Keris Pusaka Nagapasung 4
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Dia adalah ayahku,"
Jawabnya tenang saja.
Sepasang mata yang lebar dari Kolowiryo terbelalak dan dia mengeluh.
"Celaka....."
Kemudian tanpa banyak cakap lagi dia memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk pergi dari situ sambil membantu teman-teman yang terluka. Gadis itu hanya memandang dengan senyum mengejek dan tidak menghalangi mereka pergi. Tempat itu menjadi sunyi dan tenang kembali setelah para perampok itu melarikan diri. Gadis itu masih tetap berdiri tegak dan Joko Handoko juga masih duduk di atas kudanya.
Pemuda itu tertegun ketika mendengar pengakuan gadis hitam manis itu. Puteri Ki Bragolo! Teringatlah dia akan penuturan mendiang eyangnya bahwa ayah kandungnya yang bernama Ginantoko telah tewas di ujung Nogopasung yang ditusukan oleh Ki Bragolo! Dan gadis itu mengaku puterinya, puteri dari orang yang membunuh ayah kandungnya.
Sejak mendengar nasihat dan penuturan Panembahan Pronosidhi, hatinya sama sekali tidak disentuh oleh dendam terhadap Ki Bragolo. Dia merasa yakin bahwa kematian ayahnya itu adalah akibat ulah ayahnya sendiri. Bukanlah ayahnya telah merusak pagar ayu, menggoda isteri Ki Bragolo bernama Galuhsari yang juga kemudian tewas di ujung keris pusaka Nogopasung? Biarpun demikian, secara tiba-tiba dia berhadapan dengan puteri Ki Bragolo, sungguh merupakan hal mengejutkan dan membuatnya tertegun. Kalau begitu, gadis ini adalah puteri Ki Bragolo dan Galuhsari! Ibu gadis ini adalah kekasih ayah kandungnya.
"Heii, apakah engkau gagu?"
Tiba-tiba terdengar suara gadis itu memecah kesunyian dan sekali meloncat, tubuhnya berada di depan kuda yang terlonjat kaget.
"Siapa gagu? Aku tidak gagu,"
Jawab Joko Handoko dan suaranya tidak ramah karena masih teringat bahwa gadis ini adalah puteri pembunuh ayahnya, dan sikap gadis ini yang galak, yang mengatakan dia gagu membuat hatinya jengkel juga.
"Kalau tidak gagu, kenapa sejak tadi kau terdiam saja di atas kuda? Kenapa sekarang tidak cepat turun dan menghaturkan terima kasih kepadaku?"
Gadis itu menyerang dengan kata-kata, alisnya berkerut tanda bahwa hatinya merasa tidak puas dengan sikap pemuda yang sudah dibebaskannya dari melapetaka itu.
"Kenapa aku harus berterima kasih kepadamu?"
Joko Handoko bertanya.
"Wah! Bukankah baru saja aku telah menolongmu?"
"Akan tetapi aku tidak pernah minta tolong kepadamu."
"Ih kiranya engkau seorang yang tak tahu terima kasih! Kalau tadi aku tidak turun tangan, bukankah engkau kini sudah menjadi mayat?"
"Belum tentu!"
"Hemm, engkau angkuh dan sombong, penuh keberanian. Apakah ada yang kau andalkan?"
Joko Handoko menggeleng kepala.
"Aku mungkin tidak sepandai dan segagah engkau, akan tetapi belum tentu kalau aku akan mati akan mati sekiranya engkau tidak muncul. Mati hidup di tangan para Dewa, bukan di tangan perampok-perampok itu, bukan?" "Hus, engkau memang pandai berdebat. Aku sudah bersusah payah menolongmu, menyelamatkanmu dari bencana, dari ancaman orang-orang jahat. Dan dalam menolongmu itu aku pun terancam bahaya. Dan sekarang, engkau bersikap angkuh, berterimakasih pun tidak. Kalau tahu begini......"
"Engkau tentu takkan menolongku dan membiarkan aku terbunuh. Bukankah begitu?"
"Mungkin saja......"
"Kalau begitu, aku ingin bertanya. Apakah ketika engkau turun tangan menyerang mereka itu, engkau berpamrih untuk mendapatkan pernyataan terima kasihku?"
Joko Handoko memandang tajam dan sejenak gadis itu termangu-mangu. Kemudian ia menggeleng kepala.
"Tidak, aku tidak mengharapkan apa-apa, hanya merasa bahwa sudah menjadi kewajibanku untuk membela yang lemah dan penentang yang jahat."
"Nah, kalau begitu, kenapa engkau menuntut terima kasih dariku? Bukankah kalau aku berterima kasih, maka pertolonganmu itu menjadi ternoda oleh pamrih?"
Gadis itu nampak bingung, kemudian manarik napas panjang.
"Sudahlah, engkau memang aneh! Tidak berkepandaian, lemah, melakukan perjalanan seorang diri menunggang kuda begini baik, membawa buntalan besar. Tentu saja menarik perhatian kaum perampok! Kemudian, sudah dikepung perampok-perampok ganas engkau masih, enak-enak saja duduk di atas kuda, sedikitpun tidak merasa takut. Dan setelah ditolong orang, engkau pun tidak peduli. Orang macam apa sih engkau ini? Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"
Merasa tidak enak bicara dengan seorang gadis muda duduk di atas kudanya, Joko Handoko lalu turun dari atas punggung kuda. Gadis itu memandang, dan sinar kagum memancar dari pandang matanya melihat pemuda tampan yang memiliki bentuk tubuh tegap itu.
"Namaku Joko Handoko dan tempat tinggalku.... ah, aku seperti sehelai daun yang tertiup angin, terbang ke mana saja angin meniupku, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap."
"Hemm, semakin aneh penuh rahasia saja engkau. Akan tetapi namamu indah sekali. Joko Handoko! Biarpun engkau tidak memiliki tempat tinggal, setidak-tidaknya engkau mempunyai tujuan perjalanan. Hendak kemanakah engkau?"
"Aku hendak pergi ke Tumapel,"
Jawab Joko Handoko sejujurnya dan dia pun semakin kagum kepada gadis ini. Setelah dia turun dari kuda dan berdiri dekat gadis itu, makin jelas nampak betapa manisnya gadis itu, betapa padat dan ramping tubuhnya dan dari tempat dia berdiri dia dapat mencium bau sedap keluar dari tubuh di depannya itu. Seorang gadis remaja yang luar biasa, pikirnya. Belum pernah dia bertemua dengan seorang gadis seperti ini! Dan memang pemuda itu masih amat hijau dalam pergaulannya dengan wanita. Hanya wanita-wanita dusun saja yang pernah dijumpainya. Bahkan baru sekali ini dia berhadapan langsung dengan seorang gadis dan bercakap-cakap demikian bebasnya!
Mendengar bahwa pemuda itu hendak pergi ke Tumapel, gadis itu nampak girang.
"Bagus! Kalau begitu kita dapat jalan bersama karena aku pun akan pergi ke sana. Dengan demikian, aku tidak akan mengkhawatirkan lagi engkau akan diganggu orang di tengah perjalanan. Perjalanan ke Tumapel masih melewati beberapa bukti yang cukup berbahaya."
Diam-diam Joko Handoko harus memuji bahwa gadis ini memiliki pribadi yang gagah dan baik, suka menolong orang di samping kegagahan dan kecantikannya.
"Nanti dulu! Engkau sudah mengenal namaku dan tujuan perjalananku, sedangkan aku hanya mengetahui bahwa engkau adalah puteri Ki Bragolo dari perkumpulan Sabuk Tembaga. Siapakah namamu dan ceritakan tentang dirimu. Dengan demikian baru kita saling mengenal dan patut melakukan perjalanan bersama."
Gadis itu tersenyum. Sejak tadi dia terheran-heran melihat sikap pemuda ini. Demikian anggun, akan tetapi lemah dan di dalam kelemahannya, pemuda ini memiliki sikap yang tegas dan keberanian yang luar biasa.
"Namaku Wulandari."
"Wah, indah sekali namamu itu. Wulandari....! Bukankah nama itu artinya Bulan Purnama, bulan yang dikelilingi garis cerah di sekelilingnya? Akan tetapi engkau mengingatkan aku kepada bunga, bikan kepada bulan."
Wajah Wulandari berseri. Gadis mana yang takkan berseri mukanya mendengar dirinya dipuji orang? Disamakan dengan bunga merupakan pujian yang menyenangkan karena ia pun menyukai bunga!
"Seperti bunga apa menurut pendapatmu?"
Tanyanya, mendesak dan ingin tahu. Ia suka bunga cempaka yang menjadi lambang kebersihan, bunga kamboja lambang kesucian, bunga melati lambang keharuman dan keluwesan wanita dan mengharapkan pemuda yang menarik hatinya ini akan menyebut satu di antara bunga-bunga itu.
"Engkau mengingatkan aku akan bunga mawar berduri."
Wulandari mengerutkan alisnya.
"Bunga mawar masih bolehlah, akan tetapi mengapa berduri? Tidak enak sekali!"
"Engkau manis seperti bungan mawar, akan tetapi engkau gagah perkasa dan memiliki kepandaian sehingga tidak sembarangan orang boleh menyentuhmu. Siapa berani kurang ajar berusaha memetik dan mengganggu bunga mawar, pasti akan tertusuk duri. Engkau manis dan gagah seperti bunga mawar berduri!"
Wulandari tidak marah. Ia tersenyum dan mukanya yang manis itu menjadi merah agak gelap, tandan bahwa darah naik ke mukanya karena merasa malu-malu senang.
"Ih, engkau tukang merayu ya? Engkau pun seorang pemuda aneh, Joko Handoko. Engkau seorang pemuda yang tidak meiliki kepandaian beladiri, aka tetapi engkau penuh keberanian dan ketabahan."
"Kalau aku tukang merayu, engkau ahli memuji, Wulan."
Joko Handoko tersenyum. Keduanya tersenyum dan merasa akrab.
"Aku suka padamu, Joko,"
Kata Wulandari dan ucapannya itu demikian terbuka dan jujur, sama sekali, tidak mengandung maksud apa-apa kecuali suatu pernyataan yang apa adanya. Joko Handoko senang sekali mendengar dan melihat ini.
"Dan aku pun suka kepadamu, Wulan."
"Mari kita lanjutkan perjalanan. Hutan di depan ini cukup lebat dan gelap. Apakah engkau sudah mengenal jalannya?"
Joko Handoko menggeleng kepalanya.
"Selama hidup baru pertama kali ini aku ikut lewat di sini."
"Wah, sungguh engkau sembrono sekali. Aku sendiri yang sudah sering lewat di sini, dan yang memiliki kepandaian cukup untuk mengelola dia, masih harus berhati-hati sekali melewatinya. Hutan besar ini terkenal keangkerannya, bahkan ada yang menggambarkan bahwa siapa berani memasuki berarti menantang maut. Dan engkau enak-enak saja hendak pergi memasukinya dengan segala kelemahanmu. Mari kita berangkat dan jangan khawatir, aku akan melindungimu."
"Baik, marilah."
Dan Joko Handoko menuntun kudanya.
"Eh? Kenapa dituntun? Naiklah ke punggung kudamu."
"Tidak, aku jalan kaki saja. Kalau engkau mau, engkau boleh menungganginya."
"Itu kan kudamu."
"Tapi aku laki-laki. Malu kalau harus menunggang kuda sedangkan engkau perempuan berjalan kaki. Biar kau yang menunggang dan aku yang jalan kaki."
"Biarpun perempuan, aku lebih kuat darimu,"
Bantah Wulandari.
"Aku baru mau menunggang kuda kalau bersamamu. Kita menunggang bersama, atau jalan kaki bersama!"
Joko Handoko berkeras.
"Engkau ini memang aneh! Kalau tidak ditunggangi sayang. Kuda ini kuat, tidak akan keberatan membawa beban kita berdua. Akan tetapi kalau dilihat orang, bukankah kita akan ditetawakan? Kita bukan apa-apa, tapi menunggang kuda dengan hati bersih, bukan?"
"Baiklah kalau begitu. Nah, kau naiklah, aku akan membonceng di belakangmu,"
Kata gadis itu.
Joko Handoko lalu menunggang kudanya tiba-tiba, dengan gerakan ringan dan cekatan sekali, gadis itu sudah meloncat ke atas punggung kuda, di belakang Joko Handoko. Pemuda itu merasa aneh, akan tetapi untuk mengusir perasaan ini, dia lalu membedal kudanya yang lari congklang ke depan.
"Kau ikuti saja jalan setapak ini,"
Kata Wulandari.
"Aku sudah mengenal jalan, jangan khawatir."
Joko Handoko hanya mengangguk dan mereka pun memasuki hutan yang lebat itu. Mula-mula Joko Handoko merasa canggung sekali. Bagaimanapun juga, dia dapat merasakan ketika kudanya lari congklang, kedua paha gadis itu bersentuhan dengan pinggulnya, dan dua tonjolan payudara kadang-kadang menyentuh punggungnya. Jantungnya berdebar tidak karuan dan dia bingung sendiri, merasa risi dan canggung, akan tetapi dia mengeraskan hatinya dan mematikan rasa. Dia sama sekali tidak tahu betapa kadang-kadang gadis di belakangnya itu memejamkan matanya, tidak tahu betapa semenjak saat mereka menunggang kuda berbocengan itu, tertanam perasan cinta kasih yang mendalam di hati gadis itu terhadap dirinya!
Kita tinggalkan dulu Joko Handoko dan Wulandari yang berboncengan naik kuda menuju ke Tumapel dan mari kita mengikuti keadaan Ken Arok yang telah lama kita tinggalkan.
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seperti telah kita ketahui, Ken Arok bertemu dengan Panji Tito putera Ki Ageng Sahoyo yang menjadi pinisepuh di Sagenggeng. Pendeta di Sagenggeng ini masih terhitung adik seperguruan dari Panembahan Pronosidhi, di Gunung Anjasmoro, maka tentu saja dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Biarpun dalam hal ilmu silat, dia tidak sehebat Panembahan Pronosidhi, namun dalam ilmu kesusasteraan dan kesenian, dia mengungguli kakak seperguruannya itu. Dan berbeda dengan Panembahan Pronosidhi yang hidup sebagai seorang pertapa yang saleh, Begawan Jumantoko tidak memantang kesenangan duniawi dan behkan terkenal sebagai seorang yang tergila-gila kepada wanita cantik! Karena kepandaiannya, maka banyaklah wanita muda yang menjadi muridnya, terjatuh ke dalam pelukannya dan banyak sekali wanita muda tinggal di padepokannya, ada yang belajar silat, belajar kesusatraan atau kesenian, akan tetapi juga diam-diam mereka menjadi selir-selir yang tidak sah dari pendeta itu!
Ken Arok dan Panji Tito dengan tekun mempelajari ulah keperajuritan dari Begawan Jumantoko yang merasa girang memperolah murid-murid yang pandai itu. Dan di tempat itu pula Ken Arok memperoleh pelajaran dan pengalaman baru yang amat mengasikkan hatinya, yaitu bergaul dan berdekatan dengan wanita-wanita muda yang cantik dan genit, selir-selir yang juga menjadi murid-murid Begawan Jumantoko. Berbeda dengan Panji Tito yang tidak suka berdekatan dengan wanita-wanita genit itu, Ken Arok seperti seekor harimau kelaparan bertemu dengan sekumpulan domba jinak. Dalam waktu singkat saja dia sudah bermesraan dengan mereka, dengan lahap menerima pelajaran tentang permainan cinta yang mengasikkan dari para selir itu.
Begawan Jumantoko bukan seorang bodoh dan dia sudah dapat menduga akan adanya hubungan antara murid yang tampan dan gagah ini dengan beberapa orang selirnya. Akan tetapi, dia pura-pura tidak tahu saja. Dia pun merasa bahwa dirinya sudah terlalu tua sehingga tidak mengherankan apabila murid-muridnya itu tertarik kepada Ken Arok. Akan tetapi, setelah semakin lama para selirnya bersikap semakin dingin terhadap dirinya, dia menjadi marah. Apa lagi ketika selirnya yang paling disayangnya, Lasmini, juga mulai mengadakan hubungan dengan Ken Arok. San Begawan merasa kehormatannya dilanggar. Dia sudah menyindirkan kepada Ken Arok dan Lasmini bahwa wanita yang satu ini tidak boleh diganggu.
Dalam kemarahannya, Sang Begawan Jumantoko ingin membunuh Ken Arok dengan diam-diam. Pada suatu malam dia bahkan menangkap basah Ken Arok yang sedang berkasih-kasihan dengan Lasmini di taman bunga. Dia tidak mengganggu mereka dan baru setelah kedua orang yang berjina itu berpisah, diam-diam dia mengikuti Ken Arok ke kamar orang muda itu. Dia menanti sampai Ken Arok tidur pulas. Dibukanya pintu kamar dengan kepandaiannya dan dengan keris di tangan, dia memasuki kamar, bermaksud membunuh Ken Arok selagi tidur. Tentu saja dia berani menyerang murid ini dalam keadaan sadar, hanya dia tidak sampai hati berbuat demikian.
Pula, kalau Ken Arok terbunuh selagi tidur, tidak akan ada yang tahu siapa pembunuhnya, mungkin seorang di antara selir-selir atau murid-murid perempuan yang saling cemburu. Tiba-tiba kakek itu menghentikan langkahnya dan memandang dengan mata terbelalak ke arah Ken Arok yang tidur mendengkur di atas balai-balai, pulas karena kelelahan. Senyum kepuasan membayang di wajahnya. Yang membuat Begawan Jumantoko tenganga adalah karena dia melihat sinar memancar dari kepala pemuda itu!
"Jagat Dewa Bathoro.....!"
Dia berbisik. Dia sudah mendengar dari desas-desus yang ditiup oleh Ken Arok bahwa pemuda itu adalah keturunan Sang Hyang Brahma. Kini, melihat cahaya di kepala Ken Arok, timbul rasa takutnya dan dia pun menyembah, lalu mundur dan menutupkan kembali pintu kamar itu, tidak berani mengganggu pemuda yang kini dia yakin tentu keturunan Sang Hyang Brahma itu!
Peristiwa ini mengubah sikap Begawan Jumantoko. Beberapa hari kemudian, setelah membari wejangan-wejangan tentang ilmu bela diri yang romit-rumit kepada Ken Arok dan Panji Tito, dia memanggil Ken Arok untuk diajak bicara empat mata.
"Ken Arok, aku ingin bertanya. Sebenarnya, siapakah nama orang tuamu?"
Ken Arok memandang heran.
"Bopo Begawan, bukankah pernah hal itu Paduka tanyakan? Dan saya pun sudah menerangkan bahwa ayah ibu saya adalah Ki Lembong dan Nyi Lembong yang tinggal di dusun Pangkur, dan sekarang menjadi budak di rumah kepala desa Lebak. Kenapa paduka menanyakan lagi?"
Begawan Jumantoko menggelang kepala.
"Ceritamu itu tidak benar, muridku. Cobalah engkau tanyakan kepada Ki Lembong dan Nyi Lembong, siapa sebenarnya ayah ibumu. Sekarang engkau telah dewasa, sudah sepatutnya engkau mengenal siapa sebenarnya orang tuamu."
Ucapan pendeta itu amat mengganggu hati dan pada saat hari itu, dia pamit dari gurunya dan Panji Tito untuk pulang ke Dusun Pangkur mengunjugi Ki Lembong dan Nyi Lembung. Ternyata kedua orang telah kembali ke rumah mereka setelah beberapa tahun lamanya bekerja kepada kepala Desa Lebak untuk menebus hutang mereka, yaitu hewan yang dihabiskan Ken Arok di meja judi. Tentu saja hati kedua orang tua ini amat girang melihat Ken Arok pulang. Dirangkulnya Ken Arok dan dikaguminya karena kini Ken Arok telah menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan gagah. Nyi Lembong yang menganggap Ken Arok sebagai anak kandung sendiri, merangkul sambil menangis dengan terharu.
Akan tetapi, betapa heran hati mereka melihat bahwa Ken Arok bersikap dingin saja. Dan mereka terkejut ketika tiba-tiba Ken Arok berkata.
"Ki dan Nyi Lembung, katakanlah secara terus terang, sebenarnya aku ini anak siapa? Siapakah ayah dan ibuku yang sejati?"
Mendengar ini, dengan muka berubah, suami isteri itu saling pandang dan Nyi Lembong masih mencoba untuk mempertahankan.
"Angger Ken Arok anakku! Mengapa engkau mengajukan pertanyaan seaneh itu? Tentu saja kami berdua ini ayah dan ibunya yang sejati!"
Ken Arok mengerutkan alisnya dan memandang kedua orang tua itu dengan bengis.
"Tak perlu kalian berbohong lagi! Lihatah baik-baik diriku ini. Pantaslah aku menjadi anak seorang maling biasa? Pantaskah ayahku maling dan ibuku perempuan dusun yang bodoh?"
"Ken Arok! Sudah kami beritahukan bahwa engkau keturunan Sang Hyang Brahma, hanya melalui kami sebagai orang tua yang memeliharamu....."
Kata Ki Lembong.
"Sudahlah, Ki Lembong. Tak perlu banyak mengelak lagi. Aku yakin bahwa kalian bukan ayah ibuku yang sejati. Katakan saja yang sebenarnya atau aku akan marah dan lupa bahwa kalian pernah memeliharaku sejak kecil."
Ken Arok yang berwatak keras itu sudah mengancam dengan suara bengis. Hal ini tentu saja mengejutkan hati dua orang tua itu. Bagaimana pun juga, di lubuk hati suami isteri ini memang sudah mempunyai rasa takut dan hormat kepada Ken Arok yang mereka yakin tentu keturunan Sang Hyang Brahma. Maka Ki Lembung lalu menceritakan kepada Ken Arok tentang riwayat anak itu. Diceritakannya betapa dia menemukan Ken Arok sebagai seorang bayi di tengah kuburan dan betapa pada keesokan harinya, seorang wanita bernama Ken Endok mengakuinya sebagai anak kandung yang berayah Sang Hyang Brahma.
Girang hati Ken Arok mendengar ini.
"Jadi, ibu kandungku bernama Ken Endok? Di mana ia sekarang?"
Ken Endok sudah menikah lagi dan tinggal di dusun Pangkur itu juga, sudah mempunyai dua orang anak lagi dengan suaminya yang baru. Ken Arok lalu pergi mengunjunginya dan berkeras minta jumpa dengan wanita yang bernama Ken Endok. Akhirnya, bertemu jugalah ibu dan anak itu. Sejenak mereka berdiri saling pandang dan biarpun Ken Endok belum tahu siapa gerangan pemuda tampan yang berdiri di depannya itu, namun dia merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Terbayanglah wajah Ginantoko belasan tahun yang lalu, yang serupa benar dengan pemuda ini. Bahkan hampir dia percaya bahwa bekas kekasihnya itu, titisan Sang Hyang Brahma, kini muncul lagi di depannya!
"Saya Ken Arok,"
Tiba-tiba pemuda itu berkata, membuyarkan semua lamunan Ken Endok.
"Apakah ibu yang bernama Ken Endok?"
"Ken Arok...? Kau... kau... anak Ki Lembong....?"
"Benar, aku anak yang kau titipkan kepada Ki dan Nyi Lembong. Benarkah aku ini anak kandungmu?"
"Ken Arok....!"
Ken Endok tak dapat menahan tangisnya dan ia pun merangkul pemuda itu, anak kandungnya sendiri yang terpaksa dipisahkan darinya semenjak bayi itu lahir.
Akan tetapi Ken Arok menyambut keharuan ibu kandungnya itu dengan dingin. Betapa pun juga, wanita yang mengaku ibu kandungnya itu tidak pernah mengasuhnya dan tidak ada perasaan kasih sayang kepadanya. Maka dia dengan lembut melepaskan diri
dari pelukan.
"Ibu aku datang untuk bertanya, siapa sebenarnya ayah kandung saya. Saya dikabarkan keturunan Sang Hyang Brahma. Hanya engkau seoranglah yang tahu akan keadaan sebenarnya. Siapakah ayahku?"
Kalau saja Ken Endok belum menyelidiki sebelumnya, tentu ia akan bingung sekali menghadapi pertanyaan yang mendesak dari anaknya sendiri itu. Untung bahwa setelah menjadi isteri suaminya yang sekarang, hidupnya serba kecukupan dan ia mempunyai banyak waktu untuk melakukan penyelidikan. Dan ia pun dapat mengetahui dari hasil penyelidikannya bahwa pemuda tampan yang menjadi kekasihnya itu, atau titisan Sang Hyang Brahma, adalah seorang pemuda bangsawan dari Tumapel yang bernama Raden Ginantoko. Bahkan ia mendengar berita yang lebih dari itu, ialah bahwa Raden Ginantoko telah tewas oleh seorang bernama Ki Bragolo ketua Sabuk Tembogo dari lereng Gunung Kawi ketika pria ganteng itu tertangkap basah berjina dengan isteri Ki Bragolo!
Kini mendengar pertanyaan puteranya, ia lalu bermaksud untuk menceritakan semuanya karena diam-diam di lubuk hatinya mengandung niat agar puteranya ini membalas dendam dan menuntut atas kematian ayah kandungnya! Tentu saja sebagai wanita yang diam-diam masih amat mencintai Ginantoko, hatinya sakit sekali mendengar kekasihnya dibunuh orang. Selama ini, ia hanya menahan perasaan dendamnya. Sebagai isteri dari suaminya yang sekarang, ia sama sekali tidak berdaya. Mana mungkin ia terang-terangan menyatakan sakit hati atas kematian kekasihnya yang dulu? Juga, apa daya suaminya atau ia sendiri terhadap seorang yang bernama Ki Bragolo itu, yang menurut kabar, merupakan kepala sebuah perkumpulan pencak silat yang amat jagoan?
"Anakku Ken Arok, duduklah dan dengarkan ceritaku. Ayahmu yang menjadi titisan Sang Hyang Brahma itu sebenarnya bernama Raden Ginantoko, seorang pria bangsawan yang tampan dan gagah perkasa........"
"Ahh, akhirnya aku tahu juga siapa ayahku!"
Ken Arok berseru gembira dan diapun duduk menghadapi ibunya.
"Bagaimana selanjutnya, ibu?"
"Ketika itu, terdapat hubungan cinta kasih antara Raden Ginantoko dengan aku, dan walaupun aku dikawinkan dengan seorang bernama Ki Gajahporo, namun aku tidak mau disentuh oleh suamiku karena sejak perawan aku telah jatuh cinta kepada Raden Ginantoko. Akan tetapi, agaknya sudah menjadi kehendak para dewata, anakku. Ketika engkau masih berada di dalam kandungan, ayahmu itu, Raden Ginantoko telah tewas di tangan seorang yang bernama Ki Bragolo, ketua perkumpulan Sabuk Tembogo yang berada di lereng Gunung Kawi...."
Ken Arok mengerutkan alisnya.
"Hemmm, Ki Bragolo ketua Sabuk Tembogo? Dan bagaimana aku lalu dapat menjadi anak angkat dari Ki dan Nyi Lembong, pencuri itu?"
"Aku...... aku yang menyerahkanmu kepada mereka untuk dipelihara, Nak. Aku..... suamiku, Ki Gajahpuro juga tewas dan aku menjanda.... dan aku tidak kuat menahan desas-desus dan omongan orang bahwa aku sebagai janda mempunyai anak tanpa bepak."
Ken Endok menangis.
Ken Arok bangkit berdiri, memandang kepada wanita yang menjadi ibu kandungnya itu dengan muka menyatakan tidak senang.
"Dan ibu meikah lagi, kini sudah mempunyai dua orang anak lalu melupakan bayi yang ibu titipkan kepada keluarga maling itu, ya? Baiklah selamat inggal ibu, aku pergi mencari pembunuh ayah kandungku!"
"Ken Arok......!"
Akan tetapi pemuda itu telah lari meninggalkan ibu kandungnya. Ken Endok hanya dapat menangis dengan sedih, akan tetapi diam-diam ia mengharapkan putera kandungnya itu akan berhasil menuntut balas atas kematian mendiang Raden Ginantoko.
Dengan hati yang puas akan tetapi juga marah terhadap ibu kandungnya, Ken Arok lalu meninggalkan Dusun Pangkur dan kembali ke Sugenggeng. Semanjak hari itu, dia melatih diri dengan tekun lagi sehingga memperoleh kemajuan pesat, hal itu yang membuat gurunya semakin mengaguminya. Sebagai seorang pendeta, Begawan Jumantoko maklum bahwa pemuda yang mencorong kepalanya itu adalah keturuna dewa dan kelak tentu akan menjadi orang besar. Maka diapun tidak pelit untuk mengajarkan semua ilmunya sehingga dalam waktu singkat, tingkat kepandaian Ken Arok dalam hal ilmu kanuragan melonjak cepat dan melampui tingkat panji Tito atau murid-murid lainnya yang telah lebih dahulu menjadi orang digdaya, kini dia belajar dengan ada tujuan.
Pertama, dia ingin membalas dendam kematian ayah kandungnya terhadap Ki Bargolo, dan ke dua, dia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa dia benar-benar keturunan Sang Hyang brama dan akan menguasai dunia! Saking sayangnya bahkan mengajarkan kepada Ken Arok, Begawan Jumantoko bahkan mengajarkan dua macam ilmu yang diajarkannya kepada siapapun juga dan merupakan ilmu simpanannya, yaitu pertama adalah ilmu Silat watak Sakti dan kedua adalah aji Joyo kawaco. Yang pertama merupakan ilmu silat yang amat dahsyat berdasarkan kekerasan bagaikan seekor binatang badak sakti yang mangamuk, sedangkan yang kedua merupakan ilmu kekebalan yang hebat, sesuai dengan namanya. Joko Kawoco (Dara berbaju Besi)
Akan tetapi, ganguan Ken Arok terhapat para selir semakin menjadi-jadi, dan para selir itu bahkan secara terang-terangan menyatakan tergila-gila kepada pemuda itu. Ha ini membuat sang begawan akhirnya mengambil keputusan untuk mengakhiri masa belajarnya kepada kedua orang pemuda itu.
"Murid-muridku yang baik, Ken Arok dan Panji Tito,"
Katanya setelah dia memanggil kedua orang muda itu menghadap.
"Tibalah saatnya kalian tamat dari belajar di sini.
Kalian sudah mempelajari berbagai ilmu dan bagaikan seekor burung, sudah memiliki sayap yang kuat untuk mengarungi dunia ini memperluas pengetahuan. Kalian sudah cukup dewasa untuk turun gunung dan mempergunakan ilmu-ilmu yang kalian pelajari. Sudah tiba saatnya kalian terjun di dunia ramai dan mencari kedudukan yang tinggi, kemuliaan yang besar. Aku hanya mendoakan semoga kalian berhasil."
Ken Arok dan Panji Tito lalu menghaturkan terima kasih dan berpamit.
"Kalau sampai saya berhasil, saya tidak akan melupakan jasa-jasa bopo guru begawaan yang mulia,"
Kata Ken Arok dan janji ini membuat Begawan Jumantoko merasa girang bukan main.
Dia merasa yakin bahwa Ken Arok inilah yang kelak akan menjunjung tinggi namanya dan menariknya ke atas, ke tempat yang mulai.
Kepergian Ken Arok mengundang tangis dan keluh kesah para murid perempuan. Banyak di antara mereka yang menyatakan hendak ikut, akan tetapi tentu saja semua ditolak oleh Ken Arok. Bagaimanapun juga, Ken Arok berjina dengan mereka bukan karena jatuh cinta, melainkan hanya karena dorongan nafsunya yang dikobarkan oleh para gadis genit pengejar cinta itu. Selain mempelajari ilmu silat dan kesusasteraan, di tempat tinggal Begawan Jumantoko itu Ken Arok juga telah mempelajari ilmu bermain cinta dengan guru-gurunya yang pandai, yaitu murid-murid perempuan sang begawan itu sendiri!
Akan tetapi, kalau saja Begawan Jumantoko tahu apa yang terjadi dengan murid-muridnya yang diharapkannya itu, tentu dia akan kecewa bukan main. Setelah pergi meninggalkan Sagenggeng dan berpamit pula kepada dari Ki Bango Samparan yang memberi bekal secukupnya kepada Panji Tito dan Ken Arok, kedua orang pemuda itu lalu pergi ke timur dan akhirnya keduanya membuka sebuah pedukuhan, yaitu dusun yang kecil, di sebelah timur yang diberi nama Dusun Sanja. Dan apa yang yang mereka kerjakan menjadi penyamun!
Mula-mula Panji Tito memang merasa tidak setuju dan tidak cocok dengan pekerjaan menyamun ini. Akan tetapi Ken Arok menekannya.
"Kakang Panji, apa salahnya menjadi perampok? Kita merampok dengan melihat siapa yang kita rampok, bukan sembarangan merampok. Dan lihat, betapa banyaknya rakyat dusun yang hidup serba kekurangan. Kita merampok dari para hartawan yang kuat, kemudian hasil rampokan kita bagi-bagikan kepada orang-orang dusun yang miskin! Bukankah itu merupakan pekerjaan yang baik dan gagah?"
Panji Tito tidak berani membantah lagi karena sejak lama dia sudah kalah pengaruh oleh Ken Arok. Dia kalah wibawa, kalah pula dalam tingkat kepandaian sehingga seolah-olah menjadi pembantu dan bawahan Ken Arok. Setelah tinggal di Sanja selama beberapa bulan, terkenallah Ken Arok sebagai seorang perampok yang ditakuti orang. Pernah serombongan pedagang dengan iringan pengawal yang belasan orang jumlahnya, dihadang oleh Ken Arok dan Panji Tito, dan biarpun para pengawal itu mengeroyok mereka, tetap saja para pengawal dihajar cerai berai dan barang-barang bawaan para pedagang itu dirampok habis-habisan! Akan tetapi, bagi para penduduk dusun-dusun di sekitarnya yang miskin, Ken Arok dianggap sebagai dewa penolong karena pemuda ini suka membagi-bagikan harta yang dirampoknya kepada para fakir miskin.
Akan tetapi, nafsu keserakahan Ken Arok bukan hanya ditujukan untuk merampok harta benda. Nafsu birahinya juga berkobar, sebagai akibat permainannya dengan para selir atau murid perempuan Begawan Jumantoko. Setiap dia melihat wanita cantik, biarpun wanita itu masih perawan atau sudah menjadi isteri orang-orang di dusun itu, dia selalu mengganggunya. Hampir semua wanita yang menarik hatinya, akhirnya terjatuh dalam pelukannya. Hal ini adalah karena suami atau ayah takut menghadapinya, pula karena memang para wanita itu kagum kepada pemuda yang tampan dan gagah ini.
Pada suatu hari, ketika Ken Arok pergi seorang diri ke dalam hutan dengan maksud berburu binatang, dia melihat seorang kakek pencari tuak, yaitu minuman dari pohon aren sedang mencari tuak di dalam hutan, diikuti oleh seorang perawan remaja, puteri tunggalnya. Melihat anak perawan ini, tersirap darah Ken Arok dan dia langsung tergila-gila. Dihampirinya kakek dan anak perempuannya itu dan disapanya dengan halus.
"Paman, siapakah adik manis ini?"
Langsung saja Ken Arok bertanya.
Kakek itu sudah mendengar akan watak pemuda ini yang mata keranjang, maka jantungnya berdebar gelisah. Dia tidak ingin anak perempuannya menjadi korban pemuda yang gila perempuan ini.
"Ia Witri, anak saya, Raden. Permisi, kami hendak pulang agar tidak kemalaman di jalan."
"Dimanakah rumah andika, Paman?"
"Di dusun Lahat, sebelah barat sungai."
"Aih, jauh juga. Kasihan anak perempuan diajak bekerja sejauh ini. Kalian tentu lelah, marilah singgah di pondokku dan sebaiknya bermalam di sana saja, besok baru kalian pulang."
"Terima kasih, Raden. Kami hendak langsung pulang saja, karena ibunya Witri tentu akan merasa khawatir kalau kami tidak pulang. Mari, genduk Witri, kita pulang.
"Ayah itu lalu menggandeng tangan puterinya untuk diajak pergi secepatnya dari tempat itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Ken Arok meloncat dan menghadang di depan mereka.
"Paman, kalau paman tidak mau mampir juga tidak mengapa, akan tetapi adik Witri ini harus singgh di pondokku semalam. Biarlah besok kuantar ia pulang."
Berkata demikian, Ken Arok mengulur tangan untuk menangkap lengan perawan itu.
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan, Raden. Jangan ganggu anakku......!"
Kakek itu menarik anaknya yang menjadi ketakutan dan merangkulnya.
"Harap jangan ganggu anakku....!"
Ken Arok mengerutkan alisnya dan senyumnya menjadi bengis.
"Paman, tahukah paman siapa aku?"
Orang tua itu mengangguk.
"Engkau adalah Raden Ken Arok.....!"
"Nah, kalau sudah mengenal aku, tentu tahu bahwa kehendakku tidak mungkin dapat dibantah. Bukankah aku penolong rakyat miskin di dusun-dusun? Bukankah aku selalu memperoleh wanita mana saja yang kusenangi? Dan bukankah wanita yang kusenangi mendapat kehormatan besar?"
"Tapi.... tapi.... maafkan kami, harap jangan ganggu anakku, Raden...."
Orang tua itu meratap, tidak mampu membantah semua kata-kata Ken Arok.
Ken Arok menjadi marah karena merasa malu bahwa dirinya ditolak oleh seorang kakek penyadap aren.
"Hemm, tua bangka tak tahu diri! Berani engkau membantah dan menolak keinginanku? Gadis ini harus menemaniku untuk malam ini, baik engkau setuju atau tidak!"
Dan dengan cepat dia menubruk maju, menangkap lengan Witri dan merenggutnya dengan sentakan kuat. Gadis itu menjerit dan terlepas dari pelukan ayahnya.
"Jangan ganggu anakku! lepaskan anakku"
Kakek itu mencoba untuk merampas kembali anaknya, akan tetapi. Ken Arok mengerakkan kakinya, menyamping, dengan kekutan penuh.
"Dukkkk!"
Tubuh kakek itu terjengkang dan terbanting keras. Dia hanya menggeliat kesakitan dan tak mampu bengkit kembali. Melihat ini, Witri menjerit.
"Bapak.......!!"
Akan tetapi Ken Arok sudah menariknya. Ketika gadis remaja itu meronta-ronta hendak melepaskan tarikan tangannya, Ken Arok lalu memondongnya dan mambawanya pergi dari situ.
"Lepaskan aku... ohh, lepaskan...."
Ia meronta-ronta akan tetapi apa dayanya manghadapi dekapan kedua lengan Ken Arok yang berotot dan kuat itu? Ia melakukan perlawanan sejadi-jadinya, namun akhirnya ia harus menyerah dan hanya menangis ketika Ken Arok memaksa dan menggagahinya, memperkosanya di atas rumput, tak jauh dari tempat di mana ayahnya masih merintih kesakitan.
Pada keesokan paginya, sambil menangis, dengan rambut awut-awutan, pakaian tidak karuan, muka pucat Witri terhuyung-huyung menghampiri ayahnya yang masih mengaduh-aduh lemah. Mereka bertangisan dan Witri yang mengalami penderitaan hebat lahir batin itu membantu ayahnya, sedapat mungkin mereka tertatih-tatih pulang ke dusun mereka. Akan tetapi, hanya dua hari setelah peristiwa itu, ayah Witri meninggal dunia. Witri dengan hati yang sakit lalu menceritakan kejahatan Ken Arok sehingga orang-orang semakin takut akan tetapi mulai merasa benci kepada pemuda itu. Memang benar Ken Arok suka menderma dan membagi-bagikan harta, akan tetapi agaknya semua itu bukan dilakukan karena memang hatinya penuh welas asih, melainkan untuk mencari nama. Buktinya dia dapat berbuat keji dan kejam sekali terhadap Witri dan ayahnya.
Karena semakin ditakuti dan merasa betapa pengaruh dan kekuasaannya semakin meluas, Ken Arok bersikap semakin ganas dan jahat. Kalau tadinya dia masih memilih korban, kini dia tidak peduli lagi. Banyak sudah orang dusun yang sudah menjadi korban keganasannya. Juga beberapa kali dia memperkosa wanita yang tidak mau melayaninya, membunuh keluarga wanita yang tidak mau menyerahkan isterinya atau anak perempuannya.
Melihat ini, beberapa kali Panji Tito menegur dengan halus dan memperingatkan Ken Arok. Karena ternyata Ken Arok makin menjadi-jadi jahatnya, pada suatu hari Panji Tito menjumpainya dan menyatakan bahwa dia hendak pulang saja ke rumah orang tuanya di Sagenggeng.
Barulah Ken Arok menjadi terkejut.
"Ah, kenapa engkau hendak meninggalkan aku, Kakang Panji? Aku mengerti, engkau tidak setuju dengan sepak terjangku tentang..... tentang wanita. Aku tidak berdaya,
(Lanjut ke Jilid 05)
Keris Pusaka Nogopasung (Cerita Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
karena memang itu kesukaanku. Ah, sebelum engkau pergi meninggalkan aku, aku ingin minta bantuan dulu, Kakang."
"Bantuan apakah, Dimas Ken Arok? Tentu saja aku mau membantu kalau memang tidak berlawanan dengan hatiku."
"Ketahuilah bahwa ayah kandungku telah terbunuh orang dan kini aku ingin membalas dendam terhadap orang itu. Hanya engkau yang kiranya dapat membantuku menghadapi musuh yang tangguh itu."
"Ayah kandungmu? Bukankah ayahmu Sang Hyang..."
"Benar!"
Ken Arok memotong dengan wajah serius.
"Ayah kandungku adalah titisan Sang Hyang Brahma. Karena sudah menitis menjadi manusia, maka tentu saja ayahku tidak terlepas dari maut. Dia dibunuh oleh Ki Bragolo ketua dari perkumpulan Sabuk Tembogo yang bertempat tinggal di lereng Gunung Kawi. Nah, sekarang aku hendak mencarinya dan membalas dendam atas kematian ayah. Maukah engkau membantuku, Kakang Panji?"
Betapapun juga, Ken Arok adalah anak angkat ayahnya dan dia sendiri memang sayang kepada Ken Arok yang menjadi sahabat dan saudaranya selama bertahun-tahun. Kalau disuruh membantu melakukan hal-hal yang jahat, seperti menganggu penduduk dusun yang memperkosa wanita, tentu dia tidak sudi. Akan tetapi sekarang, adik angkatnya itu hendak membalas dendam atas kematian ayah kandungnya yang terbunuh orang.
"Tentu saja aku akan membantumu, Dimas Ken Arok!"
Maka berangkatlah kedua orang muda itu meninggalkan dusun mereka, yaitu Dusun Sanja, menuju ke Gunung Kawi untuk mencari musuh besar Ken Arok. Dusun itu dan desa-desa di sekitarnya menjadi aman untuk sementara. Lega hati para penghuni dusun-dusun itu ketika mereka melihat bahwa Ken Arok telah meninggalkan tempat itu. Berita tentang Witri dan ayahnya sudah tersebar luas, ditambah lagi berita-berita kejahatan lain sehingga nama Ken Arok semakin dikenal sebagai seorang penjahat muda yang ganas. Bahkan nama ini tersebar sampai jauh memasuki tapal batas Kadipaten Tumapel.
"Nah, kau lihat, buktinya hutan itu kita lewati dengan selamat tidak ada gangguan apa-apa, Wulan,"
Kata Joko Handoko.
Wulan tersenyum. Mereka sudah turun dari kuda dan jalan berdampingan, Joko Handoko menuntun kudanya. Mereka turun karena kasihan kepada kuda yang selama ini telah mereka tunggangi berdua.
"Agaknya peruntunganmu memang baik, Joko. Biasanya, hutan ini penuh dengan perampok jahat. Akan tetapi, begitu kau lewat, mereka tidak memperlihatkan batang hidung mereka."
"Hem, atau barangkali karena mereka sudah tahu bahwa aku melakukan perjalanan dengan puteri ketua Sabuk Tembogo?"
Beralasan juga ucapan Joko Handoko itu dan Wulandari mengangguk. Ia lalu mengangkat muka memandang wajah Joko Handoko.
"Kita sudah dekat dengan Kadipaten Tumapel. Lihat di depan sana itu, tembok-temboknya sudah nampak."
Joko Handoko memandang ke depan. Di bawah lereng itu memang nampak tembok-tembok, samar-samar tertutup pohon-pohon jati.
"Ah, betapa aku ingin segera sampai ke sana,"
Katanya gembira.
"Akan tetapi, kita.... akan segera saling berpisah......"
"Apakah engkau tidak merasa kecewa dan.... sedih, Kakang Handoko?"
Joko Handoko memandang wajah gadis itu, agak heran mendengar perubahan dalam penggilan gadis itu. Agaknya Wulandari sadar akan hal ini. Wajahnya menjadi kemerahan dan disambungnya pertanyaannya tadi.
"Engkau tentu tidak keberatan kalau aku menyebutmu Kakang Handoko, bukan? Bagaimanapun juga, engkau lebih tua dariku sehingga tidak patut rasanya kalau aku menyebut namamu begitu saja."
Joko Handoko tersenyum senang.
"Tentu saja tidak, Wulan. Akan tetapi mengapa aku harus kecewa dan bersedih?"
"Karena kita akan saling berpisah. Aku merasa sedih membayangkan harus bepisah darimu, Kakang. Aku senang sekali bertemu dan berkenalan denganmu."
Joko Handoko tersenyum, menganggap ucapan gadis itu kekanak-kanakan.
"Ah, Wulan, di dunia ini mana ada yang abadi? Ada pertemuan tentu ada perpisahan. Akan tetapi, di Tumapel engkau hendak melakukan apakah? Hendak pergi ke mana?"
Nampak gadis itu ragu-ragu, kemudian menjawab dengan elakan.
"Ada urusan keluarga yang amat penting dan berbahaya. Akan tetapi engkau sendiri, hendak kemanakah, Kakang Handoko?"
"Aku hendak mencari dan mengunjungi Eyang Empu Gandring,"
Jawab Joko Handoko dengan jujur.
Wulandari terkejut dan memandang tajam.
"Empu Gandring? Apamukah dia dan mau apa engkau mencarinya?"
"Bukan apa-apa, hanya beliau adalah seorang kenalan baik mendiang kakekku. Aku ingin menyampaikan kematian kakekku kepadanya,"
Joko Handoko yang tidak ingin menonjolkan diri tidak mau mengaku bahwa mendiang ayahnya adalah murid Empu Gandring.
Setelah mereka tiba di pintu gerbang Kadipaten Tumapel yang ramai, keduanya berenti. Wulandari memandang kepada pemuda itu dengan tajam. Ia merasa berat sekali harus berpisah dari Joko Handoko. Wajah yang tampan, tubuh yang tegap dan biarpun pemuda itu tidak memiliki kepandaian namun ia berwatak satria yang gagah dan tabah, membuat gadis ini jatuh cinta. Ditambah lagi pengalaman berboncengan kuda yang takkan terlupakan selamanya oleh Wulandari.
"Kakang, kapan kita akan saling berjumpa lagi?"
Tanyanya dengan suara memelas.
"Kalau memang kita berdua dalam keadaan sehat, lain waktu tentu kita akan dapat saling berumpa."
"Aku ingin sekali mengajakmu mengunjungi tempat tinggal kami di lereng Kawi, Kakang. Maukah engkau berkunjung ke sana?"
Joko Handoko mengangguk-angguk, dalam hatinya dia bertanya-tanya apa yang akan menjadi sikap gadis ini kalau mengetahui bahwa ayah gadis ini adalah pembunuh ayahnya!"
"Kalau saja semua urusanku sudah selesai aku tidak keberatan untuk berkunjung ke tempatmu, Wulan."
"Kalau begitu, mengapa tidak setelah engkau mengunjungi Empu Gandring? Kita pergi bersama dan...... ah, aku harus menyelesaikan tugasku dulu!"
Katanya memotong ucapannya sendiri dengan nada menyesal.
Hati Joko Handoko tertarik. Dia memang tidak mempunyai urusan lain kecuali mengunjungi Empu Gandring. Dia memang bermaksud merantau untuk meluaskan pengalaman dan pengetahuan. Mengapa dia tidak pergi mengunjungi Sabuk Tembogo untuk melihat bagaimana keadaan orang yang menjadi pembunuh ayahnya itu? Bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk mengenal orang itu dan melihat begaimana keadaan dan wataknya. Melihat Wulandari yang gagah perkasa dan baik hati, kesan dalam hatinya terhadap Sabuk Tembogo sudah menjadi lebih baik.
"Kalau begitu, mengapa tidak melakukan tugasmu itu bersamaku, kemudian kita berdua mengunjungi Empu Gandring dan baru bersama menuju ke tempat tinggalmu di Kawi?"
Sepasang mata yang indah itu berseri, agaknya usul Joko Handoko itu menggembirakan hatinya. Akan tetapi hanya sebentar karena alisnya berkerut lagi dan ia menggelang kepala.
"Tidak mungkin, Kakang Handoko. Tugasku ini berbahaya sekali, mempertaruhkan nyawa dan aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya. Sebaiknya, kita mengambil jalan masing-masing dan kalau engkau sudah selesai dengan urusanmu di sini, dan engkau berkunjung ke lereng Kawi, tentu aku akan menantimu di sana."
Joko Handoko mengangguk-angguk. Baiklah, Wulan."
Ketika itu senja telah larut dan cuaca sudah mulai gelap. Wulandari sekali ini menatap wajah Joko Handoko, lalu berkata.
"Selamat berpisah, Kakang, sampai jumpa pula."
Setelah berkata demikian, dengan gesitnya, ia lalu meloncat dan memasuki pintu gerbang Kadipaten Tumapel.
Joko Handoko menuntun kudanya keluar kembali membawa kuda itu ke tempat yang gelap dan sunyi, mengikat kuda di sebatang pohon dan membiarkan kuda itu makan rumput di bawah pohon. Kemudian tubuhnya berkelebat dan di sudah cepat melakukan pengejaran dan membayangi gerakan Wulandari dengan diam-diam. Dia merasa khawatir sekali mendengar ucapan Wulandari hendak melaksanakan tugas yang berbahaya, bahkan mempertaruhkan nyawa! Dia harus tahu apa yang akan dilakukan oleh gadis perkasa itu.
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bayangan tubuh Wulandari dengan cepat berkelebat dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk dan pohon-pohon. Akhirnya, dengan loncatan ringan, Wulandari memasuki sebuah kebun dari gedung yang megah itu, meloncati pagar yang cukup tinggi tanpa terlihat oleh para penjaga di depan gedung. Ia tidak tahu bahwa tak jauh di belakangnya, ada sesosok tubuh lain yang selalu membayanginya sejak tadi. Bayangan ini bukan lain adalah Joko Handoko.
Dengan heran Joko Handoko menyelinap dan mengintai untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Wulandari di rumah gedung besar itu. Dia tidak tahu rumah siapa itu, akan tetapi melihat betapa di depan rumah terdapat perajurit yang berjaga, dapat diduganya bahwa tentu penghuni gedung itu seorang pejabat atau bengsawan tinggi. Ketika dia melihat gadis itu menyelinap masuk setelah membongkar pintu belakang sehingga terbuka tanpa mengeluarka suara bisik, Joko Handoko hanya menanti di luar pintu itu, tidak berani masuk karena dia tidak ingin ketahuan oleh Wulandari. Dia lalu
meloncat naik ke atas wuwungan rumah gedung itu, dan mengintai dari genteng yang dibukanya perlahan-lahan ke bawah.
Hati sudah menjadi gelisah karena dia tidak melihat apa-apa di dalam ruangan belakang rumah itu yang amat luas. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara dan ketika dia mengintai dia melihat Wulandari muncul dari sebuah kamar sambil menggandeng seorang gadis lain. Jantung dalam dada Joko Handoko berdebar tegang ketika dia melihat gadis ini. Seorang gadis yang sebaya dengan Wulandari, akan tetapi yang berbeda dari Wulandari seperti bumi dengan langit. Gadis itu lemah gemulai berkulit kuning putih, wajahnya cantik jelita dan agak pucat, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak ketakutan, rambutnya awut-awutan, juga pakaiannya kusut. Gadis ini cantik bukan main menurut penglihatan Joko Handoko, kecantikan yang lembut tak berdaya, sungguh berbeda dengan Wulandari yang keras dan kuat. Jelas nampak bahwa Wulandari setengah memaksa gadis itu ikut bersamanya, apa lagi ketika terlihat bahwa Wulandari sudah melolos sabuk Tembogonya dan mengancam gadis cantik itu agar ikut tanpa banyak suara.
Wulandari lalu mengeluarkan sehelai kertas tertulis yang agaknya sudah dipersiapkannya, menaruh kertas itu di atas meja dan tangan kirinya mencabut pisau belati, ditancapkannya pisau itu di atas kertas. Semua itu terjadi tanpa ada seorang pun penghuni rumah itu yang tahu dan Joko Handoko dapat menduga bahwa tentu Wulandari, gadis perkasa itu, telah menggunakan aji penyirepan untuk membuat seisi rumah itu tidur nyenyak. Makin kagumlah dia kepada Wulandari, akan tetapi dia juga terheran-heran melihat Wulandari memaksa gadis cantik itu pergi bersamanya. Apa yang sedang dikerjakan gadis itu? Perbuatan jahat ataukah baik? Sepasang mata yang indah itu berseri, agaknya usul Joko Handoko itu menggembirakan hatinya. Akan tetapi hanya sebentar karena alisnya berkerut lagi dan ia menggelang kepala.
"Tidak mungkin, Kakang Handoko. Tugasku ini berbahaya sekali, mempertaruhkan nyawa dan aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya. Sebaiknya, kita mengambil jalan masing-masing dan kalau engkau sudah selesai dengan urusanmu di sini, dan engkau berkunjung ke lereng Kawi, tentu aku akan menantimu di sana."
Joko Handoko mengangguk-angguk.
"Baiklah, Wulan."
Ketika itu senja telah larut dan cuaca sudah mulai gelap. Wulandari sekali ini menatap wajah Joko Handoko, lalu berkata.
"Selamat berpisah, Kakang, sampai jumpa pula."
Setelah berkata demikian, dengan gesitnya, ia lalu meloncat dan memasuki pintu gerbang Kadipaten Tumapel.
Joko Handoko menuntun kudanya keluar kembali membawa kuda itu ke tempat yang gelap dan sunyi, mengikat kuda di sebatang pohon dan membiarkan kuda itu makan rumput di bawah pohon. Kemudian tubuhnya berkelebat dan di sudah cepat melakukan pengejaran dan membayangi gerakan Wulandari dengan diam-diam. Dia merasa khawatir sekali mendengar ucapan Wulandari hendak melaksanakan tugas yang berbahaya, bahkan mempertaruhkan nyawa! Dia harus tahu apa yang akan dilakukan oleh gadis perkasa itu.
Bayangan tubuh Wulandari dengan cepat berkelebat dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk dan pohon-pohon. Akhirnya, dengan loncatan ringan, Wulandari memasuki sebuah kebun dari gedung yang megah itu, meloncati pagar yang cukup tinggi tanpa terlihat oleh para penjaga di depan gedung. Ia tidak tahu bahwa tak jauh di belakangnya, ada sesosok tubuh lain yang selalu membayanginya sejak tadi. Bayangan ini bukan lain adalah Joko Handoko.
Dengan heran Joko Handoko menyelinap dan mengintai untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Wulandari di rumah gedung besar itu. Dia tidak tahu rumah siapa itu, akan tetapi melihat betapa di depan rumah terdapat perajurit yang berjaga, dapat diduganya bahwa tentu penghuni gedung itu seorang pejabat atau bengsawan tinggi. Ketika dia melihat gadis itu menyelinap masuk setelah membongkar pintu belakang sehingga terbuka tanpa mengeluarka suara bisik, Joko Handoko hanya menanti di luar pintu itu, tidak berani masuk karena dia tidak ingin ketahuan oleh Wulandari. Dia lalu
meloncat naik ke atas wuwungan rumah gedung itu, dan mengintai dari genteng yang dibukanya perlahan-lahan ke bawah.
Hati sudah menjadi gelisah karena dia tidak melihat apa-apa di dalam ruangan belakang rumah itu yang amat luas. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara dan ketika dia mengintai dia melihat Wulandari muncul dari sebuah kamar sambil menggandeng seorang gadis lain. Jantung dalam dada Joko Handoko berdebar tegang ketika dia melihat gadis ini. Seorang gadis yang sebaya dengan Wulandari, akan tetapi yang berbeda dari Wulandari seperti bumi dengan langit. Gadis itu lemah gemulai berkulit kuning putih, wajahnya cantik jelita dan agak pucat, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak ketakutan, rambutnya awut-awutan, juga pakaiannya kusut. Gadis ini cantik bukan main menurut penglihatan Joko Handoko, kecantikan yang lembut tak berdaya, sungguh berbeda dengan Wulandari yang keras dan kuat. Jelas nampak bahwa Wulandari setengah memaksa gadis itu ikut bersamanya, apa lagi ketika terlihat bahwa Wulandari sudah melolos sabuk Tembogonya dan mengancam gadis cantik itu agar ikut tanpa banyak suara.
Wulandari lalu mengeluarkan sehelai kertas tertulis yang agaknya sudah dipersiapkannya, menaruh kertas itu di atas meja dan tangan kirinya mencabut pisau belati, ditancapkannya pisau itu di atas kertas. Semua itu terjadi tanpa ada seorang pun penghuni rumah itu yang tahu dan Joko Handoko dapat menduga bahwa tentu Wulandari, gadis perkasa itu, telah menggunakan aji penyirepan untuk membuat seisi rumah itu tidur nyenyak. Makin kagumlah dia kepada Wulandari, akan tetapi dia juga terheran-heran melihat Wulandari memaksa gadis cantik itu pergi bersamanya. Apa yang sedang dikerjakan gadis itu? Perbuatan jahat ataukah baik?
Gadis cantik itu terpaksa mengikuti Wulandari keluar dari dalam rumah, dan setelah keluar dari pintu belakang, Wulandari lalu menariknya dekat pagar kebun itu dan tiba-tiba Wulandari memondong gadis itu dan membawanya loncat keluar pagar. Gadis itu mengeluarkan suara menjerit kecil karena ngeri ketika dibawa loncat, akan tetapi ia segera diturunkan lagi dan setengan diseret, diajak berlari oleh Wulandari, menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan rumah-rumah menuju ke pintu gerbang kota Kadipaten Tumapel.
Ketika Wulandari yang menggandeng tangan gadis itu keluar dari pintu gerbang dan tiba agak jauh dari tembok kota Kadipeten Tumapel, di dalam cuaca yang remang-remang itu tiba-tiba dia melihat seorang laki-laki yang menuntun kuda menghadang di depan perjalanannya. Mula-mula dara itu terkejut, akan tetapi hatinya berubah girang ketika ia mengenal siapa adanya pria itu.
"Kakang Handoko! Engkau di sini?"
Teriaknya girang.
"Wulan, aku girang dapat bertemu dengan engkau disini. Eh, siapakah gadis ini?"
"Panjang ceritanya, Kakang. Kenapa engkau bisa berada di sini? Bukankah engkau akan pergi mengunjungi Empu Gandring?"
"Aku sudah pergi ke sana dan beliau sedang pergi ke luar kota, aku lalu kembali ke sini untuk mencarimu."
Joko Handoko membohong.
"Bagus sekali! Dan engkau mau melakukan perjalanan bersamaku ke Kawi?"
"Memang aku ingin ke sana. Akan tetapi siapakah gadis ini?"
"Nanti dulu. Ia seorang gadis lemah, biar menunggang kudamu. Nanti kuceritakan semua ini kepadamu, Kakang Handoko."
"Silahkan,"
Kata Joko Handoko.
Wulandari lalu berkata kepada gadis itu.
"Naiklah ke punggung kuda agar tidak lelah, perjalanan kita masih jauh."
Gadis itu memandang kepada Wulandari, kemudian kepada Joko Handoko. Biarpun ia nampak lemah tak berdaya, namun kini ia tidak memperlihatkan rasa takut. Sikapnya masih lembut dan suaranya amat halus ketika ia bertanya.
"Kalian hendak membawaku kemanakah?"
"Sudahlah, naik dan jangan banyak bertanya. engkau adalah tawananku dan engkau harus melakukan semua perintahku."
Wulandari membentak. Gadis itu menarik napas panjang lalu naik ke atas punggung kuda. Ternyata ia seorang gadis yang biasa menunggang kuda karena biar pun tubuhnya kelihatan lemah, cekatan juga ia dapat naik ke punggung kuda yang besar itu. Melihat ini, Wulandari cepat memegang kendali kudanya.
"Awas, jangan coba untuk melarikan diri. Kakang, sebaiknya engkau duduk di atas punggung kuda pula bersamanya untuk mencegah agar ia jangan melarikan diri."
"Tidak!"
Kata gadis di atas punggung kuda itu."
Kalau aku harus menunggang kuda bersama dia, lebih baik aku jalan kaki!"
"Ihh, banyak lagak kau! Apa salahnya menunggang kuda berboncengan dengan Kakang Joko Handoko?"
Bentak Wulandari marah. Ia sendiri senang sekali berboncengan naik kuda dengan pemuda itu dan kini gadis ini, sebagai seorng tawanan, banyak lagak menolaknya.
"Biarkan ia sendiri menunggang kuda, Wulan. Bukankah kendalinya berada di tanganmu? Tanpa kendali, ia tidak akan dapat menguasai kuda. Dan pula, aku sudah biasa berjalan kaki."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, kuda dituntun oleh Wulandari dan Joko Handoko berjalan di sampingnya. Malam itu sore-sore bulan telah menampakkan diri sehingga cuaca tidak gelap benar, cukup terang untuk melakukan perjalanan meninggalkan kota Kadipaten Tumapel.
"Nah, sekarng ceritakan, Wulan. Siapa gadis ini dan mengapa pula engkau menawannya?"
Joko Handoko bertanya dengan tidak sabar. Dia merasa tidak puas dengan perbuatan Wulandari kali ini. Gadis itu demikian lemah lembut, sama sekali tidak kelihatan sebagai orang jahat. Kenapa Wulandari menawannya? Dia sudah merasa kasihan kepada gadis itu.
"Gadis ini puteri Raden Pamungkas, seorang senopati dari Tumapel,"
Wulandari mulai bercerita.
"Aku menawannya untuk ditukar dengan tiga orang saudara seperguruanku yang kini ditawan oleh ayahnya."
"Hemm, kenapa tiga orang murid Sabuk Tembogo itu ditawan oleh Senopati Pamungkas?"
Joko Handoko menjadi semakin penasaran. Seorang senopati adalah seorang perwira tinggi dan kalau sampai tiga orang anggota Sabuk Tembogo itu ditawan, tentu mereka telah melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan sehingga tidak layak kalau Wulandari kini menculik puterinya untuk ditukar dengan tawanan itu.
"Kami difitnah"
Wulandari berkata lantang.
"Dari kesaksian Puteri Pusporini inilah yang menjadi gara-garanya. Karena itu ia kutawan karena ia yang menjadi bianang keladi sehingga tiga orang anggota kami ditangkap. Mula-mula, rombongan keluarga senopati itu bersama Pusporini ini melakukan perjalanan. Mereka dihadang olah tiga orang perampok dan dirampok habis-habisan, juga beberapa orang perajurit pengawal tewas oleh tiga orang itu. Senopati Pamungkas marah, apa lagi mendengar keterangan dari Pusporini bahwa yang merampok adalah tiga orang yang bersenjata sabuk Tembogo. Ketika tiga orang kakak seperguruanku pergi ke Tumapel, mereka langsung ditangkap dan dijebloskan penjara dengan tuduhan merampok, Kami difitnah!"
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo