Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 33


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 33



Mendengar berita dan panggilan ini, Sang Pangeran terkejut dan cepat dia meninggalkan tempat itu diiringkan para pengawal menuju langsung ke istana Kerajaan Mojopahit. Sedangkan Resi Mahapati juga cepat pergi meninggalkan hutan itu setelah meninggalkan pesan kepada beberapa orang pengawal untuk melanjutkan dan menjaga pembakaran pondok dan dua buah jenazah itu sampai habis. Hatinya berdebar tegang. Saat yang dinanti-nantinya agaknya telah mendekat. Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana sakit gawat!

   Akan tetapi ketika tiba di dalam gedungnya, Resi Mahapati merasakan sesuatu kekosongan yang mencekam hatinya. Kekosongan hidup tanpa adanya Lestari di sampingnya. Ketika dia memasuki kamarnya, melihat pembaringan di mana biasanya Lestari menyambutnya dengan kedua lengan terbuka dan senyum menggairahkan, Sang Resi mengeluarkan keluhan lirih dan menjatuhkan diri menelungkup di atas pembaringan itu. Sudah terlalu kuat dia mengikatkan diri kepada wanita itu sehingga kehilangan yang tiba-tiba ini amat berat dirasakannya. Bukan hanya merasa kehilangan seorang wanita yang dapat menghibur hatinya, melainkan juga kehilangan seorang kawan seperjuangan, seorang pembantu yang mempunyai kecedikan yang dapat diandalkan! Akan tetapi, kesedihan yang menggerogoti hati Sang Resi ini segera diusirnya.

   Dia memiliki tugas yang lebih penting, cita-citanya belum terlaksana dan atau tidak adanya Lestari di sampingnya tidak akan merubah dilanjutkannya cita-cita itu! Dia bangkit duduk, dan memanggil pengawal dan memerintahkan pengawal itu untuk segera memanggil Resi Harimurti yang menjadi pembantu utamanya.

   Tak lama kemudian Resi Harimurti datang dan kedua orang resi itu lalu mengadakan perundingan di ruangan dalam, merundingkan keadaan Sang Prabu yang sakit gawat,dan tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi apabila Sang Prabu meninggal dunia dan Sang Pangeran Pati menggantikan kedudukan Sang Prabu, kemungkinan tentang pergeseran dalam kedudukan-kedudukan para menteri dan senopati. Mereka berdua sependapat bahwa satu-satunya orang yang memegang kekuasaan besar dalam pemerintahan adalah Ki Patih Nambi, oleh karena itu, mengingat bahwa Ki Patih Nambi tidak mungkin dijadikan sekutu mereka, maka harus dicari jalan untuk menyingkirkan Sang Patih itu.

   "Dengan adanya Ki Patih Nambi, Andika tidak akan dapat leluasa bergerak, Adi Resi,"

   Kata Resi Harimurti.

   "Benar,"

   Jawab Resi Mahapati sambil mengepal tinjunya.

   "Hanya melalui mayat Si Nambi sajalah maka kita akan dapat memperoleh kedudukan yang paling tinggi dan dekat dengan Pangeran Kolo Gemet."

   Dua orang resi yang memiliki kesaktian ini namun lemah terhadap nafsu keinginan mereka sendiri untuk memperolah kemuliaan dan kedudukan setingginya, mengadakan perundingan sampai jauh malam. Sementara itu, menjelang tengah malam, terdengar jerit tangis di dalam istana.

   Jerit tangis para wanita yang terdengar dari dalam kamar Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana telah meninggal dunia! Pesan terakhir yang diucapkan oleh Sang Prabu itu kepada para isteri, anak dan para pembesar tinggi yang hadir adalah bahwa Sang Pangeran Kolo Gemet harus menggantikannya menjadi raja di Mojopahit, dan dia memesan kepada puteranya itu agar tetap mempertahankan kedudukan Ki Patih Nambi sebagai patih dan penasihat! Pesan ini disaksikan oleh para isteri dan para ponggawa yang hadir sehingga biarpun di dalam hatinya Sang Pangeran tidak setuju untuk mempertahankan Ki Patih Nambi sebagai patihnya, namun tentu saja dia tidak berani membantah.

   Seluruh Mojopahit berkabung atas kematian Sri Baginda Raja Kertarajasa Jayawardhana yang meninggal pada tahun saka 1231 {Masehi 1309}. Jenazahnya dimakamkan di dalam sebuah pura yang dinamakan Antahpura dan sebagai peringatan didirikanlah arca Jina di dalam pura dan arca Sang Bathara Shiwa di samping. {Baca tentang peristiwa ini dalam buku Menuju Puncak Kemegahan, sejarah Kerajaan Mojopahit tulisan Prof. Dr. Slamet Mulyono yang mengomentari tentang catatan-catatan dalam Kidung Ronggo Lawe, Kidung Sorandaka, Pararaton, Negarakretagama dan lain-lain, dari mana catatan sejarah dalam cerita ini diambil.} Akan tetapi di dalam perkabungan itu, terdapat pula banyak orang bergembira karena pengangkatan Pangeran Pati Kolo Gemet menjadi Raja Mojopahit menggantikan Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana telah mendatangkan keuntungan bagi mereka.

   Mereka adalah para ponggawa yang tetap dalam kedudukan mereka, dan ponggawa-ponggawa baru yang diangkat atas pilihan Sang Pangeran dan tentu saja atas nasihat ibundanya, yaitu Sri Indreswari yang kini menjadi ibu suri! Tentu saja banyak pula yang merasa kecewa, yaitu mereka yang tidak tercapai cita-citanya. Di antara mereka yang kecewa ini terdapat Resi Mahapati. Biarpun dia masih menjadi orang yang dipercaya oleh Sang Pangeran dan ibundanya, namun kedudukan yang diidam-idamkannya, yaitu menjadi patih, tidak dapat terlaksana oleh karena Ki Patih Nambi masih tetap menjadi patih, sesuai dengan pesan terakhir dari Sang Prabu yang telah meninggal dunia itu.

   Pangeran Kolo Gemet kini menjadi raja di Mojopahit dengan julukan Sang Prabu Jayanagara. Tentu saja, pengangkatan ini menimbulkan pertentangan yang diam-diam terjadi di antara keluarga kerajaan dan juga di antara para pembesar. Para pembesar yang tua, mereka yang setia kepada darah keturunan Sang Prabu Kertanegara, diam-diam menentang pengangkatan Pangeran Kolo Gemet menjadi Raja Mojopahit. Bagi mereka ini, raja yang sekarang diangkat ini bukanlah merupakan keturunan murni dari Sang Prabu Kertanegara, melainkan keturunan yang bercampur dengan darah Negara Melayu!

   Dan hal ini benar-benar tak dapat mereka terima dengan senang hati! Di samping itu, para ponggawa yang setia kepada darah keturunan murni dari Prabu Kertanegara tentu saja mengharapkan agar raja di Mojopahit adalah keturunan dari empat orang ratu yang lain, yaitu Sang Permaisuri sendiri, Dyah Tribuana, atau tiga orang saudaranya, yaitu Dyah Nara Indraduhita, Dyah Gayatri atau Dyah Jaya Indera Dewi. Keturunan keempat orang puteri ini sajalah yang menurut mereka patut menduduki Mojopahit dan menjadi sesembahan mereka, bukan keturunan puteri dari Melayu!

   Setelah Sang Prabu Jayanagara naik tahta, segera raja yang muda ini, atas nasihat dan desakan ibudannya, Sang Ibu Suri, mulai menjalankan "pembersihan"

   Di kalangan ponggawa dan senopati! Mereka yang dianggap berbahaya dan tidak setia terhadap kelompok mereka, segera digeser kedudukan mereka, bahkan banyak yang dibebas tugaskan! Maka terjadilah geger akibat tindakan Sang Prabu Jayanagara ini! Pemerintahan dilakukan dengan tangan besi dan siapa menentang tentu dibasmi! Hal ini tentu saja membuat Ki Patih Nambi merasa bingung dan gelisah sekali.

   Hanya berkat kebijaksanaan Ki Patih Nambi saja maka tindakan Sang Prabu yang masih muda itu tidak sampai berlarut-larut. Dengan berani Ki Patih Nambi berusaha melunakkan perintah Sang Prabu dan karena KI Patih Nambi masih "diakui"

   Dan pengangkatannya merupakan pesan terakhir dari mendiang Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana, maka Sang Prabu yang muda itu tidak berani menekannya. Betapapun juga, semenjak Sang Prabu Jayanagara naik tahta, Ki Patih ini mengalami guncangan-guncangan batin yang hebat sehingga tubuhnya menjadi kurus dan dia kelihatan lebih tua daripada usianya.

   Dan harus diakui bahwa tanpa adanya Ki Patih Nambi yang bijaksana, agaknya perang saudara sudah pecah di Mojopahit setelah kematian Sang Prabu Kertarajasa, perang saudara memperebutkan kekuasaan. Namun pengaruh dam kewibawaan Ki Patih Nambi masih terasa sehingga dialah yang dapat meredakan semua kemarahan dan dapat memadamkan api sebelum berkobar. Betapapun juga, selalu terasa adanya ketegangan-ketegangan di Mojopahit dan agaknya Mojopahit masih belum terhindar dari kemelut yang masih selalu mengancamnya semenjak terjadinya pemberontakan Adipati Ronggo Lawe.

   Atas usul Ki Patih Nambi pula, yang amat bijaksana dan yang ingin mencegah terjadinya pecah perang saudara yang pecah karena perebutan kekuasaan dari para keturunan raja dan juga atas persetujuan Ibu Suri Sri Indreswari, akhirnya dua orang puteri dari isteri-isteri mendiang Sang Prabu, keturunan dari Sang Prabu Kertanegara, oleh Sang Prabu Jayanagara diberi kedudukan. Yaitu, puteri dari permaisuri, Dyah Tribuana, yang bernama puteri Tribuawanatunggaldewi, diangkat menjadi rani aiatu ratu di Kahuripan. Sedangkan yang ke dua adalah Rajadewi Mahrajasa, puteri dari Sang Dyah Gayatri yang diangkatnya menjadi rani atau ratu di Daha. Gelar atau julukan bagi kedua orang puteri ini adalah Bhreng Kahuripan dan Bhreng Daha.

   Biarpun dengan cara demikian Ki Patih Nambi berhasil agak meredakan rasa penasaran, namun betapapun juga, Kahuripan dan Daha masih berada di dalam kekuasaan Mojopahit, dan Sang Prabu Jayanagara dengan jelas sekali memperlihatkan kekuasaannya yang mutlak atas kedudukan kedua orang saudara tirinya itu.

   Ibu suri Sri Indreswari juga mempunyai banyak penasihat dan kaki tangan, di antara mereka terdapat pula Resi Mahapati yang dalam hal ini bertindak secara tidak resmi menjadi penasihatnya, melainkan hanya bertindak seolah-olah menjadi orang penengah, padahal Resi Mahapati inilah yang paling banyak memberi nasihat dan siasat kepada Sri Indreswari yang masih mengendalikan puteranya yang muda.

   "Puteraku, kita harus melanjutkan cita-cita Kanjeng Ramamu yang ingin melihat Mojopahit tidak sampai terpecah-belah,"

   Pada suatu hari Ibu Suri berkata kepada Sang Prabu Jayanagara.

   "Dan hal itu baru dapat terlaksana kalau di antara keluarga keturunan Kanjeng Ramamu tidak sampai terpecah belah. Aku mendengar bahwa saudara-saudaramu yang menjadi rani di Kahuripan dan Daha, oleh ibu kandung masing-masing akan ditunangkan dengan orang lain. Hal ini berbahaya sekali, puteraku,karena kalau sampai ada orang lain yang menjadi suami mereka duduk di samping mereka, banyak terdapat bahaya perpecahan karena mereka tentu akan berdiri sendiri, dan kalau sampai Mojopahit terpecah belah, hal itu amat berbahaya."

   Mendengar ini, Sang Prabu Jayanagara lalu cepat-cepat menemui dua orang saudara tirinya itu, dan dengan terang-terangan dia melarang mereka itu dijodohkan dengan dua orang lain dan menuntut agar rencana pertunangan itu dibatalkan! Tentu saja Dyah Tribuana dan Dyah Gayatri mambantah.

   "Perjodohan anak-anak kami berada sepenuhnya dalam tanggung jawab dan kewajiban kami yang menjadi ibu-ibunya,"

   Kata Dyah Gayatri yang labih berani karena sesungguhnya Dyah Gayatri inilah yang menjadi kekasih mendiang Sang Prabu Kertarajasa sebelum Beliau tergila-gila kepada puteri Melayu Dyah Dara Petak atau Sri Indreswari yang kini menjadi ibu suri.

   "Tidak demikian, Kanjeng Ibu. Kalau Paduka dan puteri Paduka itu bukan termasuk keluarga kerajaan kita, tentu saja sepenuhnya berada di tangan Paduka berdua yang menjadi ibu-ibu mereka. Akan tetapi, kedua orang puteri Paduka itu adalah keluarga kerajaan! Maka perasaan pribadi harus dikorbankan demi kebaikan keluarga kerajaan! Semua keluarga herus tunduk kepada peraturan kerajaan, dan sayalah yang berkuasa menentukan siapa-siapa yang boleh menjadi suami mereka! Saya melakukan ini pun bukan karena kepentingan pribadi, melainkan demi keutuhan Kerajaan Mojopahit!"

   Betapapun mereka membantah, Sang Prabu Jayanagara akhirnya menang dan dua orang puteri itu tidak jadi ditunangkan. Hal ini tentu saja menimbulkan perasaan tidak senang dan penasaran di kalangan mereka yang mendukung keturunan Raja Kertanegara. Terdengarlah desas desus bahwa Sang Prabu Jayanagara melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadap kedua orang puteri yang menjadi saudara tirinya tunggal ayah lain ibu itu, bahwa Sang Prabu Jayanagara melarang perjodohan mereka karena Sang Prabu sendiri ingin memperisteri mereka! Memang tuduhan semacam itu tidaklah terlalu berlebihan mengingat akan watak Sang Prabu yang masih muda dan yang terkenal suka mengejar wanita cantik itu. Namun sesungguhnya, dasar yang kuat bagi keputusan Sang Prabu itu adalah karena seperti nasihat ibu kandungnya, dia tidak ingin melihat kelak akan terjadi perang saudara kalau dua orang saudara perempuan itu menikah dengan orang-orang lain dan kemudian kelak ingin berdiri sendiri terlepas dari wilayah dan kekuasaan Mojopahit.

   Permusuhan terselubung dan kebencian makin memuncak. Mojopahit mulai dilanda kemelut kembali, berupa pertentangan yang makin lama makin meruncing. Semua ponggawa yang dipecat atau digeser oleh Sang Prabu Jayanagara, kini membanjiri Kahuripan dan Daha untuk menghambakan diri kepada Rani Kahuripan dan Rani Daha! Dan keadaan Kahuripan dan Daha menjadi makin kuat saja.

   Setiap malam, para pengawal yang mendukung Sang Prabu, mengadakan penjagaan ketat karena suasana yang tegang itu sehingga baik keadaan di Mojopahit sendiri,maupun di Daha dan Kahuripan, selalu seperti dalam persiapan perang! Hal ini adalah karena terjadinya beberapa kali pembunuhan di waktu malam, tanpa diketahui siapa pembunuhnya dan yang mudah diduga bahwa tentu hal itu menjadi akibat daripada permusuhan antara para pengikut dua golongan yang diam-diam saling membenci itu.

   Yang paling hebat menderita batin sebagai akibat keadaanini adalah Ki Patih Nambi! Sebagai orang tengah dia merasa seperti berdiri di antara du api! Di dalam lubuk hatinya dia memihak kepada para puteri Raja Kertanegara, akan tetapi karena kenyataannya yang menjadi Raja Mojopahit adalah Sang Prabu Jayanagara jeturunan Malayu, maka terpaksa dia harus setia kepada kerajaan, sebagai seorang patih yang berkedudukan tinggi! Dia menjadi serba salah, dia tidak ingin mengkhianati Mojopahit, namun dia pun tidak ingin menentang keturunan Raja Kertanegara!

   Berkat kepandaiannya mengambil hati, Sang Resi Mahapati dapat juga mengangkat dirinya sendiri ke tempat yang lebih tinggi. Oleh Sang Prabu Jayanagara yang mengingat akan jasa-jasanya, terutama sekali mengingat akan mendiang Lestari, Resi Mahapati dinaikkan pangkatnya menjadi pendeta istana, menggantikan Pendeta Brahmorojo yang telah meninggal dunia karena tua. Biarpun Resi Mahapati adalah seorang penyembah syiwa, namun kini dia menjadi kepala pendeta dan dialah yang mengatur dan menguasai semua pura-pura dan tempat-tempat sembahyang dan kekuasaannya makin besar saja di kalangan para pendeta, dan juga dalam istana.

   Hanya satu orang saja selain Sang Prabu yang masih lebih tinggi kekuasaannya dari pada dia, yaitu Ki Patih Nambi. Malam hari itu amat sunyi. Seperti malam-malam yang lalu selama ini, suasananya amat tegang karena semua penjaga di Kerajaan Mojopahit selalu siap dan mangkhawatirkan terjadinya huru-hara. Bukan hanya di Mojopahit, juga di Kahuripan dan Daha suasananya selalu tegang karena semua ponggawa maklum betapa di tempat mereka itu selalu penuh dengan mata-mata dari Mojopahit yang mengikuti gerak-gerik semua ponggawa di Kahuripan atau di Daha.

   Hal itu bukanlah hanya dugaan semata. Memang Ibu Suri Sri Indreswari selalu memperingatkan puteranya agar jangan lengah dan jangan melepaskan kedua orang puteri itu dari pengawasan yang ketat. Oleh karena itu, Sang Prabu selalu memasang mata-mata di luar dan dalam keraton kedua orang saudara tirinya itu. Di Kahuripan, yang menjadi kepala dari para penyelidik dan mata-mata adalah Resi Harimurti, sedangkan di Daha dipimpin oleh Ki Durgakelana. Mereka ini selain menempatkan banyak pengawal untuk memata-matai dua tempat itu dan segala kegiatannya, juga mereka masih dibantu oleh orang-orang yang memiliki ilmu kesaktian.

   Enam sosok berkelebat dengan gerakan cepat pada malam hari itu setelah mereka berhasil melewati penjagaan pintu gerbang di Kahuripan. Mereka itu terdiri dari empat orang laki-laki setengah tua yang bersikap gagah perkasa, dan dua orang laki-laki muda yang tampan dan gesit gerak-gerik mereka.

   Mereka berenam menyelinap di belakang sebuah pondok gelap dan berunding sambil berbisik-bisik.

   "Harap Andika berdua hati-hati, kami berempat akan membayangi Andika berdua dari empat jurusan. Kami akan selalu menjaga dan melindungi,"

   Bisik seorang di antara kakek gagah perkasa yang empat orang itu.

   "Dan setelah berhasil, kita semua berkumpul di sini. Ingat, yang terpenting adalah Andika berdua harus berhasil dan tanpa ketahuan siapa pun. Rahasia itu harus kita lindungi dengan nyawa."

   Lima orang itu mengangguk dan seorang di antara dua orang pemuda tampan itu berkata kepada pemuda ke dua,

   "Marilah, Dimas. Engkau di depan, aku yang melindungimu."

   Pemuda ke dua mengangguk dan mereka berdua lalu menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, menuju ke istana Rani Kahuripan. Sedangkan empat orang laki-laki setengah tua itu lalu berpencar, membayangi perjalanan dua orang muda itu dengan hati-hati dan waspada.

   Siapakah mereka itu dan apa artinya sikap mereka yang penuh rahasia itu? Mereka berenam itu datang dari Lumajang! Mereka adalah utusan pribadi dari Sang Adipati Wirorojo di Lumajang. Empat orang laki-laki setengah tua yang dipimpin oleh kakek berkumis tebal itu adalah bekas-bekas senopati Mojopahit yang kini menghambakan diri di Lumajang. Kakek berkumis tebal itu adalah Panji Wironagari,sedangkan tiga orang temannya adalah Aryo Jangkung, Panji Samara, dan Aryo Teguh. Dua orang pemuda itu adalah Sulastri yang berpakaian pria dan Raden Turonggo atau Raden Kuda Anjampiani, putera dari mendiang Adipati Ronggo Lawe, atau cucu dari Adipati Wirorojo di Lumajang!

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, keris pusaka Kolonadah akhirnya terdapat kembali oleh Sulastri yang merampasnya dari saudara kembar Murwendo dan Murwanti yang tewas dalam keributan ketika terjadi "pernikahan"

   Antara Sulastri dan Joko Handoko. Kemudian Sulastri menyerahkan keris pusaka itu kepada Sang Adipati di Lumajang. Setelah itu dia bersama "suaminya", Joko Handoko dan Roro Kartiko tinggal di Kadipaten Puger, di mana Joko Handoko dan Roro Kartiko tinggal di Kadipaten Puger, di mana Joko Handoko dan Roro Kartiko diangkat anak oleh Sang Adipati di Puger, yaitu Sang Prabu Bandardento.

   Ketika berita tentang meninggalnya Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana sampai di Kadipaten Lumajang, berita itu diterima dengan tangis dan perkabungan oleh Adipati Wirorojo, dan para senopati yang dahulu menjadi pembantu-pembantu Sang Pabu itu ketika masih menjadi Raden Wijaya. Kemudian, Adipati Wirorojo mengambil keputusan untuk menyerahkan keris pusaka Kolonadah kepada keturunan yang dianggapnya sebagai orang yang berhak menjadi Ratu Mojopahit, yaitu puteri mendiang Sang Prabu Kertarajasa yang lahir dari permaisuri, Dyah Tribuana, yaitu Sang Dyah Tribuwanatunggadewi! Tentu saja seluruh tokoh Lumajang yang merasa penasaran dan tidak setuju pula dengan pengangkatan Pangeran Kolo Gemet menjadi Raja Mojopahit.

   Maka Sang Adipati di Lumajang lalu mengutus cucunya sendiri, putera mendiang Adipati Ronggo Lawe, yaitu Raden Turonggo atau Kuda Anjampiani, untuk membawa keris pusaka peninggalan ayahnya itu, keris pusaka yang diperuntukan calon raja besar, untuk menyerahkan keris pusaka itu kepada keturunan langsung dari Sang Prabu dan mendiang Raja Kertanegara yaitu Sang Dyah Ayu Tribuwanatunggadewi yang kini menjadi Rani Di Kahuripan!

   Mengingat bahwa penemu keris pusaka itu adalah Sulastri, dan mengingat pula akan kesaktian wanita perkasa itu, maka Sang Adipati Wirorojo lalu mengirim utusan ke Puger, memanggil Sulastri yang pernah menjadi perwira pengawal hasil sayembara dari Lumajang itu, dan minta bantuannya untuk menemani Raden Turonggo ke Kahuripan. Selain Sulastri, juga Sang Adipati menunjuk empat orang pembantunya yang dipercaya, bekas senopati-senopati Mojopahit yang digdaya, yaitu Panji Samara, Panji Wironagari, Aryo Jangkung dan Aryo Teguh.

   Demikianlah, malam hari yang sunyi itu, enam orang dari Lumajang ini memasuki Kahuripan dan dengan hati-hati mereka menuju ke istana Rani Kahuripan. Mereka terpaksa mengambil jalan malam untuk memasuki tempat itu karena mereka tahu bahwa Kahuripan, seperti juga daerah lain, dijaga ketat dan penuh mata-mata dari Mojopahit. Maka, mengunjungi tempat itu di siang hari amatlah berbahaya dan mengingat bahwa Raden Turonggo dan Sulastri membawa benda keramat yang amat berharga, maka mereka berlaku hati-hati agar benda itu jangan sampai dilihat orang lain dan dapat dengan selamat disampaikan kepada Rani Kahuripan.

   Ketika Sulastri dan Raden Turonggo sedang menyelinap di antara bayangan-bayangan rumah dan pohon, tiba-tiba Sulastri melihat bayangan berkelebat di sebelah belakang, kanan dan kiri. Dia terkejut. Itulah bayangan orang-orang pandai,pikirnya. Dan mereka telah tiba di dekat istana Rani di Kahuripan. Karena curiga, Sulastri menggunakan kepandaiannya, menyusul Raden Turonggo yang berjalan di depan, menyentuh lengan pemuda itu dan memberi isyarat untuk bersembunyi di balik batang pohon yang gelap.

   "Sttt, Dimas Turonggo... hati-hati, ada orang membayangi. Biarlah aku memancing mereka semua dan membikin ribut, agar para penjaga di pintu gerbang istana itu tertarik perhatian mereka pula. Setelah semua penjaga lari dan menyerbu ke tempatku, barulah Andika menyelinap masuk. Hati-hati, belum tentu para pengawal istana itu adalah orang-orang yang setia kepada Gusti Puteri. Sebaiknya Andika jangan sembarangan mempercaya orang dan menangkap seorang dayang saja,memaksanya agar membawa Andika menghadap sendiri kepada Gusti Puteri."

   Raden Turonggo mengangguk maklum dan Sulastri berbisik-bisik memberi petunjuk kepada pemuda itu di mana dia harus bersembunyi dan menanti saat dan kesempatan baik untuk menyelinap masuk ke dalam istana tanpa diketahui orang lain. Setelah pemuda itu mengerti dengan jelas dan sudah siap, Sulastri lalu meninggalkan tempat persembunyian itu, dengan sengaja dia melompat ke arah lain, bahkan sengaja pula memperlihatkan diri di bawah sinar penerangan bintang-bintang di angkasa. Dia melihat bayangan dari kanan berkelebat, lalu terdengar bunyi bersuit nyaring, susul-menyusul. Sulastri tersenyum, lalu dia mempergunakan kepandaiannya untuk bergerak cepat sekali, berkelebat beberapa kali di depan gardu penjagaan pintu gerbang istana.

   "Hordah! Siapa itu?"

   Bentak Si penjaga yang bertugas menjaga di depan gardu,sambil melintangkan tombaknya. Akan tetapi, tanpa menjawab Sulastri sudah berlari pergi. Terdengar suara gaduh di dalam gardu penjagaan itu dan enam orang penjaga yang tadinya berada di dalam gardu kini keluar semua dengan tombak di tangan dan golok di pinggang. Akan tetapi, Sulastri sudah berlari jauh, sengaja menjauhi pohon di mana Raden Turonggo bersembunyi. Dara perkasa itu maklum bahwa ada bayangan yang gerakannya amat cepat kini membayanginya dari dekat, maka sambil berlari, Sulastri menyambar beberapa buah batu di bawah kakinya, kemudian setelah melihat bahwa selain bayangan yang amat cepat itu di belakangnya itu ada pula bayangan beberapa orang di sebelah kiri, dia lalu menggerakkan tangan sambil membalikkan tubuhnya. Beberapa sinar hitam dari batu-batu yang disambitkannya itu menyambar ke arah belakangnya dan ke sebelah kirinya.

   "Aduh...!"

   Terdengar suara orang memekik, tanda bahwa sebuah di antara batu-batu itu mengenai sasarannya.

   "Hai keparat, berhenti kau!"

   Terdengar bentakan orang dan tahu-tahu ada bayangan berkelebat cepat sekali disusul suara ledakan nyaring.

   "Tar-tar-tarrr...!

   Sulastri terkejut sekali, cepat dia melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik dan ketika dia sudah berdiri tegak lagi, dia melihat seorang kakek yang gagah berdiri di depannya. Seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih namun masih nampak gagah, pakaiannya indah, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, tangan kanan memegang sebatang pecut sapi yang panjang dan tangan kirinya memegang kipas bambu bundar, kakek yang dikenalnya karena kakek ini bukan lain adalah Resi Harimurti yang sakti!

   Resi Harimurti memandang tajam dan dia segera mengenal "pemuda"

   Itu dan teringatlah dia akan penuturan Resi Mahapati bahwa pemuda ini yang pernah dia tandingi sesungguhnya adalah seorang wanita. Maka dia lalu tertawa, karena dia sudah mendengar pula bahwa wanita perkasa yang menyamar sebagai pemuda ini kabarnya telah menjadi seorang pembantu Adipati Lumajang.

   "Ha-ha-ha, kiranya engkau, bocah keparat! Sekarang engkau muncul sebagai mata-mata Lumajang, ya? Ha-ha, sayang sekali, engkau cantik manis dan gagah perkasa, kalau engkau suka menyerah kepadaku, hemm... aku suka menarikmu menjadi pembantuku dan teman baikku. Bukankah namamu Sulastri dan engkau murid mendiang Empu Supamandrangi di puncak Bromo?"

   Sejak tadi Sulastri sudah memandang dengan sepasang mata yang bernyala-nyala.

   Inilah musuhnya! Inilah dia orang yang telah membunuh gurunya di Bromo! Dan kini jahanam ini masih berani menyebut-nyebut nama gurunya yang telah dibunuhnya secara keji! Dendam dan kemarahan yang berkobar di dalam dada Sulastri membuat dia lupa akan tugasnya sebagai utusan Lumajang yang harus menemani Raden Turonggo menyerahkan keris pusaka kepada Dyah Tribuwanatunggadewi, Rani Kahuripan. Kini yang nampak di depan mata dan di dalam hatinya hanyalah Resi Harimurti pembunuh gurunya yang harus dibalasnya, yang harus dibunuhnya!

   "Resi Harimurti keparat jahanam engkau! Engkau telah membunuh guruku secara curang dan licik! Terimalah pembalasanku, keparat!"

   Sulastri mencabut kerisnya.

   "Ha-ha-ha, sedangkan gurumu sendiri mampus di tanganku, apalagi engkau yang hanya muridnya, dan seorang gadis muda pula! Ha-ha, Sulastri, bukankah lebih baik engkau menyerah saja dan bersenang-senang dengan aku?"

   "Resi cabul yang jahat!"

   Sulastri memaki dan dia sudah meloncat dengan terjangan dahsyat menggunakan keris di tangan kanan untuk menusuk ke arah dada Sang Resi. Hebat bukan main terjangan Sulastri ini, karena kemarahan telah membuat dia buas seperti seekor harimau betina diganggu anaknya. Dia melompat dengan aji kesaktian Turonggo Bayu, kecepatannya seperti kilat menyambar dan tahu-tahu dia telah menerjang dan keris itu telah menyambar ke arah dada lawan.

   "Uhhh!!"

   Resi Harimurti mengenal gerakan sakti yang amat berbahaya, maka dia cepat menggerakkan tubuhnya mengelak miring dan kipasnya menyambar dari samping untuk menangkis tusukan keris itu.

   "Wuuuttt... plak... wirrr...!"

   "Ehhh...?"

   Resi Harimurti kini terkejut bukan main. Kipasnya memang berhasil menangkis keris itu, akan tetapi secara cepat bukan main, tangan kiri dara itu sudah menyambar ke arah kepalanya dengan tamparan yang mengandung hawa panas sekali. Memang tamparan ini bukan tamparan biasa dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan, karena dara itu telah mengerahkan ajinya Hasto Nogo yang berada di tangan kirinya. Tamparan itu ampuh sekali dan biarpun Resi Harimurti merupakan seorang yang sakti, namun kalau kepalanya sampai terkena tamparan itu, agaknya dia tidak mampu menyelamatkan nyawanya. Dia pun maklum akan hal ini, maka dia cepat melempar tubuh ke belakang sehingga dia seperti orang terjengkang lalu dia menggelundung ke belakang dan melihat dara itu mendesaknya, dia cepat menggerakkan cambuknya.

   "Tar-tar-tarrrr...!"

   Pecut sapi yang panjang meledak-ledak dan menyambar-nyambar, dan Sulastri terpaksa mengelak dan berusaha untuk menangkap ujung pecut itu.

   Resi Harimurti menarik kembali pecutnya sambil meloncat berdiri. Mereka berhadapan seperti dua ekor ayam aduan saling menaksir kekuatan lawan, mata mereka menembus kegelapan remang-remang yang hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit dan sedikit cahaya penerangan dari samping istana yang dapat mencapai tempat itu. Keduanya tidak mengeluarkan kata-kata, maklum bahwa saat bagi mereka untuk bertempur mati-matian telah tiba. Resi Harimurti maklum bahwa murid dari mendiang Empu Supamandrangi ini tentu akan berusaha keras untuk membunuhnya,untuk membalas kematian gurunya itu. Dan dia pun maklum bahwa dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk membunuh wanita ini, kalau sekiranya dia tidak mampu menawannya, hal yang dia tahu bukannya mudah. Wanita ini hebat, pikir Resi Harimurti. Sayang kalau Cuma dibunuh begitu saja.

   Memang Sang Resi ini mempunyai kelemahan, yaitu mata keranjang. Belum pernah dia mendapatkan seorang wanita gagah perkasa seperti dara yang kini berdiri di depannya seperti seekor singa betina ini, dan timbul keinginannya untuk memperoleh dara ini, untuk menawannya dalam keadaan hidup-hidup agar dia dapat mempermainkannya dan dapat melampiaskan gairah keinginannya! Maka diam-diam dia lalu mengerahkan aji kesaktiannya, pandang matanya mencorong seperti mata harimau, mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, seluruh kekuatan batinnya dikerahkan kepada pandang matanya dan kepada suaranya ketika dia berkata,

   "Sulastri, bocah ayu, berlututlah kau, mengapa kita harus saling bertempur? Kita adalah sahabat baik, aku tidak akan memusuhimu, sayang, berlututlah dan aku akan menyenangkan dirimu...."

   Suara itu mengandung bujukan yang luar biasa manisnya, bukan bujukan biasa melainkan bujukan yang didorong oleh aji kesaktian, kekuatan guna-guna.

   Kepandaian ini didapatnya dari Ki Durgakelana, khusus dipelajarinya untuk menundukkan wanita! Karena Resi Harimurti memang seorang gemblengan seorang pertapa yang memiliki kekuatan batin yang sudah hebat, maka aji guna sakti itu dengan mudah saja dapat dia kuasai setelah dia belajar dari temannya, yaitu Ki Durgakelana yang kini juga menjadi anak buah Resi Mahapati dan diangkat menjadi tangan kanan Sang Pangeran yang kini telah menjadi raja itu. Akan tetapi, betapa kaget dan herannya ketika dia melihat wanita muda itu tersenyum mengejek, dan terdengar Sulastri berkata.

   "Resi dukun lepus, hentikan badutanmu! Neraka jahanam sudah terbuka untukmu, dan kau masih hendak membadut?"

   Setelah berkata demikian, gadis itu menerjang lagi, bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar dia menerjang resi itu secara bertubi-tubi, dengan keris di tangan kanan dan pukulan Hasto Nogo di tangan kiri! Resi Harimurti terkejut dan cepat dia mengelak atau menangkis dan mereka bertempur dengan amat seru dan hebatnya. Tubuh mereka sampai lenyap ditelan kegelapan remang-remang itu dan yang terdengar hanya bentakan-bentakan mereka dan suara keris di tangan Sulastri bertemu dengan kipas lawan atau suara ledakan-ledakan pecut di tangan Resi Harimurti. Sesungguhnya, bukan karena aji kesaktian berupa guna-guna yang dikerahkan Resi Harimurti tadi kurang kuat.

   Andaikata Sulastri masih seperti dulu, mungkin saja dia akan celaka oleh kekuatan guna-guna itu. Tadi pun Sulastri sudah merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi lemas ketika Sang Resi menyerangnya dengan ilmu sihir itu. Akan tetapi, dia cepat mengerahkan aji penolakan yang telah dipelajarinya selama dia berada di Kadipaten Pager! Sang Prabu Bandardento adalah seorang yang ahli dalam hal ilmu-ilmu seperti itu, dan Sang Prabu Bandardento telah mengajarkan ilmu-ilmu ini kepada kedua orang anak angkatnya dan tentu saja Sulastri yang dianggap sebagai "mantunya"

   Juga menerima pelajaran itu. Karena Sulastri memiliki kekuatan batin yang lebih unggul daripada Joko Handoko dan Roro Kartiko, maka Sulastri dapat lebih dulu menguasai ilmu-ilmu itu sehingga ketika dia diserang oleh Resi Harimurti dengan ilmu sihir, dia dapat menolaknya dengan mudah.

   Pertempuran antara kedua orang sakti ini hebat bukan main. Sulastri mengamuk seperti seekor naga sakti, gerakannya dan terjangannya amat kuat dan mendatangkan angin menyambar-nyambar sehingga daun-daun pohon di sekeliling tempat pertempuran itu bergoyang-goyang. Dia kini menggabungkan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari Empu Supamandrangi dengan ilmu-ilmu aneh yang pernah dipelajarinya dari gurunya yang pertama, yaitu Ki Jembros. Dan selama di Puger, setiap hari dia melatih diri, bukan hanya untuk membimbing Roro Kartiko, akan tetapi terutama sekali untuk mematangkan kepandaiannya sendiri, untuk memperkuat dirinya karena dia telah mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuhnya yang tangguh, di antaranya adalah Resi Harimurti ini yang telah membunuh gurunya.

   Dia sudah mendengar pula akan kematian gurunya yang pertama, yaitu Ki Jembros yang mati dalam pengeroyokan tiga orang kakek itu, Resi Mahapati, Resi Harimurti, dan Empu Tunjungpetak yang tewas sampyuh bersama Ki Jembros. Maka, tidak pernah terlupa dalam hati Sulastri untuk sewaktu-waktu menghadapi Resi Mahapati, Resi Harimurti, dan... Sutejo! Kini, ketika dia melaksanakan tugas yang diserahkan oleh Adipati Lumajang kepadanya, secara tak terduga-duga dia telah bertemu dengan Resi Harimurti di tempat ini, maka tentu saja kemarahannya berkobar dan dia lupa segala, yang diingatnya hanyalah bahwa resi ini adalah seorang di antara musuh-musuhnya yang harus dia binasakan untuk membalas kematian dua orang gurunya! Resi Harimurti adalah seorang pertapa yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya.

   Dibandingkan dengan Resi Mahapati sendiri, agaknya tingkat kepandaiannya tidak akan kalah. Akan tetapi, resi ini seperti juga Resi Mahapati, telah menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sendiri, selalu mengejar kesenangan sehingga kekuatan mereka banyak berkurang. Apalagi, usia mereka juga makin tua dan hal ini tentu saja juga mengurangi daya tahan mereka. Terlalu banyak pelesir dan bersenang-senang membuat mereka lengah dan lalai, membuat mereka malas untuk berlatih sehingga mereka berdua pun banyak kehilangan kegesitan mereka. Selain itu, juga tadinya Resi Harimurti memandang rendah kepada Sulastri yang dianggap hanya seorang perempuan muda yang betapa pun pandainya tidak mungkin dapat menandinginya. Maka,kini setelah Sulastri menyerangnya dengan dahsyat, bertubi-tubi dan dengan semangat penuh, dia terkejut sekali dan terdesak hebat!

   Memang hebat sekali sepak terjang gadis itu. Dia mengamuk, gerakannya makin cepat, setiap tusukan kerisnya dan tamparan tangan kirinya merupakan serangan-serangan maut yang amat dahsyat, bahkan sambaran kakinya juga amat berbahaya, selalu tertuju kepada bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari lawannya. Kini Resi Harimurti terpaksa memutar pecutnya lebih gencar dan lebih cepat sehingga senjatanya ini berubah menjadi segulung sinar yang luas, yang melindungi tubuhnya, akan tetapi senjata ini lebih banyak menjadi senjata pelindung diri dan penahan daripada menjadi senjata penyerang.

   "Resi keparat, mampuslah!"

   Bentak Sulastri dan dia menerjang dengan lompatan seperti seekor harimau. Cambuk panjang itu memapakinya, meledak dan menyambar ke arah mukanya. Sulastri tidak membatalkan serangannya, tubuhnya masih menerjang, tangan kirinya diangkat menangkis cambuk.

   "Tarrrr...!"

   Cambuk itu meledak, tertangkis tangan kiri dan ujungnya mematuk pundak Sulastri.

   "Brettt...!"

   Baju gadis itu robek tertusuk atau terpatuk ujuang cambuk, akan tetapi aji kekebalan Trenggiling Wesi melindungi kulitnya sehingga ujung cambuk membalik ketika merobek baju dan bertemu dengan kulit pundak yang halus putih itu. Resi Harimurti terkejut sekali melihat gadis itu tidak apa-apa terkena hantaman ujung cambuknya, bahkan keris di tangan gadis itu terus meluncur ke arah ulu hatinya.

   "Aihhhh... prakkkk!!"

   Kipasnya menangkis cepat dan tangannya terasa gemetar,kipasnya pecah di tengah-tengah tubuhnya terhuyung ke belakang.

   "Majuuu...! Serbuuuuu...!"

   Pekiknya ketika dia melihat lawannya masih mendesak terus, sambil memutar cambuknya melindungi dirinya.

   Para pengawal yang tadi hanya menonton saja, ketika melihat Sang Resi terdesak dan mendengar aba-aba itu cepat bergerak maju dengan tombak dan golok mereka,mengeroyok Sulastri! Gadis ini marah sekali, keris dan tangannya bergerak,disusul gerakan kakinya menendang. Tendangannya hebat, kakinya dapat menyentuh dagu lawan dan dalam segebrakan saja, seorang pengeroyok roboh tertusuk keris,dua orang roboh terpelanting tersambar pukulan Hasto Nogo dan dua orang lain terpelanting karena dicium tumit kakinya yang halus namun sekuat baja itu!

   Akan tetapi, Resi Harimurti sudah menyerangnya lagi dibantu oleh para anggauta pasukannya dan tentu saja Sulastri kini terdesak hebat. Pada saat itu, kepungan ketat itu membuyar dan terdengar teriakan-teriakan keras. Empat orang laki-laki yang gagah perkasa sudah menyerbu masuk membantu Sulastri. Mereka ini bukan lain adalah Panji Wironagari, Panji Samara, Aryo Jangkung, dan Aryo Teguh! Melihat mereka ini, Resi Harimurti membentak keras,

   "Pemberontak-pemberontak hina! Kalian berani mengacau di sini!"

   Tidak lekas berlutut dan menyerah?"

   Panji Wironagari tertawa lebar.

   "Ha-ha-ha, Resi keparat! Engkau adalah pendatang baru kaki tangan Mahapati, engkau adalah penjilat kotor yang hendak mencari kedudukan dengan kecuranganmu. Manusia macam engkau yang baru saja masuk Mojopahit berani mengatakan kami pemberontak? Bedebah, engkaulah yang harus mati sebagai seorang pengacau Mojopahit!"

   Empat orang bekas senopati Mojopahit itu kini mengamuk dengan hebatnya, bahkan mereka berusaha untuk mengeroyok Resi Harimurti. Akan tetapi, kini semua anak buah Resi Harimurti yang berada di Kahuripan telah berdatangan, jumlah mereka amat banyak sehingga Sulastri dan empat orang tokoh Lumajang itu menjadi kewalahan, menghadapi pengeroyokan yang banyak sekali dan mereka terkepung secara ketat!

   Sementara itu Raden Turonggo atau Kuda Anjampiani telah menyelinap masuk ketika Sulastri mulai bertanding melawan Resi Harimurti tadi. Munculnya gadis perkasa itu menarik perhatian para penjaga sehingga dengan mudah Raden Turonggo meloncat masuk, menyelinap di antara bayang-bayang pohon menuju ke istana Rani Kahuripan. Dia melihat banyak pengawal berlari keluar, maka dia menyelinap melalui pinggir istana, kemudian terus menuju ke belakang melalui taman sari dari istana itu. Di belakang, dia melihat seorang dayang sedang lewat, maka dia meloncat dan tahu-tahu telah berdiri di depan dayang itu.

   Wanita ini terkejut, akan tetapi sebelum sempat menjerit, Raden Turonggo telah menggerakkan tangan mendekap mulut wanita itu, lalu berbisik.

   "Manis, harap jangan berteriak. Aku bukanlah penjahat, aku adalah Raden Turonggo, cucu Sang Adipati di Lumajang. Aku datang untuk menghadap Gusti Rani, maka harap kau suka mengantarkan aku menghadap Beliau. Lihat di luar terjadi pertempuran. Mereka adalah sahabat-sahabatku, orang-orang Lumajang bertempur dengan mata-mata dari Mojopahit. Maka, cepatlah antar aku menghadap."

   Wanita dayang itu memandang wajah yang tampan itu. Dia adalah seorang pelayan yang setia maka tentu saja dia tahu bahwa orang-orang Lumajang adalah pendukung-pendukung yang setia dari Gustinya, maka dia mengangguk. Raden Turonggo melepaskan dekapan tangannya, lalu dia mengikuti dayang ini memasuki pintu menuju ke dalam istana dari pintu belakang.

   Dayang itu membisikkan kepada dayang-dayang lain yang bertugas di dalam. Tak lama kemudian, Raden Turonggo dipersilakan masuk ke dalam sebuah ruangan di mana Rani Kahuripan, yaitu Sang Dyah Ayu Tribuwanatunggadewi telah duduk menanti. Ketika pemuda itu melihat Sang Ratu yang masih muda dan amat cantik jelita dan agung, dia cepat menjatuhkan diri berlutut dan menyembah dengan penuh khidmat.

   Terdengar olehnya suara halus Sang Puteri.

   "Apakah Andika datang dari Lumajang? Siapakah Andika dan ada keperluan apakah mohon menghadap padaku di saat malam begini?"

   Raden Turonggo menyembah lagi.

   "Mohon beribu ampun atas kelancangan hamba. Hamba adalah utusan dari Lumajang, hamba bernama Turonggo dan hamba adalah cucu dari Sang Adipati di Lumajang..."

   "Ahh...? Cucu Sang Adipati di Lumajang? Masih terhitung apakah dengan mendiang Paman Ronggo Lawe?"

   (Lanjut ke Jilid 34)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 34

   "Beliau adalah Ayah hamba..."

   "Ohh...! Kalau begitu, majulah mendekat, Turonggo,"

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Sang Puteri, suaranya terdengar makin ramah dan halus. Raden Turonggo lalu merangkak mendekat, lalu duduk bersila di depan ratu itu.

   Sejenak Sang Ratu yang masih muda dan seorang dara itu memandang wajah yang menunduk itu, kemudian dia menarik napas panjang dan berkata.

   "Betapa sedih hatiku kalau teringat kepada Paman Ronggo Lawe. Dan Andika adalah puteranya! Tahukah Andika betapa dahulu, di waktu aku masih kecil, Paman Ronggo Lawe sering mengajakku bermain-main, bahkan dia yang mengajarku menunggang kuda? Ahh... semua itu hanya tinggal kenangan. Turonggo, engkau menjadi utusan Sang Adipati di Lumajang? Apakah tugas yang kau bawa?"

   Raden Turonggo menyembah.

   "Pertama-tama, hamba menjunjung perintah Kakek Adipati untuk menyampaikan sembah sungkemnya dan doa restunya kepada Paduka..."

   "Terima kasih... sungguh dia seorang tua yang amat baik dan setia..."

   "Dan kedua kalinya, Beliau mengutus hamba untuk menyerahkan sebuah pusaka kepada Paduka, yaitu pusaka Kolonadah ..."

   Sang Puteri terkejut dan terbelalak.

   "Keris pusaka Kolonadah yang diperebutkan itu? Aku sudah mendengar akan keributan yang terjadi karena keris itu, Turonggo. Bukankah itu keris peninggalan Ayahmu sendiri?"

   "Benar, Gusti,"

   Kata Turonggo sambil menyerahkan bungkusan kuning yang terisi keris Kolonadah kepada Sang Puteri.

   Sang Dyah Tribuwanatunggadewi menerima keris itu dengan keraguan, membuka kain kuning itu dan memandang keris pusaka yang bersarung kayu cendana dan terletak di atas pangkuannya itu dengan alis berkerut.

   "Akan tetapi... mengapa diberikan kepadaku? Bukankah... Sang Prabu sendiri menghendaki keris ini... dan bukankah keris ini dahulunya milik mendiang Ayahmu sehingga sudah sepatutnya kalau Andika yang menjadi ahli warisnya, Turonggo?"

   Raden Turonggo menyembah.

   "Gusti, pusaka ini diciptakan oleh Eyang Empu Supamandrangi di Gunung Bromo, khusus untuk calon raja terbesar. Karena itu, setelah pusaka ini terdapat oleh Eyang adipati di Lumajang, Beliau menganggap bahwa satu-satunya junjungan yang patut memegangnya adalah Paduka, karena Padukalah keturunan langsung dari mendiang Sang Prabu Kertanegara dari pihak ibu dan Paduka adalah puteri permaisuri dari mendiang Sang Prabu Kertarajasa. Eyang Adipati di Lumajang bersama segenap rakyat Lumajang menyatakan setia kepada Paduka, dan hanya mengakui Paduka sebagai satu-satunya junjungan di Mojopahit, oleh karena itu pusaka ini hamba persembahkan kepada Paduka."

   Sang Puteri memejamkan kedua mata yang indah itu penuh keharuan, lalu katanya dengan suara sedih.

   "Terima kasih atas kesetiaan semua kawula di Lumajang. Akan tetapi, sesungguhnya aku sendiri tidak menghendaki adanya permusuhan antara saudara sendiri, antara bangsa sendiri. Permusuhan antara bangsa di Mojopahit hanya akan melemahkan negara. Demikian mendiang Rama Prabu selalu memberi nasihat. Oleh karena itu, kepentingan pribadi harus dikesampingkan, dan keperluan untuk negara didahulukan."

   Raden Turonggo tercengang juga mendengar ucapan yang penuh dengan kebijaksanaan itu keluar dari mulut Rani Kahuripan, wanita yang masih muda ini! Ucapan yang sekaligus menghancurkan semua cita-cita para pendukung keturunan Sang Prabu Kertanegara!

   "Harap Paduka suka mengampuni hamba. Bukan hamba berani membantah sabda Paduka, akan tetapi di Mojopahit dan di Lumajang terutama, rakyat mendukung Paduka yang sepatutnya menjadi Raja di Mojopahit, bukan keturunan dari Melayu..."

   "Hushh, Turonggo, jangan ulangi lagi kata-kata seperti itu! Kita harus ingat bahwa semua yang terjadi adalah kehendak mendiang Kanjeng Romo Prabu. Yang menentangnya, berarti bukan memberontak terhadap raja yang sekarang, melainkan terhadap mendiang Kanjeng Romo. Sudahlah, sampaikan kepada Sang Adipati di Lumajang bahwa pusaka ini kuterima dengan ucapan terima kasih dan akan kusimpan sebagai kenang-kenangan dan tanda bakti dan setia dari rakyat Lumajang, akan tetapi sampaikan pula pesanku bahwa mengingat akan mendiang Kanjeng Romo, hendaknya rakyat tidak akan bertindak terlalu jauh dan tidak akan terjadi perang saudara lagi. Ingat betapa pemberontakan-pemberontakan yang lalu telah menjatuhkan banyak sekali korban di antara saudara dan bangsa sendiri. Kalau hanya untuk aku seorang, untuk memenangkan kedudukan bagiku seorang, untuk memenangkan kedudukan bagiku seorang, harus mengorbankan laksaan jiwa rakyat, aku tidak sudi! Lebih baik aku menjadi kawula biasa saja! Aku akan selalu merasa berdosa, karena demi kedudukankulah maka banyak orang dikorbankan, dan aku tidak menghendaki hal ini terjadi. Pergilah, Turonggo, pulanglah kembali ke Lumajang disertai salamku untuk semua!"

   Raden Turonggo benar-benar terpukau oleh omongan itu dan tidak berani menjawab,lalu menyembah dan mengundurkan diri. Akan tetapi pada saat itu, seorang dayang masuk dengan muka pucat dan melapor bahwa di luar istana terjadi pertempuran hebat.

   Sang Puteri terkejut sekali.

   "Hati-hatilah, Turonggo!"

   Katanya melihat pemuda itu mundur dengan cepat dan segera berlari-lari melalui jalan belakang darimana dia datang tadi. Dengan keris pusaka terbungkus kain kuning, Sang Puteri lalu masuk dan menutupkan pintu kamarnya. Pertempuran yang terjadi di luar istana itu masih berlangsung dengan hebatnya.

   Kini, Sulastri seorang diri menghadapi Resi Harimurti, sedangkan empat orang tokoh Lumajang dikeroyok oleh puluhan orang perajurit Mojopahit yang menjadi mata-mata dan kaki tangan Resi Harimurti. Mereka ini rata-rata terdiri dari perajurit-perajurit pilihan yang memiliki kepandaian tinggi, maka empat orang itu harus mengerahkan seluruh kepandaian dan kekuatan mereka. Empat orang senopati itu mengamuk seperti banteng-banteng terluka, dan biarpun tubuh mereka semua sudah menderita luka-luka, namun amukan mereka berhasil merobohkan belasan orang lawan.

   Sementara itu, Sulastri sudah mengamuk dengan amat hebatnya. Tentu saja kalau diukur tingkat ilmu kepandaian antara Sulastri dan Resi Harimurti, tingkat Sang Resi itu lebih tinggi dan tentu saja lebih matang latihannya. Namun, Sang Resi yang selalu berkecimpung dalam gelombang nafsu, menghambakan diri kepada nafsu-nafsunya sendiri itu, telah menjadi lemah. Dia kalah tenaga, kalah kuat pernapasannya dan kalah cepat gerakannya. Memang dengan gerakan aneh dari ilmu-ilmunya, dia beberapa kali berhasil memecut tubuh Sulastri dengan cambuknya atau menghantam dengan kipasnya.

   Namun, Aji Trenggiling Wesi yang membuat tubuh dara perkasa itu kebal, melindungi Sulastri sehingga pecutan dan pukulan itu hanya membuat kulitnya lecet dan tubuhnya terpelanting. Dan secepat kilat, setelah terguling, Sulastri setiap kali meloncat bangun kembali dan menyerang lagi dengan makin dahsyat! Beberapa kali sudah dara ini berhasil pula mendaratkan pukulan Hasto Nogo dengan tangan kirinya. Resi Harimurti juga melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan, namun hantaman-hantaman yang mengandung tenaga sakti itu membuat dia terengah-engah dan getaran hebat dari pukulan itu seolah-olah merontokkan isi dada dan perutnya.

   Resi Harimurti merasa penasaran sekali. Masa dia, seorang pertapa yang amat terkenal dan ditakuti banyak tokoh, kini menghadapi seorang dara muda saja sampai ratusan jurus belum juga mampu mengalahkannya? Tiba-tiba dia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan cambuknya meledak-ledak di angkasa, lalu ujung cambuk itu menyambar ke bawah dengan kecepatan kilat. Sulastri maklum bahwa kalau dia tidak nekat, akan sukarlah baginya untuk mengalahkan Sang Resi ini, maka dia tidak memperdulikan sambaran cambuk itu, melainkan membarengi serangan lawan untuk menubruk ke depan dengan keris di tangan kanan menusuk lambung dan tangan kirinya menghantam ke arah kepala Sang Resi.

   "Brettt...!"

   Sulastri terpekik kaget. Tidak sangka sama sekali dia bahwa Sang Resi akan menggunakan kecurangan seperti itu. Kiranya ujung cambuk tadi tidak menyerang tubuhnya melainkan menyerang bajunya dan merobek bajunya bagian depan sehingga dadanya terbuka dan menjadi telanjang sehingga nampak sepasang bukit dadanya!

   Sementara itu, Sang Resi terbelalak kagum dan tersenyum menyeringai, cambuknya digerakkan dan tahu-tahu cambuk itu telah menyerang ke arah pakaian Sulastri bagian bawah! Dara itu tadi terkejut dan tentu saja membatalkan serangannya, kini sibuk hendak menutupi dadanya. Akan tetapi dia melihat cambuk yang menyambar ke bawah, maka tangan kirinya menangkap ujung pecut itu dan dipegangnya kuat-kuat, lalu dia melangkah maju, tanpa mempedulikan dadanya yang terbuka dan kerisnya sudah menusuk dengan kuatnya.

   "Prakkk...!"

   Kipas yang menangkis amat kuatnya itu bertemu dengan keris dan kipas itu patah, keris di tangan Sulastri pun patah!

   Sulastri membuang gagang kerisnya dan tangan kanannya memukul. Namun Sang Resi telah siap dan dia menangkap pergelangan kanan gadis itu, lalu menariknya sampai tubuh Sulastri menubruk tubuhnya. Kini tangan Sulastri yang kiri masih memegang ujung cambuk dan tangannya yang kanan sudah dipegang lawan yang menariknya sehingga dadanya yang terbuka itu merapat ke dada Sang resi.

   "Ha-ha-ha, manis... lebih baik kau bersenang-senang dengan aku..."

   Merasa betapa tubuh yang muda dan mulus itu merapat ke dadanya, seketika bangkitlah nafsu dan gairah di hati Sang Resi. Dia sudah merasa menang, tangan kanan gadis itu telah ditangkapnya dan tangan kiri Sulastri pun sedang memegang ujung cambuknya. Dan dada yang terbuka itu, bau kewanitaan yang begitu dekat dengan dia, semua ini membangkitkan nafsu berahinya dan membuat Sang Resi lengah. Dia tidak tahu bahwa tangan kiri Sulastri telah melepaskan ujung cambuk dan kini tangan kiri itu, dengan pengerahan aji kesaktian Hasto Nogo sepenuhnya, bergerak seperti kilat, menghantam ke arah dadanya di bawah tulang iga.

   "Hekkk...!"

   Sepasang mata Sang Resi terbelalak, tubuhnya terhuyung ke belakang dan otomatis pegangannya terlepas, lalu kedua tangan mendekap dada yang terpukul. Karena tadi diamuk nafsu berahinya yang bangkit, maka dia menjadi lengah dan aji kekebalannya untuk sementara punah. Tentu saja pukulan Hasto Nogo yang amat ampuh itu tidak dapat tertahan oleh tubuhnya yang sudah mulai tua tanpa dilindungi aji kekebalannya, maka pukulan itu biarpun di luarnya tidak melukai kulit, namun getaran hawa sakti yang dibawa pukulan itu telah meremukkan segala yang berada di rongga dadanya, termasuk jantungnya!

   "Aughhhh...!"

   Jerit terakhir Resi Harimurti terdengar mengerikan sekali, tubuhnya roboh dan untuk yang terakhir kali, dia masih mampu mengerakkan cambuknya sehingga terdengar bunyi "tarrr!"

   Nyaring sekali. Seperti lenyapnya bunyi itu, lenyap pula nyawanya dan meninggalkan tubuhnya yang sudah terkapar menjadi sesosok mayat mati! Sulastri cepat membungkuk, menanggalkan baju dari seorang mayat perajurit dan memakai baju itu untuk menutupi ketelanjangan dadanya, kemudian dia mengamuk lagi membantu empat orang tokoh Lumajang yang sudah mulai lelah dan menderita luka-luka. Amukan Sulastri ini membuat kepungan membuyar, akan tetapi seperti rombongan semut para perajurit sudah mengeroyoknya pula.

   Pada saat itu muncul Raden Turonggo yang tanpa banyak cakap lagi telah terjun ke dalam medan pertempuran membantu teman-temannya yang dikeroyok. Melihat pemuda ini, Panji Wironagari bertanya.

   "Bagaimana, Raden?"

   Sudah beres?.

   "Sudah, Paman...!"

   Jawab Turonggo sambil menendang roboh seorang pengeroyok yang menusukkan tombaknya dari kanan dan yang dapat dielakkannya. Dia merampas tombak itu dan mengamuk dengan hebat.

   "Raden, cepat lari...!"

   Kata Panji Wironagari.

   "Cepat pulang memberi laporan, biar kami yang menahan mereka!"

   "Akan tetapi, Paman...!"

   Raden Turonggo membantah. Mana mungkin dia melarikan diri dan meninggalkan empat orang itu bersama Sulastri dalam kepungan musuh dan terancam bahaya maut?

   "Raden, ingat, ini tugas! Dan saya yang memimpin. Saya perintahkan engkau untuk pergi secepatnya! Dan Nini Sulastri yang harus melindungimu!"

   Melihat Raden Turonggo meragu, tiga orang tokoh Lumajang lainnya juga membujuk sambil mereka terus mengamuk. Akhirnya Sulastri yang mendengar ini semua mengerti bahwa memang sebaiknya demikian.

   "Marilah, Dimas Turonggo!"

   Katanya dan tanpa menanti jawaban, dia menyambar tangan pemuda itu dan diajaknya melompat jauh, merobohkan orang-orang yang berusaha menghadang dan mereka lalu melarikan diri di dalam kegelapan malam. Empat orang bekas senoapati Mojopahit itu mengamuk terus, menghadang dan mencegah mereka untuk mengejar Turonggo dan Sulastri.

   Keributan itu segera terdengar oleh para penjaga dan kini makin banyaklah perajurit yang datang mengeroyok. Empat orang bekas senopati Mojopahit itu mengamuk sampai titik darah terakhir, akan tetapi akhirnya mereka itu roboh seorang demi seorang, roboh dan tewas di bawah keroyokan banyak senjata sehingga tubuh mereka hancur lebur, kematian seorang perajurit yang gagah berani.

   Betapa banyaknya manusia-manusia yang berwatak gagah berani harus tewas secara sia-sia seperti empat orang tokoh Lumajang ini. Betapa nyawa manusia menjadi tidak berharga kalau sudah dicengkeram oleh permusuhan dan dipermainkan oleh semangat bermusuhan dan saling membunuh demi apa yang biasa dinamakan perjuangan,demi negara, demi bangsa, demi kerajaan dan demi apa pun yang dianggapnya sebagai perbuatan mulia! Mati dalam perang dalam usaha bunuh-membunuh di antara manusia, oleh kita yang menamakan diri sebagai manusia-manusia beradab,dinamakan dengan sebutan muluk, yaitu mati sebagai kusuma bangsa, mati gagah perkasa, mati mulia, mati sebagai pahlawan dan sebagainya!

   

Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini