Ceritasilat Novel Online

Kidung Senja Di Mataram 4


Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



Joko Lawu maklum bahwa setelah terjadi peritiwa di tempat pesta pernikahan itu, dia tidak mungkin dapat lebih lama tinggal di dusun Muncang. Tanpa disengaja, dia telah melibatkan diri dalam keributan itu sehingga dia menjadi perhatian orang. Padahal, dia sedang bertugas penting, yaitu mencari ayahnya dan dia dalam penyamaran. Semua itu terjadi karena Aji, pikirnya. Kalau saja Aji tidak berjoget dengan Madularas, tentu diapun tidak akan memperlihatkan diri. Akan tetapi, pendapat ini dibantahnya sendiri. Siapa yang akan dapat bertahan sabar menyaksikan kesombongan Ganjur dan kawan-kawannya. Tidak, dia turun tangan karena tidak tahan melihat Ganjur menghina Madularas.

   Akan tetapi akibatnya, dia tidak dapat beristirahat dan malam itu terpaksa dia harus melewatkan malam di sebuah gubuk, di tengah sawah yang sunyi, berkawan bintang-bintang di langit dan jangkrik-jangkrik di sawah. Joko Lawu duduk di atas gubuk itu, memeluk kedua lututnya dan menyandarkan dagu di atas kedua lutut, termenung. Wajah Aji terbayang. Betapa tampan pemuda itu ketika berjoget tadi! Dia menarik napas panjang. Hemm, mengapa dia mengenang pemuda itu? Dia dan ayahnya sudah mengambil keputusan untuk mencari jodoh seorang yang mampu mengalahkannya, putera atau murid tokoh yang mampu menandingi ayahnya. Dan Aji? Ahhh, hanya seorang pemuda seniman yang pandai meniup suling, menari da bernyanyi, akan tetapi lemah! Dia mengusir bayangan Aji dan merebahkan diri tidur di dalam gubuk bambu yang reyot itu.

   Karena lelah dan mengantuk, tak lama kemudian diapun tidur pulas. Akan tetapi, Aji muncul kembali dalam tidurnya. Dia bermimpi dan melihat Aji berjoget tayuban lagi, gagah dan indah jogetnya, akan tetapi yang menjadi pasangannya berjoget bukan Madularas. Ledeknya adalah dia sendiri! Dan betapa bahagianya ketika berjoget sebagai ledek melayani Aji itu! Pada keesokkan harinya, Joko Lawu terbangun oleh kokok pertama ayam jantan dari dusun Muncang. Gubuk sawah itu berada di luar dusun Muncang. Dia bergegas meninggalkan gubuk sebelum ada petani yang meninggalkan dusun pergi ke sawah. Dia memper- gunakan kepandaiannya berlari cepat menuju ke timur, menyongsong ufuk timur yang mulai terbakar merah oleh sinar matahari pagi.

   Pagi yang cerah. Sinar matahari mendahului sang surya, membakar langit di timur. Fajar mulai menyingsing dan cahaya terang mulai mengusir kegelapan malam. Burung-burung sudah sibuk di pohon-pohon, menyambut pagi dengan kicau mereka yang penuh kegembiraan, siap untuk memulai pekerjaan sehari itu mencari makan. Ayam jantan berkokok bersahut-sahutan, dan agaknya seluruh permukaan bumi, segala benda hidup, yang bergerak maupun yang tidak, menanti datangnya rahmat yang menghidupkan dengan penuh kebahagiaan. Sinar matahari! Sumber kehidupan! Suasana yang cerah itu mempengaruhi hati Joko Lawu. Biarpun perutnya sudah mulai bersaing dengan ayam jago namun hatinya ringan dan pikirannya jernih.

   Tidak ada lagi bayangan Aji, agaknya sudah terpuaskan semalam dalam mimpi. Diapun tidak ingat lagi akan peristiwa semalam. Dia cepat pergi ke daerah Ponorogo untuk mencari ayahnya. Sinar matahari mulai panas ketika Joko Lawu meninggalkan kaki Gunung Lawu dan tiba di daerah Magetan. Ketika dia berjalan di bukit kecil yang penuh dengan hutan, dia mendengar teriakan-teriakan orang berkelahi. Tentu saja dia tertarik sekali dan cepat dia memasuki hutan dari mana terdengar suara pertempuran itu, dia melihat seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun, berpakaian seperti seorang petani, sedang dikeroyok oleh dua orang warok yang setengah tua pula. Dua orang warok itu memiliki gerakan yang amat kuat dan cepat juga mereka mempergunakan kolor mereka. Namun, orang yang dikeroyok itupun tangkas, dengan sebatang keris di tangan dia melakukan perlawanan mati-matian.

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Kidung Senja Di Mataram (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   Joko Lawu mengintai, tidak tahu apa yang harus yang dia lakukan. Dia tidak mengenal mereka yang sedang berkelahi, tidak tahu apa masalahnya yang membuat mereka itu berkelahi. Tidak enak berpihak pada salah satu pihak tanpa mengenal mereka dan tidak mengetahui pula siapa yang benar siapa yang salah. Akan tetapi dia melihat betapa laki-laki petani yang dikeroyok itu sudah menderita luka-luka, walaupun tidak mengeluarkan darah, namun pukulan-pukulan kolor mendatangkan luka di sebelah dalam badan. Luka-luka seperti itu lebih parah dibandingkan luka pada kulit yang berdarah. Gerakannya sudah mulai mengendur dan beberapa hantaman kolor membuat dia roboh terpelanting.

   "Keparat busuk, mata-mata Mataram yang jahat!"

   Teriak seorang di antara dua warok yang mengeroyok itu.

   "Sekarang kuantar engkau ke neraka jahanam!"

   Bentak warok ke dua sambil memutar kolornya, siap untuk menghantam dan membunuh.

   "Tahan"""!"

   Teriak Joko Lawu dan ketika dua orang warok itu menengok, pemuda ini sudah meloncat di depan mereka. Tadinya Joko Lawu bingung karena tidak tahu harus membantu pihak mana, akan tetapi begitu mendengar makian tadi, mendengar orang yang dikeroyok itu dituduh mata-mata Mataram, tentu saja mudah baginya untuk menentukan sikap. Mata-mata Mataram itulah yang harus dibantu. Ayahnya sendiripun panglima pasukan penyelidik! Siapa tahu orang itu adalah anak buah ayahnya. Teriakan Joko Lawu tadi mengejutkan kedua orang warok sehingga mereka menunda pemukulan dan melihat bahwa yang menahan mereka hanya seorang pemuda remaja yang amat tampan, kedua orang warok itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-ha, adi Surosekti! Ternyata hadiah kemenangan itu datang sendiri! Bocah begus, wajahmu tampan kulitmu putih mulus gerak-gerikmu lembut".. hemmm".., sungguh beruntung sekali kami dapat bertemu denganmu. Tunggu sebentar, bocah bagus. Biar kami bunuh dulu mata-mata keparat ini!"

   Warok tinggi besar yang mukanya berkulit kasar totoltotol seperti bersisik itu tertawa, kemudian dengan cepatnyamemutar tubuh dan menghantamkan kolornya ke arah kepala laki-laki yang sudah rebah tak berdaya di atas tanah.

   "Wuuuttt""".. plakk!" "Ehhhh??"

   Warok yang kulit mukanya seperti kulit biawak itu meloncat ke belakang dengan kaget dan matanya melotot. Warok itu terkejut dan juga heran melihat bahwa yang tadi menangkis kolornya menggunakan sehelai kain kemben (ikat pinggang) merah hanyalah seorang pemuda remaja yang tampan dan kelihatan lemah. Betapa dia tidak akan kaget dan heran? Kolornya merupakan senjata ampuhnya, apa lagi tadi dia menghantamkannya dengan pengerahan tenaga. Batu pun akan remuk tertimpa kolornya itu. Dan kini seorang pemuda remaja menggunakan kemben merah mempu membuat kolornya terpental! Juga kawannya yang dipanggil Surosekti tadi terbelalak. Akan tetapi, tangkisan yang dilakukan Joko Lawu itu membuat mereka marah sekali.

   "Keparat, siapa engkau berani mencampuri urusan kami!"

   Bentak Surosekti.

   "Aku seorang kelana, namaku Joko Lawu dan aku tidak suka melihat kalian hendak membunuh orang yang sudah tidak dapat melawan begitu saja. Kalian sudah mengalahkan dia, cukuplah dan pergi kalian dari sini."

   Dua orang warok itu saling pandang.

   "Apakah andika seorang kawula Mataram? Kawan dari orang ini?"

   Tanya warok pertama.

   "Sudah kukatakan, aku seorang kelana dan bukan kawan orang ini."

   "Adi Surosekti, tidak perlu banyak cakap lagi. Bocah bagus ini tidak ingin hidup senang dengan kita, bunuh saja sekalian!"

   Kata warok itu dan dua orang itu segera menerjang, menyerang Joko Lawu dengan kolor mereka. Akan tetapi Joko Lawu memang sudah siap siaga.

   Diputarnya kemben merah di tangannya dan nampaklah gulungan sinar merah yang merupakan perisai dan membendung datangnya hujan serangan kedua kolor lawe itu. Dara yang menyamar pria ini sudah menguasai tiga perempat ilmu-ilmu kependaian ayahnya, maka tentu saja tangguh dan gerakannya sudah matang, di samping ia mengusai pula tenaga sakti yang dibangkitkan dalam dirinya. Gulungan sinar kemben merah itu bukan saja mampu menangkis semua serangan dua buah kolor, bahkan dari gulungan sinar itu mencuat ujung kemben dibarengi suara ledakan kecil seperti petir, menyambar ke arah ke dua orang pengeroyoknya secara mengejutkan sekali. Lengan kanan Surosekti telah terkena sambaran sehingga terluka, dan kawannya juga tersentuh lehernya oleh ujung kemben sehingga tergores dan terasa panas pedih.

   Kedua orang warok itu semakin kaget. Mereka memeliki kulit tubuh yang sudah kebal, namun ujung kemben itu mampu menembus kekebalan mereka. Tahulah mereka bahwa pemuda remaja ini tangguh sekali dan mereka juga takut kalau-kalau pemuda ini mempunyai kawan-kawan lagi. Maka, setelah terbuka kesempatan, mereka berloncatan dan melarikan diri. Joko Lawu tidak mengejar mereka, melainkan cepat berlutut di dekat tubuh orang yang telah menderita luka-luka berat itu. Wajahnya pucat, napasnya tinggal satu-satu.

   "Paman, benarkah paman mata-mata dari Mataram?"

   Joko Lawu bertanya, khawatir sekali tidak keburu mendapatkan keterangan tentang ayahnya dari orang yang sudah sekarat itu. Orang itu membuka matanya.

   "Andika"".andika".. siapa?"

   Tanyanya dan pandang matanya penuh curiga.

   "Paman, kenalkah paman kepada Ki Sinduwening? Dia ayahku, paman. Di manakah dia sekarang?"

   Orang itu membelalakkan matanya dan biarpun napasnya terengah, jelas dia kelihatan marah.

   "Pergilah! Ki Sinduwening tidak""

   Mempunyai"".anak laki-laki. Anak tunggalnya seorang wanita""."

   Girang sekali hati Joko Lawu mendengar ini. Ucapan itu saja membuktikan bahwa penyamarannya sebagai laki-laki telah berhasil baik.

   "Paman, lihat baik-baik, aku adalah Mawarsih, puteri dan anak tunggal dari ayahku. Dia melaksanakan tugas dari Sang Prabu untuk memimpin pasukan penyelidikan ke daerah Ponorogo dan JawaTimur, dan aku sedang mencarinya. Di manakah dia, paman?"

   Perlahan-lahan mata itu kehilangan kemarahannya dan bibir itu tersenyum, akan tetapi keadaannya semakin lemah.

   "Pergilah ke Ponorogo""Ki Sinduwening"". ditawan""

   Carilah kawan-kawan".. di warung Pak Jiyo""

   Di sudut kota sebelah timur""."

   Dia terbatuk dua kali dan terkulai lemas. Mati.

   Pada saat itu, terdengar suara banyak orang berlari ke tempat itu. Joko Lawu melihat betapa dua orang warok tadi datang bersama belasan orang. Dia tahu bahwa melawan mereka merupakan bahaya. Pula, orang ini telah tewas dan tidak perlu dibela lagi, juga dia sudah mendapatkan keterangan tentang ayahnya yang amat mengejutkan hatinya. Maka, tanpa membuang waktu lagi, diapun cepat meloncat pergi dari situ dan mengerahkan tenaganya, menggunakan aji kesaktian Tunggang Maruta yang membuat dia dapat lari secepat kijang. Sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan para pengejarnya dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Ponorogo.

   Ayahnya telah ditawan di Ponorogo! Dia merasa heran sekali. Bagaimana ayahnya demikian mudah ditawan? Bukankah ayahnya membawa pasukan, dan ayahnya juga bukan orang lemah yang dapat ditangkap sedemikain mudahnya. Ingin sekali dia tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan tentu saja dia harus menolong ayahnya, kalau benar ayahnya menjadi tawanana di Ponorogo. Dan untuk mendapat keterangan yang jelas, dia harus menghubungi anak buah ayahnya, di warung Pak Jiyo! Karena hatinya gelisah memikirkan ayahnya, Joko Lawu mempercepat perjalanannya.

   Apakah benar keterangan orang yang ditolong Joko Lawu itu bahwa Ki Sinduwening telah ditawan oleh Adipati Ponorogo? Seperti kita ketahui, KI Sinduwening diterima pengabdiannya oleh Sang Prabu Hanyokrowati, bahkan diangkat menjadi seorang senopati yang bertugas memimpin pasukan penyelidik, melakukan penyelidikan ke Jawa Timur. Senopati Ki Sinduwening membawa pasukannya ke daerah Ponorogo yang merupakan kadipaten pertama di timur yang memperlihatkan sikap memberontak setelah Raja Mataram, pertama, yaitu Panembahan Senopati wafat (1601) dan kedudukannya diteruskan puteranya, Pangeran Mas Jolang atau Sang Prabu Hanyokrowati yang sekarang. Ki Sinduwening menyebar pasukannya, dan memilih warung Pak Jiyo sebagai tempat pertemuan rahasia. Pak Jiyo adalah seorang kawula Mataram yang sejak lama memang diberi tugas untuk menjadi mata-mata.

   Melihat keadaan di Ponorogo yang tenteram dan damai, Ki Sinduwening mulai mengumpulkan keterangan. Dia mendapatkan keterangan bahwa Adipati Ponorogo adalah seorang yang kuat dan pandai memerintah sehingga daerah Ponorogo dapat dibilang makmur dan tenteram. Mulailah hati Ki Sinduwening menjadi bimbang. Dia membayangkan bahwa kalau terjadi perang antara Ponorogo dan Mataram, berarti perang saudara yang akan menimbulkan banyak kekacauan, kehidupan rakyat menjadi terancam oleh penjahat-penjahat yang tentu akan bermunculan dan mengail di air keruh.

   Perang, apa lagi perang saudara, merupakan malapetaka! Dan bagaimanapun juga, orang-orang Ponorogo adalah bangsa sendiri, sama-sama orang Jawa dwipa! Dia teringatpendirian Sang Prabu Panembahan Senopati yang hanya ingin mepersatukan seluruh kadipaten di Jawa dwipa, bukan untuk menjajah kadipaten-kadipaten itu. Buktinya, setiap kadipaten diberi wewenang sendiri, pemerintahan sendiri. Apa lagi sekarang ini, amatlah merugikan bangsa kalau sampai terjadi perang saudara. Dia sudah mendengar betapa orang-orang berkulit putih mulai menguasai pantai Jawa dwipa, terutama sekali daerah Banten.

   Kalau sekarang terjadi perang saudara, berarti kedudukan Mataram dan para kadipaten akan menjadi lemah, dan hal itu memudah-kan orang-orang kulit putih bangsa asing itu untuk memperkuat diri. Dia mendengar betapa di daerah Banten mulai terjadi pergolakan menentang orang-orang Belanda dan bangsa asing kulit putih lainnya. Dia mengumpulkan para pembantunya dan menyatakan keinginan hatinya untuk menemui Adipati Ponorogo.

   "Aku sudah mengenal sang adipati. Akan kucoba untuk membujuk dia agar dia tidak memberontak, tidak memusuhi Mataram yang hakekatnya hanya ingin mempersatukan seluruh nusantara."

   Para pembantunya banyak yang menentang keinginan ini.

   "Harap kakang senopati ingat bahwa kita berada di daerah musuh. Kami khawatir kalau-kalau kakang senopati akan dianggap musuh dan mendapat perlakuan yang tidak baik di kadipaten."

   Ki Sinduwening tersenyum.

   "Kalau sampai terjadi sesuatu, andaikata sampai aku tewas sekalipun, aku tidak akan merasa penasaran. Ingat, aku tetap melaksanakan tugas yang diberikan kepadaku oleh Sang Prabu. Kalian semua tetap melakukan penyelidikan, akan kekuatan Ponorogo, dan kelemahan-kelemahannya. Aku sendiri akan pergi menghadap dan membujuk sang adipati. Kalau aku berhasil berarti tidak akan terjadi perang saudara dan malapetaka besar tidak akan menimpa rakyat. Untuk itu, aku bersedia mempertaruhkan nyawaku. Kalau aku berhasil tentu Sang Prabu akan merasa berbahagia sekali karena aku yakin bahwa Sang Prabu, seperti mendiang ramandanya, tidak suka pula untuk berperang melawan para adipati itu dan mengorbankan nyawa banyak perajurit dan rakyat."

   Karena tidak dapat dibujuk, akhirnya para pembantu itu hanya menyetujui saja.

   Ki Sinduwening lalu berdandan sepatutnya, dan pada pagi hari itu diapun mengunjungi kadipaten dan mohon menghadap Sang Adipati Ponorogo. Kebetulan sekali pada saat itu, Sang Adipati sedang mengadakan pertemuan dengan para pongawanya, memperbincangkan niat Sang Adipati untuk mempertahankan Ponorogo sebagai daerah bebas yang tidak tunduk lagi kepada Mataram, dan membicarakan pula siasat pertahanan kalau-kalau Mataram akan melakukan penyerangan untuk menundukkan kembali Ponorogo seperti dahulu. Walaupun selam ini Ponorogo dibebaskan sebagai kadipaten yang memiliki pemerintahan sendiri, namun tetap saja sang adipati dianggap sebagai bawahan Sang Prabu di Mataram, dapat dipanggil sewaktu-waktu dan pada waktu tertentu diharuskan pula untuk menghadap Sang Prabu.

   Pendeknya, Ponorogo diharuskan mengakui kekuasaan Mataram dan hal ini menyinggung perasaan sang adipati sehingga ketika mendapatkan kesempatan, yaitu Prabu Panembahan Senopati meninggal dunia, dia tidak lagi mau menghadap ke kerajaan Mataram untuk menyerahkan bulu-bekti sebagai tanda seorang bawahan yang mengakui kekuasaan atasan! Ketika perajurit pengawal melaporkan bahwa ada Ki Sinduwening dari Mataram mohon menghadap, Sang Adipati Ponorogo merasa heran, akan tetapi segera dia mengutus Senopati Gilingwesi untuk keluar menyambut Ki Sinduwening yang sudah dia kenal sebagai seorang bekas senopati Prabu Panembahan Senopati itu.

   Dia sudah mendengar bahwa Ki Sinduwening telah mengundurkan diri, tidak lagi mengabdi kepada Mataram, maka dia telah mencoba untuk mengutus Ki Danusengoro, adik seperguruan Ki Sinduwening, untuk membujuk tokoh itu agar suka membantu Ponorogo. Namun, seperti telah diceritakan di bagian depan, Ki Sinduwening menolak ajakan atau bujukan adik seperguruannya itu sehingga menimbulkan perkelahian. Dan sekarang, Ki Sinduwening mohon menghadap! Tentu saja Adipati Ponorogo merasa gembira sekali, mengira bahwa Ki Sinduwening berbalik pikir dan kini mau mengabdi dan membantu Ponorogo menegakkan kekuasaannya sendiri.

   Sang Adipati Ponorogo menyambut dengan wajah cerah ketika Ki Sinduwening muncul diiringkan Senopati Gilingwesi, dan dengan ramah dia mempersilakan Ki Sindu wening duduk, bukan di bawah malainkan di atas sebuah kursi, seperti para pembantu utamanya. Akan tetapi banyak di antara para ponggawa memandang dengan alis berkerut, terutama sekali Ki Danusengoro dan muridnya, Brantoko, yang juga hadir sebagai pembantu-pembantu utama dari sang adipati. Setelah berbasa-basi saling memberi salam, Sang Adipati Ponorogo berkata dengan wajah cerah.

   "Kakang Sinduwening, sungguh gembira sekali hati kami menyambut kunjungan andika ini. Kalau kunjungan andika ini berarti andika berniat untuk membantu kami, sungguh kegembiraan kami akan lengkap dan menjadi suatu kebahagiaan."

   Ki Sinduwening membungkuk dengan sikap hormat.

   "Terima kasih atas sambutan adimas adipati yang amat baik. Akan tetapi, sungguh bukan itu maksud kunjungan saya pada saat ini. Kunjungan saya ini terdorong oleh perasaan khawatir membayangkan terjadinya perang saudara yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata. Untuk itulah maka saya datang menghadap paduka, untuk mohon kepada paduka agar mengusahakan supaya tidak sampai terjadi perang."

   Adipati Ponorogo mengerutkan alisnya.

   "Kakang Sinduwening, apa maksud andika sebenarnya? Katakanlah terus terang!"

   Suaranya sudah terdengar agak ketus. Ki Sinduwening menarik napas panjang. Dia harus berani menghadapi resikonya. Memang dia maklum bahwa dia menempuh bahaya, akan tetapi demi cintanya kepada bangsa, dia harus mengingatkan adipati ini agar jangan melanjutkan sikapnya yang memusuhi Mataram, agar tidak sampai terjadi perang saudara.

   "Adimas adipati, sebelumnya harap dimaklumikan kalau pendapat saya dianggap menyimpang. Yang saya khawatirkan hanyalah keselamatan rakyat, baik rakyat di sini, mau pun di Mataram atau di mana saja yang termasuk daerah nusawantara! Saya yakin bahwa paduka sudah mendengar akan gerakan orang-orang kulit putih di sepanjang pantai utara Jawa dwipa, terutama sekali di daerah Banten."

   Adipati Ponorogo mengangguk-angguk acuh.

   "Habis, mengapa? Apa hubungannya peristiwa itu dengan kunjunganmu hari ini?"

   "Adimas adipati, kunjungan saya ini untuk mohon agar paduka tidak melanjutkan sikap bermusuhan dengan Mataram. Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kita semua menghadapi ancaman orang-orang kulit putih yang mulai memperlihatkan kekuasaan di sepanjang pantai, kita semua seyogyanya bersatu padu agar kedudukan kita menjadi kuat. Kalau Ponorogo dan Mataram saling bermusuhan dan terjadi perang saudara, banyak sekali kerugian yang akan diderita oleh bangsa kita. Pertama, akan banyak jatuh korban di antara para perajurit dan rakyat, kedua akan terjadi banyak kekacauan karena tata-tertib terganggu dan penjaga keamanan tidak ada sehingga orang-orang jahat akan bermunculan, dan ketiga, kita semua akan menjadi lemah dan ini menguntungkan pihak asing yang ingin menguasai negara kita."

   "Kakang Sinduwening!"

   Adipati Ponorogo berseru dan mengelus jenggotnya.

   "Kau maksudkan agar kami menakluk kepada Mataram? Begitukah?"

   Suaranya meninggi dan mukanya sudah menjadi kemerahan, matanya mamancarkan sinar marah.

   "Bukan menakluk, adimas adipati, melainkan tidak memberontak. Bukankah sejak mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati, Ponorogo dan Mataram mempunyai hubungan yang amat dekat dan sama sekali tidak pernah bermusuhan? Saya yakin bahwa kalau paduka suka datang menghadap Sang Prabu Hanyokrowati di Mataram, beliau akan menyambut dengan senang hati dan akan melupakan semua sikap yang lalu. Kita perlu sekali bersatu untuk menghadapi ancaman dari luar sang adipati!"

   Adipati Ponorogo mengelus jenggotnya, termenung sejenak. Dia pun dapat membayangkan betapa beratnya melawan pasukan Mataram yang amat kuat itu, dan semua itu kiranya dapat dicegah kalau saja dia mau menghadap Raja Mataram untuk mohon maaf dan berbaik kembali. Tentu saja hal itu akan menurunkan harga dirinya, akan tetapi".. dia mulai bembang ragu.

   "Maaf, Gusti Adipati!"

   Tiba-tiba terdengar suara Ki Danusengoro lantang, mengejutkan semua orang. Senopati ini sudah memandang kepada Sinduwening dengan mata liar melotot penuh kemarahan.

   "Hamba seluruh ponggawa mohon agar puduka jangan mendengarkan ocehan Ki Sinduwening ini! Seperti pernah hamba laporkan kepada paduka, di depan hamba sendiri dia menolak kerja sama dan menyatakan setia kepada Mataram! Semua kata-katanya tadi berbisa, racun yang dicelup madu, terdengar manis namun mencelakakan. Hamba yakin bahwa dia sengaja memancing agar kita semua menjadi lemah dan lengah sehingga pasukan Mataram akan dengan mudah menyerang dan menghancurkan pasukan kita. Tidak, Kanjeng gusti, orang ini palsu dan hamba yakin dia adalah mata-mata Mataram yang ditugaskan untuk melemahkan kedudukan kita!"

   Semua ponggawa serentak menyatakan setuju dengan pendapat ini. Ki Sinduwening menjadi marah dan dia memandang kepada Ki Danusengoro, senyumnya mengejek.

   "Danusengoro, aku mengenal isi hatimu yang busuk! Kalau aku mempunyai niat buruk terhadap Ponorogo, perlu apa aku datang menghadap sang adipati? Memang aku kawula Mataram dan setia kepada Mataram, akan tetapi aku tidak ingin memusuhi Ponorogo, bahkan menyayangkan kalau terjadi perang yang menyengsarakan rakyat! Orang macam engkau ini mana peduli akan nasib rakyat jelata!? Yang penting bagimu hanyalah mencari kedudukan dan kesenangan diri pribadi"""."

   "Cukup!"

   Bentak Ki Danusengoro sambil bangkit berdiri, lalu menghadap sang adipati.

   "Gusti Adipati, orang Mataram ini dengan lancang sekali telah menghina hamba di depan paduka, berarti menghina paduka pula. Dia harus ditangkap agar tidak membuat laporan ke Mataram tentang keadaan kita di Ponorogo!"

   Sang adipati mengangguk.

   "Sinduwening, karena sikap dan kata-katamu, terpaksa kami akan menahanmu. Menyerahlah andika!"

   Ki Sinduwening maklum bahwa usahanya telah gagal.

   "Adimas Adipati, sungguh saya merasa menyesal sekali. Paduka lebih suka mendengar kata-kata yang hanya akan menjerumuskan paduka dan menyengsarakan seluruh rakyat di Ponorogo"".."

   "Tutup mulutmu yang lancang, Sinduwening!"

   Danusengoro membentak.

   "Melawanlah agar kami dapat mencincang tubuhmu!"

   Sinduwening tersenyum.

   "Danusengoro, kalau saja kamu ini seorang jantan dan berani menantangku untuk bertanding secara ksatria, setiap saat tentu akan kulayani. Akan tetapi kamu hanyalah seorang pengecut besar yang curang. Aku tidak akan melawan dan sudah kuketahui sebelumnya akan bahayanya usahaku menyadarkan sang adipati. Adimas Adipati, saya sudah siap menjadi tawanan yang tidak mempunyai kesalahan apapun."

   Tanpa melawan KI Sinduwening ditangkap dan dimasukkan ke dalam ruangan tempat tahanan yang kokoh, dijaga oleh pasukan keamanan. Demikianlah keadaan di Sinduwening dan berita penangkapannya itu tentu saja didengar oleh para anak buahnya, yaitu pasukan penyelidik dfan mata-mata dari Mataram yang disebarnya. Para anggota pasukan penyelidik itu mengadakan partemuan rahasia di warung Pak Jiyo dan mereka melanjutkan tugas mereka melakukan penyelidikan di Ponorogo, dan ada pula yang diam-diam meninggalkan Ponorogo untuk kembali ke Mataram dan melaporkan tentang penangkapan atas diri pemimpin mereka, yaitu Ki Sinduwening.

   Ketika Sang Prabu Hanyokrowati mendengar akan penangkapan atas diri Ki Sinduwening, dia lalu mengutus Nurseta untuk menggantikan kedudukan senopati itu, memimpin pasukan penyelidik, dan dipesannya juga agar berusaha membebaskan Ki Sinduwening dari tahanan.Berangkatlah Nurseta dan diam-diam dia merasa girang karena mendapat kesempatan untuk mencari Mawarsih pula. Dia mendengar dari anak buah yang disuruhnya melakukan penyelidikan bahwa Mawarsih tidak berada di dusun Sintren dan kemungkinan mencari ayahnya yang bertugas melakukan penyelidikan ke Ponorogo dan semua kadipaten di Jawa Timur. Ki Sinduwening yang meringkuk dalam tahanan, diperlakukan dengan baik. Dia meperoleh hidangan makanan dan minuman yang cukup, dan baru sehari semalam dalam tahanan, pada keesokan harinya pagi-pagi muncul Brantoko di depan jeruji besi depan kamar tahanannya.

   "Paman Sinduwening""."

   Kata pemuda itu sambil tersenyum-senyum ramah. Ki Sinduwening mengerutkan alisnya dan mengamati wajah pemuda itu penuh selidik.

   "Mau apa engkau datang ke sini?"

   Tanyanya tegas dan singkat karena tidfak suka kepada pemuda ini.

   "Aku merasa menyesal sekali melihat paman ditawan di sini. Kenapa paman harus mengambil sikap bermusuhan dengan Sang Adipati? Kalau paman suka bekerja sama, tentu tidak akan ditawan, malah menjadi tamu agung."

   "Cukup, pergilah. Aku tidak mau bicara denganmu tentang hal itu."

   Kata Ki Sinduwening.

   "Paman Sinduwening, aku bersungguh-sungguh, aku tidak suka melihat paman menjadi tawanan. Aku akan dapat menolongmu, membebaskanmu, paman""."

   "Hemm, apa maksudmu?"

   Ki Sinduwening memandang tajam penuh selidik, tidak mau percaya begitu saja ucapan pemuda itu.

   "Paman, andaikata kau tidak melihat paman sebagai kakak seperguruan guruku, tentu akupun ingat bahwa paman adalah ayah diajeng Mawarsih yang kucinta sepenuh jiwa ragaku. Paman Sinduwening, berjanjilah paman bahwa paman menyetujui aku menjadi suami diajeng Mawarsih, dan aku akan membebaskan paman dari tempat ini."

   Kerut merut di kening orang gagah itu makin mendalam. Dia amat menyayang puterinya, lebih besar kesayangannya terhadap puterinya dari pada nyawanya sendiri. Dan kini pemuda bejat ahlak ini membujuk dia untuk menukar keselamatannya dengan diri puterinya?

   "Tidak! Bedebah engkau, Brantoko. Pergilah, sampai matipun aku tidak sudi mem- biarkan puteriku menjadi isteri seorang jahanam seperti engkau!"

   Wajah Brantoko yang tampan itu menjadi marah sekali, lalu pucat dan merah kembali. Kedua tangannya yang besar dan kokoh itu dikepal, seolah-olah dia hendak menerjang dan menyerang Ki Sinduwening yang berada di balik jeruji besi. Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani. Dia mengamangkan tinju kanannya yang besar ka arah muka Ki Sinduwening.

   "Baik, kalau begitu akan kuusahakan agar engkau disiksa dan dibunuh di sini! Dan aku akan tetap mendapatkan Mawarsih, baik secara atau secara kasar!"

   "Keparat busuk, enyahlah!"

   Bentak Ki Sinduwening dan matanya mencorong seperti mata harimau, membuat pemuda itu surut dan segera meninggalkan tempat itu. Setelah dia ke luar, barulah para penjaga berdatangan lagi mendekati tempat tahanan itu. Dia harus dapat menyelamatkan diri, walau hanya untuk mencegah pemuda jahat itu membuktikan ancamannya terhadap Mawarsih tadi.

   Nurseta menunggang kudanya yang berbulu dawuk dan tinggi besar. Pemuda ini memang gagah sekali. Selain tampan dan lincah, juga wajahnya yang berkulit kuning itu selalu bersih, rambutnya selalu terpelihara rapi, pakaiannya juga rapi dan bersih. Dia memang suka bersolek. Di belakangnya terdapat selosin perajurit yang mengikutinya. Sekali ini, dia dan perajuritnya tidak menggunakan pakaian seragam, melainkan pakaian biasa sehingga mereka seperti orang-orang muda yang sedang berpesir atau sedang hendak berburu binatang.

   Seperti Nurseta, dua belas orang perajurit itupun menunggang kuda. Rombongan itu sudah melewati puncak Gunung Lawu setelah kemarin Nurseta singgah di dusun Praban di mana ayahnya, Ki Demang Padansuta, menjadi demang di dusun itu. Nurseta menceritakan kepada ayahnya bahwa ia bertugas mencari Ki Sinduwening di daerah Ponorogo dan dalam percakapan itu, Nurseta juga bercerita kepada ayah ibunya bahwa ia terpikat oleh Mawarsih, dan menyatakan keinginan hatinya untuk kelak memperisteri gadis itu. Ketika rombongan itu tiba di tepi sebuah hutan, tiba-tiba Nurseta mendengar jerit tangis wanita. Mendengar ini, cepat dia membelokkan kudanya memasuki hutan itu, diikuti oleh anak buahnya.

   Kuda yang ditunggangi Nurseta lebih cepat larinya dan sebentar saja dia sudah tiba di tempat di mana terdengar tangis wanita itu. Dan dia melihat dua orang laki-laki tinggi besar sedang memegangi seorang wanita cantik yang meronta-ronta dan menjerit-jerit. Mudah saja diduga apa yang akan dilakukan dua orang laki-laki yang tertawa-tawa itu, maka sekali melomat Nurseta sudah turun dari kudanya dan lari menghampiri mereka.

   "Bedebah, lepaskan wanita itu!!"

   Bentak Nurseta dengan geram. Dua orang laki-laki tinggi besar itu menoleh dan ketika mereka melihat bahwa yang menegur mereka hanyalah seorang pemuda tampan, mereka mengeluarkan suara menggereng seperti harimau dan keduanya sudah menyerang maju dengan ganas. Akan tetapi Nurseta sudah siap siaga sejak meloncat turun dari kudanya. Dia mengelak dengan loncatan sigap, kemudian membalas dengan tamparan tangannya.

   Dua orang laki-laki itu menagkis dan menyerang lagi, lebih dahsyat karena kini mereka sudah mencabut golok mereka yang tajam berkilauan. Menghadapi serangan golok yang menyambar-nyambar mengeluarkan suara berdesing itu, Nurseta tidak menjadi gentar. Dia masih mempergunakan kelincahan gerak tubuhnya, mengelak ke sana sini akan tetapi dia maklum bahwa dua orang lawannya itu bukan lawan yang lemah. Maka, diapun mencabut pecut kuda yang sejak tadi terselip di pinggangnya. Terdengarlah suara meledak-ledak ketika dia menggerakkan pecut kuda itu dan ujung pecut itu menyambar-nyambaSelain tingkat aji kesaktian Nurseta lebih tinggi dari pada kedua orang lawannya, juga senjata pecut itu jauh lebih panjang dibendingkan golok maka ujung pecut itu yang lebih cepat menghujankan serangan, menukik dan mematuk-matuk.

   Pecut yang amat ringan itu tentu saja dapat digerakkan jauh lebih cepat pula dan orang itu segera menjadi sibuk melindungi muka mereka dari hujan lecutan. Dan ujung pecut itu pun bagaikan ujung keris saja, setiap kali mematuk dan mengenai tubuh, tentu kulitnya pecah tercabik. Tak lama kemudian, dua orang yang hanya mampu memutar golok melindungi muka tanpa mampu membalas itu sudah luka-luka berdarah bagian muka dan leher mereka dan merekapun melarikan diri ketakutan. Nurseta tidak mengejar, melainkan menoleh ke arah wanita tadi sambil menyelipkan kembali pecutnya.

   Dia melihat seorang wanita yang cantik sekali, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, dan diapun mengerti mengapa dua orang kasar tadi hendak menggangunya. Wanita itu telampau cantik dan menarik untuk berjalan seorang diri di dalam hutan, dan memang tidak mudah bagi pria untuk membiarkannya tanpa menggangu. Wanita itu adalah seorang wanita muda yang sudah matang, usianya sekitar dua puluh tujuh tahun. Kulit tubuhnya putih kuning dan mulus, rambutnya yang hitam panjang itu berombak dan di dahinya terhias sinom rambut yang lembut dan awut-awutan.

   Wajahnya bersih dan manis, dengan sepasang mata yang jeli dan kerlingnya memikat, hidungnya mancung dan bibirnya yang merah basah itu kadang nampak setengah terbuka dan menantang. Kedua pipinya kemerahan tanpa alat dan selalu berseri. Nurseta terpesona, akan tetapi juga merasa heran karena wajah yang manis ini tidak asing baginya. Dia pasti sudah mengenalnya, akan tetapi entah di mana dan kapan. Setelah saling pandang sejenak, wanita itu lalu berlari menghampiri Nurseta, langkahnya lembut dan lenggangnya memikat seperti langkah seorang penari yang pandai. Setelah tiba di depan pemuda itu, iapun menjatuhkan diri bersimpuh dan dari atas begini Nurseta dapat melihat tonjolan bukit kembar di dada wanita itu yang bentuknya begus dan menggairahkan.

   "Saya menghaturkan terima kasih, Raden. Kalau tidak ada paduka, entah bagaimana nasib saya. Saya berhutang budi, kehormatan dan nyawa kepada paduka, dan entah bagaimana saya akan mampu membalasnya."

   Suaranya juga merdu merayu, seperti orang bertembang saja, dan tiba-tiba Nurseta teringat! Suara itulah yang mengingatkannya, suara wanita yang dulu amat dikaguminya kalau sedang bertembang pada malam hari.

   "Kanjeng ibu Mayaresmi"""! Bukankah andika ini kanjeng ibu Mayaresmi""?"

   
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Wanita itu nampak terkejut, bangkit berdiri, memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak, lalu mundur tiga langkah dengan tangan kiri menyentuh dada, tangan kanan di depan mulut.

   "Ehh""? Siapa""

   Siapakah paduka"".?"

   Nurseta tersenyum dan memberi hormat dengan membungkuk.

   "Kanjeng ibu lupa kepada saya? Saya Nurseta, murid bapa guru Ki Ageng Jayagiri di lereng Merbabu!"

   "Ahhh".., aku sekarang teringat. Andika adalah murid baru itu"., sungguh beruntung sekali aku dapat bertemu denganmu, Raden Nurseta""."

   "Kanjeng Ibu, harap jangan menyebut raden kepadaku. Sebut saja Nurseta dan"""

   "Dang engkaupun menyebut kanjeng ibu kepadaku! Sudah begitu tuakah aku maka andika menyebutku kanjeng ibu? Kukira usia kita tidak jauh berbeda, mungkin hanya berselisih satu dua tahun saja."

   "Akan tetapi, andika adalah isteri bapa guruku, tentu saja kusebut kanjeng ibu."

   "Siapa isteri bapa gurumu? Dahulu memang, akan tetapi sekarang bukan lagi. Sudah bertahun-tahun aku tidak lagi menjadi isteri Ki Ageng Jayagiri!"

   Nurseta tersenyum.

   Tentu saja dia tahu bahwa wanita ini meninggalkan gurunya beberapa tahun yang lalu. Dia baru setahun menjadi murid Ki Ageng Jayagiri ketika Mayaresmi ini lari meninggalkan padepokan gurunya. Ki Ageng Jayagiri menghadapi peristiwa itu dengan tenang saja, bahkan melarang para murid dan cantriknya yang hendak melakukan pengejaran dan pencarian. Dan dari para cantrik dia pernah mendengar bahwa isteri gurunya yang amat cantik dan jauh lebih muda dari gurunya itu dahulunya adalah seorang ledek yang kemudian diperisteri Ki Ageng Jayagiri yang sudah lama menduda. Dan wanita muda itu baru berusia dua puluh tahun ketika menjadi isteri Ki Ageng Jayagiri, kemudian melarikan diri setelah dua tahun menjadi isteri panembahan itu.

   "Kalau demikian halnya, memang tidak semestinya aku menyebut kanjeng ibu kapada andika. Lalu sebutan apa yang harus kupakai?"

   Nurseta mulai bertingkah genit karena kerling mata dan senyum wanita itupun memikat dan penuh daya tarik. Sebagai seorang pemuda yang banyak pengalamannya dengan wanita, diapun tahu bahwa wanita yang satu ini mau dan mudah digoda! Mayaresmi mengerling.

   "Andika sudah tahu namaku, Raden. Sebut saja namaku."

   "Mayaresmi""? Namamu memang indah sekali, seindah orangnya."

   Nurseta mulai merayu dan memancing, hendak melihat sikap wanita itu. Bibir itu merekah manis dan manja.

   "Ihh, Raden! Perempuan gunung macam aku ini, tidak ada harganya untuk dipuji seorang bangsawan muda seperti andika."

   Pada saat itu, dua belas orang pengawal Nurseta tiba di situ, mengejutkan Mayaresmi.

   "Mereka adalah pasukan pengawalku, jangan andika terkejut dan takut, Maya resmi."

   Nurseta menghibur wanita yang lari mendekatinya dan memegang tangannya dengan sikap ketakutan tadi. Dua belas orang perajurit pengawal itu hanya tersenyum melihat betapa pemimpin mereka berada di tempat itu bersama seorang wanita cantik. Mereka semua telah mengenal baik watak Raden Nurseta yang tidak pernah mau melewatkan kesempatan dan melepaskan seorang wanita cantik yang dijumpainya bergitu saja.

   "Apakah yang terjadi di sini, Raden?"

   Seorang di antara mereka bertanya. Nurseta menggerakkan tangannya, menyuruh mereka menyingkir.

   "Tidak ada apa-apa, semua aman. Dua orang penjahat mencoba untuk mengganggu wanita ini dan mereka telah kuusir pergi. Kalian tunggu saja di luar hutan."

   Dua belas orang itu tersenyum, mengangguk dan merekapun melarikan kuda mereka ke luar hutan itu.

   "Wah, andika mempunyai pasukan pengawal! Agaknya andika telah menjadi seorang perwira, Raden?"

   Nurseta sedang menyamar karna dia memimpin pasukan penyelidik, akan tetapi terhadap wanita yang pernah menjadi isteri gurunya ini, tentu saja dia merasa tidak perlu merahasiakan keadaan dirinya. Apalagi wanita ini telah menggerakkan hatinya dan diapun ingin memamerkan keadaannya untuk menaikkan harga dirinya.

   "Semua ini berkat didikan bapa guru, Mayaresmi. Aku telah menjadi seorang senopati di Mataram. Sekarang ceritakanlah tentang dirimu. Mengapa engkau dahulu lari meninggalkan bapa guru, dan sekarang tinggal di mana dan bersama siapa?"

   Dia berhenti sebentar, meragu, lalu melanjutkan,

   "Apakah engkau sudah menikah lagi?"

   Mayaresmi menggeleng kepala.

   "Aku hidup menyendiri, Raden. Rumahku tidak jauh dari sini dan tidak enaklah bicara di sini. Mari singgah di pondokku, Raden, agar lebih leluasa kita bicara. Undangan ini disertai kerling mata memikat sehingga Nurseta yang sudah kegirangan mendengar bahwa wanita itu hidup menyendiri, tersenyum dan mengangguk, lalu dia menghampiri kudanya dan menuntun kudanya.

   "Engkau naiklah ke punggung kudaku ini, Mayaresmi, biar aku menuntunnya."

   "Ah, mana boleh begitu, Raden. Andika naiklah, biar aku berjalan kaki saja. Aku".. aku takut kalau menunggang kuda sendiri."

   Senyum di wajah Nurseta melebar.

   "Takut? Kalau begitu, biar kujaga dan kuboncengkan, Mayaresmi. Nah, naiklah, aku akan duduk di belakangmu!"

   Dengan bantuan Nurseta yang melingkari pinggang yang ramping itu dengan lengannya yang kuat, Mayaresmi diangkat naik ke atas pungung kuda. Sentuhan tangan di pinggang itu mesra sekali, dan mendatangkan getaran yang menggairahkan kedua pihak, terutama sekali Nurseta. Pada saat itu, hatinya sudah jatuh bangun, bertekuk lutut kepada wanita yang pernah menjadi isteri gurunya itu.

   Ketika dia meloncat ke atas pungung kuda di belakang Mayaresmi sehingga tubuh mereka berhimpitan,dan dia menjalankan kudanya, rambut panjang berombak itu tertiup angin menyapu hidungnya, Nurseta mencium keharuman melati yang sedap dan semangatnyapun melayangKetika kuda itu keluar dari hutan dan Nurseta melihat anak buahnya, dia berseru kepada mereka agar mengikutinya dari jarak jauh. Rombongan anak buahnya hanya tersenyum dan merekapun mengikuti pemimpin mereka dari jarak yang cukup jauh sehingga Nurseta dengan leluasa membuat kudanya lari congklang dan lengan kirinya tak pernah melepaskan pelukannya dari pinggang yang ramping dan lunak hangat itu dengan dalih untuk menjaga agar Mayaresmi tidak sampai terjatuh! Tentu saja Mayaresmi diam-diam merasa geli karena sebetulnya dalam hal menunggang kuda, ia tidak kalah mahirnya dibandingkan Nurseta!

   Mayaresmi adalah puteri tunggal seorang warok gemblengan yang tinggal di daerah Pacitan, dekat laut kidul. Warok ini bernama Wirobandot dan selain terkenal sakti, juga dia seorang yang tidak segan mempergunakan kekerasan untuk memaksakan keinginannya. Kurang lebih tujuh tahun yang lalu, ketika Ki Ageng Jaya giri yang ketika itu berusia lima puluh tiga tahun, kebetulan lewat di pantai laut kidul, dia dihadang oleh Warok Wirobandot dan anak buahnya, lalu dirampok. Akan tetapi, Ki Ageng Jayagiri mengalahkan mereka semua, dan Wirobandot sendiri juga kalah.

   Ki Ageng Jayagiri mengampuninya dan karena girang dan kagumnya warok itu mempersilakan pertapa Gunung Merbabu itu untuk singgah di rumahnya. Ketika itu Mayaresmi berusia dua puluh tahun. Wanita ini memang cantik manis, akan tetapi dalam pernikahannya, ia tidak beruntung. Sudah dua kali ia menikah dengan pemuda-pemuda di daerah itu, akan tetapi pernikahannya selalu gagal dan ketika Ki Ageng Jayagiri singgah di situ! Mayaresmi telah menjanda dua kali tanpa anak. Selain cantik jelita juga Mayaresmi terkenal sebagai seorang ledek pilihan. Tidak mengherankan kalau banyak pria tergila-gila kepadanya. Akan tetapi, tidak ada pria yang berani kurang ajar atau memaksakan kehendak, karena tentu saja mereka takut kepada ayah wanita itu, yaitu warok Wirobandot.

   Selain itu, juga Mayaresmi sendiri bukanlah wanita lemah, dan kalau hanya laki-laki biasa saja, betapa kuatpun, tidak akan mampu menandinginya. Dalam pertemuannya itulah, Ki Ageng Jayagiri yang sudah belasan tahun menduda, terpikat hatinya dan bangkit nafsunya sehingga dia lupa diri. Apa lagi ketika Mayaresmi mendengar betapa ayahnya dikalahkan oleh pertapa itu, ia merasa kagum sekali dan mempergunakan segala muslihat untuk memikat hati sang pertapa. Mayaresmi ingin mendekati Ki Ageng Jayagiri bukan karena kejantanannya atau ketampanannya karena tentu saja pria itu sudah terlalu tua bagi Mayaresmi. Akan tetapi Mayaresmi tertarik kepandian Ki Ageng Jayagiri, dan terutama sekali ia kagum bukan main karena ayahnya yang dianggap paling tangguh itu dikalahkannya.

   Melihat betapa anaknya dan Ki Ageng Jayagiri kelihatan saling tertarik, Wirobandot tidak merasa keberatan bahkan girang sekali kalau dia dapat menarik orang sakti itu sebagai mantunya. Maka, menikahlah Ki Ageng Jayagiri dengan Mayaresmi. Wanita itu diboyong ke pertapaan di padepokan lereng Gunung Merbabu dan tinggal di sana sebagai isteri Ki Ageng Jayagiri. Selama dua tahun, Mayaresni menimba ilmu kedigdayaan dari suaminya. Akan tetapi di samping kesenangan bisa mempelajari ilmu-ilmu kesaktian, wanita muda inipun merasa tersika karena ia tidak mendapatkan kepuasan bersuamikan seorang yang jauh lebih tua darinya. Untuk memuaskan nafsunya dengan murid atau cantrik, tentu saja ia tidak berani.

   Maka, akhirnya nampaklah watak aslinya dan iapun melakukan hubungan gelap dengan seorang pria muda di dusun tetangga. Ki Ageng Jayagiri menangkap basah kedua orang yang berjina itu. Sebagai seorang yang sudah mampu menguasai amarahnya, Ki Ageng Jayagiri hanya menegur kedua orang itu dan sama sekali tidak membuka rahasia mereka sehingga tidak ada seorangpun murid atau cantrik yang mengetahuinya. Dan Mayaresmi yang merasa malu sendiri akhirnya melarikan diri meninggalkan padepokan. Ki Ageng Jayagiri juga tidak melakukan pengejaran, membiarkan Mayaresmi pergi dan memberi kebebasan kepada wanita muda itu.

   Setelah bebas dari suaminya, Mayaresmi lalu menjadi seorang wanita petualang. Ia memiliki ilmu kepandaian sehingga ia mampu malang-melintang seorang diri ke manapun ia suka. Ia bahkan telah menyusup ke dalam kadipaten Ponorogo dan berkat kepandaiannya dan juga kecantikannya, ia dapat melampiaskan dorongan nafsu birahinya untuk mengadakan hubungan dengan pria manapun yang menarik hatinya! Dalam petualangannya ini ia bertemu dengan Brantoko dan tentu saja keduanya saling tertarik dan di antara mereka terjalin hubungan yang akrab, bukan saja sebagai kekasih akan tetapi juga sebagai sekutu. Brantoko bahkan menghadapkan Mayaresmi kepada sang adipati Ponorogo dan menjadi orang kepercayaan pula.

   Demikian juga Warok Wirobandot, ayah wanita itu, mendapatkan kepercayaan untuk membantu kadipaten Ponorogo. Pertemuan Mayaresmi dengan Nurseta bukanlah hal yang kebetulan saja, melainkan pertemuan yang sudah direncanakan. Gangguan dua orangt tinggi besar terhadap Mayaresmi di dalam hutan itu merupakan siasatnya. Mata-mata Ponorogo sudah mendengar bahwa Raden Nurseta merupakan orang ke dua setelah Ki Sinduwening yang diutus Raja Mataram untuk melakukan penyelidikan ke daerah Ponorogo, maka panglima muda ini perlu diperhatikan.

   Siasat diatur dan Mayaresmi diberi tugas untuk memikat Nurseta untuk menjadi sekutu atau untuk dibunuh kalau membahayakan, setidaknya ditangkap dan ditawan seperti halnya Ki Sinduwening. Demikianlah, dengan siasat yang amat cerdik, akhirnya Mayaresmi berhasil mengelabui Nurseta dan berhasil pula mengajak pemuda itu untuk berkunjung ke pondokannya yang berada di sebuah dusun kecil dan sepi. Nurseta memberi isarat kepada para pengikutnya untuk menantinya di luar dusun agar tidak menarik perhatian, dan dia sendiri melanjutkan perjalanan berboncengan kuda dengan Mayaresmi memasuki dusun kecil menuju ke sebuah rumah mungil di sudut dusun. Seorang wanita berusia enam puluhan tahun menyambut mereka dengan hormat dan ramah.

   "Raden, ini Mbok Giyem, pembantuku yang menjaga rumah. Mbok Giyem, cepat masak air untuk Raden Nurseta. Dan apakah sudah ngliwet? Sembelih ayam dan masaklah yang enak untuk kami."

   Wanita itu tersenyum sehingga nampak giginya yang ompong dan iapun masuk ke bagian belakang. Nurseta mengamati rumah itu. Kecil namun mungil dan isinya cukup leng-kap dan bersih. Mereka segera duduk berhadapan di ruangan rumah yang dikelilingi pohon-pohon sehingga amat teduh itu.

   "Nah, sekarang aku ingin mendengar ceritamu, Mayaresmi. Apa saja yang kau alami sejak meninggalkan padepokan bapa guru, dan bagaimana pula engkau berada di hutan itu dan diganggu dua orang tadi."

   "Nanti dulu, Raden. Hari telah mulai gelap, sebaiknya kunyalakan dulu lampu penerangan". Mayaresmi menyalakan lampu penerangan dan barulah teringat oleh Nurseta betapa perjalanan tadi cukup jauh dan makan waktu setengah hari! Hari menjelang malam dan dia akan terpaksa melewatkan malam di dusun ini. Dia teringat akan anak buahnya.

   "Ahh, tak terasa senja telah lewat. Di mana anak buahku akan melewatkan malam?"

   Katanya sambil bangkit berdiri.

   "Jangan khawatir, mereka dapat berpencar dan bermalam di rumah-rumah penduduk dusun ini. Aku tanggung mereka akan aman, Raden. Biar kusuruh Siman tetanggaku untuk memberi tahu kepada mereka, menyampaikan pesanmu."

   Tanpa menanti jawaban, Mayaresmi menghampiri jendela samping dan berseru memanggil nama Siman. Seorang pemuda remaja dusun muncul dan wanita itu menyuruh dia pergi ke luar dusun, menemui dua belas orang berkuda yang berada di sana, membawa pesan Raden Nurseta bahwa mereka dapat melewatkan malam di dusun ini, menumpang kepada rumah-rumah di dusun itu. Siman menyanggupi dan diapun lari meninggalkan pondok itu.

   Nurseta tersenyum.

   "Mayaresmi, agaknya engkau berpengaruh juga di tempat ini."

   "Ah, dusun sekecil ini, semua penduduknya rukun dan bergotong royong, Raden. Jangan khawatir, mereka adalah orang-orang sederhana dan akan merasa bangga menerima tamu orang-orang kota yang semua dianggap priyayi."

   Mereka kembali duduk berhadapan dan di bawah sinar lampu yang kemerahan, wajah Mayaresmi nampak semakin cantik jelita dan menggairahkan.

   Pandang mata dan senyum wanita itu jelas sekali mengundang dan manantang, membuat jantung Nurseta terasa tergetar dan berdebar. Dia teringat betapa dahulu, ketika menjadi murid Ki Ageng Jayagiri dan bertemu dengan wanita ini, dia hanya menganggap bahwa bapa gurunya mempunyai isteri yang cantik muda. Akan tetapi tidak pernah dia membayangkan yang bukan-bukan, apa lagi terpikat dan tertarik. Hal itu adalah karena pertama kali dia menganggap wanita itu sebagai isteri bapa gurunya dan kedua terutama sekali karena sikap wanita itupun lugas dan wajar, sama sekali tidak memikat seperti saat ini. Sekarang, wanita di depannya itu jelas menantang!

   "Nah, sejak tadi aku sudah menanti untuk mendengar ceritamu,"

   Nurseta berkata dan sinar matanya nampak lahap seperti hendak menelusuri seluruh tubuh wanita itu. Melihat ini, Mayaresmi tersenyum dan merasa girang, yakin bahwa umpannya mengenai sasaran.

   "Apa yang harus kuceritakan, Raden? Aku meninggalkan Ki Ageng Jayagiri dan pulang ke rumah ayahku di Pacitan, membantu pekerjaan ayah dan menjadi petani dan nelayan di pesisir laut kidul.

   "Nanti dulu, Mayaresmi, katakan dulu mengapa engkau meninggalkan padepokan bapa guru yang ketika itu menjadi suamimu."

   Wajah wanita itu berubah menjadi merah dan senyumnya mengandung sikap malu.

   "Ah, apa yang dapat kukatakan, Raden? Tentu andika sudah dapat membayangkan sendiri perasaan seorang wanita muda seperti aku yang menikah dengan seorang pria tua, pertapa lagi. Selama dua tahun kutahan-tahankan, namun akhirnya aku tidak dapat bertahan lagi. Kesepian menggerogoti hatiku maka hari itu kuputuskan untuk meninggalkan Ki Ageng Jayagiri dn pulang ke rumah orang tuaku sendiri."

   Nurseta mengangguk-angguk, akan tetapi masih merasa penasaran.

   "Maafkan pertanyaanku, Maya,"

   Singkatan panggilan nama ini terasa lebih mesra, baik oleh pemanggilnya maupun yang dipanggil.

   "Akan tetapi ketika engkau menjadi isteri bapa guru, engkau sudah tahu bahwa beliau adalah seorang pria tua. Kenapa waktu itu engkau yang masih muda mau saja diambil isteri olehnya?"

   Mayaresmi nampak tersipu.

   "Raden, kalau bukan kepadamu, tentu aku tidak mau berterus terang. Akan tetapi seperti kataku tadi, engkau telah menolongku,dan aku berhutang budi, kehormatan dan nyawa kepadamu. Apapun yang kau tanyakan akan kujawab, apapun yang kau kehendaki dari diriku, akan kutaati untuk sekedar membalas budimu yang setinggi langit, sebesar gunung dan seluas lautan. Ketahuilah bahwa ketika itu, Ki Ageng Jayagiri pernah mengalahkan ayahku yang jagoan. Ayah kagum sekali, demikian pula aku, karena belum pernah aku melihat ada yang akan mampu menandingi ayahku. Dan ketika aku bertemu dengan Ki Ageng Jayagiri, aku telah menjanda dua kali. Dua orang suamiku yang dahulu adalah pemuda-pemuda dusun yang brengsek. Nah, dalam keadaan seperti itu, ketika Ki Ageng Jayagiri meminangku, aku yang janda dan yang kagum kepadanya lalu menerimanya, demikian pula ayah. Baru setelah dua tahun hidup di Padepokan yang sunyi, di samping suamiku yang lebih senang bersamadhi dari pada mendekatiku, aku merasa tersiksa."

   Nurseta kembali mengangguk-angguk dan merasa puas dengan jawaban itu.

   "Lalu, setelah engkau meninggalkan padepokan, selama beberapa tahun ini engkau tidak menikah lagi?"

   Mayaresmi menggeleng kepala.

   "Tidak, Raden. Aku sudah jera karena selalu gagal. Pula, laki-laki manakah yang sudi kepada aku, seorang janda tiga kali ini? Perempuan dusun yang bodoh."

   "Ah, jangan merendah seperti itu, Maya. Engkau masih muda, engkau cantik jelita, tidak kalah oleh puteri-puteri istana"""

   "Ihhh, engkau ini hanya merayu, memuji kosong saja, Raden. Aku yakin bahwa biarpun mulutmu memuji, akan tetapi engkau akan merasa jijik berdekatan dengan perempuan seperti aku""."

   "Jijik? Aku akan bangga dan berbahagia!"

   Kata Nurseta dan di lain saat Mayaresmi telah berada dalam pelukannya.

   Wanita itu bukan saja menyerah, bahkan membalas belaian Nurseta dan tak lama kemudian, keduanya sudah tenggelam ke dalam lautan nafsu yang menggelora. Di luar dugaan Nurseta, Mayaresmi adalah seorang wanita yang jauh lebih pandai dan berpengalaman dari pada dia, dan kalau tadinya dia menganggap bahwa dia mampu menundukkan Mayaresmi, sebaliknya, tanpa disadarinya, dialah yang dijadikan semacam tanah liat yang dapat dibentuk bagaimanapun juga menurut kehendak hati Mayaresmi! Dialah yang bertekuk lutut tanpa syarat, merasa betapa dia telah menemukan seorang wanita yang membahagiakan dirinya lahir batin. Semalam suntuk mereka berenang di lautan nafsu, dan Nurseta sudah tergila-gila, membujuk wanita itu agar suka ikut dengan dia ke Mataram.

   "Maya, aku cinta padamu. Setelah selesai tugasku di sini, aku akan membawamu ke Mataram di mana engkau akan hidup mulia dan berbahagia di sampingku. Aku akan menikahimu""."

   

Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini