Keris Pusaka Dan Kuda Iblis 1
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
Semenjak dunia berkembang, segala mahluk dan benda baik yang dapat bergerak maupun yang tidak, harus mengakui keunggulan tenaga alam, harus mengakui bahwa mereka tak kuasa melawannya, tak kuasa menolaknya, hanya kuasa lari menjauhinya atau pergi sembunyi mencari tempat perlindungan, jika sewaktu-waktu tenaga alam memperlihatkan keunggulannya, jika tenaga alam bangkit dan mempermainkan segala apa yang ada di muka bumi ini.
Demikian pula penduduk ibu kota Karta, ibu kota Kerajaan Mataram dengan daerahnya yang terkenal subur makmur gemah ripah loh Jinawi itu, dimana rakyat hidup penuh kebahagiaan karena murah sandang pangan, tata tenteram reja raharja, karena kendali pemerintah berada dalam sepasang lengan yang kuat dari Sultan Agung, Mas Rangsang yang bergelar Panembahan Agung Senapati Ing Alaga Ngabdurrahman, seorang penata praja yang arif bijaksana, sakti mandraguna dan luhur budi pekertinya. Namun demikian, sewaktu-waktu, penduduk ibu kota Karta terpaksa menyerah kepada kekuasaan alam yang maha besar, hingga Sri Sultan sendiri yang terkenal sakti dan perkasa, tak kuasa menentang dan menghentikan kemurkaan alam berupa hujan badai, banjir, gunung meletus, dan lain-lain.
Suatu senja yang basah. Air hujan turun dari angkasa bagaikan sengaja dituang atau seakan-akan mega mendung yang tebal menghitam itu merupakan kantung air yang banyak berlubang dan membocor. Hujan mengamuk dari siang tadi. Baiknya, berkat pengalaman musim hujan tahun lalu, atas perintah raja yang bijaksana, rakyat telah beramai-ramai memperdalam sungai dan membuat tanggul untuk membendung Bengawan Solo yang mudah mengamuk di musim hujan. Pada senja itu tak seorangpun berani keluar dari rumah. Mereka berlindung dalam rumah sambil memandang keluar jendela atau pintu dengan hati risau, mengkhawatirkan sawah ladang mereka. Tapi pada saat itu, dari jurusan timur, seorang pemuda berjalan memasuki pintu gerbang ibu kota dengan langkah tenang.
Hujan telah agak reda tapi masih cukup besar untuk membuat pemuda itu menjadi basah kuyup. Pengikat kepala warna putih itu basah dan air telah menembusinya, membuat rambut yang panjang hitam itu basah pula. Butir-butiran air saling udak di sepanjang hidungnya yang mancung, terus ke bibir dan dagu yang berbentuk tampan dan keras. Dari pinggang ke atas ia telanjang. Bidangnya lebar, pinggang kecil dan buah dadanya membusung, tanda bahwa tubuh itu didiami tenaga yang kuat sekali. Ia memakai celana hitam sebatas betis dan sehelai kain keabu-abuan diikatkan di pinggang. Perhatian anak muda itu seluruhnya tertarik oleh pemandangan di sebelah dalam pintu gerbang hingga ia tidak melihat betapa dua orang penjaga yang berlindung dari hujan di bawah gapura sedang memandang padanya dengan mata curiga.
"Hordah! Siapa di situ?"
Tiba-tiba seorang penjaga menegurnya dengan suara keras dan ujung sebuah tombak yang runcing mengkilap muncul dari balik dinding gapura. Biarpun pakaiannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang kampung, namun pemuda itu ternyata tabah dan sikapnya tenang sekali. Bentakan suara keras dan tajamnya mata tombak tak membuatnya gentar atau gugup. Dengan senyum di bibir ia menengok ke arah penegurnya lalu berkata tenang,
"Maaf, kawan-kawan, aku tidak melihat kalian tadi hingga tidak memberi salam. Aku seorang pengembara dari tempat jauh yang telah lama mengagumi nama dan kebesaran Gusti Sultan dan yang sekarang datang hendak menyaksikan keindahan dan keagungan ibu kota Mataram yang jaya ini."
"Bohong kamu! Masak seorang pelancong datang pada waktu hujan besar begini? Kamu tentu mempunyai maksud Jahat. Hayo ke sini, kami akan geledah dulu."
Pemuda itu tersenyum manis.
"Mau geledah sih boleh saja, tapi kalian harus ke sini, bukan aku yang harus ke situ."
"Eh-eh, banyak tingkah! Hayo kesini kamu!"
Teriak penjaga sambil mengamang-amangkan tinjunya.
"Kau saja ke sini!"
Pemuda itu tetap berkeras tapi mulutnya selalu tersenyum.
"Tidak kau lihat air hujan masih turun? Kami tak sudi kehujanan,"
Jawab penjaga.
"Akupun kehujanan dari tadi. Lagi pula, siapakah yang butuh akan penggeledahan ini? Kalian atau aku? Kalau aku yang butuh digeledah, tentu aku akan ke situ. Tapi sekarang kalianlah yang butuh menggeledahku, maka kalianlah yang harus ke sini."
"Jangan banyak cakap. Lekas kau ke sini, kalau bandel, jangan menyesal nanti jika kami gunakan kekerasan."
Penjaga kedua yang lebih tua dan sabar memberi peringatan.
"Aha, kalian berani gunakan kekerasan? Aku tidak percaya, sedangkan terhadap air hujan saja kalian sudah takut,"
Pemuda itu terus saja berjenaka, tapi suaranya sekali-kali tidak mengandung maksud menghina, bahkan ia seakan-akan ingin bersendau-gurau dengan kedua penjaga itu.
"Bangsat kecil jangan lari!"
Penjaga pertama berseru marah dan meloncat keluar dari tempat meneduhnya dan mengulur tangannya untuk menjambak rambut pemuda itu. Tapi dengan tenang pemuda itu miringkan kepala hingga si penjaga menjambak angin! Penjaga yang bertubuh tinggi besar itu marah sekali. Kini ia menyerang dengan pukulan ke arah dada lawannya yang kembali berkelit tenang. Demikianlah, penjaga itu dipermainkan dengan kelitan dan gerakan lincah hingga ia menjadi pusing. Ketika ia ayun kepalan tangannya untuk kesekian kalinya dengan sepenuh tenaga, pemuda itu berkelit sambil menyindir,
"Sayang, pukul angin lagi!"
Pukulan itu keras sekali dan dilakukan dengan sepenuh tenaga, maka ketika dikelit, tak ampun lagi tubuh si penjaga menjadi limbung dan kakinya terpeleset hingga tubuhnya jatuh berdebuk di atas tanah yang basah dan licin!
"Eh, hati-hati kawan, tanah licin kau nanti jatuh!"
Kata pemuda itu dengan suara demikian jenaka dan lucu hingga penjaga kedua mau tak mau ikut tertawa juga. Penjaga yang jatuh melihat dirinya dipermainkan dan ditertawakan pula oleh kawannya, menjadi arah sekali. Dengan cepat ia meloncat bangun dan lari ke dalam tempat penjagaan dan mengambil tombaknya.
"Bangsat rendah, jangan lari, lihat tombakku!"
Katanya dan cepat ia menyerang lambung lawan dengan tombaknya.
"Hai, jangan main-main dengan senjata tajam."
Pemuda itu masih saja berjenaka sambil loncat berkelit.
"Awas, kutarik keluar ususmu yang jahat!"
Penjaga itu makin marah. Melihat lawannya sudah berlaku nekat dan marah, pemuda itu agaknya kasihan juga. Ketika ujung tombak menyerang ke arah perutnya ia tidak berkelit, tapi gunakan tangannya memapaki senjata itu. Ia gunakan pinggir telapak tangannya menebas bagaikan sebilah parang dan
"Krakk!!"
Gagang tombak terbuat dari kayu asam yang keras dan ulet itu patah menjadi dua! Sementara itu, si penjaga melepaskan gagang tombak yang telah patah karena tenaga sabetan itu membuat telapak tangannya terasa sakit sekali dan ketika dilihatnya, ternyata telapak tangannya luka kulitnya dan berdarah, rasanya perih dan sakit sekali. Penjaga kedua telah keluar dari tempat penjagaan dan memandang pemuda itu dengan bimbang dan kagum.
"Hai, pemuda yang gagah. Raden ini siapa dan dari mana. Menurut aturan yang telah ditentukan, kami para penjaga harus mengetahui keadaan setiap orang asing yang memasuki kota ini."
Mendengar ucapan penjaga tua yang halus ini, pemuda itu berlaku hormat.
"Maafkan aku, Paman. Bukan maksudku mencari keributan. Tadi aku hanya melayani kawan yang suka main-main ini. Aku bernama Jarot dari desa Wangkal di Tengger Utara. Aku seorang pengembara dan ingin sekali melihat Kerajaan Mataram yang telah mashur ini dari dekat. Harap Paman penjaga sudi memaafkanku."
Sikap dan tutur katanya sopan dan menarik hingga penjaga itu hilang kecurigaannya.
"Kalau begitu silakan, anak muda. Hanya saja janganlah kau berjalan seorang diri dalam hari hujan seperti ini, karena hal ini dapat menimbulkan kecurigaan penduduk padamu. Meneduhlah dimana saja, penduduk kota kita akan menerimamu dengan baik."
Jarot mengucap terima kasih dan setelah minta maaf kepada penjaga yang tadi dipermainkannya itu, ia lanjutkan perjalanannya memasuki kota. Dua orang penjaga itu memandangnya dari belakang dengan heran dan kagum.
"Kalau ia ikut memasuki sayembara di alunalun, pasti ia akan menang,"
Kata penjaga tua itu. Pemuda itu membelok ke kiri memasuki sebuah perkampungan yang banyak ditumbuhi pohon pisang. Sebenarnya ia masuk ke kampung itu karena tertarik oleh bunyi irama besi tertempa, menandakan bahwa di kampung situ terdapat seorang pandai besi. Dan pandai besi pada masa itu terpandang tinggi sebagai seorang berkepandaian tinggi, barangkali sama halnya dengan orang sekarang memandang seorang guru ahli. Pandai besi, terutama yang khusus membuat senjata tajam, dianggap berjasa sekali, dan biasanya seorang pembuat keris dianggap seorang suci yang berderajat penembahan atau pertapa sakti dan disebut empu. Dengan perlahan dan hati-hati Jarot mengetuk daun pintu rumah pandai besi itu. Suara tang-ting-tong berhenti sejenak dan terdengarlah suara orang dari dalam,
"Anak muda yang di luar masuklah saja, pintu pondokku tak pernah diganjal atau dipalang. Buka saja!"
Suara ini halus dan besar.
Jarot mendorong daun pintu dengan perasaan heran mengapa orang di dalam tahu bahwa ia adalah seorang pemuda. Ternyata isi gubuk itu melarat sekali. Selain tungku api dan besi landasan serta perabot-pandai sederhana, di sudut terdapat sebuah bale-bale bambu. Seorang orang tua berpakaian jubah putih yang panjang dan tergulung lengan bajunya, tidak bersorban hingga rambutnya yang panjang dan putih yang hanya diikat dengan lawe terurai di atas bahunya, dan bertelanjang kaki sedang berdiri membelakanginya, tangan kiri memegang sebilah keris luk tiga dan tangan kanan memegang sebuah besi pemukul. Ketika mendengar Jarot memasuki pondoknya, orang tua itu balikkan tubuh menghadapinya. Dan sekali pandang saja tahulah Jarot bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang tua ahli tapa yang suci. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia bersila dan menyembah.
"Mohon kemurahan hati Eyang untuk mengampuni saya yang lancang dan berani memasuki pondok Eyang."
Orang tua itu menggunakan lengan kanannya untuk melindungi matanya dari sinar api tungku yang terang dan sepasang matanya yang dilindungi alis putih menatap wajah anak muda yang bersila dengan kepala tunduk di depannya.
"Angger, siapakah kau dan ada apa kau masuk ke dalam gubukku yang miskin dan kotor ini?"
"Saya bernama Jarot dari Pegunungan Tengger, Eyang. Saya seorang perantau yang tak mempunyai tujuan tertentu, hanya ingin menikmati tamasya alam dengan segala pemberian alam yang pengasih, sambil meluaskan pengetahuan yang dangkal. Mohon ampun jika saya mengganggu kepada Eyang. Suara besi landasan terpukul menimbulkan bunyi nyaring dan merdu hingga membetot perasaan saya dan membuat kedua kaki saya dengan tak terasa bergerak ke arah suara. Ampunkan saya, Eyang."
"Hm, agaknya kau juga tergolong manusia pengolah baja?"
"Saya tak berani mengaku seperti itu, Eyang, hanya saya pernah melihat dan membantu Paman Empu Jayagung sebagai penggerak puputan selama beberapa tahun."
"Begitu? Pantas saja kau tertarik oleh suara dentingan landasan. Eh, Jarot, jika kau pernah membantu Empu Jayagung, coba terangkan, dengan apakah orang dapat menguasai kekerasan?"
"Kekerasan hanya dapat ditundukkan dengan kehalusan."
"Syarat apakah untuk dapat menjadi penempa keris?"
"Kekerasan baja hanya dapat dibentuk dan dikalahkan dengan ketekunan, kesabaran, dan kekuatan."
"Bagus, angger. Mari, mari duduk di sana denganku."
Jarot menyatakan terima kasih dan mereka menuju ke bale-bale lalu duduk berhadapan. Sebenarnya Jarot merasa berat untuk duduk bersanding, dan hendak duduk bersila di bawah, tapi hal ini dicegah oleh orang tua itu yang berkata,
"Angger Jarot, jangan kaurendahkan diri di depanku secara berlebih-lebihan. Kau masuk ke rumahku sebagai tamu, dan sebagai orang segolongan, tak perlu kita sungkan-sungkan. Kau lihat dan periksalah keris ini dan coba nyatakan pendapatmu."
Jarot menerima keris luk tiga yang semenjak tadi dipegang oleh orang tua itu. Keris itu sudah hampir selesai dibuat, tinggal menghaluskan saja. Pamornya berkembang bagaikan kulit ular Sanca, warnanya hitam kehijau-hijauan, dan matanya tajam sekali. Jarot kagum melihat keris itu dan diam-diam ia akui bahwa orang tua di hadapannya itu setingkat kepandaiannya dalam pembuatan keris jika dibanding dengan Empu Jayagung, Paman gurunya. Satu hal yang membuat ia heran dan tercengang ialah logam yang dijadikan keris itu. Belum pernah ia melihat logam dengan warna seperti itu dan yang mengeluarkan cahaya seakan-akan logam itu menyemburkan bunga api.
"Pusaka ampuh, Eyang... sungguh saya tidak pernah melihat waja seganjil ini, seakan-akan mengandung hawa... hawa..."
Ia ragu-ragu untuk melanjutkan katakatanya.
"Teruskan, angger."
"Maaf, Eyang, keris ini seakanakan mengandung hawa maut!"
"Kau betul, angger, kau benar. Biarlah sekarang aku perkenalkan diri. Aku adalah Empu Madrim, masih seperguruan dengan Kiai Gede Pemanahan dan ketika Raden Sutawijaya menjadi bupati dengan gelar Senapati Ing Alaga Saidin Panatagama sampai pada waktu satria yang gagah perwira itu membangun Kerajaan Mataram, aku sudah menjadi empunya. Semenjak Raden Sutawijaya tewas dan puteranya, yakni Mas Jolang atau ramanda Sri Sunan yang sekarang, menjadi penggantinya, aku merasa sudah bosan berurusan dengan dunia ramai, maka aku mengasingkan diri di puncak Gunung Sumbing. Dan sebulan yang lalu, tibatiba saja Sri Sultan memanggil aku dan aku diserahi tugas yang berat ini, bukan berat untuk dikerjakan, tapi berat menekan batin."
Jarot mengangguk-angguk. Ia pernah mendengar nama Empu Madrim ini dari gurunya, tapi ia tak menyatakan ini, hanya bertanya,
"Tugas berat apakah itu, Eyang?"
"Begini, angger. Beberapa bulan yang lalu, pada suatu malam Jum'at Kliwon, penduduk kampung Dadapan menjadi geger karena dengan tiba-tiba saja rumah seorang petani terbakar. Petani itu dengan isteri dan lima orang anaknya, semua binasa termakan api. Hanya bujangnya yang selamat dan menurut keterangan bujangnya itu, pada kira-kira tengah malam tepat, terdengar suara mengaung dari atas. Ia lari keluar dan melihat bintang jatuh. Tapi bintang itu tidak lenyap seperti biasa, bahkan makin hebat cahayanya yang merah bagaikan darah. Dan benda yang bernyala-nyala itu tepat jatuh di rumah itu, menembus atap dan segera rumah itu terbakar habis! Setelah api padam, rumah dan tujuh orang penghuninya telah menjadi abu, orang kampung Dadapan ketemukan sebuah logam yang hitam kehijauhijauan sebesar tangan orang. Mereka ambil benda itu dan menyerahkan ke hadapan Sri Sultan. Melihat logam yang ganjil itu, Sri Sultan berhasrat keras untuk membuat keris pusaka, tapi tak seorangpun empu yang berada di Mataram ini kuasa melebur logam itu. Karena itulah maka aku dicari dan diutus ke sini membuatnya."
"Memang tepat, Eyang, karena selain Eyang, siapa pulakah yang sanggup?"
Jarot memuji.
"Tapi aku tak rela, angger, aku tak rela. Tanganku menjadi kotor karenanya, angger. Logam ini pertama kali terjelma telah makan tujuh jiwa dan aku tahu... aku tahu... masih banyak darah yang akan diminumnya... dan aku... tangankulah yang membentuknya menjadi keris..."
"Eyang hanya menjalankan titah sri baginda."
Jarot menghibur.
"Karena itulah, angger. Sri Sultan Agung adalah seorang raja yang bijaksana dan luhur budinya. Tidak pantas beliau memelihara keris Margapati ini. Siapa memegang keris ini, ia akan terlibat dalam soal pembunuhan terus-menerus, dan aku tidak rela kalau Sri Sultan sampai terkena malapetaka ini. Maka, memang Dewata adil, angger. Tanpa dipanggil angger datang."
"Kau lah orangnya yang sanggup menghindarkan raja dari kutukan keris ini. Jarot, akuilah, bukankah kau ini putera Panembahan Cakrawala dan pernah berguru kepada Kyai Ageng Sapujagat?"
Terkejutlah Jarot mendengar ini. Bagaimana orang tua ini bisa tahu? Ia hanya memandang dengan tercengang dan mengangguk perlahan.
"Tak usah heran, angger. Akupun pernah diberi berkah oleh Kyai Ageng Sapujagat yang tuturkan padaku akan halmu. Kita bukanlah orang luar, angger."
Jarot rangkapkan tangan menyembah.
"Maaf, Eyang, saya tadinya tidak tahu bahwa Eyang mempunyai hubungan dengan Eyang guru, maka saya tidak berterus terang. Sekarang terserahlah kepada Eyang, saya hanya menurut saja segala petunjuk Eyang."
"Begini, angger. Kau tundalah perantauanmu dan hentikanlah dulu darma-brata-mu. Kini telah tiba saatnya bagimu untuk mengabdi kepada Sri Sultan yang mulia hingga dengan demikian akan lebih luaslah darmabaktimu kepada Ibu Pertiwi. Kerajaan Mataram menghadapi bermacam-macam percobaan Yang Kuasa, angger, dan yang dapat menolong hanya kau dan si Margapati ini."
"Apa yang harus saya lakukan, Eyang?"
"Besok adalah hari sayembara perang-perangan yang diadakan tiap pekan sekali oleh Sri Sultan. Sayembara ini selalu diadakan oleh Sri Sultan yang memang suka akan olah keprawiraan, dan dengan demikian maka dapat dikumpul dan dipilih satria-satria yang gagah perkasa.
"Kau masukilah sayembara itu, angger. Setelah kau mengabdi raja, maka lindungilah raja dari keris maut ini, buktikanlah hawa maut yang dikandungnya hingga raja percaya akan pengaruh jahat keris ini dan suka menjauhinya."
Jarot menyatakan kesanggupannya hingga Empu Madrim menjadi demikian girang dan lega hingga ia berkenan memberi wejangan-wejangan ilmu dan aji kesaktian kepada Jarot dan semalam suntuk mereka berdua tidak tidur sama sekali. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Empu Madrim membawa keris Margapati ke Keraton. Sebelum berpisah ia pesan kepada Jarot supaya berhati-hati dan waspada dalam segala sepak terjangnya. Seperti biasa pada tiap hari Sabtu, pagi-pagi sekali Sri Sultan Agung telah turun dari tempat peraduannya dan bersiap-siap pergi ke alun-alun menyaksikan pertandingan-pertandingan adu kegagahan.
Teristimewa pagi ini, karena di alun-alun akan lebih ramai daripada hari-hari Sabtu biasa dengan adanya pengumuman bahwa hari ini akan diadakan sayembara pemilihan seorang kepala pahlawan Keraton, yakni para perajurit gagah perkasa yang bertugas menjaga dan melindungi keselamatan raja dan seisi Keraton. Sambil mengenakan busana yang indah dan istimewa, Sri Sultan Agung tersenyum gembira memandang bayangannya di dalam sebuah cermin besar. Sri Sultan Agung pada waktu itu telah berusia empat puluh tahun, tapi masih tampak gagah dan tampan bagaikan seorang jejaka teruna. Tiba-tiba ia melihat dari bayangan cermin betapa Gombak, abdi pelayannya yang setia, menolak daun pintu dan memasuki kamar dengan jalan berjongkok, lalu berhenti di belakangnya dan menyembah.
"Ampunkan hamba berani menghadap tanpa dipanggil,"
Kata Gombak.
"Ada apa, Gombak?"
Tanya Sang Sultan Agung dari bayangan cermin.
"Di luar Empu Madrim mohon menghadap, Gusti."
"Silakan dia menanti sebentar, aku akan menerimanya di ruang luar,"
Jawab Sri Sultan dengan sabar. Ketika Sri Sultan keluar, Empu Madrim berdiri dari kursi yang didudukinya dan membungkukkan badan sebagai tanda menghormat. Sebagai seorang pertapa golongan tua, ia tak perlu bersila dan menyembah kepada raja muda ini. Dengan wajah berseri-seri dan suara halus, Sri Sultan Agung mempersilakan Empu Madrim duduk dan ia sendiri duduk di atas kursi gading terukir.
"Angger Sultan, sekarang adalah saatnya hamba menghaturkan keris yang paduka kehendaki. Inilah keris Margapati, angger."
Dengan gembira Sultan Agung menerima keris Margapati dan dalam hatinya ia terkejut melihat betapa keris luk tiga itu bercahaya bagaikan mengeluarkan api.
"Ah, benar-benar senjata pusaka keramat,"
Katanya perlahan.
"Tapi keampuhannya mendatangkan kebinasaan, angger Sultan. Yakni kalau terjatuh ke dalam tangan seorang tak berbudi. Maka, mohon angger berlaku waspada terhadap keris ini. Kuberi nama keris ini Margapati, karena memang dia telah menjadi sebab kebinasaan dan jika tidak terjaga baik-baik, di kemudian hari dia masih akan menimbulkan maut dan malapetaka."
Tapi Sri Sultan Agung terlampau tertarik dan suka kepada keris pusaka yang betul-betul indah itu hingga pesan dan peringatan Empu Madrim seakan-akan tak terdengar olehnya. Berkali-kali Sri Sultan memuji-muji keahlian Empu Madrim dan tak lupa menyatakan terima kasihnya, bahkan sebagal hadiah, ia perintahkan pelayan untuk mengambil pakaian indah serta barang-barang berharga lain untuk diberikan kepada pertapa itu. Tapi Empu Madrim menolaknya dengan halus dan tersenyum lebar.
"O, angger Sultan, hamba seorang tua tiada guna yang hanya menanti datangnya saat pembebasan dari raga yang sudah lapuk ini. Untuk apa semua barangbarang yang hanya indah bagi raga itu? Sedangkan ragaku sudah lemah dan rusak. Kalau hendak memberi anugerah, janganlah memberi benda, ya angger junjunganku, berilah saja sebuah janji."
Sri Sultan tertawa heran.
"Janji? Boleh, Paman Empu, janji apakah itu? Tentu akan kuberi janji itu asalkan pantas dan dapat kulaksanakan."
"Janji yang sederhana saja, angger. Berjanjilah kepadaku bahwa angger seterusnya akan melindungi rakyat jelata, akan memerintah dengan adil dan bijaksana dan akan menggunakan keris Margapati hanya untuk membela keadilan belaka."
Tentu saja Sri Sultan Agung yang terkenal arif bijaksana itu merasa girang sekali mendengar permintaan ini dan tanpa ragu-ragu ia berikan janji itu kepada Empu Madrim. Empu Madrim mengelus-elus jenggotnya yang putih dan panjang lalu mengangguk-angguk senang.
"Semoga Yang Maha Kuasa selalu melindungi Paduka Sultan dan Kerajaan Mataram serta sekalian rakyatnya."
Kemudian Empu Madrim bermohon diri dan kembali ke tempat pertapaannya, yakni di puncak Gunung Sumbing.
Sri Sultan Agung lalu kembali memasuki kamarnya, menanti datangnya para punggawa yang akan datang menyongsong dan mengantarkannya ke alun-alun tepat pada waktunya. Sementara itu, Jarot yang ditinggalkan Empu Madrim, merasa perutnya lapar sekali. Semenjak kemarin ia belum makan. Selain lapar, iapun ingin sekali mandi karena sudah menjadi kebiasaannya semenjak kecil untuk mandi air dingin di waktu pagi. Ia ingat bahwa ketika kemarin memasuki kota ini, ia melihat kali bengawan yang jernih airnya. Maka ia segera meninggalkan pondok kecil itu dan pergi mencari sungai untuk mandi. Agak jauh dari kampung itu ia dapatkan sungai yang besar dengan airnya yang bening, maka ia merasagirang sekali. Pada saat ia hendak membuka pakaian dan mandi, tiba-tiba terdengar suara merdu beberapa orang wanita yang bercakap-cakap sambil tertawa.
Cepat ia meloncat menyingkir dan bersembunyi di balik serumpun alang-alang. Ternyata yang datang adalah tiga orang gadis yang membawa pakaian untuk dicuci dan agaknya mereka hendak mandi pula. Jarot biasanya tidak tertarik hatinya melihat wanita muda, tapi kali ini melihat gadis yang berjalan di tengah, tiba-tiba hatinya berdebar. Wajah gadis sederhana dengan mulutnya yang tersenyum-senyum itu seakan mempunyai daya tarik yang luar biasa hingga ia menatap gadis itu bagaikan kehilangan semangat! Pula, di dasar hatinya ia merasa seakan-akan gadis itu tidak asing baginya, dan timbullah perasaan yang mesra sekali terhadap anak gadis itu. Ketiga orang gadis itu sambil tertawa-tawa masuk ke dalam air sungai yang hanya sampai sebatas paha dalamnya dan mereka menaruh pakaian yang dibawa ke atas batu-batu hitam yang banyak terdapat di situ.
"Sari, cucianmu paling banyak, kami akan membantumu agar lebih cepat selesainya, tapi kau harus menembang untuk kami,"
Kata seorang di antara mereka kepada gadis yang menarik hati Jarot. Gadis itu tersenyum.
"Kau ini aneh, pagi-pagi orang disuruh menembang. Kan malu kalau terdengar orang lain."
"Ah, sepagi ini takkan ada orang di sini. Kami suka sekali mendengar suaramu yang merdu, Sari. Nyanyikanlah lagu Asmaradana!"
Gadis kedua ikut mendesak.
Setelah melihat ke kanan kiri dan jelas bahwa di situ tidak ada orang lain, gadis itu mengangkat mukanya yang ayu memandang ke atas mengingat-ingat, lalu ia bernyanyi tembang Asmaradana. Kata-kata tembangnya melukiskan keadaan Dewi Sinta yang sedang menangis dalam taman Kerajaan Ngalengkadiraja, yakni kerajaan raja raksasa Dasamuka atau Rahwana raja yang menculiknya dari suaminya yang tercinta, Prabu Ramawijaya. Dewi Sinta menangis meratap-ratap merindukan suaminya yang tak kunjung tiba untuk menolongnya dan membebaskannya dari cengkeraman Dasamuka, si durjana. Suara gadis itu merayu-rayu dan Jarot merasa sangat terharu mendengar tembang itu yang maksudnya demikian :
Wahai murai, angin, dan surya...
sampaikanlah sembah rinduku kepadanya duh, suamiku, pujaan kalbu...
lihatlah betapa isterimu merindu.
Raden Rama... satria kekasih hati, bilakah kau datang menolong rayi...?
tubuhku kurus, hatiku hancur jiwaku sengsara
hanya wajahmu yang selalu terbayang depan mata
duh Raden Rama... suamiku... kekasihku...!
Setelah tembang itu habis dinyanyikan kedua kawan gadis itu tak tahan untuk menahan air matanya, mereka merangkul gadis itu dan seorang di antara mereka berbisik terharu,
"Sinta... Sinta... jangan berduka, Rama tentu akan segera datang..."
Beberapa lama mereka berpelukan, kemudian gadis yang menembang tadi memecahkan hikmat tembangnya dengan tertawa nyaring dan merdu.
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh-eh, kalian ini bagaimana sih? Mau mandi dan mencuci pakaian, atau mau menangis?"
Mereka tertawa-tawa lagi dan mencuci pakaian sambil bersendau gurau, saling menyiram dengan air dan busa buah lerak yang mereka gunakan untuk mencuci pakaian. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa darj balik semak-semak ada dua pasang mata laki-laki yang mengintai dengan pandangan kagum. Mengapa dua pasang? Ya, karena dari belakang semak-semak tak jauh dari tempat Jarot bersembunyi, terdapat pula seorang pemuda hitam tinggi besar yang berwajah menyeramkan. Matanya bulat besar dan kulit mukanya habis dimakan cacar. Ia adalah Raden Mas Bahar, putera tunggal Tumenggung Suryawidura yang sudah tua tapi cukup terkenal karena kekayaannya dan karena anak perempuannya menjadi selir Sri Sultan. Telah lama Bahar rindu dan tergila-gila akan Sekarsari, gadis yang sedang bersenda gurau dengan kedua kawannya di sungai itu.
Berkali-kali Bahar membujuk rayu menggoda Sekarsari, tapi gadis itu tidak menghiraukannya, bahkan memperlihatkan muka membenci dan sebal. Kini, melihat gadis kenangannya itu berada di sungai dengan dua orang gadis lain, serta mendengar tembangnya yang merdu merayu, Bahar tak dapat menahan gelora hatinya lagi. la keluar dari tempat persembunyiannya dan dengan langkah lebar ia menghampiri mereka. Alangkah terkejutnya Sekarsari dan kawan-kawannya. Mereka cepat membereskan kain yang diangkat dan diikatkan di dada setinggi mungkin, lalu mengambil pakaian yang mereka cuci dan siap hendak lari. Tapi Bahar sengaja berdiri mencegat di jalan kecil yang menurun ke sungai itu hingga ketiga orang gadis itu tak berdaya, karena selain melalui jalan kecil itu, sukar juga untuk naik ke tebing.
"Den Mas, berilah kami jalan."
Seorang kawan Sekarsari berkata dengan sikap menghormat. Bahar geleng-geleng kepala dan menyeringai.
"Tidak, sebelum Sekarsari menembang sebuah lagu untukku!"
Tentu saja Sekarsari tidak sudi melakukan permintaan ini, tapi ia tak berani menjawab, hanya palingkan mukanya yang menjadi merah ke arah lain.
"Den Mas, jangan ganggu kami, biarkan kami pulang"
Kedua gadis kawan Sekarsari mendesak. Bahar memberi jalan, kepada mereka, tapi ketika Sekarsari hendak maju, ia mencegat pula dan mengulurkan tangan hendak menangkap. Terpaksa gadis itu mundur dan turun kembali ke sungai. Sedangkan kedua kawannya lari keras sambil angkat kain sebatas lutut. Sekarsari yang ditinggal berdua dengan Bahar menjadi takut dan cemas. Ia memandang ke arah pemuda hitam itu dengan mata terbelalak. Bahar tertawa bergelak.
"Ha-ha, Sekarsari, juwitaku, sekarang kau hendak lari ke mana? Hayo bernyanyilah barang selagu untuk Kang Masmu."
Sambil berkata begini Bahar melangkah turun ke atas batu kali yang besar, mendekati gadis itu. Sekarsari makin takut dan cepat maju ke tengah sungai di mana air lebih dalam hingga mencapai dadanya.
"Eh, jangan terlalu jauh, Sari, kau nanti terbawa air,"
Bahar berkata sambil tertawa. Tapi Sekarsari tak takut akan air karena ia pandai berenang.
"Sari, kemarilah mari kita bercakap-cakap."
Segala bujuk dan rayu keluar dari mulutnya, namun gadis itu tetap tidak sudi menghiraukannya, bahkan berenang makin ke tengah.
"Sari! Awas, ada buaya di sana!"
Tiba-tiba Bahar berteriak. Gadis itu terkejut sekali. Tanpa menengok lagi ia berenang ke tepi dan tubuhnya menggigil takut ketika tangan Bahar memegang lengannya dan membantunya naik ke atas batu. Sekarsari menengok ke arah sungai untuk melihat buaya yang mengancamnya, tapi ia tidak melihat apa-apa di air yang mengalir perlahan itu, kecuali beberapa potong ranting kayu yang hanyut perlahan.
"Mana buayanya?"
Ia bertanya.
"Ha-ha! buayanya berada di kedung, Sari. Di sini tidak ada buaya, di sungai ini paling ada juga ikan lele!"
"Kau... kau... kurang ajar! Lepaskan aku!"
Sekarsari berontak dan berusaha melepaskan lengan kirinya yang dipegang Bahar. Tapi ia kalah tenaga dan Bahar menariknya ke tepi. Ia melawan dengan menyepak, memukul, mencakar, dan menjerit-jerit. Jarot melihat peristiwa itu dengan mata bernyala dan ia sudah siap bertindak. Tapi ditahannya napsu marahnya karena pada saat itu datanglah seorang tua berlari-lari ke tempat itu. Ia adalah Ki Galur, Ayah Sekarsari yang diberi tahu oleh kedua gadis kawan Sekarsari yang lari pulang tadi.
"Ayah...!"
Sekarsari berteriak dan Bahar terpaksa melepaskan pegangannya. Gadis itu lari menubruk Ayahnya sambil menangis.
"Raden Mas Bahar, mengapa kau selalu mengganggu anakku?"
Orang tua itu menegur. Suaranya penuh penyesalan tapi sikapnya tetap menghormat karena ia tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan putera Tumenggung Suryawidura.
"Kau perduli apa?"
Teriak Bahar yang merasa malu dan penasaran atas teguran itu.
"Aku suka pada anakmu, besok kau harus antar ia ke Tumenggungan!"
"Ampun, Den Mas, jangan Den Mas memaksa..."
"Apa katamu? Aku cinta pada Sekarsari dan ingin mengambil dia sebagai selir, kau berani menampik aku? Kau orang tua jangan banyak cakap!"
"Ayah... aku tak sudi, Ayah. Lebih baik mati..."
"Den Mas bagus, ampunkan kami Ayah dan anak. Biar kami tinggalkan tempat ini dan pergi, selanjutnya kami tak berani mengganggu Den Mas pula. Tapi jangan... jangan kau paksa anakku..."
"Diam!"
Bentak Bahar yang maju dua langkah dan ia ayun tangannya menampar kepala Ki Galur. Orang tua yang lemah itu kena tampar terhuyung-huyung ke belakang.
"Kau pengecut... jahanam!"
Sekarsari berteriak dan meloncat menghadang di depan Ayahnya ketika Bahar hendak memukul pula.
"Orang tua sombong, banyak cerewet. Biar kuhajar dia!"
"Jangan... jangan Den Mas..."
Akhirnya Sekarsari berkata lemah, penuh kecemasan ketika Bahar melangkah perlahan ke depan hingga iapun melangkah mundur dengan wajah pucat. Pada saat itu Bahar merasa bahunya ditepuk orang dengan cara yang berani dan kurang ajar. Ia cepat memutar tubuhnya dan berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang berkulit halus bersih. Jarot memandang Bahar dengan mata menghina dan mulut tersenyum.
"Siapa kau? Mengapa berani pegang-pegang pundakku?"
Bentaknya.
"Mengapa tidak berani? Kau juga berani menghina orang tua dan anak gadisnya,"
Jarot balas mengejek.
"Bangsat! Tak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa?"
"Tentu tahu! Aku sedang berhadapan dengan seorang pemuda tidak sopan, seorang yang sombong dan mengandalkan pangkat dan kedudukan untuk menghina orang-orang lemah."
"Anjing keparat! Aku adalah Raden Mas Bahar, putera Tumenggung Suryawidura, kau tidak lekas menyembah?"
"Hm, tak pantas... sungguh tak patut..."
"Apa yang tak patut, keparat?"
"Tak pantas kalau kau putera Tumenggung, pantasnya kau ini seorang perampok hina!"
"Keparat jahanam!"
Dan kepalan Bahar melayang ke arah dada Jarot. Putera Tumenggung ini sebenarnya bukanlah seorang pemuda lemah. Ia pernah belajar pencak silat dan ilmu aji kesaktian, bahkan hari inipun ia berrnaksud memasuki sayembara yuda lumba di alunalun. Maka Jarot pun segera merasa betapa pukulan itu berat dan mendatangkan angin. Tapi dengan gesit Jarot miringkan tubuh dan tangan kirinya membabat dalam tangkisan kuat.
Lengan kanan Bahar terpental dan ia merasa kulit dan tulang lengannya sakit sekali. Ia terkejut karena sama sekali tak disangkanya pemuda yang tampaknya seperti petani desa ini memiliki tenaga sebesar itu. Namun, ia merasa malu untuk mundur, maka segera ia menyerang lagi dengan ganas. Tangan kanan memukul lambung dan tangan kiri menempiling kepala. Dua macam pukulan yang dilakukan dengan sekali gerak dan cepat sekali datangnya itu membuat Jarot diam-diam merasa kagum, tapi dengan mudah dan tak gentar sedikitpun Jarot menundukkan kepala berkelit dari serangan tangan kiri. Sedangkan serangan ke arah lambungnya ia tangkis dengan kepretan tangan. Ia tidak berhenti sampai sekian saja, karena secepat kilat kaki kanannya bergerak menyapu pergelangan kaki lawan hingga tak ampun lagi Bahar berseru kaget dan tahu-tahu tubuhnya terpelanting dan jatuh berdebuk ke atas tanah!
Sungguh malang baginya, tanah di situ basah dan penuh lumpur hingga ketika ia merayap bangun, mukanya penuh tanah lumpur dan menjadi makin buruk! Terdengar suara tertawa nyaring dan merdu. Ternyata Sekarsari tak dapat menahan tawanya karena geli hati melihat keadaan lucu itu dan karena gembiranya melihat orang yang dibencinya mendapat hajaran. Juga Ki Galur tersenyum puas, sungguhpun matanya masih membayangkan kecemasan. Bahar makin marah dan panas hati. Sekali tangannya bergerak maka gagang kerisnya telah tergenggam erat. Napasnya terengah-engah, hidungnya kembang-kempis, matanya merah setengah dikatupkan, giginya dikertakkan dan mulutnya mengeluarkan suara berdesis. Sikapnya merupakan ancaman maut.
"Beri tahu namamu, keparat. Jangan mati tak bernama!"
Geramnya. Suaranya parau menyeramkan. Tapi Jarot hanya tersenyum dan memandang rendah. Sikapnya ini membuat Ki Galur dan terutama Sekarsari, khawatir sekali. Dengan melupakan bahaya, gadis itu lari menghampiri Jarot.
"Raden... larilah... kau tentu akan dibunuhnya... lari... lari, Raden!"
Teriak gadis itu.
"Terima kasih, jangan kau khawatir. Keras bunyi tak berisi. Laki-laki ceriwis ini hanya gayanya saja hebat, tapi ia tak berbahaya sama sekali. Kau lihatlah saja dari sana."
Dengan perlahan ia dorong bahu gadis itu, tapi sungguhpun hanya perlahan saja, cukup membuat Sekarsari merasa terdorong oleh tenaga yang kuat sekali hingga terpaksa ia lari kembali kepada Ayahnya. Jarot bertolak pinggang dan memandang lawannya dengan tenang.
"Bahar, kau betul-betul hendak berkelahi? Aku bernama Jarot dan sebelum terlambat, kunasihatkan kau lebih.baik pulang saja agar takkan menderita lebih hebat lagi!"
"Sombong, rasakan tajamnya kerisku!"
Bahar membentak keras dan ia meloncat menerjang dengan kerisnya yang besar dan hebat.
Sekarsari menjerit lirih dan menggunakan kedua tangan menutupi matanya, tapi Jarot dengan cekatan dapat kelit serangan itu mudah sekali. Lebih lima kali Bahar menerjang, tapi selalu dapat dikelit oleh Jarot. Serangan berikutnya dilakukan dengan gerakan nekat. Kerisnya menusuk ke kanan kiri, ke atas bawah, hingga tak dapat diduga sebelumnya hendak menyerang bagian mana. Kalau lawannya bukan Jarot, tentu ia akan gugup dan bingung karenanya. Tapi dengan masih tenang Jarot gerakkan tangan kanannya mendahului dan menangkap pergelangan tangan Bahar yang memegang keris. Sekali ia kerahkan tenaga, genggaman tangan Bahar terbuka dan kerisnya jatuh ke tanah. Pada saat itu, dengan jari terbuka tangan kiri Jarot melayang dan sebuah tamparan keras sekali tiba di pangkal telinga Bahar! Bahar menjerit.
"Aduh!!"
Dan merasa semrepet, matanya berkunang-kunang, kepalanya berdenyut-denyut, dan ketika ia buka matanya segala apa di kelilingnya berputar dan bergelombang,
Tubuhnya terhuyung-huyung dan ia tak dapat menahan diri lagi ketika tubuhnya terguling dengan lemas! Inilah tamparan tangan Bayusakti yang hebat dan luar biasa! Jangankan sampai tertampar, baru terkena angin tamparan itu saja, kulit terasa pedas dan sakit. Masih untung bagi Bahar bahwa ia telah mempelajari ilmu kekuatan tubuh, dan Jarot tidak menggunakan seluruh tenaganya, kalau tidak demikian halnya, pasti Bahar akan rebah untuk tak bangun kembali! Setelah mengeluh kesakitan, Bahar merayap bangun lalu menjumput kerisnya, tapi sebelum ia sempat berdiri, Jarot ulur tangannya memegang bahunya. Bahar merasa seakan-akan bahunya terjepit dua batu karang yang kuat hingga kerisnya terlepas lagi. Ia masih membungkuk dan tubuhnya menggigil menahan sakit karena tulang bahunya seakan-akan terasa remuk.
"Hayo kau minta maaf kepada Paman ini dan puterinya."
Jarot memerintah sambil mendorong Bahar ke tempat Ki Galur. Karena tak tertahan sakitnya, Bahar terpaksa berkata gemetar,
"Paman... Sari... maafkan aku..."
"Dan berjanjilah bahwa kau tak akan mengganggu mereka lagi."
"Aku... aku berjanji takkan... mengganggu mereka."
Jarot melepaskan pegangannya dan dengan terhuyung-huyung Bahar meninggalkan tempat itu. Ki Galur dan anak gadisnya memandang Jarot dengan kagum dan berterima kasih.
"Raden, terima kasih atas pertolonganmu. Tapi saya harap Raden lekas-lekas pergi dari sini, kalau tidak, saya khawatir Raden akan menemui bencana. Saya yakin Den Mas Bahar tentu akan menuntut balas."
"Biarlah, Paman. Biar aku yang akan bertanggung jawab. Apapun yang akan menimpaku, akan kuhadapi sendiri."
"Kau... kau gagah sekali, Raden. Apakah yang harus kami lakukan sebagai... pembalas budi?"
Kata Sekarsari dengan kerling kagum. Jarot pandang wajah yang ayu jelita itu dengan senyum gembira, lalu ia menjawab,
"Pembalas budi? Aku... aku tak ingin dibalas... tapi..."
Ia teringat akan perutnya yang lapar.
"Aku... lapar...!"
Wajahnya memerah malu. Ki Galur tertawa dan mulut yang tak bergigi lagi itu terbuka, lekas-lekas ia tutup mulut dengan tangannya. Sebaliknya Sekarsari tertawa memperlihatkan dua deret gigi yang indah bagaikan mutiara tersusun rapi.
"Lapar? Kau suka akan ketan, Raden?"
Tanya Sekarsari.
"Ketan...?"
"Ya, ketan putih, dan kelapa, dan juruh.."
"Ketan kelapa dengan juruh?"
Mulut Jarot membasah.
"Ah, enak sekali."
"Kalau kau suka, mari kita pulang..."
"Pulang...?"
Ulangan kata-kata ini diucapkan demikian mesra hingga si gadis bermerah durja. Ia telah lupa sama sekali bahwa orang yang diajak pulang adalah seorang pemuda yang sama sekali asing baginya! Maka teringat akan hal ini, ia tertawa perlahan dan mengambil cuciannya terus lari!
"Mari, Raden."
Ajak Ki Galur.
"Tunggu sebentar, Paman, aku hendak mandi dulu."
Tanpa malu-malu di depan orang tua itu, Jarot menanggalkan pakaiannya dan terjun ke air. Ia berenang ke sana ke mari, diikuti pandangan mata Ki Galur yang kagum sekali melihat kebagusan tubuh yang bersih halus dan membayangkan tenaga hebat itu.
Kemudian, bersama-sama mereka menuju ke sebuah rumah bilik dekat sungai. Sebuah sampan terikat di pinggir bengawan dan selembar jala ikan terjemur di depan rumah. Sekarsari telah bersalin baju dan wajahnya berseri ketika ia mengeluarkan hidangan ketan dengan kelapa dan juruh yang terbuat dari gula kelapa. Sambil makan ketan Jarot tuturkan dengan singkat kepada Ki Galur bahwa ia adalah seorang perantau yang menjalankan darma brata dan mencari pengalaman di kota praja. Ia memberi tahu bahwa tempat tinggalnya adalah jauh di timur. Dari kakek ini ia mendengar bahwa Ki Galur hanya hidup berdua dengan anaknya, Sekarsari, dan bahwa sumber hasilnya ialah mencari ikan di sepanjang bengawan dan hidup sebagai nelayan. Tiba-tiba terdengar bunyi gong dipukul nyaring berkalikali. Ki Galur meloncat bangun.
"Aduh, hampir aku lupa. Hari ini di alun-alun ada sayembara perang tanding, ramai sekali! Hayo, Raden, kita nonton yuda lumba! Lihat betapa satria-satria dan pahlawan-pahlawan gagah perkasa berlaga di alun-alun!"
Dan Jarotpun teringat akan pesan Empu Madrim, maka iapun menjawab,
"Baik, Paman."
"Ayah, aku ikut!"
Tiba-tiba Sekarsari berkata.
"Huss! Tidak boleh. Masak seorang gadis ikut nonton sayembara perang!"
Sekarsari cemberut, tapi ia tak berani membantah Ayahnya.
"Sayang aku tidak dilahirkan sebagai laki-laki."
Terdengar gerutunya yang membuat Ki Galur dan Jarot tersenyum geli.
Alun-alun yang lebar terpajang indah. Janur kuning dan kembang dipasang orang di pintu gerbang. Tanah telah disiram air hingga tidak ada debu dan tanah yang basah menghitam itu menimbulkan hawa sejuk menyenangkan. Orang-orang telah berkumpul mengelilingi tempat yang khusus disediakan untuk mengadu kegagahan, yakni di tengah-tengah. Penjaga-penjaga dengan tombak panjang menjaga di sekeliling tempat itu dan bambu-bambu panjang dipasang melintang sebagai pencegah penonton mendesak ke depan. Sebuah setinggil yang dihias indah didirikan orang dekat tempat perlombaan dan sebuah kursi terbuat dari kayu cendana yang harum dan terukir halus berdiri di situ. Ini adalah tempat yang disediakan untuk Sri Sultan. Tak lama kemudian. Sri Sultan keluar dari Keraton menuju ke alun-alun dengan diiring para hulubalang.
Lagu Kebogiro dimainkan oleh para yogo untuk menyambut rajanya. Para penonton jongkok menyembah di kala Sri Sultan lewat dengan tindakan agung. Tiada suara orang berbisik ketika Sri Sultan menuju ke setinggil, kecuali suara gamelan yang riang gembira itu. Setelah Sri Sultan duduk di atas kursi cendana, maka ramailah kembali suara para penonton. Di sudut alun-alun berkumpul para muda dan satria yang berpakaian indah. Mereka inilah yang hendak memasuki sayembara. Kurang lebih ada tiga puluh orang yang hendak ikut dan mereka semua tampak gagah dan kuat. Menurut acara, pertandingan itu diadakan dalam lima babak. Pertama : tiap pengikut sayembara harus dapat mengangkat sebuah besi yang terdapat di bawah pohon waringin di alun-alun itu. Besi itu adalah sebuah jangkar kapal yang besar dan berat,
Hingga untuk membawanya ke tempat itu dibutuhkan tenaga empat orang laki-laki kuat yang menggotongnya! Besi jangkar itu harus diangkat di atas kepala dan dibawa berjalan mengelilingi pohon waringin yang besar itu. Inilah syarat pertama bagi yang hendak mengikuti sayembara. Siapa yang tidak dapat memenuhi syarat pertama ini berarti gagal dan harus mengundurkan diri. Syarat kedua tidak kalah sukarnya, yakni : para pengikut sayembara, sesudah dapat memenuhi syarat pertama, harus dapat menaiki kuda liar Nagapertala dan bertahan duduk di punggung kuda itu sampai lagu Kebogiro selesai dimainkan oleh para pemain gamelan yang sudah siap. Syarat ini bukannya mudah, karena kalau untuk menempuh syarat pertama orang hanya membutuhkan tenaga besar, syarat kedua ini membutuhkan kekuatan, kesigapan, keuletan, dan kepandaian menunggang kuda.
Sedangkan kuda liar yang diberi nama Nagapertala ini sudah terkenal sebagai kuda iblis berbulu hitam yang ganas dan liar hingga belum pernah ada pahlawan yang sanggup bertahan lama duduk di atasnya, kecuali Senapati Ki Ageng Baurekso dan beberapa senapati lain yang terkenal akan kesaktian mereka. Babak sayembara selanjutnya ialah berlomba memanah, bermain tombak, dan bermain keris dan tameng. Orang-orang yang datang menonton telah mengelilingi pohon waringin sejauh sepuluh tombak lebih. Mereka berjongkok untuk menyatakan hormat mereka kepada Sri Sultan Agung. Wajah semua orang tampak gembira. Tiba-tiba gong berbunyi dan kurang lebih tiga puluh orang muda yang gagah-gagah itu memasuki kalangan, lalu berjalan jongkok dan duduk bersila dalam tiga jajar di depan Sri Sultan Agung, setelah menyembah tanda hormat.
Sri Sultan Agung menggerakkan tangan kanan ke atas sebagai tanda bahwa sayembara dapat segera dimulai. Maka bertalu-talu bunyi gong tiga kali, disambut pekik sorak dan tepuk tangan penonton. Ksatria yang duduk terdepan menyembah kepada Sri Sultan, lalu pergi menuju ke bawah waringin di mana telah menanti besi jangkar pengukur tenaganya. Dengan lagak gagah ksatria muda itu membungkuk, pegang-pegang dan timang-timang gagang jangkar dengan kedua tangannya, lalu kerahkan tenaga mengangkatnya. Besi jangkar yang berat itu terangkat ke atas, diikuti sorak-sorai penonton, tapi ternyata hanya sampai di atas pundak pemuda itu! Karena tidak kuasa mengangkatnya lebih tinggi, ia lepaskan besi sambil meloncat mundur hingga jangkar itu jatuh berdebuk ke atas tanah!
Pemuda pertama telah gagal. Dengan keoewa ia menyembah ke arah Sri Sultan Agung yang memandangnya dengan senyum menghibur dan pemuda itu lalu keluar dari kalangan, kini bercampur dengan orang-orang, menjadi penonton. Pengikut kedua adalah seorang yang brewok dan bertubuh tinggi besar. Ia membuka bajunya hingga tampak urat-urat seperti tambang membelit tubuhnya yang besar. Kemudian dengan berseru keras ia angkat besi itu dengan kedua tangan, terus diangkat ke atas kepala! Penonton berteriak-teriak memuji dan si brewok melangkah maju untuk mengelilingi waringin. Tapi baru saja bertindak lima langkah, kedua kakinya gemetar dan terpaksa ia lepaskan besi itu yang jatuh di atas tanah dengan suara keras.
Penonton berseru kecewa dan si brewok setelah menyembah raja lalu cepat-cepat pergi menghilang di antara ribuan penonton. Demikianlah, berganti-ganti mereka menempuh syarat pertama, dan setelah semua calon mencoba tenaga mereka, ternyata bahwa yang lulus dalam syarat pertama ini hanya lima belas orang saja. Penonton menyambut kelima belas pemuda kuat itu dengan tempik-sorak gemuruh; termasuk Jarot yang merasa gembira sekali hingga timbul keinginan hatinya untuk mencoba berat besi yang menggagalkan banyak pemuda gagah itu. Karena tempat berdirinya tidak jauh dari pohon itu, maka dengan beberapa kali loncat ia sudah tiba di bawah pohon. Ia tadi melihat betapa sukar mereka mengangkat besi itu dan hanya dua orang saja kuat mengangkat dengan tangan kanan, sedangkan yang lain mengangkatnya dengan kedua tangan.
Ia membungkuk dan menggunakan tangan kanan memegang gagang jangkar dan terus mengangkatnya ke atas. Ia merasa bahwa besi Itu ternyata tak berapa berat, maka ia pindahkan besi itu di tangan kirinya lalu diangkat pula ke atas kepala. Tentu saja gerakan ini menimbulkan sambutan yang hebat. Tadinya orang-orang melihat seorang pemuda sederhana mendekati besi itu, menjadi heran dan khawatir bahwa Sri Sultan akan menjadi marah kepada pemuda sembrono itu. Tapi setelah melihat betapa Jarot permainkan besi di tangan kiri dengan ringannya, mereka merasa kagum sekali karena sepanjang pengetahuan mereka, yang dapat mengangkat besi itu dengan tangan kiri seringan itu hanya Sri Sultan Agung sendiri dan Senapati Ki Ageng Baurekso saja. Dari mana datangnya pemuda tampan sederhana yang luar biasa ini? Juga Sri Sultan Agung bertanya kepada para hulubalang yang berada di situ,
"Dari mana datangnya pemuda itu?"
Beberapa orang pahlawan menyangka raja marah dan bersiap menangkap pemuda lancang itu, tapi Sultan Agung bersabda,
"Jangan ganggu dia, biarkan dia ikut dalam sayembara ini."
Sementara itu, seperti seorang anak kecil, Jarot bawa lari besi itu memutari waringin, tidak sekali, tapi tiga kali! Tampik-sorak ramai menyambutnya. Setelah menaruh besi itu ke tanah kembali tanpa memperlihatkan sedikitpun kelelahan Jarot menengok ke kanan kiri dengan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Baiknya seorang hulubalang menghampirinya dan berbisik,
"Raden, kau diperkenankan mengikuti sayembara, maka lekaslekaslah duduk berkumpul dengan lima belas orang yang lulus dan menyembah menghaturkan terima kasih kepada Gusti Sultan."
Jarot menurut nasihat ini. Gong dipukul lagi dan seekor kuda bulu hitam dituntun masuk ke dalam kalangan. Melihat kuda yang besar itu meronta-ronta, maka penonton mundur setombak lebih dengan takut kalau-kalau kuda iblis itu mengamuk.
Benar saja, mendengar suara orang banyak, kuda Nagapertala memberontak dan berhasil melepaskan diri dengan merenggut kendali dari tangan penjaganya yang tak berdaya. Kuda itu lari mengitari kalangan dengan mendengus-dengus dan meringkik-ringkik marah. Sultan Agung melihat lagak kuda itu tersenyum geli lalu berbisik memerintah kepada Ki Ageng Baurekso yang berdiri di dekatnya. Ki Ageng Baurekso yang bertubuh tinggi besar dan bermata bundar berkulit hitam itu meloncat ke dalam kalangan. Ketika kuda Nagapertala lari lewat dekatnya, ia bergerak menyambar kendali dan sekali sentak saja leher Nagapertala tertahan ke belakang hingga kuda itu berdiri di kedua kaki belakangnya! Kuda itu merontaronta sebentar tapi ia tidak berdaya melawan tenaga tangan Ki Ageng Baurekso yang kuat. Nagapertala maklum akan tangguhnya lawan, maka ia-pun tunduk tak melawan lagi.
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua penonton kagum akan kehebatan senapati tua ini. Setelah Sri Sultan Agung memberi tanda, maka mulailah diuji ketangkasan para muda yang lulus dalam syarat pertama tadi. Karena Jarot duduk terbelakang, maka gilirannyapun terakhir pula. Dari lima belas orang calon, hanya lima orang yang lulus, sedangkan yang sepuluh terpaksa keluar dari kalangan dan dinyatakan gagal. Ketika tiba giliran Jarot, pemuda ini menghampiri Nagapertala dengan khawatir karena sesungguhnya ia belum pernah belajar ilmu naik kuda. Nagapertala yang sudah lelah menjadi pemarah sekali. Begitu ia merasa ada orang mendekatinya dari belakang, ia angkat kedua kaki belakang dan menyepak ke arah dada Jarot! Baiknya pemuda itu selalu waspada dan gesit sekali, maka dengan mudah ia loncat berkelit. Namun kejadian ini membuat hatinya makin khawatir.
"Aduh galaknya!"
Diam-diam ia mengeluh. Nagapertala menoleh dan membuka mulutnya hendak menggigit! Tapi Jarot tak membuang waktu lagi, cepat dan sigap ia meloncat ke atas punggung Nagapertala tanpa memegang kendali yang masih tergantung dan berada di atas tanah! Orang-orang terkejut melihat hal ini juga Sri Sultan dan Senapati Baurekso cemas juga.
Tak mungkin orang dapat tetap duduk di atas punggung Nagapertala tanpa pegang kendali untuk menguasai kuda liar itu! Seperti yang sudah-sudah, begitu merasa punggungnya diduduki orang. Nagapertala segera meringkik marah dan berdiri di atas kaki belakang. Hampir saja Jarot terlempar ke belakang kalau ia tidak cepat-cepat peluk leher kuda yang kuat itu. Tapi Nagapertala goyang-goyang tubuhnya dan geleng-gelengkan kepala. Para penonton, termasuk raja dan hulubalang semua, melihat perjuangan hebat itu dengan hati berdebar dan perasaan tegang. Sementara itu gamelan mainkan lagu Kebogiro yang gagah dan bersemangat. Jarot mengeluh dan merasa bahwa tak mungkin ia dapat bertahan. Maka diam-diam ia kerahkan ilmunya Gelap Seyuto dan tiba-tiba para penonton merasa bulu tengkuknya berdiri ketika terdengar Jarot menggeram keras dan menyeramkan.
Geram ini lebih hebat daripada auman harimau dan mengatasi ringkik si Nagapertala. Mendengar geraman itu dan merasa betapa kedua tangan yang memeluk lehernya menekan dengan tenaga yang luar biasa hebatnya, Nagapertala gemetar seluruh tubuhnya dan kuda liar itu berdiri diam dengan keempat kaki menggigil, seakan-akan ia sedang menahan muatan yang berat sekali! Jarot duduk dengan tenang di atas punggung Nagapertala yang berdiri tak bergerak, sedangkan lagu Kebogiro terus dimainkan sampai habis. Setelah lagu habis dimainkan, Jarot meloncat turun, sedangkan Nagapertala
(Lanjut ke Jilid 02)
Keris Pusaka dan Kuda Iblis (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
tampak lemas tak bertenaga lagi hingga mudah saja dituntun keluar, lebih jinak dari pada kuda-kuda biasa! Melihat kesaktian pemuda itu, diam-diam Sri Sultan merasa kagum, sedangkan Ki Ageng Baurekso terkejut dan menduga-duga siapakah gerangan pemuda aneh itu dan siapa gurunya?
Kelima orang lain yang lulus menghadapi syarat kedua ini ialah : Pangeran Pati Amangkurat, putera Sri Sultan sendiri, Suro Agul-Agul, Uposonto, Madurorejo, dan yang kelima adalah seorang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan mengaku berasal dari Jawa Timur dan bernama Priolelono. Kemudian perlombaan memanah dimulai. Pangeran Amangkurat memanah lebih dulu dan bidikannya tepat mengenai sasaran dan tertancap di tengah-tengah. Juga keempat calon lain dapat menancapkan anak panah mereka di sekitar anak panah Pangeran Amangkurat, tapi tidak di luar garis sasaran! Ketika tiba giliran Jarot, pemuda ini merasa tenang sekali, berbeda dengan tadi ketika menghadapi Nagapertala. Ini disebabkan karena ia memang telah terlatih dan digembleng dalam hal ilmu memanah oleh guru dan Ayahnya. Ia melihat betapa tempat sasaran itu telah penuh oleh lima batang anak panah hingga tiada tempat lagi agaknya bagi anak panah yang akan dilepasnya.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo