Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 34


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 34



Kalau berhasil membunuh lawan sebanyaknya, lupa bahwa lawan itu pun manusia juga seperti kita,maka sang pahlawan dipuja-puja. Kalau dia yang tewas dalam perang itu, juga namanya dipuja-puja dan disanjung-sanjung! Dia yang banyak membunuh sesama manusia dianggap pahlawan. Mengapa kita yang merasa beradab dan berkebudayaan menjadi sekejam ini? Mengapa sejak kecil kita dilolohi kepalsuan dan kebohongan ini? Sehingga tertanam di dalam benak kita bahwa dalam bunuh-membunuh sesama manusia dalam perang itu adalah sesuatu yang patut dibanggakan dan dipuja-puja? Mengapa kita menanamkan benih kejahatan ini ke dalam anak-anak kita sehingga setiap orang manusia ingin sekali menjadi seorang pahlawan yang aakhirnya nanti menjadi pembunuh banyak manusia atau juga terbunuh?

   Siapa pun yang berjuang untuk membunuh atau dibunuh ini, terdorong oleh semangat yang ditanamkan sejak ribuan tahun yang lalu tentang betapa mulianya seorang pahlawan. Dia berjuang untuk mendapatkan sebutan pahlawan di samping pamrih lainnya seperti memperoleh kedudukan, nama besar, kemuliaan dan sebagainya. Perjuangan seperti itu pada umumnya, di dunia manapun juga, disebut sebagai perbuatan gagah perkasa, perjuangan demi negara, demi bangsa, demi tanah air,bahkan ada pula yang berani membawa-bawa nama Tuhan di dalam urusan bunuh-membunuh antara manusia ini! Membunuh sesama manusia demi Tuhan! Perang demi Tuhan!

   Betapa palsu dan munafiknya kita ini. Padahal siapakah yang sesungguhnya yang untung, siapakah sesungguhnya yang menjadi biang keladi semua permusuhan, semua perang yang telah melanda seluruh dunia selama ribuan tahun ini? Jawabannya sudah terdapat di situ. Kalau kita mempelajari sejarah di dunia manapun juga,jelaslah siapa yang menjadi biang keladi perang, siapa pula yang jatuh bangun oleh perang. Tiada lain hanyalah manusia-manusia yang bercita-cita untuk duduk di tempat teratas.

   Yang patut disebut seorang pemimpin rakyat adalah dia yang tidak menjerumuskan rakyat ke dalam perang! Yang hanya mencurahkan segala daya upaya untuk ketenteraman dan kemakmuran hidup rakyat yang dipimpinnya. Yang memajukan pembangunan lahir batin untuk rakyat. Yang menjauhkan rakyat daripada permusuhan, dendam-mendendam, dan pertikaian. Yang mengarahkan seluruh kekuatan yang ada untuk perbaikan-perbaikan taraf kehidupan rakyat. Kalau ada pemimpin yang menyeret rakyat ke dalam perang, itu berarti bahwa dia bukanlah seorang pemimpin, melainkan seorang pembesar yang membesarkan ambisi dan keinginan diri pribadi untuk enak, untuk senang, untuk menang!

   Seorang yang demikian itu biasanya tentu seorang yang berjiwa pengecut! Sejarah telah membuktikan semua itu. Mereka yang mengaku pemimpin-pemimpin rakyat yang mengobarkan perang, yang menjerumuskan rakyat dalam peperangan, adalah orang-orang yang ingin menang dan ingin senang,ingin mempertahankan kedudukannya dan sebagainya. Dan orang-orang macam begini,dapat tersenyum bangga jika dapat memenangkan peperangan sehingga kedudukannya menjadi makin baik dan makin tinggi, sungguhpun untuk "kemenangan"

   Itu telah dikorbankan nyawa ratusan ribu orang manusia, baik yang termasuk sebagai rakyat bangsanya maupun rakyat bangsa lawannya.

   Akan tetapi bagaimana kalau perang itu,perang yang dikobarkan demi kepentingan mereka-mereka itu dengan diselubungi istilah-istilah muluk-muluk "Demi bangsa".

   "Demi negara".

   "Demi tanah air"

   Dan sebagainya itu sampai kalah? Kalau sampai kalah, dan ini sudah banyak terbukti dalam catatan sejarah, maka dia atau mereka ini yang paling dulu melarikan diri! Sambil membawa harta benda yang telah dikumpulkannya, tentu saja! Siapakah yang dapat membantah kenyataan ini? Dapatkah "peradaban"

   Dan "kebudayaan"

   Macam sekarang ini berubah sama sekali?

   Dapatkah manusia di dunia ini hidup tanpa terpecah-pecah, tanpa permusuhan,tanpa senjata pembunuh, tanpa perang? Kiranya baru akan terdapat kemungkinan berubahnya dunia kalau kita masing-masing ini sudah berubah! Karena kitalah yang membentuk keadaan di dunia ini! Kitalah yang membentuk masyarakat dan kita pula yang membentuk negara. Kalau kita sendiri, setiap orang, masih dikuasai oleh kekerasan, masih mengandung kebencian, mengandung permusuhan, masih iri hati,masih ingin menang sendiri, ingin senang dan enak sendiri, maka tak dapat dicegah lagi sudah tentu masyarakat kita pun demikian pula sifatnya, dan seluruh dunia pun demikian pula. Dan kalau seperti itu keadaannya, anehkah kalau di sana-sini berkobar perang? Jadi, kuncinya adalah pada diri kita sendiri masing-masing!

   Kitalah yang harus berubah, bukan dirubah, karena dirubah berarti bentuk pemaksaan. Dan semua yang dipaksa itu adalah palsu dan setiap waktu akan terbuka kepalsuannya. Perubahan harus terjadi dalam diri sendiri, bukan dirubah karena undang-undang, oleh propaganda-propaganda, oleh hukum dan sebagainya. Seorang akan terus-menerus melakukan pencurian biarpun dia sudah dihukum beberapa kali karena mencuri! Akan tetapi, kalau orang itu sudah berubah di sebelah dalam batinnya, berubah karena sudah tidak ada lagi keinginan mencuri itu, maka tanpa ada ancaman hukuman pun dia tidak akan sudi melakukan pencurian!

   Karena itu, yang terpenting adalah mengenal diri sendiri lahir batin, mengenal kepalsuan dan kekotoran diri sendiri, segala macam kebusukan yang memenuhi batin sendiri haruslah dikenal dan diketahui baik, bukan hanya untuk diketahui belaka lalu habis. Sama sekali tidak! Haruslah dipelajari setiap saat, yaitu diawasi,diamati, dipandang setiap saat penuh kewaspadaan! Pengamatan tanpa pamrih inilah yang mendatangkan kebijaksanaan. Pengamatan tanpa pamrih apa pun ini yang akan mendatangkan perubahan, yang akan mendatangkan kebebasan. Dan hanya yang bebas sajalah yang akan mengenal apa artinya cinta kasih, dan di mana ada cinta kasih,tidak ada permusuhan, tidak ada kebencian, tidak ada iri hati, tidak ada perang!

   Dalam keadaan perang, gembar-gembor tentang perdamaian adalah omong kosong belaka! Jangan perang, maka tak perlu lagi bicara tentang perdamaian! Akan tetapi anehnya, semua orang ingin bicara tentang perdamaian! Kita adalah manusia-manusia lemah yang menjadi korban dari konflik dalam batin kita sendiri. Kita begini,itu kenyataannya, namun kita ingin begitu. Kita perang, itu kenyataannya, akan tetapi kita ingin damai. Kita pemarah, akan tetapi kita ingin sabar, dan demikian selanjutnya sehingga kita hidup dalam alam keinginan belaka. Mengapa kita tidak menghadapi kenyataan, membuka mata mempelajari dan mengenal keadaan kita sendiri, membuka mata dan melihat bahwa kita ini pemarah, kita ini gila perang, kita penuh kebencian dan sebagainya?

   Kita membayang-bayangkan yang bersih-bersih bagi kita sehingga kita tidak melihat bahwa kita ini sesungguhnya kotor. Dan dalam keadaan kotor begini, membayangkan kebersihan adalah sia-sia,menutupi kekotoran dengan pakaian bersih pun percuma, hal itu tidak akan melenyapkan kekotoran itu. Akan tetapi kalau kita meneliti diri sendiri, membuka mata dan melihat kenyataan, maka kewaspadaan inilah yang akan mendatangkan perubahan, yang akan membebaskan kita dari segala kotoran, segala ikatan, segala bayangan-bayangan dan khayal. Dan ini jauh lebih penting daripada mengkhayalkan kebersihan.

   Karena bantuan Sulastri, akhirnya Raden Turonggo dapat lolos dari Kahuripan dan ketika mereka menanti di luar batas kota dan belum juga melihat kembalinya empat orang senopati itu, Raden Turonggo menangis terisak-isak. Mereka berdua maklum bahwa empat orang teman mereka itu sudah pasti tidak dapat lolos lagi dari kepungan yang demikian ketatnya, dan tentu telah menemui kematian mereka. Sulastri menghibur Raden Turonggo dan berkata,

   "Sudahlah, Adimas. Ditangisi pun tidak ada gunanya lagi. Sebaiknya kita cepat kembali ke Lumajang dan melapor kepada Sang Adipati."

   Raden Turonggo mengangguk dan dengan muka pucat dan mata merah, dia mengikuti Sulastri melanjutkan perjalanan menuju ke Lumajang. Raden Turonggo menubruk kaki eyangnya ketika dia dan Sulastri tiba di Lumajang dan menghadap Sang Adipati bersama para tokoh Lumajang lainnya. Pemuda ini menangis dengan sedihnya.

   "Kulup, tenangkan hatimu. Apakah yang terjadi? Apakah tugasmu gagal dan pusaka itu tidak berhasil engkau haturkan kepada Gusti Puteri?"

   Tanya Adipati Wirorojo sambil mengelus kepala cucunya.

   "Sudah saya haturkan... Eyang, akan tetapi... eh, keempat Paman... mereka... tertinggal dan..."

   Pemuda itu menangis lagi.

   Melihat keadaan pemuda itu, Sulastri lalu menceritakan dengan tenang semua peristiwa yang terjadi di waktu mereka berenam pergi ke Kahuripan, betapa Raden Turonggo berhasil menyerahkan keris pusaka Kolonadah kepada Puteri Tribuwanatunggadewi, akan tetapi betapa mereka ketahuan oleh Resi Harimurti dan pasukannya sehingga terjadi perkelahian dan empat orang tokoh Lumajang itu, Panji Wironagari, Panji Samara, Aryo Jangkung, dan Aryo Teguh telah tertinggal untuk menahan pasukan yang hendak mengejar. Dia sendiri melarikan Raden Turonggo untuk menyelamatkannya atas permintaan dan perintah empat orang gagah itu. Mendengar ini, Sang Adipati mengerutkan alisnya dan merasa gelisah sekali.

   Kegelisahan yang berubah menjadi kedukaan ketika datang laporan dari mata-mata Lumajang yang bertugas di Kahuripan bahwa keempat orang gagah itu benar-benar telah tewas oleh pengeroyokan banyak sekali perajurit dan pengawal. Keadaan di Kadipaten Lumajang masih dalam suasana berkabung ketika datang utusan dari Kadipaten Puger yang mengabarkan bahwa Kadipaten Puger diserang oleh pasukan-pasukan dari Nusabarung yang amat kuat sehingga mengalami kerugian besar.

   Ketika utusan ini datang menyampaikan berita itu kepada Sulastri, wanita perkasa ini masih menghadap Sang Adipati di Lumajang, maka semua orang mendengar akan malapetaka yang menimpa Puger itu. Sulastri terkejut bukan main dan cepat dia menyembah kepada Sang Adipati dan berpamit. Tanpa menanti jawaban, dia lalu melesat keluar dan berlari cepat menuju ke selatan, ke Puger!

   Sang Adipati Wirorojo lalu memerintahkan kepada Maesa Pawagal, seorang tokoh Lumajang bekas senopati Mojopahit, untuk memimpin seribu orang perajurit dan membawa pasukan ini ke selatan untuk membantu Puger. Tentu saja Sang Adiapti ini membantu Puger hanya karena mengingat kepada Sulastri, Joko Handoko dan Roro Kartiko yang sudah banyak berjasa terhadap Lumajang dan kini menjadi keluarga Prabu Bandardento di Puger. Terutama sekali Sulastri telah banyak berjasa, maka Sang Adipati merasa sudah selayaknya kalau dia membantu Puger.

   Andaikata tidak ada tiga orang muda itu di Puger, agaknya dia tidak akan mau mencampuri urusan antara Puger dan Nusabarung, karena Lumajang sendiri harus memperkuat diri untuk menghadapi Mojopahit yang kini dikuasai oleh keturunan Melayu itu. Dengan kecepatan luar biasa, Sulastri tiba di Puger. Hatinya prihatin sekali menyaksikan keadaan Puger, di mana jelas nampak orang-orang berkabung, berduka,dan juga gelisah.

   Cepat dia menemui Sang Prabu yang sedang berunding dengan dua orang putera puterinya, yaitu "suaminya"

   Joko Handoko dan Roro Kartiko bersama para senopati. Padas Gunung dan Pragalbo yang kelihatan luka-luka lengan mereka juga hadir. Suasana di dalam persidangan itu jelas nampak suram diliputi ketegangan. Kedatangan Sulastri disambut oleh mereka semua dengan gembira dan ada sekilas cahaya harapan nampak di wajah Sang Prabu yang tadinya muram. Bahkan Sang Prabu Bandardento segera bangkit berdiri menyambut kedatangan Sulastri, sedangkan Roro Kartiko segera memeluknya.

   "Syukur Andika telah datang, Anakku! Kami amat mengharapkan bantuanmu untuk dapat menyelamatkan Puger!"

   Sulastri mengerutkan alisnya, bergantian dia memandang kepada para senopati,kepada Padas Gunung, Pragalbo, kemudian kepada Roro Kartiko dan Joko Handoko, lalu berkatalah dia dengan penasaran.

   "Kita telah memiliki pasukan yang kuat dan banyak senopati yang digdaya, bagaimanakah kita sampai dapat terpukul oleh pasukan musuh dari Nusabarung? Paman Padas Gunung, demikian hebatkah kekuatan musuh?"

   "Ah, engkau tidak tahu, Anakku. pihak musuh dipimpin oleh seorang senopati baru yang amat sakti. Lihat, Padas Gunung dan Pragalbo sendiri sampai terluka olehnya,dan banyak senopati yang terluka atau tewas,"

   Kata Sang Prabu dengan sedih.

   "Sekarang,agaknya harus aku sendiri yang memimpin pasukan menghadapi senopati Nusabarung itu!"

   Sang Prabu yang sudah tua itu mengepal tinju dan sinar matanya berapi karena marahnya.

   "Dan kalian... Kakangmas Handoko dan Diajeng Kartiko? Apakah kalian tidak turun tangan bersama para pembantu kalian?"

   Joko Handoko menarik napas panjang.

   "Mereka itu dua kali menyerang dan untuk kedua kalinya, aku dan Roro Kartiko, dibantu oleh para anggota Sriti Kencana,memperkuat pasukan, akan tetapi... ah, musuh terlampau kuat..."

   Dan Joko Handoko lalu menundukkan mukanya. Sikapnya ini amat mengherankan hati Sulastri, maka dia menoleh kepada Roro Kartiko dan memandang dengan sinar mata penuh pertanyaan.

   Roro Kartiko memegang lengan Sulastri, lalu berkata kepada Sang Prabu.

   "Kanjeng Romo, perkenankan kami bicara di dalam..."

   Sang Prabu Bandardento mengangguk dan Roro Kartiko lalu menarik tangan Sulastri,diajaknya masuk ke dalam kamar, Roro Kartiko berkata,"Ah, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi, Mbakayu Sulastri. Ada peristiwa yang amat aneh dan hebat.

   Kau tahu, ketika kami membantu pasukan mengamuk, muncullah senopati muda yang menggemparkan itu dan dapat kau bayangkan betapa kaget rasa hati kami ketika mengenal senopati itu!"

   "Hemm, siapa dia?"

   Sulastri bertanya dengan alis berkerut.

   "Dia... dia adalah... Kakangmas Sutejo..."

   "Ehhh...??"

   Sulastri terlonjak kaget dan mengepal tinju.

   "Dia? Dia menjadi senopati di Nusabarung?"

   "Benar, Mbakayu Sulastri, dan agaknya dia... dia tidak mau mengenal kami lagi..., bahkan ketika kami menegurnya, dia seperti bingung dan tidak kenal kami, dan... nyaris kami tewas pula di tangannya. Akan tetapi... agaknya dia pun tidak mau terlalu mendesak kami dan membiarkan kami melarikan diri. Akan tetapi pasukan menjadi kacau dan hancur sehingga terpaksa untuk kedua kalinya, pasukan Puger harus ditarik mundur."

   "Hemm, keparat!"

   Sulastri mengepal kedua tinjunya. Sudah bertahun-tahun dia tidak pernah bertemu dengan Sutejo dan biarpun tidak ada seorang lain yang tahu,diam-diam dia harus mengaku bahwa dia tidak pernah dapat melupakan Sutejo.

   Betapa di waktu malam, setelah Roro Kartiko tidur nyenyak, dia bersila dan berusaha untuk bersamadhi, namun selalu gagal karena wajah Sutejo selalu terbayang dan betapa seringnya dia terisak-isak penuh kerinduan terhadap pemuda itu. Dia sudah hampir melepaskan harapannya untuk dapat bertemu kembali dengan pemuda itu. Dan kini, seperti halilintar menyambar, secara tiba-tiba saja pemuda itu muncul sebagai senopati musuh! Dan begitu mendengar pemuda itu menjadi senopati musuh, seketika timbul kemarahannya! Dia tidak tahu apakah kemarahan itu karena Sutejo menjadi senopati musuh, ataukah karena bertahun-tahun lamanya pemuda itu tidak pernah mengabarkan diri dan tidak pernah mencarinya. Roro Kartiko terkejut juga melihat betapa wajah Sulastri menjadi marah sekali dan dia cepat mengejar ketika melihat Sulastri sudah lari keluar lagi ke ruang persidangan.

   "Kanjeng Romo, perkenankan hamba memimpin pasukan untuk menghajar pasukan Nusabarung itu!"

   Sulastri berkata kepada Sang "mertua".

   "Engkau baru saja datang, Nini. Biarlah aku sendiri yang akan menghajar mereka yang kini menghaturkan barisan di perbatasan, di pantai laut. Biar mereka melihat bahwa Prabu Bandardento yang sudah tua ini masih sanggup untuk menghancurkan orang-orang Nusabarung!"

   "Tidak, Kanjeng Romo, selama masih ada hamba, tidak selayaknya kalau Paduka yang harus turun tangan sendiri. Pula, hamba mengenal senopati keparat itu dan biarkan hamba yang menghadapinya. Kakangmas, harap kau suka atur barisan, kita berangkat sekarang juga!"

   Melihat sikap Sulastri yang gagah perkasa, diam-diam Sang Prabu menjadi girang dan dia mengangguk memberi persetujuannya. Dengan cekatan Sulastri mengajak suaminya dan adik iparnya keluar dan mengumpulkan para senopati untuk memimpin pasukan. Tak lama kemudian, berangkatlah pasukan itu menuju ke selatan, ke pantai laut di mana pasukan dari Nusabarung telah membuat persiapan untuk menyerang Puger lagi. Di tengah perjalanan, Sulastri mendengar penuturan Roro Kartiko yang telah mempelajari keadaan Nusabarung dari Ayahnya, yaitu ayah angkatnya, Sang Prabu di Puger.

   "Nusabarung merupakan pulau yang dikuasai oleh Sang Adipati Menak Dibyo yang merupakan raksasa berkenpanadian tinggi,"

   Dia mulai bercerita.

   "Adipati Menak Dibyo mempunyai dua orang anak, yang laki-laki bernama Bandupati dan yang perempuan bernama Sariwuni, juga kedua orang anaknya itu memiliki kepandaian tinggi dan terkenal sakti mandraguna.

   Akan tetapi, karena Kadipaten Puger lebih besar, memiliki pasukan yang lebih kuat dan juga dalam hal kesaktian, para senopati Puger tidak kalah oleh tokoh-tokoh Nusabarung, maka selama belasan tahun Nusabarung tidak pernah berani menganggu Puger, setelah dahulu setiap serbuan dari Nusabarung selalu digagalkan dan pasukannya dipukul mundur kembali menyeberang laut ke pulau mereka. Akan tetapi sekarang, setelah kedua orang anak itu dewasa, mereka berani lagi, malah Kakangmas Sutejo tahu-tahu telah berada di antara mereka sebagai senopati, sungguh hal ini amat aneh dan juga mendatangkan rasa penasaran."

   "Dia bukan seorang yang setia, sungguh menjengkelkan!"

   Sulastri berkata dan di dalam suaranya terkandung kemarahan yang mengejutkan hati Roro Kartiko. Dara perkasa ini maklum bahwa kakak iparnya ini sampai sekarang masih belum juga mau menjadi isteri kakaknya, dalam arti kata yang sesungguhnya. Kakaknya dan Sulastri jarang sekali bicara, bahkan seperti saling menghindari, apalagi berada berdua saja di dalam kamar. Diam-diam dia merasa kasihan kepada kakaknya, akan tetapi dia juga tidak dapat menyalahkan Sulastri karena dia tahu bahwa adanya Sulastri mau menjadi isteri kakaknya adalah untuk menyelamatkan mereka semua. Dan dia menduga dengan hati berat bahwa kakak iparnya ini masih mencinta Sutejo,hal yang makin menyakitkan hatinya karena dia sendiri pun tidak pernah dapat melupakan Sutejo.

   "Mbakayu Sulastri, kalau... kalau engkau berjumpa dengan dia... apa yang hendak kau lakukan?"

   Tiba-tiba Roro Kartiko bertanya.

   Sulastri yang sedang melamun itu terkejut dan otomatis menarik kendali kudanya sehingga binatang itu mengangkat kedua kaki depan ke atas. Setelah berhasil menenangkan kudanya yang kaget itu, Sulastri menoleh, memandang kepada Roro Kartiko, lalu menjawab dengan sikap dingin,

   "Akan kuperingatkan dia agar meninggalkan pasukan Nusabarung, mengingat akan... persahabatan kami yang lalu."

   "Ah, aku dan Kakangmas Handoko juga sudah memperingatkan hal itu, Mbakayu, akan tetapi sia-sia belaka, bahkan dia seperti tidak mau mengenal kami lagi."

   "Hemm, kalau dia berani bersikap demikian kepadaku, akan... kubunuh dia!"

   Di dalam suara ini terkandung ancaman yang mengerikan hati Roro Kartiko, akan tetapi gadis ini pun merasa ragu-ragu apakah Sulastri akan mampu menandingi Sutejo yang benar-benar amat digdaya itu.

   Sementara itu, Joko Handoko yang menjalankan kudanya di belakang dua orang wanita itu, hanya mendengarkan saja. Wajahnya muram dan memang semenjak dia menjadi "suami"

   Sulastri, pemuda ini berubah sekali menjadi seorang yang tak pernah bergembira, wajahnya sering kali muram dan dia nampak lebih tua daripada usianya. Dia menanggung derita batin yang hebat, akan tetapi hal ini tidak pernah diperlihatkan kepada "isterinya", dan tidak pernah pula dia membicarakan hal itu kepada orang lain. Dia amat mencinta Sulastri, dan dia tidak dapat menyalahkan isterinya yang bersikap dingin terhada dia. Betapa setiap malam dia merindukan isterinya itu dan biarpun dia merasa yakin bahwa agaknya selama hidupnya Sulastri yang masih mencinta Sutejo itu tidak akan mau nyerahkan diri kepadanya, namun Joko Handoko tetap setia dan tidak pernah dia mau mengambil selir. Padahal kedudukannya pada waktu itu adalah putera adipati!

   Kita tinggalkan dulu pasukan Lumajang yang berbaris rapi menuju ke selatan itu dan mari kita tengok keadaan pasukan Nusabarung yang membentuk barisan di pantai Laut Selatan sebagai daerah perbatasan antara Puger dan Nusabarung. Pantai ini tentu saja masih termasuk wilayah Puger, akan tetapi pasukan Nusabarung kini telah menguasainya dan menggunakan dusun pantai yang telah mereka rampok habis itu sebagai markas mereka.

   Di dalam ruangan sebuah rumah besar di tengah dusun itu, yaitu bekas rumah kepala dusun yang telah mereka bunuh, duduklah dua orang laki-laki muda dan seorang wanita muda cantik jelita bercakap-cakap. Mereka ini adalah Sutejo, Bandupati, dan Sariwuni. Di atas meja di depan mereka nampak hidangan dan mereka makan minum sambil bercakap-cakap.

   "Ha-ha-ha, orang-orang Puger lari cerai-berai, sungguh senang hati melihatnya! Besok kita harus terus menyerbu ke utara dan membumihanguskan Kadipaten Puger!"

   Kata Bandupati, orang muda tampan bertubuh raksasa, brewok dan gagah seperti Raden Werkudoro itu.

   "Kita harus menanti berita dari Paman Menak Srenggo, Kakang Bandupati. Kita tidak boleh ceroboh karena Puger merupakan kekuatan yang tak boleh dipandang ringan. Apalagi menurut kabar, ada seorang lagi jagonya yang datang, yaitu anak mantu Sang Adipati yang kabarnya adalah seorang wanita yang sakti mandraguna,"

   Kata Sariwuni.

   "Ha-ha, takut apa? Setelah ada Adimas Bromatmojo bersama kita, biar mereka itu mempunyai jago dewata, kita tak usah takut!"

   Sutejo mendengarkan dengan sikap tenang, akan tetapi dia mengerutkan alisnya.

   Melihat ini, Sariwuni berkedip kepada Kakaknya lalu menggeser bangkunya, duduk di dekat suaminya itu dan membelai lengan suaminya dengan sikap mesra dan manja.

   "Kakangmas Bromatmojo, engkau memang hebat sekali! Putera dan puteri angkat dari Sang Adipati Puger itu ternyata tangguh sekali, akan tetapi menghadapimu, mereka lari ketakutan!"

   Setelah berkata demikian, di depan kakaknya, secara terang-terangan Sariwuni lalu mendekatkan mukanya dan mengecup pipi suaminya. Hal seperti ini selalu tidak menyenangkan hati Sutejo dan kini pun dia menarik mundur mukanya untuk mengelak. Dia tidak senang melihat isterinya itu memperlihatkan kasih sayang di depan orang lain, biarpun orang lain itu kakaknya sendiri.

   "Ah, kenapa harus ada perang ini? Kenapa harus ada bunuh-membunuh? Sesungguhnya,aku tidak suka melihat perang..."

   Katanya, lalu dia menoleh kepada isterinya.

   "Diajeng Sulastri, kenapa kita tidak pulang saja ke Nusabarung? Apa sih perlunya menyerang Puger?"

   "Ah, Kakangmas, engkau tidak tahu. Puger adalah kadipaten yang selalu menghina Nusabarung dan baru sekarang kita mempunyai kesempatan untuk membalas dendam,"

   Jawab Sariwuni yang oleh Sutejo dianggap bernama Sulastri.

   "Dan telah lama aku mengidamkan seorang puteri yang cocok untuk menjadi isteriku,menjadi calon permaisuriku kalau kelak aku menggantikan Kanjeng Romo menjadi adipati di Nusabarung. Aku melihat puteri Adipati Puger itu cantik sekali,cantik dan gagah perkasa, pantas kalau menjadi calon isteriku,"

   Kata pula Bandupati.

   Seperti kita ketahui, Sutejo berada di bawah pengaruh racun Lalijiwo. Karena racun itu diberikan kepadanya setiap hari, maka setelah lewat dua tahun saja dia sudah lupa akan segala riwayatnya yang lampau. Yang diingatnya adalah semenjak dia bertemu dengan putera-puteri Adipati Nusabarung itu sampai sekarang. Dan dia sudah menganggap pasti bahwa dirinya adalah Bromatmojo dan bahwa wanita yang menjadi isterinya itu adalah Sulastri, satu-satunya wanita yang memenuhi hatinya,satu-satunya wanita yang dicintanya, bahwa Bandupati adalah Kakak Sulastri. Bahkan setelah melihat dia benar-benar melupakan asal-usulnya, Sariwuni berani menceritakan bahwa selain nama Sulastri, dia mempunyai nama lain, yaitu Sariwuni.

   Setelah melihat keadaan Sutejo benar-benar berada di bawah pengaruh mereka, mulailah keluarga Adipati Nusabarung mengatur pasukan untuk menyerbu ke seberang daratan, ke Puger yang menjadi musuh sejak dahulu. Dan tepat seperti yang mereka harapkan dan perhitungkan, di dalam pertempuran itu, Sutejo yang mereka kenal sebagai Bromatmojo itu telah berjasa besar, sepak terjangnya hebat sekali sehingga semua senopati dari Puger tidak kuat menghadapinya, bahkan putera dan puteri Adipati Puger yang terkenal digdaya itu pun tidak tahan melawannya dan sampai dua kali pasukan-pasukan Puger mereka pukul mundur! Akan tetapi, untuk terus menyerbu ke Puger mereka masih belum berani, mengingat bahwa Puger memiliki pasukan yang jauh lebih kuat dan lebih besar.

   Maka setelah memperoleh kemenangan sebanyak dua kali pertempuran, Bandupati yang memimpin penyerbuan itu lalu mengutus Pamannya, yaitu Menak Srenggo, untuk memimpin sepasukan mata-mata untuk melakukan penyelidikan ke Puger, untuk melihat perkembangan dan persiapan musuh. Ketika tiga orang muda ini sedang merayakan kemenangan mereka dengan pesta, tiba-tiba muncul seorang kakek tinggi besar yang bercambang bauk dan bermuka merah. Melihat tiga orang muda itu, kakek ini segera memberi hormat dengan menekuk sebelah kakinya dan menyembah lalu berdiri lagi.

   "Ah, Paman Menak Srenggo, engkau sudah kembali? Duduklah dan ceritakan bagaimana keadaan fihak musuh? Tentu Puger sedang berkabung dan berduka? Ha-ha-ha!"

   Bandupati tertawa bergelak.

   Kakek ini adalah Menak Srenggo, bekas senopati Puger. Seperti telah diceritakan di bagian depan Menak Srenggo ini adalah kakak misan dari Retno Sami, selir Adipati Puger yang bersekongkol dengan mendiang Murwendo dan Murwanti untuk memberontak kepada Adipati Puger dan akhirnya dua orang muda itu berikut selir yang tidak setia itu terbunuh. Akan tetapi Menak Srenggo berhasil melarikan diri.

   Menak Srenggo adalah adik misan dari Adipati Menak Dibyo, adipati dari Nusabarung, ayah kandung Bandupati dan Sariwuni. Dan memang dia bersama Retno Sami dahulu sengaja menyelundup sebagai orang-orang taklukan ke Puger untuk memata-matai dan menghancurkan Puger dari dalam. Maka setelah Menak Srenggo berhasil meloloskan diri dari Puger, dia langsung saja kembali ke Nusabarung untuk membantu kakak misannya memusuhi Puger.

   "Raden, kita harus cepat bertindak! Pihak musuh telah mengirim pasukan yang besar jumlahnya, dipimpin oleh Puteri mantu Sang Adipati sendiri! Kalau kita berhasil menghancurkan pasukan ini, maka kita dapat terus menyerbu ke Puger,karena sekali ini pihak Puger mengerahkan seluruh kekuatan kepada pasukannya ini."

   "Besar sekalikah jumlah pasukan mereka?"

   Tanya Bandupati dengan jantung berdebar tegang.

   "Kurang lebih dua kali lipat dari jumlah pasukan kita, Raden. Akan tetapi,semangat mereka sudah runtuh sedangkan semangat anak buah pasukan kita sedang berkobar."

   "Kita tidak perlu takut, suamiku akan menghancurkan nyali mereka setelah berhasil merobohkan semua senopatinya. Kakangmas Bromatmojo, sekali ini kami benar-benar mengharapkan bantuanmu,"

   Kata Sariwuni dengan sikap manja.

   "Jangan khawatir, aku akan menghadapi semua senopati mereka. Akan tetapi apakah tidak ada jalan lain untuk menghentikan perang ini? Bagaimana kalau berdamai saja dan secara baik-baik Kakang Bandupati melamar puteri Adipati Puger? Bukankah dengan demikian, Puger dan Nusabarung menjadi keluarga dan dapat hidup dalam perdamaian?"

   "Wah, mana bisa mereka menerima itu sebelum mereka dikalahkan!"

   Kata Bandupati,sedangkan Menak Srenggo yang merasa sakit hati sekali terhadap Puger juga diam-diam tidak setuju dengan usul perdamaian itu.

   "Puger selalu menghina Nusabarung, kalau sekali ini tidak dipukul hancur,selamanya tentu akan memandang rendah Nusabarung. Padahal, Nusabarung memiliki orang-orang sakti mandraguna, akan cemarlah nama kita sebagai orang-orang gagah kalau sampai harus tunduk kepada Kadipaten Puger tanpa menunjukkan kegagahan kita."

   Sutejo hanya menarik napas panjang dan Menak Srenggo bersama Bandupati segera meninggalkan ruangan itu untuk mengatur barisan. Menak Srenggo yang merupakan ahli perang itu mengatur pasukannya yang hanya setengah jumlah pasukan musuh dengan gaya barisan Kala Kroda yang membentuk seperti seekor kalajengking sedang marah. Seperlima bagian pasukan menjadi kepala kalajengking yang menyambut musuh dari depan, lalu masing-masing seperlima bagian lagi membentuk bagian sapit kalajengking yang akan menyerang dari kanan kiri, kemudian sisanya, yang dua perlima bagian bersembunyi di atas pohon-pohon dengan busur dan anak panah lengkap. Mereka ini diumpamakan bagian ekor yang mengandung sengatan kalajengking yang menyerang musuh dari atas secara menggelap.

   Bagian kepala dipimpin langsung oleh Sutejo yang diharapkan akan dapat langsung menghadapi para senopati lawan dan merobohkan mereka, bagian kedua capit kanan kiri dipimpin masing-masing oleh Sariwuni dan Bandupati, sedangkan bagian ekor yang bersembunyi di pohon-pohon dan di balik semak-semak dipimpin oleh Menak Srenggo. Demikianlah, dalam keadaan segar setelah beristirahat dan makan kenyang,penuh semangat karena sudah mengalami dua kali kemenangan, pasukan Nusabarung siap menanti kedatangan musuh.

   Lewat tengah hari, pasukan Puger sudah mulai tiba di daerah pantai yang berhutan itu. Debu mengebul tinggi diterjang kuda dan manusia yang berbondong datang menyerbu ke dusun yang menjadi markas besar pasukan Nusabarung. Setibanya di depan pintu gerbang dusun yang terjaga ketat itu, dalam jarak puluhan meter,pasukan Puger berhenti. Sulastri yang berpakaian pria, bersama Joko Handoko,Roro Kartiko, Padas Gunung, Pragalbo dan empat orang anak buah Sriti Kencana,telah meloncat turun dari atas kuda masing-masing dan berdiri dengan berjajar siap untuk menghadapi musuh. Sulastri memberi isyarat kepada Pragalbo. Demit Kinang yang berkulit hitam ini, meludahkan

   air sirih yang merah ke atas tanah,kemudian mengangkat dada dan mengeluarkan bentakan yang amat nyaring, ditujukan ke arah dusun yang menjadi benteng musuh, suaranya bergema sampai jauh.

   "Haiiii...! Orang-orang kasar dari Nusabarung! Keluarlah untuk menerima kematian!"

   Baru saja gema suara ini lenyap, terdengar sorak-sorai gegap-gempita dan dari dalam pintu gerbang dusun yang tiba-tiba terbuka, berbondong-bondong menyerbulah pasukan Nusabarung yang sepak terjangnya seperti gerombolan raksasa ganas dan buas itu. Pasukan yang buas ini dipimpin oleh seorang pemuda yang bukan lain adalah Sutejo, yang kelihatan menyolok sekali di antara gerombolan raksasa itu karena berbeda sekali dengan mereka yang bersorak dan bergerak dengan liar,pemuda ini nampak tenang dan halus gerak-geriknya.

   "Lihat, itulah dia, Mbakayu...!"

   Roro Kartiko berseru, akan tetapi Sulastri memang telah melihatnya dan dara ini berdiri dengan muka pucat sekali, kedua kakinya menggigil dan jantungnya berdebar tegang. Tak salah lagi, itulah Sutejo! Akan tetapi, dia melihat Sutejo mulai mengamuk dan dengan kedua tangan dan kaki, tanpa mempergunakan senjata, pemuda itu mulai menampar dan menendangi para perajurit Puger, sedangkan para perajurit Nusabarung juga sudah menyerbu bagaikan harimau-harimau buas, dengan pekik-pekik dan gerengan-gerengan dahsyat, ke tempat mereka berdiri. Timbullah kemarahan di hati Sulastri yang tadinya tersentuh keharuan hatinya melihat Sutejo. Dia pun bergerak dan mengamuk, di samping "suaminya"

   Yaitu Joko Handoko, Roro Kartiko dan teman-teman lain.

   Terjadilah perang campuh yang kacau balau, tidak memilih lawan, sehingga agak sukar bagi Sulastri untuk dapat mendekati Sutejo. Namun dia merobohkan setiap orang penghalang dalam usahanya mendekati pemuda yang kini menjadi senopati lawan itu. Hal ini tidaklah mudah karena para perajurit Nusabarung benar-benar merupakan manusia-manusia raksasa yang sepak terjangnya seperti segerombolan binatang buas, yang bertempur dengan nekat dan kasar sekali.

   Pada saat itu, terdengar sorak-sorai dari arah kanan dan kiri, dan ternyata muncul pasukan-pasukan dari kanan kiri yang tadinya sudah bersembunyi di luar dusun yang kini menghimpit pasukan Puger untuk membantu pasukan yang dipimpin oleh Sutejo itu. Melihat siasat lawan ini, Padas Gunung segera membunyikan tanda untuk memecah pasukannya menjadi barisan segitiga yang menghadap ke depan, kanan dan kiri. Mendengar isyarat ini, para perwira yang memimpin pasukan-pasukan kecil masing-masing lalu cepat memberi aba-aba dan berubahlah gerakan pasukan Puger, terpecah menjadi tiga sehingga perang campuh terjadi di tiga bagian dengan hebatnya.

   Biarpun jumlah pasukan pihak Nusabarung jauh kalah banyak, akan tetapi karena sepak terjang mereka yang nekat, berkelahi penuh semangat seperti harimau-harimau kelaparan, maka perang campuh itu hebat dan seru sekali. Setiap orang perajurit Nusabarung menghadapi pengeroyokan dua tiga orang lawan, namun mereka itu berkelahi seperti raksasa mabok, tidak mempedulikan keselamatan diri sendiri sehingga menggiriskan pihak Puger. Akhirnya Sulastri dan suaminya serta adik iparnya dapat berhadapan dengan Sutejo! Kini Sutejo telah bergabung dengan isterinya, yaitu Sariwuni, dan Bandupati.

   Melihat Roro Kartiko, Bandupati segera berteriak kepada para perajurit yang mengeroyok.

   "Jangan bunuh dara itu, jangan lukai dia! Tangkap hidup-hidup!"

   "Kakangmas Sutejo...!"

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba Roro Kartiko menjerit ketika berhadapan dengan Sutejo.

   Orang muda itu kelihatan terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.

   "Sutejo...? Aku... aku mengenal nama itu..."

   "Ah, Kakangmas Sutejo, apakah Andika tidak ingat lagi kepada Mbakayu Sulastri?"

   Kembali Roro Kartiko berseru dan Sulastri yang kini tak dapat menahan dua titik air mata membasahi pipinya, mengambil sikap tidak perduli dan merobohkan seorang raksasa Nusabarung dengan tamparan Hasto Nogo tangan kirinya.

   "Dessss...!"

   Raksasa itu terguling dan tak dapat bangkit kembali karena kepalanya sudah pecah.

   "Sulastri? Dia isteriku... eh, Sulastri, apa yang dikatakan wanita ini? Apa artinya ini?"

   Sutejo memandang kepada Sariwuni yang cepat mendekatinya.

   "Kakangmas Bromatmojo, jangan dengarkan dia, jangan pedulikan mereka. Hantam terus, hancurkan musuh Nusabarung!"

   Kini pihak Sulastri dan dua orang kakak beradik itu yang terkejut bukan main. Sutejo disebut Bromatmojo oleh Sariwuni, dan Sariwuni disebut Sulastri oleh Sutejo. Apa artinya itu? Apakah Sutejo sudah gila, ataukah mereka yang linglung?

   "Dimas Sutejo, apakah artinya ucapan Andika itu?"

   Joko Handoko membentak marah.

   "Diajeng Sulastri itulah Bromatmojo, dan...!"

   Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah diterjang oleh Bandupati yang berteriak nyaring.

   "Plak-plak-plak...!"

   Tiga kali Bandupati menyerang dan tiga kali pula Joko Handoko menangkis, akan tetapi Joko Handoko terhuyung saking kuatnya serangan yang dilakukan oleh Bandupati. Mereka segera bertanding dengan hebat dan mati-matian,menggunakan keris masing-masing dan segera terpisah dari yang lain.

   Sutejo makin bingung. Dia memandang kepada Sulastri, kemudian kepada Roro Kartiko, dan kepada Sariwuni.

   "Aku... akulah Bromatmojo dan isteriku ini Sulastri... kalian bicara apakah...?"

   Sulastri tidak dapat menahan kemarahannya lagi.

   "Keparat yang menjadi pengkhianat! Engkau tidak mengenal lagi Bromatmojo atau Sulastri? Baiklah, akan tetapi tentu engkau mengenal ini!"

   Dan langsung dia menggunakan gerakan Turonggo Bayu, secepat kilat tubuhnya sudah meluncur dan tangannya menyambar ke arah kepala Sutejo dengan pukulan Hasto Nogo yang amat dahsyat!

   "Syuuuuuuttt... duk-duk-desss...!!"

   Sutejo dapat menangkis dan pertemuan kedua lengan terakhir sedemikian hebatnya sehingga tubuh mereka terpental ke belakang dan agak terhuyung, Sulastri merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar. Dia maklum bahwa memang dalam hal kesaktian, dia masih kalah setingkat oleh pemuda itu. Akan tetapi perasaan sakit hati dan marah membuat dia nekat dan dia sudah menerjang lagi sambil berseru.

   "Engkau atau aku yang akan mati saat ini!"

   Dan dia sudah menggerakkan tubuhnya dengan cepat, menyerang dengan Aji Hasto Bairowo yang amat dahsyat.

   Sutejo dengan bingung dan bimbang menandinginya, akan tetapi lebih banyak menangkis atau mengelak daripada menyerang. Juga berkali-kali dia meneriaki Sariwuni dan Bandupati agar jangan membunuh lawan mereka. Dia merasa bingung, merasa seperti mengenal tiga orang lawan ini, akan tetapi tidak dapat mengingat lagi kapan dan di mana. Dia makin bingung mendengar nama Sutejo!

   "Sulastri, jangan bunuh dia...! Kakang Bandupati, jangan membunuh dia, aku seperti... seperti mengenal mereka dengan baik...!"

   Berkali-kali dia berteriak sambil tetap menghadapi Sulastri yang menyerangnya dengan mati-matian.

   Mendengar ini, Sulastri menjadi makin marah. Kiranya Sutejo telah menikah dengan wanita cantik itu, dan wanita itu bernama... Sulastri! Ataukah hanya berpura-pura bernama Sulastri? Buktinya, Sutejo kini beralih nama menjadi... Bromatmojo!

   "Tak perlu pura-pura dan banyak cakap, kau jahanam busuk!"

   Bentaknya dengan suara nyaring dan dia sudah menerjang lagi dengan hebat.

   "Wuuuttt... dessss!"

   Biarpun Sutejo sudah berusaha menangkis, namun pukulan itu sedemikian hebatnya sehingga tetap saja pundak Sutejo kena pukulan Hasto Nogo sehingga dia terlempar dan terbanting.

   "Kakangmas Bromatmojo...!"

   Sariwuni menjerit dan meninggalkan lawannya, menubruk ke arah suaminya. Namun Sutejo yang memiliki kedigdayaan luar biasa itu hanya merasa pening saja dan dia sudah meloncat bangkit kembali.

   "Mari kita mundur saja...!"

   Sutejo berkata.

   "Mereka... mereka itu..."

   Dia bingung dan pada saat itu, Sulastri yang melihat Sutejo berangkulan mesra dengan Sariwuni yang menolongnya, sudah menerjang lagi dengan dahsyat dan dengan hati yang amat panas.

   "Desss...!"

   Sutejo menangkis dan keduanya terpental. Sariwuni juga terpaksa harus melawan lagi Roro Kartiko yang sudah menerjangnya dengan keris di tangan. Pertempuran berlangsung terus dengan hebatnya.

   Kini pihak Nusabarung mulai terdesak juga karena memang kalah banyak. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan dan banyak perajurit Puger roboh disambar anak panah dari atas. Itulah ekor atau sengat kalajengking yang sudah mulai bergerak! Barisan yang bersembunyi di atas pohon-pohon dan di balik semak-semak telah mulai bergerak menghujankan anak panak ke arah para perajurit Puger. Karena mereka itu bersembunyi di atas pohon, maka mereka yang memang terdiri dari ahli-ahli panah itu dapat menujukan anak-anak panah mereka ke arah tubuh para perajurit musuh. Tentu saja bantuan yang tak tersangka-sangka ini membuat pasukan Puger menjadi panik dan mereka terpaksa harus menggunakan perisai untuk melindungi diri dari serangan anak panah dari atas. Dan dengan cara begini, tentu saja mereka menjadi kurang kuat untuk menghadapi serangan lawan yang berdepan. Maka mulailah pasukan Puger terdesak dan banyak jatuh korban.

   Melihat keadaan ini, Sulastri dan kawan-kawannya menjadi khawatir juga. Sulastri merasa makin jengkel karena dia masih belum berhasil merobohkan Sutejo, sedangkan Roro Kartiko yang dibantu oleh Ayu Kunti dan Ambar, dua orang anak buah Sriti Kencana, dan Joko Handoko yang dibantu oleh Tarmi dan Cempaka, dua orang anak buah Sriti Kencana lainnya, juga belum berhasil menjatuhkan Sariwuni dan Bandupati. Bahkan Joko Handoko dan dua orang anak buahnya mulai terdesak oleh Bandupati yang amat tangguh itu dan baru setelah Padas Gunung turun tangan membantu, Bandupati menjadi berbalik kena didesak dan terpaksa dibantu oleh dua orang pengawalnya. Juga Pragalbo masih bertanding melawan Menak Srenggo yang sudah turun dari atas pohon dan membantu putera dan puteri adipati itu.

   Melihat betapa pasukannya mulai terdesak hebat, Pragalbo cepat berlari ke belakang, menyelinap di antara perajurit-perajurit meninggalkan Menak Srenggo dan membunyikan tanda untuk menarik mundur pasukannya. Akan tetapi tiba-tiba Sulastri meloncat dan merampas terompet yang ditiupnya.

   "Kita melawan terus, Paman, sampai titik darah terakhir!"

   Kata Sulastri dan dia langsung menerjang Sutejo lagi dengan kemarahan yang sudah meluap-luap! Pragalbo tercengang, bingung akan tetapi terdengar suara ketawa dan Menak Srenggo telah menerjangnya lagi.

   "Ha-ha, Pragalbo, wanita itu lebih gagah daripadamu yang takut mampus. Ha-ha, bersiaplah untuk mati dan kucekik lehermu!"

   "Manusia rendah, pengkhianat terkutuk!"

   Pragalbo membentak dan dia pun melawan dengan hebatnya. Kini tidak ada lagi sekelumit pun niat di hatinya untuk mundur.

   Akan tetapi sekali ini benar-benar pihak Puger terdesak dan terhimpit. Korban yang jatuh makin banyak dan semangat bertempur mereka pun mulai menurun, berbeda dengan semangat bertempur pihak Nusabarung yang makin menggelora. Agaknya, sebelum senja terganti malam, pasukan Puger sudah akan dapat dihancurkan dan dibinasakan sebagian besar perajuritnya dan mereka akan terpaksa melarikan diri atau menyerah, matahari telah condong ke barat namun perang campuh itu masih berlangsung terus.

   (Lanjut ke Jilid 35)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 35

   Debu mengebul tinggi memenuhi udara bercampur dengan pekik dan sorak mereka yang mengantar nyawa mereka yang tewas dalam perang yang haus darah itu. Mereka itu seperti bukan manusia lagi, melainkan sekelompok binatang buas yang haus darah. Darah berceceran di mana-mana, kilatan keris, pedang dan tombak yang berlumur darah menyilaukan mata, peluh bercucuran bersama dengan darah, dan sinar mata yang mencorong penuh nafsu membunuh sungguh mengerikan untuk dipandang. Yang ada hanyalah membunuh atau terbunuh inilah yang membuat mereka menjadi nekat.

   Naluri untuk menyelamatkan diri bercampur dengan nafsu untuk menang, yang membuat manusia lupa akan segala sesuatu, membuat manusia menjadi kejam luar biasa. Yang penting hanya menang, menang, dan untuk mencapai kemenangan itu, membunuh sesama manusia bukan apa-apa, bahkan merupakan hal yang terhormat dan tinggi nilainya! Itulah "kebudayaan"

   Perang dan celakanya,kebudayaan macam ini menjadi bagian penting dari "peradaban"

   Manusia! Kini kedua pihak sudah sama lelah sehingga teriakan-teriakan tidak bergitu terdengar lagi. Yang meramaikan suasana hanyalah bunyi dencing bertemunya senjata-senjata dibarengi dengus napas mereka dan kadang-kadang diseling teriakan mengerikan kalau ada manusia yang roboh dan tewas. Pihak Puger makin terdesak.

   Pertempuran antara Sulastri dan Sutejo juga nampak perubahan ketika Sutejo mempercepat gerakannya. Dalam benturan tenaga sakti, Sutejo mengeluarkan suara bentakan nyaring dan Sulastri terpental sampai beberapa meter lalu roboh terbanting. Melihat ini, Sariwuni yang sejak tadi mendesak Roro Kartiko namun belum berhasil mengalahkannya karena dara ini dibantu dua orang, cepat meloncat dan mengayun kerisnya menikam ke arah leher Sulastri. Sariwuni yang menyaksikan sikap Sutejo kini diam-diam mengerti bahwa gadis berpakaian pria inilah yang selalu disebut-sebut oleh suaminya. Pantas saja suaminya yang baru sekarang diketahui bernama Sutejo itu hanya mengenal dua nama, yaitu Sulastri dan Bromatmojo, yaitu nama dari dara itulah! Baru dia dapat menduga akan duduknya perkara. Tentu "ada apa-apa"

   Antara suaminya dan dara berpakaian pria yang sakti mandraguna itu, maka kini melihat Sulastri roboh, dia sudah menerjang untuk membunuhnya.

   "Isteriku, jangan...!"

   Sutejo melompat dan cepat menangkis tusukan itu.

   Lengannya berdarah karena kulitnya lecet oleh tusukan keris Sariwuni, akan tetapi Sulastri lolos dari bahaya maut. Dara ini sudah meloncat lagi, mukanya pucat dan matanya memandang dengan kemarahan meluap-luap. Akan tetapi dia tidak merasa bahwa ada dua titik air mata menempel di atas kedua pipinya, di bawah mata.

   Pada saat tentara Puger terdesak hebat, tiba-tiba terdengar sorak-sorai gegap gempita dan nampaklah pasukan baru yang datang menyerbu, langsung menyerang pasukan Nusabarung! Itulah pasukan bantuan dari Lumajang yang dipimpin oleh Maeso Pawagal! Seperti kita ketahui, melihat Sulastri meninggalkan Lumajang dan mendengar betapa Puger diserang oleh Nusabarung, Sang Adipati di Lumajang lalu mengutus Maeso Pawagal, seorang senopatinya, untuk memimpin seribu orang perajurit pilihan dan pergi ke selatan membantu Puger. Ketika tiba di Puger,Maeso Pawagal mendengar bahwa bala tentara Puger telah menyerang ke selatan,maka dia segera membawa pasukannya mengejar. Akhirnya, menjelang senja itu, dia tiba di pesisir dan melihat betapa pasukan Puger sedang terdesak hebat, maka dia lalu mengerahkan pasukannya untuk menyerbu. Kini gemparlah keadaan di medan perang itu dan pasukan Nusabarung menjadi panik.

   Kekuatan pasukan Lumajang masih segar dan tentu saja bantuan pasukan Lumajang ini membangkitkan kembali semangat pasukan Puger yang tadi sudah terdesak dan terhimpit itu. Sebaliknya, pasukan Nusabarung menjadi geger dan nyali mereka menyempit. Melihat gelagat yang tidak baik ini, apalagi karena senja telah mulai gelap, Menak Srenggo cepat membunyikan tanda untuk menarik mundur tentaranya.

   Mereka segera mundur dan lari berserabutan ke laut, di mana telah siap perahu-perahu mereka. Mereka berloncatan ke dalam perahu, dikejar-kejar oleh pasukan Puger dan Lumajang, meninggalkan mereka yang tewas dan terluka. Juga Sutejo, Sariwuni, dan Bandupati telah lebih dulu mengundurkan diri dan kembali ke Nusabarung. Sekali ini, biarpun tadinya pihak Nusabarung telah hampir merebut kemenangan, akhirnya mereka harus mengakui kekalahan karena bantuan dari Lumajang itu.

   "Keparat! Aku akan membujuk Kakang Adipati Menak Dibyo untuk sewaktu-waktu menyerbu dan menghajar Lumajang!"

   Menak Srenggo mengepal tinjunya di atas perahu ketika luka di paha kirinya dirawat oleh seorang ahli pengobatan. Sementara itu, Sutejo duduk termenung di perahu, membiarkan saja isterinya merangkulnya. Dia masih bingung dan betapapun dia memutar otaknya, dia tidak dapat mengingat siapa adanya tiga orang muda yang menjadi senopati Puger tadi.

   Dia merasa sudah mengenal baik dengan mereka itu, terutama sekali gadis berpakaian pria yang gagah perkasa tadi. Ada sesuatu yang aneh tergerak di dalam dadanya ketika dia bertemu dan bertanding dengan dara itu, sesuatu yang menyentuh perasaan dan amat mengharukan hatinya. Akan tetapi juga membuat dia bingung sekali. Apalagi mendengar nama Sutejo disebut orang, dia menjadi makin bingung karena nama ini pun amat dikenalnya!

   "Kakangmas, mereka itu menggunakan ilmu hitam untuk membikin bingung padamu. Sudahlah, jangan memikirkan mereka lagi. Untuk kekalahan ini, Ayah tentu akan membalas dendam."

   Sariwuni menghibur, biarpun hatinya sendiri merasa tidak enak,penuh dengan kegelisahan dan rasa cemburu mengingat akan sikap suaminya terhadap dara berpakaian pria tadi.

   Akan tetapi Sutejo diam saja dan menghadapi belaian dan rayuan wanita yang dianggapnya Sulastri dan yang menjadi isterinya itu dengan sikap dingin. Perahu-perahu itu membawa perajurit-perajurit Nusabarung, melaju karena layar-layarnya menerima hembusan angin sepenuhnya menuju ke Nusabarung. Hampir sepertiga jumlah pasukan mereka menjadi korban dalam perang itu.

   Biarpun pihaknya sendiri mengalami banyak korban yang jatuh, namun pasukan Puger kembali ke Puger dengan hati besar. Sang Adipati lalu mengadakan pesta untuk menghormati kedatangan pasukan Lumajang yang membantu dan untuk merayakan kemenangan. Beginilah perang! Perang dikobarkan oleh manusia yang memperebutkan kemenangan, karena kemenangan dianggap sebagai jalan menuju ke kemuliaan dan kesenangan. Demikian kejamnya perang, kejam dan palsu. Manusia menjadi tidak ada artinya sama sekali, dipermainkan oleh nafsu-nafsu beberapa orang yang berada di atas yang menghendaki kemenangan di pihaknya karena kemenangan ini akan memperkuat kedudukannya, akan mempertahankan kemuliaan dan kehormatannya, akan menjamin keselamatan dan kesenangannya. Dan untuk itu, semua rakyat dikerahkan untuk saling bunuh dengan musuh, yaitu manusia-manusia lain yang dianggap menghalangi kesenangannya atau membahayakan kedudukannya. Dan kalau perang sudah selesai, kemenangan dirayakan dengan pesta pora.

   Perajurit-perajurit yang masih hidup diberi hadiah, sekedar hiburan. Yang sakit dirawat dan diberi hadiah pula,sekedar hiburan. Yang mati akan dihormati namanya dan diingat untuk suatu saat tertentu, sekedar hiburan. Mereka ini hanya alat cukup dipelihara sekedarnya agar sewaktu-waktu dapat dipergunakan lagi apabila perlu. Dan yang benar-benar merayakan kemenangan ini adalah mereka yang benar-benar menang, mereka yang dapat mempertahankan kedudukan dan kesenangan bagi diri sendiri. Penderitaan rakyat atau para perajurit hanya diingat sewaktu-waktu saja, lalu dilupakan. Para keluarga perajurit yang tewas, kehilangan suami, ayah atau anak, dan sebagai gantinya menerima sekedar hiburan itu, juga hiburan batin bahwa mereka mengorbankan nyawa ayah, suami atau anak demi ini, demi itu yang muluk-muluk.

   Akan tetapi, betapa banyaknya di keheningan malam di kala mereka merindukan dia yang telah "gugur sebagai bunga", mereka bertanya-tanya kepada diri-sendiri mengapa terjadi ini semua? Mengapa nyawa manusia dikorbankan secara demikian sia-sia? Dapatkah kebahagiaan diperoleh dengan cara saling sembelih? Dapatkah kebenaran diraih dengan cara saling bunuh? Hati nurani bertanya-tanya. Mengapa kita suka perang? Mengapa kita suka bermusuhan? Mengapa kita membenci?

   Semua orang mengatakan ingin damai. Semua orang mengatakan ingin baik. Semua orang mengatakan ingin bersahabat, ingin dicinta. Betapa mungkin bicara tentang damai kalau kita masih suka bermusuhan? Hentikan permusuhan dan tanpa dicari perdamaian pun akan muncul. Betapa mungkin bicara tentang kebaikan kalau kita masih suka melakukan kejahatan. Hentikan perbuatan jahat dan tanpa dicari lagi kebaikan pun akan timbul. Yang penting adalah meneliti diri sendiri, mengenal diri sendiri, mengerti diri sendiri. Hal ini baru mungkin terlaksana kalau kita mengawasi diri sendiri setiap saat, memandang dan mendengarkan segala gerak-gerik diri sendiri lahir batin setiap saat, mengamati jalan pikiran sendiri, suara hati sendiri, sehingga akan nampaklah semua kepalsuan dan kebusukan diri sendiri.

   Kita selalu ingin merubah kedudukan, padahal keadaan itu adalah kenyataan,sedangkan keinginan merubah itu hanyalah khayal belaka. Kita pemarah, akan tetapi kita ingin menjadi penyabar. Mana mungkin ini? Nanti hanya akan muncul paksaan, sabar pura-pura dan palsu, dan itu bukanlah sabar namanya. Kesabaran akan ada kalau kemarahan sudah tidak ada. Jadi yang penting bukan mengkhayalkan kesabaran yang tidak ada, melainkan mempelajari kemarahan yang berada di dalam batin sendiri itulah! Aku marah! Aku adalah kemarahan itu sendiri adalah pikiran,dan pikiran adalah kemarahan itu sendiri. Kemarahan timbul karena pikiran mengingat-ingat hal yang merugikan Si aku lahir batin. Si aku juga Si pikiran itulah, pikiran membentuk aku dan kalau aku dirugikan, maka aku menjadi kemarahan! Aku marah, kemarahan itu tiada bedanya dengan aku, Si pikiran. Lalu aku tidak marah, pikiran yang sesungguhnya adalah kemarahan itu ingin lain, ingin sabar,ingin tidak marah.

   Mana mungkin? Sebaliknya tanpa ingin apa-apa, hanya mengamati diri-sendiri, yaitu kemarahan itu, maka kita akan mengenal diri sendiri. Pengenalan diri sendiri ini akan menimbulkan kewaspadaan dan pengertian, dan mendatangkan perubahan yang tidak dipaksakan oleh Si aku, yaitu pikiran itu sendiri pula. Kalau sudah terjadi perubahan, kalau sudah tidak ada kemarahan,maka tidak lagi dibutuhkan kesabaran yang dicita-citakan itu tadi. Demikian pula dengan perdamaian. Perdamaian yang dicita-citakan hanyalah permainan dari pikiran, permainan dari Si aku yang sedang berada dalam keadaan perang. Dalam keadaan perang mengkhayalkan perdamaian adalah omong kosong besar.

   Perang di dunia merupakan bentrokan keinginan yang berbeda-beda dan berlawanan dari bangsa-bangsa, dan bangsa-bangsa adalah masyarakat-masyarakat, dan masyarakat adalah kita, saya dan anda dan dia. Selama kita menjadi hamba dari keinginan-keinginan kita, mengejar keinginan yang diperluas dengan sebutan cita-cita dan sebagainya, maka sudah pasti akan terjadi bentrokan-bentrokan, konflik-konflik yang berupa bentrokan antar manusia, kemudian bentrokan antar ras, antar kelompok, antar suku, kemudian antara bangsa dan antara negara, juga antara agama dan politik! Hal ini sudah jelas sekali bagi siapa yang sudi membuka mata dan telinga dan tidak menutup mata terhadap kenyataan, lalu hanya ikut-ikutan saja kepada ajaran-ajaran lapuk yang diulang-ulang.

   

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini