Ceritasilat Novel Online

Kidung Senja Di Mataram 12


Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



Malangkoro tersenyum dan pertandingan itupun dihentikan sampai di situ. Para penonton pulang dan para peserta juga meninggalkan tempat itu setelah mereka berjanji kepada Ki Sinduwening bahwa besok mereka akan datang, bukan hanya untuk mengetahui kelanjutan mendaftarkan diri sebagai perajurit seperti yang dilanjurkan Ki Sinduwening pada pembukaan sayembara itu.

   Dengan wajah muram Ki Sinduwening mendekati puterinya yang rebah menelungkup di atas pembaringan sambil menahan isak tangisnya. Sejak sayembara ditunda sampai besok, gadis itu memasuki kamarnya, tidak mau keluar lagi dan tidak mau makan. Ki Sinduwening duduk di tepi pembaringan, mengelus rambut yang terurai lepas dari sanggulnya itu.

   "Anakku Mawarsih, hentikan tangismu. Tidak ada gunanya menangis dan kiraku, saat ini bukan waktunya untuk berduka. Besok engkau menghadapi ujian berat, menghadapi pertandingan berat, haruslah menghimpun tenaga dan engkau harus makan. Tidak semestinya seorang gadis seperti engkau menjadi cengeng dan putus asa."

   Mendengar ucapan ayahnya itu, Mawarsih mengusap air matanya, lalu bangkit duduk. Kedua matanya agak membengkak kemerahan dan kedua pipinnya agak pucat, matanya redup dan muram. Namun ia telah berhasil menghentikan tangisnya.

   "Aku memang bersikap bodoh, bapa. Akan tetapi betapa hati ini tidak akan hancur, betapa pikiran ini tidak akan kacau kalau kita melihat hasil dari sayembara kita? Kedua orang yang kuharap-harapkan tidak muncul, bahkan yang muncul dan menjagoi pertandingan adalah Malangkoro. Aih, bapa,anakmu ini lebih baik memilih mati dari pada harus berjodoh dengan raksasa yang buruk rupa dan buruk sikap itu. Baru melihatnya saja, rasanya kedua kakiku sudah menggigil".."

   Gadis itu bergidik ngeri membayangkan ia harus bersanding sebagai isteri raksasa itu.

   "Mawar, di mana ketawakalanu kepada Gusti Allah? Dia Maha Kuasa, Mawar. Kalau kita menyerah kepada kekuasaan Gusti dengan penuh kepasrahan, apa lagi yang patut ditakuti? Kita akan berdaya semampu kita, dan dengan dasar penyerahan kepada Gusti Allah, maka kita akan memenuhi tugas dalam kehidupan ini. Jangan putus asa, anakku, karena keputusasaan hanya merupakan tanda bahwa iman kepercayaan kita kepada Gusti mulai menipis. Semua kehendak Allah terjadilah! Dan hanya Dia yang Maha Mengetahui, tahu apa yang terbaik untuk kita. Jangan lepaskan ikhtiar, dan jangan lepaskan penyerahan kita angger."

   Mawarsih sadar dan ia merangkul bapanya.

   "Bapa, terima kasih dan maafkan kelemahanku tadi. Aku hanya merasa penasaran mengapa kedua orang itu tidak datang. Apakah"". apakah""

   Mereka itu sama sekali tidak menaruh perhatian kepadaku?"

   (Lanjut ke Jilid 12)

   Kidung Senja Di Mataram (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12

   "Inilah sebabnya mengapa aku mengumumkan agar sayembara diundurkan sampai besok pagi,"

   Kata Ki Sinduwening.

   "Berita tentang pertandingan hari ini tentu akan disebarluaskan para penonton dan tentu akan terdengar oleh seorang di antara mereka. Aku khawatir bahwa mereka tidak ada yang muncul karena tidak mendengar tentang adanya sayembara ini."

   "Begitukah, bapa? Mudah-mudahan begitu,"

   Sambungnya cepat dan dalam suaranya terkandung harapan.

   "Akan tetapi, bagaimana andaikata besok mereka berdua tetap tidak muncul?"

   "Mawar, bukankah masih ada engkau sendiri dan bapamu ini yang harus dikalahkan dulu oleh Malangkoro?"

   "Dia begitu sakti, bapa. Bagaimana kalau aku dan bapa sampai kalah olehnya? Aku""

   Aku merasa ngeri, bapa"".."

   "Hemm, kalau kita berdua kalah, bukankah masih ada kekuasaan yang takkan dapat dikalahkan oleh siapapun juga? Bukankah masih ada Gusti Allah Yang Maha Kuasa? Di sinilah letaknya penyerahan, anakku. Kalau memang Gusti Allah menghendaki, segalapun akan terjadilah. Dan satu di antara ketentuan yang dipastikan oleh Gusti, adalah perjodohan. Kalau memang Gusti menentukan jodohmu dengan Malangkoro, siapapun tidak akan dapat menghalanginya."

   "Ah, bapa"..! Tapi"". dia begitu buruk, mengerikan"".."

   Ki Sinduwening tersenyum.

   "Anakku, engkaupun tentu sudah mengetahui benar bahwa kebagusan hanyalah sedalam kulit belaka. Yang terutama sekali bukankah keindahan lahiriah,anakku, melainkan keindahan batin. Kindahan batin itu abadi sifatnya, sebaliknya keindahan lahiriah itu terbatas dan sementara saja. Karena itu, dalam soal perjodohan, selain ikthiar kita untuk memperoleh jodoh yang cocok dengan kinginan hati, pada dasarnya kita menyerah saja kepad ketentuan yang sudah dipastkan oleh Gusti Allah."

   "Akan tetapi, siapakah sebenarnya Malangkoro itu, bapa? Orang macam apakah dia? Bagaimana kalau ternyata dia seorang yang jahat?"

   "Menurut keterangan dalam pendaftarannya, dia berasal dari tepi Laut Selatan, seorang nelayan dan dia adalah murid dari orang sakti yang bernama Danyang Gurita. Aku sendiri tidak pernah mengenal dia atau juga gurunya, akan tatapi melihat kepandaiannya, harus diakui bahwa dia sakti mandraguna. Melihat pula cara dia mengalahkan lawan lawannya, dia bukan seorang yang kejam, hanya seorang yang biasa dengan kekerasan. Orang seperti itu cocok sekali untuk menjadi senopati atau setidaknya perajurit pilihan."

   "Akan tetapi, bapa. Aku merasa ngeri kalau membayangkan aku menjadi jodoh orang seperti dia itu".."

   Ki Sinduwening tidak dapat menyalahkan puterinya.

   Dia sendiri rasanya tidak rela menjodohkan puterinya dengan Malangkoro, apa lagi karena puterinya tidak suka kepada pria raksasa itu. Andaikata puterinya mencinta Malangkoro, tentu dia tidak akan menghalangi. Baginya, dalam perjodohan puterinya, yang terpenting bukanlah selera dan perasaannya, melainkan demi kebahagiaan puterinya, karena itu, haruslah anak itu sendiri yang memilih calon jodohnya.

   "Jangan bersedih dan jangan gelisah, Mawar. Sudah kukatakan tadi, di sini masih ada engkau dan bapamu ini. Besok, biarlah aku yang akan menghadapinya lebih dahulu. Sukurlah kalau aku bisa menandingi dan menang sehingga sebagai peserta terakhir, diapun tidak memenuhi syarat untuk menjadi jodohmu. Akan tetapi seandainya aku kalah, terpaksa engkau maju dan semoga Gusti memberi jalan keluar padamu, anakku."

   Suasana menjadi hening. Setelah beberapa kali menghela napas panjang, terdengar Mataram berkata,

   "Aku mengerti, bapa, dan semoga Gusti akan memberi jalan keluar kepada anak bapa ini."

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali para penonton sudah memadati sekeliling panggung pertandingan. Mereka berlumba untuk lebih dulu mendapatkan tempat terdekat di panggung agar mereka dapat menonton lebih jelas. Semua orang ingin sekali melihat kelanjutan sayembara kemarin, ingin melihat bagaimana pihak yang menyelenggarakan sayembara, terutama sekali Mawarsih yang jelita, akan menghadapi Malangkoro yang demikian digdayanya. Malangkoro sendiri agaknya ingin sekali segera menyelesaikan babak terakhir agar dia dapat segera memboyong Mawarsih sebagai jodohnya. Semalam dia sudah bermimpi duduk bersanding dengan si jelita sebagai suami isteri! Kerena itu, pagi-pagi diapun sudah tiba di sana dan mendahului Ki Sinduwening dan puterinya. Dia duduk di sudut panggung, bersila dan tersenyum-senyum ketika melihat betapa pandang mata semua orang ditujukan kepadanya dengan penuh kagum dan juga iri.

   Siapa orangnya yang tidak akan mengiri kalau melihat dia sudah hampir berhasil memondong sang dyah ayu Mawarsih? Bahkan sebelas orang pemuda lainnya yang kemarin menjadi peserta sayembara akan tetapi sudah kalah dan gagal, semua lengkap berada di situ, dan pandang mata mereka juga mengandung penyesalan dan kekecewaSuasana agak gaduh seperti dalam pasar karena para penonton itu membicarakan sayembara ykemarin, bahan percakapan yang sejak berakhirnya pertandingan kemarin telah ramai melanddusun-dusun di sekitar tempat itu. Ki Sinduwening tersenyum.

   "Anakku, engkaupun tentu mengetahui benar bahwa kebagusan hanyalah sedalam kulit belaka. Yang terutama sekali bukankah keindahan lahiriah,anakku, melainkan keindahan batin. Kindahan batin itu abadi sifatnya, sebaliknya keindahan lahiriah itu terbatas dan sementara saja. Karena itu, dalam soal perjodohan, selain ikthiar kita untuk memperoleh jodoh yang cocok dengan kinginan hati, pada dasarnya kita menyerah saja kepad ketentuan yang sudah dipastkan oleh Gusti Allah."

   "Akan tetapi, siapakah sebenarnya Malangkoro itu, bapa? Orang macam apakah dia? Bagaimana kalau ternyata dia seorang yang jahat?"

   "Menurut keterangan dalam pendaftarannya, dia berasal dari tepi Laut Selatan, seorang nelayan dan dia adalah murid dari orang sakti yang bernama Danyang Gurita. Aku sendiri tidak pernah mengenal dia atau juga gurunya, akan tatapi melihat kepandaiannya, harus diakui bahwa dia sakti mandraguna. Melihat pula cara dia mengalahkan lawan lawannya, dia bukan seorang yang kejam, hanya seorang yang biasa dengan kekerasan. Orang seperti itu cocok sekali untuk menjadi senopati atau setidaknya perajurit pilihan."

   "Akan tetapi, bapa. Aku merasa ngeri kalau membayangkan aku menjadi jodoh orang seperti dia itu".."

   Ki Sinduwening tidak dapat menyalahkan puterinya. Dia sendiri rasanya tidak rela menjodohkan puterinya dengan Malangkoro, apa lagi karena puterinya tidak suka kepada pria raksasa itu. Andaikata puterinya mencinta Malangkoro, tentu dia tidak akan menghalangi. Baginya, dalam perjodohan puterinya, yang terpenting bukanlah selera dan perasaannya, melainkan demi kebahagiaan puterinya, karena itu, haruslah anak itu sendiri yang memilih calon jodohnya.

   "Jangan bersedih dan jangan gelisah, Mawar. Sudah kukatakan tadi, di sini masih ada engkau dan bapamu ini. Besok, biarlah aku yang akan menghadapinya lebih dahulu. Sukurlah kalau aku bisa menandingi dan menang sehingga sebagai peserta terakhir, diapun tidak memenuhi syarat untuk menjadi jodohmu. Akan tetapi seandainya aku kalah, terpaksa engkau maju dan semoga Gusti memberi jalan keluar padamu, anakku."

   Suasana menjadi hening. Setelah beberapa kali menghela napas panjang, terdengar Mataram berkata.

   "Aku mengerti, bapa, dan semoga Gusti akan memberi jalan keluar kepada anak bapa ini."

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali para penonton sudah memadati sekeliling panggung pertandingan. Mereka berlumba untuk lebih dulu mendapatkan tempat terdekat di panggung agar mereka dapat menonton lebih jelas. Semua orang ingin sekali melihat kelanjutan sayembara kemarin, ingin melihat bagaimana pihak yang menyelenggarakan sayembara, terutama sekali Mawarsih yang jelita, akan menghadapi Malangkoro yang demikian digdayanya. Malangkoro sendiri agaknya ingin sekali segera menyelesaikan babak terakhir agar dia dapat segera memboyong Mawarsih sebagai jodohnya. Semalam dia sudah bermimpi duduk bersanding dengan si jelita sebagai suami isteri! Kerena itu, pagi-pagi diapun sudah tiba di sana dan mendahului Ki Sinduwening dan puterinya.

   Dia duduk di sudut panggung, bersila dan tersenyum-senyum ketika melihat betapa pandang mata semua orang ditujukan kepadanya dengan penuh kagum dan juga iri. Siapa orangnya yang tidak akan mengiri kalau melihat dia sudah hampir berhasil memondong sang dyah ayu Mawarsih? Bahkan sebelas orang pemuda lainnya yang kemarin menjadi peserta sayembara akan tetapi sudah kalah dan gagal, semua lengkap berada di situ, dan pandang mata mereka juga mengandung penyesalan dan kekecewaSuasana agak gaduh seperti dalam pasar karena para penonton itu membicarakan sayembara ykemarin, bahan percakapan yang sejak berakhirnya pertandingan kemarin telah ramai melanddusun-dusun di sekitar tempat itu.

   Ketika Ki Sinduwening dan Mawarsih muncul, suasana yang tadinya gaduh itu menjadi sepi dan semua orang menjadi tegang hatinya, Inilah saat yang mereknanti-nantikan. Semua mata ditujukan ke arah Mawarsih. Dara ini, seperti juga ayahnya, namtenang-tenang saja dan cantik jelita dengan pakaiannya yang serba hitam dan ringkas. Setelah ayah dan anak itu mengambil tempat duduk mereka, Ki Sinduwening bangkit berdiri lagi dan melangkah ke tengah panggung. Dia memandang ke sekeliling, diam-diam hatinya mengharapkan apa yang selalu dinantikan puterinya, lalu berkata dengan suaranya yang lembut dan tegas.

   "Saudara sekalian! Karena pertandingan sayembara belum selesai, maka hari ini masih ada yang berkenan mengikuti sayembara, kami masih membuka kesempatan itu. Hari ini, peserta tunggal hanya tinggal seorang, yaitu anakmas Malangkoro!"

   Mendengar ucapan ini, malangkoro bangkit menghadapi para penonton, seolah merasa dipermainkan sebagai jagoan. Biarpun pengumuman itu merugikan dirinya yang sudah keluar sebagai pemenang dalam tiga babak, namun dia tidak berkecil hati. Dia yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan siapapun yang berani maju menandinginya. Agaknya, di antara para penonton tidak ada yang berani maju. Andaikata ada yang berminat sekalipun, minat itu sudah tersapu pergi setelah melihat sepak terjang Malangkoro yang dahsyat kemarin.

   Apa lagi, berita tentang pertandingan kemarin itu dibesar-besarkan oleh mereka yang menyebarluaskannya.

   "Paman, kiranya tidak ada lagi yang berani maju. Saya mohon agar pertandingan babak terakhir dapat segera dimulai. Saya siap untuk bertanding melawan diajeng Mawarsih."

   Kata Malangkoro dengan suara lantang.

   "Anakmas Malangkoro, yang akan maju menguji kepandaianmu adalah aku sendiri. Kalau andika mampu mengalahkan aku, barulah Mawarsih sendiri yang akan maju!"

   Kata Ki Sinduwening. Para penonton yang mendengar ini, menjadi gembira dan meramalkan bahwa

   mereka akan disuguhi pertandingan yang amat menarik. Semua orang sudah mengetahui belaka betapa senopati Ki Sinduwening adalah seorang yang sakti mandraguna. Mendengar ucapan Ki Sinduwening, Malangkoro mengerutkan alisnya. Memang tidak ada peraturan yang menentukan siapa yang akan melawannya lebih dulu di antara ayah dan anak itu, akan tetapi menurut kepantasan, tentu Mawarsih dulu yang seharusnya menandingi- nya. Kalau Mawarsih kalah, barulah ayahnya maju, karena dalam syarat disebutkan bahwa seorang calon harus mampu mengalahkan Mawarsih dan ayahnya.

   "Ah, paman Sinduwening,"

   Katanya sambil tersenyum.

   "Sebetulnya, saya merasa sungkan sekali untuk bertanding melawan paman karena"".bukankah paman merupakan calon mertua saya?"

   Ucapan itu sejujurnya, tidak mengandung ejekan, namun membuat para penonton tersenyum, dan wajah Ki Sinduwening agak merah. Bagaimanapun juga, ucapan Malangkoro itu membayangkan bahwa raksasa itu sudah merasa yakin benar bahwa dia yang akan menang dan menjadi suami Mawarsih.

   "Malangkoro, ini adalah sebuah sayembara yang menyangkut kehormatan keluarga kami. Karena itu, tidak ada masalah lain kecuali kalah dan menang dalam pertandingan mengadu ilmu dan kedigdayaan. Kalau aku kalah olehmu engkau masih harus dapat mengalahkan Mawarsih. Sebaliknya kalau engkau yang kalah olehku, berarti engkau gagal. Nah, bersiaplah!"

   Malangkoro maklum bahwa menghadapi Ki Sinduwening, dia tidak boleh main-main. Dia belum pernah menyaksikan kehebatan senopati ini, akan tetapi dia sudah banyak mendengar akan kesaktianya. Tidak mengherankan kalau Ki Sinduwening sakti mandraguna.

   Para murid mendiang Sunan Gunung Jati memang terkenal memiliki kedigdayaan. Dia melirik ke kiri, ke arah para penonton yang berjubel di sekeliling panggung dan melihat seorang kakek berdiri di antara penonton. Hatinya menjadi tenang. Kakek itu adalah Danyang Gurita, gurunya yang ternyata memenuhi permintaannya untuk membantunya pada hari itu, dia mengeluh di depan gurunya tentang kekhawatirannya melawan Ki Sinduwening dan guru itu berjanji akan hadir dan membantu muridnya kalau perlu.

   "Baiklah, paman. Saya telah siap!"

   Katanya dan tidak seperti dalam pertandinganpertandingan penyisihan kemarin, di mana dia sama sekali tidak pernah membuka pasangan, kini raksasa itu membuka pasangan kuda-kuda yang kokoh kuat. Kedua kaki yang panjang itu terpentang lebar, kaki kiri di belakang ditekuk, kedua lengan yang panjang itupun menyilang dengan tangan ditekuk ke belakang dan jari-jari melengkung, seolah kedua lengan itu meniru bentuk ulat yang siap untuk mematuk.

   Melihat lawannya sudah siap, Ki Sinduwening berdoa mohon perlindungan dan kekuatan kepada Tuhan dan mengerahkan aji kesaktian Hasta Legawa sehingga kedua lengannya dialiri tenaga sakti yang kuat. Setelah itu, dia memasang kuda-kuda, kedua kaki terpentang lebar, kedua lutut ditekuk dan kedua tangan membuat gerakan melingkar dari atas ke bawah, dari kanan kiri dan kedua tangan berhenti di depan dada dengan jari-jari terbuka.

   "Mulailah dengan seranganmu, Malangkoro!"

   Bentaknya dengan suara lantang.

   "Maafkan saya, paman!"

   Jawab Malangkoro dan tiba-tiba saja kedua lengan yang menyilang itu meluncur ke depan, kedua tangannya yang besar menyambar, yang kiri ke arah leher, yang kanan menyusul ke arah perut. Dahsyat bukan main serangan Malangkoro ini dan terdengar angin pukulan menyambar. Dari serangannya ini saja mudah diketahui bahwa sekali ini Malangkoro bersunguh-sungguh, tentu karena dia takut kalah dan gagal memperisteri Mawarsih yang jelita.

   "Haiiiiitt!"

   Ki Sinduwening melihat betapa dahsyat kedua tangan lawan itu. Satu saja di antara kedua tangan raksasa itu mengenai tubuhnya, belum tentu kekebalannya dapat menahan, maka diapun membuat gerakan ke samping dan melangkah ke belakang, mengelak sehingga dua sambaran tangan itu luput. Ketika tubuh Malangkoro menyambar lewat, Ki Sinduwening menyambar dari samping dengan tendangan kakinya, ke arah perut lawan.

   "Wuuuttt"""

   Plakk!"

   Kaki itu mental kembali bertemu dengan tangkisan lengan Malangkoro. Keduanya merasa betapa kuatnya tenaga lawan memulai bentakan kaki dan lengan itu. Kembali Malangkoro menyerang, kini lebih dahsyat karena dia yakin sekarang akan kedigdayaan lawan dan dia harus dapat menang. Ketika dia menggerakkan kedua tangannya yang masih membentuk sepasang ular itu, angin pukulannya sampai terasa oleh para penonton di bawah panggung. Namun, Ki Sinduwening segera dapat melihat kekurangan lawan yang tenaganya hebat itu, ialah kecepatan.

   Malangkoro mungkin lebih kuat darinya, akan tetapi jelas dia lebih cepat dan dia harus mempergunakan kelebihannya ini untuk mendapatkan kemenangan. Maka, diapun mengerahkan tenaganya dan bergerak cepat untuk mengimbangi serangan lawan yang bertubi-tubi dan dahsyat itu. Malangkoro menggunakan jurus pencak Sarpo Krodo (Ular Marah), kedua lengannya menyambar-nyambar dan gerakannya mirip dua ekor ular yang mengamuk dan semua gerakan ini masih diperkuat lagi oleh tendangan-tendangan kakinya yang panjang dan kuat. Diam-diam Ki Sinduwening kagum. Raksasa muda ini memang memiliki kedigdayaan yang hebat.

   Melihat kehebatannya, memang dia pantas untuk dijadikan seorang senopati perang, juga pria dengan kedigdayaan seperti inilah yang pantas menjadi mantunya. Akan tetapi ada satu kekurangan dan halangan yang agaknya tidak memungkinkan hal itu terjadi, ialah bahwa Mawarsih tidak menyukainya. Menyerahkan puteri tunggalnya untuk menjadi isteri seorang pria yang tidak disukainya, sama saja dengan menyerhkan seekor domba kepada seorang jagal. Ki Sinduwening juga mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menggagalkan usaha Malangkoro keluar dari sayembara sebagai pemenang yang berhak memperisteri Mawarsih. Dia menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengimbangi lawan. Aji Hasta Legawa (Tangan Tangkas) dia mainkan dengan cepat, membuat tubuhnya berkelabatan dan kedua tangannya seolah berubah menjadi enam!

   Penonton terbelalak dan merasa tegang menyaksikan perkelahian yang demikian serunya. Baru sekali ini mereka menonton pertandingan yang benar-benar hebat karena kemarin para lawan Malangkoro sama sekali tidak mampu mengimbangi kedigdayaan raksasa itu. Akan tetapi sekarang, dia bertemu tanding yang memiliki kesaktian seimbang. Papan panggung sampai berderak-derak menahan gerakan kaki kedua orang yang sakti mandraguna itu dan belasan jurus terlewat tanpa ada yang terdesak, apa lagi kalah. Malangkoro mampu membendung hujan serangan yang dilakukan Ki Sinduwening karena kecepatannya itu itu dengan memutar kedua lengannya menjadi perisai tubuhnya.

   Para penabuh gamelan juga menabuh dengan gencar dan penuh semangat. Tentu saja mereka semua berpihak kepada Ki Sinduwening. Tukang gendang menabuh gendangnya bertalu-talu dan jelas bahwa pukulan gendangnya mengikuti gerakan Ki Sinduwening membuat Malangkoro merasa khawatir juga. Dia tidak pernah mampu memukul lawan, hampir tidak sempat memukul karena lawan demikian cepat gerakannya. Serangan lawan datang bertubitubi sehingga dialah yang harus sibuk menangkis dan mengelak, tidak sempat membalas. Kalau dilanjutkan seperti ini, bagaimana di akan mampu menang, pikirnya.

   Diam-diam dia berganti siasat. Dia mengerahkan aji kekebalannya, kemudian sengaja bergerak lambat untuk memancing serangan lawan yang akan disambutnya dengan kekebalan, akan tetapi pada saat yang sama, dia dapat membalas serangan lawan. Melihat lawan mengendur dan gerakannya agak lambat, Ki Sinduwening mengira bahwa lawannya mulai bingung dengan desakannya yang mengandalkan kecepatan. Diapun mengerahkan tenaga pada tangan kanan lalu menyerang dengan hantaman keras pada dada yang bidang itu.

   "Haiiiiitt". Des""..!!"

   Tangan kanannya bertemu dada yang keras dan kenyal seperti karet sehingga tangannya mental kembali, dan pada saat itu, hanya selisih satu detik, pada saat tangannya memukul, Malangkoro yang memasang dada untuk dipukul, juga menggerakkan tangan menampar, ke arah lengan lawan. Ki Sinduwening sempat manarik leher dan kepala ke balakang, akan tetapi pukulan itu masih mengenai pundak kirinya.

   "Desss""..!!"

   Dua pukulan itu datang dalam waktu hampir bersamaan, dan akhirnya, tubuh Malangkoro bergoyang-goyang, akan tetapi tubuh Ki Sinduwening terhuyung ke belakang sampai tiga langkah!

   Mawarsih menahan jeritnya. Tahulah gadis ini bahwa dalam hal kekebalan, ayahnya kalah oleh raksasa itu. Bukan main! Pada hal ayahnya memiliki kekebalan yang amat kuat. Pertandingan dilanjutkan dan agaknya Ki Sinduwening juga merasa penasaran sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk memukul lagi, dan juga mengerahkan kekebalannya. Malangkoro menyambutnya seperti tadi, menerima pukulan dan membalas. Keduanya memang sama-sama kebal sehingga pukulan masing-masing tidak sampai merobohkan lawan. Akan tetapi jelas nampak bahwa Malangkoro lebih kuat. Pukulan Ki Sinduwening hanya membuat dia goyah sedikit, sebaliknya, pukulannya membuat Ki Sinduwening selalu tergetar dan terhuyung.

   Selain kalah tenaga, juga Ki Sinduwening kalah dalam daya tahan dan pernapasannya karena usia. Maka, dalam pertandingan pukul memukul yang membuat penonton melongo saking kagum dan membuat para penabuh gamelan semakin bersemangat itu, di mana dia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk melindungi tubuh dengan kekebalan, akhirnya Ki Sinduwening kehabisan tenaga, sedangkan lawannya masih segar! Dengan tenaga yang dipusatkan kepada kedua tangannya, Ki Sinduwening kini mengerahkan semua kekuatannya, menghantam ke arah dada Malangkoro sambil mengeluarkan bentakan nyaring.

   "Hyaaaaattt"""

   Desss"""!!"

   Hebat sekali pukulan ini, dan sekali ini, tubuh Malangkoro terhuyung ke belakang sampai lima langkah! Tentu saja mereka yang berpihak kepada Ki Sinduwening, bersorak melihat ini. Akan tetapi, tiba-tiba Malangkoro menerjang ke depan, kakinya menendang dibarengi bentakan nyaring dan disusul dorongan kedua tangan.

   "Desss""!!"

   Dan tubuh Ki Sinduwening terlempar dan jatuh di dekat Mawarsih.

   "Bapa"".!!"

   Mawarsih cepat menubruk ayahnya. Ki Sinduwening tidak terluka parah, hanya terengah-engah kehabisan napas dan tenaga dan membiarkan dirinya dipapah kembali ke tempat duduknya. Dengan sedih dia berbisik kepada puterinya.

   "Mawar, dia terlalu tangguh".. aku tidak mampu menandinginya""."

   "Jangan khawatir, bapa. Aku akan membujuk dia tidak melanjutkan kehendaknya memperisteriku dan hanya mau menjadi senopati Mataram. Kalau dia memaksa, akan kulawan sampai aku tewas di atas panggung."

   "Mawar""""

   "Hanya itulah petunjuk dari Gusti, bapa."

   Setelah berkata demikian, Mawarsih melompat ke atas panggung, disambut tepuk sorak para penonton. Dengan tubuh basah dan berkilauan karena keringat, Malangkoro berdiri menyambut datangnya Mawarsih dengan senyum lebar. Sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia melihat gadis jelita yang berdiri dengan gagahnya di depannya itu. Mawarsih memang nampak gagah dan cantik jelita.

   "Diajeng Mawarsih, tidak ada hal yang lebih memberatkan hatiku dari pada harus bertanding melawan paman Sinduwening dan andika. Oleh karena itu, lebih baik andika mengalah dan aku akan meminangmu menjadi calon isteriku, tanpa harus bertanding lagi."

   "Malangkoro, jangan engkau mengira bahwa kemenanganmu ini sudah mutlak. Masih ada aku di sini yang akan menandingimu. Malangkoro, engkau memang cukup digdaya dan patut untuk menjadi senopati Mataram, akan tetapi untuk menjadi jodohku, terus terang saja aku tidak dapat menerimanya. Engkau bukan jodohku, dan aku tidak suka menjadi isterimu. Nah, kalau engkau mau melepaskan keinginanmu untuk memperisteri aku, kita tidak perlu bertanding dan engkau kan menjadi senopati."

   "Aih, bagaimana mungkin begitu?"

   Malangkoro memprotes.

   "Aku memasuki sayembara ini justru karena ingin memperisterimu, diajeng."

   "Kalau engkau kukuh, aku akan menandingimu sampai aku mati di sini."

   Mawarsih berkata.

   "Engkau atau aku yang akan menggeletak menjadi mayat di panggung ini."

   Pada saat itu terdengar suara dari bawah panggung.

   "Tahan dulu! Mawarsih ada aku yang akan mengikuti sayembara, belum saatnya puteri yang disayembarakan maju sendiri!"

   Dan seorang pemuda naik ke panggung itu melalui anak tangga, tidak meloncat seperti para peserta lain. Semua orang memandang, juga Mawarsih dan seketika wajah gadis ini berubah kemerahan.

   "Kakang Aji"".!"

   Tanpa disadarinya, seruan ini berhambur keluar dari mulut Mawarsih, dan langsung muncul dari lubuk hatinya. Pemuda itu menghadapi Mawarsih dan tersenyum.

   "Peserta sayembara yang lain masih ada, mengapa andika maju sendiri? Harap meninggalkan panggung dan biar aku yang menghadapi Rahwana ini."

   Mawarsih terbelalak.

   "Rahwana?"

   Rahwana atau Dasamuka adalah raja raksasa di Alengkadiraja, seorang raja besar yang sakti mandraguna dan angkara murka. Akan tetapi ia segera mengerti maksudnya dan wajahnya semakin merah. Tentu pemuda itu menganggap ia Dewi Sinta yang hendak diperisteri raja raksasa Rahwana itu. Secara tidak langsung, ucapan itu merupakan pujian bagi dirinya yang dianggap Dewi Sinta!

   "Kakang Aji, dia"""

   Dia itu digdaya sekali"".."

   Timbul kegelisahannya ketika ia teringat betapa Aji hanya seorang pemuda yang pemberani dan cerdik, akan tetapi tidak memiliki kedigdayaan sehingga kalau harus bertanding melawan Malangkoro, sama saja dengan membunuh diri. Akan tetapi di samping kekhawatirannya akan keselamatan pemuda itu, jantungnya tergetar hebat karena suka cita.

   Ternyata pemuda yang diharap-harapkannya itu benar-benar telah muncul dan hendak membelanya! Ki Sinduwening juga berseri wajahnya ketika dia melihat pemuda itu, akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya dan timbul kegelisahan hati yang sama dengan puterinya ketika dia teringat bahwa pemuda itu bukan seorang yang digdaya. Adapun para penonton menjadi terheran-heran melihat munculnya peserta sayembara yang baru muncul setelah pertandingan mencapai babak terakhir. Tidak ada di antara para penonton yang mengenal pemuda itu, akan tetapi melihat betapa Mawarsih bersikap akrab dan agaknya telah mengenal pemuda itu dengan baik, semua orang memandang penuh perhatian. Seorang pemuda yang masih muda, berusia dua puluhan tahun yang bertubuh sedang tegap, tidak membayangkan kekuatan, berkulit agak hitam manis, pakaiannya sederhana, namun wajah yang hitam manis itu tampan dan gagah, teruatam sekali mulutnya yang banyak senyum dan matanya yang kadang mencorong tajam.

   "Mas ayu""."

   Kata Banuaji dan mendengar sebutan ini, Mawarsih mengerutkan alisnya. Pemuda ini selalu merendahkan diri! "Silakan andika mundur, biar aku yang melayani raksasa ini."

   Biarpun ucapan itu lembut, dan hormat, namun ada sesuatu dalam nada suaranya yang tak dapat dibantah. Mawarsih lalu mengundurkan diri, duduk di dekat ayahnya dan tanpa disadarinya, jari-jari tangannya menggenggam lengan ayahnya.

   Ki Sinduwening tersenyum dan berbisik "Mudah-mudahan penilaian kita terhadapnya keliru dan dia akan mampu mengatasi keadaan."

   Mawarsih hanya mengangguk lemah, tidak pernah menoleh, tidak pernah mengalihkan pandang matanya dari atas panggung di mana kini Banuaji berhadapan dengan Malangkoro. Dia seperti melihat seorang raksasa yang kokoh kuat berhadapan dengan seorang remaja yang lemah. Akan tetapi, bantah hatinya, bukankah raksasa sebesar bukit kalah oleh Sang Arjuna yang nampak lemah lembut!? Bukankah Rahwana pernah dibuat tak berdaya menghadapi Ramawijaya yang lemah lembut dan kecil pula dibandingkan raksasa itu. Mudah-mudahan begitu, doanya di dalam hati.

   Kini Aji sudah berdiri berhadapan dengan Malangkoro yang menyeringai lebar melihat keberanian pemuda yang nampaknya lemah dan usianya masih amat muda itu. Akan tetapi, hatinya telah berkobar panas karena tadi dia melihat sendiri betapa sikap Mawarsih amat manis kepada pemuda ini. Dia tahu bahwa semua mata dan perhatian kini ditujukan ke atas panggung, maka Malangkoro menahan kemarahannya dan diapun tertawa bergelak, tangan kiri bertlak pinggang, tangan kanan menudingkan telunjuknya ke arah muka Aji.

   "Hoa-ha-ha-ha! Siapakah engkau ini? Bocah ingusan begini ingin menjadi peserta sayembara? Ha-ha, sebaiknya engkau cepat pulang dan bersembunyi di pangkuan ibumu dari pada harus merasakan kuhajar sampai semua tulang di tubuhmu remuk!"

   
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Semua penonton merasa ngeri mendengar ancaman itu. Mereka tahu bahwa Malangkoro dapat melaksanakan ancamannya, bukan sekedar gertakan untuk menakut-nakuti saja. Tak seorangpun menghendaki pemuda yang tampan dan lembut itu menjadi korban kedua tangan yang kokoh kuat itu. Mereka menduga bahwa pemuda itu tentu ketakutan dan akan segera pergi. Akan tetapi pemuda itu bersikap sebaliknya dari apa yang mereka duga dan harapkan.

   "Hoa-ha-ha-ha!"

   Aji menirukan cara Malangkoro tertawa terbahak, akan tetapi karena dia seorang pamuda yang gerak-geriknya tidak kasar, juga tubuhnya tidak sebesar tubuh Malangkoro, suara tawa itu sama sekali tidak cocok dengan keadaan dirinya dan terdengar lucu.

   "Malangkoro, aku memang masih muda dan belum menikah, maka sudah sepantasnya kalau aku mengikuti sayembara ini. Akan tetapi engkau? Engkau adalah seorang laki-laki yang sudah mempunyai tiga orang isteri dan lima orang anak, dan mau apa engkau ke sini menjadi peserta sayembara? Sungguh tak tahu malu kau!"

   Semua orang terkejut mendengar ini, juga Ki Sinduwening dan Mawarsih bangkit berdiri dengan alis berkerut.

   "Malangkoro!"

   Teriak Ki Sinduwening dengan suara penasaran.

   "Benarkah apa yang dikatakan anakmas Banuaji itu bahwa engkau sudah mempunyai tiga orang isteri?"

   Malangkoro memandang kepada Aji dengan mata melotot, kemudian dia menghadapi para penonton lalu berkata dengan lantang.

   "Saudara sekalian menjadi saksi bahwa siapa saja boleh menjadi peserta sayembara asalkan dia tidak mempunyai isteri, demikian syarat para peserta, tidak disebutkan apakah dia perjaka ataukah duda. Dan aku, Malangkoro, akan menjadi duda kalau menang dalam sayembara ini, karena tiga orang isteriku akan kuceraikan. Nah, Paman Sinduwening, bukankah dengan demikian aku juga tidak menyalahi syarat? Aku akan menceraikan tiga orang isteriku dan diajeng Mawarsih menjadi isteri tunggalku!"

   Medengar ucapan ini, Ki Sinduwening tidak dapat membantah lagi karena kalau Malangkoro menceraikan isteri-isterinya dan menjadi duda, tentu saja dia berhak mengikuti sayembara. Diapun terduduk lagi dengan lemas dan bersama puterinya hanya dapat menonton dengan penuh harapan mudah-mudahan Banuaji akan dapat mengatasi raksasa itu.

   "Nah, bocah ingusan. Melihat lagak dan pakaianmu yang berbau pedusunan, engkau tentu seorang bocah desa yang bisanya hany mencangkul dan menggembala kerbau. Sekali lagi kuminta engkau mengaku siapa namamu dan cepat engkau berlutut menyembah dan minta maaf padaku atau aku akan mematahkan kedua pasang tulang lengan dan kakimu, lalu melempar tubuhmu sampai lima puluh tombak dari panggung ini!"

   Kata Malangkoro yang merasa mendapatkan angin setelah mengeluarkan kata-kata lantang tadi.

   "Heh, Malangkoro Buto Galiuk!"

   Bentak Aji dan semua orang tersenyum melihat lagak pemuda itu yang demikian berani, Buto Galiuk adalah seorang raksasa dalam cerita pewayangan yang bertampang buruk dan berwatak lebih buruk lagi.

   "Orang seperti engkau ini mana pantas untuk menjadi suami Mas ayu Mawarsih? Menjadi tukang kudanyapun masih belum pantas. Kalau Mas ayu Mawarsih berjodoh dengan pemuda lain yang sepadan, aku pun tidak berani mencampuri, karena aku hanyalah seorang pemuda dusun yang tidak mempunyai kepandaian apapun. Akan tetapi menjadi isterimu? Ia sendiri tidak suka, bagaimana engkau akan dapat memaksanya? Tidak, kalau engkau yang menjadi pemenang sayembara, aku harus melupakan kebodohanku dan ikut menjadi peserta untuk menggagalkanmu!"

   "Katakan siapa namamu!"

   Bentak Malangkoro yang kini mukanya sudah menjadi merah seperti kepiting direbus saking marahnya.

   "Setelah itu, kalau engkau masih mempunyai saudara atau kawan, suruh mereka semua maju. Ada sepuluh orang macam engkau bocah ingusan ini akan dapat kuhajar semua!"

   "Babo-babo, sumbarmu seperti dapat meruntuhkan gunung dan mengeringkan samudera Malangkoro!"

   Kata Banuaji dan ketika mengeluarkan ucapan itu, lagaknya seperti Sang Gatutkaca sedang berlagak di atas panggung wayang.

   "Aku memang bukan tukang pukul, bukan warok bukan datuk, akan tetapi kalau hanya melawan Buto Galiuk, aku tidak takut!"

   Setelah berkata demikian, Aji berjoget, gerakann-gerakannya lembut seperti seorang ksatria dalam panggung wayang sedang menghadapi seorang raksasa! Tentu saja para penabuh gamelan menjadi geli dan juga gembira bahwa ada seorang pemuda yang berani mempermainkan Malangkoro, maka merekapun mengimbangi gerakan pemuda itu dan menabuh gamelan yang sesuai dengan tariannya! Para penonton menjadi geli dan juga gembira. Seolah-olah yang mereka tonton itu bukan pertandingan sungguh-sungguh, melainkan hanya perkelahian di atas panggung antara seorang ksatria melawan raksasa.

   Melihat dan mendengar semua ini, api kemarahan semakin berkobar di dalam dada Malangkoro. Apa lagi melihat Aji menari-nari di depannya. Matanya melotot, mulutnya berbuih, sepuluh batang jari tangannya bergerak-gerak dan mengeluarkan suara berkerotokan. Mengerikan sekali.

   "Keparat, akan kupatahkan batang lehermu!"

   Teriaknya dan diapun cepat menubruk dengan gerakan terkaman seperti seekor harimau menubruk domba.

   "Wuuut""., barkkk!"

   Bukan Aji yang ditubruknya, melainkan papan panggung karena tiba-tiba saja, dengan gerakan joget yang indah, seperti elakan yang dilakukan Sang Arjuna di atas panggung, Aji sudah menyusup ke kiri pada saat tubuhnya sudah hampir terkena terkaman. Semua penonton bersorak memuji, akan tetapi Ki Sinduwening dan Mawarsih mengerutkan alis mereka. Gerakan Aji itu adalah gerakan tarian, biarpun indah, akan tetapi bagaimana mungkin ilmu menari itu dapat dipergunakan untuk melawan ilmu pencak silat yang keras dan kuat seperti yang dilakukan Malangkoro? Mereka khawatir sekali, akan tetapi orang yang dikhawatirkan itu masih berjoget indah sambil tersenyum mengejek dan mengerling ke arah Malangkoro yang sudah melompat bangun kembali.

   "Auuuurhhhh"""..!"

   Malangkoro mengeluarkan gerengan seperti seekor beruang mengamuk dan kini dengan kedua lengan dikembangkan, dia menubruk, bermaksud menangkap pemuda itu dengan kedua tangannya dan membantingnya atau mematah-matahkan tulangnya.

   "Wuuuttt""..!"

   Dengan gerakan lincah sekali Aji telah menyusup ke bawah ketiak raksasa itu dan telah tiba di belakangnya. Gerakannya demikian tidak teratur, maka tidak terduga-duga dan cepatnya bukan main sehingga Malangkoro tidak sempat mengikuti dengan pandang matanya. Tahu-tahu Aji telah berada di belakangnya dan pemuda itu menggerakkan kaki kanannya menendang, tepat ke arah pantatnya.

   "Bukk"".!"

   Aji berjingkrak memegangi kaki kanannya yang menendang dan berteriak-teriak.

   "Ihh, pantatmu keras dan mengepul kotor!"

   Memang celana yang berdebu itu ketika terkena tendangan mengeluarkan kepulan debu dan Aji menutupi hidungnya dengan tangan.

   "Wah minta ampun baunya"".!"

   Tentu para penonton bersorak dan tertawa geli melihat adegan itu, bukan hanya geli karena lucu, melainkan juga merasa puas bahwa siraksasa sekarang ada yang mempermainkannya. Akan tetapi Ki Sinduwening dan Mawarsih, biarpun merasa senang dan geli juga, masih saja merasa khawatir. Apa yang dilakukan Aji itu masih belum menjadi bukti bahwa pemuda itu memiliki kedigdayaan. Mungkin hanya dapat bergerak lincah saja dan sedang beruntung. Kalau memang berkepandaian, mengapa menendang pantat lawan malah kesakitan sendiri? Dengan menggereng marah Malangkoro membalik dan kini dia menyerang bertubi-tubi dengan kedua tangannya. Akan tetapi, semua orang tertawa terpingkal-pingkal karena semua serangannya itu luput dan Aji sudah berloncatan dan berlarian ke seputar tepi panggung.

   Malangkoro mengejar, dan Aji terus berlari, kalau dipukul dia mengelak dengan loncatan seperti seekor domba muda yang bermain-main, loncatannya aneh dan lucu akan tetapi selalu dapat menghindarkan pukulan atau tendangan lawan. Malangkoro semakin marah dan kedua orang itu berkejaran di atas panggung, kedua kaki Malangkoro mengeluarkan suara berdembam-dembam saking berat badannya. Ketika Aji ditendang lagi, dia melompat ke depan dan terdengar suara berkeretak katika kakinya tiba di atas panggung lagi, akan tetapi dengan lincahnya dia meloncat lagi ke samping sehingga tendangan Malangkoro kembali luput. Aji menyeringai lalu menjulurkan lidahnya mengejek Malangkoro dan berkata,

   "Apakah kemampuanmu hanya memukul dan menendang angin saja, Buto Galiuk? Kalau hanya begitu, anak kecilpun bisa!"

   Melihat dan mendengar ejekan itu, Malangkoro marah bukan main dan diapun meloncat ke depan untuk menubruk. Aji melangkah mundur ketika kaki Malangkoro turun dan "braaaaakkk"".!!"

   Papan panggung itu jebol. Kaki Malangkoro yang besar dan membawa tubuhnya yang berat itu menimpa bagian papan yang tadi retak terinjak kaki Aji sehingga papan itu tidak dapat menahan beban yang demikian berat dan kuatnya. Kaki kanan Malangkoro terjeblos ke bawah menembus papan yang jebol sampai sebatas paha! Ketika Malangkoro meronta dan berusaha melepaskan kakinya dari jepitan papan pecah. Aji sudah bergerak cepat mendekatinya dan sekali tangannya bergerak, Malangkoro berteriak kesakitan sehingga mengejutkan dan mengherankan semua orang.

   Bagaimana mungkin Malangkoro yang kebal dan kuat itu kini menjerit kesakitan? Akan tetapi setelah semua orang memandang penuh perhatian, meledaklah suara tawa mereka. Kiranya dengan cepat sekali tadi Aji telah menyambar dan merenggut kumis Malangkoro yang tebal panjang dan akibat renggutan itu, kumis sebelah kiri raksasa itu jebol dan kulit di bawah hidungnya itu berdarah! Agaknya, tidak mudah untuk mengembalikan kulit yang ditumbuhi kumis itu! Dan Aji tahu bahwa bagian itu merupakan satu di antara bagian yang lemah dari lawan.

   Mawarsih ikut bertepuk tangan melihat betapa Aji mempermainkan Malangkoro. Akan tetapi, Ki Sinduwening tetap mengerutkan alisnya. Biarpun nampaknya saja Aji mempermainkan Malangkoro, akan tetapi semua itu bukan karena Aji memiliki kedigdayaan, melainkan dia hanya memiliki keberanian, kecerdikan, kecepatan bergerak seperti menari, dan sedang beruntung saja. Kalau pertandingan itu dilanjutkan, akhirnya Aji akan terancam bahaya maut yang mengerikan karena Malangkoro sekarang menjadi marah seperti kerbau gila.

   "Mawarsih, aku khawatir sekali. Malangkoro semakin marah dan dapat mata gelap. Aji terancam bahaya maut."

   Kata Ki Sinduwening lirih kepada puterinya.

   Wajah Mawarsih yang tadinya berseri itu kini menjadi agak muram karena ia maklum apa yang menjadi kekhawatiran ayahnya. Ia pun dapat melihat bahwa pemuda yang selalu dikenangnya itu bukan seorang laki-laki yang memiliki kedigdayaan walaupun memiliki kegesitan dan kelincahan, juga kecerdikan luar biasa. Dan iapun tahu bahwa Malangkoro marah bukan main dan tentu akan membunuh Aji apabila raksasa itu dapat menangkapnya. Sekali saja terkena pukulan atau tendangan raksasa itu, bagaimana mungkin Aji akan mampu menahannya?

   "Bapa, apakah tidak lebih baik pertandingan itu dihentikan saja?"

   Tanyannya dengan suara penuh kegelisahan.

   "Kalau kuhentikan, sama saja dengan pengakuan kalah bagi Banuaji,"

   Kata ayahnya.

   "Biarlah aku yang akan menandinginya, bapa."

   Kata Mawarsih dengan suara yang membuat ayahnya merasa ngeri.

   Dia tahu bahwa anaknya telah mengambil keputusan untuk menang atau mati di panggung! Pada saat itu, Malangkoro sudah menyerang dengan amat dahsyat. Semua orang memandang dengan khawatir. Ada sesuatu yang menyeramkan terjadi ketika semua orang melihat ada gumpalan seperti asap hitam berputar-putar mendahului serangan Malangkoro.

   "Ini tidak wajar"".!"

   Bisik Ki Sinduwening dan Mawarsih mencengkeram lengan ayahnya saking tegang dan ngeri hatinya. Ia melihat betapa Aji terbelalak melihat asap hitam yang berputar-putar menyerang dirinya itu, disusul serangan Malangkoro! Akan tetapi, Mawarsih merasa heran melihat betapa wajah Banuaji yang tadinya nampak terkejut itu, kini tersenyum dan sebelum serangan itu mengenai dirinya, Aji berseru nyaring sehingga terdengar oleh semua orang.

   "Malangkoro, aku tidak tahan bau keringatmu!"

   Dan tiba-tiba saja tubuhnya melayang turun dari atas panggung dan tepat menimpa diri seorang kakek yang sedang menonton di bawah panggung sambil duduk bersila. Kakek itu tadi duduk bersila dan merangkap kedua tangan depan dada seperti sedang melakukan sebah atau sedang tekun dalam samadhi sehingga tentu saja mengherankan semua orang bagaimana ada penonton yang bersamadhi di situ? Ketika tubuh Aji melayang turun, tubuh itu menimpa kakek ini sehingga terpelanting. Kakek itu terkejut dan terbelalak, dan menyeringai memandang Aji yang sudah bangkit dan pemuda ini berloncatan pergi meninggalkan tempat itu! Mawarsih terisak. Ki Sinduwening menepuk-nepuk pundaknya.

   "Lebih baik begitu dari pada melihat dia tewas secara mengerikan di tangan Malangkoro,"

   Bisik ayah itu yang merasa iba sekali kepada puterinya.

   "Bapa, sekarang aku yang akan menandinginya!"

   Kata Mawarsih sambil menghapus air matanya. Harapannya untuk berjodoh dengan Banuaji yang dicintainya telah lenyap, dan satu-satunya jalan baginya hanyalah mengadu nyawa dengan Malangkoro!

   "Nanti dulu, lihat itu siapa yang naik ke atas panggung,"

   Kata ayahnya. Semua orang juga melihat betapa ada orang yang naik ke atas panggung dan ketika melihat bahwa yang naik ke panggung itu hanyalah seorang anak laki-laki yang usianya baru tiga belas tahun, tentu saja semua orang menjadi terheran-heran.

   "Bayu""., dia"..dia Bayu""..!"

   Kata Mawarsih yang juga terbelalak heran.

   "Bayu, siapa dia?"

   Ayahnya bertanya.

   "Lupakah bapa kepada anak penggembala di dusun Sintren itu? Dialah Bayu, penggembala kerbau yang pandai meniup suling dan dia".. dia yang memperkenalkan aku kepada kakang Aji"""

   Akan tetapi kini ayah dan anak itu menghentikan percakapan dan mereka berdua memandang penuh perhatian kepada Bayu yang berhadapan dengan Malangkoro! Tentu saja Malangkoro juga terheran-heran. Dia tadi sempat terkejut dan bertambah marah melihat betapa Aji yang melompat keluar panggung itu menimpa tubuh gurunya! Akan tetapi kemerahan itu terpaksa ditahannya karena Aji sudah melarikan diri dengan cepat, apa lagi dia melihat bahwa gurunya itu tidak terluka parah. Hanya diam-diam dia merasa heran bagaimana gurunya yang sakti itu yang tadi membantunya dengan pengerahan ilmu hitam yang menimbulkan asap hitam berpusing, dapat tertimpa begitu saja sehingga terpelanting oleh Aji! Tadinya dia sudah hendak menuntut kepada Ki Sinduwening agar dia dinyatakan menang ketika tiba-tiba seorang bocah naik ke panggung itu.

   "Heh, kamu anak kecil mau apa naik ke panggung ini?"

   Bentak Malangkoro, lebih merasa heran dari pada marah. Anak kecil itu memang Bayu yang dulu pernah dikenal Mawarsih sebagai penggembala kerbau, keponakan lurah Pancot yang tampan, lugu dan bermata cerdik, juga lincah pandai meniup suling.

   "Aku hanya menjadi utusan, aku disuruh seseorang untuk menyampaikan tantangannya kepadamu!"

   Terdengar suara anak itu lantang dan semua orang memandang heran, juga kagum karena anak itu sama sekali tidak kelihatan takut berhadapan dengan Malangkoro yang menyeramkan itu.

   "Siapa orangnya yang berani menantangku!"

   Bentak Malangkoro yang matanya menyapu sekeliling panggung, seolah hendak menantang setiap orang.

   "Dia akan datang ke sini, dan dia mengatakan bahwa andika tidak patut untuk menjadi mantu Gusti Senopati Ki Sinduwening. Dia menganjurkan agar andika menghentikan keinginan untuk menjadi mantu beliau dan sebaliknya masuk menjadi perajurit untuk membantu Mataram menundukkan pemberontakan di timur."

   Malangkoro terbelalak marah.

   "Bocah lancang, minggatlah dan suruh manusia sombong itu naik ke sini!"

   Berkata demikian, Malangkoro melangkah maju dan menendang ke arah tubuh Bayu, Mawarsih terkejut dan hendak meloncat, akan tetapi dicegah ayahnya karena sudah terlambat. Dan begitu kaki yang besar panjang itu menyambar, dengan gerakan lincah sekali Bayu melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik tiga kali di atas papan panggung, kemudian dengan indah sekali dia meloncat turun dari atas pangung, juga dengan jungkir balik. Tentu saja gerakan yang indah ini disambut tepuk sorak para penonton dan Mawarsih tertegun. Bagaimana mungkin bayu yang dikenalnya sebagai penggembala kerbau yang lugu itu kini memiliki ilmu meringkan tubuh seperti itu?

   "Wah, gerakan anak itu menunjukkan bahwa dia murid seorang sakti. Gerakannya lebih hebat dibandingkan anakmas Banuaji!"

   Kata Ki Sinduwening. Akan tetapi dia dan Mawarsih tidak sempat lagi bicara karena pada saat itu nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di atas panggung telah berdiri seorang yang membuat Mawarsih mencengkeram lengan ayahnya.

   "Bapa"., dia datang".., dia datang"..!!"

   Semua orang memandang dengan heran dan suasana menjadi tegang dan aneh karena yang muncul di panggung adalah seorang yang aneh penuh rahasia, seorang berpakaian serba hitam dan mengenakan kedok hitam pula.

   "Hemm, Si Kedok Hitam, dia muncul juga"".?"

   Ki Sinduwening berbisik dan dia merasa bersyukur demi puterinya. Setelah Banuaji tadi melarikan diri karena tidak kuat menanggulangi amukan Malangkoro, kini muncul Si Kedok Hitam, orang ke dua setelah Banuaji yang diharap-harapkan puterinya.

   Kalau saja dia tidak muncul dengan pakaian dan kedok hitam, agaknya orang yang kini berhadapan dengan Malangkoro juga tidak mendatangkan kesahebat. Orangnya bertubuh sedang-sedang saja. Akan tetapi karena berkedok, maka semua memandang dengan hati tegang, apa lagi kemunculannya tadi sudah membuktikan bahwa dia bukan orang biasa. Dia dapa bergerak demikian cepatnya sehingga seolah-olah pandai menghilang dan tahu-tahu telah berada di atas panggung pada saat semua orang bertepuk sorak menyambut cara anak tadi menghindarkan diri dari tendangan Malangkoro dengan cara melompat dan berjungkir balik sampai turun dari atas panggung. Kini, kedua orang itu saling berhadapan dan Malangkoro agaknya juga menyadari bahwa dia berhadapan dengan seorang aneh yang memiliki kedigdayaan.

   "Kisanak, bukalah kedokmu dan perlihatkan siapa dirimu dan apa maksudmu naik ke panggung ini! Kata Malangkoro tegas untuk menaikkan kesan wibawanya. Dari balik kedok itu terdengar suara yang lembut namun mantap dan mengandung wibawa yang kuat.

   "Malangkoro, hentikan angkara murkamu ini dan kembalilah ke jalan yang benar sebagai seorang yang digdaya,"

   Kata-kata itu singkat, namun mengandung bujukan dan juga teguran. Malangkoro tersenyum mengejek.

   "Hemm, orang yang menyembunyikan diri di balik kedok berarti takut menghadapi kenyataan dan seorang pengecut. Kenapa engkau menegur aku? Apa halmu untuk menegurku? Dan siapa mengatakan bahwa aku menyimpang dari jalan benar, bahwa aku angkara murka? Aku adalah peserta sayembara yang sah, yang mengalahkan semua lawanku dalam pertandingan sayembara ini dengan cara yang sah pula."

   "Malangkoro, engkau seorang yang sakti mandraguna, apakah kesaktianmu itu hanya untuk pamer dan untuk memaksa orang menjadi isterimu? Ingat, Mataram sedang membutuhkan tenaga bantuan orang-orang seperti andika ini. Kenapa harus memperebutkan seorang wanita? Apa lagi kalau wanita itu tidak sudai menjadi isterimu. Kalau dipaksa, apakah kelak tidak hanya mendatangkan kepahitan dalam hidupmu. Sadarlah, Malangkoro. Biarpun engkau telah memenangkan sayembara ini, namun puteri yang disayembarakan tidak suka menjadi isterimu. Sebaiknya engkau mundur secara ksatria dan mengabdikan dirimu kepada Mataram sehingga namamu akan dihormati dan dihargai seluruh rakyat."

   "Babo-babo!"

   Malangkoro kini bertolak pinggang.

   "Engkau bersikap dan berbicara seolaholah engkau ini guruku, penasihatku atau orang tuaku. Aku hendak melakukan apa yang kusukai, apa pedulimu? Kalau memang engkau merasa penasaran dan ingin menjadi peserta sayembara, lebih baik mengaku terus terang dari pada harus bicara berbelit-belit!"

   "Baiklah, kalau begitu mari kita bertanding dengan taruhan, bahwa kalau andika tidak dapat menandingi aku dan kalah, andika harus mundur dari sayembara ini dan mendaftarkan diri sebagai perajurit Mataram."

   "Kalau engkau yang kalah ?"

   Kata Malangkoro.

   "Kalau aku yang kalah olehmu, terserah kepada yang mengadakan sayembara, aku tidak akan mencampuri lagi."

   Jawab Si Kedok Hitam,

   "Tidak cukup begitu saja, enak engkau kalau begitu. Kalau engkau kalah, engkau harus membuka kedokmu dan memperkenalkan diri kepada semua orang. Bagaimana?"

   "Baik, aku terima syarat itu!"

   Kata Si Kedok Hitam.

   "Nah, mari kita mulai, Malangkoro!"

   Malangkoro melirik ke kiri di mana gurunya, Danyang Gurita, duduk bersila. Dia dapat menduga bahwa Si Kedok Hitam ini seorang lawan yang tangguh, maka dia mengharapkan bantuan gurunya. Dan melihat gurunya itu memandang kepadanya dan mengangguk. Gurunya adalah seorang ahli ilmu sihir, ilmu hitam dan dengan ilmunya itu, diam-diam Danyang Gurita dapat membantunya dan mempengaruhi lawannya.

   "Heiiiittt"". yahhh""..!!"

   Malangkoro sudah mengerahkan tenaga dan mulai menyerang. Memang mengagumkan sekali raksasa ini. Sejak kemarin, dia sudah bertanding melawan banyak orang dan selalu menang, dan agaknya dia tidak pernah menjadi letih, tenaga dan napasnya tidak pernah berkurang. Begitu menyerang, dia telah mengerahkan aji kesaktiannya dan kedua tangan terbuka itu mendorong ke arah Si Kedok Hitam. Agaknya, orang berkedok ini ingin pula mengakhiri pertandingan itu dalam waktu singkat, maka begitu melihat lawannya menyerangnya dengan dorongan tenaga sakti diapun merendahkan tubuh dengan menekuk sedikit kedua lututnya, kemudian diapun mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan lawan.

   "Plakk!"

   Dua pasang tangan bertemu dan keduanya terdorong ke belakang,lalu mereka mendorong lagi dan kedua tangan bertemu lagi untuk kedua kalinya.

   

Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini