Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 32


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 32



"Kisanak.....! Kisanak.....! Raden....! Raden.... bangunlah....!"

   Dia menggoyang-goyang tubuh itu dengan sentuhan pada pundaknya, pahanya, namun yang duduk besila itu seperti sudah menjadi kaku, seperti mayat duduk! Jangan-jangan sudah mati! Raksasa itu memang sakti sekali. Jangan-jangan pemuda ini juga sudah tewas seperti Darumuko! Pikiran yang menyelinap di dalam benaknya ini membuat Lestari terbelalak, mukanya makin pucat menatap wajah itu dan tak terasa lagi dia menjerit dan menubruk tubuh yang duduk bersila itu lalu menangis sejadi-jadinya!

   "Jangan tinggalkan aku..... hu-huuuuh....... raden, jangan mati.... oh, jangan...!"

   Lestari menangis tersedu-sedu dan memeluki tubuh itu, menyembunyikan mukanya di dada dan di atas pangkuan pemuda itu yang masih duduk bersila seperti telah tidak bernyawa lagi. Baru satu kali ini selama hidupnya Lestari benar-benar menangis sungguh-sungguh, benar-benar merasa hancur hatinya, merasa berduka karena kematian seseorang. Peristiwa tadi benar-benar mengguncangkan seluruh batin Lestari. Ancaman yang amat mengerikan hatinya, keadaannya yang sudah berada di ambang malapetaka dan kehancuran, di mana dia sudah menjadi putus harapan. Kemudian meunculnya pemuda ini yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya,muncul dan sekaligus menyelamatkan dirinya dari malapetaka. Wajah pemuda ini yang kelihatan demikian muram seperti mengandung kedukaan hebat, kegagahan pemuda yang selain menyelamatkannya juga telah mengorbankan dirinya sampai terluka hebat, semua ini membangkitkan perasaan aneh di dalam hatinya.

   Padahal,semenjak dia diculik oleh Pragodigdoyo, kemudian semenjak dia terpaksa harus menyerahkan dirinya kepada Resi Mahapati, hati wanita itu menjadi beku dan tertutup begi perasaan cinta kasih terhadap seorang pria. Namun peristiwa siang hari ini seperti mendobrak semua kebekuannya dan perasaan wanitanya tergugah,membuat dia memandang pemuda itu seperti seorang pria yang amat berjasa, yang patut diserahi cinta kasihnya, jiwa raganya! Maka, kini melihat pria itu duduk seperti arca, kemudian disangkanya telah mati, Lestari mengalami kehancuran hati yang selama ini belum pernah dirasakannya, bahkan belum pernah dimimpikannya.

   Tiba-tiba Lestari menghentikan sedu-sedannya. Ada jari-jari tangan mengelus rambut kepalanya, lalu jari-jari itu merayap ke bawah, membelai kedua pipinya,dan lehernya. Dan suara berbisik-bisik lirih.

   "Engkua sungguh cantik jelita....engkau sungguh agung.... engkau wanita yang patut dibela dengan nyawa......"

   Lestari cepat mengangkat mukanya yang tadinya menelungkup di atas pangkuan pemuda itu dan dia melihat betapa pemuda itu telah membuka matanya dan memandang kepadanya dengan sinar mata mesra, sungguhpun wajah itu masih nampak muram berduka.

   "Kau.... kau tidak mati....? Kau masih hidup, Raden? Akh, terima kasih kepada para dewata....!"

   Lestari menangis lagi sambil merangkul.

   Pemuda itu juga merangkulnya, mereka saling berpelukan. Dengan air mata bercucuran Lestari mengangkat muka, mereka saling berpandangan dan muka mereka saling berdekatan.

   "Kau.... kau menangis....? Kau.... menangisi aku....?"

   Pemuda itu bertanya, suaranya gemetar.

   "Mengapa...? Mengapa...?"

   Suara yang penuh getaran ini seperti meremas-remas hati Lestari, dia menggunakan tangannya menutupi mulut itu agar tidak bicara lagi dan dia lalu memperketat dekapannya dan mencium pemuda itu dengan sepenuh perasaan hatinya. Pemuda itu kelihatan terkejut, akan tetapi tak kuasa menolak, bahkan lalu membalas sehingga mereka berpelukan dan berciuman dengan penuh kemesraan.

   Akhirnya, pemuda itu dapat bernapas dan berkata terengah-engah dan gagap.

   "Maafkan...., hamba....hamba adalah...."

   "Ssshhhh.... Kakang mas..... perlukah kita bicara....?"

   Lestari memotong dan kembali jari-jari tangannya menutupi mulut itu yang kemudian diciuminya dan mereka berdua lalu berguling di atas pembaringan. Hanya ada satu dorongan terasa oleh mereka, yaitu pencurahan kasih sayang mereka. Bukan, sama sekali bukan dorongan nafsu berahi semata. Ada sesuatu terasa oleh mereka, sesuatu yang melebihi pengaruh nafsu berahi belaka. Lampu teplok itu kehabisan minyak, beredip-kedip dan nyalanya tiba-tiba mengecil,seperti mata berkedip-kedip, kemudian padam dan pondok itu menjadi gelap pekat. Namun hal ini sama sekali tidak terasa oleh dua orang itu. Mereka telah lupa segala, yang ada hanya mereka berdua dan perasaan cinta yang menggelora.

   Sinar matahari yang masih amat muda, kemerahan bagaikan sinar emas, menerobos masuk melalui celah-celah bilik ke dalam pondok itu. Sunyi sekali di dalam dan di luar pondok. Hanya bunyi kicau burung di pohon-pohon di luar pondok yang menyemarakkan suasana pagi hari yang cerah dan indah itu.

   Mereka masih berbaring di atas balai kayu di depan pondok. Pemuda itu terlentang dan matanya menatap ke atas ke atap rumput alang-alang dari pondok itu. Tangannya yang kanan mengelus-elus rambut yang panjang itu, rambut dari kepala yang rebah telentang, kepalanya berbantal dada pemuda itu, rambutnya yang hitam dan panjang, halus mengkilap karena kemarin pagi sebelum berangkat telah dikeramasinya, kini terlepas dari sanggulnya dan menyelimuti dada pemuda itu yang tak berbaju. Wajah wanita ini seperti mengeluarkan cahaya, gemilang dan berseri biarpun agak pucat dan membayangkan kelelahan. Bulu matanya yang panjang lentik itu masih digenangi dua butir air mata, dan bibirnya yang tipis merah itu tersenyum penuh kebahagiaan. Sinar matanya sayu melamun, juga menerawang ke atas.

   Ketika merasa jari-jari tangan itu membelai rambutnya, dia tersadar, menoleh sedikit sehingga bertemu pandang mata dengan pemuda itu, dia tersenyum, lalu menggerakkan tangan sehingga jari-jari tangan kirinya bertemu dengan jari-jari tangan kanan pemuda itu, mereka saling cengkeram dan jari-jari mereka saling dekap. Getaran mesra terasa oleh mereka melalui sentuhan antara jari-jari tangan itu. Dua butir air mata yang tergenang di bulu mata itu bertitik jatuh ke atas pipi yang halus dan agak pucat.

   "Mengapa baru sekarang kita saling bertemu....? Mengapa tidak sejak dulu....?"

   Lestari berbisik seperti orang yang menyalahkan nasibnya. Ketika dia merasa betapa dada yang ditidurinya itu bergerak sedikit, Lestari menoleh dan kini menatap wajah itu. Wajah yang masih kelihatan muram, akan tetapi sinar mata yang memandangnya itu demikian tajam, demikian penuh pernyataan cinta yang mesra.

   Lalu Lestari berbisik nadanya menegur.

   "Mengapa tidak dari dulu-dulu engkau menemui aku?"

   Pemuda itu menarik napas panjang, jari-jari tangannya melepaskan tangan Lestari dan kini menelusuri pipi dan dagu itu.

   "Mengapa? Ah, engkau begini cantik jelita, dan engkau selama ini.... ah, tempatmu begitu tinggi...."

   Dia tidak melanjutkan kata-katanya, untuk sejenak hanya melamun, kemudian berkata lagi.

   "sungguhpun telah lama aku mengagumimu, merindukanmu dari jauh...."

   Tangan Lestari membelai dada yang telanjang itu, digurat-guratnya dengan kuku telunjuknya.

   "Siapakah engkau? Siapakah namamu?"

   "Aku? Namaku Harwojo dan aku hanya seorang abdi biasa saja, aku..."

   "Tak mungkin! Engkau memiliki kesaktian, engkau gagah perkasa."

   "Itulah pekerjaanku, mengandalkan sedikit kemampuan untuk berkelahi! Aku adalah seorang pengawal dan kepercayaan dari Gusti Ratu Sri Indreswari......"

   "Ahh...!"

   Lestari terkejut akan tetapi tidak bangkit dari dada pemuda itu, hanya kini dia rebah miring sehingga mereka dapat saling berpandangan.

   "Dan bagaimana engkau dapat menolongku di tempat ini, Kakangmas Harwojo?"

   "Kebetulan saja.... kebetulan saja aku dapat melihat keretamu dilarikan keluar dari pintu gerbang. Aku merasa curiga. Aku sudah mengenak betul keretamu, sudah terlalu lama mengenalmu, Diajeng Lestari, mengenalmu secara diam-diam. Hanya menyesal diriku sendiri.... akan tetapi, akan tetapi...."

   Tiba-tiba dia bangkit duduk dan mendorong Lestari sehingga wanita itu bangkit duduk pula.

   Mereka duduk berhadapan di atas pembaringan itu. Wajah Harwojo nampak makin keruh dan sinar matanya berkilat, seperti orang marah.

   "Kenapa, Kakangmas Harwojo....?"

   Lestari bertanya, khawatir melihat orang itu seperti marah, merangkulnya. Harwojo menarik napas panjang, lalu balas merangkul dan ada sedu sedan naik dari dadanya.

   "Eh, kau.... kau menangis?"

   Lestari bertanya kaget, merangkul leher.

   Harwojo menunduk, menyembunyikan mukanya dan dengan punggung kepalan tangannya,dia mengusir dua titik air mata yang tadi meloncat keluar. Kemudian dia mengangkat mukanya, menggunakan kedua tangannya untuk memegang kedua pipi Lestari, dipandang wajah itu dan dia berkata, suaranya mengandung penasaran.

   "Diajeng Lestari, engkau begini cantik, begini ayu..... begini manis....."

   Tangan itu membelai seluruh muka yang amat mengagumkan hatinya itu,

   "Akan tetapi mengapa.... mengapa engkau membiarkan orang mempermainkan dirimu? Mengapa engkau membiarkan orang lain memperalat dirimu, memperalat kecantikanmu?"

   "Maksudmu, Kakangmas Harwojo?"

   "Aku tahu bahwa engkau sengaja dipergunakan orang untuk memikat Sang Pangeran....."

   Harwojo berhenti sebentar, lalu melepaskan kedua tangannya, membuang muka dan mengepal tinjunya.

   "Ah, aku cinta padamu...... Diajeng Lestari, demi iblis! Biar terkutuk aku! Aku cinta padamu....!!"

   Lestari memandang wajah itu dan air mukanya membayangkan kelembutan, membayangkan rasa sayang penuh iba.

   "Kakangmas Harwojo, aku pun cinta padamu..... sungguh, langit dan bumi menjadi saksi, para dewata mendengarkan pengakuanku ini,baru sekarang ini selama hidupku, aku mencintai orang. Aku cinta padamu, Kakangmas Harwojo."

   "Plak!"

   Harwojo menghantam telapak tangan kirinya sendiri. Nyeri sekali rasanya, kiut miut rasanya pundak yang terluka, akan tetapi lebih nyeri lagi rasa hatinya.

   "Setan! Kalau benar, mengapa engkau menjadi selir Resi Mahapati? Mengapa engkau menjadi kekasih Sang Pangeran? Aku ingin sekali percaya kepadamu, akan tetapi betapa mungkin??"

   Tiba-tiba Lestari menangis menutupi mukanya. Tangis sungguh-sungguh, bukan seperti biasa kalau dia menangis di depan Resi Mahapati atau Sang Pangeran. Sudah terbiasa dia menangis secara palsu, tangis buatan sehingga kini tangis yang sungguh-sungguh membuat jantungnya terasa seperti akan putus!

   Mendengar suara tangis yang demikian memilukan, melihat wanita itu sedemikian sedihnya, Harwojo menjadi terharu akan tetapi pandang matanya masih penuh selidik, hampir dia tidak percaya.

   "Diajeng Lestari, seorang seperti engkau ini.... dengan kedudukan begitu tinggi dan mulia, penuh kesenangan, mana mungkin dapat merasakan penderitaan batin seperti aku? Semenjak kecil aku hidup sebatangkara, tidak pernah mengenal kebahagiaan. Kemudian, aku bertemu dengan engkau, Diajeng dan mulailah semua penderitaan kutanggung! Aku jatuh cinta, akan tetapi aku tidak berani bertemu denganmu, bahkan memandang pun sudah merupakan suatu hal yang lancang bagiku. Engkau adalah selir terkasih dari Resi Mahapati, seorang yang berkudukan tinggi, dan engkau adalah Kakak kandung dari Adimas Sutejo, ksatria yang memiliki kesaktian luar biasa. Sedangkan aku...."

   "Engkau adalah seorang ksatria yang gagah perkasa pula, Kakangmas Harwojo,engkau seorang laki-laki sejati, engkau seorang pria yang kucintai, satu-satunya pria yang pernah kucinta."

   "Jangan kau berkata demikian!"

   Tiba-tiba Harwojo membentak marah.

   "Ah, Diajeng Lestari, engkau yang begini cantik seperti dewi kahyangan, engkau yang begini kucinta, janganlah kau lontarkan kata-kata yang menyakitkan hatiku itu....yang mengingatkan aku betapa.... palsu hatimu..... betapa engkau setelah menjadi selir tercinta Resi Mahapati, engkau rela dijadikan umpan, menjadi kekasih Sang Pangeran, dan tadi..... bersamaku.... engkau...."

   Harwojo tidak dapat melanjutkan, menutupi mukanya dan kini pria yang gagah perkasa ini menangis benar-benar!

   Lestari memandang dengan mata terbelalak. Kini dia mengerti dan persangkaan pemuda yang secara aneh telah menjatuhkan hatinya itu, menyakitkan hati sekali. Dia belum pernah mencintai seorang pria, bahkan belum pernah dia merasa benar-benar hidup seperti ketika berada dalam pelukan pemuda itu tadi. Belum pernah dia merasakan kesenangan sedemikian besarnya, yang membuat dia menangis dalam pelukan itu, yang membuat dia terheran-heran betapa berdekatan dengan seorang pria dapat membuat dia merasa betapa hidup ini seolah-olah berubah sama sekali,betapa segalanya nampak indah, segalanya terasa nikmat, semua terasa bahagia!

   "Kakangmas Harwojo, kau pandanglah aku dan Kau dengarkanlah kata-kataku! Aku bersumpah, selama hidupku baru sekali ini aku mengeluarkan isi hatiku, aku mengakui keadaanku."

   Ucapan itu dikeluarkan dengan penuh semangat sehingga Harwojo mengangkat mukanya yang basah air mata dan enjadi pucat sekali. Kini Lestari yang memegangi kedua pipi pemuda itu dan dengan mesra dikecupnya mulut pemuda itu,lalu berkata,

   "Dengarlah baik-baik. Jangan sekali-kali engkau mengira bahwa aku pernah merasakan cinta kasih, pernah merasakan kebahagiaan dengan pria lain. Sama sekali belum pernah dan baru tadi aku merasa benar-benar hidup, merasa benar-benar jatuh cinta Hanya padamu seoranglah aku jatuh cinta, Kakangmas. Kau tahu mengapa aku menjadi selir Resi Mahapati? Karena dendam! Aku dipaksa menjadi selirnya, dan aku lalu menyerah untuk dapat melampiaskan dendamku, dendam keluargaku. Kemudian, kau tahu mengapa aku mau dijadikan umpan untuk menjadi kekasih Sang Pangeran? Karena keinginan mengejar kedudukan! Nah,sama sekali tidak ada cinta di situ. Aku muak! Kau tidak tahu betapa menderita batinku kalau aku terpaksa harus melayani Sang Resi dan Sang Pangeran! Aku ingin membunuh mereka karena benciku! Aku muak, aku mau muntah kalau mengingatnya, Kakangmas!"

   Harwojo memandang wajah wanita itu dengan alis berkerut, penuh kasih sayang dan penuh rasa iba.

   "Kalau begitu, mengapa engkau menyiksa diri sedemikian rupa, Diajeng? Mengapa masih kau kukuhi kedudukanmu itu kalau memang engkau tidak menemukan bahagia di situ?"

   "Apa dayaku, Kakangmas? Apa pilihanku? Hanya tadi, setelah bertemu denganmu, setelah merasa betapa engkau benar-benar amat mencintaiku, setelah..... setelah tadi.... aku tahu bahwa selama ini aku hidup seperti dalam alam mimpi, tidak melihat kenyataan. Kini aku tahu bahwa semua itu, dendam dan pengejaran kedudukan, hanya kosong belaka dan makin dituruti makin membuatku kosong. Hanya dengan cintamu maka aku merasa penuh, aku merasa hidup, Kakangmas. Karena itu, mari kita tinggalkan segala kepalsuan dan kekosongan itu, mari kita hidup bersama, jauh dari segala kericuhan ini....kaubawalah aku pergi, Kakangmas, biar kita hidup miskin dan papa biar harus makan dua hari sekali, biar harus tinggal di gubuk dan memakai pakaian kasar...., aku akan bekerja, aku akan melayanimu, aku akan membahagiakan hidupmu karena kebahagianmu berarti kebahagiaanku pula....."

   Harwojo menggeleng kepala.

   "Tidak..... tidak....! Tidak mungkin!"

   Dia lalu meloncat turun dari pembaringan, mengenakan pakaiannya kembali dan berjalan hilir mudik di dalam pondok. Pikirannya kacau dan bingung sekali. Seperti kita ketahui, Harwojo ini pernah menjadi mata-mata Sang Ratu Sri Indreswari dan bertugas di Lumajang. Bersama dengan dengan Sulastri, Joko Handoko dan yang lain-lain, dia berhasil memasuki sayembara, lulus dan menjadi panglima.

   Dia menjadi mata-mata ini untuk menyelidiki tentang hilangnya keris pusaka Kolonadah. Kemudian, seperti telah diceritakan di depan, dia telah membantu Murwendo dan Murwanti menawan Joko Handoko dan Roro Kartiko yang dianggap sebagai anak-anak pemberontak yang patut dihukum, dan juga hal itu dilakukannya karena dia ingin agar orang kembar itu akan membantunya kelak dalam tugasnya mencari Kolonadah. Akan tetapi, selain itu dia pun hendak mencegah gadis yang dikaguminya itu menjadi kaki tangan pemberontak Lumajang. Akan tetapi,ketika dia berhasil menawan Sulastri, muncul Sutejo yang mengalahkannya.

   Akhirnya, setelah tahu bahwa dia adalah utusan Sang Ratu, Sutejo membebaskannya dan dari pemuda perkasa dan dara itu tahulah Harwojo bahwa keris pusaka Kolonadah tidak berada di tangan orang-orang Lumajang dan masih lenyap. Maka dia kembali ke Mojopahit untuk memberi pelaporan kepada Sang Ratu sehingga Sang Ratu menjadi curiga bahwa keris pusaka yang oleh Resi Mahapati diserahkan kepadanya itu adalah Kolonadah yang palsu!"

   Sebenarnya telah lama Harwojo tergila-gila kepada Lestari. Dalam suatu pertemuan, di pesta yang diadakan seorang ponggawa, di mana Resi Mahapati dan Lestari hadir, Harwojo melihat wanita ini dan pada saat itu pun dia telah jatuh cinta. Akan tetapi, mengingat bahwa wanita itu adalah selir terkasih dari Sang Resi, tentu saja dia segera menjauhkan diri dan makan hati sendiri. Tidak mungkin dia dapat dan berani mendekati selir terkasih dari resi yang sakti itu. Pula, dia tidak ingin mengganggu isteri orang lain. Akan tetapi, hatinya selalu gandrung dan baru terobati rasa nyeri hatinya kalau di sudah dapat melihat wajah wanita itu sewaktu-waktu, birapun hanya sebentar saja. Maka, telah lama Harwojo kadang-kadang membayangi dan mencari Lestari, hanya untuk memandang wajahnya dari jauh.

   Untuk melaksanakan rencananya membunuh wanita yang dianggapnya menggoda puteranya, Sang Ratu Sri Indreswari tidak mau mengutus Harwojo karena dia tahu bahwa Harwojo adalah seorang ksatria yang mengutamakan kesetiaannya terhadap Mojopahit, jadi bukan seperti ponggawa atau pengawal bayaran yang mau melakukan apa saja demi uang atau hadiah. Maka, apa yang dilakukan oleh pengawal utusan ratu yang menghubungi Suro Bargolo, sama sekali tidak diketahui oleh Harwojo dan ketika dia secara kebetulan melihat Lestari dilarikan, tentu saja dia cepat menolong dan menentang Suro Bargolo, tidak tahu sama sekali bahwa di balik semua peristiwa ini berdiri Sang Ratu kepada siapa dia sendiri menghambakan diri!

   "Kakangmas Harwojo, mengapa tidak mungkin?"

   Lestari berkata sambil memandang pria yang telah merebut hatinya itu dengan pandang mata penuh permohonan.

   "Tadinya,tidak pernah termimpi olehku bahwa aku akan dapat meninggalkan semua kedudukanku, semua cita-citaku. Akan tetapi setelah bertemu denganmu, Kakangmas, setelah aku menyerahkan segala-galanya kepadamu, aku yakin bahwa kebahagiaanku hanyalah berada di sampingmu. Aku seperti baru tergugah dari mimpi buruk dan baru terbuka mataku. Marilah, Kakangmas, mari kita pergi yang jauh, meninggalkan semua ini meninggalkan Mojopahit, di tempat sunyi.... jauh dari segala macam persoalan...."

   Harwojo membalik dan menghampiri Lestari, memeluknya. Lestari terisak dan menyambunyikan muka di dada orang yang dicintainya itu. Sejenak mereka diam dan hanya merasakan betapa getaran yang terasa di antara mereka adalah getaran yang amat kuat, yang selama ini belum pernah mereka rasakan.

   "Diajeng Lestari, aku cinta padamu, Hyang Wisesa mengetahui akan hal ini. Aku rela mengorbankan nyawa dan apa saja demi untuk dirimu, Diajeng. Akan tetapi, jangan minta aku melakukan hal itu. Kita tidak boleh melarikan diri, karena hal itu tentu akan membangkitkan kemarahan Resi Mahapati, bahkan Sang Pangeran sendiri akan menjadi marah. Kita tentu akan dicari-cari, dikejar-kejar...."

   "Kakangmas, pujaan hatiku yang gagah perkasa, jangan katakan bahwa aku takut..."

   "Engkau tahu bahwa aku tidak takut, kekasihku, tidak takut menghadapi apa pun demi untukmu. Akan tetapi aku tidak mau melihat engkau terancam bahaya......"

   "Aku tidak takut! Mereka boleh mengejar, mencari, boleh menghukum, menyiksa dan membunuhku, aku tidak takut! Apa pun yang terjadi atas diriku, asal aku berada bersamamu, Kakangmas, akan kuhadapi dengan senyum di bibir!"

   Harwojo mencium mulut yang mengeluarkan kata-kata yang amat menyenangkan hatinya itu, kemudian dia mengelus rambut yang hitam mulus dan panjang halus itu.

   "Bukan begitu, Dewiku. Aku tidak takut mati, akan tetapi aku amat takut melihat engkau sengsara. Aku tidak takut dianggap pemberontak akan tetapi aku ngeri kalau namamu disebut sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak. Sampai mati pun aku akan terus menyesal dan rohku akan menjadi setan penasaran kalau sampai menyebabkan engkau dikejar dan dihukum sebagai pemberontak. Tidak, Yayi, aku tidaklah sejahat itu. Tidak, Diajeng Lestari, engkau adalah selir Resi Mahapati yang mulia dan terhormat. Engkau bukan seorang wanita yang bebas. Sudah nasib kita begini....."

   "Kakangmas Harwojo....!"

   Lestari merangkul sambil menangis.

   "Setelah pertemuanku denganmu, apa kau kira aku akan sanggup lagi menyerahkan diriku kepada Resi Mahapati, kepada Pangeran, kepada siapapun juga? Aku adalah milikmu, Kakangmas, lahir batin....."

   Akan tetapi Harwojo tidak dapat dibujuk lagi. Setengah memaksa dia membantu Lestari menganakan pakaiannya yang robek, kemudian dia mengajak Lestari kembali ke Mojopahit di dalam kereta itu. Di sepanjang perjalanan itu, Lestari menangis terisak-isak. Terbayanglah semua pengalaman hidupnya dan dia menyesal bukan main.

   Dia merasa betapa dia telah menyia-nyiakan semua waktu hidupnya hanya dengan dendam dan sakit hati. Sekarang, setelah dia bertemu dengan orang yang dicintainya, semua telah terlambat. Harwojo tidak mau menyeret dia ke dalam kesengsaraan dan nama busuk. Seolah-olah hidupnya yang sekarang ini penuh kebahagiaan! Harwojo tidak tahu betapa hidupnya yang kelihatan senang dan mewah itu merupakan racun baginya! Ingin dia membunuh diri saja. Kalau saja Harwojo tidak telah menjanjikan bahwa pria yang dikasihaninya itu akan mau mengadakan pertemuan sewaktu-waktu, tentu dia sudah membunuh diri ketika Harwojo tidak mau memenuhi permintaannya untuk minggat berdua.

   Sementara itu, di Mojopahit, Resi Mahapati dan Sang Pangeran telah menjadi bingung dan khawatir. Kereta yang membawa Lestari lenyap tak meninggalkan bekas! Pangeran yang memanggil kekasihnya itu, yang telah penuh kerinduan menanti kedatangan wanita yang amat memikat hatinya itu, menjadi makin penasaran karena belum juga Lestari tiba. Padahal biasanya, setiap menerima panggilannya, wanita itu bergegas datang. Maka dia lalu mengirim utusan untuk menanyakan ke istana Resi Mahapati. Tentu saja Resi Mahapati terkejut bukan main mendengar penuturan utusan itu bahwa selirnya belum tiba di istana Pangeran. Padahal sudah sejak pagi tadi Lestari berangkat. Maka dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran,dia sendiri lalu meninggalkan rumahnya pergi ke istana Pangeran. Benar saja,tidak ada Lestari di sana dan wanita itu telah menghilang!

   Baik Resi Mahapati maupun Pangeran lalu mencari, mengutus orang-orang untuk mencari. Namun hasilnya sia-sia belaka. Semua rumah dan semua sudut kota raja telah diperiksa, namun sampai malam tiba, mereka tidak berhasil. Sang Resi menjadi resah sekali. Pada waktu itu, persaingan antara dua kelompok di Mojopahit sudah menjadi makin sengit dan sudah berubah menjadi pertentangan kelompok dan permusuhan secara terbuka. Dalam waktu beberapa bulan ini terjadi ketegangan-ketegangan, kematian-kematian yang aneh, pembunuhan-pembunuhan terselubung. Oleh karena itu, Resi Mahapati mulai menaruh curiga bahwa jangan-jangan selirnya itu diculik orang dengan maksud untuk memukul dia, ataukah memukul Sang Pangeran? Masih menjadi teka-teki yang takkan terjawab sebelum dia dapat menemukan kembali Lestari!

   Hanya Sang Ratu Sri Indreswari dan pengawal utusannya saja yang tahu apa yang terjadi. Sang Ratu Sri Indreswari tersenyum puas di dalam kamarnya. Siasatnya berhasil. Wanita tak tahu malu itu telah diculik dan tentu kini telah dibunuh. Puteranya bebas, bebas dari bahaya aib dan malu. Kini puteranya dapat menghadapi semua orang yang tidak menyukainya dengan dada dibusungkan, tanpa khawatir dihubungkan dengan wanita rendah itu! Dapat dibayangkan betapa gelisah rasa hati Resi Mahapati dan Sang Pangeran.

   Mereka berdua telah terikat oleh wanita itu dan sukarlah membayangkan hidup tidak dilengkapi adanya Lestari di samping mereka! Bagi Sang Pangeran, dia seperti seorang anak-anak yang memperoleh sebuah mainan baru yang tak dapat membosankan, amat mengasikkan dan menyenangkan. Maka tentu saja dia menjadi gelisah dan murung, takut kalau sampai kehilangan mainan yang disenanginya itu. Resi Mahapati lebih parah lagi. Dia amat khawatir. Dia tidak hanya amat mencinta Lestari yang dianggapnya amat cinta dan patuh kepadanya, juga amat setia. Semua rahasianya telah diketahui belaka oleh wanita itu sehingga kalau sampai Lestari terjatuh ke tangan orang lain, apalagi kalau terjatuh ke tangan musuh, sungguh amat berbahaya baginya. Dan kini dia memperoleh dua macam kesenangan dari diri Lestari.

   Kesenangan pertama yang tak pernah membosankan tentu saja pelayanan wanita itu terhadap dirinya. Dan ke dua, yang kini merupakan kesenangan tersendiri baginya, adalah mendengar penuturan Lestari tentang tingkah laku Sang Pangeran dalam bercinta setelah wanita itu kembali dari pertemuannya dengan Pangeran! Dan sekarang, dia terancam akan kehilangan semua itu! Tentu saja Resi Mahapti menjadi gelisah. Dia minta bantuan Resi Harimurti dan para jagoannya untuk mencari Lestari sampai dapat. Di lain pihak, Pangeran juga mengutus Ki Durgakelana, Ki Warak Jinggo dan Ki Sarpo Kencono untuk mencari Lestari sampai dapat.

   Akan tetapi, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika mereka sedang sibuk mengatur pasukan untuk mulai mencari keluar Mojopahit, mereka melihat kereta milik Resi Mahapati memasuki kota raja, dikusiri oleh Harwojo! Kereta itu langsung menuju ke rumah gedung Resi Mahapati dan berhenti di depan pekarangan depan. Harwojo dengan sigapnya lalu meloncat turun, membuka pintu kereta. Tirai tersingkap dan..... Lestari muncul dari dalam kereta, langsung lari memasuki rumah itu sambil menangis!

   Resi Mahapati dan Sang Pangeran yang sepagi itu sudah berada pula di situ, menegur, akan tetapi Lestari tidak memperdulikan sama sekali kapada mereka,langsung saja lari menangis memasuki kamarnya! Resi Mahapati terkejut bukan main. Belum pernah Lestari bersikap seperti itu terhadapnya, apalagi terhadap Sang Pangeran yang hadir di situ. Seolah-olah dia dan Pangeran tidak dianggap apa-apa oleh Lestari! Resi Mahapati sudah melangkah ke depan menyambut Harwojo. Pemuda itu kelihatan murung dan tenang.

   "Anakmas Harwojo! Apa yang telah terjadi? Bagaimana Andika dapat membawanya pulang?"

   Tanya Resi Mahapati dan Sang Pangeran juga berlari keluar. Melihat Sang Pangeran berada pula di situ, hati Harwojo seperti ditusuk rasanya. Lestari telah menjadi permainan dua orang laki-laki ini! Resi Mahapati yang tak tahu malu, yang menjual selirnya kepada Sang Pangeran demi untuk mencari kedudukan dan untuk menjilat Sang Pangeran! Dan Sang Pangeran, orang muda yang tak tahu malu, yang mau saja menerima hubungan itu di depan mata Resi Mahapati. Dan betapa Lestari merasa tersiksa harus melayani dua orang pria yang sama sekali tidak dicintanya. Kalau menurutkan hasrat hatinya, ingin rasanya dia menyerang dan membunuh dua orang pria yang telah menyiksa batin kekasihnya itu. Akan tetapi Harwojo tahu diri, dia cepat berlutut dan menyembah ketika melihat Sang Pangeran.

   "Ahh, kiranya Kakang Harwojo! Bagaimana engkau dapat membawa Lestari pulang, Kakang Harwojo? Ke mana saja dia pergi?"

   Kalimat terakhir ini mengandung kecurigaan dan cemburu besar, dan sepasang mata Sang Pangeran ditujukan kepada Harwojo dengan tajam.

   "Maaf, apakah boleh hamba bercerita di dalam saja?"

   Jawab Harwojo ketika melihat betapa banyak orang ponggawa dan pengawal merubung pendopo itu untuk melihat kembalinya Lestari dan apa yang sebenarnya terjadi. Juga mereka ingin sekali tahu ke mana perginya Darumuko yang tadinya mengusiri kereta itu.

   Resi Mahapati maklum bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang amat hebat, maka dia lalu mengangguk dan mempersilakan Sang Pangeran memasuki ruangan dalam,diikuti oleh dia dan Harwojo. Setelah tiba di dalam, Resi Mahapati mempersilakan Sang Pangeran duduk, dan Harwojo yang agak pucat mukanya juga dipersilakan duduk.

   "Nah, sekarang ceritakan, apa yang telah terjadi?"

   Tanya lagi Sang Pangeran dengan tidak sabar dan matanya berkali-kali menengok ke dalam di mana Lestari tadi lari memasuki kamarnya.

   "Kemarin pagi, selagi hamba berjalan di dekat pintu gerbang sebelah barat, hamba melihat kereta milik Paman Resi yang dikusiri oleh Kakang Darumuko lewat gerbang. Di samping Kakang Darumuko hamba melihat ada seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian seperti pengawal kerajaan, akan tetapi sikapnya amat mencurigakan. Juga di belakang kereta terdapat dua belas orang pengawal yang menunggang kuda,namun hamba sama sekali tidak mengenal seorang pun di antara mereka. Kecurigaan hamba makin keras, maka hamba lalu mencoba untuk mengejar kereta itu."

   Harwojo berhenti sebentar sedangkan dua orang pendengarnya mendengarkan penuh perhatian.

   "Karena kereta itu dan para penunggang kuda itu melarikan kuda amat cepat, sedangkan hamba hanya berjalan kaki, maka hamba tertinggal jauh. Hamba tetap mengejar dan akhirnya hamba melihat bekas tapak roda kereta memasuki hutan. Tentu saja hamba mekin curiga dan terus mengikuti jejak roda kereta itu. Akhirnya dari jauh hamba melihat kereta itu di tengah hutan....."

   "Apa yang terjadi? Siapa mereka?"

   Resi Mahapati bertanya dengan keinginan tahu yang memuncak.

   "Ketika hamba tiba di sana,"

   Kata Harwojo yang menunjukkan cerita itu kepada Sang Pangeran maka sikapnya masih terus menghormat.

   "Hamba melihat Kakang Darumuko telah rebah dan tewas....."

   "Ahh....!!"

   Resi mahapati berseru dan mengepal tinju saking marahnya mendengar betapa orang kepercayaannya itu tewas.

   "Teruskan..... teruskan....!"

   Sang Pangeran mendesak, makin tertarik.

   "Selain Kakang Darumuko yang sudah menggeletak tak bernyawa, di situ terdapat belasan orang kasar itu, sedangkan kepalanya yang bernama Suro Bargolo berada di dalam pondok bersama.... bersama di....... eh, bersama selir Paduka, Paman Resi!"

   Harwojo masih ingat untuk mengurungkan sebutan "diajeng"

   Terhadap Lestari.

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lalu bagaimana? Apa yang dilakukan oleh si keparat jahanam itu?"

   Sang Pangeran bertanya dengan mata terbelalak dan di dalam hati Harwojo terasa kenyerian yang membuat dia muak. Selir orang yang terancam malapetaka, Sang Pangeran ini yang kebingungan seperti monyet kebakaran jenggot!

   "Tidak apa-apa, atau belum, Gusti. Memang keparat itu hendak melakukan perbuatan terkutuk terhadap di.... terhadap selir Paman Resi, akan tetapi hamba keburu datang dan mencegah perbuatannya itu. Hamba bertempur melawan dia dan akhirnya hamba berhasil membunuh Suro Bargolo."

   "Hemm, si kaparat! Sayang engkau telah membunuhnya, Harwojo. Kalau tidak, tanganku sendiri yang akan mencokel keluar sepasang matanya, merobek dadanya dan mencabut keluar jantungnya, memecahkan kepalanya dan mengorek keluar otaknya!"

   Resi Mahapati berteriak, marah sungguh-sungguh.

   "Bagus, Harwojo, bagus sekali engkau telah dapat membunuhnya. Ha-ha, aku pasti akan memberi hadiah besar kepadamu, Kakang Harwojo?"

   Sang Pangeran berkata sambil tersenyum girang, puas dan lega hatinya mendengar bahwa kekasihnya selamat nyawanya, juga selamat pula kehormatannya.

   Harwojo menghaturkan terima kasih dengan sembah. Di dalam batinnya terjadi perang hebat. Di satu pihak, dia adalah seorang hamba yang setia dari Mojopahit dan dia harus menjunjung tinggi Sang Pangeran Pati yang menjadi sesembahannya setlah Sang Prabu dan Sang Ratu Sri Indreswari. Akan tetapi di pihak lain dia melihat Pangeran ini sebagai seorang di antara pria yang telah menyiksa batin kekasihnya!

   "Anakmas Harwojo, aku pun amat berterima kasih kepadamu. Lalu, bagaimana selanjutnya?"

   "Ya, bagaimana lanjutannya, Harwojo?"

   Sang Pangeran bertanya pula dengan suara halus dan ramah, suara seorang yang berterima kasih.

   "Anak buah Suro Bargolo lalu mengeroyok hamba. Akan tetapi hamba berhasil membunuh beberapa orang di antara mereka dan mereka lalu melarikan diri sambil membawa mayat Suro Bargolo dan teman-teman mereka."

   "Ah, kenapa tidak kau bunuh semua atau kau tangkap seorang di antara mereka hidup-hidup?"

   Resi Mahapati bertanya.

   "Kita harus mengetahui siapa yang menyuruh mereka Pasti ada yang menyuruh, kalau tidak, masa mereka berani memusuhi aku?"

   "Hamba tidak dapat..... hamba terluka parah dan hamba terus pingsan,"

   Kata Harwojo sambil menundukkan mukanya. Kini Resi Mahapati menggunakan pandang matanya yang waspada, memandang wajah orang muda itu.

   "Hemm, agaknya Andika terkena pukulan yang ampuh, Anakmas Harwojo. Jangan khawatir, aku akan mengobatimu."

   "Terima kasih, Paman Resi. Tidak perlu kiranya, sudah hampir sembuh. Memang hamba terkena pukulan ampuh dari senjata kolor Suro Bargolo."

   Tiba-tiba Sang Pangeran berseru heran.

   "Akan tetapi bukankah peristiwa itu terjadi kemarin pagi? Lalu kemarin siang, sore dan malam tadi...., mengapa kau tidak segera mengajak pulang Lestari?"

   Mendengar pertanyaan Pangeran ini, Resi Mahapati juga memandang penuh kecurigaan. Harwojo menundukkan mukanya. Sukar baginya untuk menjawab. Semalam? Dia bermain cinta dengan Lestari! Apa yang harus dijawabnya?

   Pada saat itu, terdengar suara Lestari.

   "Kakangmas Resi Mahapati! Gusti Pangeran! Harwojo telah mempertaruhkan nyawa untuk hamba, akan tetapi mengapa Paduka sekalian masih mencurigainya?"

   Tiga orang itu memandang dan melihat Lestari muncul dari pintu dalam. Dia telah berganti pakaian bersih dan indah. Rambut yang disisir rapi dan biarpun wajahnya masih agak pucat, matanya sayu, mata orang yang kurang tidur, namun dia sudah kelihatan segar kembali. Tadi dia diam-diam mendengarkan dari balik pintu dan mendengar Pangeran mendesak Harwojo dan bersikap mencurigai, dia cepat muncul dan mengeluarkan kata-kata itu.

   "Dia hampir mati oleh luka-lukanya, pundaknya robek berdarah kena senjata, dia nyaris mati dan baru tadi pagi tadi dia sadar dari pingsannya terus mengantar hamba pulang. Kalau tidak ada dia, entah apa saja jadinya dengan hamba!"

   Sang Pangeran bangkit dari tempat duduknya, melihat sinar matanya dan gerak-geriknya, ingin sekali dia menghampiri Lestari. Kalau tidak ada orang lain di situ, tentu sudah ditubruknya wanita itu. Akan tetapi dia malu terhadap Harwojo, maka dia duduk kembali.

   "Hamba.... hamba luka parah, pukulan kolor itu amat dahsyat, hamba terluka di sebelah dalam dada, dan bacokan golok melukai pundak hamba..... harap ampunkan hamba yang tidak dapat mengantarnya kemarin....."

   "Dia rebah pingsan, hampir mati, mana bisa mengantar hamba?"

   Lestari berkata lagi.

   Resi Mahapati mengangguk-angguk.

   "Sungguh besar jasamu, Anakmas Harwojo. Kami berterima kasih sekali."

   "Kau pulanglah, Harwojo, dan nanti akan kukirim hadiah untukmu,"

   Kata Pangeran.

   Harwojo menghaturkan terima kasih menyembah dan mengundurkan diri tanpa berani melirik ke arah Lestari. Sang Pangeran juga berpamit dan berpesan agar setelah lenyap kagetnya, Lestari suka datang ke istananya.

   "Untuk menceritakan semua pengalamannya yang hebat itu", kata Sang Pangeran.

   Akan tetapi, Sang Pangeran terpaksa harus mengalami kekecewaan besar. Semenjak terjadinya peristiwa penculikan atas dirinya itu, Lestari tidak pernah lagi memenuhi panggilannya! Ada saja alasan yang dikemukakan oleh Lestari, sedang tidak enak badan dan sebagainya. Bahkan ketika secara terpaksa sekali, karena bujukan Resi Mahapati yang merasa khawatir sekali menyaksikan sikap selirnya itu, Lestari datang juga memenuhi panggilan ke istana Pangeran, dia tidak bersedia melayani gelora cinta Sang Pangeran, dengan alasan bahwa badannya tidak enak. Dia menerima cumbuan Sang Pangeran, akan tetapi hanya terbatas sampai di situ saja, dan minta tempo sampai lain kali kalau tubuhnya terasa sehat dan hatinya tidak dilanda ketakutan.

   "Gusti, harap ampunkan hamba. Peristiwa tempo hari itu membuat hamba menjadi ketakutan setiap kali menghadapi rayuan pria. Kepala perampok itu amat kejam,amat mengerikan...."

   Katanya sambil menangis dan terpaksa Sang Pangeran "melepaskannya".

   Bukan hanya terhadap Sang Pangeran Lestari menghindarkan diri. Juga terhadap Sang Resi Mahapati sendiri! Dia tidak pernah mau melayani Sang Resi dengan alasan-alasan yang sama! Dan kini dia lebih sering keluar dari rumah dan memang dia selalu memperoleh kebebasan dari Sang Resi. Kemanakah dia pergi yang hampir dilakukan setiap hari dan paling lama dua hari sekali itu? Kemana lagi kalau bukan mengadakan pertemuan dengan Harwojo! Dan pemuda itu tidak mampu menolak permintaan Lestari untuk mengadakan pertemuan dan saling mencurahkan kasih sayang mereka. Di dalam hutan itu! Di dalam pondok bekas sarang Suro Bargolo itu, di mana mereka memadu kasih! Makin dalam Lestari terbenam ke dalam kasih sayangnya terhadap pemuda itu. Perasaan yang belum pernah dirasakannya dan yang membuatnya tersiksa setengah mati!

   "Kakangmas, bawalah aku pergi.... tidak tahan lagi aku hidup di rumah Sang Resi. Ketahuilah, semenjak pertemuan kita itu, aku selalu menghindarkan diri, aku selalu menolak kasih sayang Sang Resi maupun Sang Pangeran..... dan aku takut bahwa aku tidak akan mungkin dapat menolak terus-menerus, Kakangmas...."

   (Lanjut ke Jilid 33)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 33

   Harwojo mengelus rambut dari kepala yang bersandar pada dadanya. Diciumnya dahi yang basah oleh keringat itu, di mana menempel anak-anak rambut dahi melingkar dengan indahnya, seperti dilukis.

   "Lestari, mengapa engkau menolak mereka? Bukankah Sang Resi adalah suamimu dan bukankah sudah lama Sang Pangeran menguasai dirimu?"

   "Kakangmas.....!"

   Lestari menjerit kecil dan menangis sedih.

   Harwojo merangkulnya.

   "Maafkan aku, sayang. Bukan maksudku untuk menyakiti hatimu, melainkan aku mengucapkan hal yang memang menjadi kenyataan, betapapun kenyataan itu selalu mengiris jantungku."

   Lestari mengusap air matanya.

   "Kakangmas, telah kuceritakan betapa dahulu aku menerima semua itu dengan batin tertekan. Betapa hanya tubuhku saja yang dapat mereka miliki, akan tetapi hatiku selalu kosong. Kemudian, setelah aku bertemu denganmu, Kakangmas, setelah aku menyerahkan badan dan hatiku kepadamu seorang, betapa mungkin lagi aku dapat melayani mereka atau siapapun juga di dunia ini? Tidak, aku lebih baik mati daripada harus membiarkan diriku dijamah oleh orang laki-laki lain!! Karena itu, bawalah aku pergi, Kakangmas......!"

   Harwojo menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

   "Sukar bagiku untuk mengkhianati Mojopahit, Diajeng. Dan kalau aku membawamu pergi, melarikanmu,sudah pasti sekali aku akan dianggap sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak."

   "Aku tidak takut!"

   Bentak Lestari.

   "Aku pun tidak takut, Diajeng, aku tidak takut akan hukuman. Akan tetapi aku ngeri membayangkan bahwa aku telah menjadi pengkhianat dan pemberontak. Tidak,aku mau mati untukmu, akan tetapi jangan minta aku menjadi pengkhianat. Biarlah kita menyambung hubungan cinta kita sementara ini secara begini, sayang........."

   "Akan tetapi engkau tidak tahu betapa hebat penderitaanku setelah aku harus berpisah darimu, setelah aku harus kembali ke rumah Sang Resi. Dan setiap waktu terancam bahaya! Aku tidak sudi lagi dijamah Sang Resi atau Sang Pangeran! Kakangmas, kasihanilah diriku."

   "Aku cinta padamu, Diajeng, akan tetapi hal itu tidak mungkin....."

   "Kalau begitu, dekaplah aku, peluklah aku sampai mati......!"

   Lestari memeluk kekasihnya dan sambil menangis dan merintih dia dan Harwojo kembali saling mencurahkan cinta mereka dengan penuh kemesraan.

   Matahari telah condong ke barat ketika keduanya terdengar bicara lagi, setelah untuk waktu yang agaknya tanpa batas itu mereka terlena setengah tidur dan setengah sadar, dalam ketenangan dan kedaimaian yang amat nikmat sehingga mereka lupa akan diri, lupa akan keadaan, lupa akan waktu dan lupa segalanya.

   "Nimas, hari telah sore. Engkau harus kembali......"

   Kata Harwojo, suaranya mengandung penuh perasaan sesal dan duka, seperti yang selalu dirasakannya kalau dia herus berpisah dengan kekasihnya itu biarpun hampir setiap hari dia dapat mengadakan pertemuan asyik dan masyuk dengan Lestari.

   "Apa....? Hemmmmm....!"

   Lestari menutupi mulutnya untuk menahan kuap dan kantuk.

   "Sudah sore..... ahhh, biar saja, Kakangmas...."

   Dia malah merangkul leher dan membenamkan mukanya di samping dada Harwojo.

   "Eh, sudah menjelang senja, Jangan sampai kemalaman engkau pulang."

   Harwojo mencoba hendak bangun, akan tetapi Lestari mempererat dekapannya, bahkan dia menarik leher pemuda itu dan mencium dengan penuh kemesraan. Perasaan sayang yang amat besar datang mengakun, memenuhi dada Harwojo dan dia pun balas merangkul dan kembali keduanya tenggelam ke dalam buaian kasih sayang. Mereka tidak sadar bahwa malam telah tiba, bahwa di luar sudah amat gelap dan lebih-lebih lagi, mereka tidak tahu betapa ada bayangan-bayangan banyak orang memasuki hutan itu dan menyelinap di antara pohon-pohon, mengurung pondok itu! Sudah hampir dua bulan mereka sering mengadakan pertemuan di tempat ini dan merasa bahwa tempat itu amat aman dan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu akan pertemuan itu.

   Mereka tidak tahu bahwa peritiwa pulangnya Lestari dari hutan, lolosnya wanita ini dari malapetaka dan dari cengkeraman maut di tangan Suro Bargolo dan anak buahnya, disambut dengan tangan terkepal dan mata bersinar marah oleh Sang Ratu Sri Indreswari! Apalagi ketika mendengar bahwa penyelamat wanita itu adalah pengawal kepercayaannya sendiri, Harwojo! Akan tetapi tentu saja puteri ini tidak dapat melampiaskan kemarahannya secara terbuka. Dia lalu memanggil pengawal yang diutusnya untuk membunuh Lestari itu, memarahinya karena kegagalannya, lalu memerintahkan untuk mencari jalan lain agar wanita itu dapat dilenyapkan dari muka bumi.

   Pengawal itu menjadi ketakutan dan juga diam-diam dia marah kepada Harwojo yang telah menggagalkan rencana itu sehingga dia yang menerima kemarahan dari Sang Ratu. Maka dia lalu menyebar para pembantunya untuk memata-matai Lestari,mencari kesempatan untuk melakukan siasat lain agar wanita itu dapat dibunuh sesuai dengan perintah Sang Ratu.

   Dan ketika kaki tangannya membayangi Lestari itu, dengan sendirinya mereka melihat pertemuan-pertemuan mesra yang diadakan oleh Lestari dan Harwojo! Cepat-cepat mereka lalu melapor kepada utusan Sang Ratu dan utusan itu menjadi girang sekali, cepat pula menyampaikan berita yang tak tersangka-sangka itu kepada Sang Ratu, yaitu bahea Lestari dan Harwojo telah saling jatuh cinta dan hampir setiap hari mengadakan pertemuan di dalam pondok bekas sarang Suro Bargolo itu!

   "Ah, begitu ya?"

   Sang Ratu Sri Indreswari mengosok-gosok kedua tangannya dengan girang sekali.

   "Bagus, kalau begitu tidak perlu kita sendiri yang turun tangan melenyapkan wanita tak tahu malu itu. Biar pangeran sendiri melihat bepata perempuan hina yang memikat hatinya itu bukan lain hanyalah seorang pelacur! Dan biarlah Si Harwojo itu menerima bagiannya pula karena dialah yang telah menggagalkan rencana pertama kita!"

   Ratu Indreswari yang cerdik itu lalu menyuruh orang-orangnya untuk menyampaikan berita ini kepada Resi Mahapati dan juga kepada Pangeran Kolo Gemet. Menerima berita ini, baik Resi mahapati maupun Pangeran Kolo Gemat menjadi marah bukan main. Kalau bukan utusan Sang Ratu

   yang menyampaikan berita itu, pasti telah mereka bunuh. Mereka lalu mengadakan pertemuan dan keraguan mereka lenyap,kecurigaan mereka timbul karena mereka teringat betapa semenjak peristiwa penculikan itu, tidak satu kali pun Lestari pernah mau melayani Sang Resi maupun Sang Pangeran!

   Demikianlah pada hari itu, ketika seperti biasa Lestari meninggalkan istana Sang Resi, sepasukan pengawal diam-diam membayanginya. Mereka ini adalah utusan dari Pangeran Kolo Gemet. Para pengawal itu bersembunyi dan melihat bepata Lestari memasuki hutan dan pergi ke pondok sunyi di tengah hutan itu. Dan mereka melihat betapa di situ telah menanti Harwojo, betapa mereka berdua yang bertemu di depan pondok itu saling peluk, saling cium, kemudian sambil masih berpelukan meraka memasuki pondok! Diam-diam pemimpin pasukan segera mengutus anak buahnya melapor kepada pangeran dan seorang anak buah lain disuruh melapor kepada Resi Mahapati. Dua orang itu memang sedang menanti hasil penyelidikan para pasukan itu maka begitu menerima laporan, mereka lalu meninggalkan istana masing-masing dan bertemu di dalam hutan itu pada senja hari itu. Kemudian, pangeran dan Sang Resi memimpin pasukan untuk mengepung pondok di mana dua orang yang sedang dibuai asmara itu sedang mencurahkan kasih sayang mereka dan melupakan dunia!

   "Manis, malam telah datang..... ah, lihatlah betapa gelapnya...."

   Harwojo berkata, suaranya mengandung kekhawatiran.

   "Ehmmmm......"

   Lestari mengeliat, seperti seekor kucing malas bangun tidur dan jari tangannya meraba-raba wajah pemuda itu.

   "Biar gelap, aku dapat mengenalmu, Kakang mas.."

   "Hush, sudah gelap benar-benar...."

   "Apa bedanya? Sejak tadi aku pun tidak pernah membuka mata...."

   Lestari kini membuka matanya dan berkata.

   "Ah, benar. Mengapa sudah gelap begini dan engkau belum menyalakan lampu?"

   "Kau tidak ingat, minyak di lampu itu habis."

   "Kalau begitu, biar gelap. Kita tidur...., aku lelah sekali.... hemmm...."

   "Eh, jangan. Kita harus bangun, dan kau harus pulang. Mari kuantar....."

   "Tidak, aku tidak mau pulang, Kakang mas. Aku ingin begini selamanya....."

   "Diajeng...."

   Tiba-tiba Harwojo menghentikan kata-katanya dan dia bangkit duduk, memasang telinga memperhatikan suara yang didengarnya di luar pondok.

   "Kakang...."

   "Sstttttt......!"

   Harwojo mendekap mulut kekasihnya dan mendekatkan mulut ke telinga Lestari sambil berbisik.

   "Aku mendengar suara.... kau jangan bergerak, biar kuselidiki......"

   Lestari juga terkejut, bangkit duduk, matanya terbelalak mencoba menembus kegelapan dan melihat remang-remang bayangan kekasihnya menuju ke pintu pondok. Sunyi sekali, sunyi yang amat menegangkan hati Lestari. Tak lama kemudian dia melihat bayangan kekasihnya menyelinap masuk dan langsung merangkulnya. Dada kekasihnya itu berombak, napasnya memburu dan kedua lengan yang memeluknya itu agak menggigil.

   "Ada apakah....?"

   Lestari berbisik.

   Sejenak Harwojo tidak menjawab, kemudian berbisik kembali.

   "Kita celaka.... pondok sudah dikurung...."

   "Siapa mereka, Kakangmas?"

   "Agaknya para pengawal....."

   Wajah Lestari menjadi pucat sekali, dia mencengkeram lengan pemuda itu.

   "Kakangmas Harwojo, engkau adalah seorang yang mempunyai kepandaian, engkau tangkas dan gagah. Lekas kau melarikan diri, lekas....! Jangan sampai kau tertangkap...."

   "Kau....?"

   "Aku? Biarlah, jangan memikirkan aku, Kakangmas. Yang penting, engkau harus dapat melarikan diri....."

   "Hemmm, kaukira aku dapat hidup tanpa engkau?"

   "Jangan mengkhawatirkan aku..... mereka sayang padamu....., aku dapat menjaga diri dan diriku tidak penting.... ah, cepatlah kau larilah, Kakangmas, jangan pedulikan aku....."

   "Tidak! Kalau aku dapat lari, engkau pun harus dapat lolos."

   "Kalau begitu, mari kita terjang mereka! Mari kita keluar bersama, Kakangmas!"

   Kata Lestari dengan suara gagah sedikit pun tidak merasa takut.

   Bangkit semangat Harwojo oleh suara kekasihnya ini. Dia membantu Lestari mengencangkan sabuk yang membelit pinggangnya, kemudian dia merangkul wanita itu dengan lengan kiri sedangkan tangan kanannya sudah menghunus kerisnya, siap untuk menerjang keluar. Akan tetapi pada saat itu, nampak cahaya terang menerobos memasuki pondok. Ketika dua orang di dalam pondok itu terkejut dan melihat dari celah-celah pintu bahwa cahaya itu adalah banyak obor yang dinyalakan orang, tiba-tiba mereka makin dikejutkan oleh suara yang amat mereka kenal.

   "Harwojo pengkhianat dan pemberontak laknat! Hayo kau keluar dan merangkak di depan kakiku!"

   Itulah suara Sang Pangeran! Lemaslah seluruh tubuh Harwojo mendengar suara junjungannya ini, tangannya yang merangkul pinggang Lestari menggigil.

   "Lestari, perempuan rendah! Keluarlah engkau!"

   Dan itu adalah suara Resi Mahapati!"

   "Celaka.... Diajeng.... matilah kita..."

   Melihat kekasihnya menggigil, Lestari segera merangkulnya.

   "Engkau takut mati, Kakangmas?"

   "Engkau tahu, aku tidak takut itu".. hanya".. ah, Gusti Pangeran di sana".. ah, aku menjadi pengkhianat".."

   Pemuda itu terhuyung dan cepat Lestari merangkul dan menariknya kembali ke atas pembaringan. Lestari mengambil keris dari tangan pemuda itu karena tangan itu menggigil. Pemuda itu duduk di atas pembaringan, napasnya memburu dan tubuhnya lemas.

   Lestari merangkulnya makin ketat, lalu berbisik di telinganya.

   Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kakangmas Harwojo, apakah engkau cinta padaku, Kakangmas?"

   "Masih tidak percayakah engkau, Nimas? Aku cinta padamu."

   "Engkau mau mati untukku?"

   "Setiap saat!"

   Lestari menciumnya.

   "Aku tidak minta kau mati untukku, Kakangmas, akan tetapi aku minta kepadamu, untuk penghabisan kali... harap kau jangan menolak..."

   "Kau minta apa? Asal jangan menyuruh aku memberontak terhadap Gusti Pangeran."

   "Aku tahu, aku sudah mengenal watakmu, Kakangmas, dan watakmu itu menambah kekagumanku kepadamu. Tidak, aku tidak minta agar kau meberontak. Aku hanya minta agar engkau suka menciumku.... ah, Kakangmas, untuk yang terakhir kali, cintailah diriku..."

   Lestari sudah merangkul dan memaksa Harwojo rebah di atas pembaringan, menciumnya dan membelainya, tanpa memberi kesempatan kepada Harwojo untuk membantah lagi. Dan Harwojo maklum bahwa pada saat terakhir itu, di mana keduanya pasti akan ditangkap, pasti akan saling berpisah, mungkin akan dihukum mati, kekasihnya ingin agar dia membuktikan cinta kasihnya. Maka dia pun mengusir semua pikiran, merangkul wanita yang dicintainya itu sepenuh perasaan hatinya.

   Di luar Sang Pangeran dan Sang Resi membentak-bentak menyuruh dua orang itu keluar dan menyerahkan diri. Akan tetapi, Lestari dan Harwojo tidak memperdulikan, bahkan tidak mendengar suara mereka. Terdengar Lestari terisak, merintih lalu merangkul ketat. Harwojo terkejut, merasa dadanya basah. Dia meraba dadanya, meraba dada kekasihnya dan dia hampir menjerit. Di situ, di tengah-tengah dada Lestari, di antara sepasang bukit dada itu, tepat di ulu hati menancap keris tadi, menancap sampai ke gagangnya! Dan yang basah-basah itu adalah darah yang masih mengalir keluar dari dada kekasihnya itu!

   "Diajeng...!"

   Dia berbisik, lehernya seperti dicekik rasanya. Lestari merintih lirih.

   "Aku rela mati..... Kakangmas, aku mati dalam keadaan bahagia dan puas.... aku.... aku telah membuang semua dendam dan cita-cita... aku mati dalam cinta... ah, aku... aku mati bahagia, Kakangmas.... ahhh..."

   "Diajeng Lestari...!!"

   Kini Harwojo menjerit, suaranya menyeramkan, terdengar sampai keluar pondok.

   Resi Mahapati menyerbu ke dalam, menendang pintu pondok sampai roboh. Dia dan pangeran lalu masuk, didahului oleh beberapa orang pengawal yang memegang obor diatas kepala. Banyak obor menerangi dalam pondok. Resi Mahapati dan Pangeran Kolo Gemet menghampiri pembaringan di mana mereka melihat dua sosok tubuh itu dan mereka terbelalak!

   "Jagat Dewa Bathara...!"

   Resi Mahapati menggumam.

   "Keparat jahanam.....!"

   Sang Pangeran memaki penuh cemburu dan iri hati.

   Mereka masih berpelukan, berselimutkan kain panjang Lestari yang penuh darah, mulut mereka saling berdekatan seperti tertidur karena kelelahan dan penuh kepuasan. Lengan mereka saling rangkul penuh kemesraan, bahkan kaki kanan Lestari menggait kaki Harwojo seolah-olah dia tidak ingin melepaskan kekasihnya itu. Dan keduanya telah tak berdaya lagi! Keris yang menancap di dada kiri Harwojo masih dialiri darah yang memancur melalui gagangnya.

   "Bakar pondok ini! Bakar semua!"

   Perintah pengeran itu dengan penuh kegeraman, lalu ia melangkah keluar diikuti ileah Resi. Mahapati setelah resi ini memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa kedua orang itu memang telah mati. Bahkan ia mencoba menarik lengan Lestari yang merangkul leher Harwojo, dan menarik lengan Harwojo yang merangkul pinggang Lestari, namun lengan-lengan itu ternyata telah menjadi kaku!

   Resi Mahapati tidak berani membantah kehendak pangeran yang marah itu, maka dengan hati penuh duka dia melihat pondok itu dibakar dengan obor-obor para pengawal dan sebentar saja menjadi kobaran api yang menjulang tinggi, membakar semua yang berada di dalam pondok! Namun diam-diam Resi Mahapati dapat menikmati kelegaan hatinya karena bersama matinya lestari, bersama lenyapnya wanita yang dicintainya itu, lenyap pula bahaya bahwa semua rahasianya akan diketahui orang lain karena Lestari merupakan satu-satunya orang didunia ini yang tahu akan semua rencana hidupnya yang dirahasiakan.

   Pada saat api berkobar membakar pondok dimana terdapat jenazah Harwojo dan Lestari itu, tiba-tiba datang sepasukan pengawal utusan dari istana yang membawa kabar bagi sang Pangeran. Tenyata bahwa penyakit yang diderita oleh Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana menjadi mekin berat dan kini keadaaan Sri Baginda menjadi gawat sehingga para isteri Beliau perlu untuk memberi tahu kepada seluruh keluarga dan tentu saja Sang Pangeran Pati merupakan orang pertama yang diberitahu dan dipanggil oleh ibu kandungnya.

   

Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini