Keris Pusaka Dan Kuda Iblis 2
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Ia berpikir sebentar, lalu ia ambil lima batang anak panah. Beruntun-runtun lima batang anak panah terlepas dari gendewa yang dipegangnya dengan cepat sekali. Demikian cepat lajunya anak-anak panah ini hingga orang-orang hanya melihat lima kali sinar berkelebat dan tahu-tahu kelima batang anak panah itu telah menancap di belakang kelima anak panah yang sudah tertancap lebih dulu di atas sasaran! Kejadian ini membuat semua penonton bengong terheran hingga untuk sesaat keadaan menjadi sunyi seakan-akan di tempat itu tak terdapat seorangpun. Kemudian riuh-rendah dan bergemuruhlah sorak-sorai yang memuji kepandaian Jarot. Sri Sultan Agung bertukar pandang dengan Ki Ageng Baurekso dan Jarot segera dipanggil menghadap. Pangeran Amangkurat dan lain-lain calon merasa tak senang sekali. Sri Sultan Agung bertanya dengan suara halus,
"Hai anak muda! Apa maksudmu melepas anak panah di belakang anak-anak panah yang telah menancap di sasaran?"
Jarot menyembah khidmat.
"Ampunkan hamba, Gusti. Karena hamba lihat bahwa semua anak panah mengenai sasaran dengan tepat, maka adalah kewajiban hamba untuk mendorong mereka itu dari belakang agar semua anak panah tidak menancap di luar garis sasaran. Andaikata ada anak panah yang menancap di luar garis yang ditentukan, tentu anak panah hamba takkan mengenainya, Gusti."
Kembali Sri Sultan mengerling dan bertukar pandang dengan Ki Ageng Baurekso. Raja yang arif bijaksana ini maklum akan maksud Jarot yang hendak menyatakan bahwa sebagai seorang calon senapati dalam perlombaan itu, ia berjanji hendak setia dan mengerahkan tenaga membantu tindakan yang tepat dan benar, seperti tepatnya ujung anak panah mengenai sasaran, dan bahwa ia takkan membantu usaha-usaha yang keliru dan salah. Tapi Amangkurat tetap merasa penasaran karena Pangeran ini tidak mengerti maksud Jarot. Ia menganggap pemuda itu sombong dan menghinanya. Sementara itu, Tumenggung Suryawidura yang sudah diberitahu oleh anaknya betapa Jarot telah menghinanya, segera menyembah dan berkata,
"Gusti, betapapun juga, pemuda ini ternyata terlalu memandang rendah para calon lain, terutama kepada Gusti Pangeran.! Maka, untuk mencoba apakah benar-benar ia sakti, hamba usulkan agar dalam perlombaan main tombak dan keris, ia dihadapkan dengan kelima calon lain. Hamba rasa ia tentu berani seperti halnya dengan anak panah tadi. Kecuali kalau ia tidak berani, boleh digunakan cara lain."
Sambil berkata demikian, Tumenggung yang tua ini mengerling kepada Jarot. Pemuda ini heran sekali mengapa priyayi tua ini seperti membencinya! Mendengar usul hulubalang tua yang juga menjadi mertuanya ini, Sultan Agung tersenyum. Ia merasa tidak setuju, tapi ingin pula ia mendengar jawab dan pendapat Jarot. lalu tanyanya.
"Bagaimana pendapatmu dengan usul Paman Suryawidura tadi?"
Mendengar nama ini, tahulah Jarot bahwa Raden Mas Bahar telah menggunakan tangan Ayahnya untuk membalas dendam. Maka ia merasa malu kalau mundur terhadap usul ini. Sembahnya.
"Kalau memang demikian yang dikehendaki, tentu hamba akan mentaati semua, Gusti."
Diam-diam Sultan Agung juga merasa betapa sombong pemuda ini. Akan melawan kelima pahlawan gagah perkasa itu? Ah, tak mungkin ia menang. Juga Pangeran Amangkurat merasa panas sekali, teriaknya,
"Kalau begitu, mari kita keluar dan mulai bertanding!"
Sultan Agung melepas kerling tajam kepada puteranya untuk menegur dan persiapan lalu diadakan. Orang-orang yang mendengar bahwa pemuda aneh tadi hendak bertanding dikeroyok lima menjadi berdebar-debar dan perasaan mereka tegang sekali. Sementara itu, ketika bertanya dan dijawab bahwa pemuda itu bernama Jarot dan datang dari Gunung Tengger, Sultan Agung dan Ki Ageng Baurekso mengangguk-angguk dan menduga-duga. Biarpun Jarot sudah sanggup untuk menghadapi mereka berlima, namun Pangeran Amangkurat tidak sudi untuk mengeroyoknya.
Pangeran yang masih muda dan berdarah panas ini merasa terlalu rendah untuk mengeroyok. Ia hanya berdiri di pinggir dengan tombak di tangan kanan dan tameng di tangan kiri. Demikianpun Priolelono, orang gagah ini merasa malu untuk mengeroyok seorang pemuda yang jauh lebih muda darinya. Maka mereka berlima bermufakat untuk maju seorang demi seorang. Jarot dengan tombak di tangan kanan berdiri menanti tenang. Ia sengaja melepas tamengnya di atas tanah dan berdiri tanpa.tameng! Orang-orang perdengarkan seruan tertahan dan menganggap dia benar-benar sombong dan bodoh. Sebenarnya tidak sekali-kali Jarot hendak menyombong. Kalau dia melempar tamengnya adalah karena.dia tidak biasa menggunakan perisai dan dilatih bermain tombak dengan kedua tangan tanpa tameng.
Madurorejo mendapat giliran pertama. Dengan berseru keras ia menyerang Jarot. Tombaknya meluncur ke arah dada Jarot yang telanjang. Jarot hanya miringkan tubuh dan tiba-tiba tombak di tangan Jarot bergerak demikian cepat hingga Madurorejo terkejut sekali lalu menangkis dengan tamengnya. Tapi Jarot putar-putar tombak di kedua tangannya hingga lawannya sama sekali tiada kesempatan untuk balas menyerang, hanya repot menangkis saja sambil mundur. Riuh-rendah suara orang memuji-muji Jarot. Uposonto melihat kawannya terdesak demikian rupa, segera maju membantu. Ia tidak merasa malu untuk melakukan pengeroyokan, karena memang Jarot telah menyetujuinya, pula ia tahu bahwa Madurorejo bukanlah lawan pemuda yang hebat itu. Jarot berlaku tenang dan kedua tangannya seakan-akan memegang dua tombak yang dapat melayani kedua lawan itu.
Suro Agul-Agul marah sekali melihat kedua kawannya tetap tak berdaya terhadap Jarot, maka sambil berseru keras ia loncat menerjang. Pertempuran ramai sekali dan Jarot terpaksa gunakan kelincahannya. Ia meloncat kesana kemari seakan-akan seekor tupai meloncat-loncat dan bermainmain di antara daun-daun kelapa. Tombak ketiga lawannya sedikitpun tak dapat melukainya, bahkan tak lama kemudian, sontekan tombaknya membuat tameng Madurorejo terlepas dari pegangan tangan kiri dan sebuah tendangan ke arah pergelangan tangan kanan membuat tombak di tangan Uposonto terlempar pula! Pada saat itu ujung tombak Suro Agul-Agul menusuk cepat. Jarot putar tombak dan gunakan gagang tombak menangkis keras hingga terdengar suara,
"Krak!"
Dan tombak Suro Agul-Agul patah di tengah-tengah! Tentu saja para penonton heran dan Kagum melihat betapa dalam beberapa gebrakan saja Jarot telah membuat tak berdaya ketiga lawannya! Juga Ki Ageng Baurekso terkejut dan kagum. Bukan kagum karena Jarot dapat mengalahkan ketiga lawan yang belum tinggi ilmu kepandaiannya itu, tapi kagum betapa Jarot dapat mengalahkan mereka tanpa melukai sedikitpun! Diam-diam ia puji sifat welas asih pemuda itu. Tapi Pangeran Amangkurat merasa marah sekali. Ia berteriak kepada ketiga orang itu,
"Minggir!"
Dan ia sendiri maju menerjang dengan tombak dan perisai di tangani Ilmu tombak Pangeran Ini memang cukup tinggi dan tenaganya juga besar, tapi menghadapi Jarot la bertemu dengan tandingan yang kuat.
Jarot juga merasa betapa tangguh Pangeran ini, maka ia putar tombaknya dalam gerakan "Payung Waja"
Hingga tubuhnya terlindung kuat oleh ujung tombak yang berputar cepat! Pangeran Amangkurat merasa betapa tangannya tergetar dan panas kulit telapak tangan-nya pada tiap kali ujung tombaknya kena tertangkis. Jarot memang telah mengalah padanya, karena kalau ia mau, Jarot dapat menggunakan serangan mematikan. Cuma saja, pemuda ini tidak begitu bodoh untuk melukai Pangeran Amangkurat di depan Sri Sultan, maka ia hanya berdaya untuk membuat Pangeran itu tak berdaya tanpa melukainya. Tapi untuk dapat berbuat demikian, sungguh tidak mudah. Pangeran yang berdarah panas itu berkelahi dengan nekat, walaupun ia telah lelah sekali dan napasnya sudah terengah-engah. Melihat keadaan itu, Sri Sultan Agung berseru keras,
"Berhenti!"
Suaranya keras dan berpengaruh sekali hingga Jarot menjadi kaget dan meloncat mundur dengan gerakan Kidang Melompat, Sri Sultan Agung memerintahkan puteranya mundur dan minta supaya Priolelono maju melawan Jarot, Pendekar setengah tua itu memandang Jarot dengan tersenyum kagum, lalu ia lempar pula tamengnya ke tanah sambil berkata,
"Anak muda, mari kita main-main sebentar dengan tombak."
Maka setelah berkata demikian, menyeranglah ia dengan hebatnya. Para penonton sampai lupa bersorak melihat pertandingan kali ini. Mereka samasama kuat, sama-sama lincah dan cekatan, dan samasama pandai mainkan tombak! Jarot merasa terkejut melihat betapa ilmu permainan tombak lawannya ini sama gerakannya dengan ilmu tombaknya sendiri! Ia merasa heran sekali dan putar tombaknya lebih cepat, tapi lawannyapun dapat mengimbangi permainannya. Diam-diam Jarot mengakui kegagahan lawannya dan ia mengandalkan kekuatannya yang ternyata leblh besar daripada lawannya. Demikianlah tiap serangan dan tangkisan dilakukan dengan tenaga kuat hingga beberapa kail ujung tombak lawannya terpental dan Priolelono berseru memuji,
"Sungguh digdaya kau!"
Pada saat mereka sedang bertempur ramai tiba-tiba Senapati Ki Ageng Baurekso meloncat dan gunakan tombaknya memisah mereka. Gerakannya kuat dan cepat hingga mendatangkan angin dan memaksa kedua orang yang sedang bertempur itu mundur. Ki Ageng Baurekso memandang Priolelono dengan mata terbelalak marah dan mukanya merah padam.
"Bukankah kau Pangeran Pekik? Apa maksudmu datang ke Mataram?"
Terkejutlah semua orang mendengar bahwa lawan Jarot yang tangguh itu bukan lain adalah Pangeran Pekik, putera Adipati Surabaya yang menjadi musuh besar Sultan Agung! Mendengar seruan Ki Ageng Baurekso, semua pahlawan datang dengan sikap mengancam.
"Dia musuh besar, dia bermaksud jahat! Bunuh... bunuh!!"
Demikian beberapa orang berteriak dan berbareng mereka maju mengeroyok. Demikian pula Pangeran Amangkurat, Suro Agul-Agul, Uposonto dan Madurorejo juga ikut mengeroyok, karena sebagai orang-orang Mataram, mereka benci sekali kepada Adipati Surabaya yang memang telah lama menjadi musuh besar Mataram. Melihat lawannya yang dikagumi dan yang ilmu tombaknya secabang dengan ilmunya sendiri itu kini dikeroyok oleh para pahlawan Mataram, Jarot merasa kasihan dan penasaran sekali. Ia putar tombaknya menangkis serangan-serangan itu dan berseru,
"Biarpun kau Pangeran Pekik atau siapa saja, jangan takut, aku Jarot membantumu!"
Dan kedua orang yang baru saja saling serang itu kini berkelahi bahu-membahu melawan puluhan pahlawan yang menyerang dengan marah! Tiba-tiba terdengar teriakan Sri Sultan Agung,
"Berhenti semua!"
Dan memang suara Sri Sultan berpengaruh besar dan berprabawa luar biasa. Serentak orang-orang yang berkelahi menahan tombak masing-masing dan berlutut menyembah.
"Para pahlawanku, tidak malukah kalian? Coba pikir, para pahlawan Mataram yang terkenal jagoan dan gagah perwira sakti mandraguna ternyata kini mengandalkan jumlah besar untuk menghina dan mengeroyok seorang musuh! Coba tengok anak muda desa ini. Dia lebih gagah dari pada kalian. Dia tidak tahu-menahu duduknya perkara, tapi dia serta merta membela yang pantas dibela. Memang, sekiranya aku menjadi dia, akupun akan membela Pangeran Pekik! Jadikanlah perbuatannya itu sebagai contoh, hai para pahlawanku!"
Mendengar sabda raja bijaksana ini, semua pahlawan menundukkan kepala dengan wajah merah. Tapi Tumenggung Suryawidura dan Pangeran Amangkurat merasa penasaran dan diam-diam mereka menaruh dendam kepada Jarot anak gunung yang dipuji-puji oleh Sultan itu, namun mereka tidak berani membantah. Sultan Agung lalu berkata kepada para hulubalang,
"Bubarkan semua penonton dan umumkan bahwa sayembara sudah berakhir dengan terpilihnya empat orang calon pahlawan baru. Kemudian adakan perjamuan untuk menghormat empat orang gagah ini di dalam Keraton. Dan engkau, hai Pangeran Pekik, aku hargai keberanianmu dan kegagahanmu. Biarpun Ayahmu berkeras kepala dan membangkang padaku, namun belum tentu engkau sekhilaf dia. Aku bebaskan kau, pulanglah kau dan ceritakan pada Ayah dan rakyatmu betapa gagah perkasa para pahlawan Mataram dan betapa kuat pertahanan Mataram!"
Pangeran Pekik menyembah hormat dan pamit undur. Perlombaan dibubarkan karena pahlawan-pahlawan telah terpilih dan Sultan Agung memasuki Keraton, diiringkan para hulubalang.
Keempat pahlawan yang terpilih, yakni: Jarot, Suro Agul-Agul, Uposonto, dan Madurorejo, dijamu oleh para dayang Keraton atas perintah Sri Sultan. Hidangan-hidangan lezat belaka yang disuguhkan untuk dinikmati oleh keempat orang gagah itu. Setelah makan dan beristirahat, pada sore harinya Sri Sultan bersiniwaka, membuka persidangan dan panggil menghadap keempat calon pahlawan yang terpilih itu. Juga Pangeran Amangkurat yang tadi mengikuti sayembara hanya untuk berlatih dan mencoba kesaktian saja, kini hadir pula di situ. Pare hulubalang dan senapati pun sudah lengkap duduk bersila di hadapan yang dipertuan. Kemudian dengan resmi Sri Sultan mengangkat keempat orang gagah itu sebagal pahlawan dan diperbantukan kepada Ki Ageng Baurekso. Tapi dengan sangat hormat Jarot menyembah dan berkata,
"Mohon beribu ampun, Gusti junjungan hamba. Bukan sekali-kali hamba berani membantah dan bukan sekali-kali hamba tidak berterima kasih atas kurnia paduka yang mulia ini, tapi perkenankanlah kiranya hamba mengajukan sebuah permohonan dan sebuah hadiah."
Semua orang terheran mendengar keberanian anak muda ini. Dan Sultan Agung yang juga merasa heran menahan perasaannya lalu tersenyum ramah. Ia angkat tangan kanannya dan bersabda,
"Boleh sekali. Coba engkau katakan dua macam permintaanmu itu untuk kami pertimbangkan."
Jarot menyembah lagi.
"Ampunkan hamba yang lancang, Gusti. Sebenarnya bukanlah hamba tak suka menerima kurnia paduka dengan pemberian pangkat sebagai pahlawan Keraton, hanya karena hamba telah berjanji tak akan memegang jabatan maka hati hamba menjadi bingung. Hamba menyediakan jiwa raga untuk mengabdi dan membela paduka dan Kerajaan Mataram, tapi tidak sebagai seorang berpangkat, hanya sebagai rakyat biasa, Gusti. Maka perkenankanlah hamba menghaturkan permohonan hamba pertama, yaitu: Hamba tidak menjadi pahlawan Keraton tapi sebagai penduduk biasa dan tinggal di kampung, namun setiap saat hamba bersedia untuk menjalankan segala titah tuanku."
Sultan Agung memandangnya tajam lalu tiba-tiba bertanya,
"Engkau putera pendeta?"
Jarot menyembah.
"Tidak salah, Gusti. Ayah hamba ialah Panembahan Cakrawala di bukit Tengger."
Sultan Agung mengangguk-angguk.
"Boleh, kuterima permintaanmu ini, tapi janganlah engkau tinggalkan Mataram tanpa memberi tahu, hingga jika sewaktu-waktu engkau dibutuhkan, engkau tak berada jauh dari Keraton."
"Hamba akan tinggal di rumah Ki Galur yang berada dekat, Gusti."
Semua orang yang mendengar permintaan ini merasa heran. Gilakah pemuda ini? Mengapa ia menolak pangkat dan menolak tinggal dalam sebuah istana tersendiri, tapi sebaliknya memilih tinggal di pondok seorang miskin? Tapi Sultan Agung tidak merasa heran, hanya berkata ramah,
"Baiklah kalau demikian. Dan apakah adanya permintaanmu kedua?"
Jarot melirik ke arah gagang keris yang menonjol dari ikat pinggang Sultan Agung. Lalu dengan tenang ia berkata,
"Tak lain hamba mohon sudilah kiranya Gusti memberikan keris Margapati sebagai hadiah untuk hamba."
Semua hadirin memandangnya dengan terkejut dan khawatir. Ini adalah permintaan yang gila dan mustahil! Juga Sultan Agung merasa curiga dan agak tak senang, tapi wajahnya tetap sabar, tenang dan ramah.
"Beritahukanlah dulu padaku mengapa engkau minta hadiah keris pusaka baru ini?"
Tanyanya halus.
"Hamba tak bermaksud buruk, Gusti. Semata-mata demi keselamatan padukalah maka hamba berani mengajukan permintaan ganjil dan kurang ajar ini. Keris Margapati tidak cocok untuk paduka, keris itu mengandung hawa maut dan dapat menimbulkan malapetaka. Maka hamba mohon supaya diberikan kepada hamba agar hamba dapat mengekang pengaruh jahat yang keluar darinya."
Diam-diam Sultan Agung menggunakan jari tangannya meraba-raba gagang Margapati dan jari-jarinya agak gemetar. Melihat bahwa Sultan Agung agaknya hendak memenuhi pula permintaan Jarot, Tumenggung Suryawidura segera memperingatkan junjungannya.
"Maaf, Gusti. Hamba rasa tidak semestinya kalau Kyai Margapati diberikan kepada Jarot. Hal ini seakan-akan menyatakan bahwa paduka takut akan keris pusaka itu. Kalau kiranya memang betul bahwa paduka tidak suka dan tidak cocok memakai Margapati, lebih baik pusaka itu disimpan saja dalam kamar pusaka. Hamba rasa, keangkeran Mataram akan berkurang bila pusaka Mataram ada yang terjatuh ke dalam tangan orang lain."
Jarot mengerling ke arah Tumenggung tua yang tinggi kurus itu. Ia melihat betapa Sultan Agung menjadi ragu-ragu, maka segera ia berkata,
"Hamba rasa usul Tumenggung sepuh ini baik juga, karena memang sedikitpun hamba tak bermaksud hendak memiliki keris itu dan semata-mata hamba tujukan semua ini guna kepentingan dan keselamatan paduka, Gusti."
Sri Sultan Agung menghela napas panjang. Ia merasa lega bahwa Jarot dapat menyatakan kebersihannya dalam hal ini dan tidak bermaksud minta keris Margapati untuk kepentingan sendiri. Maka berkatalah Sultan Agung dengan ramah.
"Aku menurut nasihatmu, Jarot. Keris takkan kupakai lagi dan akan kusimpan dalam kamar pusaka dengan pusaka-pusaka yang lain. Adapun permintaanmu akan kuganti dengan sebuah hadiah lain. yaitu kuda si Nagapertala kuberikan kepadamu."
Jarot merasa girang sekali karena memang ia sangat kagum dan suka melihat kuda liar yang bagus dan kuat itu. Persidangan dibubarkan dan Jarot meninggalkan Keraton dengan menuntun Nagapertala. Di luar Keraton telah menanti Ki Galur yang dengan wajah girang menyambutnya.
"Bagaimana, Raden? Kau diberi pangkat apa? Senapati, bupati, atau adipati dan akan tinggal di gedung mana? Ah, kau sungguh gagah, Raden Jarot. Aku tadi lihat betapa mudah kau kalahkan mereka semua. Lihat, telapak tanganku masih merah dan pedas karena bertepuk tangan terus, dan suaraku masih parau karena bersorak-sorak!"
Orang tua itu dengan wajah berseri dan mata bersinar memandang Jarot dengan kagum. Tapi Jarot hanya tersenyum sederhana.
"Paman Galur, jangan kau kecewa, Paman. Pertama, aku tidak menjadi senapati, bupati atau adipati sekalipun. Aku tetap menjadi rakyat biasa. Kedua, aku tidak akan tinggal di gedung atau istana, aku akan tinggal mondok di rumahmu, yakni jika kau sudi menerimaku. Dan ketiga, jangan Paman panggil Raden padaku. Aku anak gunung biasa, putera pendeta melarat, bukan ningrat, sebut saja namaku seperti biasa, yaitu Jarot tak kurang tak lebih, Paman."
Sukar untuk melukiskan perasaan yang membayang di wajah tua keriputan itu. Heran, tak percaya, kecewa, girang dan menyesal silih berganti menguasai kulit mukanya.
"Tidak menjadi senapati? Tapi... tapi kau tadi menang...!"
"Aku sengaja tidak mau menerima pangkat, Paman."
Lalu dengan singkat, Jarot menceritakan pengalamannya. Ki Galur mengangguk-angguk.
"Sayang, Raden,..."
Akhirnya ia berkata sambil menarik napas panjang.
"Jangan sebut Raden padaku, Paman."
"O ya, ya... aku kata sayang, Gus Jarot. Sayang kau tidak mau menjadi senapati. Tapi aku girang bahwa kau sudi mondok di gubukku yang bobrok."
Demikianlah, sambil bercakap-cakap mereka berjalan pulang Nagapertala dituntun oleh Ki Galur. Tadinya kuda itu hendak membangkang, tapi mendengar suara Jarot, Ia tunduk dan takut, lalu mandah saja digiring oleh Ki Galur. Kedatangan mereka disambut oleh Sekarsari. Gadis itu baru saja pulang dari bengawan.
Rambutnya yang masih basah terurai ke belakang menutup punggung, memanjang sampai ke pangkal paha, kainnya tapih pinjung sebatas dada, tak cukup rapat untuk menyembunyikan tanda kewanitaannya yang menonjol di dadanya. Tubuhnya yang sempurna lekuk lengkungnya dan yang berkulit putih kuning dan bersih itu sungguh sedap dipandang dan menimbulkan dendam berahi dan kasih. Ketika Jarot menatap wajah gadis itu, ia merasa seakan-akan sedang berhadapan dengan seorang dewi yang baru saja turun dari kahyangan. Betari Komaratih yang disohorkan sebagai Dewi Asmara yang cantik jelita itu agaknya seperti inilah manisnya. Ah, tak mungkin, bantah hati Jarot. Tak mungkin begini ayu dan luwes, tak mungkin begini manis merak ati. Bibir gadis yang sedang cemberut itu tak mengurangi keayuannya, bahkan membuat ia lebih manis dan jelita sekali.
"Wah, Gus Jarot hebat sekali, Sari! Semua pahlawan dikalahkannya!"
Datang-datang Ki Galur berkata kepada anaknya, kemudian ia mulai bercerita. Tapi wajah yang tadinya cemberut karena masih marah tak diajak nonton sayembara tadi, kini tidak menjadi gembira mendengar kemenangan Jarot, bahkan kulit dahinya yang halus licin itu dikerutkan.
"Kalau begitu, Raden Jarot sekarang tentu menjadi priyayi besar, menjadi senapati?"
Tanyanya sambil memandang Jarot.
"O, tidak... tidak, Gus Jarot tidak gila pangkat."
Dan Ki Galur ceritakan kepada anaknya akan segala pengalaman pemuda itu. Mendengar bahwa Jarot masih menjadi orang biasa dan tinggal mondok di rumahnya, wajah Sekarsari berobah girang. Ia tersenyum manis dan mukanya merah. Kemudian ia lari ke belakang sambil berkata,
"Aku mau berkenalan dengan Nagapertala dan memberinya makan rumput!"
Jarot layangkan pandangnya ke arah tubuh gadis yang berlari-lari itu. Ki Galur tertawa girang melihat kenakalan dan kegembiraan puterinya yang tercinta.
"Aku terlalu memanjakan si Sari."
Katanya perlahan. Pangeran Amangkurat yang tadinya merasa iri hati kepada Jarot dan khawatir kalau-kalau pemuda itu terlalu mendesak dan menjadi kesayangan Ayahnya, merasa lega dan berbalik suka kepada Jarot ketika pemuda itu ternyata tidak mau menerima pangkat.
Ia juga diam-diam merasa kagum akan kegagahan pemuda itu dan mendengar keterangan Jarot tentang keris pusaka Margapati, timbullah hati ingin memiliki keris ampuh itu. Berbeda dengan Ayahnya yang bijaksana dan adil. Pangeran Amangkurat adalah seorang pemuda yang bersikap berandalan dan lalim. Satu di antara sifatsifatnya yang kurang baik ialah sifat mata keranjang. Semenjak masih muda ia telah mempunyai banyak selir. Pada waktu itu ia telah mempunyai lima belas orang selir, namun ia masih belum puas dan sering keluar dari Keraton untuk mencari mangsa di desa-desa. Amangkurat suka pula akan berburu di hutan. Ia memang pemuda cekatan, kuat dan gagah perwira. Telah dua kali ia membunuh harimau dengan tombaknya.
Berbeda dengan Pangeran-Pangeran lain, ia tak suka membawa pengiring di waktu berburu maupun bermain ke desa-desa daerah kerajaan Ayahnya. Semenjak kenal kepada Jarot, beberapa kali Amangkurat mengajak Jarot menemaninya berburu di hutan. Pangeran itu makin suka kepada pemuda yang sederhana dan pandai membawa diri itu. Ketika diminta, Jarotpun dengan senang hati memberi pelajaran memanah dan mainkan tombak hingga Amangkurat makin maju dalam ilmu kedigdayaannya. Pada suatu senja ketika mereka berdua sedang berkuda di dalam hutan, Jarot duduk di atas punggung Nagapertala, dan Amangkurat di atas punggung kuda putihnya, tiba-tiba terdengar geraman harimau dari dalam alang-alang yang tinggi di dekat jurang. Jarot siap dengan tombaknya, tapi Amangkurat mencegah dan berbisik,
"Biarkan dia keluar, aku hendak mencoba lawan dia dengan tangan kosong."
"Tapi itu berbahaya sekali,"
Cegah Jarot yang merasa khawatir akan kesembronoan Pangeran yang jumawa itu.
"Tidak sama sekali, kau lihat saja."
Amangkurat lalu turun dari kuda dan memberikan kendali kudanya kepada Jarot yang ikut turun dari punggung Nagapertala yang meringkik keras sambil gerak-gerakan ujung hidungnya dan perlihatkan giginya, tapi Jarot membentaknya,
"Sstt Diam, Naga!"
Kuda itu lalu diam dengan tenang dan Jarot bawa kedua kuda itu ke bawah pohon jati lalu menambatkan kendalinya di situ. Sementara itu Amangkurat telah mempererat ikatan kainnya dan menanggalkan baju Pangerannya. Pangeran muda dan pemberani itu telah berdiri memasang kuda-kuda dengan sikap gagah dan mata tajam menentang tengah alang-alang yang mulai bergerak perlahan. Melihat sikap Amangkurat ini, mau tak mau Jarot tersenyum. Ia cukup tahu akan kedigdayaan Pangeran itu, dan ia percaya bahwa jika Amangkurat tidak menjadi lalai karena kejumawaannya, pasti ia akan dapat mengalahkan harimau itu. Terdengar geraman keras dan tiba-tiba kepala seekor harimau yang besar tersembul keluar dari alang-alang, sepasang matanya yang bundar memandang pemuda yang berdiri tenang menghadapinya.
"Hati-hati, Gusti Pangeran. Berlakulah tenang tapi cepat!"
Jarot memberi nasihat. Pada saat itu tubuh harimau telah keluar semua dari alang-alang dan mulai mengambil sikap untuk menyerang. Kemudian, tiba-tiba binatang buas itu menggereng dan loncat menerkam. Loncatannya tinggi dan kedua kaki depannya terulur dengan kuku mencakar ke arah kepala Amangkurat!
Tapi Pangeran muda itu dengan sigapnya meloncat ke samping dan mengirim sebuah tendangan ke arah lambung tubuh harimau yang meluncur lewat di dekatnya. Harimau itu menggereng keras karena tendangan itu tiba dengan kerasnya di lambung hingga la terpental hampir setombak jauhnya. Cepat binatang itu berbalik dan menubruk kembali, kini langsung ke depan, sambil perlihatkan cakar dan caling yang menyeramkan. Amangkurat meloncat ke atas melampaui tubuh harimau dan ketika kakinya turun di belakang harimau, secepat kilat tangan kanannya menyambar ekor harimau yang panjang itu. Maka terjadilah pergulatan seru. Binatang itu sambil menggereng-gereng berusaha melepaskan ekor yang dipegang oleh tangan yang sangat kuat itu, tapi Amangkurat mempertahankannya dengan keras sambil tertawa-tawa.
"Awas, Gusti Pangeran! Tendang pantatnya sebelum ia berbalik!"
Jarot memperingatkan dengan khawatir melihat betapa Pangeran itu dengan sembrono mempermainkan harimau. Tapi Amangkurat ternyata terlalu jumawa dan tetap membetot-betot ekor harimau seakan-akan harimau itu hanya seekor kambing belaka! Binatang itu yang merasa betapa sukar dan sia-sianya untuk membetot dan melepaskan ekornya dari pegangan lawan, tiba-tiba gulingkan tubuhnya ke tanah. Karena bergulingan itu, maka ekornya seperti dipuntir dan cepat sekali ia bisa balikkan tubuh dan kaki depannya berhasil mencakar lengan Amangkurat! Pangeran itu berteriak kesakitan dan terpaksa melepaskan ekor harimau. Dari lengan tangan kanannya mengucur darah. Sedangkan harimau itu sudah siap untuk menubruknya pula!
Jarot melihat keadaan berbahaya ini cepat pungut sebutir batu yang tajam ujungnya dan ayun tangannya. Batu meluncur cepat dan tepat mengenai mata kanan harimau itu yang menggerung-gerung sambil gunakan kaki depan menggaruk-garuk mata kanan yang berlumuran darah! Amangkurat maju dan ayun kakinya menendang ke arah perut harimau sekuat tenaga. Harimau mengerang lalu lari terbirit-birit memasuki alang-alang. Suara aumannya masih terdengar jauh, bergema di dalam hutan. Jarot cepat lari menghampiri Pangeran itu. Baiknya luka itu tidak sangat parah, tapi darah terus keluar. Jarot melepaskan ikat kepalanya dan menggunakan kain itu untuk mengikat lengan yang terluka dalam balutan yang kuat hingga darah berhenti mengalir. Amangkurat sedikitpun tidak memperlihatkan rasa sakit, bahkan ia masih dapat tertawa sambil berkata,
"Sayang aku tidak keburu membantingnya hancur! Lain kali aku takkan buang-buang waktu dengan betot-betot ekornya, begitu ekor terpegang ia akan segera kuangkat dan kubanting di atas batu!"
Jarot kagum melihat ketabahan Pangeran itu.
"Kau sungguh tangkas dan kuat, Gusti Pangeran,"
Pujinya dengan jujur.
"Dan lemparanmu tadi jitu benar, tepat menghancurkan mata kanannya."
Amangkurat balas memuji. Keduanya lalu pungut tombak masing-masing dan naik kuda menuju ke kota raja.
"Jarot, mari kita singgah di pondokmu. Aku ingin sekali melihat tempat tinggalmu."
"Ah, tempat tinggal hamba kotor dan buruk, Gusti. Paduka membuat hamba merasa malu saja,"
Jawab Jarot.
"Jangan berkata demikian. Bukankah kita sudah menjadi kawan baik? Hayo, tunjukkan jalan ke pondokmu."
Terpaksa Jarot membawa Pangeran itu menuju ke rumah Ki Galur dengan hati tak sedap, sungguhpun ia tak mengerti mengapa ia harus merasa tak enak hati membawa Amangkurat ke pondoknya. Ia seperti mendapat firasat tidak baik.
Ketika mereka berdua memasuki kampung Ki Galur, dari jauh mereka mendengar suara orang menumbuk padi. Sudah menjadi kebiasaan para wanita di situ, apabila mereka sedang menumbuk padi, mereka menumbuk dengan berirama hingga suara alu yang memukul lesung terdengar bagaikan iringan gamelan yang berirama riang gembira. Di antara semua penduduk kampung, Sekarsari dan kawan-kawannya terkenal ahli dan pandai sekali menciptakan irama-irama gembira yang mengiring nyanyian mereka. Pada saat Jarot dan Amangkurat tiba di depan rumah Ki Galur yang menyambut Pangeran itu dengan sembah sujud penuh hormat, terdengar penyanyi tunggal yang diiringi irama Kodok Ngorek. Jarot segera kenal suara itu, dan Amangkurat memandang Jarot dengan penuh pertanyaan, karena Pangeran itupun merasa kagum sekali mendengar suara yang merdu dan sedap itu.
"Bagus benar irama mereka, hayo kita nonton,"
Ajak Amangkurat kepada Jarot. Jarot merasa ragu-ragu tapi tak berani membantah, maka mereka lalu pergi ke belakang rumah di mana Sekarsari dan empat orang kawannya sedang menumbuk padi yang baru saja dikeluarkan dari lumbung. Melihat kedatangan Jarot, kelima gadis itu tertawa-tawa karena mereka sudah mengenalnya, tapi ketika melihat seorang pemuda asing yang berwajah tampan dan berpakaian indah, mereka merasa heran lalu menunda pekerjaan mereka, siap untuk lari. Tapi tiba-tiba Sekarsari berbisik,
"Ah, dia adalah Gusti Pangeran Pati!"
Tergopoh-gopoh kelima orang gadis itu berjongkok dan menyembah. Amangkurat mengangkat tangannya dengan tersenyum ramah.
"Jangan merasa terganggu, lanjutkanlah permainan kalian. Siapakah yang bernyanyi tadi?"
"Hamba, Gusti,"
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab Sekarsarl tanpa berani mengangkat muka. Amangkurat merasa betapa jantungnya berdenyut ketika ia melihat wajah gadis jelita itu. Matanya bersina-rsinar dan bibirnya tersenyum, hatinya tertarik sekali.
"Kau? Siapakah namamu dan kau anak siapa?"
Terkejut hati Sekarsari mendengar suara yang manis dibuat-buat ini. Hatinya tercekat karena ia teringat akan suara Bahar yang selalu berkata manis kepadanya. la merasa tak senang dan ketakutan, maka hatinya berdebar-debar dan ia menjadi gagap ketika menjawab,
"Hamba... hamba..."
Ia lalu diam dan tundukkan kepala! Terdengar suara ketawa di belakang Sekarsari. Amangkurat layangkan pandangannya ke arah gadis yang tertawa itu dan melihat seorang gadis hitam manis yang tak kalah menariknya. Gadis itu adalah sahabat baik Sekarsari dan bernama Sulastri, anak Mbok Rondo Gendingan, seorang janda yang keadaannya cukup karena mempunyai sawah beberapa bau.
"Eh, kau, hitam manis. Coba katakan siapa nama dewi ini dan siapa namamu sendiri,"
Amangkurat bertanya genit. Sulastri memang berwatak gembira dan pemberani. Ia tersenyum dengan manis dan berkata dengan lagak kenes,
"Dia ini bernama Sekarsari dan terkenal sebagai sekar kampung ini, Gusti Pangeran. Sedangkan hamba, nama hamba Sulastri. Sari adalah puteri tunggal Ki Galur, sedangkan hamba adalah puteri tunggal Mbok Rondo Gendingan, jadi sebenarnya dia dan hamba ada persamaan."
Amangkurat merasa gembira mendengar dan melihat gadis yang jenaka itu.
"Apa persamaannya?"
Tanyanya.
"Persamaannya ialah bahwa Sari puteri seorang duda sedangkan hamba puteri seorang janda!"
Amangkurat tertawa dan Jarotpun ikut tersenyum walaupun hatinya tetap merasa tak sedap melihat lagak Pangeran mata keranjang ini.
"Sekarsari, cobalah kau bernyanyi lagi,"
Amangkurat berkata.
"Hamba tak dapat bernyanyi, Gusti,"
Sekarsari menjawab.
"Bukankah tadi kau yang bernyanyi? Hayo, nyanyikanlah sebuah lagu saja untuk kudengar, yang lain mengiringi dengan klotekan."
Suara Amangkurat mengandung perintah.
Sekarsari mengerling ke arah Jarot dan pemuda itu mengangguk sebagai tanda bahwa gadis itu lebih baik menurut saja. Maka segera terdengar suara klotekan yang riang dan Sekarsari sambil duduk menyanyikan sebuah lagu dengan muka tunduk. Amangkurat mendengarkan sambil duduk di atas sebuah bangku kayu, sedangkan Jarot berdiri di sebelahnya dan Ki Galur duduk bersila di atas tanah di belakang Pangeran itu. Sambil bernyanyi, beberapa kali Sekarsari melirik ke arah Pangeran Amangkurat dan ia makin bingung dan takut melihat betapa Pangeran itu memandangnya dengan kagum dan mesra. Maka, setelah lagu yang dinyanyikan selesai, ia cepat menyembah, berdiri dan lari meninggalkan tempat itu! Jarot melihat betapa Sekarsari berlari sambil menangis, segera lari mengejar sambil memanggil-manggil namanya. Amangkurat tak senang melihat hal ini, lalu katanya kepada Ki Galur,
"Hei pak Galur, anakmukah Sekarsari itu?"
Ki Galur menyembah hormat.
"Betul, Gusti. Sekarsari adalah anak hamba."
"Berapa usianya sekarang?"
"Usianya enam belas tahun, Gusti Pangeran."
Amangkurat mengangguk-angguk sambil menanti orang tua itu membuka mulut menawarkan anak perempuannya seperti yang sering dilakukan oleh banyak orang-orang tua yang menginginkan puterinya jadi selir Pangeran. Tapi Ki Galur tak bergerak dan diam saja.
"Adakah ia sudah dijodohkan dengan orang lain, pak?"
"Belum, Gusti."
"Tapi kulihat hubungannya dengan Jarot baik sekali."
"Benar, Gusti. Agaknya mereka saling mengasihi."
"Apa?"
Amangkurat memandang marah, tapi segera ia menahan gelora hatinya. Sementara itu, Jarot yang tahu kemana Sekarsari pergi, telah dapat menyusul gadis itu dan mereka berdua duduk di tepi bengawan. Sekarsari masih terisak dan Jarot menghiburnya.
"Mas Jarot, aku takut kepadanya."
"Mengapa mesti takut, Sari?"
"Matanya, Mas... ia mengingatkan daku akan Den Mas Bahar yang kurang ajar itu."
"Jangan pikir yang bukan-bukan, Sari. Bukankah aku berada di sini dan aku selalu akan membelamu."
Sekarsari memandang wajah pemuda itu dengan penuh pernyataan terima kasih.
"Mas, bagaimana kalau aku... aku diboyong ke Keraton untuk dipaksa menjadi selirnya? Banyak orang bilang bahwa Pangeran Amangkurat suka memaksa gadis menjadi selirnya."
Hati Jarot terkejut, karena sebelum mendengar ucapan ini ia sama sekali tidak mempunyai sangkaan demikian. Kini ia merasa curiga dan khawatir juga namun dengan tenang ia berkata,
"Jangan khawatir. Aku kenal baik padanya dan aku akan mencegahnya."
"Kau berani, Mas? Berani kepada Pangeran Amangkurat?"
"Kalau terpaksa, mengapa tidak berani? Jangankan Pangeran Amangkurat, biarpun siapa juga jika berani mengganggu kau, tentu akan kulawan dan kuhajar!"
Mereka saling pandang dan warna merah menjalar di wajah Sekarsari yang tundukkan pelupuk mata dan tersenyum malu.
"Ah, kau... kau baik sekali, Mas Jarot."
Jarot sentuh tangan Sekarsari dengan mesra dan tiba-tiba berkata,
"Hayo kita kembali, Sari. Mungkin Pangeran telah menanti-nanti aku. Jangan takut, ia bukan harimau yang makan orang, Sari."
Gadis itu tersenyum dan lenyaplah rasa takutnya. Wajah Amangkurat menjadi masam melihat betapa Jarot datang berdua dengan gadis jelita itu. Tanpa banyak kata ia memberi tanda kepada Jarot untuk naik kuda dan mengantar ia pulang ke Keraton seperti biasa. Sambil jalankan kuda perlahan Amangkurat bertanya kepada Jarot yang jalankan kudanya di sebelahnya,
"Apamukah Sekarsari tadi, Jarot?"
Jarot mengangkat pundak perlahan.
"Dia anak Paman Galur dan hamba mondok di rumah mereka. Kami hanya sahabat, Gusti."
"Dia cantik benar, ya?"
Kata Amangkurat lagi. Jarot hanya mengangguk.
"Dan suaranya merdu pula, bukan?"
Sekali lagi Jarot mengangguk, kini wajahnya agak merah.
"Sayang gadis secantik itu tinggal di gubuk."
"Habis, memang rumah Ayahnya gubuk, Gusti!"
"Kan bisa dipindahkan?"
Kata Amangkurat sambil mencambuk kudanya yang lalu jalan congklang dan Jarotpun menyusul.
"Dipindahkan? Ke mana Gusti?"
"Misalnya... ke istanaku, yakni kalau tidak ada orang yang akan menghalangi."
Kata-kata ini dibarengi kerlingan tajam menyambar wajah Jarot yang tiba-tiba membungkuk dan mencambuk Nagapertala hingga kuda itu lari cepat dan Pangeran Amangkuratpun cepat mengejar. Mereka berendeng lagi.
"Hamba rasa... hal itu tergantung..."
Kata Jarot.
"Tergantung apa, Jarot?"
"Tergantung keadaan."
"Apa maksudmu?"
"Orang bukan benda mati, Gusti, ia mempunyai akal budi dan pertimbangan. Maka, untuk dipindahkan harus ada persetujuan yang bersangkutan. Kalau yang akan dipindahkan mau, siapakah pula yang berani menghalangi kehendak paduka?"
Amangkurat mengangguk-angguk.
"Kalau... kalau misalnya ia tidak mau?"
"Tidak baik untuk memaksakan sesuatu yang tidak disetujui kepada seseorang, Gusti, biarpun orang itu hanya orang kecil dan perempuan pula. Lebih-lebih tidak baik kalau yang dipaksa itu seorang yang dekat dengan hamba."
Bukan main marah hati Amangkurat mendengar sindiran ini, tapi ia cukup cerdik untuk menutupi napsu marah, terutama kepada seorang muda gagah perkasa seperti Jarot ini. Maka ia hanya tersenyum dan berkata perlahan, namun cukup tajam dan mengiris perasaan Jarot.
"Hm, sama-sama kita lihat saja nanti."
Pangeran Amangkurat segera balapkan kudanya dan masuk ke gapura Keraton tanpa menoleh kepada Jarot lagi, dan pemuda inipun lalu putar kudanya dan membalap menuju ke rumah Ki Galur.
Pada masa itu, terdengar berita angin sejumlah besar pasukan dari Surabaya tengah dalam perjalanan untuk menyerang Mataram. Ketika itu jatuh pada permulaan tahun 1614 dan hujan mulai banyak turun, sungguhpun bulan yang lalu sudah berkurang turun hujan. Mendengar berita itu, Sultan Agung mengadakan persidangan dari diambil keputusan untuk mengirim seorang penyelidik ke arah timur. Tiga orang pahlawan muda yang gagah dipilih untuk berangkat melakukan tugas penting ini. Biarpun tersiar berita akan kedatangan musuh negaranya, Amangkurat bersikap tak perduli, bahkan ia membuat gara-gara dengan Jarot. Seminggu setelah bertemu dengan Sekarsari, ia mengutus enam orang pahlawannya mendatangi rumah Ki Galur. Pada waktu itu, Ki Galur sedang memperbaiki jalanya yang banyak putus. Ia terkejut melihat datangnya enam orang pahlawan yang bersikap galak dan gagah.
"Kau kah yang bernama Ki Galur?"
Seorang di antara mereka bertanya sambil bertolak pinggang.
"Betul, Raden. Apakah yang hendak diperintahkan kepada hamba?"
Jawab Ki Galur.
"Kami datang atas perintah Pangeran Amangkurat untuk memboyong anakmu si Sekarsari, dan inilah hadiahnya untukmu."
Pahlawan itu mengeluarkan sekantung perak yang dilempar ke atas bangku di mana Ki Galur tadi duduk.
"Ampun, Raden. Bukannya hamba membantah, tapi hal ini harus hamba tanyakan dulu kepada Sekarsari."
"Panggil saja anakmu ke sini."
Ki Galur lalu berteriak memanggil nama anaknya. Sekarsari keluar dari belakang dan ia merasa sangat heran dan terkejut melihat kehadiran enam orang pahlawan yang bersikap sombong itu. Ia tundukkan kepala ketika melihat betapa keenam orang itu memandangnya dengan kagum dan tersenyum simpul.
"Ada apa, bapak?"
Tanya Sekarsari kepada Ayahnya.
"Sari... ini... para Raden ini diutus oleh Gusti Pangeran, maksudnya... maksudnya hendak memboyong kau ke Keraton, Sari..."
Wajah gadis itu seketika menjadi pucat dan tubuhnya menggigil, la memandang kepada enam orang pahlawan itu dengan mata terbelalak, lalu berkata marah,
"Tidak mau... aku tidak mau, bapak..."
''Eh, Sekarsari, kau tidak boleh membantah kehendak Gusti Pangeran! Pula, seharusnya kau bergembira terpilih menjadi selir beliau."
"Tidak, tidak sudi!!"
Jawab Sekarsari yang lari ke dalam pondoknya. Seorang pahlawan hendak lari mengejar, tapi Ki Galur lebih cepat. Orang tua ini meloncat dan sudah berdiri di ambang pintu pondoknya, menghalangi pengejar tadi.
"Nelayan busuk! Menghindar kau"
Pahlawan itu mendorong dada Ki Galur hingga orang tua itu terhuyung-huyung. Tapi Ki Galur cepat menubruk lagi dan dari belakang memegang kain pengawal yang hendak mengejar Sekarsari itu.
"Breett!!"
Dan robeklah kain pengawal Keraton hingga ia menjadi marah sekali.
"Orang tua edan! Kau cari mampus?!"
Dan kakinya terayun ke arah lambung Ki Galur. Serangan ini sangat kejam dan sekiranya tendangan itu mengenai sasarannya, maka dapat dipastikan orang tua lemah itu takkan kuat menahannya dan mungkin jiwanya akan melayang! Tapi pada saat itu terjadi keanehan. Ketika kaki pengawal itu tampaknya telah "makan"
Lambung Ki Galur, bukan orang tua itu yang roboh, sebaliknya si pengawallah yang menjerit kesakitan dan jatuh terjengkang ke belakang! Betis kaki yang menendang tadi mengeluarkan darah bercucuran karena sebilah pisau belati telah menancap di daging betis itu!
Kelima pengawal Keraton yang lain terkejut sekali melihat hal ini. Mereka tidak tahu bagaimana belati itu dapat tertancap di betis kawan mereka. Mereka sangka bahwa Ki Galur tentu mempergunakan ilmu gaib, maka sambil mencabut keris mereka maju berbareng dan mengancam Ki Galur dengan hebat! Orang tua yang lemah itu ternyata tidak gentar menghadapi kelima lawannya yang muda dan gagah, bahkan ia bermaksud untuk nekat dan melawan sampai titik darah terakhir untuk membela puterinya! Ia cabut sebilah arit yang terselip di bilik, lalu menanti serbuan lawan-lawannya dengan mata terbelalak merah. Pada saat itu, sebelum lima orang pengawal itu sempat menyerang Ki Galur, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat dari dalam dan Jarot telah berdiri menghalang di depan orang tua itu, menghadapi kelima pengawal dengan senyum sindir dan tolak pinggang.
"Sungguh tak tahu malu! Beginikah kegagahan pahlawan-pahlawan Keraton yang menghadapi seorang tua lemah saja harus mengeroyoknya? Hm, kalian tak pantas menjadi pengawal Keraton dan terkenal dengan sebutan pahlawan-pahlawan!"
Kelima orang itu biarpun sudah tahu akan kegagahan Jarot, namun mengandalkan jumlah banyak dan nama Pangeran Amangkurat yang mengutus mereka, mereka tidak takut.
"Den Mas jangan ikut-ikut! Kami harus tangkap orang tua yang berani membangkang terhadap perintah Gusti Pangeran."
"Jangan banyak cakap! Mundur dan pergi dari sini!"
Jarot mengancam, tapi hal ini membuat mereka marah.
"Eh-eh, kau pun hendak memberontak? Berani melawan utusan Pangeran? Jarot, jangan kau sombong. Kau kira kegagahanmu itu cukup untuk menjagoi di Mataram? Minggir kau!!"
Mereka berlima menyerang dengan keris terhunus. Jarot menjadi marah dan menerjang ke kanan kiri. Gerakan kedua kaki dan sepasang kepalan tangan Jarot luar biasa cepatnya, hingga kelima lawannya hanya melihat berkelebatnya tangan atau kaki dan tahu-tahu senjata mereka telah terpental entah ke mana kemudian sebelum mereka dapat melihat jelas, masing-masing telah menerima pukulan atau tendangan yang membuat mereka jatuh bangun, kepala benjol dan tulang patah! Mendapat hajaran keras ini mereka, termasuk juga orang pertama yang terluka oleh belati yang dilepas Jarot, meninggalkan tempat itu sambil mengaduh-aduh dan terhuyung-huyung! Orang-orang kampung melihat perkelahian itu merasa khawatir akan keselamatan Jarot dan Ki Galur karena telah berani menentang Pangeran Amangkurat yang disegani. Namun Jarot tetap tenang dan tabah.
"Lebih baik kalian lekas lari saja,"
Seorang tetangga memberi nasihat.
"Pangeran Amangkurat tentu akan segera datang. Dan kalau beliau sendiri yang datang membalas dendam, celakalah kampung ini! Kenapa tidak kau berikan saja Sekarsari untuk menjadi selirnya?"
Hampir saja Ki Galur memukul mulut orang itu kalau tidak cepat-cepat dicegah oleh Sekarsari yang memeluk Ayahnya sambil menangis.
"Ayah, biarlah aku terjun ke bengawan saja daripada diselir Pangeran..."
Ratapnya kemudian sambil memandang Jarot ia berkata lagi.
"Lebih baik mati daripada dipaksa menjadi selirnya, tapi kalau aku menolak, kau dan Mas Jarot tentu akan mendapat bencana... ah, lebih baik aku mati saja""
Jarot segera menghibur semua orang dengan kata-katanya yang tenang.
"Janganlah kalian khawatir dan bersedih. Aku yang tanggung jika Pangeran Amangkurat marah dan datang ke sini. Biarlah aku yang menghadapinya. Kalau ada apa-apa, aku seoranglah yang akan memikul tanggung jawab dan akibatnya!"
Ucapan yang gagah berani ini membuat orang-orang merasa kagum dan berterima kasih, tapi Sekarsari mendengarkan dengan air mata mengalir. Tapi sungguh mengherankan mereka karena sampai malam tiba, tidak juga ada berita sesuatu dari Pangeran Amangkurat. Hal ini melegakan dada orang-orang kampung. Sebaliknya, Jarot merasa tak enak hati. Ia akan lebih senang kalau urusan itu lekas-lekas selesai. Maka, malam hari itu tanpa diketahui seorangpun, ia berjalan cepat di bawah sinar bulan purnama menuju ke Keraton.
Ia bermaksud menyelidiki keadaan Pangeran yang telah dikenal banyak akalnya itu. Jarot ambil jalan memutar dan masuk ke tamansari dengan jalan meloncati tembok yang mengelilinginya. Ia belum pernah melihat taman bunga Keraton itu, hingga ia tercengang dan kagum melihat keindahan tamansari dimana beraneka macam bunga sedang mekar dan tertimpa cahaya bulan yang gilang-gemilang. Juga harum bunga yang sedap menyambut hidungnya. Dengan hati-hati dan perlahan Jarot memasuki tamansari. Taman itu luas sekali. Tiba-tiba Jarot mendengar suara tangis yang sedih, tangis seorang wanita yang terisak-isak. Suara itu datang dari sebuah bangunan kecil di tengah tamansari. Ia merasa tertarik dan ingin tahu, maka segera ia lari menghampiri dan bersembunyi di belakang pintu ruang di mana suara itu berada, lalu mendengarkan.
"Sudahlah, Gusti ayu, jangan terlalu bersedih. Hal itu sudah lalu belasan tahun lamanya dan percayalah, Yang Maha Kuasa akan memberkahi mereka yang benar dan baik,"
Terdengar suara seorang wanita tua menghibur.
"Kau benar, biung emban, tapi betapa hatiku takkan sedih dan sakit. Aku yakin betul bahwa ini tentu perbuatan yayi Maduningrum dan Ayahnya, Tumenggung Suryawidura, tapi karena tiada bukti, aku harus menerima nasib dan menyimpan sakit hati. Betapa hatiku takkan sakit, melihat orang membawa pergi anakku yang hingga kini tak kuketahui hidup matinya, sedangkan terhadap orang-orang jahat itu aku tak berdaya menuntut balas sama sekali?"
Kembali terdengar isak tangis.
"Sudahlah, Gusti Bratadewi, marilah kita berdoa saja kepada Yang Maha Agung. Sekarang sudah jauh malam, lebih baik Gusti mengaso di peraduan, kalau nanti Gusti Sultan datang dan paduka tidak ada, tentu beliau akan marah."
Jarot loncat bersembunyi di belakang pohon mawar dan melati ketika mendengar suara kaki mereka menuju keluar. Tak lama kemudian tampak olehnya wanita yang menangis dan bernama Bratadewi itu berjalan perlahan, diiringi oleh biung emban. Ketika cahaya bulan tepat menimpa wajah puteri itu.
hampir saja Jarot berseru karena terkejut dan heran. Bukankah wanita yang sedang berjalan itu Sekarsari? Tubuhnya, lenggangnya, raut wajahnya, mata hidung mulut itu... Jarot menggosok-gosok matanya dan memandang lagi. Bukan, bukan Sekarsari, tapi seorang wanita setengah tua yang serupa benar dengan Sekarsari! Otak Jarot yang cerdas dengan cepat merangkai segala hal yang didengarnya tadi, Puteri Bratadewi kehilangan anaknya, yang menurut sangkaan puteri itu telah dibawa pergi oleh Tumenggung Suryawidura dan anak perempuannya bernama Maduningrum. Dan puteri Bratadewi ini serupa benar dengan Sekarsari! Kalau demikian, mungkinkah Sekarsari puteri yang hilang dicuri itu? Dan Ki Galur? Apakah hubungan Ki Galur dengan peristiwa ini, kalau memang benar demikian halnya? Ah, ia harus minta keterangan dari Ki Galur!
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hatinya berdebar, mungkinkah ia akan membongkar sebuah rahasia Keraton yang terpendam? Ia tidak merasa bahwa telah lama juga ia termenung di situ dan ketika ia berdiri lagi, di tamansari telah sunyi. Ketika ia hendak mulai penyelidikannya ke kamar Pangeran Amangkurat yang berada di sebelah barat Keraton, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan ribut di luar Keraton. Jarot segera meloncat ke atas tembok dan keluar dari tamansari itu untuk melihat apakah yang telah terjadi. Ternyata seorang di antara tiga utusan penyelidik telah kembali dengan tubuh penuh luka. Di bawah penerangan bulan dan obor, penyelidik yang mandi darah itu dengan terengah-engah menutur betapa ia dan dua orang kawannya telah bertemu dengan barisan pelopor musuh di luar kota dan terbukalah rahasia penyelidikan mereka hingga terjadi perang tanding.
Jumlah musuh terlalu banyak hingga dua orang kawannya gugur dan ia sendiri berhasil menerobos kepungan dan melarikan diri pulang ke dalam kota. Setelah habis ceritanya, penyelidik yang telah terlampau banyak mengeluarkan darah itu menjadi lemas dan jatuh pingsan. Orang-orang berusaha menolongnya namun sia-sia, karena di sepanjang jalan setengah bagian darahnya mengalir keluar dari tubuh melalui lukalukanya. Tak lama kemudian ia menghembuskan napas terakhir. Mendengar cerita itu, seorang pengawal pribadi Sultan segera masuk ke dalam dan minta seorang pengawal dalam membangunkan Sultan. Tapi pada saat itu tampak dua orang maju mencegahnya, seorang keluar dari dalam dan yang lain masuk dari luar. Mereka adalah Pangeran Amangkurat dan Jarot.
"Tidak usah mengganggu ramanda Sultan karena urusan kecil ini. Musuh masih jauh, biar kita perkuat penjagaan di luar kota,"
Kata Amangkurat.
"Itu benar. Keadaan tidak sangat berbahaya, tidak perlu mengganggu Gusti Sultan dari tidurnya. Biarlah aku sendiri perigi melihat-lihat keadaan musuh, menggantikan tugas tiga orang penyelidik yang gugur,"
Kata Jarot sambil memandang kepada Amangkurat yang kebetulan sedang menatapnya dengan pandang tajam. Dua pasang mata bertemu dan Amangkurat tersenyum lebih dulu lalu anggukkan kepala.
"Baik, Jarot. Aku setuju. Pergilah kau melakukan penyelidikan sementara aku berunding dengan para senapati."
Jarot lalu meloncat keluar dan berlari cepat ke pondoknya untuk berkemas dan mengambil Nagapertala. Maksudnya hendak pergi diam-diam dan tidak akan mengganggu Ki Galur dan Sekarsari yang masih tidur. Tapi ketika la telah selesai berkemas dan sedang menuntun Nagapertala keluar dari kandang, tiba-tiba terdengar suara halus menegurnya,
"Mas Jarot, ke mana kau pergi tadi dan sekarang ke mana pula kau hendak pergi dengan Nagapertala?"
(Lanjut ke Jilid 03)
Keris Pusaka dan Kuda Iblis (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
Jarot terkejut dan gugup. Tak disangka-sangkanya bahwa Sekarsari tahu akan kepergiannya tadi.
"Aku... aku hendak menyelidik keadaan musuh, Sari."
"Apakah yang telah terjadi?"
Tanya Sekarsari. Jarot lalu menuturkan dengan ringkas tentang kembali dan gugurnya penyelidik. Namun Sekarsari tidak tampak takut mendengar bahwa musuh hendak menyerang Mataram.
"Biar mereka datang! Kita pasti akan dapat memukul mundur dan menghancurkan mereka! Panglima-panglima kita gagah perkasa, apalagi sekarang ada kau di sini Mas Jarot..."
Katanya dengan gagah. Jarot tersenyum.
"Sari, kau seperti Srikandi..."
Tiba-tiba ia teringat akan puteri dalam tamansari tadi.
"Sari, pernahkah... pernahkah kau melihat ibumu?"
Sekarsari memandangnya heran, lalu melihat ke arah bulan purnama yang telah menurun ke barat.
"Menurut kata Ayah, ibu telah meninggal dunia semenjak aku masih bayi,"
Jawabnya perlahan,
"Mengapa kau tanyakan hal ini, Mas?"
Tiba-tiba ia bertanya sambil putar tubuh menatap wajah Jarot.
"Tidak apa-apa, Sari. Nah, jaga diri baik-baik. Aku berangkat sekarang."
Jarot meloncat ke atas punggung Nagapertala dengan sigapnya.
"Mas Jarot...!"
"Ya?"
Jarot tahan kendali kudanya. Sekarsari ragu-ragu.
"Mas... kalau kau pergi... bagaimana kalau Pangeran datang mengganggu kami...?"
Hati Jarot berdebar. Hampir ia lupa akan hal itul Tapi ia teringat akan keberanian Ki Galur membela anaknya. Pula, perginya takkan lama.
"Jangan takut, Sari. Paman Galur akan menjagamu. Juga, aku takkan pergi lama. Besok siang aku tentu sudah kembali, laginya, dalam keadaan seperti sekarang, kurasa Pangeran Amangkurat takkan mengganggumu."
Sekarsari mendengar dengan bimbang tapi tiba-tiba ia kedikkan kepala dan berkata tetap,
"Pergilah, Mas. Pergilah lakukan tugasmu. Aku tidak takut kepada Pangeran!"
Mendengar kata-kata dan melihat sikap ini Jarot tersenyum girang lalu membungkuk di atas kudanya dan mencubit dagu yang manis dari gadis itu. Kemudian ia kaburkan kudanya ke arah timur. Setelah keluar kota, Jarot bertemu dengan rombongan-rombongan pengungsi dari kampung-kampung sebelah timur. Menurut penuturan mereka, barisan yang besar dari Surabaya telah bergerak menuju ke kota raja. Tiba-tiba seorang kakek-kakek menghampiri Jarot dan berkata,
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo