Ceritasilat Novel Online

Keris Pusaka Nagapasung 3


Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Bagian 3




   
"Setelah mendengar semua cerita eyang, saya tidak berani apa-apa lagi, eyang. Memang itu telah cukup lama menderita dan kalau sekiranya sekarang, dengan menjadi isteri paman Pringgojoyo, ibu menemukan kebahagiaan, saya tidak akan berani menghalanginya."

   

   Kakek itu tersenyum, mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya yang panjang.

   "Nah, kalau ucapanmu itu keluar dari lubuk hatimu, barulah benar, cucuku. Tidak benar kalau seorang menentukan jalan hidup orang lain, apapun hubungannya dengan orang lain itu. Setiap orang manusia memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri karena ia memiliki pendapat dan seleranya sendiri yang hanya dapat ia sendiri rasakan. Apalagi dalam hal memilih jodoh! Sudahlah, sekarang mari hentikan percakapan tentang ibumu dan mari kita berdoa saja ke hadirat Hyang Agung semoga ibumu akan memperolah kebahagiaan di samping Raden Pringgoloyo. Dan mari kita lanjutkan

   tentang ilmu silat yang sedang kau pelajari."

   

   "Baik, Eyang,"

   Jawab pemuda itu dengan wajah berseri dan perubahan pada wajahnya ini melegakan hati sang begawan karena menunjukkan bahwa tidak ada lagi ganjalan di dalam hati pemuda itu mengenai urusan ibu kandungnya.

   

   "Nah, sekarang kita lanjutkan pelajaran jurus Nogopasung. Seperti engkau ketahui dan sudah kaupelajari dengan baik, inti dari ilmu silat aliran Hati Putih kita adalah Ilmu Silat Nogokredo. Ilmu silat kita bersumber kepada gerakan-gerakan seekor naga. Jurus Nogopasung ini juga bersumber pada ilmu silat Nogokredo kita, akan tetapi merupakan jurus yang khas dan amat cocok kalau dimainkan dengan sebatang keris, terutama Nogopasung sendiri. Gerakan tadi memang sudah baik, akan tetapi kebaikan yang kau peroleh itu hanya sampai pada kulitnya saja. Engkau belum menguasai tenaga intinya. Hanya dengan pengerahan tenaga sakti dari dalam tubuh dengan gerakan tertentu saja yang dapat membuat gerakanmu menjadi sempurna."

   "Eyang, saya mohon eyang memberi petunjuk agar lebih mudah bagi saya untuk menangkapnya. Berilah contoh, Eyang."

   

   "Ha-ha-ha, sudah setua ini aku harus berlagak? Akan tetapi baiklah. Nah, kau lihat baik-baik pohon di depan itu."

   Pendeta itu lalu menghampiri sebatang pohon yang besarnya sebadan orang dewasa. Dia berhenti dalam jarak dua meter dari pohon itu,kemudian dia pun memasang kuda-kuda jurus Nogopasung. Tubuh yang kurus tua itu nampak kokoh dan mantap sekali ketika dia memasang kuda-kuda yang khas itu.

   Kaki kirinya di depan, lutut ditekuk, kaki kanan terjulur ke belakang dengan lurus dan hanya ujung jari kaki kanannya saja yang menyentuh tanah, jari-jari lainnya terangkat, tangan kiri melintang di depan dada dengan jari-jari terbuka membentuk cakar naga, tangan kanan terlentang menempel pinggang dengan jari-jari membentuk cakar naga pula, muka menghadap ke depan, mata mencorong dan mulut terbuka. Inilah kuda-kuda Nogopasung yang telah dilatih selama berbulan-bulan oleh Joko Handoko.

   Ketika melihat kakeknya memasang kuda-kuda, Joko Handoko memandang dengan mata yang tidak pernah berkedip, penuh perhatian dan dia pun dapat melihat bahwa pengaturan pernapasan dari hidung dan mulut setengah terbuka itulah yang belum dikuasainya dengan benar? Seperti pernah diajarkan oleh kakeknya, untuk menghimpun tenaga dalam jurus ini dia harus menghirup hawa dari hidungnya sebanyak tiga kali, dan mengeluarkannya dengan halus melalui mulut tiga kali. Melihat cara kakeknya bernapas, dan kini dia tahu bahwa dia telah membuang napas melalui mulut terlampau banyak. Kiranya tenaga yang terkumpul oleh isapan napas itu menghimpun hawa murni dalam tubuhnya yang siap dipergunakan untuk digerakkan dalam pukulan jurus Nogopasung.

   

   "Heeiiikkkkk......!"

   Terdengar kakek itu mengeluarkan bentakan dan tubuhnya menerjang ke depan, kedua lengannya yang membentuk cakar naga itu bergerak-gerak dengan cepat. Terdengar bunyi desir angin keluar dari kedua telapak tangannya, menyambar ke arah pohon di depan.

   

   "Krakkk.... bruuuukkkk....!"

   Pohon itu pun tumbang, pecah dan patah di tengah-tengah batangnya!

   

   Joko Handoko memandang kagum dan kakek itu sudah berdiri tegak dan memejamkan kedua mata, mengatur pernapasannya. Dia sudah terlalu tua untuk mengeluarkan tenaga yang sedemikian besarnya.

   

   "Hebat sekali, Eyang,"

   Kata Joko Handoko setelah kakeknya membuka mata kembali.

   

   Kakek itu tersenyum lebar.

   "Kalau sudah menguasai jurus ini benar-benar, karena engkau masih muda dan tenagamu lebih besar, maka akibatnya akan lebih hebat lagi. Hanya, engkau tentu tahu bahwa jurus ini hanya merupakan jurus terakhir untyk membela diri saja dan jangan sekali-kali kau pergunakan kalau kau tidak terpaksa untuk menyelamatkan diri. Jurus ini kuciptakan bukan untuk membunuh orang, Cucuku."

   

   "Saya mengerti, Eyang."

   

   "Sekarang ambil keris pusaka Nogopasung."

   

   Pemuda itu lalu berlari memasuki pondok dan ketika dia keluar kembali, dia telah membawa keris yang tersembunyi dalam sarung keris pusaka sederhana. Keris itu panjang dan ketika Panembahan Pronosidi mencabutnya, keris lekuk lima belas itu mengeluarkan sinar menyeramkan. Di ujungnya masih terdapat noda hitam, bekas darah Ginantoko dan Galuhsari! Bergidik juga Joko Handoko melihat keris pusaka yang tidak pernah dihunusnya itu karena ia tahu bahwa darah di ujung keris itu adalah darah ayah kandungnya!

   "Kalau engkau menggunakan keris ini untuk memainkan jurus Nogopasung akibatnya akan lebih hebat bagi lawan. Nah, sudah kepalang tanggung aku memberi petunjuk. Kau lihat aku memainkan keris ini."

   

   Bukan main gembiranya hati Joko Handoko. Dia melihat kakeknya memasang kuda-kuda seperti tadi, hanya bedanya, kalau tadi tangan kanan membentuk cakar naga, kini tangan itu memegang keris Nogopasung yang terhunus, keris itu menuding ke depan lurus, sejurus dengan lengan kanan. Mulailah kakek itu bersilat dengan keris, gerakannya lambatdan mantap, akan tetapi ketika dia menutup gerakan jurus itu, dia mengeluarkan bentakan dan keris Nogopasung itu menciptakan gulungan sinar yang amat menyilaukan mata. Sinar itu menerjang ke depan.

   

   "Trakkk....!"

   Terdengar suara nyaring disusul bunga api berpijar menyilaukan mata dan ketika kakek itu menarik kembali tubuh dan kerisnya, tenyata sebongkah batu besar telah pecah berantakan terkena tusukan keris di tangan kakek itu!

   

   "Bukan main.....!"

   Joko Handoko memuji dan mulai saat itu, dia pun berlatih semakin tekun dan giat sekali. Sampai setahun lamanya dia berlatih siang dan malam di bawah pengawasan yang keras dari kakeknya dan akhirnya pemuda ini dapat menguasai jurus Nogopasung dengan baik sekali dan ketika Panembahan Pronosidhi mengujinya, maka hasil yang diperoleh pemuda itu masih lebih hebat dari pada yang pernah diperlihatkan sang panembahan sendiri!

   

   Sementara itu, Dyah Kanti telah resmi menjadi isteri Raden Pringgojoyo dan diboyong ke Wonoselo. Perayaan pernikahan dilakukan secara sederhana sekali, karena bagaimana pun juga, Dya Kanti hanya menjadi selir ke tiga dari Raden Pringgojoyo! Pada jaman itu, menjadi selir ke tiga dari seorang bangsawan seperti Raden Pringgojoyo merupakan suatu hal yang sama sekali tidak mendatangkan rasa malu, bahkan sebaliknya, seorang wanita akan menjadi bangga karena ia merasa derajatnya terangkat setelah menjadi selir seorang bangsawan! Dan bagi Dyah Kanti, bukan derajat ini yang dipentingkan benar, melainkan karena ia telah jatuh cinta kepada pria yang gagah dan manis budi itu.

   

   Raden Pringgojoyo dengan ramah mengajak Joko Handoko untuk ikut dengan ibunya, pindah ke Wonoselo. Juga Dyah Kanti membujuk puteranya, akan tetapi, Joko Handoko menolak dengan halus.

   

   "Eyang panembahan sudah berusia lanjut dan tidak ada yang menemaninya kecuali beberapa orang cantrik. Saya tidak tega untuk meninggalkannya. Biarlah saya menemani eyang di sini sambil memperdalam ilmu saya."

   Demikian ia berkata dengan halus dan ibunya, juga ayah tirinya, tidak mendesaknya lebih jauh.

   

   Demikianlah, semenjak ibunya pergi meninggalkan padepokan di lereng Gunung Anjasmoro, Joko Handoko semakin tekun mempelajari ilmu silat sampai ahirnya dia berhasil menguasai jurus Nogopasung. Jurus Ini hanya dia seorang saja yang mempelajarinya dari kakeknya. Para cantrik dan para murid, anggota aliran Hati Putih tidak ada yang mempelajarinya.

   

   Aliran silat Hati Putih ini didirikan oleh Panembahan Pronosidhi semenjak tiga puluh tahun yang lalu. Banyak sudah murid-murid atau cantrik-cantrik yang menjadi anggota aliran ini, dan menguasai ilmu pencak silat Nogokredo yang menjadi inti dari ilmu aliran Hati Putih. Kini murid-murid itu banyak yang sudah meninggalkan lereng Gunung Anjasmoro dan menjalani kehidupan masing-masing. Ada yang menjadi guru silat, menjadi buruh, petani atau ada pula yang menjadi perajurit-perajurit di kadipaten-

   kadipaten. Mereka semua selalu menjunjung tinggi nama aliran Hati Putih, sesuai dengan namanya, tidak mempergunakan ilmu itu untuk melakukan kejahatan, sebaliknya mereka mempergunakan untuk menentang kejahatan.

   Kertika Dyah Kanthi meninggalkan padepokan, yang masih berada di lereng Gunung Anjasmoro menjadi cantrik hanya ada lima orang saja. Mereka itu rata-rata berusia tiga puluh tahun dan sudah memiliki ilmu silat tinggi. Mereka tidak meninggalkan Sang Panembahan karena mereka berlima itu memperdalam ilmu kebatinan dan mereka sudah mengambil keputusan untuk menjaga dan membantu Sang Panembahan yang sudah berusia lanjut sampai kakek itu meninggal dunia. Mereka berlima inilah yang melakukan pekerjaan sehari-hari, bertani dan membersihkan padepokan, mempersiapkan segala keperluan dan kebutuhan Sang Panembahan yang menjadi guru mereka.

   Untung tak dapat diraih,malang tak dapat ditolak, demikian bunyi pepatah. Untung atau malang ini hanya merupakan pendapat hasil penilaian saja akan hal-hal yang sudah terjadi. Sebenarnya, yang terjadi pun terjadilah dan yang terjadi itu adalah sesuatu kenyataan, sesuatu kewajaran yang tidak mengandung malang atau mujur, untung atau rugi. Segala macam peristiwa itu terjadi sebagai akibat dari sesuatu sebab, dan akibat ini pun dapat menjadi sebab baru untuk akibat berikutnya. Maka terjadilah lingkaran setan atau rantai yang tak pernah putus dari sebab dan akibat, yang dikenal dengan hukum karma. Putus atau tidaknya rantai sebab akibat ini hanya tergantung kepada kita sendiri, karena jalinan rantai itu melalui telapak tangan kita sendiri. Kalau kita habiskan sampai saat itu saja, maka habis dan putuslah. Sebaliknya kalau kita mendendam dan membalas, rantai itu akan bersambung terus. Kalau kita menghadapi segala peristiwa yang terjadi seperti apa adanya, sebagai kenyataan, tanpa penilaian baik buruk dan untung rugi, maka peristiwa itu pun tidak akan bersambung.

   Kalau terjadi suatu peristiwa menimpa diri kita yang kita anggap merugikan, maka kita sukar untuk dapat menerimanya. Kita menganggap diri kita cukup baik sehingga tidak layak untuk menderita! Hal ini timbul karena kita selalu mengajar senang dan selalu melarikan diri dari susah! Kalau kita menghadapi segala sesuatu dengan kenyataan yang wajar, maka tidak ada lagi penilaian dan karenanya tidak ada lagi derita. Jangan dikira bahwa orang yang dianggap baik akan terhindar daripada bencana! Sakit dan mati adalah bagian dari hidup, juga bencana mengintai di mana-mana tanpa menilai baik buruknya orang. Hidup ini sendiri sudah berarti menempatkan diri dalam intaian bahaya setiap saat.

   

   Joko Handoko keluar dari dalam hutan, memanggul seekor kijang yang sudah mati. Dia merobohkan kijang itu dengan lemparan batu yang tepat mengenai kepalanya. Dengan hati gembira dia membawa pulang kijang yang muda dan gemuk itu dan mulutnya sudah menjadi basah ketika dia membayangkan betapa akan sedap dan gurihnya dia dan para Cantrik nanti menikmati daging kijang yang dipanggang atau dimasak. Sayang, kakeknya sudah selama puluhan tahun tidak suka makan daging binatang, dan hanya makan sayuran saja.

   

   Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, di padepokan terjadi hal-hal yang amat mengerikan. Sejak tadi pagi dia sudah meninggalkan padepokan yang tadi nampak sunyi dan tenteram. Eyangnya sudah bangun dan seperti biasa, setelah mencuci badan, eyang sudah duduk bersamadhi di luar pondok. Lima orang kakek seperguruannya, yaitu para cantrik, sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang mengisi kolam air, ada yang menyapu pekarangan, membersihkan rumah, masak air dan sebagainya. Mereka semua sudah biasa bagun pagi-pagi sekali, suatu kebiasaan yang amat baik bagi kesehatan lahir dan batin.

   Mula-mula para cantrik yang sedang menyapu pekarangan yang melihat kedatangan lima orang asing itu. Dua orang canrik yang bekerja di pekarangan dan serambi depan, menghentikan pekerjaan mereka ketika lima orang itu memasuki pekarangan dengan langkah lebar. Mereka berdua memandang penuh perhatian. Yang muncul adalah dua orang kakek berusia sekitar enam puluh tahun dan tiga orang berusia sekitar empat puluh tahun. Mereka itu bertubuh tinggi besar dan nampak kuat, dengan pakaian serba hitam yang ringkas. Karena ia merupakan orang-orang yang tak dikenal, dan melihat sikap mereka yang tegas ketika memasuki pekarangan, tanda bahwa mereka itu sengaja datang dengan maksud tertentu, dua orang itu pun cepat menyambut.

   

   "Kisanak, apakah di sini padepokan aliran Hati Putih?"

   Seorang di antara mereka, yaitu kakek yang kepalanya botak dan tidak tertutup kain kepala seperti teman-temannya, bertanya. Suaranya kasar dan matanya yang besar itu melotot tanda bahwa dia sedang marah.

   

   Seorang di antara dua cantrik itu mengangguk.

   "Benar sekali. Siapakah Andika berlima dan dari mana, ada keperluan apakah?"

   

   Akan tetapi si botak itu tidak memperdulikan pertanyaan orang, melainkan memandang dengan muka beringas dan dia pun melangkah maju mendekati cantrik yang menjawab itu.

   

   "Dan kamu ini seorang cantrik, murid aliran Hati Putih?"

   

   Sang cantrik tidak menduga buruk walaupun dia merasa heran mengapa orang-orang ini kelihatan seperti orang-orang yang sedang marah. Dia mengangguk.

   "Benar, dan....."

   

   "Kalau begitu mampuslah!"

   Bentak si botak dan secepat kilat sudah menyerang dengan tangan kiri yang terbuka. Pukulan itu mengarah ke dada. Akan tetapi sang cantrik yang kurus kecil ini adalah murid Panembahan Pronosidhi yang sudah belasan tahun melatih diri dengan ilmu-ilmu pencak silat dari aliran Hati Putih. Dia bukan orang sembarangan dan melihat datangnya pukulan yang demikian berbahaya, dia pun melempar tubuh ke belakang. Dia selamat, akan tetapi angin pukulan itu masih terasa olehnya, panas dan kuat sekali, membuat dia terhuyung dan terkejut bukan main.

   

   "Eh,eh tahan dulu.....!"

   Cantrik ke dua yang bertubuh gemuk cepat melangkah maju melerai.

   "Kalau ada urusan, dapat kita bicarakan dulu."

   

   "Kau pun harus mampus!"

   Bentak kakek ke dua yang cepat maju menyerang dengan pukulan tangan kosong yang terbuka jari-jarinya, menampar ke arah kepala.

   

   Cantrik itu menagkis dengan cepat dari samping.

   

   "Duukk.....!"

   Dua lengan bertemu dan akibatnya, tubuh cantrik itu terlempar dan terbanting keras. Cantrik itu, yang juga memiliki kepandaian yang cukup kuat, terkejut bukan main. Tangkisannya tadi telah dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti, namun tetap saja dia terlempar dan lengan yang beradu dengan lengan lawan tadi terasa ngilu dan panas seperti bertemu dengan besi panas saja! Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan-lawan tangguh, maka tanpa banyak cakap lagi dia meloncat berdiri dan lari memasuki pondok untuk memberitahukan kawan-kawannya. Akan tetapi, cantrik pertama yang kurus kecil merasa penasaran dengan jurus-jurus pilihan Ilmu Silat Nogokredo.

   

   "Huh, orang-orang Hati Putih ternyata berhati busuk!"

   Bentak kakek botak yang cepat menangkis sambil mengeluarkan tenaga saktinya. Kembali pertemuan dua lengan itu membuat sang cantrik terpental dan terhuyung. Sebelum dia sempat mengatur keseimbangan tubuhnya, seorang di antara tamu-tamu tak diundang itu yang berada dekat dengannya, sudah memapaki tubuhnya dengan tamparan keras yang mengenai punggungnya.

   "Buk....!"

   Cantrik kurus kecil itu mengeluh, lalu muntah darah dan tubuhnya terjungkal roboh dan tidak dapat bangkit lagi.

   

   Empat orang cantrik yang berlarian keluar terkejut sekali, juga marah melihat betapa saudara mereka telah roboh dan agaknya telah tewas melihat muka yang pucat dan mata yang terbelalak, mulut berlepotan darah itu.

   

   "Kalian orang-orang jahat dari mana berani mengacau padepokan kami!"

   Bentak mereka dan lima orang tamu tak diundang itu pun hanya tersenyum mengejek. Lalu serentak maju menyambut dan menjawab kata-kata pihak tuan rumah dengan serangan-serangan kilat. Empat orang cantrik yang sudah merasa marah sekali itu pun menyambut dan terjadilah perkelahian empat lawan lima orang. Namun, para cantrik itu segera merasa terkejut bukan main karena mereka memperoleh kenyataan bahwa lima orang lawan itu, terutama dua orang kakek, sungguh, sungguh merupakan lawan yang amat tangguh. Rata-rata lima orang itu memiliki tingkat kepandaian dan kekuatan yang lebih dari mereka, sehingga dalam belasan jurus saja mereka berempat sudah terdesak hebat.

   

   Dua orang kakek pendatang itu sungguh menggiriskan. Tadinya mereka lebih banyak nonton saja ketika tiga orang anak buah mereka menghadapi empat orang cantrik, dan mereka itu hanya membantu sedikit saja, dengan pukulan-pukulan jarak jauh yang cukup membuat yang diserang kerepotan. Kini, setelah lewat belasan jurus dan tiga orang anak buah mereka itu belum mampu merobohkan lawan walaupun sudah mendesak, mereka berdua menjadi tidak sabar lagi.

   

   "Hemm, kalian lihat baik-baik bagaimana kita merobohkan mereka!"

   Kata si kakek botak dan bersama rekannya yang tinggi besar dan berjenggot panjang segera bergerak ke depan.

   Cantrik tertua yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara rekan-rekannya, cepat menyambut terjangan si botak yang telah membunuh temannya tadi dengan pukulan tangan kanan ke arah pusar sedangkan tangan kirinya membentuk cakar naga dan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala botak itu. Jurus ini amat berbahaya dan merupakan jurus pilihan dari ilmu Silat Nogokredo (naga marah). Apalagi yang melakukan jurus ini adalah cantrik yang sudah matang ilmu kepandaiannya. Terutama cakaran ke arah ubun-ubun itu amat hebat. Batu pun akan remuk terkena cengkeraman itu, apa lagi ubun-ubun kepala manusia!

   

   Akan tetapi, si Botak hanya tertawa saja melihat serangan ini. Dia hanya mengangkat tangan kanan untuk menangkis cengkeraman ke arah kepalanya sedangkan pukulan tangan kanan lawan ke arah pusarnya itu dibiarkannya saja. Bahkan ia membarengi ketika kepalan kanan lawan menghantam pusar, dia sendiri menampar dengan tangan kirinya ke arah dada lawan.

   

   Datangnya dua pukulan itu berbareng. Kepalan kanan si cantrik tepat mengenai pusar kakek botak, akan tetapi tamparan tangan kakek itu pun tepat mengenai dada lawan.

   

   "Plak! Plak...!"

   Akibatnya sungguh hebat. Kakek itu terkena pukulan, pada dasarnya masih tetap berdiri sedikitpun tidak terguncang karena pusarnya telah dilindungi dengan aji kekebalan. Sebaliknya, tamparan tangan terbuka pada dada sang cantrik itu membuat dia terjengkang, muntah darah dan tewas seketika! Pada saat itu, kakek tinggi besar juga sudah berhasil menampar dengan tangan terbuka, tepat mengenai lambung seorang cantrik dan muntah darah, tewas tanpa sempat berteriak.

   

   Melihat dua orang temannya roboh, dua orang cantrik lainnya menjadi terkejut. Namun mereka telah dikepung dan sebuah tamparan yang kuat dari lawan membuat cantrik ke tiga roboh pula. Cantrik terakhir meloncat dan bermaksud memberi tahu kepada gurunya.

   

   "Bapak Panembahan....!"

   Akan tetapi sebelum dia sempat melanjutkan teriakannya, sebuah tangan terbuka sudah menghantam punggungnya, dan dia pun tersungkur dan muntah darah.

   

   Pada saat itu, muncullah Panembahan Pronosidhi dari dalam pondok. Dia tadi sedang bersamadhi, tenggelam dalam samadhinya sehingga tidak memperdulikan segala sesuatu yang terjadi di luar dirinya. Akan tetapi kegaduhan dan teriakan muridnya, membuat dia terpaksa menghentikan samadhinya dan berjalan keluar untuk melihat apa yang terjadi maka murid-muridnya itu membuat kegaduhan luar biasa.

   

   "Duh jagat Dewa Bathara....!"

   
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kakek yang sudah tua renta itu membelalakkan matanya dan memandang ngeri, ketika melihat lima orang muridnya menggeletak tanpa nyawa lagi sedangkan di situ berdiri lima orang laki-laki yang bermuka beringas dan yang kini memandang kepadanya penuh kemarahan.

   "Siapa Andika sekalian mengapa...... mengapa kalian melakukan ini semua? Apa kesalahan para cantrik ini maka kalian membunuh mereka dengan kejam...?"

   

   Kakek botak dan kakek tinggi besar melangkah maju menghadapi Panembahan Pronosidhi. Kakek botak itu segera bertanya dengan suara kaku.

   "Apakah Andika yang bernama Panembahan Pronosidhi, ketua dari aliran Hati Putih?"

   

   "Benar sekali, dan siapakah Andika, mengapa pula Andika, membunuhi murid-muridku?"

   

   "Hemm, engkau pendeta palsu yang jahat! Masih pura-pura lagi? Hayo keluarkan murid-muridmu yang melarikan diri dari Tumapel agar dapat kami bunuh. Barulah kami akan mengampunimu, mengingat engkau sudah begini tua!"

   

   Tentu saja kakek itu manjadi terkejut dan heran.

   "Aku tidak mengerti maksud kalian. Aku tidak menyembunyikan murid-muridku dan yang berada di dalam pondok ini sekarang hanyalah lima orang cantrik ini. Agaknya ada permusuhan antara kalian dengan murid-murid Hati Putih. Akan tetapi aku sama sekali tidak tahu akan hal itu. Apakah yang telah terjadi?"

   

   Walaupun hatinya merasa berduka karena kematian lima orang cantriknya, namun kakek pendeta ini masih bersikap sabar. Dia dapat menduga tentu ada murid-muridnya di luar yang menanam bibit permusuhan dengan lima orang ini sehingga mereka datang menyerbu padepokan Hati Putih untuk membalas dendam. Dan melihat betapa lima orang cantriknya tewas dengan cepat, tentu lima orang ini memiliki kesaktian dan bukan lawan murid-murid Hati Putih di luar itu yang melarikan diri entah ke mana.

   "Panembahan Pronosidhi, ketahuilah bahwa murid-muridmu, sebanyak tiga orang, telah berbuat dosa terhadap aliran Hastorudiro (Tangan Berdarah), karena itu mereka harus kami bunuh. Akan tetapi mereka telah melarikan diri dan karena kami tak berhasil mencari mereka, kami datang ke sini. Kalau engkau tidak mau menyerahkan mereka untuk kami bunuh, maka sebagai gantinya adalah nyawamu dan nyawa mereka yang berada di Padepokan Hati Putih!"

   Panembahan Pronosidhi mengerutkan alisnya yang sudah berwarna putih. Dia pernah mendengar akan nama aliran Hastorudiro itu, sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang terkenal bengis. Biarpun orang-orang dari aliran ini memasukkan dirinya ke dalam golongan para ksatria dan pendekar, namun mereka terkenal angkuh, dan suka sekali mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka dan selalu mengangap diri mereka benar sendiri. Dia tidak berani memastikan bahwa tiga orang muridnya itu, entah yang mana, berada di pihak benar. Akan tetapi cara orang-orang Hastorudiro yang penuh dendam ini melampiaskan kemarahan mereka, dengan menyerbu padepokannya, membunuh lima orang cantriknya, kemudian mengancamnya saja sudah membuktikan bahwa mereka benar-benar bengis seperti srigala-srigala yang haus darah.

   

   "Apakah Andika ini pimpinan dari Hastorudiro?"

   Tanya dengan suara masih penuh ketenangan walaupun peristiwa itu tentu saja mengguncangkan batinnya.

   

   Kakek botak dan kakek tinggi besar itu yang memimpin rombongan lima orang itu tertawa bergelak dan sekarang kakek tinggi besar itu yang menjawab.

   "Ha-ha-ha, untuk memukul kirik (anjing kecil) tidak perlu mempergunakan tongkat besi! Untuk membereskan urusan sekecil ini tidak perlu menyusahkan dan membikin lelah guru kami. Kami berdua adalah dua oarng adik seperguruan ketua Hastorudiro dan tiga orang ini adalah murid-murid kepala. Panembahan Pronosidhi, sekarang tentukan pilihanmu sendiri. Kau serahkan tiga orang muridmu itu ataukah engkau mampus pula di tangan kami?"

   

   "Hemmm, Andika adalah orang-orang yang haus akan kekuasaan dan kemenangan, mabok akan kekerasan. Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa dengan tiga orang murid itu, dan aku tidak tahu siapa yang kalian maksudkan, karena murid-murid Hati Putih amat banyak. Akan tetapi, setiap orang murid Hati Putih sewaktu belajar di sini, benar-benar telah diputihkan atau dibersihkan hatinya sehingga tidak akan melakukan kejahatan. Bagaimanapun juga, aku harus mendengarkan dulu keterangan dari mereka mengenai urusan dengan kalian, untuk menentukan apakah mereka salah ataukah tidak. Aku tidak dapat menyerahkan mereka kepada kalian. Akupun tidak pernah berkelahi atau mencari permusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi kalau kalian memaksa hendak melakukan kekerasan dan hendak membunuhku, silhkan. Sudah menjadi kewajibanku mempertahankan kehidupan dan melindungi tubuh yang sudah tua ini."

   "Bagus! Memang akan kami basmi semua orang Hati Putih, dan membasmi rumput harus dengan akar-akarnya. Tua bangka, bersiaplah engkau untuk mampus!"

   Kata kakek botak.

   

   "Maju! Keroyok dan bunuh!"

   Perintah kakek ke dua yang tinggi besar dan dia sendiri medahului dengan tamparan tangannya yang amat ampuh. Orang-orang Hastorudiro ini memang terkenal memiliki telapak tangan yang ampuh. Seperti dua orang kakek ini yang memiliki tinkat tinggi, sebagai adik-adik seperguruan ketua Hastorudiro, sdah memiliki kekuatan yang dahsyat. Kalau mereka menyerang, maka kedua telapak tangan mereka berubah merah seperti dilumuri darah! Inilah yang membuat perkumpulan itu dinamakan Tangan Berdarah atau Hastorudiro. Juga nama itu sebagai ejekan pula karena memang mereka itu besikap keras dan ringan tangan, mudah membunuh orang seolah-olah tangan mereka berdarah dan berlepotan darah para korban. Panembahan Pronosidhi melihat telapak tangan merah itu dan diam-diam dia pun terkejut. Orang-orang ini sesungguhnya tidak dapat digolongkan kaum pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, penentang kejahatan. Dia pun menggerakkan tangan kirinya menangkis.

   

   "Plakk!"

   Kakek tua renta itu merasa betapa lengannya dijalani hawa panas yang dapat ditekannya dengan kekuatan hawa sakti di tubuhnya, akan tetapi sebaliknya, kakek tinggi besar itu terpental dan terhuyung. Tentu saja kakek tinggi besar itu terkejut! Ternyata ketua Hati Putih ini, biarpun sudah tua sekali, masih memiliki tenaga yang bukan main kuatnya, Dia pun maju lagi dengan lebih hati-hati.

   

   Kakek botak melihat betapa kawannya terpental tadi dan dia pun maklum bahwa Panembahan Pronosidhi bukan lawan yang lemah, maka diapun cepat membantu dan mengeroyok dari samping kiri, mulai melakukan penyerangan yang dahsyat. Tiga orang murid keponakan mereka pun sudah mengepung dan menyerang dari belakang.

   

   Terjadilah perkelahian yang amat seru. Panembahan Pronosidhi memang bukan orang yang suka berkelahi, bahkan ia tidak pernah berkelahi. Namun, dia seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Imu silat Nogokredo yang diciptakannya merupakan ilmu yang hebat dan langka, gerakannya gagah dan kedua tangannya membentuk cakar seperti cakar naga, tubuhnya juga meliuk-liuk seperti tubuh naga. Bahkan ke sana-sini dan kadang-kadang dapat digunaan untuk menangkis serangan lawan atau menyerang dengan tendangan-tendangan ampuh! Karena itu, biarpun dikeroyok lima orang yang memiliki tenaga besar dan ilmu-ilmu pukulan dahsyat, dia dapat melakukan perlawanan dengan cukup gigih, bahkan dapat pula kadang-kadang membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya.

   

   Namun, dalam hal penggunaan tenaga badan, memang usia mempunyai pengaruh yang amat besar. Usia tua merupakan penyakit yang menggerogoti kekuatan badan dari sebelah dalam, sedikit demi sedikit digerogoti sehingga yang mempunyai badan sendiri tak merasakannya. Usia semakin meningkat, tanpa dirasakan, tahu-tahu badan sudah menjadi semakin loyo dan lemah! Kenyataan ini, merupakan hukum alam, tidak dapat dielakkan pula oleh seorang sakti seperti Panembahan Pronosidhi sekali pun. Setelah melakukan perlawanan dengan gigih selama puluhan jurus, napasnya mulai terengah-engah dan tenaganya mulai berkurang. Tenaga yang berkurang ini mengakibatkan gerakannya menjadi lamban pula.

   

   "Plakk......!"

   Sebuah tamparan yang cukup keras dari tangan kakek botak dengan telah mengenai lambung panembahan itu.

   "Hukkh.....!"

   Sang Panembahan menahan napas, akan tetapi tetap saja darah segar muncrat dari dalam perut ke tenggorokannya, dan ada yang keluar dari bibirnya. Dia tahu bahwa pukulan maut itu telah mengakibatkan luka parah di sebelah calam tubuhnya. Maka dia pun teringat akan ilmu baru yang diciptakannya khusus untuk Joko Handoko. Cepat dan otomatis tubuhnya membuat kuda-kuda Jurus Nogopasung. Tubuhnya merendah, kaki kiri ditekuk di depan, kaki kanan melurus ke belakang badan. Ibu jari di atas tanah, kedua tangan membentuk cakar naga di depan dada dan di pinggang, kemudian mulutnya mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya bergerak maju dan berputar.

   

   "Heiiiiiiiikkk.....!"

   Lima tokoh Hastorudiro itu seperti dilanda angin badai yang amat kuat. Tubuh mereka tak dapat mereka pertahankan lagi, terlempar dan terbanting ke kanan kiri. Dua orang di antara murid-murid Hastorudiro tak mampu bangkit kembali karena nyawa mereka telah putus. Mereka yang paling dekat dan paling hebat menerima hantaman jurus Nogopasung. Murid ke tiga muntah-muntah darah sedangkan dua orang kakek itu pun bangkit dengan napas terengah-engah dan muka pucat sekali. Mereka telah menderita luka di sebelah dalam tubuh mereka.

   

   Melihat betapa Panembahan Pronosidhi berdiri dengan tegak, dengan mata mencorong dan mulut agak terbuka dua orang kakek itu sudah kehilangan nyali mereka. Tanpa banyak cakap lagi, dibantu oleh seorang murid keponakan yang tidak tewas, mereka lalu pergi sambil membawa tubuh dua orang murid yang sudah tek bernyawa lagi, pergi Suasana menjadi sunyi di sekitar tempat itu. Hanya desir angin bermain dengan daun-daun pohon yang terdengar, selebihnya hening bersih dan tenteram. Seperti inilah keadaan alam kalau hawa nafsu angkara murka dari manusia tidak merajalela.meninggalkan tempat itu dengan cepat.

   

   Kakek panembahan itu masih berdiri tegak beberapa lama. Setelah orang-orang itu pergi tak kelihatan bayangan mereka lagi, barulah dia menarik napas panjang, memuntahkan darah dari mulutnya dan tubuhnya terguling dan terkulai lemas, jatuh di dekat mayat- mayat lima orang cantriknya.

   

   Suasana menjadi sunyi di sekitar tempat itu. Hanya desir angin bermain dengan daun-daun pohon yang terdengar, selebihnya hening bersih dan tenteram. Seperti inilah keadaan alam kalau hawa nafsu angkara murka dari manusia tidak merajalela.

   

   Sesosok tubuh yang menggendong bangkai seekor kijang nampak datang barlari dengan cepat seperti terbang. Joko Handoko tadi mendengar pekiki kakeknya dan dia mengenal pekik itu. Pekik Nogopasung! Mungkinkah kakeknya sedang berlatih seorang diri? Ah, tak mungkin kiranya. Dia tahu bahwa bagi kakeknya berlatih ilmu Nogopasung menghabiskan tenaganya. Karena ingin sekali tahu, Joko Handoko lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh dan di berlari secepat lari kijang, menuju pulang.

   

   Kini dia berhenti dan matanya terbelalak ketika dia memandang kepada tubuh yang berserakan di atas tanah itu. Sampai beberapa lama dia tidak mampu mengeluarkan suara, bahkan tidak mampu bergerak seolah-olah tubuhnya sudah menjadi patung. Penglihatan itu terlalu hebat baginya sehingga dia tidak mau percaya bahwa semua itu merupakan hal yang sungguh-sungguh dan nyata.

   

   "Eyanggg....!!"

   Akhirnya dia menjerit, melepaskan bangkai kijang dan menubruk tubuh eyangnya. Dilihatnya eyangnya memejamkan mata dan napasnya empis-empis, mukanya pucat dan mulutnya masih mengalir darah. Dia lalu memeriksa keadaan lima orang cantrik dan dia terkejut mendapat kenyataan bahwa mereka berlima itu tewas sama sekali.

   "Eyaaaanggg......!"

   Kembali dia menjerit dan sekali lagi memeriksa tubuh eyangnya, mengangkat dan memangku kepala yang terkulai lemas itu.

   

   Perlahan-lahan Sang Panembahan membuka kedua matanya, lalu berusaha untuk tersenyum ketika dia mengenal wajah cucunya.

   "Joko....."

   Bisiknya lemah.

   

   "Eyang Panembahan! Apakah yang telah terjadi? Siapa yang melakukan semua ini? Dan mengapa?"

   

   Kakek itu sudah hempir tidak kuat bicara, wajahnya sudah pucat sekali dan terlalu banyak darah keluar dari mulutnya tadi.

   "Joko.... ini perbuatan...... Hastorudiro.....ingat pesanku......"

   Dia berhenti dan memejamkan mata.

   "Eyaaaaanggg.....! Apakah pesan Eyang?"

   Joko Handoko menjerit dan iar matanya sudah bercucuran. Dia memang sudah mempelajari ilmu memperkuat batinnya, akan tetapi peristiwa ini terlalu hebat baginya dan dia tidak ingin menahan kedukaannya lagi.

   

   "Joko..... jangan.... jangan....menden...dam...."

   Kepala itu terkulai dan nyawanya melayang. Joko Handoko seperti dapat merasakan hal ini karena tubuh bagian atas yang dipangkunya itu tiba-tiba saja kehilangan seluruh kekuatannya, menjadi lemas dan berat walaupun masih hangat.

   

   "Eyaaaaaaagggg........!"

   Dia menjerit lagi dan menagisi mayat eyangnya.

   

   Sambil menahan kedukaannya, Joko Handoko mengangkat tubuh eyangnya dan lima orang cantrik, dibawanya masuk ke dalam pondok dan direbahkan berjajar dengan rapi. Kemudian, dia mengerahkan seluruh tenaganya menuju ke Wonoselo, menghadap ibunya. Dengan air mata bercucuran dia menceritakan akan keadaan di padepokan lereng Gunung Anjasmoro. Ibunya, Dyah Kanti, terkejut dan menangis pula. Raden Pringgoloyo lalu menyertai isterinya dan Joko Handoko, juga belasan orang pembantu, naik kuda menuju ke padepokan. Hujan tangis terdengar di padepokan itu ketika Dyah Kanti tiba.

   

   Jenazah Panembahan Pronosidhi dan lima orang cantriknya itu diperabukan, diiringi tangis Dyah Kanti dan Joko Handoko. Pemuda yang sejak kecilnya dididik oleh kakeknya itu merasa kehilangan sekali. Kakek itu baginya bukan hanya sebagai kakek, melainkan juga sebagai guru dan pengganti ayah yang sejak lahir tak pernah dikenalnya itu.

   

   Kembali Joko Handoko menolak ketika ibunya dan ayah tirinya mebujuk agar dia ikut ke Wonoselo. Bahkan ayah tirinya membujuk bahwa kalau pemuda itu mau ikut ke sana, dia akan membantu agar Joko Handoko memperoleh kedudukan di kadipaten. Setidaknya, demikian Raden Pringgoloyo, pamuda itu telah memiliki modal, yaitu kepandaian dan kekuatan, untuk menjadi seorang senopati muda.

   

   "Maaf dan terima kasih,"

   Jawab pemuda itu.

   "Bukan saya menolak budi kecintaan Kanjeng Romo, akan tetapi saya ingin merantau dan meluaskan pengalaman. Juga saya ingin melakukan penyelidikan mengapa mendiang eyang dan para cantriknya dibunuh orang seperti itu."

   

   "Handoko,"

   Kata ibunya dengan suara lembut.

   "Aku yakin bahwa eyangmu tidak akan setuju kalau engkau hendak melakukan balas dendam."

   Wanita ini tahu benar akan watak ayahnya. Ketika suaminya, ayah kandung Handoko, dibunuh orang pun, ayahnya melarang ia untuk mendendam.

   

   Pemuda itu mengangguk.

   "Saya mengerti, Ibu. Saya melakukan penyelidikan bukan untuk karena dendam, hanya ingin tahu duduknya persoalan. Kalau aliran Hastorudiro bertindak sesat dan angkara murka, saya akan bertindak, bukan dengan alasan dendam, melainkan sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kelaliman dan kejahatan."

   Dyah Kanti maklum bahwa biarpun kelihatan tenang dan sabar, namun puternya itu memiliki kekerasan dan ketabahan hati yang amat besar. Karena Joko Handoko bukan anak kecil lagi, melainkan sudah menjadi seorang laki-laki dewasa dan di samping itupun sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup sebagai bekal dan pelindung dirinya, maka ibunya dan ayah tirinya tidak dapat melarangnya lagi. Raden Pringgoloyo membekali uang cukup banyak dan seekor kuda yang baik.

   Mula-mula Joko Handoko menolaknya, akan tetapi ayah tirinya berkata.

   "Anakku Joko Handoko. Aku tidak, bermaksud meremehkanmu dengan bekal dan kuda ini, akan tetapi ketahuilah, Nak, bahwa bagaimanapun juga, kita tidak dapat melepaskan diri kebutuhan hidup sehari-hari yang memerlukan penggunaan benda berharga ini. Untuk membeli nasi, membeli pakaian kalau rusak, keorluan lain-lain lagi, bahkan dapat dipergunakan untuk menolong sesama hidup yang dilanda kekurangan. Terimalah, anakku. Aku menyerahkan suka rela dan demi kepentinganmu."

   

   Ibunya juga membujuknya dan akhirnya Joko Handoko terpaksa, menerimanya juga karena merasa tidak enak kalau menolaknya terus. Lalu berangkatlah dia menunggang kuda meninggalkan lereng pegunungan Anjasmoro, diikuti pandan mata ibu kandungnya dan ayah tirinya yang sengaja datang ke situ untuk mengantarkan bekal-bekal itu.

   

   "Semoga dia berbahagia...."bisik Dyah Kanti ketika derap kaki kuda yang ditunggangi puteranya itu makin menjauh. Ada dua titik air mata membasahi kedua matanya.

   

   Lengan suaminya merangkulnya dari belakang dengan lembut.

   

   Sang surya tersenyum cerah di ufuk timur, memancarkan cahaya kemerahan yang semakin lama menjadi semakin cerah dan berubah menjadi cahaya keemasan, dengan hangat dan lembut, sinar sang surya membelai dan membangunkan segala sesuatu dengan cahayanya yang mujijat. Rumput-rumput yang malam tadi basah kedinginan, kini bersemi dengan mutiara menghias pucuknya, juga daun-daun di pohon, digantungi mutiara embun yang cemerlang. Garis-garis cahaya menerobos celah-celah daun pohon, menciptakan garis-garis cahaya lembut dan hangat. Burung-burung menyambut datangnya fajar dengan kicau yang riang gembira, sibuk membuat persiapan untuk mencari makan di hari itu. Demikian pula, orang-orang di dusun sudah bangun, dibangunkan oleh kokok ayam jantan dan biarpun tidak segembira burung-burung pohon, mereka juga membuat persiapan untuk keperluan hari itu.

   Kaum prianya memanggul cangkul menuju ke sawah ladang, kaum wanitanya sibuk mengurus rumah

   tangga. Setiap orang sibuk dan memulai pekerjaan sehari-hari. Apakah atinya hidup kalau tidak diisi dengan pekerjaan, dengan kesibukan? Setiap manusia membutuhkan kesibukan, dan kalau sudah terendam kesibukan lalu mengeluh. Aneh dan lucu tetapi nyata. Kiranya, jarang dapat ditemukan orang yang dapat bertahan untuk hidup tanpa melakukan apa pun juga. Dia akan merasa hampa, tidak berarti, dan penuh kegelisahan dan kekecewan.

   

   Derap kaki kuda itu meninggalkan dusun. Joko Handoko meninggalkan dusun di mana dia semalam menginap. Di rumah ketua dusun yang amat ramah dan yang dapat menjadi tuan rumah yang baik, menyambut kedatangan seorang pendatang asing yang melakukan perjalanan jauh.

   Setelah meninggalkan Pegunungan Anjasmoro, Joko Handoko merantau dan tanpa diketahuinya, dia telah tiba di kaki Pegunungan Kawi. Dia merasa bersyukur akan kebijaksanaan ayah tirinya. Ternyata bekal uang dn kudanya amat menolongnya. Bukan saja dia dapat melakukan perjalanan tanpa banyak lelah, akan tetapi juga dia dapat mempergunakan uang bekalnya untuk membeli makanan, bahkan perlu pula untuk membalas kebaikan orang-orang dusun yang memberinya tempat menginap dengan

   membelikan sesuatu untuk mereka. Kalau dia tidak mempunyai uang, biarpun ada di antara para penduduk dusun yang mau menerimanya dan memberinya tempat menginap,namun dia akan merasa rikuh karena tidak mampu membalas keramahan dan kebaikan hati mereka.

   

   Suasan pagi yang amat cerah itu mendatangkan kegembiraan di dalam hati Joko Handoko. Perjalanannya menuju ke Tumapel karena dia ingin berkunjung ke tempat tinggal kakek gurunya, yaitu Ki Empu Gandring. Mendiang ayah kandungnya, Ginantoko, sudah tidak mempunyai ayah lagi dan Joko Handoko merasa enggan untuk mengunjungi keluarga ayahnya yang terdiri dari bangsawan-bangsawan di Kadipaten. Dia lebih suka berkunjung kepada Empu Gandring yang sudah didengar namanya, yang dipuji-puji oleh mendiang kakeknya, pembuat keris Pusaka Nogopasung yang sekarang disimpan di balik bajunya. Juga Empu Gandring adalah guru mendiang ayah kandungnya, seorang sahabat baik sekali dari mendiang kakeknya. Dia dapat mengabarkan tentang kematian kakeknya kepada Empu Gandring sekalian mohon petunjuknya.

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Keris Pusaka Nogopasung (Cerita Lepas)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   Pagi itu indah. Kadang-kadang Joko Handoko terpesona oleh keindahan pagi itu sehingga seringkali dia menghentikan kudanya, hanya untuk dapat lebih menikmati apa yang dilihatnya. Cahaya sinar matahari yang membuat garis keemasan lembut di permukaan air rawa, kemudian rumpun padi muda menghijau seperti lautan yang nampak menjadi hijau pupus kekuningan tertimpa sinar matahari pagi. Melihat burung-burung berterbangan di angkasa sambil mengeluarkan bunyi menuju ke arah tertentu dengan terbang berbondong-bondong, atau seekor burung elang melayang sendirian jauh tinggi di angkasa, meluncur dengan terbang layang tanpa menggerakkan sayap, kepalanya menoleh ke kanan kiri penuh perhatian, agaknya mencari mangsa untuk mengisi perutnya yang lapar.

   Melihat bapak-bapak tani memanggul cangkul atau menggembala kerbau menuju ke sawah ladang. Melihat ibu-ibu menggendong senik (keranjang bambu) berisi hasil kebun atau sayuran, keranjang berisi penuh beban di punggung, dan anak bayi menetek dan bergelantung di dada. Ada pula, dara-dara ayu dengan sikap kenes berlomba jalan dengan teman-temannya sambil berkelakar, suara ketawa mereka itu melengking nyaring di pagi cerah.

   

   Setelah meninggalkan jalan raya dan membelok menuju hutan yang sunyi untuk memotong jalan menuju ke Tumapel, Joko Handoko mulai melarikan kudanya. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi hutan yang sunyi, tiba-tiba belasan orang laki-laki bermunculan dari balik semak-semak dan pohon-pohon atau batu-batu besar. Mereka itu kelihatan kasar dan bengis, dan masing-masing memegang sebatang senjata, golok dan keris. Ada pula yang memegang tombak. Mereka itu seperti sekelompok orang yang siap untuk pergi bertempur.

   

   Joko Handoko baru sadar bahwa mereka itu bukan orang yang hendak, bertempur untuk perang, melainkan sekawanan perampok yang ingin merampok-nya ketika mereka itu tiba-tiba menghadang di tengah perjalanan dan ketika dia menghentikan kudanya, mereka mengepung!

   Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   

   "Eh, andika sekalian ini mau apa menghentikan perjalananku?"

   Dia bertanya, pura-pura tidak tahu apa kehendak mereka.

   

   Gerombolan perampok itu tertawa bergelak dan seorang di antara mereka, yang berkumis tebal panjang sekepal sebelah dan berjenggot pendek seperti sapu, melangkah maju dan suara ketawanya paling keras di antara mereka. Orang ini berpakaian serba hitam, bertubuh pendek akan tetapi besar dan perutnya gendut kedua lengannya yang telanjang memperlihatkan otot-otot di balik kulit yang penuh bulu. Sepasang matanya melotot lebar, dan ketika dia tebelalak, nampaklah giginya yang hitam semua karena dia biasa mengunyah tembakau.

   "Hua-ha-ha-ha! Anak bagus, engkau yang masih setengah kanak-kanak dan tidak berpengalaman, sudah berani melakukan perjalanan jauh seorang diri. Engkau ingin tahu mengapa kami menghentikanmu? Ha-ha-ha! Kami adalah begal!"

   

   "Begal? Apakah itu, Paman?"

   Tanya Joko Handoko dengan sikap masih pura-pura karena dia sedang mencari akal bagaimana dapat lolos dari kepungan orang-orang ini tanpa harus berkelahi dengan mereka.

   

   Mendengar pertanyaan ini, si jenggot pendek kumis tebal itu tertawa semakin keras. Demikian geli dia sampai dia tidak mampu bicara, hanya tertawa sambil menudingkan telunjuknya ke arah pemuda di atas kudanya itu.

   "Ha-ha-ha-ha.....! Kau tidak tahu artinya begal? Perampok! Dan aku adalah kepalnya, namaku Kolowiryo. Kami adalah perampok, begal atau kecu. Serahkan kudamu yang bagus ini, dan buntelan di

   pinggangmu itu, juga pakaian yang ada di tubuhmu. Ha-ha-ha, dan engkau sendiri boleh menjadi kekasihku, menghiburku di kala kesepian, ha-ha-ha!"

   Kepala perampok itu tertawa dan tiga belas anak buhnya ikut pula tertawa geli. Apalagi melihat tarikan muka pemuda itu begitu keheranan sehingga nampak bodoh, membuat mereka menjadi semakin geli.

   

   Memang Joko Handoko merasa terheran-heran. Mendengar dia berhadapan dengan kawanan perampok, tentu saja tidak mengherankan hatinya. Sudah banyak dia mendengar penuturan ibunya dan kakeknya bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang jahat, dan terdapat pula perampok-perampok yang mengganggu orang-orang di sepanjang jalan yang sunyi. Akan tetapi, yang membuat dia melongo keheranan sehingga nampak bodoh adalah ketika kepala perampok itu menyakan keinginannya untuk mengambil dia sebagai kekasih ini merupakan hal baru baginya.

   Tadinya dia mengira bahwa kepala perampok itu sengaja mempermainkan dan menghinanya, akan tetapi ketika melihat betapa sepasang mata yang melotot lebar itu ditujukan kepadanya dengan penuh gairah, Joko Handoko merasa bulu tengkuknya meremeng saking ngerinya. Pemuda itu belum berpengalaman, dan baru saja keluar dari tempat di mana sejak kecil dia mempelajari ilmu. Ibu dan kakeknya tentu saja belum pernah bercerita kepadanya tentang pria-pria yang suka berksih-kasihan dan bermain cinta dengan sesama pria.

   

   "Jangan main-main, Paman. Aku adalah seorang laki-laki sejati,"

   Katanya, heran dan juga memancing karena dia ingin sekali mendengar apakah benar-benar orang itu tidak main-main.

   

   "Ha-ha-ha, siapa main-main, bocah bagus? Engkau begini tampan, kulitmu halus seperti kulit perempuan, tentu nikmat sekali tidur bersama engkau dalam pelukan. Ha-ha, engkau mau, bukan? Jangan khawatir, kalau engkau menjadi kekasihku, tak seorang pun di dunia ini akan berani mengganggumu. Bahkan, aku akan melarang anak buahku untuk mengambil barang-barangmu atau mengganggumu. Mau, bukan? Turunlah dan kesinilah, sayang."

   

   Joko Handoko bergidik, terang-terangan dia menggerak-gerakkan pundaknya dengan seluruh bulu pada tubuhnya meremang.

   "Tidak..... aku tidak mau.....!"

   Katanya tegas. Wajah si kumis tebal menjadi keruh dan matanya melotot semakin lebar.

   "Kalau begitu, engkau memilih mampus?"

   

   "Kakang Kolo, seret saja dia dari atas kuda itu!"

   Teriak seorang di antara mereka dan kepungan terhadap Joko Handoko menjadi semakin rapat.

   

   Belasan orang itu kini menghampiri kuda yang ditunggangi Joko Handoko dengan wajah bengis. Agaknya kuda itu pun dapat mencium tanda bahaya dan dia mengangkat kaki depannya ke atas, mengeluarkan suara ringkik ketakuan dan kemarahan.

   Tiba-tiba terdengar bentakan halus.

   "Perampok-perampok jahat jangan ganggu orang!"

   

   Semua perampok terkejut dan cepat menoleh, Joko Handoko memandang terkejut dan heranlah dia melihat bahwa yang membentak itu seorang gadis yang entah dari mana tiba-tiba sudah muncul di tempat itu. Kepala perampok bernama Kolowiryo segera membalik dan menghadapi gadis itu, memandang penuh perhatian lalu tertawa bergelak.

   

   "Ha-ha-ha, wah, mimpi apa kalian semalam, kawan-kawan? Baru saja kita mendapatkan seekor kambing gemuk, sekarang muncul seekor kelinci gemuk. Gadis ini biar pun masih amat muda, nampak bersemangat dan kuat, tentu kalian semua bisa mendapatkan bagian, sedangkan pemuda itu untukku seorang, ha-ha-ha!"

   

   Diam-diam Joko Handoko memandang gadis itu penuh perhatian. Seorang gadis yang usianya kira-kira lima belas tahun, bertubuh singset, tegap berisi, kulitnya hitam lembut dan halus, wajahnya manis bukan main, dengan mulut yang panas dan mata yang memancarkan sinar tajam penuh keberanian. Pakaiannya mewah dan pinggangnya yang kecil ramping itu diikat dengan sabuk tembaga yang berukir indah. Diam-diam Joko Handoko mengeluh. Tadi dia masih tenang saja karena yakin akan dapat melindungi dirinya terhadap para perampok ini. Akan tetapi sekarang, muncul seorang gadis yang tentu saja harus dilindunginya. Bagaimana pun juga, dia merasa kagum melihat keberanian anak perawan itu. Gadis-gadis lain tentu sudah menangis ketakutan melihat gerombolan perampok yang bengis dan ganas itu.

   

   "Tikus-tikus pecomberan! Maut sudah menghadang di depan mata dan kalian masih berani membuka mulut besar!"

   Perawan tanggung itu membentak dengan suara penuh tantangan.

   

   Tentu saja belasan orang itu memandang rendah kepadanya.

   "Kawan-kawan, siapa yang dapat lebih dulu menangkapnya, dialah yang memperoleh bagian pertama!"

   Kata Kolowiryo dan seruan ini disambut suara ketawa dan sorakan, kemudian bagaikan segerombolan anjing serigala, tiga belas orang itu mengepung dan menubruk untuk memperebutkan gadis hitam manis itu.

   Joko Handoko sudah siap untuk menolong gadis itu, seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang. Akan tetapi dia menahan diri ketika melihat sikap gadis itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan dia melihat betapa lincah kedua kaki gadis itu menyambut serangan lawan. Kini dia dapat menduga bahwa tentu gadis itu memiliki kepandaian maka sikapnya seberani itu dan hal ini menimbulkan keinginan tahunya untuk melihat begaimana gadis itu akan mampu melawan pengeroyokan tiga belas orang yang ganas itu.

   

   Dan dia pun tertegun penuh kagum ketika melihat betapa tubuh yang kecil langsing itu bergerak dengan amat cepatnya, mendahului sebelum para pengeroyok itu datang dekat, melocat ke depan dan empat kaki tangannya bergerak cepat sekali membagi tamparan dan tendangan yang ternyata merupakan serangan-serangan seorang ahli karena tangan dan kaki itu tiba di bagian-bagian tubuh yang lemah.

   

   "Plak! Buk! Plak! Dess....!"

   Dan empat orang pengeroyok terpelanting sambil mengaduh karena tamparan-tamparan mengenai leher dan pelipis, tendangan-tendangan memasuki lambung dan dada! Melihat ini, sembilan orang lainnya terkejut, akan tetapi mereka menjadi marah dan kini mereka menerjang dengan maksud bukan hanya untuk menangkap, melainkan menyerang!

   

   Betapapun lincahnya, menghadapi sengaran penuh kemarahan dari sembilan orang yang rata-rata memiliki tenaga kerbau, gadis itu merasa kewalahan juga. Ia mengelak sambil berloncatan ke belakang. Yang membuat ia semakin kewalahan adalah bau keringat dan bau napas para pengeroyoknya. Mereka itu adalah orang-orang kasar yang kotor dan tidak pernah mandi sehingga tubuh mereka mengeluarkan bau yang ledis dan apak, sedangkan mulut yang tak pernah dibersihkan itu bau tuwak{arak} sehingga memuaskan perut gadis yang dikeroyok.

   

   Tiba-tiba saja nampak sinar berkelebat dan dua orang roboh mandi darah. Semua orang terkejut dan memandang dengan mata terbelakak melihat betapa dua orang kawan mereka roboh dengan dada dan perut robek! Kiranya gadis hitam manis itu telah melolos sabuk tembaga yang tadi melilit pinggangnya dan sekali sabuk itu bergerak, dua orang pengeroyok telah roboh!

   

   Melihat ini, Kolowiryo terkejut sekali dan juga marah. Tadi, melihat gadis itu merobohkan empat orang anak buahnya dengan tamparan dan tendangan, dia masih merasa yakin behwa anak buahnya akan mampu membekuk gadis liar itu. Akan tetapi melihat betapa dua orang anak buah roboh lagi dengan luka parah, marahlah dia.

   

   "Setan betina yang bosan hidup, berani kau melukai kawan-kawanku!"

   Bentaknya dan Kolowiryo yang gendut pendek ini sudah mencabut sebatang golok yang tergantung di pinggangnya. Dengan gemas dia mengayunkan goloknya mambacok ke arah kepala gadis. Sampai terdengar suara berdesing saking kuatnya golok itu dibacokkan. Namun dengan gesit gadis itu miringkan tubuh sehingga golok menyambar lewat, dan kaki gadis itu sudah menyambar dari samping dengan sebuah tendangan melintang, mengarah lambung lawan.

   

   "Hehh!"

   Kolowiryo menggerakkan siku kiri ke bawah untuk menangkis tendangan. Demikian kuatnya gerakan Kolowiryo ini sehingga ketika sikunya bertemu kaki, tubuh gadis itu terdorong dan agak terhuyung. Melihat kemenangan tenaga ini, Kolowiryo terkekeh dan timbul kesombongannya. Dia pun menubruk sambil memutar goloknya, merasa yakin bahwa kini dia akan berhasil menyembeleh gadis yang membuat perutnya merasa panas itu. Memang sejak muda, Kolowiryo tidak suka kepala wanita, lebih suka kepada pria-pria ganteng untuk menjadi kekasihnya. Karena itu, kini dia sama sekali tidak merasa sayang untuk membantai dan membunuh gadis hitam manis yang akan menggerakkan gairah hati setiap pria biasa itu.

   Kembali Joko Handoko yang sejak tadi hanya menjadi penonton di atas kudanya, menjadi tegang dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap siaga untuk menggerakkan tubuhnya menolong gadis itu kalau-kalau terancam bahaya. Namun, sikap gadis itu yang membuat dia menahan diri. Diserang secara hebat, si gadis manis nampak tersenyum dan tetap tenang, bahkan kini tubuhnya meluncur ke depan, tubuhnya diputar cepat sehingga membentuk gulungan sinar keemasan yang menyilaukan mata. Kolowiryo terkejut karena bagi dia tiba-tiba tubuh gadis itu lenyap terbungkus atau tertutup gulungan sinar keemasan. Hal ini membuat dia ragu-ragu dan goloknya menyambar ke depan dengan sinar.

   

   "Trangg.... siingg.....crottt.....!"

   Kolowiryo mengeluarkan pekikan kesakitan dan dia melotot ke belakang sambil memandang terbelalak ke arah pangkal lengan kirinya yang terluka. Darah mengalir keluar dari baju yang robek di bagian itu.

   

   Sementara itu, anak buahnya sudah menyerang dari belakang. Tujuh orang itu sudah menyerang dengan senjata mereka sehingga keris, golok dan tombak meluncur dan menghujani tubuh gadis hitam manis itu.

   

   "Sing-sing-singgg.....!"

   Sinar keemasan itu bergulung-gulung dan kadang-kadang, ada sinar mencuat dari dalamnya, disusul robohnya seorang pengeroyok, lalu seorang dan seorang lagi! Tiga orang berturut-turut roboh dengan mandi darah!

   

   "Wah......! Sabuk Tembaga......!"

   Terdengar teriak seorang di antara sisa pengeroyok, agaknya baru teringat melihat kehebatan sabuk dari tembaga yang dipegang gadis itu. Mendengar itu, Kolowiryo terkejut bukan main dan mukanya berubah pucat.

   

   "Kau..... kau..... masih terhitung apakah dengan Ki Bragolo ketua Sabuk Tembaga?"

   Tanyanya gagap.

   

   Gadis itu tersenyum berdiri tegak dengan tangan kanan memegang sabuk tembaga yang tipis dan diukir indah itu, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang, sikapnya manis, lucu akan tetapi juga gagah perkasa.

   

Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini