Kidung Senja Di Mataram 15
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
"Bapa"".!"
Dan raksasa itu menangis, lalu lari menubruk jenazah kakek itu.
Semua orang memandang heran, tidak menyangka sama sekali seorang raksasa tinggi besar yang segala-galanya nampak kasar dan keras, kini dapat menangis seperti anak kecil, menangisi kematian gurunya. Semua orang merasa terharu. Kiranya Malangkoro memiliki perasaan lemdan jelaslah bahwa semua yang dilakukannya selama ini adalah karena pengaruh gurunya. Bayu yang merasa gemas melihat Malangkoro, menghampiri raksasa yang mengguguk sambil memeluk jenazah gurunya itu dengan batu besar di tangan, tentu berniat untuk menghantamkan batu itu kepada kepala si raksasa. Akan tetapi tangan lembut Mawarsih menahannya. Ketika Bayu menoleh, dara itu menggelengkan kepala, melarang perbuatan Bayu yang terpaksa melempar batunya.
"Malangkoro, lihatlah betapa gurumu telah menyeleweng dari pada kebenaran dan dia roboh dan tewas oleh pukulannya sendiri. Angkara murka selalu mendatangkan malapetaka kepada diri sendiri. Masih belum terlambat bagimu untuk menyadari kekeliruan langkah gurumu dan memperbaikinya."
Malangkoro menahan tangisnya.
"Aku menyerah kalah dan kalian boleh membunuhku."
"Kami tidak akan membunuhmu, Malangkoro, bahkan kami girang kalau andika suka membantu Mataram."
Kata Mawarsih.
"Tidak, aku hanya mempunyai sebuah permintaan. Kalau boleh, aku akan membawa pergi jenazah bapa guru, dan aku berjanji tidak akan membantu Ponorogo, tidak akan mencampuri urusan perang antara Mataram dan Ponorogo. Kalau kalian tidak setuju dan hendak membunuhku, silakan!"
Mawarsih memandang kepada Aji dan Aji mengangguk, ketika Mawarsih memandang kepada Kedok Hitam, diapun mengangguk tanda setuju.
Mawarsih menghela napas panjang. Sebetulnya, dia belum yakin benar akan ketulusan hati Malangkoro, orang yang sudah terbiasa dengan kehidupan angkara murka, akan tetapi karena Banuaji dan Kedok Hitam sudah menyetujui, ia pun berkata.
"Baiklah, pergi bawa jenazah gurumu, Malangkoro."
Malangkoro mengangkat jenazah gurunya, lalu melangkah pergi dengan langkah lebar dan cepat, seolah dia takut kalau-kalau mereka semua akan mengubah keputusan dan menghalanginya.
"Semua sudah beres, selamat tinggal!"
Kedok Hitam berkata dan sekali berkelebat, dia telah meloncat jauh sekali.
"Tunggu"".!"
Mawarsih berseru, akan tetapi Kedok Hitam seperti tidak mendengar. Kalau saja di situ tidak ada Aji, tentu Mawarsih akan mencoba untuk mengejar. Akan tetapi, kehadiran Aji membuat ia merasa tidak enak dan malu sendiri kalau harus mengejar Si Kedok Hitam. Diam-diam ia merasa kecewa dan juga jengkel kepada Aji yang dianggap menghalanginya, pada hal tadi terbuka kesempatan baik sekali untuk ia dapat bicara dengan Kedok Hitam! Karena itu, ia mengerutkan alisnya dan menjadi murung. Tentu saja kini ia dapat merasa bahwa di dalam hatinya, ia memilih Kedok Hitam yang benar-benar amat digdaya. Kalau tidak ada Kedok Hitam kembali ia terancam bahaya yang amat mengerikan, bahkan Aji dan Bayu tentu tewas di tangan Malangkoro dan Danyang Gurita.
Entah sudah beberapa kali Kedok Hitam menyelamatkan nyawanya dan biarpun Aji pernah menolong ia dan ayahnya, namun dibandingkan dengan pertolongan yang diberikan Kedok Hitam, maka pertolongan Aji itu bukan apa-apa. Melihat sikap Mawarsih, Banuaji mengerutkan alisnya lalu tersenyum menutupi hati yang iri dan cemburu karena jelas bahwa Mawarsih gandrung kepada Si Kedok Hitam! Diapun lalu melangkah meninggalkan Mawarsih sampai belasan langkah, membelakangi dara itu lalu terdengar dia menembang dengan suaranya yang lembut dan merdu dengan kidung Pangkur.
(Lanjut ke Jilid 15)
Kidung Senja Di Mataram (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
"Rasane yen nandang branta pamurihe namung tyas basuki kayungyun satria luhung sadonya namung sajuga angga lemes rasane yen lagi wuyung sanajan dan tinggal lunga saya angles jroning ati."
Tembang itu bermakna: Rasanya kalau sedang berahi, keinginannya hanya berbahagia, terpikat satria agung, sedunia hanya satu, badan lemas rasanya kalau sedang rindu, biarpun ditinggal pergi, makin haru di dalam hati. Mawarsih merasa benar akan sindiran dalam kidung itu, maka wajahnya menjadi merah padam.
Ia adalah seorang wanita yang gagah, tidak suka sindir-menyindir, maka ia langsung menghampiri Aji yang setelah bertembang berdiri memandang jauh, lalu berkata lantang.
"Kakangmas Aji, kenapa andika menyindirku dalam tembang tadi?"
Aji memutar tubuh menghadapi dara itu, wajahnya berseri penuh senyum, dan dia berkata.
"Diajeng Mawarsih, siapa yang menyindir? Aku bertembang tentang keadaan orang yang sedang merindukan kekasih, dan tentu saja yang merasa tersindir hanyalah orang yang sedang rindu. Apakah andika sedang rindu, diajeng, maka menganggap aku menyindir?"
Wajah ayu itu semakin merah, akan tetapi sinar matanya menantang. Bagi Mawarsih, kiranya tidak perlu lagi ia bersembunyi dari kenyataan perasaan hatinya. Pula, akan tidak adil bagi Aji kalau ia tidak berterus terang saja.
"Memang benar, kakangmas Banuaji."
Katanya dengan suara tegas.
"Aku sebagai seorang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, harus memegang janji, setia kepada janji sendiri. Aku sudah berjanji, bahkan berikrar dalam bentuk sayembara, bahwa aku hanya mau berjodoh dengan seorang satria yang lebih sakti dibandingkan aku dan ayahku. Dan sudah jelas bahwa Si Kedok Hitam itu lebih sakti dari pada aku atau ayah, atau dirimu sekalipun. Tidakkah sudah wajar kalau aku mengharapkan dia menjadi calon jodohku?"
Mendengar kata-kata yang jujur ini, juga mengandung kemarahan karena kidungnya tadi. Aji tersenyum pahit. Dia merasa betapa hatinya semakin tidak enak. Terang-terangan dara itu mengatakan bahwa dia tidak pantas menjadi jodohnya, dan yang pantas adalah Si Kedok Hitam! Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan rasa tidak enak hati ini, bahkan lalu sengaja hendak mengoda labih jauh lagi.
"Heii, Bayu, apakah engkau juga mendengarnya tadi? Sahabat kita yang baik ini, dara perkasa yang dahulu kita kenal berdiam di lereng Lawu, dan kini telah menjadi puteri senopati Ki Sinduwening yang sakti, sahabat kita itu menolak pinangan banyak sekali pemuda-pemuda perkasa dan tampan, karena ia memilih seorang yang tidak jelas keadaan dirinya, entah laki-laki entah perempuan, entah bagaimana wajahnya, hanya karena orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi."
"Aku pun merasa heran sekali, kakang Aji. Mbakayu Mawarsih demikian cantik jelita, ayu dan manis. Bagaimana kalau orang yang dicintanya itu, setelah kedoknya dibuka, ternyata seorang kakek-kakek yang usianya sudah tujuh puluh lima tahun?"
Kata Bayu.
"Wah, tidak tahulah aku, Bayu. Akan tetapi ia seorang wanita yang gagah perkasa, tentu berani bertanggung jawab atas keputusan yang telah diambilnya. Sebaiknya mulai sekarang kita memberi selamat kepadanya, Bayu!"
"Kau benar, kakang Aji. Mbakayu Mawarsih, aku menghaturkan selamat atas pilihanmu itu. Semoga Si Kedok Hitam bukan kakek-kakek yang hampir seabad usianya, semoga diapun masih muda belia dan tampan seperti kakangmas Aji ini."
"Akupun mengucapkan selamat, diajeng Mawarsih, atas pilihanmu kepada Si Kedok Hitam. Akupun memujikan semoga dia itu bukan seorang yang wajahnya buruk seperti setan, dan semoga engkau akan dapat tetap mencintanya andaikata wajahnya amat buruk menyeramkan."
Mawarsih menggigit bibirnya, dan membayangkan wajah di balik kedok hitam itu wajah kakek-kakek berusia tujuh puluh lima tahun, atau wajah yang amat buruk menyeramkan, misalnya hidungnya gruwung, atau bibirnya sumbing, matanya buta sebelah, mukanya buruk penuh bekas cacar, ia tidak dapat menahan rasa ngerinya dan iapun segera membalikkan tubuh agar tidak nampak oleh Bayu dan Aji betapa kedua matanya basah air mata.
"Mbakayu Mawarsih, mudah-mudahan kelak kalau tiba saatnya dia membuka kedoknya, engkau tidak akan memutar tubuh membelakanginya. Kasihan sekali Si Kedok Hitam kalau begitu,"
Kata bayu dengan suara menggoda.
Tiba-tiba terdengar lengking suling yang ditiup Aji. Mendengar ini, Mawarsih menjadi semakin gemas dan air matanya jatuh bercucuran. Ia lalu melarikan diri dari tempat itu, akan tetapi suara suling itu seolah-olah mengejarnya. Mawarsih menutupi kedua tangan sambil terus berlari, dan kedua matanya makin deras mencucurkan air mata.
Kadipaten Ponorogo setelah mendapat keterangan dari Malangkoro tentang persia-pan Mataram, mengatur siasat untuk mendahului Mataram, yaitu lebih dahulu menyerang sebelum diserang. Akan tetapi karena Pangeran Rangsang telah lebih dahulu menyuruh penyelidik mengamati Malangkoro, maka siasat dari Ponorogo itu telah diketahui. Sang Prabu Hanyokrowati bersama para senopatinya lalu mengatur siasat, dan untuk menghadapi pasukan Ponorogo yang akan menyerbu secara diam-diam itu, pasukan Mataram mempergunakan Barisan Gunting yang dipersiapkan untuk membiarkan pasukan Ponorogo masuk ke daerah Mataram, kemudian menggunting pasukan dari depan dan belakang.
Sementara itu, pasukan khusus yang dipimpin sendiri oleh Sang Prabu Hanyokrowati, dibantu oleh beberapa orang senopati di antaranya Ki Sinduwening dan Mawarsih, dengan mengambil jalan lain akan menyerbu Ponorogo yang telah ditinggalkan sebagian besar pasukannya yang menyerbu ke Mataram. Pada hari yang ditentukan itu, terjadilah perang tanding yang amat hebat di daerah Mataram dekat perbatasan. Pasukan Ponorogo tentu saja tekejut bukan main ketika dalam perjalanan mereka untuk melakukan penyerbuan tiba-tiba ke Mataram, mereka telah dihadang oleh pasukan besar Mataram, dan ketika pertempuran terjadi, dari arah belakang merekapun muncul pasukan Mataram yang lain sehingga pasukan Ponorogo terjepit di tengah-tengah.
Mereka melakukan perlawanan mati-matian dan pertempuran berlangsung seru dan banyak korban yang berjatuhan. Pasukan Ponorogo yang melakukan penyerbuan itu merupakan sebagian besar dari kekuatan balatentara Ponorogo, dipimpin oleh para senopati pilihan, di antara mereka terdapat Ki Danusengoro, Ki Demang Padangsuta ayah Nurseta, Ki Wirobandot ayah Mayaresmi, Ki Surodigdo dan lain-lain. Adapun Nurseta sendiri, bersama Mayaresmi dan Brantoko, tinggal di Ponorogo untuk menjaga kadipaten bersama pasukan mereka. Biarpun pasukan Ponorogo dipimpin oleh para senopati pilihan dan mereka melakukan perlawanan mati-matian dan gigih, namun karena mereka terjebak, dihimpit dari depan dan belakang, apa lagi karena pasukan Mataram yang lebih besar jumlahnya dan menggunakan Barisan Gunting itu dipimpin sendiri oleh Pangeran Raden Mas Rangsang yang sakti mandraguna, maka pertempuran itu berlangsung berat sebelah.
Di antara para senopati Ponorogo, yang paling digdaya adalah Ki Danusengoro. Akan tetapi, senopati yang gemuk pendek dan wajahnya bengis ini dihadapi sendiri oleh Raden Mas Rangsang! Dan dalam pertandingan satu lawan satu ini terbuktilah kesaktian pangeran sulung dari Mataram itu. Ki Danusengoro mengamuk dan mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan semua aji kesaktiannya untuk menandingi pangeran yang sakti mandraguna itu. Dengan auman Aji Singadibya, dan dengan keris Margapati di tangan, Ki Danusengoro memang dahsyat sekali.
Namun, yang ditandingi adalah Raden Mas Rangsang, putera Sribaginda yang bertubuh tinggi tegap dan yang merupakan putera tersakti di antara para pangeran sehingga aji apapun yang dikeluarkan Ki Danusengoro, selalu aji itu ambyar bertemu dengan daya tolak dari sang pangeran. Perang campuh yang terjadi itu amat mengerikan. Debu mengepul tinggi, membu- bung sampai angkasa, menggelapkan cuaca. Pekik dan raung bercampur dengan rintih dan keluh, diselingi ringkik kuda. Kuda-kuda berlompatan, berdiri di kedua kaki belakang, meringkikringkik, mendengus-dengus dan penunggangnya, dengan keris, pedang atau tombak di tangan, dengan tubuh atas telanjang dan penuh dengan keringat yang membuat tubuh itu berkilauan bagaikan arca tembaga yang dilumuri minyak.
Senjata yang saling bertemu di udara berdencingan, berkerontongan, derap kaki mereka yang berkelahi gemuruh, darah muncrat diiringi jerit kesakitan dan tubuh-tubuh tak bernyawa atau sedang sekarat mulai berserakan dan bertumpuk. Bau yang amis memuakkan dan menyesakkan dada. Perang! Puncak kemenangan nafsu atas diri manusia. Di dalam perang, manusia sudah kehilangan kepribadiannya, yang ada hanya bersimarajalelanya nafsu yang membuat manusia menjadi buas, bahkan lebih kejam dari pada makluk yang paling buas sekalipun. Tidak ada perang di antara makluk yang lebih lain sehebat perang di antara manusia.
Tuhan dilupakan, kemanusiaan lenyap, yang ada hanyalah mambunuh, membunuh agar tidak dibunuh! Yang ada hanyalah mencari kesenangan, dan yang ada hanya menghitungkan untung rugi. Setan iblis berpesta pora atas kemenangan mereka terhadap manusia kalau setan iblis mampu menggerakkan manusia untuk saling bunuh dalam perang. Dendam dan kebencian berkobar-kobar. Manusia saling bunuh, justru kuda-kuda yang digunakan dalam perang tidak dibunuh, tentu dengan dasar perhitungan rugi untung tadi. Kuda dapat menguntungkan sebagai barang rampasan karena menang perang, maka tidak dibunuh.
Seperti juga orang-orang Ponorogo dan orang-orang Mataram ketika bertempur dalam perang itu, mereka hanya tahu membunuh dan membunuh, sama sekali lupa akan kenyataan bahwa mereka sesungguhnya sebangsa, bahwa mereka sesungguhnya sama-sama manusia, bahwa mereka sesungguhnya sama-sama diciptakan Tuhan dan diturunkan di dunia ini untuk bekerja guna mendatangkan bahagia dan sejahtera kepada manusia.
Dalam keadaan biasa, dalam keadaan damai, membunuh manusia lain saja merupakan dosa yang dikutuk dan pelakunya akan dikejar-kejar sebagai orang gila atau sebagai makluk buas yang berbahaya, yang harus ditangkdan dihukum berat, kalau perlu dihukum mati. Akan tetapi di dalam perang, makin banyak seseorang membunuh manusia lain, maka dihormatilah dia, makin diagungkan dan dipuji! Dan kejanggalan yang menyedihkan ini sudah menjadi salah kaprah, sudah diterima sebagai suatukebenaran mutlak oleh manusia di seluruh dunia! Semua yang sedang bertempur mengadu nyawitu lupa bahwa sesungguhnya mereka hanyalah diperalat nafsu yang terutama sekali sedang bersarang di dalam batin dua orang manusia bersaudara yang sedang saling memperebutkan kekuasaan! Mereka adalah Sang Prabu Hanyokrowati melawan adiknya sendiri, yaitu Pangeran Jayaraga yang menjadi Adipati Ponorogo.
Perebutan kekuasaan dua orang kakak beradik inberkembang menjadi permusuhan antara dua kelompok manusia yang saling memisahkan dan membedakan diri sebagai kelompok Mataram dan kelompoPasukan Ponorogo terpaksa harus melawan mati-matian karena mereka tidak mempunyai jalan mundur lagi. Jumlah merekapun kalah besar, perlahan-lahan mereka mulai terdesak dan banyak di antara mereka yang sudah roboh menjadi korban perang.
Ki Danusengoro yang bertanding mati-matian melawan Raden Mas Rangsang, kini dibantu oleh Ki Wirobandot, warok dari Pacitan yang juga digdaya dan yang bersenjata kolor hitam itu. Ki Wirobandot maklum bahwa kalau sampai Ki Danusengoro kalah dan roboh, tentu semua prajurit Ponorogo akan kehilangan pegangan dan akan runtuh semangat mereka. Oleh karena itu, melihat Ki Danusengoro terdesak hebat oleh Raden Mas Rangsang, dia mengeluarkan teriakan keras dan terjun ke dalam perkelahian itu, membantu Ki Danusengoro mengeroyok Raden Mas Rangsang.
Akan tetapi, pangeran ini tidak menjadi gentar, bahkan melarang ketika ada senopati Mataram hendak membantunya. Dia melayani kedua orang lawan itu dengan garakan yang ringan dan cepat bukan main. Tubuhnya bagaikan burung walet yang menyambar-nyambar sehingga kedua orang yang sama-sama pendek gendut itu seringkali menjadi bingung karena orang yang dikeroyoknya itu tiba-tiba lenyap dan tahutahu menyerang balik dari belakang atau dari atas! Dua orang senopati Ponorogo itu sudah bermandi peluh. Suatu saat, mereka berdua menyerang secara berbareng.
Dari arah kiri, Ki Danusengoro menusukkan kerisnya ke arah lambung Pangeran Ramsang, sedangkan dari arah kanan, Ki Wirobandot menghantamkan kolor hitamnya ke arah kepala pangeran itu. Serangan mereka itu dahsyat dan berbahaya, karena keduanya mengeluarkan sisa tenaga mereka sekuatnya. Raden Mas Rangsang maklum akan datangnya bahaya, tiba-tiba tubuhnya roboh terjengkang ke belakang sehingga sambaran keris dan kolor itu luput, lalu dari bawah, tangan kanannya bergerak dan keris di tangannya meluncur seperti kilat menyambar, disambitkan dan tepat menghujam ke perut Ki Danusengoro!
"Capp"". aughhh""".!!"
Ki Danusengoro terhuyung, kerisnya terlepas dari tangannya, kemudian dia roboh terkulai, terlentang dan tewas karena keris milik Raden Mas Rangsang itu cukup ampuh. Melihat ini, Ki Wirobandot terkejut, gentar akan tetapi juga marah sekali. Dia meraung dan menghujamkan senjata kolor hitamnya ke arah tubuh pangeran itu. Raden Mas Rangsang menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan mengelak, menyambar kerisnya yang masih menancap di perut Ki Danusengoro, kemudian dengan keris di tangan dia menghadapi amukan Ki Wirobandot. Tadi saja, ketika mengeroyok pengeran itu bersama Ki Danusengoro mereka berdua masih kewalahan, apa lagi sekarang dia harus maju seorang diri.
Belum sampai sepuluh jurus, diapun terjungkal dengan dada terluka keris dan tewas seketika di samping mayat Ki Danusengoro. Setelah dua orang senopati yang paling diandalkan dalam pasukan itu tewas, semangat para perajurit Ponorogo menjadi lemah. Apa lagi setelah berturut-turut tewas pula Senopati Surodigdo dan Ki Demang Padangsuta, para prajurit menjadi panik dan mulailah mereka mencari jalan untuk dapat melarikan diri dan lolos dari maut. Penyerbuan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Sang Prabu Hanyokrowati sendiri ke kota kadipaten Ponorogo juga tidak mengalami kesulitan.
Hanya pasukan kecil saja, sisa dari pasukan besar yang dikerahkan untuk menyerang daerah Mataram, yang menahan serbuah mereka, pasukan yang dipimpin oleh Nurseta, Mayaresmi, dan Brantoko. Tentu saja Sang Adipati Jayaraga dari Ponorogo terkejut bukan main ketika mendengar bunyi hiruk pikuk dan bahwa kadipatennya diserbu pasukan Mataram. Hampir dia tidak dapat percaya karena sebagian besar pasukannya sudah dikerahkan untuk diam-diam mendahului dan menggempur Mataram. Bagaimana kini tiba-tiba saja pasukan Mataram bahkkan dapat menyerang kadipatennya?
Adipati Jayaraga ikut pula memimpin pasukannya menyambut serbuan pasukan Mataram. Akan tetapi jumlah pasukannya jauh kalah besar. Segera terjadi perang campuh yang amat seru. Ketika Nurseta bersama Mayaresmi mengamuk, tiba-tiba saja mereka berdua berhadapan dengan Ki Sinduwening yang sudah memegang senjatannya yang ampuh, yaitu sebatang pecut. Nurseta dan Mayaresmi tadi membabati prajurit Mataram dan dengan ilmu mereka, keduanya berhasil merobohkan beberapa orang prajurit.
"Tar-tar-tar-taarrr""".!"
Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan dari ujung pecut menyambar-nyambar di atas kepala mereka. Nurseta terkejut ketika melihat bahwa yang menyerang dia dan kekasihnya adalah Ki Sinduwening. Wajah Nurseta menjadi pucat karena dia merasa gentar terhadap tokoh yang sebetulnya masih paman gurunya sendiri itu.
"Maya, lari"".!"
Serunya kepada kekasihnya, mengajaknya melarikan diri karena merasa bahwa mereka berdua tidak akan menang menandingi senopati Mataram yang amat tangguh itu.
Ki Sinduwening mendengar ajakan ini dan pecutnya meledak-ledak, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung menyambar ke arah kedua orang lawannya, menutupi jalan keluar mereka yang terpaksa harus menggerakkan senjata mereka untuk menangkis dan melindungi diri. Nurseta menggerakkan tombaknya, dan Mayaresmi menggerakkan senjatanya yang berupa sebatang pedang pendek tipis yang amat tajam. Ketika berkali-kali menangkis gulungan sinar cambuk, pedang dan tombak itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan pemiliknya, membuat hati mereka semakin takut.
"Paman, ingat saya adalah murid keponakanmu. Saya mohon ampun, paman!"
Kata Nurseta sambil memutar tombak melindungi tubuhnya. Gerakan cambuk itu terhenti dan sepasang mata Ki Sinduwening memandang jalang.
"Pertandingan ini adalah antara senopati Mataram melawan senopati Ponorogo, tidak ada hubungannya dengan paman guru dan murid keponakan! Apakah engkau sudah begitu pengecut, seorang pengkhianat yang tidak berani mempertanggungjawabkan pengkhianatanmu? Sambutlah seranganku ini! Tar-tar-tarr"""!!"
Kini sinar cambuk menyambar lebih ganas lagi dan biarpun Mayaresmi dan Nurseta mati-matian menggerakkan senjata mereka untuk menangkis, tetap saja senjata mereka terpukul ke samping dan ujung cambuk itu menyambar ke arah tubuh mereka.
Bagaikan moncong ular berbisa, ujung cambuk itu menyengat leher Nurseta dan dada Mayaresmi. Satu kali saja terkena sengatan ujung cambuk itu, Nurseta dan Mayaresmi mengeluh dan terhuyung. Mereka disambut oleh para perajurit Mataram dan dalam keadaan terhuyung dan nanar, mereka berdua tidak mampu membela diri lagi dan banyak senjata tajam dan runcing memasuki tubuh mereka, membuat Nurseta dan Mayaresmi terkulai roboh mandi darah dan tewas seketika.
"Innalillahi wa innailahi rojiun""".semoga Gusti Allah mengampuni kalian berdua."
Kata Ki Sinduwening sambil memejamkan mata sejenak. Bagaimanapun juga, Nurseta adalah murid Ki Ageng Jayagiri, kakak seperguruannya, sedangkan Mayaresmi adalah isteri kakak seperguruan itu yang belum dicerai.
Sementara itu, Brantoko, pemuda tinggi besar gagah perkasa murid Ki Danusengoro yang menjadi senopati ketiga yang memimpin pasukan Ponorogo mempertahankan kadipaten Ponorogo, mengamuk dengan kerisnya dan merobohkan banyak prajurit Mataram. Akan tetapi, seperti rekan-rekannya diapun terkejut bukan main melihat sinar merah menyambar dan ketika dia meloncat mundur menghindar dan memandang, dia telah berhadapan dengan Mawarsih! Maklumlah Brantoko bahwa gadis yang pernah membuatnya tergila-gila itu pasti tidak akan mau mengampuninya, maka diapun menjadi nekat dan tanpa banyak cakap lagi Brantoko sudah menggerakkan kerisnya, menyerang kalang-kabut. Bukan hanya kerisnya yang manyambar-nyambar ganas, juga tangan kirinya yang telah diisi Aji Hastarudira yang mambuat tangan kiri itu berubah kemerahan dan setiap tamparan tangan kirinya merupakan cengkeraman maut karena telah terisi hawa yang beracun.
Dahulu pernah Brantoko bertanding melawan Mawarsih di luar dusun Sintren, di tempat tinggal Ki Sinduwening ketika Brantoko dan gurunya datang meminang Mawarsih dan ditolak, atau ditantang bertanding karena ayah dan anak itu menghendaki jodoh Mawarsih yang mampu mengalahkan dara itu dan ayahnya. Ketika itu, Brantoko terdesak oleh Mawarsih. Sebetulnya bukan terdesak karena kalah tinggi tingkat kedigdayaannya, melainkan kerena Brantoko tidak ingin melukai gadis yang dicintainya. Akan tetapi sekarang, setelah harapannya untuk memperisteri Mawarsih musnah, dam mereka berhadapan sebagai senopati yang masing-masing mempertahankan dan membela negara sendiri-sendiri, Brantoko mengerahkan seluruh tenaganya dan menyerang Mawarsih sebagai lawan yang harus dibunuh. Mawarsih juga maklum akan ketangguhan Brantoko, maka dara inipun melawan dengan mati-matian sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru.
Keris dan tangan kiri Brantoko menyambar-nyambar menyebar maut, namun dengan kelebihan ilmunya meringankan tubuh, Mawarsih dapat selalu menghindarkan diri dan ujung kemben merahnya mematuk-matuk bagaikan ular sendok marah, dan setiap patukan itu menyerang jalan darah yang mematikan dari lawan! Brantoko juga tidak mau mengalah sekali ini, dia berusaha keras untuk menyarungkan kerisnya ke dalam tubuh Mawarsih yang dahulu pernah membuatnya tergilagila. Kini tak sempat lagi dia membayangkan kejelitaan wajah dan keindahan bentuk tubuh Mawarsih, satu-satunya nafsu yang menguasainya adalah nafsu untuk membunuh!
Menghadapi Brantoko yang kini mengamuk bagaikan kerbau gila itu Mawarsih mulai terdesak! Brantoko kini melihat bahwa pasukan Ponorogo mulai panik, dan mendengar teriakteriakan para prajurit bahwa gurunya, Ki Danusengoro, juga sudah tewas, maka diapun menjadi nekat dan tidak memperdulikan keselamatan dirinya lagi. Dia harus membunuh Mawarsih sebagai pelampiasan kemarahannya, dan rela kalau untuk itu diapun akan berkorban nyawa. Dia hendak mengajak Mawarsih mati bersama, mengadu nyawa. Menghadapi orang nekan seperti ini, Mawarsih yang masih menyayangi nyawanya, menjadi kewalahan dan terdesak.
"Haaaiittt"""!!"
Tiba-tiba Brantoko yang sudah menjadi semakin penasaran dan nekat karena belum juga mampu merobohkan lawannya, menubruk dengan nekat bagaikan seekor harimau menubruk kambing, kerisnya dihujamkan ke arah dada Mawarsih. Dara ini cukup trengginas, cepat menghindar ke kanan dan kembennya menyambar ke depan tepat melilit tangan kanan Brantoko yang memegang keris. Mawarsih bermaksud merampas keris itu, akan tetapi Brantoko yang sudah nekat dan tidak memperdulikan keselamatan dirinya, membiarkan lengannya ditarik ke depan dan dia menggunakan kesempatan ini untuk memukul ke arah kepala Mawarsih dengan sepenuh tenaga Hastarudira, dari atas ke bawah dengan tangan miring. Hebat bukan main pukulan itu dan Mawarsih tidak mengira bahwa lawannya tidak memperdulikan keris yang akan dirampasnya bahkan memukul dengan nekat. Jarak pukulan itu sudah dekat sekali, namun Mawarsih masih cukup cekatan untuk memiringkan tubuhnya.
"Plakk!"
Biarpun kepalanya luput dari hantaman tangan merah itu, pundaknya masih terserempet. Mawarsih mengeluh dan terhuyung ke belakang. Brantoko mengeluarkan suara tawa menyeramkan dan menubruk lagi. Akan tetapi, dari samping menyambar pecut yang meledak, mengenai pundak Brantoko sehingga tubrukannya menyeleweng, bahkan dia terlempar ke arah Mawarsih yang menyambutnya dengan sambaran ujung kemben merahnya ke arah kepala.
"Tukk!!"
Ujung kemben itu dengan tepat mengenai pelipis kiri Brantoko dan pemuda inipun mengeluh dan tewas seketika. Para senopati Ponorogo lainnya dengan mudah dapat ditundukkan. Juga Adipati Jayaraga dapat ditawan setelah adipati ini melakukan perlawanan mati-matian. Atas perintah Sang Prabu Hanyokrowati, maka para senopatinya mengepung dan menawan adipati itu, tidak melukainya apalagi membunuhnya. Ponorogo diduduki dengan mudah dan di depan kakaknya, Adipati Jayaraga yang telah menyatakan kalah dan takluk, mengakui kesalahannya.
Sang Prabu Hanyokrowati atau Raden Mas Jolang mengampuni saudaranya, bahkan dia mengangkat kembali Raden Jayaraga menjadi Adipati Jayaraga kembali di Ponorogo. Dengan kemurahan raja Mataram ini, semakin takluklah hati sang adipati dan diam-diam dia mengakui keagungan kakaknya yang kini membuktikan bahwa Mataram sama sekali bukan ingin mengakangi daerah Ponorogo, melainkan seperti yang berulang kali dikatakan sebelumnya, hanya ingin melihat Mataram dalam suatu persatuan yang kokoh dengan semua daerahnya sehingga mereka akan menjadi kuat untuk menghadapi ancaman bahaya yang datangnya dari barat, yaitu dari orang-orang berkulit putih yang mulai menanamkan kuku mereka di bumi nusantara.
Selesailah perang saudara itu, yang tinggal hanya bekas dan akibat-akibatnya yang amat menyedihkan. Bekas-bekas prajurit yang menjadi tapadaksa, cacat dengan lengan buntung, kaki buntung, muka codet. Janda-janda yang ditinggal mati suaminya, ibu-ibu tua ditinggal mati puteranya, anak-anak kecil ditinggal mati ayahnya. Orang-orang kaya yang mendadak menjadi miskin dan orang-orang miskin mendadak menjadi kaya. Benci dan dendam! Rumahrumah yang terbakar musnah.
Gadis-gadis yang kehilangan kehormatannya. Itulah akibat perang, di jaman apa dan di negara manapun juga. Kejam! Sang Prabu Hanyokrowati kembali ke Mataram untuk menyusun kekuatan baru. Bagaimanapun juga, perang melawan Ponorogo menewaskan banyak prajurit dan sang prabu sendiri ingin mengaso dulu sebelum berangkat lagi ke Jawa Timur membawa pasukan besar karena banyak daerah yang harus ditundukkan sesudah Ponorogo. Banyak daerah di Jawa Timur yang dahulu sudah menakluk kepada Mataram, kini memisahkan diri kembali dan harus ditundukkan lagi kalau Mataram ingin menjadi negara yang kuat dan bersatu.
Mawarsih tidak mengikuti ayahnya yang bersama pasukan kembali ke Mataram.
"Aku rindu kepada dusun kita Sintren, bapa. Bapa pulang saja dahulu ke Mataram, aku akan berkunjung dan tinggal di Sintren selama beberapa hari. Setelah terobati rinduku, aku akan menyusul bapa ke Mataram."
Ki Sinduwening menggerakkan bibirnya, namun menelan kata-katanya kembali. Tadinya dia ingin bertanya siapa yang dirindukan puterinya, dusun Sintren ataukah Banuaji, ataukah Si Kedok Hitam? Orang tua ini mengerti benar akan derita hati puterinya. Dia hanya menarik napas panjang dan mengangguk. Keadaan sudah aman, perang sudah padam dan orang-orang yang memusuhi mereka telah tewas. Tidak ada bahaya mengancam puterinya.
Pula, siapa berani mengancamnya? Ia akan mampu melindungi diri sendiri. Maka, diapun meninggalkan puterinya di Sintren dan pulang ke Mataram bersama pasukannya yang menang perang, mengawal Sribaginda Raja. Pagi itu, pagi-pagi sekali, pada saat cahaya matahari membakar puncak-puncak bukit sedangkan mataharinya sendiri masih bersembunyi di balik puncak, Mawarsih sudah berjalanjalan meninggalkan pondok lamanya, menuju ke lapangan rumput dekat puncak, di mana dahulu ia seringkali berlatih pencak silat dan kadang ia bergurau dengan Bayu si penggembala kerbau. Selagi dia berjalan perlahan sambil melamun, membiarkan pikirannya hanyut bersama angin pagi yang semilir sejuk, tiba-tiba dari arah kiri ia mendengar seruan orang memanggilnya.
"Mbakayu Mawar""..!!"
"Bayu!"
Sebelum menoleh Mawarsih sudah menyebut nama itu karena ia mengenal betul suara Bayu. Semenjak pertemuannya yang terakhir kalinya, ia membawa Bayu kepada ayahnya dan pemuda remaja yang mencari pekerjaan itu oleh ayahnya disuruh mengurus kuda. Dan kini tiba-tiba saja pemuda itu muncul di tempat itu!
"Heii, Bayu, bagaimana engkau dapat berada di sini?"
Tegurnya dengan heran, namun wajahnya berseri karena hatinya gembira dapat bertemu dengan anak itu di tempat yang sunyi itu.
"Mbakayu Mawarsih, kami di kota raja semua sudah mendengar tentang kemenangan pasukan kita. Karena gembira, aku lalu bermaksud untuk menyambut Paman Senopati dan mbakayu, akan tetapi di tengah perjalanan, ketika bertemu dengan rombongan pasukan, Paman Senopati memberitahu bahwa mbakayu berada di sini, maka aku mohon ijin beliau untuk menyusul ke sini dan diperkenalkan."
"Hemm, bocah nakal. Engkau meninggalkan pekerjaan dan menyusulku, ada urusan apakah?"
Ucapannya menegur namun suaranya gembira.
"Aku juga rindu kepada tempat ini, mbakayu, juga rindu kepada Paman Lurah di Pancot beserta bibi dan keluarga mereka. Eh, ada aku membawa sebuah berita yang tentu akan menyenangkan hatimu, mbakayu!"
"Berita apakah itu? Jangan bermain teka-teki, katakan berita apa yang hendak kau sampaikan kepadaku?"
"Tadi aku melihat kakangmas Banuaji""."
Kembali anak itu menghentikan kata-katanya dan mengamati wajah Mawarsih dengan sinar mata gembira.
"Kakangmas Aji? Di mana dia?"
Mawarsih bertanya penuh semangat karena selama berada di tempat ini, yang diingatnya hanyalah dua orang, Banuaji dan Si Kedok Hitam!
"Dia juga berkunjung kepada Paman Lurah di Pancot dan tadi aku melihat dia di sana!"
Bayu menunjuk ke arah sebuah lereng hutan cemara. Tanpa banyak bertanya lagi Mawarsih lalu melangkah cepat menuju ke lereng itu, diikuti oleh pandang mata Bayu yang diam-diam tersenyum nakal. Kini Mawarsih berlari, menuju ke hutan cemara.
Tiba-tiba ia menahan langkahnya. Terdengar suara tiupan suling dari hutan cemara di lereng itu. Demikian lembut dan merdu suara itu memecah keheningan di tempat yang sunyi itu. Entah mengapa, begitu ia memperhatikan suara suling yang mengalun kan tembang Asmaradana itu, terdengar pula olehnya kicau burung di pohon-pohon, gemercik suara air di anak sungai sana, desir angin yang bermain di antara daun-daun pohon, merupakan perpaduan yang amat indMawarsih berdiri temangu, hanyut oleh suara suling yang melengking-lengking. Hatinya trenyuh, penuh haru dan kedua matanya menjadi basah, bergelimang air mata. Harus ia akui bahwa ia mencintai Banuaji.
Melihat wajah pemuda itu, melihat sikap dan gerak-geriknya, mendengar suaranya ketika dia bicara, bahkan mendengar tiupan sulingnya saja, semua itu sudah mendatangkan perasaan bahagia di hatinya. Tak dapat ia mengingkari hatinya sendiri. Akan tetapi, bagaimana mungkin ia mencinta pemuda yang tidak memiliki kesaktian itu? Kedigdayaan Banuaji hanya biasa biasa saja, jauh di bawah tingkatnya sendiri, apa lagi kalau dibandingkan dengan kesaktian Si Kedok Hitam. Kalau dia memilih Banuaji, berarti dia melanggar janji dalam hatinya sendiri bahwa ia hanya mau berjodoh dengan seorang pria yang lebih tangguh darinya. Suara suling itu seolah memiliki daya tarik seperti mengandung besi sembrani, dan bagaikan dalam mimpi, Mawarsih menggerakkan kedua kakinya, perlahan-lahan menghampiri ke arah suara suling itu yang keluar dari dalam hutan cemara.
Dan di atas tanah yang berumput hijau segar dan bersih, di sanalah Aji duduk meniup sulingnya. Pemuda itu nampak demikian asyiknya meniup suling, hanya jari-jari tangannya saja yang bergerak, selebihnya diam bagaikan sebuah patung yang amat indah. Kidung Asmaradana mengandung getaran yang mengharukan karena di dalam suara suling yang melengking-lengking itu seolah membawa rintihan batin seorang yang sedang kasmaran, sedang tenggelam dalam kerinduan, menantinanti datangnya kekasih yang amat disayang dan dirindukan. Nada terakhir kidung itupun makin melembut dan menipis untuk akhirnya larut ke dalam kesunyian.
"Kakangmas Aji"".!"
Pemuda itu terkejut, menoleh dan bagaikan seorang yang tersentak oleh suatu kejutan yang membahagiakan, wajahnya berseri, matanya terbelalak dan diapun meloncat bangkit, berdiri dan berhadapan dengan dara itu. Sepasang matanya memandang penuh kagum dan pesona. Betapa cantik dara yang berdiri di depannya itu! Rambut yang hitam panjang itu digelung secara sederhana sekali, seperti kebiasaan gadis dusun, dan rambut itu agak kusut dipermainkan angin gunung, sinomnya yang lembut melingkar-lingkar di dahi dan pelipis.
Alisnya yang hitam panjang dan kecil melengkung itu seperti bulan muda, menjelirit bagaikan dilukis, menghias sepasang mata yang sudah amat indahnya. Sepasang mata yang jeli, lebar, dan sinarnya tajam bagaikan bintang kembar, dengan bulu mata yang panjang melengkung ke atas, hidungnya kecil mancung dan mulutnya dengan sepasang bibir yang aduhai! Entah mana yang lebih indah menarik di antara mata dengan kerling yang akan meruntuhkan hati seorangt pendeta sekalipun dengan bibir yang selalu merah basah dan segar mengandung senyum simpul itu! Dagu yang meruncing itu agak berlekuk dari ujung mulut sebelah kanan terdapat lesung pipit, ditimpali setitik tahi lalat di pipi kiri.
Semua keindahan wajah itu masih dilengkapi lagi dengan kulit yang kuning mulus, bentuk tubuh yang ramping dengan lekuk lengkung sempurna bagaikan setangkai bunga mawar yang sedang mekar semerbak mengharum. Kalau Aji disuruh menemukan sedikit saja cacat cela pada diri Mawarsih, pasti tidak akan dia menemukannya. Bagi seorang yang sedang jatuh cinta, tidak ada buruk pada diri orang yang dicintanya, bahkan apa yang nampak cacat bagi orang lain, dalam pandang matanya mungkin akan menjadi pemanis!
Melihat betapa pandang mata Banuaji kepadanya seperti itu, pandang mata yang pernah dilihatnya ketika untuk pertama kali mereka saling berjumpa dan berkenalan, pandang matanya penuh pesona dan kagum, pandang mata mengandung rasa sayang, perlahan-lahan wajah Mawarsih menajdi kemerahan. Bukan pandang mata seorang pria yang mata keranjang, yang memandang kepadanya penuh nafsu berahi seperti mata yang pernah diperlihatkan Brantoko, atau Nurseta, atau bahkan Malangkoro, melainkan pandang mata yang mengandung sinar yang menghormat, menyayang dan mengagungkan. Akan tetapi, pandang mata itu cukup membuat ia merasa jantungnya berdebar tidak karuan, membuat ia tersipu dan salah tingkah, merasa betapa setiap gerakannya seperti kaku dan canggung.
"Kakangmas Aji, suara sulingmu"".. eh, merdu dan indah sekali""."
Akhirnya Mawarsih dapat mengeluarkan kata-kata, sengaja memuji suara suling untuk memecahkan pesona dan mengalahkan perhatian agar ia dapat bersikap tenang. Namun ucapannya itu rupanya kurang kuat, tidak dapat menyadarkan pemuda yang sedang tenggelam dalam buaian pesona asmara itu.
"Dan engkau"". betapa cantik jelitanya engkau, diajeng Mawarsih. Seperti engkaukah kiranya Dewi Komaratih dari khayangan itu! Ya Allah, bagaimana aku dapat mengingkari kenyataan hatiku ini? Diajeng Mawarsih, aku cinta kepadamu, diajeng. Maafkan aku, akan tetapi aku tidak tahan untuk menyembunyikan lagi. Aku cinta padamu dan aku mengharapkan agar dapat hidup bersamamu untuk selamanya, berdampingan sebagai suami isteri".."
Melihat sikap dan mendengar ucapan Banuaji, Mawarsih gemetar seluuh tubuhnya. Sendisendi tulangnya seperti kehilangan tenaga dan iapun jatuh bersimpuh di atas tanah, menangis sejadi-jadinya. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia menangis, apa pula yang disedihkan, akan nyatanya, tangisnya menyerbu dan iapun menangis seperti anak kecil, menguguk, tubuhnya terguncang-guncang. Melihat keadaan dara itu, barulah Aji sadar dari pesona asmaranya. Dia terkejut dan khawatir, lalu melompat ke dekat Mawarsih dan berlutut. Ingin ia merangkul, ingin dia menghibur, akan tetapi dia tidak berani lancang menjamah tubuh itu.
Dia hanya memandang khawatir dan bertanya halus.
"Diajeng, kenapa engkau menangis? Apakah""
Ah, kalau aku menyinggung perasaan hatimu, ampunkan aku, diajeng. Aku memang tidak tahu diri, berani mengaku cinta, berani menyinggung perasaanmu"".., diajeng Mawarsih, hentikan tangismu dan maafkanlah aku".."
Pemuda itu meratap, hatinya seperti ditusuk rasanya karena dia mengira bahwa Mawarsih menangis karena tersinggung oleh pernyataan cintanya tadi.
Mendengar ucapan pemuda itu, Mawarsih mengerahkan kekuatan batinnya dan akhirnya tangisnya terhenti. Ia mengusap air matanya dan mengangkat muka yang basah itu memandang Aji dengan sepasang mata kemerahan.
"Kakangmas Aji"", hatiku memang sedih, sungguh sedih".. kalau saja andika memiliki kesaktian seperti Si Kedok Hitam, aku""
Aku akan merasa berbahagia sekali, kakangmas"", akan tetapi andika".. ah, andika tidak memiliki kedigdayaan itu, dan aku".. aku hanya mau berjodoh dengan orang yang lebih tangguh dariku"".."
Berkerut sepasang alis pemuda itu.
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perlahan-lahan dia menghela napas panjang, lalu bangkit berdiri. Wajahnya muram dan suaranya berubah menjadi penuh kegetiran ketika dia berkata.
"Maaf, diajeng Mawarsih, sungguh aku merasa heran sekali melihat sikap seorang gadis yang bijaksana seperti andika seperti ini. Andika mencinta orangnya ataukah kesaktiannya? Kalau andika mencinta kesaktiannya, lebih baik andika berjodoh saja dengan kesaktian, bukan dengan orang!"
Setelah berkata demikian, Aji melompat dan lari pergi dari situ.
"Kakangmas Aji""!"
Mawarsih menjerit, merasa jantungnya seperti ditusuk dan dara inipun menangis lagi, mengguguk seperti tadi. Dalam saat itu, leburlah semua kegagahannya dan muncullah sifat aslinya sebagai seorang wanita, mahkluk yang amat peka rasa dan mudah dipengaruhi perasaan hatinya sendiri, mudah gembira, mudah bersedih, mudah ketawa dan mudah menangis. Ia tahu bahwa ia telah menyakiti hati Aji dengan pernyataannya yang terus terang tadi. Ia tahu bahwa sebagai seorang laki-laki, tentu saja sakit rasanya hati pemuda itu karena telah dibanding-bandingkan dan diremehkan, dikatakan bahwa dia tidak diterima karena tidak sesakti Si Kedok Hitam! Akan tetapi, ia sudah berterus terang dan itulah jalan satu-satunya yang baik, bagi dirinya sendiri maupun bagi Banuaji.
"Mbakayu Mawarsih, kau kenapakah?"
Bayu mendekati Mawarsih dan bertanya dengan heran dan khawatir.
"Apakah mbakayu sudah berjumpa kakangmas Aji dan di mana dia sekarang? Kenapa mbakayu menangis?"
Sejenak Mawarsih tidak mampu menjawab. Setelah tangisnya mereda, ia meman- dang kepada Bayu. Hatinya risau dan bungung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan, ia haus akan nasihat dan pendapat orang lain, dan karena yang barada di situ hanyalah Bayu, maka ia lupa bahwa Bayu hanyalah seorang pemuda remaja yang usianya baru empat belas tahun.
"Bayu, apa yang harus kulakukan? Kakangmas Aji marah kepadaku dan dia pergi meninggalkan aku. Ah, aku menjadi bingung sekali, Bayu."
"Akan tetapi, kenapakah, mbakayu? Selama yang kuketahui, kakangmas Banuaji bukan seorang pemarah, bahkan tidak pernah aku melihat dia marah. Aneh sekali kalau sekarang di marah-marah kepadamu, mbakayu. Padahal, setiap kali dia bicara tentang dirimu kepadaku, dia selalu memuji-mujimu setinggi langit."
"Bayu, aku pun bingung. Akupun kagum padanya, dan aku suka padanya, akan tetapi aku"".. aku juga memuja Si Kedok Hitam, bahkan aku merasa lebih tepat menjadi jodoh Si Kedok Hitam yang lebih sakti dibandingkan aku, sedangkan kakangmas Aji"""
Ia berhenti sebentar dan memandang kepada Bayu minta pertimbangan.
"Ah, Bayu, apa yang harus kulakukan?"
Anak itu tersenyum dan menggeleng-geleng kepala keheranan.
"Aih, bagaimana mungkin engkau mencinta dua orang pria, mbakayu Mawarsih? Tentu saja engkau harus memilih salah satu dan tidak dapat hidup bersama keduanya! Pantas kakangmas Aji marah. Engkau memang aneh sekali, mbakayu!"
Kata Bayu dengan lagak menggurui.
"Apa yang harus kuperbuat, Bayu? Aku mencinta kakangmas Aji karena ketampanannya, karena kepribadiannya, akan tetapi dia tidak memenuhi persyaratan dalam sayembaraku dahulu, dia tidak memiliki kedigdayaan melebihi aku. Aku juga memuja Si Kedok Hitam karena berhutang budi kepadanya, aku cinta padanya karena kesaktiannya."
"Waaahhh, repot kalau begini!"
Kata Bayu cemberut.
"Aku tahu bahwa kakangmas Banuaji mencintamu, mbakayu, akan tetapi apakah Si Kedok Hitam itu juga mencintamu?"
"Aku hampir yakin bahwa diapun mencintaku, akan tetapi dia tidak pernah mau menyatakannya dan selalu bersembunyi dalam kerahasiaan."
"Kalau begitu, mbakayu haruslah tegas. Dahulu, bukankah Si Kedok Hitam yang memenangkan sayembara? Dia berhak menjadi jodoh mbakayu Mawarsih, sebaiknya kalau mbakayu minta ketegasan darinya!"
Mawarsih menghela napas panjang, akhirnya berkata lirih.
"Engkau memang benar, Bayu. Akan tetapi ke mana aku harus mencarinya?"
"Aku tahu dia berada di mana, mbakayu."
Mawarsih terbelalak memandang wajah anak remaja itu.
"Benarkah itu, Bayu? Engkau tahu di mana dia? Di mana?"
"Kemarin aku bertemu dengan dia, katanya dia sedang mencari Malangkoro yang melarikan diri."
"Malangkoro? Mawarsih memandang heran.
"Bukankah dia sudah berjanji tidak akan memusuhi Mataram, dan dalam perangpun dia tidak muncul membantu Ponorogo?"
"Benar, akan tetapi kemudian diketahui bahwa diam-diam Malangkoro masih menaruh dendam dan dia menyusun segerombolan tersendiri untuk memberontak kepada Mataram setelah Ponorogo tidak berhasil. Gusti Pangeran Sulung, yaitu Raden Mas Rangsang mengerahkan pasukan khusus membasmi gerombolan itu dan Malangkoro dapat meloloskan diri. Si Kedok Hitam mengejarnya dan kemarin aku melihat dia berada di puncak bukit itu. Entah apakah dia sekarang masih di sana atau sudah pergi."
"Aku akan mencarinya!"
Kata Mawarsih dan iapun sudah berkelebat lari cepat sekali mendaki bukit yang ditunjuk Bayu itu.
Bayu mengikuti bayangan dara itu dengan senyum simpul. Dengan menggunakan Aji Tunggang Maruta, Mawarsih dapat berlari cepat sekali dan sebentar saja ia sudah tiba di puncak bukit itu. Karena ia tadi mengerahkan seluruh tenaganya, maka wajahnya menjadi kemerahan dan butir-butir keringat halus membasahi leher dan muka. Ia memandang ke sekeliling dan matanya bersinar-sinar ketika ia melihat orang yang dicarinya benar-benar berada di situ, dudulk seorang diri di atas batu besar dekat goa. Dia adalah Si Kedok Hitam, tidak salah lagi dan cepat Mawarsih lari menghampiri. Agaknya Si Kedok Hitam ini memang berbeda jauh dengan Banuaji. Biarpun gerakan Mawarsih lincah dan ringan tidak menimbulkan suara,namun agaknya pendengaran-nya yang tajam terlatih sudah dapat menangkapnya dan diapun memutar tubuh sambil berlompat sehingga kini berdiri berhadapan dengan Mawarsih.
"Ah"""., engkaukah ini?"
Tegurnya seperti orang heran.
"Bagaimana andika tahu aku berada di sini dan ada keperluan apakah andika menemui aku di sini?"
Mawarsih merasa gemas sekali. Susah-susah dicari, dikenang, dirindukan, setelah ditemukan orang itu malah menegurnya! Sikap dingin Si Kedok Hitam itu membuat ia merasa penasaran sekali dan ia membenarkan nasihat Bayu tadi. Ia harus bersikap tegas!
"Kedok Hitam,"
Katanya, suaranya tegas dan lantang karena ia ingin mendapatkan keputusan saat itu juga.
"Aku datang mencarimu untuk menuntut agar andika bertindak sebagai seorang ksatria yang bertanggung jawab!"
"Hemm, den roro, apakah maksud kata-kata andika itu? Apa yang harus kupertanggung-jawabkan?"
Sepasang mata dari balik kedok itu mencorong dan mengamati wajah Mawarsih penuh selidik.
"Lupakah andika bahwa tempo hari andika ikut bertanding di panggung sayembara, dan andika telah menangkan pertandingan itu, mengalahkan Malangkoro yang menjadi pemenang utama. Hal itu berarti bahwa andika telah memenangkan sayembara, akan tetapi""
Mengapa andika pergi begitu saja dan"""
Menyia-nyaikan diriku?"
Kini, setelah semua panguneg-uneg di hatinya terlontar keluar. Mawarsih tidak lagi terganggu oleh rasa malu. Ia berdiri tegak dan matanya seperti hendak menembus kedok hitam itu dan menjenguk sampai ke dalam dada untuk mengetahui isi hati orang berahasia. Sejenak dua pasang mata saling bertemu bertaut dan akhirnya Si Kedok Hitam menghela napas panjang dan berkata,
"Itukah yang ingin andika tanyakan, den roro Mawarsih? Andika tentu mengerti bahwa aku naik ke panggung bukan untuk mengikuti sayembara, melainkan hendak menekan kesewenang-wenangan Malangkoro. Pula, aku tahu bahwa aku tidak pantas untuk itu""
Maksudku, andika tidak pantas menjadi jodoh seorang seperti aku ini, dan andika jauh lebih pantas kalau menjadi jodoh Banuaji."
"Hemm, kenapa andika beranggapan begitu, kalau aku boleh bertanya?"
Desak Mawarsih penasaran.
"Tentu saja, karena Banuaji rasanya memenuhi semua syarat, sedangkan aku sendiri "".. ah, aku berwajah buruk, tidak patut menjadi jodoh andika."
"Kedok Hitam kenapa andika beranggapan seperti begitu? Aku sendiri hanya berpendapat bahwa aku harus memegang janji sayembara, yaitu pria yang memenangkan sayembara itulah calon jodohku, kalau aku mengingkari janji sendiri, aku akan selalu merasa tertekan oleh hati nuraniku sendiri."
Kembali Kedok Hitam menghela napas panjang.
"Den Roro, bagiku, perjodohan hanya mempunyai satu saja syarat utama, yaitu cinta kasih. Dan cinta kasih baru akan timbul kalau dua orang berlawanan jenis saling berjumpa dan ada daya tarik tertentu di antara keduanya. Akan tetapi, andika belum pernah melihat wajahku, bagaimana mungkin ada cinta di hati andika, dan tanpa adanya cinta bagaimana mungkin kita berjodoh?"
"Kedok Hitam, dengarlah kata-kataku ini yang keluar dari lubuk hatiku. Aku tidak perduli bagaimanapun bentuk wajah andika, aku tetap menganggap andikalah satu-satunya calon jodohku yang telah kutentukan dari hasil sayembara. Bapaku sendiri akan selalu merasa kecewa dan malu kalau dia harus mengingkari janjinya dalam sayembara itu. Kedok Hitam, andika seorang ksatria, sudah selayaknya kalau andika mempertanggung-jawabkan perbuatan andika. Andika sudah memasuki sayembara, dengan alasan apapun andika telah mengalahkan pemenang utama, berarti andika yang menjadi pemenang sayembara. Adalah suatu sikap pengecut kalau andika melarikan diri dari kenyataan dan tidak berani memperlihatkan muka kepadaku! Aku menuntut agar andika membuka kedok itu sehingga aku tahu siapa pria yang telah kupilih sebagai calon jodohku!"
Pada saat itu, Bayu yang tadi mengejar Mawarsih sudah tiba pula di situ dan dia mendengar juga ucapan Mawarsih.
"Tepat sekali permintaan mbakayu Mawar itu!"
Kata Bayu yang memang biasanya bersikap lincah.
"Kedok Hitam, sudah bebepara kali andika menyuruh aku dan aku menaatinya, kiranya sudah sepantasnya kalau aku juga mendapat kesempatan melihat siapa andika, melihat wajah andika yang selalu disembunyikan di balik kedok. Benar ucapan mbakayu Mawarsih, seorang ksatria sejati tidak akan bersembunyi di balik kedok!"
Kini Si Kedok Hitam tertawa. Suara tawanya nyaring dan mengejutkan kedua orang di depannya itu.
"Ha-ha-ha-ha, kalian berdua terlalu mendesakku. Baiklah, kalian berdua merupakan orang-oranpertama yang melihat wajah Si Kedok Hitam. Nah, pandanglah baik-baik, inilah wajah Si Kedok Hitam!"
Dengan kedua tangannya, Kedok Hitam membuka kedoknya dari kain hitam dengan gerakan cepat dan dua pasang mata itu memandang dan terbelalak.
Wajah Mawarsih berubah pucat, matanya terbelalak ngeri dan kakinya melangkah mundur. Bayu bahkan mengeluarkan suara seperti orang ketakutan dan jijik. Wajah itu! Bukan hanya buruk, melainkan cacat dengan codet memanjang dari dahi ke dagu, sebelah matanya membengkak, hidungnya melingkar dan mulutnya hampir berdiri. Kulit mukanya kasar dan menghitam. Sungguh muka yang bukan hanya buruk, melainkan manakutkan dan mengerikan, wajah yang sudah rusak, mungkin karena bacokan senjata tajam sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Mungkin saja masih muda, mungkin sudah tua. Melihat kedua orang itu terbelalak ketakutan, Kedok Hitam menutupkan kembali kedoknya dan dia pun tertawa lagi bergelak.
"Ha-ha-ha, tidak perlu lagi andika berpura-pura, den roro Mawarsih. Andika merasa ngeri, jijik, dan ketakutan melihat wajahku, bukan? Nah, tidak tepatkah kalau kukatakan bahwa andika lebih tepat kalau memilih Banuaji sebagai jodoh andika? Kulihat bahwa bagaimanapun juga, andika masih mementingkan wajah tampan, ha-ha-Wajah Mawarsih yang tadinya pucat itu kini berubah kemerahan. Harus diakui kebenaran ucapan Si Kedok Hitam. Bagaimana mungkin ia dapat bersuamikan seorang pria yang wajahnya rusak seperti itu? Memandangnya saja ia tidak sanggup berlama-lama! Ia seorang dara perkasa yang menghargai kegagahan, maka iapun berkata sejujurnya, sesuai dengan isi hatinya.
"Maafkan aku, Kedok Hitam. Terus terang saja, hatiku condong kepada andika berdua kakangmas Aji. Aku ingin sekali kakangmas Aji memiliki kesaktian seperti andika, dan akupun ingin sekali andika memiliki ketampanan seperti kakangmas Aji. Hatiku menuntut kesempurnaan dari pria yang kucinta. Aku menjadi bingung, Kedok Hitam""""
Mawarsih menundukkan mukanya, merasa terpukul oleh kenyataan itu. Pada saat itu terdengar suara tawa lain, tawa yang kasar dan parau, terbahak-bahak menimbulkan gema di sekitar tempat itu, dan muncullah seorang laki-laki raksasa yang bukan lain adalah Malangkoro!
"Hua-ha-ha-ha, kiranya Si Kedok Hitam hanyalah seorang laki-laki yang palsu! Pengecut lagi!"
"Malangkoro, akhirnya engkau muncul juga!"
Si Kedok Hitam berseru.
"Tentu engkau menyadari bahwa engkau tidak mungkin dapat lolos dariku!"
"Aku sudah bosan untuk berlari menjadi buruan. Akan tetapi sekarang akupun tahu bahwa andika hanyalah seorang laki-laki palsu dan pengecut! Dahulu, di panggung sayembara, andika menyatakan tidak menghendaki Mawarsih, dan sekarang ternyata mengadakan pertemuan dengannya!"
Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo