Kidung Senja Di Mataram 8
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
"Ki sanak, bukankah andika Ki Wirobandot dari Pacitan?"
Ki Sinduwening kini melangkah maju untuk melindungi puterinya dan menghadapi si gendut pendek botak itu. Ki Wirobandot, warok yang terkenal sekali di Pacitan, memandang penuh perhatian kemudian dia tertawa bergelak, suaranya besar parau seperti suara katak buduk.
"Hah-ha-ha-ha, kiranya Ki Sinduwening dari Sintren yang berada di sini! Sungguh kebetulan sekali. Sinduwening, mengingat bahwa selama ini jalan hidup kita bersimpangan, kuharap sekali ini pun engkau tidak akan mencampuri urusan kami. Ketahuilah bahwa pemuda ini pernah melakukan penghinaan terhadap murid-muridku. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kalau para muridku kini menuntut balas, dan kuharap engkau tidak mencampurinya."
Diam-diam Nurseta terkejut mendengar bahwa pria itu adalah Warok Wirobandot, ayah Mayaresmi, wanita cantik yang telah menjeratnya dan yang kini menjadi kekasihnya, bahkan sekutunya yang menarik dia berpihak kepada Ponorogo!
Sementara itu, mendengar ucapan Wirobandot, Ki Sinduwening tersenyum dan berkata.
"Wirobandot, memang selama ini di antara kita tidak terdapat permusuhan apapun, dan memang sudah sepantasnya kalau andika membela murid-murid andika. Akan tetapi, katakanlah kepadaku, Wirobandot, mana lebih berat antara murid dan anak kandung?"
Biarpun tidak mengerti apa tujuan Sinduwening dengan pertanyaan itu, namun pertanyaan seperti itu hanya mempunyai satu macam jawaban.
"Tentu saja lebih berat anak kandung dari pada murid. Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?"
"Dan engkau pasti akan melindungi anak kandungmu, lebih dari pada muridmu yang manapun, bukan?"
"Tentu saja, akan tetapi apa hubuangannya"".."
"Andika membela murid-murid, akan tetapi aku membela anak."
Ki Siduwening menunjuk ke arah Joko Lawu.
"Ia adalah anakku, maka tentu saja aku akan melindunginya."
Wirobandot tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, jangan mempermainkan aku, Sindu wening. Aku tahu bahwa andika hanya mempunyai seorang anak saja, dan anakmu itu perempuan!"
Joko Lawu melangkah maju.
"Memang benar, ayahku hanya mempunyai seorang anak saja, anak perempuan dan akulah orangnya, namaku Mawarsih!"
Berkata demikian, ia menggunakan suara aslinya sehingga Wirobandot, ganjur dan teman-temannya baru tahu bahwa Joko Lawu adalah seorang perempuan!
Wajah Ganjur berubah merah sekali. Kiranya dia dan dua orang kawannya tempo hari dikalahkan dan dihajar oleh seorang wanita! Warok Wirobandot sendiri tertegun dan menjadi serba salah. Baginya juga merupakan pukulan mendengar bahwa muridnya yang paling dibanggakan telah dihajar oleh seorang wanita, seorang gadis muda! Melihat sikap gurunya, Ganjur tidak kehilangan akal. Dia khawatir kalau-kalau gurunya akan mundur sehingga dia tidak dapat melampiskan dendamnya. Dia mendekati gurunya dan berkata dengan suara mengandung permohonan.
"Bapak guru, kalau ternyata ia seorang gadis, aku akan melupakan penghinaan itu asal ia suka menjadi isteriku. Bapak guru, harap suka meminangkan gadis ini untukku."
Mendengar ini, legalah hati Wirobandot. Memang itu jalan terbaik untuk melenyapkan perasaan penasaran dan malu itu dan diapun tertawa lagi.
"Ha-ha-ha, sungguh ini yang dinamakan sebelum bertanding tidak akan saling mengenal! Ki Sinduwening, maafkan kelancangan muridku terhadap puterimu. Dan untuk memperbaiki hubungan di antara kita, sekarang juga aku mengajukan lamaran kepada puterimu, Mawarsih ini untuk dijodohkan dengan Ganjur, muridku. Bukankah dengan cara demikian, semua ganjalan hati telah disingkirkan dan hubungan di antara kita menjadi lebih erat lagi?"
Ki Sinduwening, Mawarsih dan Nurseta memadang dengan marah, akan tetapi sebelum yang lain mampu mengeluarkan suara, Mawarsih sudah lebih dulu mendamprat.
"Aku tidak sudi! Ganjur ini adalah seorang laki-laki yang kasar, sombong, kejam dan jahat, suka mempermainkan wanita. Ketika aku menghajarnyapun karena dia hendak memaksa seorang waranggana melayaninya berjoget!"
Akan tetapi Ki Sinduwening cepat menyambung ucapan puterinya.
"Ki Wirobandot, kami ayah dan anak sudah mengambil keputusan bahwa calon suami Mawarsih haruslah memenuhi dua persyaratan, yaitu dia harus dapat mengalahkan Mawarsih, dan walinya harus dapat mengalahkan aku!"
Ucapan itu dimaksudkan untuk mengurangi penghinaan yang diucapkan Mawarsih tadi.
"Bagus! Berarti andika menantang kami, Sinduwening! Lebih baik berterus terang saja, kauserahkan puterimu untuk menjadi isteri muridku atau tidak?"
"Hemm, Wirobandot, sejak dahulu andika tidak pernah berubah, hendak memaksakan kehendakmu kepada orang lain. Kalau aku tidak menyerahkan puteriku, lalu andika mau apa?"
Nurseta yang tadi terkejut mendengar bahwa pria itu adalah Ki Wirobandot, ayah kandung Mayaresmi, sudah memutar otaknya untuk mencari keuntungan dalam pertemuan ini.
Maka, kini dia berteriak lantang.
"Ki Wirobandot, akulah lawanmu!"
Dan diapun sudah menerjang dengan dahsyat, menyerang warok itu sambil memutar tombaknya. Ki Wirobandot melihat betapa kuatnya gerakan pemuda itu cepat mengelak, lalu membalas dengan memutar senjatanya yang ampuh, yaitu kolor atau ikat pinggang dari lawe yang diikatkan di pinggangnya. Dua ujung kolor itu panjangnya masing-masing satu meter lebih. Ketika dia menggerakkan kolornya, maka nampak dua gulungan sinar hitam menyambar-nyambar ke arah Nurseta.
Melihat gurunya diserang pemuda itu, Ganjur lalu memberi isyarat kepada teman-temannya dan sebelas orang itu sudah menyerbu dan mengeroyok KI Sinduwening dan Mawarsih, juga Ganjur sendiri sudah menerjang Mawarsih, dibantu oleh beberapa orang temannya. Sebelas orang teman Ganjur itu adalah warok-warok dari Pacitan dan rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh. Biarpun mereka tidak ada artinya bagi Ki Sinduwening dan Mawarsih kalau mereka maju satu demi satu, akan tetapi karena mereka berjumlah dua belas orang, tentu saja keadaannya lain lagi dan mereka berdua terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga untuk melindungi diri dari sambaran senjata kolor para warok itu.
Ki Sinduwening mempergunakan pecutnya, sedangkan Mawarsih mempergunakan kemben merahnya. Sementara itu, Nurseta yang tentu saja terdesak oleh Ki Warok Wirobandot, sengaja mundur-mundur sambil melindungi dirinya dengan tombaknya sampai agak jauh dari ayah dan anak yang dikeroyok itu. Setelah agak jauh dan terhalang pohon-pohon, dia berbisik kepada Ki Wirobandot yang sedang mendesaknya.
"Paman, aku bekerja untuk Ponorogo dan Mayaresmi adalah sahabat baikku. Aku akan pura-pura roboh pingsan, dan paman usahakan agar Ki Sinduwening dapat dibunuh. Akan tetapi jangan ganggu Mawarsih, aku harus menawannya hidup-hidup, ini perintah Kanjeng Pangeran Jayaraga adipati Ponorogo!"
Mendengar bisikan itu, Ki Wirobandot terkejut dan diapun mengangguk.
Nurseta mengeluarkan teriakan keras dan diapun roboh terguling dan rebah miring, tak bergerak lagi. Ki Wirobandot tertawa bergelak, kemudian warok ini lari ke arah perkelahian untuk membantu muridnya dan anak buahnya mengeroyok Ki Sinduwening dan Mawarsih. Ayah dan anak itu terkejut mendengar teriakan Nurseta, apa lagi melihat dari jauh betapa Nurseta terpelanting dan kini Wirobandot ikut pula mengeroyok mereka. Menghadapi pengeroyokan dua belas orang itu saja mereka sudah repot, apa lagi sekarang Wirobandot yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi di antara para pengeroyoknya ikut pula menyerang.
"Ganjur, bantu aku menangkap gadis itu!"
Teriak Ki Wirobandot yang segera menyerang Mawarsih dengan kolornya. Tentu saja Ganjur menjadi gembira mendapat perintah gurunya ini.
"Kalian kepung dan bunuh dia, orang Mataram itu!"
Teriak pula Ki Wirobandot kepada para anak buahnya yang mengeroyok Ki Sinduwening.
Pada saat itu, dari dalam dusun muncul pula belasan orang yang segera membantu para pengeroyok. Tentu saja ayah dan anak itu menjadi terkejut bukan main dan mereka membela diri mati-matian. Beberapa orang sudah dapat mereka robohkan, akan tetapi sekarang Mawarsih dikeroyok oleh Ganjur dan Wirobandot, sedangkan Ki Sinduwening tidak dapat membantu puterinya karena dia sendiri dikepung ketat oleh dua puluh orang lebih! Keadaan ayah dan anak itu benar-benar gawat. Ki Sinduwening tidak mengkhawatirkan keadaan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan keadaan puterinya.
Dia mengamuk dan dengan pecutnya dia sudah merobohkan enam orang, akan tetapi pengeroyoknya masih banyak dan mengepung ketat, menghujankan senjata kolor mereka. Dia sendiri sudah menerima hantaman kolor beberapa kali, membuat seluruh tubuh terasa nyeri, akan tetapi dia melawan terus dan berusaha mendekati puterinya yang semakin terdesak oleh Ganjur dan Wirobandot. Tingkat kepandaian Wirobandot saja lebih tinggi sedikit dibandingkan tingkat kepandaian Mawarsih, apa lagi Wirobandot dibantu oleh Ganjur, maka tentu saja gadis tu menjadi sibuk sekali dengan kemben merahnya untuk menahan empat ujung kolor yang menyambarnyambar dari segala jurusan itu. Pada suatu saat, ketika kedua ujung senjata kolor Ganjur yang warnanya abu-abu itu menyambar, Mawarsih menangkapnya dengan libatan kemben merahnya.
Ia bermaksud untuk merobohkan dulu Ganjur agar ia dapat melawan Ki Wirobandot dengan leluasa. Ia mengerahkan tenaga, menarik kembennya sehingga Ganjur ikut terbetot ke depan. Selagi ia hendak menggerakkan tangan menghantam ke arah kepala Ganjur, tiba-tiba Wirobandot mengeluarkan pekik nyaring dan tangan Mawarsih dapat tertangkap di pergelangannya. Gadis itu terkejut, membalik ke kiri dan meronta. Akan tetapi, kemben merahnya yang tadinya melibat kolor Ganjur, sudah disambar oleh tangan Wirobandot dan kemben merah itu sudah melibat tubuhnya. Ganjur membantu gurunya dan dengan kemben merah itu, kedua tangan Mawarsih ditelikung ke belakang sehingga ia tidak mampu bergerak lagi!
"Ganjur, bantu mereka membunuh mata-mata Mataram itu!"
Kata Wirobandot yang ingin memenuhi permintaan Nurseta. Dia sendiri lalu memondong tubuh Mawarsih, dan lari dari tempat itu, tidak ke dusun melainkan ke dalam hutan untuk menyingkirkan gadis tawanan itu untuk kelak diberikan kepada Nurseta. Nurseta yang pura-pura pingsan dan rebah miring itu, tentu saja melihat semua itu. Melihat betapa Mawarsih sudah ditawan oleh Wirobandot, diapun bengkit berdiri. Sejenak dia memandang ke arah Sinduwening yang dikepung oleh banyak orang.
Dia tersenyum puas. Sekali ini, Sinduwening pasti akan tewas, pikirnya. Dan dia harus berlagak menyelamatkan Mawarsih. Peristiwa ini akan amat menguntungkan dirinya. Dua hasil gemilang akan dicapainya, yaitu pertama, dia dapat membunuh Sinduwening melalui para warok itu sehingga dia sendiri tidak akan dicurigai Mataram akan tetapi akan dipuji oleh Ponorogo, dan yang kedua, dia akan membuat Mawarsih berterima kasih kepadanya karena dia yang akan membebaskan Mawarsih dari tangan Wirobandot dan anak buahnya!
Ketika dia pura-pura mendekati Sinduwening untuk membantunya, Sinduwening yang melihat Nurseta sudah siuman, cepat berseru.
"Raden, cepat tolong Mawarsih, ia dilarikan ke hutan itu!"
Dia tidak sempat bicara banyak karena dia harus mencurahkan seluruh kepandaian dan perhatian untuk membela diri dari pengeroyokan yang ketat itu. Nurseta tidak menjawab, akan tetapi diapun lari ke arah hutan sambil memegangi tombaknya. Keadaan Ki Sinduwening sudah semakin gawat. Tubuhnya terasa nyeri-nyeri dan mulai lemas karena tadi dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan pengeroyok yang amat banyak itu. Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan muncullah dua belas orang perajurit, yaitu pasukan yang menjadi nak buah Nurseta yang tadinya oleh pemuda itu ditinggalkan di perbatasan. Pasukan ini adalah perajurit-perajurit pilihan dan melihat betapa Ki Sinduwening dikeroyok banyak warok, merekapun tanpa diperintah lagi segera terjun ke dalam pertempuran membantu Ki Sinduwening yang sudah mereka kenal baik. Keadaan segera berubah setelah dua belas orang ini membantu Ki Sinduwening.
Para warok yang tadinya mengeroyok ketat, menjadi panik dan mereka melawan mati-matian. Terjadilah pertempuran kecil di tempat itu dan mendapatkan bantuan pasukan Mataram, timbul pula semangat Ki Sinduwening. Diapun mengamuk dan banyak musuh roboh oleh pecutnya. Dia harus segera dapat menghancurkan para pengeroyok, agar dia dapat menyusul Nurseta dan menolong puterinya. Semantara itu, biarpun kedua tangannya sudah ditelikung ke belakang dan diikat oleh libatan kemben merahnya sendiri. Mawarsih tidak menyerah begitu saja. Ketika ia dipondong oleh Wirobandot memasuki hutan, ia meronta-ronta dan menggunakan kedua kakinya untuk menendang-nendang sekuat tenaga. Karena ia meronta, tentu saja hal ini amat mengganggu Wirobandot yang sedang berlari cepat memasuki hutan.
"Hemm, bocah setan! Diamlah dan jangan meronta kalau kau tidak ingin kulempar!"
Bentak Wirobandot yang terpaksa menghentikan larinya. Akan tetapi, Mawarsih tidak menghentikan gerakannya meronta, bahkan kakinya berhasil menendang paha orang yang memondongnya sehingga terpaksa Wirobandot melemparkan tubuh Mawarsih ke bawah. Gadis ini dapat melompat dan tidak terbanting, melainkan jatuh dengan kaki dulu ke atas tanah, lalu ia memasang kuda-kuda, siap melawan mengandalkan kedua kakinya, kerena kedua tangannya masih belum dapat ia lepaskan dari ikatan.
"Hemm, engkau memang keras kepala!"
Kata Wirobandot dan diapun menerjang ke depan. Mawarsih menyambut terjangan itu dengan tendangan kaki kirinya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya dalam tendangan itu. Akan tetapi Wirobandot mengelak ke kanan sambil menangkis dari samping. Karena kedua tangannya tertelikung ke belakang, dan tendangannya itu ditepis dengan kuatnya, maka Mawarsih kehilangan keseimbangan tubuhnya dan terpelanting. Wirobandot tidak mau repot lagi. Melihat gadis itu terpelanting roboh, dia cepat berlutut dan menggunakan tangan kanannya menampar perlahan ke arah tengkuk gadis itu.
"Plakk!"
Tamparan itu cukup membuat leher Mawarsih terkulai dan gadis itupun roboh pingsan. Wirobandot memodong lagi tubuh yang kini sudah lemas itu, dan dia melanjutkan perjalanannya ke tengah hutan.
Akan tetapi pada saat yang sama itu, terdengar kaki kuda yang dilarikan cepat menuju ke tempat itu. Wirobandot tersenyum, mengira bahwa tentu yang datang ini adalah pemuda yang mengaku sahabat puterinya itu. Akan tetapi setelah dekat, ternyata penunggang kuda itu seorang yang mukanya ditutupi kain hitam dari bawah mata sampai ke leher! Selagi Wirobandot tertegun, si kedok hitam itu sudah meloncat dari atas kudanya dan bagaikan seekor burung garuda menyambar, dia sudah menyerang dengan cengkeraman tangannya ke arah kepala Wirobandot. Serangan itu demikian cepat dan kuatnya sehingga ada angin pukulan yang menyambar ke arah kepala. Wirobandot maklum bahwa lawan ini tangguh, maka terpaksa dia melemparkan tubuh Mawarsih yang pingsan itu ke atas tanah, dan dia sendiri sudah mengangkat kedua lengannya untuk menangkis, menyambut serangan si kedok hitam.
"Desss""!!"
Pertemuan tenaga sekali ini jauh lebih hebat dari pada yang pertama tadi karena keduanya berpijak pada tanah. Dan akibatnya, tubuh Wirobandot terjengkang dan dia bergulingan ke belakang. Ketika dia melompat bangun, wajahnya agak pucat dan napasnya terengah. Dia juga merasa gentar karena maklum bahwa dia jauh kalah kuat dalam hal tenaga sakti.
Karena merasa takut untuk melawan sendiri, Ki Wirobandot lalu meloncat dan menghilang di antara gerombolan pohon. Dia akan melihat keadaan anak buahnya dan setelah mendapat bantuan anak buahnya, baru dia akan mengeroyok si kedok hitam yang lebih tangguh dibandingkan Ki Sinduwening sendiri itu! Akan tetapi, betapa kaget rasa hati Warok Wirobandot ketika dengan jalan memutar dan menyusup-nyusup di antara pohon-pohon di hutan itu dia kembali ke tempat per-tempuran, dia melihat betapa anak buahnya dihajar kocar kacir oleh Ki Sinduwening yang kini dibantu oleh selosin parajurit Mataram yang rata-rata memiliki kepandaian yang tangguh.
Tanpa berpikir dua kali, warok yang licik ini diam-diam malarikan diri, bahkan tidak berani kembali ke dusun Beledug tempat tinggal para muridnya, melainkan langsung saja dia kembali ke Pacitan dan baru pada keesokan harinya dia pergi menghadap ke Ponorogo untuk menghubungi puterinya dan memberi laporan tentang peristiwa di luar dusun Beledug itu. Sementara itu, si kedok hitam yang melihat Warok Wirobandot melarikan diri, tidak melakukan pengejaran, melainkan cepat dia menghampiri Mawarsih yang menggeletak di atas tanah dengan pandang mata penuh kekhawatiran.
Dia cepat berjongkok di dekat Mawarsih dan memeriksa keadaannya. Sinar mata yang tadinya khawatir itu kini bersinar kembali setelah dia mendapat kenyataan bahwa Mawarsih tidak menderita luka hanya pingsan saja. Dia lalu memondong tubuh yang lemas itu, melompat ke atas kudanya yang tetap tenang berada di situ. Cara dia melompat ke atas punggung kudanya sambil memondong tubuh Mawarsih, nampak begitu ringan seolah-olah tubuh gadis itu sama sekali tidak menjadi beban baginya. Dia duduk sambil memangku Mawarsih, lengan kiri merangkul pundak, dan tangan kanan memegang kendali kuda yang dijalankan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, menuju ke tempat terjadinya pertempuran tadi.
Melalui kain hitam yang menutupi muka di bawah matanya, si kedok hitam mengamati wajah Mawarsih yang begitu dekat dengannya, wajah yang kepalanya disandarkan di dadanya. Melihat rambut yang terlepas itu, sungguh amat berlawanan dengan pakaiannya, pakaian pria, akan tetapi rambut kepala dan wajah itu jelas wanita, cantik jelita pula! Si Kedok hitam tersenyum dan matanya terpesona menatap ke arah sinom (anak rambut) di tepi hutan rambut di atas dahi, halus lembut melingkar-lingkar dan dahi itu agak basah oleh keringat. Seperti terpesona, si kedok hitam menundukkan mukanya, seperti terdorong kekuatan yang membuatnya kehilangan kesadaran, hidung dan mulutnya mencium dahi berkeringat itu dengan kemesraan yang mendalam. Agak lama mulut dan hidungnya menempel di dahi itu, terasa asin keringat itu di bibirnya.
Tiba-tiba tubuh Mawarsih bergerak, kedua tangannya sudah tidak terikat kemben merahnya lagi, bahkan kemben itu oleh si kedok hitam dikalungkan di pundak Mawarsih. Begitu membuka mata, Mawarsih melihat betapa dirinya berada di pelukan orang dan dahinya dicium mesra sekali. Ia meronta kuat. Si kedok hitam terkejut dan melepaskan rangkulannya. Mawarsih melompat dan baru ia tahu bahwa dirinya berada di pangkuan orang di atas kuda. Ketika ia membalik dan memandang, ia melihat bahwa yang memangkunya dan merangkulnya, bahkan yang menciumnya tadi adalah si kedok hitam, tokoh yang selama ini mambuatnya merasa kagum dan rindu. Si kedok hitam sudah menutupkan kembali kain hitam di atas hidung dan mulutnya. Kain hitam itu tadinya disingkapnya ketika dia mencium dahi, dan dia menjadi salah tingkah, seolah baru sadar bahwa dia tadi telah melakukan sesuatu yang amat tidak masuk akal, amat bodoh dan amat tidak sopan.
"Kau".. kau"""
Mawarsih berkata, matanya terbelalak, mukanya merah sekali dan iapun bingung, tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ada kaget, ada heran, ada marah, ada malu, akan tetapi entah mengapa, kemarahan tidak juga mau memperlihatkan pengaruhnya.
"Maafkan aku"""
Maafkan"".!"
Si kedok hitam menarik kendali kudanya. Binatang itu meringkik, mengangkat kedua kaki ke atas, lalu melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Mawarsih masih berdiri bengong, mulutnya beberapa kali bergerak terbuka, namun tidak ada suara keluar dari mulutnya. Ia ingin memaki, ingin memanggil, ia bingung sama sekali! Kemudian, ada sesuatu yang mendorongnya, membuat ia menjatuhkan diri bersimpuh di atas tanah dan menangis! Dara ini tidak tahu mengapa ia menanngis. Tidak tahu apa yang harus ditangiskan. Tangis karena marahkah itu? Tangis karena merasa terhina? Atau tangis karena menyesal si kedok hitam pergi begitu saja sebelum ia mengenalnya lebih dekat?
"Diajeng"".."
Mawarsih meloncat dan membalikkan tubuh dengan wajah berseri walaupun kedua pipinya masih basah. Ia mengira bahwa orang yang dikenangnya, yang membuatnya salah tingkah dan bingung, datang kembali. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang memanggilnya adalah Nurseta, ia mengerutkan alisnya.
"Ah""., andika"", kakangmas Nurseta"""?"
Diam-diam Nurseta bingung juga. Tadinya, dia menyusul Warok Wirobandot untuk berlagak menolong gadis ini dari tangan ayah kandung Mayaresmi itu. Akan tetapi, dia menemukan Mawarsih bersimpuh di atas tanah seorang diri dan menangis!
"Apa yang telah terjadi, diajeng? Bukankah andika tadi tertawan"".?"
Dia tidak melanjutkan kata-katanya, khawatir kalau mengucapkan sesuatu yang akan membongkar rahasianya. Akan tetapi saat itu Mawarsih sudah pulih kembali kesadarannya dan iapun pertama-tama teringat akan ayahnya.
"Kakangmas, di mana bapa? Bagaimana dengan bapa?"
Pertanyan ini memang tidak dapat dijawab oleh Nurseta. Tentu orang tua itu kini telah mampus, pikirnya. Tadi ketika dia pergi menyusul Wirobandot yang melarikan Mawarsih, Ki Sinduwening sudah payah menghadapi pengeroyokan lawan yang amat banyak.
"Aku"". aku tadi""
Melihat andika dilarikan orang, maka aku lalu melakukan pengejaran, diajeng. Aku tidak melihat bagaimana keadaan Paman Sinduwening. Mudah-mudahan dia dapat mengatasi para pengeroyoknya".."
"Ah, kita harus cepat ke sana! Kita harus membantu bapa!"
Kata Mawarsih dan seolah-olah ada tenaga baru bangkit dalam dirinya. Ia berlari secepatnya, diikuti oleh Nurseta dari belakang. Perasaan gelisah karena mengkhawatirkan keselamatan ayahnya membuat Mawarsih dapat berlari cepat sekali sehingga Nurseta agak tertinggal di belakang. Setelah tiba dekat tempat pertempuran tadi, Nurseta yang berada di belakang Mawarsih terbelalak, akan tetapi dia terus berlari. Apa yang dilihatnya sungguh berlawanan dengan yang dibayangkannya semula. Dia melihat Ki Sinduwening, masih hidup dan sedang duduk bersila, agaknya menghimpun tenaga. Dan tak jauh dari situ, nampak belasan orang sedang beristirahat pula, ada yang mengobati luka masing-masing, ada yang mengurus belasan ekor kuda yang beradadi situ.
Pertempuran telah terhenti dan nampak beberapa sosok mayat malang melintang. Dan betapa herannya ketika mengenal bahwa belasan orang itu adalah para perajurit anak buahnya yang ditinggalkannya di perbatasan! Kini, sekilas pandang saja, tahulah dia. Ki Sinduwening tertolong, diselamatkan oleh pasukannya! Akan tetapi, bagaimana pasukannya dapat datang ke situ dan membantu Ki Sinduwening? Dia melihat Mawarsih lari menghampiri ayahnya dan berlutut di dekat ayahnya. Mereka saling rangkul dan merangkul. Diapun cepat lari menghampiri mereka. Selosin perajurit segera memberi hormat ketika melihat pemimpinnya muncul bersama gadis berpakaian pria itu. Akan tetapi, Nurseta hanya mengangguk kepada mereka dan diapun berlutut dekat Ki Sinduwening dan Mawarsih. Ternyata paman gurunya itu memang masih hidup dan biarpun menderita luka-luka, namun tidak membahayakan keselamatannya.
"Sukurlah, paman. Sungguh hati saya lega sekali melihat paman selamat dari kepungan musuh-musuh itu."
Katanya. Ki Sinduwening menoleh dan memandang kepada pemuda itu, tersenyum.
"Dan andika kembali menyelamatkan Mawarsih, Raden? Bahkan anak buah andika yang telah menyelamatkan aku dari pengeroyokan para warok."
"Bagaimana mereka dapat muncul di sini dan membantu paman?"
Tanya Nurseta. Ki Sinduwening menggeleng kepala.
"Aku belum sempat bertanya kepada mereka, hanya mendengar keterangan mereka bahwa mereka adalah pasukan anak buahmu yang berada di perbatasan."
Nurseta menggapai ke arah seorang diantara para perajuritnya yang tidak terluka. Perajurit itu segera menghampiri dan melihat betapa tiga orang itu duduk di atas tanah, perajurit itu pun duduk bersila menghadap komandannya.
"Samat, ceritakan bagaimana engkau dan kawan-kawan dapat datang ke sini dan membantu paman Sinduwening?"
Tanya Nurseta, suaranya biasa saja, akan tetapi di dalam hatinya terdengar suatu kegeraman dan kekecewaan. Siapa kira, anak buahnya sendiri yang mengagalkan rencananya membantu Ponorogo, pertama-tama dengan menewaskan Ki Sinduwening.
"Kami sedang menanti di sana sesuai dengan perintah andika, Raden, ketika tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang mukanya ditutup kain hitam dari bawah mata sampai leher, dan dialah yang memberitahu bahwa andika dan Ki Sinduwening bersama puterinya telah melarikan diri dari Ponorogo, akan tetapi mungkin menemui kesulitan di perjalanan, maka dia yang menyuruh kami untuk menyongsong andika bertiga. Ketika kami dipimpin oleh orang berkedok itu tiba di sini, kami melihat Ki Sinduwening dikeroyok banyak warok, maka tentu saja kami segera turun tangan, membantunya sampai para warok itu dapat dipukul mundur, sisanya melarikan diri."
"Hemm, siapakah si kedok hitam itu? Dan di mana dia sekarang?"
Tanya Nurseta.
"Kami tidak tahu, Raden. Ketika kami menyerbu dan membantu Ki Sinduwening, kami melihat dia membalapkan kudanya ke arah hutan di sana. Dan sampai sekarang, dia tidak pernah kembali dan kami tidak tahu siapa dia karena di sepanjang perjalanan, dia diam saja dan tidak pernah mengaku siapa dia."
"Memang aneh sekali,"
Ki Sinduwening bicara, lalu bertanya kepada Nurseta.
"Dan bagaimana andika dapat menyelamatkan Mawarsih, Raden?"
Wajah pemuda itu berubah agak kemerahan ketika dia menundukkan mukanya, lalu berkata.
"Saya tidak menolong diajeng Mawarsih, paman. Ketika saya melakukan pengejaran, saya mendapatkan diajeng Mawarsih seorang diri di dalam hutan."
Nurseta tidak melanjutkan, tidak enak menceritakan bahwa gadis itu sedang menangis.
"Kami berdua lalu lari ke sini untuk membantu paman, akan tetapi ternyata paman telah tertolong oleh pasukanku!"
"Akan tetapi, aku melihat tadi engkau ditawan oleh Wirobandot, Mawarsih! Bagaimana engkau dapat terbebas dari tangan jahanam itu?"
Mawarsih menghela napas panjang,
"Hemm. Lagi-lagi dia"."
Katanya termenung, dan teringatlah dia akan pengalamannya tadi ketika dia dipangku di atas kuda, dan dahinya dicium mesra!
"Dia siapa? Apa maksudmu, Mawarsih?"
Desak ayahnya.
"Si Kedok Hitam itu"".! Sudah dua kali dia menolongku, pertama kali ketika aku gagal mengeluarkan bapa dari dalam kamar tahanan, dan aku dikeroyok oleh Senopati Surodigdo dan anak buahnya. Dia menolongku dan membawaku lari ke rumah Pak Jiyo. Kemudian, ketika aku dikeroyok oleh Brantoko dan anak buahnya, dan terdesak, dalam keadaan gawat itu kembali muncul Si Kedok Hitam menyelamatkan aku dan mengajak aku melarikan diri menyeberang sungai dengan perahu. Kemudian tadi". ketika aku tidak berdaya ditawan Wirobandot dan aku dipukul pingsan, tiba-tiba ketika aku siuman, aku telah berada di atas kuda yang ditunggangi Si Kedok Hitam"""
Ia berhenti dan termenung membayangkan apa yang terjadi antara ia dan Si Kedok Hitam di atas kuda itu!
"Tapi, aku mendapatkan engkau seorang diri, diajeng? Di mana dia?"
Tanya Nurseta. Mawarsih menarik napas panjang dan menggeleng kepala.
"Seperti dua kali terdahulu ketika menolongku, diapun pergi begitu saja tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku tidak tahu siapa dia, tidak tahu di mana dia"""
Nurseta mengerutkan alisnya. Kenapa gadis itu dia dapatkan sedang menangis seorang diri? Akan tetapi dia tidak berani bertanya-tanya lagi.
"Sungguh aneh sekali. Siapapun adanya Si Kedok Hitam, jelas bahwa dia bukan orang yang berpihak kepada Ponorogo."
Kata Sinduwening.
"Sudahlah, sebaiknya kita cepat pergi dari sini. Siapa tahu para warok itu akan datang lagi menyerang. Kalau kita sudah melewati perbatasan, barulah aman."
Rombongan itupun berangkat. Tiga ekor kuda terbaik diserahkan oleh pasukan kepada mereka, dan ada di antra para perajurit yang berboncengan dengan yang luka-luka. Mereka mengambil jalan terdekat, melewati dusun Beledug yang sudah nampak sunyi karena para penghuninya telah pergi setelah melihat Ganjur dan kawan-kawan kalah dan melarikan diri. Perjalanan cepat itu tidak mengalami gangguan sampai mereka tiba di Mataram. Tentu saja Nurseta dianggap berjasa besar telah dapat membebaskan Sinduwening dari tahanan kadipaten Ponorogo.
Sang Prabu Hanyokrowati marah mendengar betapa adik tirinya, Pangeran Jayaraga yang menjadi Adipati Ponorogo, tetap ingin memberontak karena iri hati dan ingin merampas tahta kerajaan Mataram. Bahkan adiknya itu telah menawan Ki Sinduwening, dan agaknya diperkuat oleh para warok, tidak perduli dari golongan bersih, ataupun dari golongan hitam, yaitu para warok yang terbiasa melakukan kejahatan, memaksakan kehendak dan mengandalkan kerasnya tulang tebalnya kulit. Sang Prabu Hanyokrowati lalu mengatur persiapan untuk melakukan perang ke daerah Ponorogo ke timur, dan dia sendiri yang berkenan memimpin pasukan besar mengadakan aksi pembersihan dan menaklukan para adipati dan bupati yang tidak mau tunduk kepada Mataram setelah dia menjadi raja.
Sementara itu, Mawarsih lebih sering mengurung diri di dalam kamarnya semenjak pulang dari Ponorogo. Bahkan beberapa kali ia menolak untuk menyambut Nurseta yang datang berkunjung, biarpun ayahnya mendesaknya. Dengan alasan tidak enak badan, ia menolak keluar dari dalam kamarnya. Hal ini membuat ayahnya merasa tidak senang. Bagaimanapun juga, Ki Sinduwening akan mersa senang kalau bermantukan Nurseta. Melihat sikap puterinya yang tidak memberi angin kepada pemuda itu, pada suatu hari dia memanggil puterinya ke ruangan dalam dan mengajaknya bicara empat mata dengan sikap yang serius.
"Ada apakah bapa memanggilku? Nampaknya ada urusan penting sekali."
Kata gadis itu melihat sikap ayahnya yang tidak seperti biasa. Biasanya, ayahnya bersikap ramah dan manis kepadanya, bahkan agak memanjakan, akan tetapi sekali ini, ayahnya mengerutkan alisnya dan sikapnya amat sungguh-sungguh.
"Duduklah yang enak, Mawar. Memang aku ingin membicarakan hal yang paling penting, yaitu mengenai kehidupanmu masa depanmu. Atau jelasnya, aku ingin bicara denganmu tentang perjodohanmu."
Mawarsih memandang wajah ayahnya dengan berani, dan iapun berkata.
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bapa sudah tahu akan isi hatiku mengenai perjodohan. Aku hanya akan suka menikah dengan seorang pria yang menjadi pilihan hatiku!"
Ki Sinduwening merasakan benar kekerasan hati yang terkandung dalam ucapan puterinya itu.
"Aku tahu, Mawar, dan aku tidak menyalahkan sikap dan pendirianmu itu. Dan bapamu inipun ingin melihat engkau berbahagia. Karena itulah, maka aku selalu mengharapkan agar engkau suka menjatuhkan pilihan hatimu kepada Raden Nurseta. Nanti dulu, jangan membantah dulu, anakku,"
Dia mencegah ketika melihat Mawarsih hendak bicara.
"Dengarkan baik-baik. Aku memilih Nurseta bukan tanpa perhitungan yang masak. Dia memenuhi semua syarat. Dalam hal ilmu kepandaian, sebagai murid Ki Ageng Jayagiri, tentu dia tidak kalah olehmu. Juga ilmu kepandaian kakang Ki Ageng Jayagiri lebih tangguh dari pada aku, atau setidaknya sama. Ini kalau dinilai dari segi kepandaian aji kanuragan. Kemudian dari segi bentuk lahiriah. Dia seorang pemuda yang usianya baru dua puluh lima tahun, masih muda, wajahnya tampan dan ganteng dan tubuhnya juga tegap dan perkasa. Lalu dari segi pangkat. Biarpun masih muda, dia telah terpilih oleh Sang Prabu di Mataram untuk menjadi seorang panglima muda, seorang senopati. Kedudukan yang cukup tinggi dan terhormat. Kemudian, dari segi kekayaan. Dia sudah lebih dari pada cukup dengan pangkatnya sebagai senopati, apa lagi orang tuanya juga seorang demang yang kaya. Tentang wataknya, kita sudah sama-sama mengenalnya. Dia sopan, berkebudayaan, pandai membawa diri. Nah, apanya yang kurang? Kurasa cukup kuatlah dasar kebaikan pemuda itu sehingga pantas kalau engkau menjatuhkan pilihan hatimu kepadanya, cah ayu."
"Semua yang bapa katakan tadi tak dapat kubantah. Memang semua itu benar, dan akupun dapat mengakui bahwa kakangmas Nurseta adalah seorang pemuda yang baik. Akan tetapi, agaknya bapa lupa bahwa di samping semua segi kebaikan yang hanya lahiriah itu saja, terdapat hal lain yang lebih penting dan mendalam sebagai syarat perjodohan yang kelak akan menjadi suami isteri yang berbahagia, yaitu segi batiniah. Jodoh berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, bapa, dan bagiku, tanda jodoh itu adalah jika kedua orang saling mencintai, bukan tertarik oleh keindahan kulit belaka."
Ki Sinduwening mengerutkan alisnya. Dia memang tidak dapat membantah kebenaran ucapan puterinya, akan tetapi sebagai seorang ayah, tentu saja dia tidak dapat mengabaikan suara hati dan akal pikirannya. Mawarsih sudah cukup dewasa, sudah pantas kalau menjadi isteri seorang pria, dan dia khawatir kalau-kalau puteri tunggalnya itu akan salah pilih kelak. Diapun teringat kepada pemuda bernama Aji itu, dan kerut di alisnya semakin dalam. Dia tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa Aji juga seorang pemuda yang tampan, cedik dan pemberani. Akan tetapi, dibandingkan dengan Nurseta, dia kalah jauh! Dia hanya seorang tukang memelihara kuda, dan terutama sekali, dia hanya seorang pemuda biasa yang lemah, tidak digdaya. Dan dia menghambakan diri kepada kadipaten Ponorogo yang kini sedang bermusuhan dengan Mataram lagi! Kalau Mawarsih menjatuhkan pilihan hatinya kepada pemuda itu, sungguh hal itu tidak akan menyenangkan hatinya.
"Mawar, katakan terus terang, apakah engkau telah menjatuhkan pilihan hatimu kepada pemuda tukang kuda di kadipaten Ponorogo itu?"
Sepasang mata gadis itu berkilat ketika ia memandang kepada ayahnya. Ia menangkap nada tak senang ketika ayahnya menyebut "pemuda tukang kuda", padahal ayahnya sudah mengetahui nama pemuda itu. Bahkan ia dan ayahnya pernah ditolong pemuda itu. Aji yang telah membebaskan mereka dari tempat tahanan di kadipaten Ponorogo.
"Bapa, kalau bukan karena jasa tukang kuda itu, bapa dan aku mungkin sekarang masih menjadi tawanan di kadipaten Ponorogo!"
Katanya dengan tajam untuk membalas sebutan itu yang dianggapnya meremehkan Aji. Ki Sinduwening sadar dan menghela napas panjang, memejamkan mata dan diam-diam dia berdoa,
"Astagfirullah allajim""". semoga Tuhan mengampuni hamba."
Dia menyadari betapa karena dorongan keinginannya untuk memilih Nurseta sebagai mantunya, dia lalu meremehkan dan merendahkan pemuda lain. Terasa benar saat itu olehnya betapa nafsu angkara murka menguasai hati dan pikirannya sehingga tadi memang terkandung nada meremehkan ketika dia bicara tentang Aji.
"Tentu saja aku tidak pernah melupakan jasa dan kebaikan Aji. Akan tetapi, aku hanya ingin kepastian darimu, Mawar. Apakah engkau mencintai Aji?"
Mawarsih memejamkan matanya dan terbayang wajah pemuda hitam manis itu. Ia menghela napas panjang ketika wajah itu berubah menjadi bayangan Si Kedok Hitam.
"Aku sungguh tidak tahu, bapa. Aku memang suka dan kagum kepada kakang Aji, akan tetapi""
Rasanya aku lebih kagum kepada""
Pemuda yang mukanya selalu ditutupi kain hitam itu"""
"Si Kedok Hitam?"
"Benar, bapa. Aku tidak pernah dapat melupakannya sehingga sukarlah bagiku untuk menentukan pilihan hatiku. Aku masih bingung dan ragu, dia antara mereka bertiga, kakangmas Nurseta, kakang Aji dan Si Kedok Hitam."
Ki Sinduwening tersenyum, senyum pahit. Tadinya hanya ada satu saja saingan pemuda yang dicalonkannya, kini ditambah seorang lagi.
"Akan tetapi, Mawar, kita tidak tahu siapa Si Kedok Hitam itu. Siapa tahu di balik kain hitam yang menutupi mukanya itu terdapat wajah seorang laki-laki yang usianya sama dengan aku! Atau wajah yang cacat!"
"Bapa, kurasa apa yang dimaksudkan dengan kata cinta adalah suatu perasaan yang tidak mengenal harta, kedudukan, wajah atau keadaan lahiriah lainnya lagi. Sudahlah, harap bapa tidak membicarakan urusan perjodohan karena terus terang saja, hatiku sendiri belum dapat mengambil keputusan. Bersabarlah, bukankah bapa selalu menganjurkan agar aku menyerahkan segalanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa? Bukankah jodoh di tangan Tuhan? Biarlah Tuhan yang akan membimbing dan menuntunku, mempertemukan aku dengan jodohku seperti yang telah ditentukan olehNya kalau saatnya sudah tiba. Kita tidak dapat memaksakan kehendak kita untuk memuaskan hati kita dan mendahului kehendak Tuhan, bukan?"
Ki Sinduwening mengangguk-angguk.
"Baiklah, anakku. Biar kita menyerahkan kepada Allah Subhanahu wata"
Allah, akan tetapi aku hanya ingin mengingatkan agar engkau berhatihati dalam menjatuhkan pilihan hatimu. Ingatlah, anakku, memilih jodoh tidak dapat disamakan dengan memilih pakaian. Sekali pilih untuk selamanya, tidak dapat ditukar-tukar seperti memilih pakaian, tidak dapat dicoba dulu kalau tidak cocok lalu ditukarkan."
Mawarsih tersenyum dan masih mengiringi kepergian ayahnya dari ruangan itu dengan senyum. Akan tetapi setelah ia kembali ke dalam kamarnya, kembali ia melamun. Wajah tiga orang pria itu, wajah Nurseta, Aji dan wajah Si Kedok Hitam yang tertutup kain, bergantian muncul dalam ingatannya. Jelas baginya bahwa kalau dia disuruh memilih antara Nurseta dan Aji, ia akan memilih Aji. Akan tetapi kemunculan Si Kedok Hitam, membuat ia bingung.
Mengapa ia tidak mampu melupakan kemesraan yang menenggelamkannya ketika ia berada di dalam pangkuan dan rangkulan Si Kedok Hitam, ketika merasa betapa dahinya dicium oleh orang bersembunyi di balik kain hitam yang penuh rahasia itu? Ia sudah merasa yakin bahwa ia tidak mungkin dapat menjadi isteri Nurseta, karena hatinya yang tidak mau menerima, hanya karena ayahnya memilih pemuda itu, maka ia menjadi ragu. Ia tidak mencinta Nurseta, bahkan ada sesuatu yang pada diri pemuda itu yang membuat ia merasa tidak cocok dan tidak suka. Kini tinggal dua orang itu, Aji dan Si Kedok Hitam.
Kalau ia mau jujur, sebetulnya ia telah memilih Aji, akan tetapi entah bagaimana, ia tidak mampu melupakan Si Kedok Hitam, dan sebalum ia dapat melihat wajah yang tersembunyi di balik kain hitam itu, ia belum yakin dan tidak akan dapat menjatuhkan pilihannya. Kembali Mawarsih tenggelam ke dalam lamunannya. Cinta asmara antara pria dan wanita memang suatu perasaan yang amat ajaib dan penuh rahasia. Perasaan cinta asmara merupakan suatu perpaduan dari segala macam perasaan. Di situ terkandung nafsu berahi yang membuat seorang ingin selalu behubungan dan melampiaskan nafsu berahinya kepada orang yang dicintainya. Di situ terkandung perasaan sayang seperti kepada seorang sahabat terbaik yang membuat seseorang ingin selalu berdekatan dan bergaul dengan orang yang dicinta.
Terkandung pula perasaan kasih seorang anak terhadap orang tuanya yang membuat seseorang ingin diperhatikan, dimanja dan dibela oleh orang yang dicintanya. Juga mengandung kasih sayang seseorang terhadap anaknya sehingga membuat dia merasa sayang dan iba kepada orang yang dicintanya, menimbulkan keinginan untuk melindungi, memanjakan dan menghiburnya. Juga mengandung perasaan sayang seseorang terhadap sesuatu yang disukai dan dibanggakan, yang dianggapnya menjadi sumber segala kebahagiaan, membuat dia ingin menguasai, memiliki, memonopoli dan timbullah perasaan cemburu.
Terkadang pula suatu dorongan naluri yang membuat kedua orang itu saling tertarik, daya tarik antar jenis kelamin yang sudah merupakan suatu kewajaran, yang terdapat dalam kehidupan seluruh makhluk di alam maya pada ini, dari yang terbesar sampai yang terkecil, daya tarik antara jenis kelamin yang berlawanan sebagai sarana perkembangbiakan Nafsu mendorong kita untuk mengejar sesuatu, mengingatkan sesuatu. Dan kalau ada keinginan, ada pengejaran, berarti ada pilihan. Yang dikejar dan diinginkan itu sudah pasti yang dianggap baik dan menyenangkan, yang dijauhi tentu yang dianggap tidak baik dan menyusahkan. Di dalam nafsu terkandung baik buruk, suka-benci, senang-susah dan segala yang dwimuka.
Oleh kerena itu, tidak mengherankan kalau hasil pengejaran itupun bersifat dwimuka. Untung atau rugi, memuaskan atau mengecewakan. Demikian pula dengan cinta asmara. Karena mengandung sifat dwi-muka, maka tidaklah abadi, pasti ada suka atau dukanya, selalu cinta asmara seperti itu mendatangkan senang dan susah, puas dan kecewa, tawa dan tangis! Selagi termenung dan tenggelam dalam bermacam-macam perasaan, tiba-tiba Mawarsih mendengar orang berkidung. Suara ayahnya!
Ayahnya menembang mocopat, seperti biasa kalau ayahnya sedang terganggu perasaan atau pikirannya. Ia dapat menduga bahwa ayahnya gelisah kerena memikirkan dirinya, memikikan urusan perjodohannya. Dan untuk menghibur dan menenangkan diri kalau sedang risau ayahnya selalu menembang, seperti yang didengarnya saat itu. Iapun mendengarkan ketika ayahnya menembang dengan Kidung Pangkur.
"Hardaning kang poncodriyo, pan kuwoso amagreh kanang diri, angrubedo mrih tan tulus, saget rumesep ing tyas amiluto ing drio amrih kepencut, anilepken kawaspadan, lir tiang ningali ringgit." [Perangsangan panca indera, menguasai diri pribadi, menghalangi agar kita jatuh, dapat meresap ke sanubari, mempengaruhi jiwa agar terpikat, melenyapkan kewaspadaan, laksana orang nonton wayang kulit].
Mendengar kidung itu, Mawarsih tersenyum dan termenung. Ia masih ingat bahwa tembang itu merupakan bagian dari Serat Arjuno Wiwoho hasil karya tulisan Empu Kanwo di jaman bertahtanya Sang Prabu Airlangga. Kisah wayang yang menceritakan tentang Sang Arjuno melakukan tapa-brata dan tembang itu merupakan bagian ketika Sang Arjuno berwawancara dengan Resi Padyo. Ia tersenyum. Dari ayahnya, ia mendengar banyak sekali kisah pewayangan, baik Ramayana maupun Mahabarata dan ia mengenal dan hafal banyak tembang mengenai kisah pewayangan. Kisah Arjuna Wiwoho merupakan kesayangannya, di samping kisah Dewo Ruci dan Bhagawad Gita. Biarpun usianya baru menjelang delapan belas tahun, akan tetapi sebagai puteri seorang ahli tapa dan beribadat, Mawarsih sudah banyak menyelami tentang kehidupan yang banyak rahasia dan liku-likunya.
"Jangan khawatir, bapa,"
Katanya dalam hati.
"Aku tidak ingin seperti yang digambarkan Resi Padyo itu, hanya terpikat oleh keadaan lahiriah melalui panca indera belaka. Karena aku menyadari semua gerak hidupku dengan penyerahan kepada Allah Subhanahu wata"allah, maka aku yakin Gusti Ingkang Moho Asih tentu akan membimbingku, membimbing panca inderaku agar tidak menjadi hamba nafsu belaka."
Ayahnya masih terus bertembang dan perlahan-lahan Mawarsih merasa betapa kantuk menguasainya dan seperti dinina-bobokan suara kidung ayahnya, ia pun tertidur dengan senyum menghias bibirnya yang merah membasah.
Sang Prabu Hanyokrowati mempersiapkan balatentara yang besar dan kuat. Dia sendiri yang akan memimpin pasukan untuk menyerbu ke timur dan menundukkan daerah-daerah di Jawa Timur yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan Mataram. Dia marah sekali setelah mendengar akan pemberontakan yang dilakukan Pangeran Jayaraga, adik tirinya sendiri yang menjadi Adipati Ponorogo. Kalau sanak keluarga sendiri yang menjadi adipati memberontak, apa lagi orang lain yang menguasai daerah-daerah itu!
Mataram harus memperlihatkan kekuatannya, seperti yang pernah terjadi ketika mendiang ayahnya pertama kali menduduki singgasana. Dan daerah pertama yang akan diserbunya adalah Ponorogo! Biarpun baru saja pasukannya kembali dari penyerbuannya ke Demak, kini terpaksa dia harus memimpin kembali pasukannya untuk menundukkan daerah lain. Raja yang memulai kedudukannya dengan penyerangan ke Demak, setelah perang yang melelahkan selama dua tahun (16021604) baru Demak dapat ditundukkan, kini harus melanjutkan usahanya mempertahankan kedaulatan Mataram.
Para senopati dikerahkan, dan tidak ketinggalan Ki Sinduwening, juga Nurseta mendapatkan tugas untuk menyerbu Ponorogo, sedangkan Sang Prabu Hanyokrowati memimpin pasukan induk yang bergerak paling belakang. Ki Sinduwening memimpin pasukan yang akan bergerak ke Ponorogo dari utara, sedangkan Nurseta bersama para senopati lainnya memimpin pasukan yang bergerak dari selatan. Sesuai dengan rencana yang sudah diaturnya dengan kadipaten Ponorogo, Nurseta diam-diam telah menghubungi ayahnya, yaitu Ki Demang Padangsuta di dusun kademangan Praban. Dia berhasil membujuk ayahnya agar Ki Demang Padangsuta memihak Ponorogo.
Nurseta juga mengemukakan janji-janji muluk dari kadipaten Ponorogo bahwa kalau kelak Ponorogo menang dan Mataram dapat ditundukkan, maka dia dan ayahnya tentu akan menerima kedudukan yang jauh lebih tingggi dari pada yang di dapatkan mereka dari Mataram sekarang ini. Karena pandainya Nurseta membujuk ayahnya, akhirnya Ki Demang Padangsuta terbujuk dan kademangan itu mengumpulkan dan menghimpun anak buah untuk diam-diam membantu Ponorogo dan "menjegal"
Pasukan Mataram yang akan bergerak menyerbu Ponorogo! Setelah berhasil membujuk ayahnya, juga Nurseta menghubungi dua orang kakak beradik yang menjadi saudara-saudara seperguruannya, yaitu murid Ki Ageng Jayagiri yang bertapa di lereng Merbabu.
Kakak beradik yang sudah yatim piatu ini bernama Santiko, berusia tiga puluh lima tahun, dan Bargowo, tiga puluh tahun. Mereka berdua adalah kakak seperguruan Nurseta, dan sejak kecil keduanya sudah yatim piatu. Setelah mereka meninggalkan perguruan, mereka tinggal di dekat Telaga Sarangan, hidup sebagai dua orang petani dan mereka berdua belum juga menikah. Karena mereka berdua merupakan kakak beradik yang berilmu tinggi, maka banyak jagoan dan warok yang datang untuk menguji kepandaian mereka. Setalah ternyata bahwa mereka memang amat tangguh, banyak pula pemuda yang berguru kepada mereka. Juga banyak para warok yang menimba ilmu di tempat tinggal mereka. Akan tetapi, kedua orang kakak beradik ini tidak mau menerima sembarangan murid.
Mereka meneliti agar jangan sampai mereka menurunkan ilmu kepada orang-orang jahat. Maka, para jagoan dan warok yang menjadi pengikut mereka adalah para warok yang berjiwa pendekar, bukan mereka yang termasuk golongan hitam atau golongan sesat. Nama kedua orang kakak beradik ini menjadi terkenal dan saking banyaknya murid mereka, maka keduanya lalu membuka perguruan kanuragan "Dayatirta". Setiap orang murid diharuskan menghimpun tenaga sakti dengan jalan bertapa di bawah sebuah air terjun, membiarkan seluruh tubuh ditimpa air terjun selama tiga hari tiga malam.
Banyak yang tidak kuat dan mereka yang tidak dapat menahan uji coba ini, tidak diterima menjadi murid. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa mereka yang menjadi murid perguruan Dayatirta adalah orang-orang pilihan atau gemblengan. Pada waktu itu, murid-murid Dayatirta yang tinggal di sekitar telaga terdapat tidak kurang dari seratus orang! Akan tetapi, kakak beradik ini memegang teguh peraturan dan mereka bertangan besi. Kalau ada murid yang melanggar peraturan, mempergunakan kekerasan dan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka kepada orang lain, melakukan kejahatan, pasti murid itu akan dihukum berat. Karena itu, nama Dayatirta sebagai perguruan kanuragan, dikenal dan dihormati semua orang.
Adipati Jayaraga tentu saja sudah mendengar akan nama besar perguruan Dayatirta ini, dan sudah mengirim utusan untuk menghubungi Santiko dan Bargolo, mengajak agar perguruan itu suka membantu Ponorogo menghadapi Mataram. Akan tetapi, usaha ini belum berhasil karena terjadi pertentangan paham antara Santiko dan adiknya sendiri, yaitu Bargolo. Santiko ingin menanggapi ajakan Adipati Ponorogo, akan tetapi adiknya, Bargolo, tidak setuju. Karena ini, maka ajakan Pangeran Jayaraga masih belum mendapatkan tanggapan yang pasti.
Setelah Nurseta menghubungi mereka dan membujuk mereka agar suka bekerja sama membantu Ponorogo, kembali terjadi pertengkaran dan pembantahan antara kedua orang kakak beradik itu, Pada pagi hari itu, kembali kakak dan adiknya ini bertengkar mengenai urusan itu. Mereka berdua duduk di tepi telaga yang sunyi. Mereka memang sengaja memilih tempat yang sunyi itu agar percakapan mereka tidak didengarkan orang lain. Mereka duduk berhadapan di atas batu datar yang licin, di tepi telaga. Pagi yang cerah. Matahari belum naik tinggi, merupakan bola besar yang kuning emas dan biarpun bola api itu sendiri cukup menyilaukan kalau dipandang langsung, namun sinarnya masih lemah dan hangat, belum menyengat.
Kicau burung pagi sudah melemah karena sebagian besar burung-burung itu sudah meninggalkan pohon mencari makan. Tinggi di angkasa nampak beberapa puluh ekor kelelawar besar atau kalong yang kesiangan, pulang ke sarang mereka dari pekerjaan mereka mencari makan sepanjang malam tadi. Sarang mereka adalah sebuah randu alas besar di hutan bukit sana. Air telaga nampak tenang, seperti sebuah cermin kaca yang besar. Sinar matahari membuat jalan emas yang panjang di permukaannya, membuat bayang-bayang pepohonan yang terbalik kehijauan nampak aneh mengandung rahasia yang mendalam.
Dalam keadaan seperti itu, kalau kita duduk di tepi telaga, kalau kita mengamati semua itu tanpa keinginan mengamati, tanpa pikiran, tanpa penilaian, kita seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari keagungan alam ciptaan Sang Maha Pencipta itu. Tidak ada lagi bedanya antara yang satu dengan yang lain, semua merupakan bagian dari suatu kesatuan agung. Tidak ada baik tidak ada buruk, tidak ada indah atau jelek, tidak ada tinggi atau rendah, semua berada dalam keadaannya yang suci! Bagus dan buruk hanya timbul setelah kita menilai, dan penilaian ini selalu didasari oleh rasa suka dan tidak suka, sedangkan rasa suka dan tidak suka didasari pula oleh kepentingan pribadi. Kalau menyenangkan, maka timbul perasaan suka dan dianggap indah, kalau tidak menyenangkan, timbul perasaan tidak suka dan dianggap buruk.
Karena penilaian itu terpengaruh pikiran dan kepentingan, tentu saja tidak abadi, selalu berubah sesuai dengan kepentingannya. Mungkin yang kemarin kita katakan baik, hari ini kita katakan buruk, dan apa yang hari ini kita katakan buruk, besok kita anggap baik. Sejenak Santiko dan Bargolo duduk berhadapan tanpa kata-kata, seolah suasana di sekelilingnya mempengaruhi mereka, mengusir semua gerak hati akal pikiran, dan dalam keadaan kosong dan hening, tidak ada masalah, tidak ada pertentangan, tidak ada gesekan. Akan tetapi akhirnya, hati akal pikiran yang menang dan sekali lagi keduanya sudah dicengkeram oleh hati akal pikiran masing-masing. Santiko sang kakak, bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, wajahnya membayangkan kegagahan, gerak geriknya kasar, sesuai dengan wataknya yang keras terbuka dan jujur.
Dia membiarkan kumis dan jenggotnya tumbuh subur sehingga wajah itu nampak jantan dan gagah perkasa. Sepasang matanya yang lebar itu bersinar penuh kejujuran, dan dia tidak pernah mengenal kepura-puraan. Adiknya, Bargolo yang berusia tiga puluh tahun, merupakan kebalikan dari keadaan lahiriah kakaknya. Bargolo ini bertubuh sedang dan nampak lelah lembut, baik geragerik maupun tutur-sapanya. Wajah tampan dan halus, tidak memelihara kumis dan jenggot, senyumnya menghias wajahnya sehingga dia selalu nampak ramah dan manis budi. Akan tetabiarpun keadaan mereka jauh berbeda, kedua kakak beradik ini memiliki tingkat kedigdayaan yang sama karena murid Ki Ageng Jayagiri di
"Nah, sekarang kita bicara untuk yang terakhir kali, adikku Bargowo. Sudah sampai ke sini berita bahwa pasukan besar Mataram telah siap dan sewaktu-waktu pasukan itu akan datang menyerbu daerah Ponorogo. Kita harus dapat mengambil keputusan sekarang juga, selagi kita berdua saja di sini dan tidak ada yang mendengarkan percakapan kita."
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo