Kemelut Di Majapahit 28
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 28
"Paman Padas Gunung dan Paman Pragalbo, kami akan melindungi Sang Prabu!"
Kata Joko Handoko kepada dua orang senopati itu. Ketika dua orang tokoh Puger itu kelihatan ragu-ragu, tiba-tiba Sang Prabu Bandardento berkata dengan suara nyaring.
"Padas Gunung! Pragalbo! Kalian tunggu apa lagi? Cepat kumpulkan pasukan untuk membasmi para pemberontak ini!"
Mendengar perintah ini, barulah dua orang tokoh itu meloncat keluar sambil membentak-bentak marah. Para perajurit menjadi gentar menghadapi dua orang tokoh yang merupakan tokoh utama Puger ini, maka tentu saja mereka membuka jalan untuk dua orang tokoh ini yang cepat berlari keluar untuk mepersiapkan pasukan. Mereka terkejut sekali ketika melihat bahwa penyerbu itu terdiri dari pasukan yang ratusan ribu jumlahny, dan tahulah mereka bahwa putera dan puteri raja telah menggunakan pasukan di bawah pimpinan Menak Srenggo, Senopati yang berasal dari Selat Bali itu.
Sementara itu, Sulastri dengan sigapnya telah meloncat dan menghadapi Murwendo dan Murwanti. Dengan Aji Hasto Bairowo dia mendesak dua orang ini karena dara perkasa ini marah bukan main. Hampir saja Murwanti kena ditampar kepalanya dan kalau tamparan dengan Aji Hasto Nogo itu tepat mengenai sasaran, kiranya kepala Murwanti tentu akan pecah. Akan tetapi, puteri adipati itu mengelak dan terhuyung, dan ketika Sulastri hendak mendesak, tiba-tiba dia merasa ada hawa yang dingin dan sinar merah menyambar ke arahnya. Dia terkejut, mengelak dengan loncatan sigap, merobohkan dua orang pengeroyok di sebelah kirinya sambil menoleh.
"Kolonadah......!"
Teriaknya ketika dia melihat keris yang berada di tangan Murwendo yang tadi menyerangnya untuk menyelamatkan adiknya.
"Ha-ha-ha!"
Murwendo tertawa.
"Hayo keroyok, bunuh mata-mata Lumajang ini! Tangkap hidup-hidup Roro Kartiko, calon isteriku ha-ha!"
Sulastri marah sekali, akan tetapi di tidak dapat meyerang kakak beradik kembar itu karena dia telah dikepung dan dikeroyok oleh banyak sekali perajurit pemberontak.
"Bunuh Sang Adipati!"
Terdengar Murwanti juga berteriak,
"Bunuh Ayah palsu itu!"
Sulastri mengamuk dan sepak terjangnya seperti seekor naga betina marah. Karena banyaknya pengeroyok, hatinya khawatir juga dan dia lalu mundur mendekati tempat Adipati di mana juga terjadi pertempuran hebat. Ketika tiba di situ sambil terus mengamuk, mengadu punggung dengan Roro Kartiko dan Joko Handoko bersama para anggota Sriti Kencana, mengurung keluarga raja di tengah-tengah mereka, Sulastri tercenggang melihat Adipati itu tertawa!
"Ha-ha-ha, sungguh menyenangkan Joko Handoko! Kartiko! Anak-anakku yang baik, mari kita melawan para pemberontak bersama! Kalian lihat, biar tua aku tidaklah selemah raja-raja yang lain. Ha-ha-ha, mari kita hancurkan Si Kembar yang gila itu, pemberontak-pemberontak laknat ini!"
Dan kini Sang Prabu Bandardento juga ikut pula mengamuk dan memang dia hebat sekali! Kiranya Adipati ini memiliki kepandaian yang tinggi, tidak kalah kalau dibandingkan dengan Padas Gunung atau Pragalbo!"
"Bunuh Sang Adipati!"
"Bunuh Sang Prabu!"
Teriakan-teriakan itu jelas terdengar dari mulut Murwendo dan Murwanti, akan tetapi meraka tidak berani mendekati raja yang kini melawan bersama Joko Handoko dan teman-temannya. Si Kembar itu membiarkan Menak Srenggo dan anak buahnya yang mengepung raja, sedang mereka sendiri sambil tertawa-tawa membunuh-bunuhi para pengawal dan pelayan di situ, juga para tamu yang semua terdiri dari pejabat-pejabat dan yang tentu saja berusaha melawan, membela diri maupun membela Sang Adipati.
Terjadilah pertempuran yang amat hebat, akan tetapi yang berat sebelah sehingga semua pengawal dan pelayan yang tadi bekerja melayani pesta, kini roboh bergelimpangan. Hanya pertahanan di sekitar keluarga Sang Adipati yang masih sukar ditembus oleh para pemberontak! Joko Handoko dan Roro Kartiko, juga Sang Adipati sendiri dan tujuh orang anggota Sriti Kencana sudah luka-luka lengan mereka, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang roboh dan mereka melawan terus dengan gagah berani. Hanya Sulastri yang tidak luka sama sekali, lecet pun tidak sungguhpun pakaiannya ada yang robek terkena senjata. Hal ini adalah karena dara perkasa ini dilindungi aji kekebalan Trenggiling Wesi. Amukannya menggetarkan hati para pengeroyok, akan tetapi karena jumlah mereka banyak, roboh satu maju dua, roboh sepuluh maju dua puluh. Sulastri mulai merasa lelah juga.
"Ha-ha-ha, sungguh menggembirakan!"
Lagi-lagi Sang Prabu Bandardento tertawa terbahak-bahak. Kedua lengannya sudah berdarah karena disambar golok, akan tetapi masih mengamuk hebat, setiap tendangan atau pukulannya tentu merobohkan seorang pengeroyok.
"Mati pun aku puas, dapat berkelahi bersama-sama kalian,anak-anakku! Ha-ha-ha!"
Raja tua itu seperti seorang anak kecil yang sudah lama dijauhkan dari permainan yang amat disukainya dan yang sekarang dia mainkan secara memuaskan sekali! Melihat sikap ini, Joko Handoko dan kawan-kawannya merasa kagum dan juga terharu. Sungguh seorang adipati yang baik budi, halus dan gagah perkasa!
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan keadaan para perajurit pemberontak menjadi kacau seperti rombongan semut ditiup. Mereka lari berserabutan dan berpencaran sehingga kini yang mengepung rombongan raja tidak seketat tadi. Ternyata bahwa Padas Gunung dan Pragalbo telah datang bersama pasukan mereka yang jauh lebih besar jumlahnya! Mulailah kini pasukan kadipaten menghajar dan membasmi pasukan pemberontak yang mulai menjadi kocar-kacir. Menak Srenggo mulai merasa menyesal mengapa dia percaya kepada kakak beradik kembar itu yang katanya bahwa pasukan kedipaten tidak akan berani menghalangi mereka berdua! Buktinya, kini pasukannya terhimpit oleh pasukan kadipaten. Dia mulai mengamuk keluar dan segera dia dihadapi oleh Padas Gunung dan Pragalbo!
"Si keparat Menak Srenggo pemberontak hina! Mampuslah kau!"
Bentak Pragalbo dan Padas Gunung dan mereka cepat menubruk ke depan, Padas Gunung menggerakkan suling hitamnya sedangkan Pragalbo sudah menusukkan kerisnya. Dua tokoh utama Puger ini merasa yakin bahwa sekali serang saja mereka tentu akan merobohkan dan menangkap perwira pemberontak ini karena Menak Srenggo adalah senopati di bawah mereka yang kepandaiannya tidak melebihi mereka. Melawan seorang di antara mereka saja akan kalah, apalagi dikeroyok dua. Akan tetapi betapa heran dan kaget hati mereka ketika tiba-tiba Menak Srenggo mengelak dari keris Pragalbo dan menggunakan lengan kirinya menangkis sulung hitam.
"Dukkk!"
Dan suling itu terpental, tangan Padas Gunung terasa ngilu! Bukan main kagetnya hati tokoh Puger ini. Dalam tangkisan tadi dia mendapat kenyataan bahwa Menak Srenggo memiliki kekuatan yang tidak kalah besarnya dengan tenaganya sendiri!
"Ha-ha-ha, kau sangka aku selemah yang kalian kira, Padas Gunung?"
Padas Gunung dan Pragalbo menerjang lagi, akan tetapi Menak Srenggo benar-benar tangkas sekali dan serangan balasannya membuat dua orang tokoh Puger itu terdesak ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Menak Srenggo untuk menyambar lengan seorang perajurit musuh dan melontarkannya ke arah dua orang tokoh itu dengan kekuatan laur biasa. Padas Gunung dan Pragalbo tentu saja cepat mengelak, akan tetapi Menak Srenggo sudah meloncat dan keluar dari kepungan, terus melarikan diri! Terpaksa dua orang senopati itu mengamuk dan membabati perajurit-perajurit yang memberontak.
Sementara itu, setelah para pengeroyok kini berbalik diserbu dan dikeroyok oleh pasukan Puger, Sulastri membiarkan Joko Handoko dan Roro Kartiko dibantu tujuh orang anggota Sriti Kencana melindungi dan membela Raja Bandardento, sedangkan dia sendiri cepat menerjang Murwendo dan Murwanti yang kini telah terkurung di tengah-tengah! Dua oarng saudara kembar itu menjadi nekat setelah melihat bahwa usaha mereka gagal, dan kini melihat Sulastri yang mereka anggap sebagai biang keladi kegagalan mereka, kakak beradik itu menyerang dengan membabi buta.
Sebetulnya, kakak beradik kembar ini bukan merupakan lawan yang terlalu tangguh bagi Sulastri. Andaikata Murwendo tidak memegang Kolonadah, tentu mereka tidak akan lama dapat bertahan melawan Sulastri. Akan tetapi, keris pusaka Kolonadah amat ampuhnya sehingga Sulastri sendiri tidak berani menggunakan Aji Trenggiling Wesi untuk menangkis keris itu dan dia selalu mengelak sambil membalas dengan serangan-serangan dari samping yang membuat dua orang itu selalu terhuyung mundur.
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan tahu-tahu Roro Kartiko dan Joko Handoko sudah menerjang maju membantu Sulastri. Hal ini adalah karena kini keadaan Raja Bandardento sudah bebas dari bahaya, bahkan raja itu telah mengajak permaisuri dan para selirnya untuk menyingkir ke sebelah dalam. Tujuh orang anggota Sriti Kencana mengawal keluarga raja masuk ke dalam istana kadipaten. Karena itu, melihat betapa Sulastri dikeroyok oleh dua saudara kembar yang gila itu, kakak beradik ini tidak tahan melihatnya. Mereka amat benci kepada Murwendo dan Murwanti yang menjadi penyebab sampai mereka menjadi tawanan di Puger, maka kini dengan keris -keris rampasan, Joko Handoko dan adiknya lalu menyerang mereka. Dengan kemarahan meluap, Roro Kartiko menyerang Murwendo dengan keris di tangan.
"Hati-hati, Roro.....!"
Sulastri berseru.
"Trangg.....! Iihhhhh.....!"
Roro Kartiko menjerit ketika keris rampasannya menjadi patah oleh Kolonadah. Akan tetapi Murwendo yang memandang wajah wanita yang digilainya itu meragu untuk menusuk dan pada saat itu Sulastri sudah melayangkan tangannya dari samping.
"Plakk! Aughhh.....!!"
Tubuh Murwendo terpelanting dan keris Kolonadah sudah disambar oleh tangan Sulastri. Murwendo berkelojotan karena kepalanya retak oleh pukulan dahsyat dari Aji Hasto Nogo tadi. Melihat ini, Murwanti menjerit dan menubruk kepada Sulastri, matanya merah, mulutnya berbusa seperti seekor harimau kelaparan. Sulastri mengelak ke samping dan menendang.
"Dukkk!!"
Tubuh Murwanti terlempar dan Joko Handoko menyambut dengan kerisnya.
"Crappp.........!!"
"Auhhhh......!"
Tubuh Murwanti terpelanting dan darah mengucur dari dadanya.
"Celaka...., kalian sudah membunuh mereka....."
Roro Kartiko berkata dengan mata terbelalak.
"Kita harus cepat pergi dari sini.....!!"
Mendengar ini, Joko Handoko dan Sulastri menjadi pucat dan tanpa menanti lebih lama lagi, tiga orang muda itu lalu meloncat dan melarikan diri dari pendopo itu.
"Benar, kita harus pergi. Kolonadah sudah berada di tanganku,"
Kata Sulastri.
"Akan tetapi bagaimana dengan anak buah kalian?"
"Mereka berjasa terhadap Sang Adipati, dan tidak ikut membunuh putera-puteri Adipati, tentu mereka tidak akan diganggu,"
Kata Joko Hndoko dan mereka terus melarikan diri di dalam kegelapan malam.
Akan tetapi ketika mereka tiba di sebuah hutan yang gelap, ketiga orang muda ini terpaksa menghentikan lari mereka dan mereka berlindung di bawah pohon besar untuk berlindung di bawah pohon besar dan beristirahat.
"Kita tentu akan dikejar-kejar sebagai pembunuh putera-puteri Adipati Puger,"
Kata Sulastri.
"Habis bagaimana baiknya?"
Kata Roro Kartiko sambil memijit-mijit betisnya yang terasa nyeri dan lelah.
"Sebaiknya kita kembali ke Lumajang, menghaturkan keris Kolonadah kepada Adipati Lumajang."
Joko Handoko menarik napas panjang.
"Sayang sekali bahwa kita menjadi orang buruan Puger. Sang Adipati Puger sesungguhnya merupakan seorang yang bijaksana. Sayang putera-puterinya gila dan jahat."
Pemuda ini telah mengumpulkan kayu kering lalu membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan menghangatkan tubuh karena hawa di dalam hutan itu amat lembab.
Akan tetapi baru saja api unggun bernyala, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah mereka datang dan taklama kemudian terdengar suara-suara.
"Mereka di dalam hutan...!"
"Sialan!"
Joko Handoko menginjak-injak apinya sampai padam, kemudian terpaksa mereka melanjutkan perjalanan sambil meraba-raba di dalam gelap agar jangan sampai bertubruk dengan pohon atau batu. Setelah tidak mungkin melakukan perjalanan lagi saking gelapnya karena langit mendung dan bintang-bintang tersembunyi di balik awan, mereka berhenti lagi akan tetapi mereka tidak berani membuat api unggun. Dan ternyata bahwa para pengejar mereka agaknya juga tidak melanjutkan pengejaran, entah kembali lagi entah mengaso. Akan tetapi pada keesokan harinya, begitu terang tanah, sudah terdengar lagi suara mereka, suara banyak kaki manusia dalam hutan itu dan suara mereka yang mencari-cari. Mendengar ini, tiga orang muda itu segera bergerak lagi, hendak melanjutkan pelarian mereka menuju ke Lumajang di sebelah utara.
"Kenapa tidak kita lawan saja mereka, Diajeng?"
Tanya Joko Handoko dengan suara penasaran kepada Sulastri. Dara itu memandangnya. Mereka berdua saling pandang dan tiba-tiba Sulastri merasa kedua pipinya panas dan jantungnya berdenyut ketika dia melihat betapa Joko Handoko masih memakai pakaian pengantin pria dan dia sendiri masih memakai pakaian pengantin puteri dengan sanggul istimewa dan rambut sinom didahinya dikerik dan ditambah dengan riasan pengantin! Teringatlah dia bahwa saat ini dia adalah "istri"
Dari Joko Handoko. Di lain pihak, Joko Handoko juga melihat kenyataan yang sama dan dia memandang dengan hati terasa perih karena isterinya yang cantik ini, yang amat dicintainya, hanyalah isteri sebutan saja, pernikahan mereka hanyalah pura-pura saja! Hal ini akan merupakan siksaan baginya, merupakan penderitaan yang lebih hebat daripada kalau dia tidak dapat menikah dengan dara itu dan dia harus saling berpisah. Namun cinta kasihnya terhadap dara itu memperkuat batinnya. Kalau perlu, dia masih sanggup menderita lebih hebat lagi, demi kebahagiaan Sulastri!
"Tidak baik kalau kita melawan mereka, Kakangmas Handoko. Tidak mungkin kita melawan pasukan sekadipaten. Pula, sekarang Kolonadah telah berada di tangan kita. Sebaiknya kita cepat kembali ke Lumajang, menyerahkan pusaka ini kepada Sang Adipati di Lumajang. Mari kita lanjutkan perjalanan."
"Cepat, mereka telah mengejar dekat!"
Kata Roro Kartiko sambil menoleh ke belakang darimana terdengar suara para pengejar yang banyak jumlahnya.
Mereka lalu lari ke depan dengan cepat, menyusup di antara semak-semak dan menyelinap di antara pohon-pohon sampai akhirnya mereka keluar dari hutan itu. Akan tetapi, begitu mereka keluar dari hutan, mereka terkejut bukan main karena tiba-tiba dari balik pohon-pohon dan semak-semak belukar bermunculan banyak sekali orang yang dipimpin oleh Padas Gunung dan Pragalbo sendiri! Kiranya pasukan Puger telah menanti dan menghadang di situ dan agaknya semalam telah diatur oleh dua orang senopati yang pandai itu! Semalam, dua orang senopati ini telah membawa sebagian besar pasukannya untuk mengambil jalan memutar dan menghadang di laur hutan karena menurut perhitungannya, tiga orang muda itu tentu akan keluar dari sebelah utara hutan, sedangkan sebagian kecil saja dari pasukannya melanjutkan pengejaran di pagi hari itu. Dan ternyata perhitungan mereka berdua tidak meleset karena tiga orang muda itu benar-benar muncul di sebelah utara hutan. Melihat munculnya pasukan Puger, tiga orang muda itu terkejut bukan main, akan tetapi Sulastri menjadi marah, matanya mengeluarkan sinar berapi, sedangkan Joko Handoko lalu berkata sambil memandang dua orang senopati Puger itu,
"Paman Padas Gunung dan Paman Pragalbo, kalau kalian hendak mengambil jalan kekerasan,terpaksa kami akan melawan sampai titik darah terakhir!"
Akan tetapi dua orang senopati itu memandang dengan mata terbelalak seperti orang terheran-heran, sedangkan para perajurit yang amat banyak jumlahnya itu biarpun mengurung tempat itu namun tidak kelihatan seperti orang-orang yang bersikap hendak menyerang.
"Kami...... kami tidak mengerti apa yang Andika maksudkan, kami hanya menerima perintah dari Sang Prabu untuk menyusul Andika sekalian,"
Kata Padas Gunung dan pada saat itu terdengar derap kaki kuda. Muncullah Sang Prabu Bandardento sendiri yang membalapkan kuda menuju ke tempat itu. Ketika dia melihat tiga orang muda itu, dia berseru girang, melompat turun dari kudanya dan berlari menghampiri mereka.
"Ahhhh, anak-anakku..... kenapa kalian pergi meninggalkan aku?"
Katanya dan tiga orang muda itu memandang dengan terheran-heran. Sang Prabu yang tua itu kini memegang tangan Joko Handoko dan Roro Kartiko, memandang kepada Sulastri, lalu dia berkata lagi.
"Agaknya kalian bertiga telah salah mengerti. Kalian lari karena telah membunuh sepasang bocah kembar yang sinting itu, bukan?"
Joko Handoko dan Roro Kartiko yang masih terheran-heran itu hanya mengangguk.
Sang Prabu Bandardento merangkul pundak Joko Handoko sambil tertawa.
"Ha-ha-ha,sudah kuduga demikian. Mengapa kalian lari karena membunuh mereka?"
Roro Kartiko tidak dapat menahan keheranannya.
"Karena.... mereka adalah putera-puteri Paduka...."
"Ha-ha-ha, Roro Kartiko cah ayu, anakku yang baik. Mereka itu bukanlah anakku, mereka adalah dua bocah gila yang bahkan telah berani memberontak! Kalian berdualah anak-anakku dan Sulastri adalah mantuku yang baik!"
"Apa... apa maksud Paduka?"
Joko Handoko bertanya terkejut sekali.
"Anak-anakku, tidak terasakah oleh kalian berdua betapa semenjak kalian tiba di Puger, aku telah merasa sayang kepada kalian seperti kepada anak-anak sendiri? Apalagi semenjak malam tadi, ketika bertempur bahu-membahu dengan kalian! Kalian berdualah anak-anakku yang sesungguhnya patut menjadi anak-anakku, biarpun hanya anak angkat, seperti halnya dua orang bocah kembar yang gila itu! Joko Handoko dan Roro Kartiko, kalian adalah anak-anakku, kuanggap anak-anakku sendiri dan marilah kita kembali ke Kadipaten di mana akan kami umumkan tentang pengangkatan kalian berdua sebagai anak-anakku yang sah, sedangkan Sulastri adalah anak mantuku. Marilah, anak-anakku, kita pulang dan menikmati kehidupan yang tenteram dan bahagia."
Tentu saja tiga orang muda itu terkejut sekali mendengar ini. Joko Handoko dan Roro Kartiko memang merasa suka dan kagum kepada raja kecil yang bijaksana ini dan merupakan anugerah yang amat besar kalau mereka dapat menjadi anak-anak angkat raja ini. Akan tetapi karena Ibu mereka masih di Lumajang, mereka menjadi ragu-ragu. Juga Sulastri meragu karena di hendak menyerahkan keris pusaka Kolonadah kepada Adipati di Lumajang.
"Akan tetapi....kami.... kami hendak ke Lumajang....."
Kata Sulastri akhirnya karena agaknya dua orang kakak beradik itu agaknya tidak mampu menjawab.
Raja tua itu mengangguk-angguk dan dia masih menggandeng Joko Handoko dan adiknya.
"Aku mengerti...., tentu yang kalian bertiga pikirkan adalah Ibu kalian di Lumajang dan keris pusaka Kolonadah, bukan? Jangan khawatir, mari kita pulang dan merundingkan hal itu. Setelah Joko Handoko dan Roro Kartiko secara resmi menjadi anak-anakku dan Sulastri menjadi mantuku, maka pada suatu hari kalian bertiga boleh secara resmi mengunjungi Lumajang disertai salam hormatku kepada Adipati Wirorojo di Lumajang, untuk menghaturkan keris pusaka kepada Beliau dan untuk menjemput Ibu Kalian dan pindah ke Puger."
Tiga orang muda itu saling pandang dan ketiganya setuju tentu saja. Jauh lebih baik demikian daripada menjadi musuh Puger! Dengan gembira raja atau Adipati Puger itu lalu mengajak tiga orang muda itu kembali ke istana, diiringkan oleh pasukan yang dipimpin Padas Gunung dan Pragalbo. Memang Sang Prabu Bandardento tidak membohong kalau dia mengatakan bahwa dia amat sayang kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko. Apalagi setelah melihat betapa dua orang saudara kembar yang sesungguhnya bukan keturunannya sendiri itu berani memberontak sehingga akhirnya tewas dan melihat betapa Joko Handoko, istrinya dan adiknya itu membelanya mati-matian. Maka dia mengambil keputusan untuk mengangkat meraka menjadi anak-anaknya.
Di samping ini, tentu saja ada segi lain yang dianggap amat menguntungkan Puger dengan pengangkatan itu. Setelah melihat betapa Menak Srenggo membantu pemberontakan dua orang anak kembar itu, kemudian senopati itu melarikan diri, tahulah dia bahwa puger selalu diintai musuh karena Menak Srenggo adalah seorang yang berasal dari Selat Bali dan hal ini saja menunjukkan bahwa tentu mempunyai hubungan dekat dengan raja di Nusabarung.
Sangat boleh jadi bahwa Menak Srenggo sengaja diselundupkan oleh Raja Nusabarung ke Puger melalui saudaranya, yaitu Retno Sami. Malam itu juga, Sang Prabu telah menyuruh tangkap Retno Sami dan setelah diancam, akhirnya selir ini mengakui semuanya, bahwa dia telah lama menjadi kekasih anak tirinya, yaitu Murwendo dan betapa dia yang membujuk Menak Srenggo untuk membantu pemberontakan putera-puteri Adipati itu. Selir itu dihukum mati malam itu juga dan makin besar hasrat hati Sang Prabu Bandardento untuk mengankat anak kepada tiga orang muda itu karena dia tahu bahwa mereka, terutama sekali Sulastri, memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan hal ini tentu saja akan memperkuat Puger dalam menghadapi musuh-musuhmya,terutama Nusabarung. Di samping itu, perstiwa itu tentu akan membuat Puger menjadi makin akrab dengan Lumajang, hal yang lebih menguntungkan lagi bagi Puger sebagai kadipaten yang kecil.
Demikianlah, pada keesokan harinya, dengan resmi Sang Prabu Bandardento mengangkat Joko Handoko dan Roro Kartiko menjadi putera dan puterinya, disahkan oleh para hulubalang, para pembesar di Puger. Untuk peristiwa ini, Puger mengadakan pesta selama tiga hari tiga malam, menjadi tanda bahwa hati Sang Prabu Bandardento benar-benar merasa bahagia sekali. Juga permaisuri dan para selir yang setia dari Sang Adipati, yang telah melihat sendiri betapa tiga orang muda itu gagah perkasa dan melindungi mereka ketika terjadi pemberontakan, merasa senang dengan peristiwa ini karena mereka maklum kini bahwa Sang Prabu tidak mungkin mempunyai keturunan, setelah sekian banyaknya selir tidak pernah ada yang mengandung, kecuali selir yang menjadi ibu kandung dua orang anak kembar itu, yang mengandung sebagai akibat perjinaannya dengan juru taman.
Beberapa hari kemudian, dengan iringan pasukan pengawal dan pakaian mewah sebagai seorang pangeran dan puteri-puteri dari Puger, Joko Handoko, Sulastri dan Roro Kartiko berangkat ke Lumajang. Kedatangan mereka disambut dengan penuh kegembiraan oleh Sang Adipati Wirorojo dan para pembesar, terutama sekali oleh Ibu dua orang kakak beradik itu.
Sang Adipati Wirorojo merasa gembira dan kagum ketika Sulastri menghaturkan keris itu, dengan terharu Sulastri berkata.
"Harap Paduka ketahui bahwa penyerahan keris pusaka yang hamba lakukan ini sebetulnya merupakan suatu pelanggaran terhadap mendiang Empu Supamandrangi yang memesan kepada hamba agar hamba menyerahkan pusaka ini kepada Pangeran Kolo Gemet yang menjadi calon Raja Mojopahit. Namun, setelah melihat keadaan di Mojopahit yang sedang kacau, melihat sepak terjang orang-orang Mojopahit yang tersesat sehingga mendiang Eyang Empu Supamandrangi sendiri menjadi korban keganasan mereka sampai terbunuh, hamba merasa yakin bahwa mendiang Eyang tidak akan menyalahkan hamba kalau hamba kini menyerahkan pusaka kepada Paduka sebagai Adipati di Lumajang."
Sang Adipati Wirorojo menarik napas panjang.
"Mendiang Empu Supamandrangi memang benar bahwa pusaka ini seharusnya menjadi pegangan Raja di Mojopahit, Sulastri. Akan tetapi, aku sebagai Ayah dari pemilik pusaka ini, yaitu mendiang anakku Ronggo Lawe, juga berhak untuk menjaga pusaka ini dan menentukan kepada siapa semestinya pusaka ini diserahkan. Ketahuilah bahwa sepatutnya pusaka ini diserahkan kepada keturunan mendiang Sang Prabu Kertanegara, yang asli,sedangkan Pangeran Kolo Gemet adalah keturunan yang bercampur dengan darah melayu maka sesungguhnya tidak tepat kalau dia yang mewarisi pusaka ini." "Hamba menyerahkan ke dalam pertimbangan dan kebijaksanaan Paduka,"
Jawab Sulastri.
Ibu kandung Joko Handoko dan Roro Kartiko, yaitu janda mendiang Progodigdoyo yang bernama Sariningrum, merasa girang bukan main ketika mendengar bahwa putera dan puterinya diangkat menjadi pangeran dan puteri Puger, sedangkan puteranya itu telah menikah dengan Sulastri. Sambil mencucurkan air mata, Sariningrum merangkul mantunya dan Sulastri tidak dapat menahan pula tangisnya.
Hanya bedanya, kalau Sariningrum menangis saking girangnya, sebaliknya Sulastri menangis saking sedihnya. Dia dan kakak beradik itu sudah berjanji untuk tidak membuka rahasia kepalsuan pernikahan itu kepada Ibu mereka, karena hal itu tentu akan menghancurkan hati orang tua itu. Setelah beberapa hari tinggal di Lumajang, akhirnya berangkatlah rombongan ini,sekarang ditambah dengan Ibu kandung Joko Handoko, diiringkan oleh para abdi dan pengawal, dititipi salam pula oleh Adipati Wirorojo untuk Sang Prabu Bandardento,kembali ke Puger dan Sang Prabu Bandardento menyambut kedatangan Ibu Kandung dua orang putera dan puteri angkatnya itu dengan segala kehormatan dan pesta.
Semenjak hari itu, tiga orang muda ini hidup tenteram di Kadipeten Puger, dan Sariningrum hidup terhormat dan mulia sebagai Ibu kandung Pangeran Joko Handoko dan Puteri Kartiko. Akan tetapi, di luar tahunya semua orang, tiga orang muda itu sering kali termenung dan menderita tekanan batin yang tidak ringan. Roro Kartiko dan kakaknya sering kali termenung pucat sebagai akibat kepatahan hati mereka dalam cinta, terutama sekali Joko Handoko pada lahirnya saja disebut sebagi suami Sulastri, namun sesungguhnya tidak pernah mereka saling berdekatan!
Sulastri sendiri juga menderita batin karena dia tahu bahwa dia telah menyebabkan pemuda itu menderita. Namun dia tetap merasa tidak mungkin melayani lain pria kecuali Sutejo yang dicintainya namun juga dibencinya itu. Untung di situ terdapat Roro Kartiko yang menjadi sahabat baiknya, dengan siapa dia tidur sekamar setiap malam. Andaikata tidak ada dara ini, kiranya Sulastri tidak akan dapat bertahan tinggal di Puger dan melihat wajah yang muram dan pandang mata sayu dari "suaminya"
Setiap hari. Roro Kartiko mempergunakan kesempatan ini untuk mengobati luka-luka di hatinya dengan mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari Sulastri.
Kita tinggalkan dulu keadaan tiga orang muda di Puger itu, orang-orang yang muda rupawan namun sudah menderita kepedihan hati itu. Sebaiknya kita menjenguk keadaan di Kerajaan Mojopahit yang tertutup awan mendung. Keadaan Mojopahit makin muram dan diam-diam makin terasalah panasnya api persaingan antara isteri-isteri Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana. Sang Prabu makin tua dan makin sering berdiam di dalam kamar karena sakit-sakitan sehingga kekuasaan terpecah-belah dan terbagi-bagi.
Memang kendali pemerintahan masih lancar berkat ketrampilan Ki Patih Nambi yang cakap mengurus pemerintahan,namun pengeruh-pengaruh dari dua pihak yang bermusuhan di istana, yaitu pihaknya para isteri raja keturunan dari Sang Prabu Kertarajasa dan pihak Puteri Malayu Sri Indreswari Ibu kandung Pangeran Kolo Gemet, menyusup pula ke dalam pemerintahan sehingga sering kali mengacaukan keadaan dan membuat Ki Patih Nambi menjadi pusing sekali. Para ponggawa besar kecil terpecah-pecah, dapat dikata terpecah menjadi tiga, yaitu mereka yang setia kepada Sang Prabu Kertarajasa, golongan ini dipimpin oleh Ki Patih Nambi, golongan ke dua adalah mereka yang mendukung permaisuri Dyah Tribuana dan adik-adiknya, sedangkan golongan ke tiga adalah para pendukung Sri Indreswari atau Dyah Dara Petak dari Malayu. Tentu saja terdapat golongan-golongan lain yang bergerak secara diam-diam, yaitu mereka yang berambisi besar untuk mengangkat diri sendiri, diantaranya yang terkuat adalah golongan Resi Mahapati.
Kembali pada hari itu Sang Prabu tidak dapat memimpin persidangan dan tinggal di dalam kamar karena penyakitnya kambuh kembali, yaitu penyakit tua yang membuat dia pening dan lemas. Dalam pelayanan ketika Sang Prabu mederita sakit pun terjadi persaingan antara dua golongan isteri dan abdi-abdinya, sehingga perawatan tidak menjadi baik malah sebaliknya makin manambah kepusingan Sang Prabu.
Di istana keputran, yaitu istana Pangeran Kolo Gemet yang kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan pesolek, nampak pangeran itu duduk dalam taman bunganya yang indah bersama beberapa orang. Pemuda ini memang tampan,hanya sayang bahwa sepasang matanya mengeluarkan sinar yang panas dan kejam, dan tarikan mulutnya membayangkan bahwa dia mulai menghambakan diri kepada nafsu berahi. Di depannya duduk dengan sikap amat menghormat dua orang kakek,sedangkan di belakang pangeran ini selalu terdapat dua orang kakek lain yang seolah-olah menjadi bayangan pangeran itu, tak pernah melepaskan gerak-gerik pangeran itu dari pandang mata mereka.
Seorang di antara dua orang kakek yang duduk berhadapan dengan Pangeran Kolo Gemet adalah Resi Mahapati. Resi itu masih tampak awet muda sungguhpun usianya sudah mendekati enam puluh tahun, rambut, kumis dan jenggotnya masih hitam beka ramuan jamu-jamu rahasia yang diminumnya dan dipakai meminyaki rambut-rambutnya.
Kakek ke dua lebih tua lagi, usianya tentu sudah enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan dia selalu memegang sebatang tongkat panjang yang bentuknya seperti tubuh ular. Kakek ini adalah seorang yang sakti, yaitu Ki Durgakelana yang sudah kita kenal. Kakek pendeta penyembah Sang Batrhari Durgo yang pernah digempur oleh Sulastri, Sutejo, Joko Handoko dan Roro Kartiko dahulu. Adapun dua orang kakek yang berdiri di belakang Sang Pangeran adalah Ki Warak Jinggo dan Ki Kencono, dua orang kakek yang menjadi kawan-kawan Ki Durgakelana.
Semanjak Sutejo menghilang dan tidak pernah muncul kembali ke Mojopahit, Resi Mahapati lalu mencari pembantu-pembantu baru dan Resi Harimurti lalu membawa tiga orang kakek sakti itu kepadanya. Akhirnya Sang Resi Mahapati yang pandai mengambil hati Pangeran Kolo Gemet, memuji-muji tiga orang kakek ini di depan Sang Pangeran mahkota dan akhirnya Kolo Gemet menerima mereka bertiaga menjadi pengawal-pengawal dan pembantunya. Ki Warak Jinggo dan Ki Sarpo Kencono siang malam bertugas menjaga keselamatannya, membayangi ke manapun Sang Pangeran pergi,sedangkan Ki Durgokelana melakukan segala perintah Pangeran Kolo Gemat. Dan malam hari itu, di taman bunga yang indah, Pangeran Kolo Gemat kunjungan Resi Mahapati yang dihadiri pula oleh Ki Durgakelana, dan tentu saj tidak ketinggalan Ki Warak Jinggo dan Ki Sarpo Kencono berada di belakang Sang Pangeran seperti dua ekor anjing penjaga yang amat setia.
Sudah beberapa hari ini Sang Pangeran berwajah muram dan mudah marah-marah. Hal ini adalah karena hatinya murung dan kecewa. Beberapa hari yang lalu dia ikut dengan Resi Mahapati mengunjungi Ki Patih Nambi di waktu senja dan dalam kesempatan itu dia melihat seorang dara yang amat cantik jelita di dalam taman sari kepatihan. Dan tidak tahu bahwa peristiwa ini sudah diperhitungkan dengan tepat oleh Mahapati yang lebih dulu telah menyebar mata-mata sehingga dia tahu betul kebiasaan Sang Patih yang sering bercengkerama dengan keluarganya di waktu senja itu sehingga ketika secara tiba-tiba dia datang, keluarga Ki Patih tidak dapat menghindar maka seperti secara kebetulan saja dia mempertemukan Sang Pangeran dengan dara cantik jelita itu. Siapakah dara cantik itu? Dia adalah Dyah Wulandari, seorang gadis berusia enam belas tahun yang amat cantik,berkulit kuning langsat dan halus tanpa cacat, wajahnya semringah segar seperti sekuntum bunga mawar bermandikan embun. Dara ini adalah keponakan dari Ki Patih Nambi yang men-yayangnya seperti anak sendiri karena dara itu, anak darai kakak perempuannya, adalah seorang anak yatim piatu dan sejak kecil dipelihara Ki Patih.
Orang muda adalah seperti air yang jernih, mudah sekali terkena kotoran dari manapun datangnya. Oleh karena itu pergaulan amatlah penting karena pergaulan ini dapat mempengaruhi orang muda, dapat mengotori air yang jernih itu. Keadaan sekeliling dalam pergaulan amat kuat untuk membentuk watak seorang muda. Pangeran Kolo Gemet sejak kecil amat dimanja dan dituruti segala kemauannya.
Setelah dia didekati oleh Mahapati apalagi setelah dia mempunyai pembantu-pembantu seperti Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono, sebentar saja segala sifat-sifat pengejar kesenangan dari mereka itu telah menular kepadanya. Apalagi dalam, hal mengejar wanita! Bujukan-bujukan manis yang berbisa dari Ki Durgakelana yang memang memiliki watak cabul, cepat tertelan oleh Pangeran Kolo Gemet sehingga dalam waktu singkat saja Pangeran muda ini mulai menghambakan diri kepada pengejaran kesenangan yang dinikmati dari pemuasan nafsu berahi.
Mulailah Pangeran ini memandang wanita dengan sinar mata lain dan dengan bantuan Ki Durgakelana yang pandai menggunakan ilmu hitam dan sihir, mulailah dia menikmati hubungan dengan wanita yang tentu saja amat mudah didapatinya. Dari beberapa orang dayang keraton sampai abdi dalam, dari para seniwati istana sampai beberapa orang isteri dari ponggawa istana, banyak yang sudah menjadi korban kecabulan Pangeran Kolo Gemet yang dibantu oleh Ki Durgakelana itu!
Segala macam nafsu timbul dari pikiran. Pikiran yang membayang-bayangkan segala macam kenangan akan kesenangan yang dirasakan, membangkitkan nafsu. Celakanya,sekali nafsu dituruti, dia akan mencengkeram manusia sehingga Si Manusia tidak mampu lagi untuk membebaskan diri darinya. Makin dituruti,makin kuatlah nafsu! Nafsu apa saja, dan terutama sekali nafsu berahi. Makin kita membiarkan diri dicengkeraman, makin kuat dia menguasai kita. Makin diberi makan, makin hauslah nafsu berahi, seperti sifatnya api, makin diberi makan makin berkobar dan makin ganas. Akan tetapi nafsu macam apa pun, betapa kuatnyapun, selalu didasari atas pikiran yang mengenangkan segala hal yang menyenangkan. Tanpa adanya kenangan pikiran yang merupakan bahan bakar terutama, maka api nafsu akan kehilangan kekuatannya dan akan padam dengan sendirinya.
Orang yang menjadi budak nafsu makin lama menjadi makin lemah, hidupnya digerakkan oleh dorongan nafsu yang mengejar segala yang dianggapnya menyenangkan. Demikian pula Pangeran Kolo Gemet. Makin dia mengenal kenikmatan-kenikmatan dari perjinaan-perjinaan yang dilakukan dengan para wanita, makin hauslah dia untuk memuaskan nafsu berahinya. Maka, begitu dia melihat Dyah Wulandari, nafsu berahinya berkobar-kobar dan dia menjadi tergila-gila kepada keponakan dari KI Patih Nambi itu. Ki Patih Nambi bukanlah seorang yang bodoh. Sekali melihat saja sikap Pangeran itu, dia maklum bahwa ada bahaya mengancam diri keponakannya. Ki Patih ini sudah mendengar akan sepak terjang Pangeran Kolo Gemet yang suka mengganggu wanita.
Tentu saja hal ini membuatnya tidak senang, akan tetapi apakah yang dapat dia lakukan? Untuk menegur, tentu saja dia tidak berani. Untuk melaporkan kepada Sang Prabu Kertarajasa juga tidak berani, apalagi mengingat betapa raja yang sudah tua itu sakit-sakitan saja. Dia hanya menyesalkan keadaan Pangeran itu dan maklum bahwa kerusakan Pangeran itu terutama adalah karena dimanja dan Ayahnya kurang memperhatikannya. Maka karena sudah tidak dapat menghindar lagi dan keponakannya bertemu dengan Sang Pangeran, dia membiarkan keponakannya memberi hormat dengan sembah yang dilakukan dengan lemah gemulai dan amat menggairahkan.
"Paman Patih, siapakah dara yang amat cantik jelita ini? Tidak pernah saya melihatnya, dia cantik seperti bidadari dari khayangan!"
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan terus terang dan tidak tahu malu, dengan sikap seorang hidung belang tulen, Pangeran muda itu memandang wajah Sang Ayu yang menunduk itu.
Mendengar ucapan ini, dara itu menjadi merah wajahnya, menyembah lagi dan cepat dia meninggalkan tempat itu. Ki Patih Nambi maklum bahwa tentu keponakannya itu merasa malu dan takut mendengar kekasaran sikap Sang Pangeran, akan tetapi dia juga khawatir melihat keponakannya pergi begitu saja, maka cepat di menjawab,
"Harap Paduka maafkanlah kecelingusannya, maklumlah dia tidak pernah bertemu dengan Paduka. Dia adalah keponakan saya, bernama Dyah Wulandari dan..... dia sudah bertunangan dengan seorang pemuda bernama Sarjitowarman, juga seorang keponakan jauh dari isteri saya."
Ki Patih sengaja menyambung keterangannya dengan bertunangan itu dan memang sikapnya itu tepat sekali. Dia melihat seolah-olah ada awan mendung menyelimuti wajah Sang Pangeran yang tadinya berseri-seri.
"Dia.... dia sudah bertunangan.....? Ahhh.... selamat, selamat, Paman Patih."
Sejak itulah, Sang Pangeran menjadi murung dan suka marah. Biarpun Ki Durgakelana mencoba menghiburnya dan menjanjikan wanita-wanita lain, namun tetap saja dia tidak senang dan yang dibayangkan hanya wajah Dyah Wulandari! Hal ini dilihat oleh Ki Durgakelana dengan hati girang karena memang itulah yang dikehendaki oleh Resi Mahapati, maka diam-diam dia lalu melaporkan hal ini kepada Sang Resi Mahapati. Dan pada senja hari itu, Sang Resi Mahapati datang berkunjung dan diterima oleh Pangeran Kolo Gemet di dalam taman sari karena sudah dua hari dia sering termenung di taman sari dan enggan meninggalkan tempat indah penuh bunga ini, kecuali apabila hari sudah malam dan hawa udara sudah amat dinginnya.
Ketika Sang Resi Mahapati datang menghadap Pangeran Kolo Gemet dan melihat wajah pangeran yang murung itu, dia cepat memberi hormat kemudian bertanya, seolah-olah dia merasa heran padahal tentu saja dia sudah mendengar laporan selengkapnya dari Ki Durgakelana.
"Menurut wawasan hamba, Paduka termenung dan diliputi kerisauan hati. Apakah yang terjadi, Kanjeng Pangeran? Ceritakan saja pada hamba dan hamba berjanji akan sanggup mengobatinya."
Pemuda itu cemberut dan memandang kepada Sang Resi.
"Sudah sepatutnyalah kalau Andika yang harus mengobatinya, Paman Resi, karena Andika pula yang menimbulkan penderitaanku ini."
"Ehh??"
Sang Resi yang cerdik pura-pura kaget.
"Apa yang Paduka maksudkan?"
"Paman Resi Mahapati, siapa yang membawa aku pergi berkunjung ke rumah Paman Patih Nambi tempo hari?"
"Hamba yang mengajak Paduka. Kenapakah...?"
"Andika tentu telah melihat dara itu..... hemm, seperti bidadari khayangan dan namanya begitu indah, Dyah Wulandari....."
Pangeran itu menengadah dan memejamkan matanya sambil menarik napas panjang. Resi Mahapati bertukar pandang dengan Ki Durgakelana yang menyembunyikan senyum.
(Lanjut ke Jilid 29)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 29
Tiba-tiba terdengar Resi Mahapati tertawa. Suara ketawa ini seperti memecahkan lamunan Sang Pangeran. Dia cepat menunduk, membuka mata memandang wajah Sang Resi dan berkata dengan nada suara menegur.
"Apa yang ditertawakan, Paman Resi? Senangkah Andika melihat saya menderita? Atau lucukah kalau saya jatuh cinta kepada dara yang denok ayu itu?"
"Ampunkan hamba, Kanjeng Pangeran. Sama sekali bukan demikian. Hamba tertawa karena melihat Paduka merisaukan hal yang sebetulnya sederhana saja. Kalau Paduka menghendaki seorang dara, mengapa hal itu dirisaukan benar? Wanita mana yang tidak akan bersembah sungkem di depan kaki Paduka, yang akan siap dan rela menyerahkan diri untuk melayani cinta kasih Paduka? Kalau memangPaduka gandrung kepada keponakan Ki Patih Nambi itu, apa sih sukarnya meraih Si Denok ke pangkuan Paduka?"
"Hemm, mudah dan enak saja Andika bicara, Paman Resi. Kalau Wulandari itu anak atau isteri sekalipun dari seorang ponggawa biasa, tentu mudah aku memintanya. Bahkan kalau dia itu puteri seorang raja muda di luar Mojopahit, juga aku akan melamarnya atau merampasnya. Akan tetapi dia keponakan Paman Patih! Dan dia sudah bertunangan!"
"Apa salahnya, Gusti? Biar sudah menikah sekalipun, apalagi baru bertunangan,dapat saja diputuskan atau dibatalkan kalau Paduka menghendaki!"
"Ah, tapi dia keponakan Ki Patih Nambi!"
Pemuda itu berkata lagi sambil mengerutkan alisnya.
"Kalau begitu, mengapa? Paduka adalah Pangeran Mahkota dan Ki Patih hanya seorang abdi yang harus mentaati perintah Paduka."
"Hemm, Andiaka seperti tidak tahu saja, Paman Resi. Kita sama tahu siapa adanya Paman Patih Nambi. Dia kepercayaan Kanjeng Romo! Kanjeng Romo tentu akan marah sekali kalau sampai aku berani mengganggu Paman Patih Nambi. Dia sudah memper- kenalkan keponakannya itu kepadaku dan bahkan menambahkan bahwa keponakannya itu telah bertunangan dengan lain orang, hal itu berarti bahwa aku tidak boleh mengganggu Wulandari! Tidak ada jalan dan tidak ada alasannya. Kalau aku menggunakan kekerasan, tentu Kanjeng Romo akan marah kepadaku. Paman Resi,Andika harus menolongku..... ah, tidak kuat rasanya menanggung derita rindu ini!"
"Ha-ha-ha, segala hal kalau Paduka ceritakan kepada hamba, tanggung beres! Hamba yang mananggung bahwa Paduka akan dapat meraih dara jelita itu ke dalam rangkulan Paduka,ke atas pangkuan Paduka tanpa ada bahaya kemarahan dari Ramanda Paduka Kanjeng Gusti Sinuhun."
Sepasang mata yang sayu itu beserinar, wajah yang muram itu berseri.
"Benarkah,Paman? Bagaimana caranya? Ohh, cepat katakan kepadaku!"
"Paduka tentu maklum bahwa biarpun Beliau menjadi kepercayaan Sang Prabu, namun sebenarnya di balik wajah setia dari Ki Patih Nambi tersembunyi hati yang bengkok! Dia mempunyai hati yang condong kepada Lumajang, buktinya, Ayah kandungnya sendiri, Aryo Pranarojo, juga berada di Lumajang, bahkan kabarnya menjadi tangan kanan dari Adipati Lumajang, yaitu Aryo Wirorojo."
"Aku tahu, dan Kanjeng Romo juga sudah mengetahuinya, akan tetapi buktinya Ki Patih Nambi adalah seorang patih yang cakap dan setia. Apa hubungannya itu dengan Wulandari, Paman Resi?"
"Sekarang tiba saatnya untuk membuka kelemahannya itu, Kanjeng Pangeran. Kemarin hamba menerima laporan dari para penyelidik bahwa di kepatihan datang penyelidik bahwa di kepatihan datang seorang mata-mata dari Lumajang dan bermalam di kepatihan. Nah, kalau Paduka mendatangi kepatihan dan menyergap, menangkap mata-mata itu di kepatihan, bukankah hal itu akan membuka rahasia Ki Patih bahwa dia mempunyai hubungan dengan para pemberontak Lumajang?"
Sang Pangeran mengerutkan alisnya dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku tahu betapa Kanjeng Romo paling tidak suka mendengar Lumajang dijelek-jelekkan. Bahkan Kanjeng Romo selalu menganggap Lumajang sebagai tempat orang-orang yang setia kepada Beliau. Kalau aku melakukan penangkapan terhadap orang Lumajang di rumah Paman Patih, hal itu hanya akan menimbulkan kegemparan dan kemarahan kanjeng Romo. Tidak, Paman Resi, aku tidak mau mencampuri urusan pemerintahan selama Kanjeng Romo masih menjadi raja, dan hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Wulandari."
"Justru penangkapan atas diri orang Lumajang itu merupakan satu-satunya jalan bagi Paduka untuk mendapatkan diri Dyah Wulandari, Kanjeng Pangeran."
"Ehhh....??"
Sang Pangeran kini menjadi tertarik sekali dan mendekat.
"Ceritakan,paman, Resi."
"Ketahuilah bahwa orang Lumajang itu bernama Sarjitowarman."
"Ahh...? Orang yang dikatakan tunangan Dyah Wulandari?"
"Benar, Kanjeng Pangeran. Tunangan Dyah Wulandari dan juga keluarga Ki Patih,keponakan dari isteri Ki Patih."
"Dan dia mata-mata Lumajang?"
"Bukan, Kanjeng Pangeran."
Pangeran Kolo Gemet bengkit berdiri dan memandang marah.
"Paman Resi, apakah Andika hendak mempermainkan aku?"
Resi Mahapati pura-pura gugup dan cepat dia memberi hormat.
"Harap Paduka tenang dan harap suka mendengarkan penjelasan hamba. Sarjitowarman tentu saja bukan mata-mata, melainkan datang berkunjung kepada pamannya dan tunangannya, tentu saja membawa pesan dan berita dari Aryo Pranarojo untuk puteranya, Yaitu Ki Patih Nambi. Akan tetapi, karena pemuda itu merupakan seorang asing di sini, juga seorang Lumajang, tentu saja Paduka dapat menangkapnya dengan tuduhan mata-mata Lumajang. Tentu tidak ada yang berani menentang, juga Ki Patih sendiri tidak berani kalau Paduka menangkap pemuda itu dengan dalih hendak memeriksanya demi keselamatan kerajaan. Nah, setelah di Paduka tangkap, selanjutnya Ki Durgakelana yang akan memberi jalan untuk menyelamatkan pemuda itu, yaitu agar Dyah Wulandari sendiri yang menghadap Paduka. Selanjutnya, segala hal dapat diatur..... heh-heh!"
Makin berseri wajah Pangeran Kolo Gemet. Yang tebayang olehnya hanya dara yang denok ayu itu menyerah kepadanya dan betapa dia akan menikmati dara yang membuatnya tergila-gila itu! Dia mendengarkan suara Resi Mahapati yang berbisik-bisik mengatur siasat, mengangguk-angguk puas. Malam itu, rencana telah diatur untuk melaksanakan siasat Resi Mahapati yang cerdik itu.
Sang Resi Mahapati tidak pernah melepaskan ambisinya yang besar. Dia telah berhasil mengadu domba dan meruntuhkan banyak tokoh yang dianggap dapat merintangi jalan menuju tercapainya cita-citanya, tanpa memperdulikan betapa jahat dan kejinya pelaksanaan untuk menjangkau cita-citanya itu. Kini, mulailah dia bersiasat untuk menanam kebencian antara Ki Patih Nambi dengan Pangeran Kolo Gemet. Raja sudah tua dan setiap saat tentu Pangeran Mahkota yang akan naik tahta. Maka, Ki Patih Nambi harus lebih dulu disingkirkan, atau setidaknya diusahakan agar putera mahkota dan patihnya itu mempunyai dendam atauatau saling bermusuhan! Dan jalan satu-satunya untuk berhasil, mengingat bahwa Ki Patih Nambi adalah seorang bijaksana yang sukar sekali dibujuk, adalah mempergunakan kelemahan Pangeran Kolo Gemet terhadap wanita.
Pada keesokan harinya, tentu saja Ki Patih Nambi terkejut bukan main ketika para pengawal melaporkan akan kedatangan Pangeran Kolo Gemet yang diikuti oleh sepasukan pengawal pangeran yang kelihatan marah-marah itu! Cepat Ki Patih Nambi lalu menyambut keluar dan dia makin terkejut dan heran ketika Pangeran Mahkota itu langsung saja berkata kepadanya dengan suara lantang dan kaku.
"Paman Patih, harap Paman serahkan mata-mata dari Lumajang itu kepadaku!"
Sepasang mata Ki Patih Nambi terbelalak dan alisnya terkerut.
"Apakah yang Paduka maksudkan?"
Tanyanya bingung.
"Paman tidak perlu berpura-pura. Jangan mengira bahwa aku tidak tahu. Ketahuilah bahwa sebagai seorang Pangeran Mahkota, diam-diam aku pun memasang penyelidik-penyelidik untuk mengetahui keadaan kerajaan. Kemarin di sini datang seorang dari Lumajang dan bermalam di kepatihan. Tidak benarkah itu?"
Ki Patih tersenyum lega.
"Ah, dia? Memang benar, Kanjeng Pangeran. Kemarin ada datang seorang keponakan saya dari Lumajang yang bernama Sarjitowarman, akan tetapi dia adalah keponakan saya sendiri dan bukan mata-mata...."
"Paman Patih! Sebagai seorang ponggawa Mojopahit, tentu Paman cukup mengerti bahwa urusan negara lebih penting daripada urusan pribadi! Harap Paman suka menyuruh orang Lumajang itu keluar agar dapat kuperiksa dan kutanyai dia."
Dengan hati tidak enak Patih Nambi lalu menyuruh pengawalnya yang segera masuk dan tak lama kemudian pengawal itu kembali lagi bersama seorang pemuda yang tampan. Melihat bahwa di samping Pamannya di situ terdapat pula Pangeran Mahkota pemuda itu cepat duduk bersila dan menyembah dengan sikap hormat. Pangeran Kolo Gemet menatap wajah pemuda itu dan bibirnya tersenyum mengejek. Begini sajakah tunangan Dyah Wulandari? Demikian hatinya mengejek. Tidak seberapa!
"Heh, kau orang Lumajang?"
Dia membentak dengan sikap congkak.
Pemuda itu menyembah dan menjawab.
"Benar, Kanjeng Pangeran."
"Siapa namamu?"
"Hamba bernama Sarjitowarman, Gusti."
"Kau datang membawa berita-berita dari Lumajang, bukan?"
Pemuda itu mulai kelihatan gelisah, akan tetapi dia mengangguk.
"Benar, Kanjeng Pangeran,"
Katanya lirih, karena memang dia tidak mebohong. Bukankah dia diutus oleh Aryo Pranarojo untuk menyampaikan berita keselamatan kepada Pamannya di Mojopahit?
"Kau menyampaikan berita rahasia dan melakukan penyelidikan di sini, memata-matai Mojopahit?"
Ki Patih Nambi memandang dengan kaget dan hendak memprotes, akan tetapi Sang Pangeran mengangkat tangan mencegahnya. Pemuda itu juga terkejut sekali dan menjawab gagap.
"Ti..... tidak, Kanjeng Pangeran...."
"Kau bohong! Tangkap dia!"
Bentak Sang Pangeran kepada para pengawalnya dan majulah Warak Jinggo, menagkap dan mengikat kedua tangan pemuda itu.
Ki Patih Nambi melangkah maju hendak mencegah, akan tetapi pada saat itu Ki Durgakelana berkata.
"Harap Paduka tenang, Gusti Patih. Ingat bahwa yang menagkap adalah Gusti Pangeran Pati sendiri."
Mendengar ini, Ki Patih Nambi menahan kemarahannya dan menghadapi Pangeran Kolo Gemet, memandang tajam dan bertanya dengan suara kaku.
"Kanjeng Pangeran, apakah artinya penangkapan yang Paduka lakukan terhadap keponakan saya ini?"
Pangeran muda itu tersenyum mengejek.
"Artinya? Artinya adalah bahwa saya telah menangkap seorang dari Lumajang yang disangka mata-mata dan dia akan diperiksa sampai ada bukti bahwa dia tidak bersalah, Paman Patih. Apakah Andika keberatan dengan tugasku itu? Biarpun dia adalah keponakanmu, akan tetapi saya harus mangutamakan keselamatan Mojopahit, Paman Patih."
Tentu saja Patih Nambi tidak dapat menjawab dan tidak berani menyatakan keberatan dan dia hanya memandang dengan wajah pucat ketika pangeran dan pasukannya pergi sambil membawa Sarjitowarman sebagai seorang tawanan. Setelah rombongan itu pergi jauh, barulah Ki Patih Nambi melihat bahwa kakek itu masih berada di situ. Dia mengenal kakek ini sebagai seorang kepercayaan dan pengawal Pangeran, seorang yang kabarnya memiliki kesaktian dan bernama Ki Durgakelana. Ki Patih memandang heran dan matanya mengandung penuh pertanyaan.
"Eh, Paman masih berada di sini?"
Tanyanya.
"Saya ingin membicarakan hal tadi dengan Paduka, Gusti Patih,"
Jawab Ki Durgakelana kepada Patih Nambi sambil melirik ke arah para pengawal.
Patih itu maklum dan segera berkata.
"Mari kita masuk ke ruangan tamu dan bicara, Paman Durgakelana."
Mereka memasuki sebuah kamar di serambi depan dan setelah mereka duduk berdua,Ki Patih Nambi manarik napas panjang menekan ketegangan hatinya dan bertanya.
"Apakah yang akan Andika sampaikan Paman?"
"Maafkan saya, Gusti Patih. Sesungguhnya, saya merasa ikut prihatin menyaksikan penangkapan yang dilakukan oleh Gusti Pangeran tadi. Terus terang saja, Gusti Pangeran melakukan penagkapan itu atas pelaporan penyelidik yang melihat orang asing di sini apalagi ketika mendengar bahwa pemuda itu datang dari Lumajang. Gusti Pangeran yang amat membenci orang-orag Lumajang tentu saja menjadi marah dan melakukan penangkapan."
"Habis, apa yang dapat saya lakukan atau Andika lakukan, Paman?"
"Saya akan berusaha menolong, akan tetapi harus dicarikan jalan yang baik, Gusti Patih. Kenyataan bahwa Sarjitowarman itu keponakan Paduka bukanlah merupakan alasan yang kuat. Harus ada alasan yang lebih kuat yang mengikatkan dia dengan Mojopahit....."
"Ah, dia bukan hanya keponakanku, akan tetapi juga calon suami keponakanku Dyah Wulandari! Itulah sebabnya maka dia sering berkunjung ke Mojopahit, selain untuk mengunjungi kami, terutama sekali untuk menjenguk tunangannya."
"Ahh! Begitukah?"
Wajah Ki Durgakelana itu berseri-seri, seolah-olah dia baru tahu akan hal ini.
"Kalau begitu, itulah satu-satunya jalan untuk membebaskan dia!"
"Maksudmu?"
"Gusti Pangeran paling lemah menghadapi wanita, maka kalau keponakan Paduka itu menghadap Gusti Pangeran dan mengajukan permohonan agar pemuda itu dibebaskan karena pemuda itu adalah calon suaminya, tentu Gusti Pangeran akan mereda kemarahannya dan melihat bukti bahwa pemuda itu tidak bersalah."
Sang Patih mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi....."
Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena hatinya bimbang. Dia tentu saja sudah mendengar bahwa Pangeran Kolo Gemet adalah seorang pria mata keranjang dan suka menganggu wanita. Akan tetapi dia pun tentu saja tidak berani menyatakan suara hatinya ini di depan Ki Durgakelana,orang kepercayaan Sang Pangeran. Maka dia termenung bimbang.
"Selain itu, kiranya tidak ada cara lain untuk menolong pemuda tadi, Gusti Patih. Urusan ini cukup gawat, menyangkut soal tuduhan mata-mata. Ikatan antara Paduka dan pemuda itu hanyalah sebagai paman dan keponakan luar. Kurang kuat untuk mematahkan belenggu persangkaan itu. Akan tetapi ikatan antara calon suami isteri tentu lebih kuat dan Gusti Pangeran tentu lebih mempercayai puteri keponakan Paduka."
Ki Patih tetap termenung penuh keraguan. Dan Ki Durgakelana menggunakan kesempatan itu untuk mendesak,
"Saya kira, paling tepat kalau puteri keponakan Paduka itu sekarang juga menghadap Gusti Pangeran di istananya sebelum ada keputusan dijatuhkan atas diri pemuda itu. Dan sebaiknya di waktu menghadap ditemani saja oleh seorang dayang. Saya sudah bicara terlalu banyak, terdorong oleh rasa iba, Gusti Patih. Nah, saya mohon diri."
Kakek Raksasa itu memberi hormat lalu meninggalkan tempat itu, diantar oleh ucapan terima kasih dari Ki Patih Nambi yang masih ragu-ragu.
Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo