojo mengerutkan alisnya.

   "Memang dia sakti, akan tetapi bocah itu sungguh kementus dan kemaki (sombong dan berlagak). Kalau diserahi urusan besar dia bisa membikin gagal tugas yang diserahkan kepadanya."

   "Hemm, belum tentu begitu, Dimas Aryo. Kulihat dia masih muda sekali, dan kurasa dia tidak sombong, melainkan seperti lumrahnya pemuda remaja dia ingin menggembirakan orang dan memperoleh pujian."

   "Mungkin pendapat Andika benar, Kakangmas Adipati. Akan tetapi saya pribadi lebih suka kepada pemuda tinggi kurus yang wajahnya muram itu. Dia tentu seorang yang serius dan dapat diserahi tugas penting yang tentu akan dibela dengan mati-matian."

   Percakapan mereka terhenti oleh sorak-sorai para penonton melihat Bromatmojo yang sudah berhasil menudukkan si Hitam itu kini menggerakkan tali kendali kuda itu meloncat ke depan seperti terbang.

   "Haiiii..... panahnya....! Panahnya....!!"

   Seribu buah mulut lebih meneriakkan "panah"

   Untuk mengingatkan Bromatmojo bahwa dia lupa mengambil busur dan anak panah,sedangkan kudanya sudah mulai dia larikan ke depan. Mendengar ini, Bromatmojo baru teringat. Ah, mau apa dia membalapkan kuda ke depan kalau tidak membawa anak panah?

   "Hirrrrr......!!"

   Dia berteriak dengan nyaring sekali mengatasi teriakan para penonton dan dia menarik kendali. Kuda hitam itu berhenti dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, kemudian membalik ke tempat semula. Bromatmojo tidak turun dari atas kuda, melainkan miringkan tubuhnya dan menyambar tumpukan anak panah di atas meja tanpa memilih lagi. Dia telah mengambil tiga batang anak panah dan kini kudanya mengulangi lagi larinya membalap yang tadi ditunda. Cepat seperti terbang saja lari kuda itu dan terdengar lagi sorakan para penonton dengan teriakan-teriakan nyaring,

   "Gendawanya...! Gendawanya....!"

   Akan tetapi Bromatmojo sambil tertawa mengangkat tinggi-tinggi tiga batang anak panahdan tidak lagi untuk mengambil busur.

   "Hemm, dia mengambil anak panah tanpa gendawa. Mau apa lagi anak itu?"

   Aryo Pranarojo berkata terheran-heran.

   Semua orang kini mengikuti gerak-gerik Bromatmojo yang tubuhnya terguncang-guncang naik turun di atas tubuh kuda hitam yang mata kuat itu. Ketika kuda itu tiba tepat di tempat yang diberi tanda, Bromatmojo menggerakkan tangannya tiga kali berturut-turut. Yang nampak hanya sinar berkilat menyambar ke arah orang-orangan itu tiga kali dan terdengar suara "cart.....tak...tak!!"

   Semua orang yang menyaksikan orang-orangan itu disambar tiga batang anak panah,menjadi bengong sejenak, kemudian meledaklah sorak-sorai yang gegap-gempita. Sekali ini, bahkan Sang Adipati sendiri bertepuk tangan memuji dan Aryo Pranarojo juga mengganguk-angguk, karena apa yang diperlihatkan oleh pemuda tampan itu benar-benar amat luar biasa. Anak panah yang pertama dengan jitu sekali telah menancap di tenggorokan orang-orangan itu, anak panah ke dua menyambar dan membelah anak panah pertama, terus menancap di tempat yang sama,dan anak panah yang ke tiga membelah anak panah ke dua, juga menancap di tempat yang sama pula. Dan ketiga anak panah itu menyambar tanpa bantuan gendawa, hanya dengan lontaran tangan saja!

   Gegerlah semua penonton. Ribuan orang penonton yang seperti semut itu bergerak seperti serombongan semut diganggu. Kalau tidak takut kepada Sang Adipati dan para penjaga, agaknya sudah banyak penonton, terutama dara-dara remaja, yang lari menyeberangi alun-alun untuk menghampiri Bromatmojo dan mengelu-elukannya. Bromatmojo sudah melompat turun dari kuda hitamnya dan menyerahkan kuda itu kepada para penjaga. Lalu dengan tersenyum dia duduk di tempat para peserta yang lulus ujian, dan bersama dia kini para peserta yang lulus dalam ujian ke dua berjumlah delapan orang.

   Kini ujian ke tiga telah dipersiapkan oleh para perajurit pengawal, dipimpin sendiri oleh Raden Turonggo. Sesuai dengan jumlah para peserta yang lulus ujian ke dua, di situ telah didirikan delapan batang bambu yang tingginya kurang lebih empat meter dan pada setiap ujung bambu itu dikatkan sebuah kelapa muda dengan tali lawe. Lima orang perajurit anggota pasukan panah, yaitu ahli-ahli panah tepat, telah berdiri berjajar dalam jarak seratus langkah dan siap dengan busur dan anak panah mereka. Ngeri juga hati para penonton melihat ini. Mereka sudah mendengar bahwa ujian ke tiga amat berbahaya karena para peserta harus dapat memetik buah kelapa itu dari atas ujung bambu tanpa memanjat bambunya, dan untuk pekerjaan yang sudah amat sukar ini mereka masih dihalangi oleh lima orang itu yang kan menghujani mereka dengan anak panah! Dua ujian pertama tidaklah berbahaya kalau dibandingkan dengan ujian ke tiga ini. Baru memetik buah kalapa setinggi itu saja sudah merupakan hal yang amat sukar, apa lagi harus melindungi diri dari serangan hujan anak panah, Gila, sama saja dengan bunuh diri!

   Peserta pertama yang bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk (brewokan) maju dengan langkah lebar dan gagah. Begitu dia tiba di tanah yang sudah di beri tanda lingkaran di bawah bambu, Raden Turanggo memberi aba-aba dan lima orang pemanah itu segera melepaskan anak panah meraka. Berdesinglah anak panah menyambar-nyambar ke arah tubuh Si Tinggi Besar dan peserta ini yang sudah bersiap-siap lalu menggerakkan tubuh mengelak ke sana-sini dan kaki tangannya juga bergerak menangkisi anak-anak panah itu. Belasan batang anak panah dapat dia halaukan dan dia lalu meloncat ke atas. Akan tetapi kembali anak-anak panah menyambar dan orang itu terpaksa sibuk melindungi tubuhnya dari serangan anak-anak panah itu sehingga dia gagal untuk mengambil buah kelapa. Dia meloncat lagi, akan tetapi setiap kali di meloncat, pasukan panah tadi melepas anak-anak panah mereka sehingga sampai lima kali dia meloncat, laki-laki tinggi besar itu masih belum mampu mengambil buah kelapa, bahkan sebatang anak panah telah melukai betisnya. Dia meloncat turun dan betisnya berdarah. Gagallah peserta pertama ini dan dia meninggalkan gelanggang.

   Peserta ke dua yang dipanggil adalah Joko Handoko. Dengan tenang pemuda tampan gagah dan bersikap halus ini maju, disambut oleh tepuk sorak memberi semangat. Joko Handoko lalu menghampiri sebuah di antara delapan batang bambu itu dan begitu kakinya memasuki lingkaran, Raden Turonggo memberi isyarat dan berhamburanlah anak-anak panah seprti hujan menyambar ke arah tubuh pemuda perkasa ini. Namun, Joko Handoko sudah mempersiapkan diri, sejak memasuki lingkaran dia telah mengerahkan aji kekebalannya dan melihat anak-anak panah datang menyambar, dia hanya menggerakkan kedua tangan untuk menyapok anak panah yang menuju ke matanya. Anak-anak panah yang menuju ke bagian lain dari tubuhnya didiamkan saja. Semua orang terkejut akan tetapi lalu bernapas lega dan bersorak memuji ketika anak-anak panah yang mengenai tubuh pemuda itu runtuh seperti mengenai besi baja, dan pada saat itu tubuh Joko Handoko sudah mencelat ke atas.

   Terdengar dia berteriak nyaring karena untuk meloncat setinggi itu memang bukanlah hal mudah baginya. Biar pun dia telah mengerahkan tenaga, namun tetap saja tangannya yang meraih buah kelapa masih tidak sampai, kurang dua tiga jengkel lagi! Terpaksa dia melayang turun dengan tangan hampa dan para penonton menahan napas, merasa kecewa.

   Kembali anak-anak panah menyerbu dan sekali ini,setelah meruntuhkan semua anak panah, dia meloncat lagi sambil menarik ikat kepalanya. Seperti juga tadi, loncatannya masih belum cukup tinggi untuk meraih buah kelapa itu, akan tetapi dia mengerakkan ikat kepalanya memukul ke atas dan putuslah tali yang mengikat dawegan (kelapa muda) itu sehingga buah itu runtuh ke bawah dan cepat disambarnya sebelum dia melayang turun. Tepuk sorak menyambut kemenangan ini dan dengan sikap hormat Joko Handoko menyembah ke arah panggung di mana Sang Adipati duduk dan meninggalkan buah kelapa di atas tanah lalu dia disambut oleh Raden Turonggo sendiri yang mengajaknya menunggu dan duduk di tempat yang telah disediakan untuk para pemenang, yaitu di sebuah panggung yang sama tingginya dengan panggung Sang Adipati, hanya panggung ini dibentuk seperti gelanggang karena memang di sinilah nanti para pemenang di uji pula untuk menentukan tingkat mereka, yaitu dengan saling bertanding kesaktian!

   Peserta ke tiga gagal lagi, biar pun dia tidak terluka seperti peserta pertama,namun hujan anak panah membuat dia sibuk mengelak dan menangkis sehingga dia sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk mengambil kelapa muda itu. Dia merasa tidak sanggup dan meninggalkan lapangan.

   Kini tiba giliran dua orang kakak beradik yang mendaftarkan diri sebagai Gendana dan Gendini, dua saudara kembar itu. Ketika Gendana dipanggil, adiknya ikut pula maju dan kembali Raden Turonggo memberi berkenan kepada mereka untuk maju bersama. Dia telah banyak mendengar tentang perasaan saudara kembar yang sukar untuk dipisahkan satu dari yang lain. Dua orang muda itu dengan cepat menghampiri bambu dan dari sikap mereka yang tenang dapat dipastikan bahwa mereka sudah mengatur rencana untuk menghadapi ujian berat ini.

   Dan memang demikianlah. Begitu mereka memasuki lingkaran, lima orang pemanah itu sudah menghujankan anak panah mereka. Dua orang itu bergerak, akan tetapi gerakan mereka berbeda, Si Adik hanya mengelak sedangkan Si Kakak selain mengelak juga menyambar anak-anak panah dengan kedua tangannya dia menangkap banyak anak panah di kedua tangannya. Tiba-tiba Si Adik berseru keras dan meloncat, bukan meloncat ke atas puncak bambu, melainkan ke atas tubuh kakaknya dan Si Kakak, menggunakan kedua tangan setelah menyelipkan anak-anak panah itu di ikat pinggang, menerima kedua kaki adiknya dan dari tangan kakaknya itulah Si Adik kini menggenjot tubuhnya ke atas! Pada saat itu, anak-anak panah kembali menyerangnya, akan tetapi kini Si Kakak menggunakan kedua tangan untuk melempar-lemparkan anak panah yang tadi dirampasnya dan dengan demikian dia memukul runtuh anak-anak panah yang mengancam adiknya! Karena Si Adik meloncat dari atas tangan kakaknya,tentu saja tempat kelapa muda itu tidak tinggi lagi dan dia berhasil memetik dawegan dengan baiknya lalu meloncat turun. Begitu dia turun, Si Kakak lalu Si Kakak lalu meloncat ke atas, seperti tadi dia diterima oleh kedua tangan adiknya dan kembali dia menggenjot tubuhnya berlandaskan dua telapak tangan adiknya.

   Anak-anak panah menyambar, namun dengan sigapnya Si Kakak ternya lebih pandai dari Adiknya, dapat menangkis dan menyepak anak-anak panah itu dan dengan mudah tangannya meraih dan memetik buah kelapa dari bambu ke dua, lalu turun dan mereka berdua berdiri dan membungkuk dengan hormat ke arah panggung Sang dipati di bawah sorakan dan pujian para penonton.

   "Hemm, kemenangan mereka itu terjadi karena saling bantu,"

   Aryo Pranarojo berkata.

   "Kalau maju seorang saja saya kira belum tentu berhasil."

   Sang Adipati Wirorojo tersenyum dan meraba kumisnya.

   "Biar pun demikian, dengan kerja sama yang baik, dua orang itu boleh juga diandalkan."

   Raden Turonggo juga ragu-ragu untuk menyatakan kakak beradik ini lulus ujian akan tetapi ketika dia menengok ke arah eyangnya duduk, dia melihat Sang Adipati menganggukkan kepalanya, maka dia lalu menyambut kakak beradik itu dan di ajak pergi duduk menanti di atas panggung di mana telah duduk Joko Handoko. Ketika bertemu pandang dengan Joko Handoko, kakak beradik itu tersenyum dan Si Adik berkata dengan suara halus,

   "Andika sungguh gagah perkasa dan hebat, Kisanak....!"

   Joko Handoko tersenyum dan menjawab.

   "Dan Andika berdua sungguh cerdik bukan main!"

   Mereka berdua tersenyum lebar dan Joko Handoko merasa betapa pandang mata Gendini kepadanya mengandung sesuatu yang membuat dia mengerutkan kening. Dia dapat menduga bahwa "Pemuda"

   Ini adalah seorang gadis yang berpakaian pria,seperti halnya Sulastri. Hanya bedanya, kalau Sulastri dalam penyamarannya itu benar-benar hendak menyembunyikan kewanitaannya sehingga tidak mudah dikenal,sebaliknya gadis ini tidak menyembunyikan kewanitaannya, suaranya pun halus, dan agaknya dia berpakaian pria agar leluasa bergerak saja. Melihat betapa dara itu terus menerus memandang kepadanya dengan senyum penuh arti, dia merasa malu dan memalingkan muka tidak berani memandang lagi.

   Kini tinggal tiga peserta yang belum menempuh ujian, yaitu pemuda tinggi kurus,seorang peserta yang bermuka hitam dan pendek gemuk, dan orang ke tiga adalah Bromatmojo. Tibalah giliran pemuda tinggi kurus yang berwajah muram. Dia memasuki lingkarang di bawah bambu dengan tenang dan ketika anak-anak panah datang menyambar dia sama sekali tidak mengelak atau menangkis, seperti Joko Handoko tadi, ternyata dia melindungi dirinya dengan aji kekebalan dan tanpa memperdulikan hujan anak panah, dia sudah menggenjot kakinya dan tubuhnya mencelat dengan ringan dan mudahnya, tangannya meraih dan di lain saat dia telah memetik buah kelapa itu! Jelas bahwa dalam hal meringankan tubuh, dia menang jauh dengan kakak berdik itu, bahkan masih menang kalau dibandingkan dengan Joko Handoko yang tadi terpaksa harus menggunakan bantuan ikat kepalanya untuk dapat mengembil kelapa muda itu. Tentu saja kemenangan pemuda tinggi kurus ini amat menonjol dan dia menerima sorak pujian para penonton, sungguh pun penonton tidak suka melihat pemuda yang berwajah muram dan bersungut-sungut itu.

   Peserta pendek gemuk menerima giliran kembali dia gagal karena loncatannya tidak dapat mencapai buah kelapa. Karena jengkel agaknya, Si Pendek gemuk ini menggunakan kekuatan kedua tangannya, merobohkan bambu sehingga buah kelapa itu ikut pula jatuh ke bawah lalu diterimanya dengan tangan. Tentu saja hal ini menyalahi syarat dan dia dinyatakan tidak lulus. Di bawah sorak-sorai penonton, Si Pendek Gemuk ini meninggalkan lapangan. Agaknya dia memiliki aji kekabalan yang paling hebat karena anak-anak panah yang mengenai tubuh atasnya yang telanjang itu banyak yang patah-patah! Akan tetapi dalam hal kegesitan dan keringanan tubuh, dia harus banyak belajar lagi.

   Tibalah kini giliran Bromatmojo dan sebelum pemuda itu melangkah, dia sudah disambut sorak dan tepk tangan riuh rendah. Jelas sekali betapa simpati para penonton pada umumnya dilimpahkan kepada Bromatmojo. Melihat ini, Raden Turonggo sendiri tersenyum dan memandang kagum. Memang peserta yang satuini amat mengagumkan, amat tampan dan pandai mengikat hati.

   Dan Bromatmojo sendiri yang tahu betapa para penonton menjagoinya, mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaian agar menyenangkan hati para penonton yang telah bersikap demikian baik kepadanya. Maka begitu dia tiba di bawah bambu, belum memasuki lingkaran, dia tersenyum dan mengangguk ke empat penjuru, disambut oleh para penonton yang bersorak gembira memuji jagoan mereka. Kemudian dia lalu meloncat masuk ke dalam lingkaran dan pada saat itu, Raden Turonggo telah memberi isyarat dan lima orang pemanah segera menghujankan anak panahnya ke arah Bromatmojo.

   Di antara ilmu-ilmu kesaktian yang dipelajarinya dan sangat boleh diandalkan,terutama sekali adalah ilmunya meringankan tubuh yang disebut Aji Turonggo Bayu, ilmu kesaktian yang membuat tubuh dara itu dapat bergerak secepat kilat dan dapat berlari secepat angin. Kini, melihat datangnya anak panah yang bertubi-tubi seperti hujan, Bromatmojo memperoleh kesempatan untuk mendemonstrasikan gerak cepatnya. Tubuhnya melesat ke kanan kiri, atas bawah dan depan belakang, begitu cepatnya sehingga tubuhnya berubah menjadi banyak! Tentu saja para penonton menjadi kagum dan gembira sekali. Mereka bertepuk tangan dan bersorak memuji Bromatmojo yang memang sengaja hendak memamerkan kepandaiannya, tidak cepat-cepat meloncat ke atas melainkan "bermain-main"

   Dengan hujan anak panah itu.

   Para pemanah juga kagum sekali maka tanpa diperintah lagi mereka seperti hendak melayani pemuda luar biasa itu untuk bermain-main dan mereka terus melepaskan anak panah dengan gencar, karena mereka pun yakin bahwa tidak akan ada anak panah yang dapat mengenai tubuh yang demikian gesit gerakannya, melebihi seekor burung walet!

   Setelah puas bergerak ke sana-sini mengelak dari semua anak panah, Tiba-tiba Bromatmojo mengeluarkan suara melengking keras dan tahu-tahu tubuhnya mencelat tinggi sekali ke angkasa! Dia berjungkir balik sampai empat kali dan ketika anak panah kembali menyambar ke arah tubuhnya yang berjungkir balik membuat salto di udara itu, Bromatmojo lalu menangkapi anak panah itu dengan kedua tangan, bahkan ada yang digigitnya ketika anak panah itu lewat di depan mukanya, dan kedua kakinya kini menggunting tali yang mengikat dawegan. Ketika tubuhnya melayang turun, dia melempar-lemparkan anak panah yang ditangkap-tangkapinya tadi ke arah anak panah lain yang datang menyambar dan anak-anak panah itu jatuh berhamburan dan patah-patah!

   Dengan berjungkir balik lagi, dia menyambar buah kelapa yang melayang jatuh, kemudian, dibawah tepuk sorak gemuruh dari penonton yang berjingkrak-jingkrak saking gembiranya Bromatmojo menggunakan tangannya seperti sebatang golok dan sekali pukul saja kelapa muda itu pecah menjadi dua dan diminumnyalah air kelapa itu dengan enaknya! Tentu saja para penonton menjadi makin gemuruh dan tertawa-tawa.

   Bromatmojo lalu melemparkan dua pecahan kelapa muda itu ke arah penonton dan kini terjadilah tontonan yang amat menarik ketika para perawan yang kegilaan itu sudah saling memperebutkan dawegan yang dilemparkan oleh Sang Arjuna itu! Raden Turonggo menggeleng-gelengkan kepala ketika menyambut Bromatmojo, dan putera mendiang Adipati Ronggo Lawe ini memandang tajam dan berkata kagum,

   "Andika sungguh pandai...."

   Bromatmojo belum tahu siapa adanya pemuda tampan gagah yang mengatur jalannya sayembara itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu pemuda ini seorang yang penting di Lumajang, maka dia menjawab.

   "Ah, tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan Paduka."

   Diam-diam Raden Turonggo makin kagum. Pemuda tampan ini selain memiliki kesaktian yang hebat juga pandai mengambil hati, ramah tamah, lincah jenaka dan agaknya akan dapat menjadi seorang sahabat yang menyenangkan. Dia lalu mengajak naik ke panggung di mana Joko Handoko menyambut Bromatmojo dengan seruan nyaring saking bangga dan girang hatinya.

   "Engkau sungguh hebat, Adimas Bromatmojo!"

   "Andika juga lulus, Kakangmas Joko!"

   Jawab Bromatmojo dan dia melirik ke arah pemuda tinggi kurus yang memandangnya dengan sinar mata tajam penuh selidik itu. Hemm, agaknya dialah lawanku yang paling kuat nanti, pikir Bromatmojo.

   Raden Turonggo menghadapi eyangnya untuk melaporkan dan Adipati Wirorojo setuju untuk menerima lima oarng muda itu sebagai pemenang sayembara.

   "Laksanakan kini pemilihan untuk menentukan tingkat mereka, Kulup, akan tetapi jaga jangan sampai mereka itu saling melukai apalagi saling bunuh."

   Raden Turonggo mengangguk, kemudian dia menuju ke panggung para peserta dan dengan suara lantang dia mengumumkan bahwa lima orang peserta ini adalah pemenang sayembara. Pengumuman ini disambut oleh sorakan gembira dari para penonton dan Raden Turonggo lalu mengangkat kedua tangan ke atas, memberi isyarat agar semua penonton tenang. Setelah mereka tidak bersorak lagi, Raden Turonggo berkata lagi dengan lantang.

   "Sekarang hendak diadakan pertandingan ilmu di antara mereka. Bukan untuk mencari kemenangan atau kekalahan, hanya sekedar untuk menentukan tingkat di antara mereka. Maka diharap para peserta tidak bertanding untuk merobohkan lawan,melainkan untuk memperlihatkan kepandaian bertanding. Hendaknya diingat bahwa mulai sekarang, Andika sekalian kawan-kawan sejabat atau rekan-rekan seperkejaan."

   Kakak beradik Gendana dan Gendini segera bangkit berdiri dan mereka berdua menjura kepada Raden Turonggo.

   "Biarlah kami berdua saling bertanding untuk memperlihatkan kemampuan kami kalau diperkenankan."

   Raden Turonggo mengangguk. Sebaiknya begitu dan pertandingan antara kakak beradik ini tentu paling aman dan tidak mungkin mereka akan saling melukai.

   Mulailah dua orang kakak beradik itu bergerak di tengah-tengah panggung biar pun hanya merupakan semacam latihan bagi mereka, namun gerakan mereka benar-benar amat tangkas dan cepat. Pukulan, tendangan dan tangkisan dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan hanya seorang ahli saja yang dapat berlatih seperti itu cepatnya, tiada bedanya dengan perkelahian sungguh-sungguh. Dari gerakan mereka dan cara mereka menyerang dan menangkis atau mengelak, dapat dinilai sampai di mana kehebatan mereka dalam ilmu seni bela diri itu.

   "Heiiiiiittt.....!!"

   Tiba-tiba Gendini memekik dan tubuhnya meluncur cepat,kedua kakinya bergantian melakukan tendangan kilat.

   "Plak! Plak!"

   Kedua tangan Gendana menangkis tendangan-tendangan itu dan cepat sekali kini kedua tangan Gendini melakukan pukulan dengan dorongan dari samping tubuhnya, ke arah dada lawan. Gendana menyambut dengan dorongan kedua tangan pula.

   "Plakkk!"

   Dua pasang tangan saling bertemu dan sekali Gendana mengerahkan tenaga,tubuh adiknya itu terangkat dan terlempar ke atas kepalanya seperti terbang! Akan tetapi, dengan gerakan indah Gendini sudah berjungkir balik dua kali dan turun seperti seekor burung saja. Tepuk tangan menyambut demontrasi ilmu silat yang telah berakhir itu.

   Kakak beradik itu tersenyum dan kembali ke tempat duduk mereka. Kini Joko Handoko bangkit berdiri, maksudnya hendak mencontoh kakak beradik itu dan hendak mengajak Bromatmojo untuk bertanding. Akan tetapi sebelum Bromatmojo bangkit, pemuda tinggi kurus sudah bangkit lebih dulu dan sekali menggerakkan kakinya, dia sudah meloncat ke depan Joko Handoko sambil membungkuk.

   "Kisanak, marilah kita main-main sebentar,"

   Katanya dengan sikap kaku.

   Ucapan yang dikeluarkan dengan sikap kaku ini dapat diterima sebagai tantangan,maka Joko Handoko mengerutkan alisnya dan menjawab.

   "Boleh, silahkan maju."

   Raden Turonggo yang teringat akan pesan kakeknya, berdiri dengan sikap waspada dan siap untuk melerai sekiranya pertandingan itu menjadi berbahaya bagi kedua pihak.

   "Tidak diperkenankan menggunakan senjata,"

   Katanya kepada dua orang muda itu sebelum mereka bergerak. Joko Handoko mengangguk dan lawannya diam saja, kemudian lawannya membentak nyaring sambil menggerakkan tangan kiri melakukan serangan pertama dengan tamparan dari samping.

   "Wuuuutttt....! Wiirrrr...!"

   Joko Handoko cepat mengelak dan diam-diam dia terkejut ketika merasakan angin sambaran tamparan itu amat kuat dan juga mengandung hawa panas. Maklumlah dia bahwa lawannya itu bukan orang sembarangan, sungguhpun hal itu sudah dapat diduganya ketika melihat Si Tinggi Kurus tadi lulus dalam tiga macam ujian dengan baik, bahkan lebih unggul daripada dia. Namun ketika pukulan ke dua datang menyambar, dia sengaja menangkis untuk mengukur kekuatan lawan.

   "Wuuuuuuttt.....desss!!"

   Joko Handoko terhuyung ke belakang sedangkan pemuda tinggi kurus itu berdiri tegak. Tentu saja Joko Handoko terkejut. Jelas bahwa dia kalah tenaga, bahkan kalah jauh. Akan tetapi dia tidak merasa gentar dan cepat pemuda ini sudah menerjang dan balas menyerang. Lawannya mengelak, gerakannya lambat-lambat saja akan tetapi anehnya, semua serangan Joko Handoko hanya mengenai angin belaka. Sampai pukulan jurus Joko Handoko menyerang, namun lawannya terus mengelak dengan mudahnya. Ketika Joko Handoko menjadi makin penasaran dan mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga sakti ke arah lambung lawan, pemuda tinggi kurus itu mengeluarkan suara menggereng seperti harimau.

   "Blukkk! Plakkk!"

   Tubuh Joko Handoko terpelanting. Ternyata Si Tinggi Kurus itu menerima hantaman Joko Handoko dan pemuda ini merasa betapa tangannya seperti menghantam benda yang kenyal dan kuat, dan pada detik berikutnya, Si Tinggi Kurus sudah menampar pundaknya dan tak dapat ditahan lagi, tubuh Joko Handoko terpelanting keras.

   "Kakangmas....!"

   Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan semua orang memandang dengan terheran-heran dan juga kagum ketika melihat bahwa yang meloncat seperti seekor kijang ke atas panggung itu adalah seorang gadis yang cantik sekali!

   Gadis itu cepat memegang lengan kakaknya yang masih berlutut dan bertanya.

   "Kakangmas, kau terluka....?"

   Joko Handoko menggelang kepala lalu bengkit berdiri.

   "Tidak apa-apa, Diajeng, tidak apa-apa...."

   Dengan perasaan tidak enak karena melihat Roro Kartiko, adiknya itu meloncat naik ke atas panggung, Joko Handoko lalu memberi hormat kepada Raden Turonggo yang menghampirinya dan yang memandang kepada Roro Kartiko dengan heran.

   "Harap Paduka maafkan, Raden. Dia ini adalah adik saya yang mengkhawatirkan keadaan saya...."

   Raden Turonggo juga kagum melihat dara cantik yang ternyata dapat melompat sejauh dan secepat itu, maka dia menggeleng kepalanya.

   "Tidak mengapa, sekarang harap Andika mundur...."

   Sementara itu. Bromatmojo sudah meloncat ke tengah panggung menghadapi Si Tinggi Kurus.

   "Karena tidak ada peserta lain, benanikah Andika menemani saya bertanding?"

   Tanya Bromatmojo sambil tersenyum.

   Biar pun pertanyaannya itu merupakan tantangan, akan tetapi karena dilakukan dengan senyum, maka Si Tinggi Kurus itu tidak dapat berbuat lain kecuali mengangguk. Dan Raden Turonggo juga tidak dapat mencegah mereka karena begitu terlihat Si Tinggi Kurus mengangguk, Bromatmojo sudah cepat menerjang dengan serangan-serangannya! Bertandinglah kedua orang ini dan sekali ini para penonton disuguhi pertandingan yang amat seru dan hebat! Sementara itu, Joko Handoko dan Roro Kartiko disambut oleh kakak beradik kembar. Gendana memandang kepada Roro Kartiko penuh kekaguman. Karena dua orang bersaudara itu bersikap manis, Joko Handoko lalu memperkenalkan mereka kepada adiknya.

   "Diajeng, mereka ini adalah saudara Gendana dan Gendini...."

   "Ah, itu adalah nama samaran kami,"

   Kata Gendana.

   "Sebetulnya nama saya adalah Murwendo, Raden Murwendo, dan adik saya ini bernama Murwanti."

   (Lanjut ke Jilid 23)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 23

   Joko Handoko mengangguk, karena memang dia pun sudah menduga bahwa nama mereka itu adalah nama samaran yang berarti saudara kembar laki-laki dan perempuan.

   "Adik saya ini bernama Roro Kartiko."

   "Nama yang indah...."

   Kata Raden Murwendo.

   "Kepandaianmu hebat juga, mengapa engkau tidak ikut sayembara?"

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya Roro Murwanti kepada Roro Kartiko.

   "Tadinya saya hendak ikut, akan tetapi saya ngeri melihat kuda liar itu,"

   Jawab yang ditanya.

   Sorak-sorai penonton membuat mereka berempat menoleh dan memandang ke tengah panggung. Pertempuran itu memang hebat dan seru. Baru sekarang Joko Handoko mendapat kenyataan bahwa lawannya tadi memang tinggi ilmunya, maka dia pun tidak merasa penasaran telah dikalahkan oleh Si Tinggi Kurus. Dia tahu betapa saktinya Bromatmojo, namun pemuda dari puncak Bromo itu ternyata masih belum mampu mengalahkan lawannya! Memang Bromatmojo merasa penasaran sekali. Dia mengeluarkan ilmu-ilmu yang ampuh, sudah menerjang dengan menggunakan Aji Hasto Bairowo, yaitu ilmu pukulannya yang amat kuat dan cepat. Namun, lawannya ternyata dapat mengimbangi serangannya, dapat mengelak dan bahkan berani menangkis pukulan Hasto Nogo yang mengandung daya melumpuhkan dan mujijat itu! Ternyata ketika mereka berdua beradu lengan, keduanya terdorong mundur, tanda bahwa kekuatan tenaga sakti mereka berimbang!

   Hal ini membuat Bromatmojo menjadi pensaran dan marah, maka dia lalu mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya segera bergerak seperti seekor burung walet menyambar-nyambar. Demikian cepat gerakannya seolah-olah kedua kakinya tidak menginjak papan panggung lagi dan tubuhnya seperti berubah menjadi banyak, yang menyerang secara bertubi-tubi kepada Si Tinggi Kurus dari segala jurusan. Barulah sekarang Si Tinggi Kurus kelihatan terdesak! Para penonton bersorak-sorai,hampir semua orang menjagoi Bromatmojo. Akan tetapi Si Tinggi Kurus itu memang tangguh sekali. Biar pun kini dia tidak memperoleh kesempatan untuk membalas karena kecepatan gerak tubuh Bromatmojo benar-benar amat hebat, namun belum juga Bromatmojo dapat memukulnya secara tepat sehingga dia masih dapat melindungi dirinya dan bahkan beberapa kali tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga seperti membendung serangan berantai dari Bromatmojo.

   "Hyaaaaaahhh.........!!"

   Bromatmojo tiba-tiba memekik keras dan dengan kecepatan luar biasa dia telah mengirim serangkaian pukulan sakti dengan kekuatan Hasto Nogo! Si Tinggi Kurus mengelak dan menangkis, namun dia kalah cepat dan pundaknya masih kena terdorong oleh tangan kiri Bromatmojo yang mengandung tenaga mujijat sehingga dia terhuyung ke belakang. Hanya terhuyung! Padahal tamparan Hasto Nogo itu dapat meremukan batu karang!

   "Cukup harap kalian mundur!"

   Raden Turonggo tiba-tiba melangkah maju dan melerai mereka. Dua orang itu sejenak berpandangan seperti dua ekor jago yang masih haus darah, akan tetapi Bromatmojo lalu tersenyum dan orang tinggi kurus itu makin merengut. Keduanya lalu kembali duduk di panggung itu, diiringi sorak-sorai penonton yang kegirangan karena jelas nampak oleh mereka tadi bahwa jagoan mereka Sang Arjuna telah menang, biar pun lawannya belum roboh. Karena para perwira yang bertugas mengumumkan bahwa sayembara telah bubar, maka mereka semua lalu bubaran. Banyak di antara mereka, laki-laki dan perempuan, tua muda, desakan ingin mendekati Sang Arjuno, akan tetapi para perajurit melarang mereka sehingga mereka hanya menonton dari jauh dan melambaikan tangan kepada Bromatmojo. Adipati Wirorojo mengundurkan diri memasuki istana dan lima orang muda yang dipilih itu, bersama Roro Kartiko yang diperkenankan pula menghadap bersama kakaknya, dipanggil masuk dan diantar oleh Raden Turonggo.

   Ruangan itu luas dan bersih, dan Sang Adipati duduk dihadap oleh semua hulubalang dan para pembantunya. Aryo Pranarojo duduk di sebelah kirinya,sedangkan Raden Kuda Anjampiani atau Raden Turonggo lalu menghadap mendampingi lima orang peserta sayembara bersam Roro Kartiko. Di ruangan itu hadir pula para senopati yang merupakan kawan-kawan seperjuangan dari Sang Adipati, bekas-bekas jagoan mojopahit yang telah mengungsi ke Lumajang. Mereka ini antara lain adalah Tumenggung Pamandana yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, Aryo Semi yang masih muda dan kelihatan gagah perkasa, usianya paling banyak tiga puluh lima tahun, Aryo Jangkung dan Aryo teguh yang sedikit lebih tua, kemudian nampak pula Panji Samara dan Panji Wironagari. Mereka ini semua adalah orang-orang gagah perkasa yang sejak muda telah banyak membantu Mojopahit dan semenjak tewasnya Adipati Ronggo Lawe kemudian tewasnya Demang Lembu Sora lalu melarikan diri ke Lumajang karena mereka tidak tahan lagi melihat betapa kekuasaan Puteri Melayu makin kuat mencengkeram Sang Prabu sehingga merekalah yang berkuasa di Mojopahit.

   Mereka semua tadi ikut pula menyaksikan pertandingan sayembara dan kini mereka memandang orang-orang muda itu dengan penuh perhatian dan kekaguman. Setelah semua peserta yang lulus itu menghadap, dengan wajah berseri karena gembira memperoleh pembantu-pembantu muda demikian gagah perkasa, Sang Adipati lalu memandang kepada Bromatmojo, peserta yang dianggapnya paling hebat.

   "Eh, bocah bagus, engkau sungguh mengagumkan hati semua orang. Siapakah Andika dan dari mana asalmu, orang muda yang ganteng?"

   Bromatmojo cepat menyembah dan dengan kedua pipi berubah merah dia lalu menjawab, suaranya halus namun penuh keriangan dan nyaring karena memang demikianlah watak dara ini.

   "Mohon Paduka sudi mengampuni hamba. Sesungguhnya hamba bukanlah seorang pria, melainkan wanita....."

   "Jagad Dewa Bathara! Wanita....?"

   Sang Adipati berseru kaget.

   "Ah, wanita....?"

   Terdengar bisikan mereka yang hadir di situ dan semua mata menatap Bromatmojo dengan penuh rasa selidik, dengan mata terbelalak heran seolah-olah dara itu merupakan seorang manusia aneh dari bulan. Memang siapakah yang yang menyangka bahwa pemuda yang demikian tinggi kepandaiannya, yang keluar sebagai juara dalam sayembara itu, hanyalah seorang wanita muda, seorang dara? Kini barulah mereka mengerti mengapa pemuda itu demikian tampannya, demikian memikatnya. Kiranya seorang wanita, seorang dara, yang cantik!

   "Ampunkan hamba, Gusti Adipati. Nama Bromatmojo adalah nama penyamaran hamba, karena hamba datang dari puncak Bromo. Nama hamba yang sesungguhnya adalah Sulastri, murid dari Eyang Empu Supamandragi di puncak Bromo."

   "Hammm, pantas....pantas.... kiranya Andika murid Kakang Empu Supamandrangi...!"

   Adipati Wirorojo mengangguk-angguk. Tentu saja dia mengenal Empu yang sakti itu karena puteranya sendiri, mendiang Adipati Ronggo Lawe adalah juga murid Sang Empu itu.

   "Baiklah, Nini Sulastri, kami girang sekali mendengar bahwa Andika adalah murid gemblengan Kakang Empu Supamandrangi. Penyamaranmu baik sekali sehingga Andika mampu mengelabui orang se-Lumajang. Sekarang, katakanlah Nini, mengapa Andika sebagai seorang wanita muda bersusah-payah menyamar sebagai pria, dan memasuki sayembara yang kami adakan?"

   "Maaf, Gusti Adipati. Hamba menyamar agar mudah melakukan perjalanan dan hamba sengaja hendak menghambakan diri di sini kepada Paduka karena hamba tahu bahwa Paduka adalah ayah dari orang yang hamba junjung sebagai seorang Guru hamba yang paling baik, yang telah meninggalkan benda ini kepada hamba."

   Bromatmojo atau Sulastri mengeluarkan kalungnya yang tersembunyi di balik bajunya, yaitu kalung Kundolo Mirah pemberian mendiang Adipati Ronggo Lawe.

   "Kundolo Mirah....!!"

   Seruan ini keluar dari mulut Sang Adipati dan dari mulut Raden Turonggo.

   "Duh Jagat Dewa Bathara......! Kiranya Andika ada hubungan demikian erat dengan mendiang puteraku Ronggo Lawe? Coba ceritakan kepada kami, Nini, bagaimana Andika bisa mendapatkan Kundolo Mirah itu."

   "Beberapa bulan sebelum terjadi perang antara Tuban dan Mojopahit, Sang Adipati Ronggo Lawe pernah menolong Kakak hamba dan hamba dari gangguan orang-orang jahat. Karena kagum maka hamba minta menjadi murid beliau. Akan tetapi pada waktu itu beliau sedang sibuk dengan urusan kerajaan, maka sebagai gantinya Beliau memberikan Kundolo Mirah ini kepada hamba. Kemudian hamba menjadi murid Eyang Jembros...."

   "Ki Jembros.... yang tewas pula membantu Demung Lembu Sora?"

   "Benar, Gusti. Karena Eyang Jembros terluka dan hendak membantu Paman Juru Demung dan Paman Gajah Biru yang ketika itu berada di Pegunungan Pandan, hamba lalu disuruh pergi ke puncak Bromo menghadap Eyang Empu Supamandrangi dan di sanalah hamba digembleng dan menjadi murid Eyang Empu."

   "Ahh, sungguh beruntung sekali bagi kami mendapatkan bantuan seorang seperti Andika, Nini Sulastri. Lalu bagaimana asal mulanya maka Andika berada di Lumajang dan mengikuti sayembara?"

   "Hamba sedang menyelidiki hilangnya Kolonadah, Gusti...."

   Sang Adipati mengelus jenggotnya dan semua orang terkejut, saling pandang dan terdengarlah bisik-bisik halus. Sang Adipati lalu mengangkat tangan dan berkata.

   "Baiklah, kita akan bicarakan hal itu nanti setelah kami berkenalan dengan para peserta lainnya."

   Dengan kata-kata ini Sang Adipati hendak memberi tahu bahwa urusan Kolonadah tidak akan dibicarakan secara terbuka di persidangan itu dan Sulastri lalu menyembah dan menundukkan muka tanda bahwa dia mengerti. Sang Adipati kini memandang kepada kakak adik kembar itu, memberi isyarat kepada mereka agar mendekat laju maju. Murwendo dan Murwanti lalu maju sampai berjongkok dan Sang Adipati tertawa.

   "Ha-ha-ha, biar pun engkau menggunakan pakaian pria pula, Nini, akan tetapi semua orang dapat mengetahui atau menduga bahwa Andika adalah seorang wanita,tidak seperti Nini Sulastri. Apalagi dalam pendaftaran, nama Andika berdua adalah Gendana dan Gendini, tanda bahwa Andika adalah kakak beradik kembar, laki-laki dan wanita. Sebenarnya siapakah Andika berdua dan datang dari mana?"

   "Tepat seperti dugaan Paduka, Gusti, hamba berdua adalah kakak beradik kembar, nama hamba Murwenda dan adik hamba bernama Murwanti. Kami berdua adalah kakak beradik dari pantai selatan, dari keluarga nelayan yang ingin meluaskan pengetahuan maka ketika hamba mendengar bahwa di Lumajang diadakan sayembara, hamba ingin memasukinya, dan Adik hamba ini tidak pernah mau ketinggalan selalu bersama hamba. Harap Paduka maafkan kebodohan hamba berdua."

   Sang Adipati girang melihat sikap kakak beradik ini penuh hormat dan sopan bagi anak-anak nelayan.

   "Kepandaian kalian cukup baik dan kami merasa girang mendapat bantuan Andika, Murwendo dan Murwanti. Pembagian tugas bagi Andika semua akan diatur kemudian."

   Sang Adipatii lalu menyuruh maju pemuda tinggi kurus yang wajahnya muram dan mulutnya bersungut-sungut itu.

   "Siapakah Andika? Kami lihat kepandaian Andika hebat, kiranya mengimbangi kesaktian Nini Sulastri."

   Pemuda tinggi kurus itu menyembah.

   "Hamba bernama Harwojo dan hamba berguru kepada Ayah hamba sendiri yang bertapa di Lereng Gunung Anjasmoro dan yang sekarang sudah meninggal dunia. Hamba tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, merantau dan kebetulan hamba sampai di sini mendengar tentang sayembara, maka hamba memasukinya."

   Sang Adipati mengangguk-angguk.

   "Baik, Harwojo. Melihat kepandaianmu, tentu Andika akan banyak berguna bagi Lumajang. Mudah-mudahan saja Andika akan dapat melaksanakan tugas Andika dengan baik."

   Kini Sang Adipati memandang kepada Joko Handoko yang berlutut di dekat adiknya yang cantik, Roro Kartiko. Tentu saja tadi Sang Adipati juga melihat gerakan Roro Kartiko ketika dara itu meloncat seperti seekor kijang ke atas panggung,dan diam-diam Sang Adipati kagum sekali.

   "Dan Andika siapakah, orang muda? Dan Nini Dewi itu apakah benar adik Andika? Sungguh mengherankan, sayembara ini sekaligus menarik datangnya tiga orang wanita Srikandi, ha-ha-ha!"

   Sang Adipati tertawa karena gembira hatinya.

   "Hamba bernama Joko Handoko dan adik hamba ini bernama Roro Katiko. Sebelum hamba memperkenalkan keluarga hamba, hamba mohon sudilah kiranya Gusti Adipati mengampuni hamba."

   Adipati Wirorojo mengerutkan alisnya dan memandang dua orang kakak beradik itu dengan penuh perhatian.

   "Hemm, apa sebabnya Andika datang-datang minta pengampunan? Tentu saja kalau ada sesuatu akan kami pertimbangkan dengan seadilnya, dan tidak mungkin kami menolak atau memberi pengampunan sebelum mendengar persoalannya. Ceritakanlah, Joko Handoko, siapakah keluargamu dan apa artinya sikapmu ini?"

   "Hamba berdua datang dari tuban dan Ayah hamba.... mendiang Ayah hamba Progodigdoyo...."

   Terdengar seruan-seruan kaget di ruangan itu dan Sang Adipati juga terkejut,memandang pemuda itu dengan mata tajam penuh selidik.

   "Progodigdoyo bupati Tuban?"

   Tanyanya menegas dan ketika Joko Handoko mengangguk. Adipati itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia sudah mengenal baik siapa itu Progodigdoyo dan mendiang Ki Ageng Palandongan sudah banyak bercerita tentang sepak terjang Progodigdoyo yang menjadi kaki tangan Resi Mahapati.

   "Hemm, Joko Handoko, apa sebabnya Andika datang ke Lumajang dan memasuki sayembara? Hayo ceritakan yang jelas karena mendengar bahwa Andika berdua adalah putera dan puteri Progodigdoyo, sungguh mengherankan hati kami mengapa Andika bisa berada di sini!"

   Di dalam suara Sang Adipati terkandung keraguan dan kecurigaan.

   Joko Handoko dan Roro Kartiko menunduk, muka mereka sebentara merah dan sebentar pucat.

   "Setelah apa yang terjadi dengan ayah hamba di Mojopahit...."

   Akhirnya Joko Handoko berkata sambil menunduk.

   "...hamba dan Adik hamba mengajak Ibu hamba berdua untuk lari dari Tuban..... dan hamba berdua ingin menghambakan diri di Lumajang untuk menentang kelaliman sebagai penebusan dosa orang tua hamba..."

   Adipati Wirorojo mengelus jenggotnya. Tentu saja hatinya meragu. Progodigdoyo terkenal sebagai seorang yang berwatak jahat, dan biarpun kini putera dan puterinya kelihatan baik-baik, akan tetapi siapa berani tanggung apakah kedatangan mereka ini membawa hati yang jujur? Selagi dia ragu-ragu, tiba-tiba Bromatmojo atau Sulastri menyembah dan berkata.

   "Maaf, Gusti Adipati! Untuk Kakangmas Joko Handoko dan Diajeng Roro Kartiko, hambalah yang sanggup menanggung mereka! Telah lama hamba mengenal mereka, dan biarpun mereka adalah putera dan puteri mendiang Progodigdoyo, namun mereka berdua orang-orang gagah perkasa dan budiman yang dapat dipercaya penuh. Mereka adalah pemimpin-pemimpin dari perkumpulan Sriti Kencana yang menggegerkan Tuban karena sepak-terjang mereka menentang para pembesar lalim dan membela rakyat yang tertindas, bahkan mereka tidak segan-segan untuk menentang kelaliman Ayah mereka sendiri. Hamba kira, kelaliman Progodigdoyo tidak boleh ditimpakan kepada mereka, Gusti."

   Dengan singkat namun padat Sulastri menceritakan sepak-terjang kakak beradik itu, betapa mereka berdua itu bersama dia malah telah membasmi Kakek Durgakelana, dan betapa jauh bedanya antara dua orang muda itu dengan ayah mereka yang sesat.

   "Dengan penuh harapan mereka berdua membawa Ibunda mereka ke Lumajang dan memasuki sayembara dengan niat menebus dosa-dosa Ayah mereka, hal itu tentu saja mereka lakukan karena mereka telah mendengar akan kebijaksanaan Paduka sebagai Adipati di Lumajang."

   Sulastri menutup ceritanya dan Sang Adipati mengangguk-angguk.

   "Nini Sulastri, Andika sungguh merupakan seorang wanita muda yang seperti Srikandi, selain sakti mandraguna juga amat setia terhadap kawan. Senangkanlah hati kalian, wahai orang-orang muda belia, karena tanpa pembelan Nini Sulastri tadi, kami tentu saja dengan hati dan tangan terbuka suka menerima janda Progodigdoyo beserta kedua putera puterinya di Lumajang."

   Dengan hati terharu Joko Handoko dan Roro Kartiko menghaturkan terima kasih dengan sembah mereka, dan mereka menceritakan pula kepada Sang Adipati bahwa tujuh orang anggota Sriti Kencana, yang merupakan wanita-wanita terlatih, juga ikut bersama mereka ke Lumajang dan mereka pun menyiapkan diri untuk mengabdi dan membantu Lumajang apabila diperlukan. Hal ini menggirangkan hati Sang Adipati Wirorojo. Tak lama kemudian persidangan dibubarkan dan keenam orang muda itu ditahan disitu karena Sang Adipati bersama Aryo Pranarojo masih ingin bicara dengan mereka, ditemani Raden Turonggo.

   Joko Handoko diberi sebuah rumah untuk ibunya dan para anggota Sriti Kencana,rumah yang cukup baik dan berada di dekat istana, sebuah di antara rumah-rumah para punggawa yang dipercaya. Kemudian mereka semua diberi tugas. Sulastri diangkat menjadi kepala pengawal dalam istana, Roro Kartiko sebagai pengawal bagian kaputren, Joko Handoko sebagai pengawal pribadi Sang Adipati, sedangkan Harwojo dibantu oleh Murwendo dan Murwanti menjadi perwira perwira pengawal bagian luar istana. Pembagian tugas ini saja sudah membayangkan bahwa Sang Adipati telah menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Sulastri dan bahwa kepercayaannya terhadap putera-puteri Progodigdoyo juga diperkuat oleh jaminan sulastri. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Sang Adipati masih meragukan Harwojo dan kakak beradik kembar yang belum diketahui benar riwayat asal-usulnya itu. Sebaliknya Sulastri, Joko Handoko dan adiknya merupakan orang-orang yang sudah jelas riwayatnya dan latar belakangnya, apalagi Sulastri yang mengaku guru kepada mendiang Adipati Ronggo Lawe.

   Demikianlah, mulai hari itu, orang-orang muda yang perkasa itu mulai dengan tugas mereka masing-masing, dan Sulastri menjadi buah bibir semua penghuni kadipaten ketika mereka mendengar bahwa pemuda tampan seperti Arjuna itu ternyata adalah seorang dara perkasa! Tak terhitung banyaknya hati perawan Lumajang yang menjadi trenyuh dan kecewa, sebaliknya banyak hati kaum muda yang bangkit penuh kekaguman terhadap dara yang bernama Sulastri dan yang kini menjadi pengawal dalam istana Sang Adipati itu.

   

Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini