Ratna Wulan 4
Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
api.
"Kau manusia sombong, manusia kurang ajar."
"Lho, bagaimanapula ini? Mengapa kau marah-marah dan menyebutku sombong dan kurang ajar?"
"Kau. kau telah berani memanah mati harimau itu!"
Ratna Wulan mengigit bibir menahan Kemarahannya oleh karena di panahnya harimau tadi benar-benar menyakitkan hatinya. Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Kalau kau tidaksedang bicara dan berada di depanku sehingga akumelihat jelas bahwa kedua kakimu mengambah (menginjak) tanah, tentu aku akan kusangka peri!"
"Gila!"Ratna Wulan memaki.
"Memang mungkin aku sudah menjadi gila, atau memang kau yang bukan manusia! Di dalam Hutan liar seperti ini, dimana orang-orang lelaki biasapun belum tentu ada yang berani memasukinya, aku bertemu dengan seorang dara seperti engkau seorang diri! Ini sudah amat aneh namanya. Kemudian kau menghadapi harimau dengan keris di tangan dan sama sekali tidak takut, bahkan dapat mengelak dari terkaman harimau tadi. Ini lebih aneh namanya. Kemudian aku menolongmu dari bahaya maut, dengan anak panahku kubinasakan harimau buas itu, dan apakah bunyi terima kasihmu? Kau memberi hadiah makian! Ini namanya lebih aneh dari sekalian yang aneh!"
Biarpun katanya menunjukkan bahwa ia merasa penasaran melihat sikap yang tak tahu akan terimakasih itu, namun wajah pemuda itu masih saja memperlihatkan keriangan hatinya. Ratna Wulan cemberut.
"Siapa butuh pertolonganmu? Siapa tadi melihat kau berlancang tangan membantuku? Aku tidak butuhakan bantuanmu! Kau telah berlaku lancang, memanah binatang buruanku, kemudian kau membunuh pula harimau yang sedang hendak kubunuh! Kau telah sombong memperlihatkan sedikit kepandaianmu, apakah kau kira di dunia ini hanya kau seorang saja yang paling gagah? Tanpa bantuanmu, akupun akan dapat membinasakan harimau itu dengan mata meram. Jangankan baru seekor harimau, biarpun ada sepuluh ekorpun aku tak takut."
"Kau menghinaku, bukan laku seorang ksatria untuk menghina orang lain mengandalkan kepandaiannya!"
Semenjak tadi pemuda itu memandang dengan kagum sambil tersenyum, seakan-akan melihat gadis berkata-kata dengan muka merah dan mata bersinar-sinar itu merupakan pemandangan yang amat menarikhati dan menyenangkan. Ia sama sekali tidak perduli melihat kemarahan orang. Bahkan kini ia lalu bersedekap (menyilangkan lengan di depan dada) dan bertanya.
"Habis, kalau kau menganggap aku kurang ajar, sombong dan sebagainya lagi, kau hendak memberi hukuman apakah kepadaku?"
"Aku bukan algojo yang berwenang menghukum orang, apalagi orang macam engkau!"
Jawab Ratna Wulan dengan marah sekali.
"Kalau begitu, apakah kehendakmu selanjutnya? Biarlah kau ketahui bahwa aku bernama Adiprana, masih jejaka berusia dua puluh satu tahun, baru saja turun Gunung Bromo dan hendak pergi ke..."
"Aku tidak perduli! Akutidak perduli kau bernama setan atau iblis, tidak perduli kau baru turun dari neraka pula!"
Ratna Wulan memotong dengan suara keras karena hatinya mendongkol sekali, akan tetapi diam-diam nama Adiprana itu terukir di dalam hatinya.
"Kau harus minta maaf kepadaku karena segala kelancanganmu tadi!"
"Kalau aku tidak mau?"
"Aku akan membinasakanmu dengan kerisku!"
Pemuda itu mengangguk-anggukkan kepala dan bibirnya berbisik,
"Aduh, galak dan ganasnya.! Biarlah aku minta maaf saja."
Kemudian ia membungkuk sambil berkata.
"Paduka puteri yang mulia, Semoga sudi melimpahkan maaf sebesarnya kepada hamba yang rendah."
Makin panas hati Ratna Wulan melihat betapa pemuda itu sengaja megejeknya, maka ia lalu membentak,
"Kalau kau tidak berlutut dan menyembah, aku tak mau memaafkan kau!"
Kini sepasang mata pemuda itu memandang tajam dan suaranya terdengar penasaran sekali ketika berkata.
"Ah, bagus sekali! Kau kira kau hanya main-main saja, tidak tahunya kau bersunguh-sungguh! Sayang, seorang gadis yang cantik dan gagah seperti kau ini memiliki kesombongan seperti itu. Akan kulihat sampai di mana sih tingginya kepandaianmu maka kau berani bersikap demikian terhadap anak Gunung Bromo!"
"Kaupun belum kenal sepak-terjang anak Mahameru!"
Ratna Wulan membalas "Majulah!"
Sambil berkata demikian, ia berdiri dengan tubuh agak merendah, tangan kanan memegang keris yang ditarik sampai kesamping pinggangnya, sedangkan tangan kirinya di taruh di depan dada dengan jari tangan terbuka. Adiprana yang melihat sikap ini maklum bahwa gadis itu memiliki kepandaian, dan pula ia dapat mengenal keris pusaka di tangan gadis itu, maka ia tidak mau berlaku sembrono dan cepat mencabut pula kerisnya yang juga mengeluarkan cahaya tanda keris pusaka ampuh.
"Tidak pantas seorang pria menyerang lebih dulu,"
Jawab Adiparana yang betapapun juga masih memandang ringan.
"Kau majulah hendak kulihat sampai dimana kepandaianmu!"
Ratna Wulan tak dapat menahan sabar lagi dan segera mengirim serangan dengan kerisnya Meluncur dengan tusukan ke arah dada lawan. Adiprana berlaku waspada dan kagum Melihat kecepatan gerakan dara perkasa ini, maka ia cepat menggerakkan kerisnya untukmenangkis.
"Trangg!"
Ketika dua bilah keris itu saling membentur, memerciklah bunga api dan keduanya merasa betapa telapak tangan mereka yang menggenggam gagang keris, menjadi panas dan sakit. Keduanya terkejut sekali dan cepat memeriksa keris masing-masing, akan tetapi senjata mereka tidak rusak, maka mereka menjadi lega dan mulai serang-menyerang lagi dengan lebih hati-hati. Bukan main kagum dan herannya Adiprana ketika ia menyaksikan ketangkasan dan kehebatan ilmu keris gadis itu.
Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya. Tidak saja dalam hal tenaga lawanya tidak kalah olehnya, bahkan kecepatannyapun hanya dapat mengimbangi dara ini! Ia kagum sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia warisi dari gurunya, yaitu Panembahan Bromosakti, seorang pertapa yang sakti mandraguna di puncak Gunung Bromo. Sebaliknya, Ratna Wulan juga merasa terkejut dan kagum. Baru kali ini semenjak turun gunung ia menjumpai lawan yang benar-benar berat dan tinggi ilmu kepandaiannya. Ia telah menyerang dengan hebat dan telah mengeluarkan segala aji kesaktian, akan tetapi tak berhasil mendobrak dan membobolkan pertahanan lawannya. Tipu dilawan tipu, kegesitan dilawan kecepatan, dan ilmu dengan ilmu telah ia pergunakan tanpa hasil sehingga ia menjadi makin penasaran dan gemas.
Kedua orang itu benar-benar hebat. Pertempuran yang terjadi kali ini sayang tidak ada yang menyaksikannya, karena kalau ada orang ketiga yang menyaksikan, ia tentu akan berdiri bengong saking takjubnya. Tubuh kedua orang muda itu berkelebatan kesana-kemari, keris mereka menyambar-nyambar bagaikan kilat, kadang-kadang terdengar bunyi nyaring kalau sepasang senjata beradu dan nampak bunga api berpijar. Akan tetapi, setelah bertempur puluhan jurus lamanya, akhirnya pemuda itu merasa betapa tangannya yang memegang keris mulai gemetar dan panas sekali. Ia maklum bahwa hal ini terjadi oleh karena keris pusakanya kalah ampuh dan kalau diteruskan, banyak kemungkinan ia akan kalah. Makin meninggi rasa kagumnya dan tiba-tiba ia melompat ke belakang sambil berseru.
"Tahan!"
Bagaikan seekor banteng mencium darah, Ratna Wulan berdiri dengan keris di tangan kanan dan tangan kirinya menolak pinggang, kakinya terpentang dan matanya menatap lawannya dengan pandang mata beapi, dadanya naik turun dan dari jidatnya yang berkulit kuning langsat dan halus itu menitik keluar beberapa butir peluh.
"Mau apa lagi? Hayo majulah, keluarkanlah semua kepandaianmu, Adiprana! Jangan kau anggap dirimu sendiri saja yang gagah perkasa. Keluarkan kesaktianmu dan coba jatuhkan aku kalau kau bisa!"
Ia menggunakan tangan kirinya menepuk-nepuk dadanya dan berkata.
"Kerahkan kejantanmu, karena kau baru patut memandang rendah dan berlaku sombong kalau kau sudah bisa mengalahkan aku. Inilah anak Mahameru yang tak sudi dihina oleh siapapun juga!"
Dalam sumbar dan tantangannya ini Ratna Wulan melepaskan semua kegemasannya dan kemarahannya terhadap pemuda itu, pemuda yang begitu bertemu telah menimbulkan benci, marah dan juga kagum di dalam hatinya. Mendengar sumbar dan tantangan ini, Adiprana tersenyum dan sambil menghapus peluhnya yang membasahi muka, ia berkata,
"Ratna Wulan, kau benar-benar gagah perkasa. Tak pernah aku melihat atau mendengar, bahkan dalam mimpipun tidak, bahwa di dunia ada seorang dara segagah engkau! Tak dapat diragukan lagi, kau tentulah anak murid Panembahan Mahendraguna yang disebut Eyang Semeru, bukan?"
Ratna Wulan tertegun.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Adiprana menarik napas panjang dan memasukkan kerisnya ke dalam warangka.
"Lebih dahulu kita harus berdamai, maukah kau? Tak enak untuk bercakap-cakap dengan seorang yang masih marah-marah kepadaku. Maukah kau berdamai dengan aku?"
"Itu tergantung."
"Tergantung bagaimana?"
"Tergantung kepadamu sendiri apakah kau masih sombong dan memandang rendah kepadaku! Kau telah berlaku lancang dan menyakiti hatiku dengan perbuatanmu yang sombong tadi. Apakah kini kau masih merasa bahwa aku pantas ditolong dari harimau ini?"
Ia menunjuk kepada bangkai harimau.
"Memang aku bersalah, Ratna Wulan. Memang kau tadi benar, jangan baru seekor harimau, dengan kepandaianmu itu, biarpun kau dikepung lima ekor harimau pun, rasanya kau belum berada dalam bahaya. Aku telah salah duga tadi."
"Nah, kalau saja sikapmu tadi seperti sekarang, siapa yang akan menjadi marah-marah? Tadi kau keterlaluan, minta maaf saja tidak mau bahkan mengejek. Begitukah sikap seorang ksatria terhadap wanita? Memalukan sekali!"
Adiprana menarik napas panjang.
"Aku minta maaf, Ratna Wulan, kala memang kau kehendaki, Biarlah aku berlutut dan menyembah kepadamu."
"Cih! Siapa yang ingin disembah-sembah? Asal kau benar-benar merasa menyesal dengan kesombonganmu tadi, tak perlu hal itu dibongkar-bongkar lagi. Kau sudah membuktikan sendiri bahwa dalam hal ketangkasan bermain keris dan olah yuda, aku tidak kalah olehmu. Atau kalau masih penasaran, boleh kita teruskan lagi sampai salah seorang menggeletak di sini!"
"Tidak, tidak! Aku sudah cukup puas. Kau benar digdaya!"
"Namun aku masih belum puas kalau belum bertanding panah denganmu, Adiprana! Anak Panahmulah yang melukai dan menyinggung hatiku tadi, maka sekarang akau ingin kau saksikan bahwa dalam hal ilmu memanah, anak Mahameru juga tidak perlu menyerah kalah terhadap anak Bromo!"
Dari ucapan dan nada suaranya ini, Adiprana maklum bahwa gadis ini masih merasa panas hatinya, maka sambil tersenyum ia lalu menurunkan gendewanya dan memasang anak panah. Sekali pasang ia telah menggunakan lima batang anak panah dan ia segera berkata.
"Baiklah, mari kita berlomba panah. Dengan anak-anak panahku aku akan membuat lingkaran dipohon waringin depan itu!"
Baru saja ucapannya habis lima batang anak panahnya telah melucur dari gendewa dengan sekali tarik saja dan anak-anak panah itu menancap dengan rapinya merupakan setengah bulatan pada batang pohon waringin yang besar. Sekali lagi Adiprana mengeluarkan lima batang anak panah dan sekali lagi lima batang anak panah itu meluncur cepat melengkapi dan menyempurnakan lingkaran yang baru jadi setengahnya. Kini di atas batang pohon itu nampak sepuluh batang anak panah yang teratur rapi, berderet-deret merupakan sebuah lingkaran kecil.
"Nah, kau keluarkan anak panahmu dan coba kau usahakan untuk memasukkan sepuluh batang anak panah ke dalam lingkar anak panahku itu!"
Ratna Wulan memandang ke arah lingkaran itu dan ia merasa bahwa ilmu memanah pemuda ini benar-benar hebat. Ia melihat betapa lingkaran itu kecil saja sehingga takkan cukup dimasuki oleh sepuluh batang anak panah, maka ia tahu akan kelicikan ini. Akan tetapi, ia tetap tenang, bahkan kini tersenyum mengejek.
"Apa susahnya memasukkan sepuluh batang anak panah dalam lingkaran itu? Kau lihatlah!"
Sambil berkata demikian ia memasang lima batang anak panah pada gendewanya dan setelah membidik, terdengar tali gendewanya menjepret dan lima batang anak panah dengan kecepatan luar biasa meluncur ke arah batang pohon itu. Adiprana memandang penuh perhatian dan ia merasa heran melihat ketenangan gadis itu. Ia tahu betul bahwa ruang lingkaran itu takkan mungkin dapat di masuki sepuluh batang anak panah akan tetapi setelah anak-anak panah dara perkasa itu menyambar ke arah lingkaran,
Ia menjadi terkejut sekali dan juga kagum oleh karena anak-anak panah itu bukannya menancap di dalam lingkaran, melainkan menyambar tepat pada gagang anak-anak panahnya sehingga patah-patah dan lima batang anak panahnya jatuh keatas tanah bersama lima batang anak panah Ratna Wulan. Kembali lima batang anak panah gadis itu menyambar dan habislah anak panahnya yang tadi menancap pada batang pohon itu! Sambil melangkah tenang, Ratna Wulan mengambil kesepuluh batang anak panahnya, sedangkan anak-anak panah Adiprana telah patah kepalanya dan tak dapat dipakai lagi! Akan tetapi pemudaitu tidak menjadi marah. Ia maklum bahwa dengan jalanitu, Ratna Wulan hendak membalas dendam dan melampiaskan amarah dan kegemasannya. Ia bahkan memuji dan tersenyum ramah.
"Hebat sekali! Ilmu panahmu memang lebih unggul daripada kepandaianku!"
Mendengar pujian ini dan melihat sikap Adiprana, timbulah rasa menyesal dalam hati Ratna Wulan. Memang hati seorang wanita itu perasa sekali, mudah tersinggung dan mudah terharu, gampang Marah dan gampang menyesal, sebentar girang sebentar berduka. Kalau saja Adiprana menjadi marah karena anak-anak panahnya dirusak dan menegur Ratna Wulan, dara ini tentu akan menjadi marah sekali dan mengingatkan ia akan kelancangannya mempergunakan anak panah untuk membunuh kijang dan harimau tadi. Akan tetapi karena Adiprana tidak menjadi marah bukan memujinya, luluhlah hati dara perkasa itu dan ia menjadi menyesal mengapa ia telah merusak semua anak panah dan menyerahkannya kepada Adiprana sambil berkata.
"Aku telah merusakkan sepuluh batang anak panahmu. Terimalah lima batang sebagai penggantinya, sehingga kita masing-masing kehilangan lima batang!"
Adiprana memandang dengan mata kagum dan hatinya makin suka kepada dara perkasa yang aneh ini. Kalau tadi pada pertemuan pertamaia berlaku kurang ajar dan menggoda, hal ini adalahkarena ia mengira bahwa Ratna Wulan hanyalah seorang gadis gunung yang mempunyai sedkit kepandaian dan menjadi sombong karenanya. Akan tetapi setelah kini ia tahu betul bahwa gadis ini ilmu kepandaiannya tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri, maka ia menjadi tertarik, kagum, suka, dan menganggapnya sebagai seorang sederajat dan segolongan. Mereka duduk di atas rumput dan Ratna Wulan bertanya.
"Adiparana, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku adalah murid Eyang Semeru? Siapakah kau sebenarnya dan siapa pula gurumu?"
"Seperti telah kukatakan tadi, namaku Adiparana dan aku adalah murid tunggal dari Eyang Bromo sakti yang bertapa di puncak Gunung Bromo. Tadi aku hanya menduga saja bahwa kau adalah murid Eyang Semeru oleh karena guruku penah memberi pesan bahwa Eyang Semeru mempunyai seorang murid wanita yang sakti dan yang ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Maka begitu melihat kepandaianmu bermain keris, mudah saja menerka siapa adanya kau. Ketahuilah, Ratna Wulan, guruku masih terhitung adik angkat gurumu sendiri, maka kita bukanlah orang lain dan masih dapat disebut saudara seperguruan."
Ratna Wulan girang sekali mendengar ini.
"Sayang bahwa eyang guru tak pernah menceritakan perihal gurumu itu, akan tetapi melihat kepandaianmu, aku percaya bahwa kau tentulah murid seorang sakti,"
Kata Ratna Wulan, pandang matanya menatap wajah yang tampan itu. Melihat sinar mata gadis itu memandang dengan terbuka dan jujur, tanpa sedikit pun sungkan dan malu-malu sebagaimana pandang mata lain gadis, Adiprana merasa suka dan kagum. Benar-benar seorang dara yang sukar ditemukan keduanya, pikirnya. Seperti inilah agaknya Srikandi di zaman pewayangan itu. Tidak, Ratna Wulan lebih gagah lagi, lebih cantik jelita dan mengagumkan.
"Kau tinggal di manakah, Ratna Wulan? Kalau gurumu bertapa di puncak Mahameru, mengapa Kau berada di tempat sejauh ini?"
"Aku sedang bertugas memimpin Pasukan Candrasa Bayu yang bersarang di hutan randu."
Mata Adiprana terbelalak memandang.
"Memimpin apa.?"
Ratna Wulan tersenyum bangga.
"Aku memiliki sebuah pasukan yang gagah berani, terdiri Dari tiga puluh orang, yaitu Pasukan Candrasa Bayu. Mereka bersarang ditengah hutan randu di kaki Gunung Mahameru sebelah timur."
Bukan main heran hati pemuda itu.
"Melatih pasukan? Mengapa dan untuk apa?"
Melihat wajah pemuda itu demikian terheran, Ratna Wulan tertawa geli.
"Kau tidak tahu, Adiprana, pasukan itu bukanlah pasukan sembarangan, akan tetapi pasukan istimewa dan para anggotanya terdiri dari sisa-sisa pemberontak Majapahit, dahulu anak buah Panglima Nambi di Lumajang dan lain-lain. Mereka bercita-cita untuk membalas dendam dan mengempur Majapahit lagi, maka kini aku melatih mereka dengan ilmu pedang dan olah yuda."
Adiprana tertegun dan memandang dengan muka menunjukkan bahwa ia hampir tak dapat percaya Akan penuturan ini.
"Kau. Kau menjadi pemimpin pemberontak yang hendak menggempur Majapahit?"
"Aah, panjang ceritanya, Adiprana. Sekarang hari telah hampir senja dan kedua bangkai binatang Ini kalau tidak lekas dirawat akan menjadi rusak. Maukah kau kehutan randu untuk Kuperkenalkan dengan Pasukan Candrasa Bayu dan mendengar lanjutan ceritaku? Aku akan Menceritakan riwayatku, asal saja kau mau menceriakan riwayat hidupmu lebih dahulu padaku. Setelah saling mengadu kesaktian dan saling berkenalan, kemudian ternyata masih saudara seperguruan, sudah sepatutnya kalau kita saling mengetahui riwayat hidup masing-masing pula."
Mendengar bahwa dara perkasa itu memimpin sepasukan sisa para pemberontak, mula-Mula Adiprana merasa ragu-ragu untuk ikut, akan tetapi entah mengapa, ada sesuatu pada gadis itu yang membuat ia tidak kuasa untuk menolak ajakan ini. Entah sepasang mata yang jernih dan indah itu, entah bibir yang merah dan manis itu. Akan tetapi, ia bangun berdiri bagaikan terdorong oleh pengaruh yang jauh lebih kuat daripada tenaga batinnya sendiri, memanggul bangkai macan sambil berkata.
"Kijang itu bagianmu karena lebih ringan."
"Kau kira aku tidak kuat untuk memanggul macan itu?"
Kembali sepasang mata Ratna Wulan memancarkan sinar berapi. Adiprana tersenyum. Dalam perkenalan yang tak berapa lama ini ia telah tahu akan sifat gadis ini, maka Ia menjawab.
"Tentu saja kau kuat memanggulnya, akan tetapi sudah menjadi kelaziman umum bahwa kaum pria harus memanggul yang lebih berat. Dan pula, sekarang sudah hampir gelap, kalau tidak lekas-lekas kita akan kemalaman di jalan."
"Mungkin bagi orang lain, akan tetapi bagi kita, jarak itu tak berapa jauh. Mari kita berlomba lari!"
Kata Ratna Wulan sambil memanggul kijang itu. Keduanya lalu menggunakan aji kesaktian mereka dan berlari cepat sambil memanggul kijang dan macan itu, berlari-lari bagaikan terbang cepatlah menuju ke hutan sebelah timur.
Di sepanjang jalan, mereka tidak banyak bicara dan diam-diam Ratna Wulan merasa gembira sekali oleh karena baru kali inilah ia dapat berlari cepat dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan tidak kalah olehnya. Dalam diri Adiprana ia merasa mendapat seorang kawan yang amat baik dan cocok. Sementara itu, senja mulai mendatang dan Sang Batara surya telah bersembunyi di balik puncak Bukit Mahameru, sungguhpun cahayanya masih menghambat datangnya sang malam gelap. Dan di dalam cahaya yang suram itu, di mana angin tak bertiup dan segala sesuatu agaknya diam dan sunyi karena ditinggalkan oleh matahari, nampak dua bayangan berkelebat cepat. Dari jauh mereka tidak kelihatan seperti manusia biasa, karena biarpun tubuh bagian bawah seperti orang biasa,
Akan tetapi bagian atasnya kelihatan besar dan aneh bentuknya. Kalau ada orang yang kebetulan melihat dua sosok bayangan ini, tentu mengira bahwa mereka adalah setan-setan pertama yang keluar dari persembunyiannya setelah Sang Batara surya yang mereka takuti itu mengundurkan diri. Padahal kedua sosok bayangan ini bukan lain ialah Ratna Wulan dan Adiprana yang memanggul Kijang dan macan, sehingga dilihat dari jauh memang bentuk pundak dan kepala mereka aneh, menjadi satu dengan kedua ekor binatang yang telah mati itu! Sebelum hari menjadi gelap benar, mereka telah memasuki hutan randu di kaki Mahameru sebelah timur, dan kecepatan lari mereka agaknya takkan kalah apabila dibandingkan dengan kedua ekor binatang yang kini mereka panggul, andaikata kedua ekor binatang itu masih dapat berlari!
Karena mereka telah mempergunakan aji kesaktian mereka, yaitu Ilmu Lari Cepat MarutoBajra (Angin Kilat)! Kedatangan Ratna Wulan disambut dengan girang oleh kawan-kawannya, dan semua anggota Pasukan Candrasa Bayu yang tadinya merasa gelisah karena tidak melihat dara perkasa itu, menjadi gembira melihat pemimpin atau pelatih mereka itu datang membawa kijang dan harimau. Akan tetapi, mereka memandang kepada Adiprana dengan curiga dan tak senang. Terutama sekali Bejo dan Parta, dua orang gagah yang diam-diam menaruh hati cinta kasih terhadap Ratna Wulan, merasa cemburu melihat pemuda yang tampan itu. Bejo yang wataknya jujur dan terbuka serta kasar lalu melangkah maju, menatap wajah Adiprana dan bertanya kepada Ratna Wulan.
"Jeng Ratna, siapakah saudara ini dan apa kepentingannya datang ke tempat kita?" Ratna Wulan tersenyum lalu memperkenalkan pemuda itu.
"Ini adalah saudara Adiprana, seorang kelana muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kami telah bertanding mengadu kepandaian dan bekenalan, dan tidak tahunya bahwa dia ini adalah murid dari Eyang Bromo sakti yang menjadi saudara angkat guruku sendiri. Kalian boleh banyak belajar ilmu dari saudara Adiprana ini!" Parta berkata dengan suara menyatakan ketidak-puasannya.
"Bagaimana kami dapat mengetahui bahwa ia boleh dipercaya dan benar-benar digdaya kalau Kami belum menyaksikannya sendiri? Jeng Ratna, apakah ilmu panahnya dapat menandingi Kukiladanu (Gendewa Burung) kita?"
"Apakah ia dapat menandingi Candrasa Banyu?"
Tanya pula Bejo dengan sikap menantang. Ratna Wulan tersenyum lagi.
"Jadi kalian hendak memuji kesaktiannya? Tunggulah sampai esok hari, biarlah dia memperlihatkan kepandaiannya."
Adiprana melihat sikap orang-orang itu, di dalam hatinya membenarkan pernyataan Ratna Wulan bahwa anggota-anggota pasukan istimewa ini benar-benar bersikap gagah dan jantan. Maka timbulah kegembiraannya dan ia maklum bahwa kalau mereka ini tidak di beri bukti akan kepandaiannya, tentu mereka akan memandang rendah dan merasa tidak puas. Maka ia lalu melangkah maju dan berkata.
(Lanjut ke Jilid 04)
Ratna Wulan (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
"Saudara-saudara yang gagah! aku adalah seorang pemuda gunung yang bodoh dan hanya memiliki sedikit kepandaian saja. Apakah kalian inginkan, biarlah aku yang muda memperlihatkan sedikit kebodohanku."
Ia memandang kepada Parta yang selalu memegang sebuah gendewa yang besar lalu berkata.
"Agaknya saudara adalah ahli panah yang pandai dalam pasukan ini. Pernahkah saudara mendengar tentang ilmu memanah tanpa melihat sasarannya dan dapat mengenai sasaran dengan tepat hanya dengan mendengar suara saja?"
Memang Parta pernah mendengar ilmu memanah ini dari Ratna Wulan. Ilmu memanah ini disebut Isu Destarata (Anak Panah Destarata). Sebagaimana diketahui oleh para penggemar cerita pewayangan, Destarata adalah seorang yang buta, akan tetapi kesaktiannya menggiriskan hati pahlawan-pahlawan seluruh permukaan bumi. Destarata inilah yang menjadi nenek moyang para saudara Kurawa. Ilmu memanah itu disebut Anak Panah Destarata, karena di lakukan tanpa melihat sasaran, seakan-akan pemanahnya seorang buta yang memiliki pendengaran yang akan menentukan di mana letak sasaran itu sehingga bidikan akan mengenai tepat. Mendengar pertayaan Adiprana, Parta mengangguk dan berkata.
"Aku tahu tentang ilmu memanah itu sungguh pun aku tak dapat melakukan karena amat sukar dan sulit."
Adiprana menurunkan gendewanya dan mengambil sebatang anak panah.
"Nah, biarlah aku Memperlihatkan sedikit kebodohanku!"
Sambil membawa gendewa dan anak panah, Adiprana lalu Menghampiri sebatang pohon randu yang besar dan tinggi. Di atas pohon itu terdengar suara Burung gagak yang kadang-kadang berbunyi, akan tetapi oleh karena burung gagak bulunya hitam dan pohon itu amat tinggi serta diselumuti oleh kegelapan malam, tentu saja dari bawah orang tak dapat melihat apa-apa dan tidak tahu dimana tempat burung itu bertengger. Semua orang mengikuti gerakan Adiprana dengan penuh perhatian.
Setelah tiba di bawah pohon randu itu, Adiprana menundukkan mukanya dan diam tak bergerak bagaikan patung. Ia sedang menghening cipta dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya ke arah telinga untuk menentukan di mana gerakan burung yang hendak dijadikan sasaran anak panahnya itu, sebentar saja ia dapat menangkap suara burung itu dengan jelas, jangankan suara menggaoknya, bahkan suara burung itu membersihkan bulunyapun terdengar jelas olehnya. Tiba-tiba ia menggerakkan gendewa tanpa mendongakkan kepalanya dan ketika ia menarik tali gendewa, terdengarlah suara menjepret. Akan tetapi, tepat setelah anak panahnya meluncur, dari belakangnya ia mendengar suara tali gendewa lain ditarik dan anak panah dilepaskan sehingga hampir berbareng dua batang anak panah melesat kearah gerombolan daun randu yang hitam gelap itu.
Terdengar bunyi daun-daun gemersik dan seekor burung gagak yang melayang jatuh. Ketika orang ramai mengambil bangkai burung itu, ternyata bahwa dadanya telah tertusuk oleh dua batang anak panah! Adiparana berpaling dan tersenyum kepada Ratna Wulan yang tadi juga melepas anak panahnya. Ia maklum bahwa dengan perbuatannya itu, Ratna Wulan hendak memperlihatkan pula kepada anak buahnya bahwa ia tidak kalah pandai oleh Adiprana! Bukan main gembiranya orang-orang yang berada disitu ketika mengetahui bahwa anak panah ke dua adalah anak panah Ratna Wulan. Mereka amat kagum kepada pemuda itu, dan Parta diam-diam mengeluh karena ia harus mengakui bahwa Adiprana benar-benar lebih pandai dari padanya, dan sudah pantaslah kalau pemuda itu menjadi gurunya! Adiprana lalu memandang kepada Bejo sambil tersenyum dan berkata,
"Saudara yang gagah perkasa seperti Gatotkaca. Kau tentulah ahli pedang yang tinggi ilmunya dan kuat tenaganya. Marilah kita main-main sebentar dan memang hendak kubuktikan bagaimana hebatnya permainan pedang dari jago Pasukan Candrasa Bayu!"
Betapapaun juga, Bejo adalah seorang yang patuh dan akan disiplin, dan karena Adiprana adalah tamu dari Ratna Wulan, maka ia memandang kepada dara perkasa itu dengan mata minta keputusan. Ratna Wulan menganggukdan berkata.
"Bejo, kau boleh kerahkan seluruh ilmu kepandaian dan tenagamu! Kalau kau dapat bertahan sampai sepuluh jurus saja menghadapi saudara Adiprana, sudah cukup memuaskan hatiku."
Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar ucapan pelatihnya ini, Bejo merasa makin penasaran. Benar-benarkah ia hanya dapat melawan selama sepuluh jurus saja? Ah, jangan-jangan pemuda ini takkan dapat bertahan sampai lima jurus. Bejo dan Adiprana lalu masuk kedalam lingkaran yang disediakan untuk mereka, yaitu lingkaran orang-orang yang menjadi penonton, diterangi oleh api unggun yang dipasang di empat penjuru. Bejo segera mencabut pedangnya, sedangkan Waluyo lalu meminjamkan pedangnya kepada Adiprana. Disaksikan oleh semua orang yang berada disitu, ada yang berjongkok dan ada pula yang berdiri mengelilingi lapangan seolah-olah mereka sedang menyaksikan adu ayam,
Kedua pendekar pedang itu mulai berlagak. Bejo memasang kuda-kudanya dengan kaki kiri dibelakang, tubuh agak condong kemuka, kaki kanan di depan dengan tumit di angkat, tangan kiri terbuka jarinya dimiringkan melintang dada sedangkan tangan kanan memegang pedang melintang ditempelkan di atas pundak kiri. Inilah sebuah gerak pembukaan yang dalam Ilmu Pedang Candrasa Bayu disebut Kukila Nendra (Burung Tidur). Pembukaan ini dilakukan dengan berat tubuh di tengah-tengah dan tenaga kaki dipusatkan pada kaki kiri yang berada di belakang, sehingga kaki kirilah yang merupakan tiang penyangga tubuh, sedangkan kaki kanan hanya ujungnya saja menyentuh tanah. Sikap tubuh ini memungkinkan ia membuka serangan dengan berbagai cara dan jalan.
Tanpa mengubah kedudukan lawan agak jauh, ia dapat mengalihkan tenaga dari kaki kanan ke kaki kiri untuk melangkah maju dan membarengi gerakan itu dengan sebuah tusukan serong. Melihat kuda-kuda lawan ini, Adiprana tersenyum dan ia pun lalu membuka kuda-kudanya yang indah. Ia memasang kuda-kudanya dengan merendahkan tubuhnya, kaki kiri ditekuk lututnya dan bagian belakang tubuh diturunkan sampai hampir menyentuh tumit sedangkan kaki kanan dilonjorkan ke depan. Tubuhnya lurus dengan mata memandang ke depan, tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan telapak tangan di atas sedangkan pedang di tangan kanannya dilonjorkan pula di atas kaki kanan. Bejo tertegun melihat pembukaan lawannya ini oleh karena sikap dan kedudukan tubuh Adiprana itu sekaligus memecahkan pembukaan Kukila Nendra!
Dengan kedudukan macam itu, maka Adiprana boleh dibilang telah berada "di atas", lebih mudah melancarkan serangan berbahaya Dari bawah dan menempatkan kedudukan Bejo pada kedudukan yang amat sukar karena memang sulit baginya untuk dapat memulai serangan dengan baik apabila ia tidak merobah kuda-kudanya. Oleh karena itu, ia berseru keras dan merobah kedudukannya, dengan menarik kaki kiri maju sejajar dengan kaki kanan, tubuh direndahkan dan kedua kutut ditekuk sedikit, tangan kiri tetap bersilang di dada sedangkan pedangnya kini di taruh di pinggir pinggang! Dengan kuda-kuda ini, ia dapat menyerang lawannya dengan mudah, mengirim tusukan atau bacokan ke bawah! Akan tetapi Adiprana tidak merobah kedudukannya, bahkan lalu tersenyum dan berkata.
"Bagus, kini kau dapat menyerang! Mulailah Bima!"
Pemuda itu sengaja menyebut Bima, yaitu seorang tokoh pewayangan yang bertubuh tinggi besar sehingga dengan sebutan itu ia mengumpamakan Bejo yang tinggi besar itu sebagai Bima! Sebutan ini bukan merupakan hinaan, bahkan pujian, oleh karena Bima adalah seorang ksatria gagah perkasa, akan tetapi tetap saja suaranya mengandung nada mengejek. Bejo berseru keras,
"Awas pedang!"
Dan bagaikan petir menyambar, pedangnya meluncur kearah tenggorokan Adiprana dalam sebuah tusukan yang dahsyat.
"Jurus pertama!"
Adiprana berseru tak kalah nyaringnya sambil mernggeser kedua kakinya. Sungguh mengagumkan dan indah dipandang, oleh karena dengan amat lemas dan cekatan sekali, ia telah berpindah tempat dengan gerak kaki amat indah. Tanpa menangkis telah dapat mengelak bahaya tusukan itu. Akan tetapi tidak percuma Bejo mendapat latihan ilmu pedang dari Ratna Wulan, karena biarpun tusukannya mengenai tempat kosong, pedangnya itu tidak ditariknya kembali, bahkan lalu di ubah luncurannya bagaikan burung sedang melayang. Pedangnya itu membelok ke kanan mengejar lawannya. dan kini dengan majukan kaki kiriia mengirim bacokan ke arah leher Adiprana dibarengi dengan bentakan keras, lalu kaki kanannya menyusul dengan sebuah tendangan yang kuat kearah lambung lawan itu!
"Jurus kedua yang bagus!"
Adiprana masih sempat berseru sambil cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka cepat meluncur ke arah lambung sendiri untuk menangkap tendangan itu!
Bukan main hebatnya gerakannya ini! Semua orang menahan nafas karena mereka menganggap pemuda itu terlalu sembrono untuk mencoba menangkap tendangan kaki Bejo yang tenaganya mungkin akan dapat melemparkan seekor kerbau! Kalau saja lengan atau jari tangan pemuda itu terkena tendangan kaki Bejo, tentu akan remuklah tulang-tulangnya! Akan tetapi, Adiprana telah membuat perhitungan yang amat tepat. Tidak saja ia dapat menaksir sampai di mana kehebatan tenaga tenangan lawan, bahkan iapun maklum akan kecepatannya sendiri yang jauh lebih menang. Berbareng dengan bunyinya kedua pedang bertumbuk, iatelah berhasil menyangga tumit kaki Bejo yang menendang, dan sambil berseru,
"Maaf"
Ia menggerakkan tangannya keatas sehingga Bejo yang kakinya didorong keatas itu tentu saja tak dapat mempertahankan tubuhnya lagi yang terjengkang ke belakang!
"Buk!"
Bejo meringis-ringis ketika pantatnya bertemu dengan tanah keras! Terdengar sorakan memuji dari semua orang, akan tetapi Bejo masih belum puas. Ia meloncat bangun dan kini menyerang dengan hebat bagaikan harimau haus darah! Pedangnya berkelebatan cepat dan ia telah mengeluarkan Ilmu Pedang Angin itu sehingga pedangnya benar-benar menderu-deru bagaikan angin puyuh mengamuk! Namun Adiprana tetap tenang dan tiada hentinya mulutnya menghitung sambil menangkis atau mengelak.
"Jurus ketiga! Jurus ke empat!"
Pada serangan jurus ke delapan, tiba-tiba Adiprana menangkis sambil memutar-mutar pedangnya. Bejo kalah tenaga sehingga terpaksa pedangnya ikut berputar-putar. Kemudian Bejo mengerahkan tenaganya sehingga dua batang pedang itu saling tempel dan mulailah adu tenaga untuk menindas pedang lawan. Urat-urat di seluruh tubuh Bejo menggembung, tanda bahwa ia mengeluarkan semua tenaganya untuk menindas pedang Adiprana. Akan tetapi pemuda Gunung Bromo itu hanya tersenyum dan nampaknya tidak sukar menahan tekanan ini. Tiba-tiba Adiprana berseru.
"Awas, Bima!"
Dan ia menarik pedangnya ke bawah sambil miringkan tubuh, akan tetapi tangan kirinya dengan jari-jari terbuka dia "masukkan"
Melalui bawah lengan kanan lawan untuk "makan"
Lempengnya.
"Heeit.!"
Bejo berseru keras dan "Ngek"
Perutnya telah termakan oleh sodokan jari-jari tangan Adiprana yang amat kuat!
"Aduh.!"
Tubuh Bejo terhuyung-huyung kebelakang dan roboh terlentang dengan pedang terlepas dari tangannya! Ia lalu merangkak sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas. Masih untung baginya bahwa Adiprana tidak bermaksud mencelakakannya dan hanya mempergunakan sebagian kecil tenaganya saja. Kalau sodokan pada perut itu dilakukan dengan seperempat tenaganya saja, kecil sekali harapan Bejo akan dapat bangun lagi!
"Hebat."
Bejo berkata sambil terengah-engah.
"Aku mengaku kalah."
Ratna Wulan tersenyum dan semua orang bergembira mendapatkan seorang pemuda yang demikian pandai di tengah mereka. Juga Adiprana merasa girang sekali melihat kejujuran Bejo. Ia makin tertarik kepada orang-orang ini sehingga ia memutuskan untuk tinggal bersama mereka di dalam hutan.
Telah tiga pekan Adiprana tinggal bersama Pasukan Candrasa Bayudi hutan randu. Ia disukai oleh semua orang karena ramah tamah dan sikapnya yang amat sederhana itu menimbulkan penghormatan dari semua orang. Diam-daim Parta dan Bejo mengakui bahwa pemuda ini jauh lebih sesuai untuk menjadi sisihan Ratna Wulan, sama muda, sama rupawan dan sama saktinya. Akan tetapi, Ratna Wulan sendiri menganggap tak lebih. Ia memang suka sekali bercakap-cakap membicarakan ilmu kepandaian dengan pemuda itu dan dalam percakapan itu mereka saling menuturkan riwayat masing-masing. Secara singkat Adiprana menuturkan riwayatnya. Ia adalah putera tunggal dari seorang empu (pembuat keris atau pandai besi yang pandai) di Kota Raja. Akan tetapi malang baginya bahwa ayahnya telah meninggal dunia karena sakit ketika ia masih berusia lima tahun.
Ibunya yang masih muda menjanda dan akhirnya, memenuhi pesan mendiang suaminya, ibunya itu mengirimkannya kepada Eyang Bromo untuk mengejar ilmu. Semenjak berusia delapan tahun, ia telah ikut pertapa itu di puncak Bromodan selama itu ia tidak pernah bertemu dengan ibunya yang tinggal seorang diri diKota Raja. Ketika ia bertemu dengan Ratna Wulan, ia sedang dalam perjalanan ke Kota Raja mencari ibunya, akan tetapi dasar anak muda yang ingin meluaskan pengalaman dan ingin berkelana, ia singah di kaki Mahameru dan bertemu dengan Ratna Wulan. Ia mengambil keputusan untuk berangkat ke Kota Raja setelah tinggal barang sepekan di hutan itu. Tidak tahunya, hatinya runtuh oleh kecantikan dan kegagahan dara perkasa Ratna Wulan sehingga beratlah rasanya untuk meninggalkan tempat itu.
Sebaliknya, Ratnawlan juga menceritakan riwayatnya secara singkat saja. Ia menuturkan bahwa ayahnya tewas dalam perang, dan bahwa ia dan ibunya diganggu oleh perampok-perampok. Tidak ia ceritakan kepada Adiprana secara jelas siapakah yang menimbulkan semua kesengsaraan ibunya itu, karena ia menganggap hal itu tidak perlu diceritakan kepada seorang yang belum dikenalnya benar. Diam-diam Ratna Wulan mengakui bahwa Adiprana adalah satu-satunya pemuda yang dapat menarik hatinya. Ia kagum melihat pemuda yang selain tampan dan gagah, juga berwatak baik ini, lemah lembut dan halus sopan sikapnya, tak pernah memperhatikan kekurang-ajaran dan sukarlah untuk mendapatkan seorang sahabat yang lebih baik daripada pemuda Gunung Bromo ini.
Pada suatu pagi tiga pekan kemudian. Anak-anak buah Pasukan Candrasa Bayu telah pergi ke ladang untuk bekerja. Mereka ini telah mendapat kemajuan pesat berkat pimpinan Ratna Wulan yang dibantu dengan sungguh-sungguh oleh Adiprana. Tanpa terasa, pasukan itu kini benar-benar merupakan pasukan pedang yang amat sukar dicari bandingannya pada waktu itu. Menurut petunjuk dari Ratna Wulan dan Adiprana, mereka itu kini tak pernah membawa perisai dan hanya bersenjatakan sebilah pedang. Kedua orang muda yang pandai itu menyatakan bahwa perisai selain kurang praktis, juga malahan memperlambat gerakan sendiri dan sebagai pengganti perisai, diberi pelajaran kegesitan dan cara-cara mengelak dengan secepat mungkin dari serangan senjata musuh.
Dengan cara ini, selain gerakan tubuh tak terganggu, juga sambil mengelak mereka dapat melakuan serangan balasan yang lebih cepat lagi, sedangkan tangan kiri yang tadinya memegang perisai, dapat dipergunakan untuk mengirim pukulan atau merampas senjata lawan, terutama apabila lawannya mempergunakan lembing. Juga mereka semua rata-rata diberi pelajaran ilmu memanah sehingga kini, termasuk juga Waluyo sendiri, semua mempunyai sebuah gendewa dan belasan anak panah yang selalu dibawa sebagai senjata ke dua. Seperti biasa, apabila semua orang telah pergi bekerja, Adiprana dan Ratna Wulan bercakap-cakap sambil duduk di bawah pohon atau pergi berdua memburu binatang. Pada pagi hari itu, mereka tidak pergi berburu binatang dan duduk di tempat terbuka menikmati cahaya matahari pagi yang hangat dan sehat.
"Adiprana,"
Terdengar Ratna Wulan berkata.
"Apakah kau telah merasa suka dan cocok tinggal ditempat sunyi bersama kawan-kawan kita itu?"
"Terus terang saja Ratna Wulan, aku merasa amat kerasan dan agaknya belum pernah aku merasasegembira sekarang. Aku merasa senang tinggal di sini, kawan-kawan kita itu amat baik dan amat menyenangkan hati melihat kemajuan mereka, ikut bangga hatiku menyaksikan betapa pejuang-pejuang itu kini menjadi pasukan yang amat kuat."
"Kau setuju dengan cita-cita mereka hendak melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Majapahit?"
Mendengar pertanyaan ini, Adiprana diam saja dan sampai lama tak dapat menjawab. Akhirnya ia menjawab juga.
"Ratna, hal ini sungguh sukar bagi ku untuk menjawabnya. Mereka adalah orang-orang yang pernah mengalami perang melawan Majapahit dan tentu saja cita-cita mereka itu bukannya tanpa dasar. Adapun aku ini, semenjak kecil aku berada dipuncak gunung, aku tidak tahu akan keadaan Majapahit, tidak tahu pula akan kebaikan-kebaikannya, maka bagaimana aku dapat memiliki cita-cita tentang pemberontakan? Pemberontakan hanya mungkin timbul dalam hati orang-orang yang sakit hati, yang merasa dirugikan dan yang tidak merasa senang dengan pemerintah yang ada. Sedangkan aku yang tidak mengalami semua ini, bagaimana aku dapat menyatakan pendapatku?"
Ratna Wulan dapat menginsafi hal ini.
"Akan tetapi, setidak-tidaknya kau tentu akan suka untuk memimpin terus mereka itu, bukan?"
"Tentu saja, Ratna!"
Jawab Adiprana cepat dan tanpa ragu-ragu.
"Kalau tidak suka, masa aku mau tinggal di sini sampai tiga pekan."
"Kalau aku minta kepadamu untuk tetap memimpin dan melatih mereka sampai tiba masanya mereka melakukan pemberontakan itu, menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan pemberontakan."
"Demikianlah, Adiprana. Ibuku terlunta-lunta, ayah tewas dalam keadaaan penasaran, semua akibat perbuatan Kartika keparat itu. Dan menurut penuturan anak-anak Pasukan Candrasa Bayu, Kartika tinggal di Kota Raja, menduduki pangkat senopati dan orang itu selalu berada dekat dengan Bagawan Mahapati yang berkuasa besar. Oleh karenaitu, aku dapat menduga bahwa untuk membunuh Kartika, mungkin aku harus menghadapi Bagawan Mahapati. Aku hendak naik kepuncak Mahameru lebih dulu untuk memberitahukan hal ini kepada ibu dan untuk minta diri karena telah lima pekan lebih aku meninggalkan ibu."
Dengan pikiran asyik membayangkan masa depannya, Ratna Wulan menundukan muka dan memandang rumput yang dicabutnya. Keadaan hening dan sunyi. Ketika ia mengangkat muka memandang kepada Adiprana, ia menjadi terkejut. Sinar mata pemuda yang sedang menatapnya itu berbeda dari biasanya dan sinar mata ini membingungkan hati dara perkasa itu.
"Adiprana. kau kenapakah.? Kenapa kau memandangku seperti itu?"
Biarpun Ratna Wulan sudah berusia hampir depalan belas tahun, akan tetapi oleh karena selalu bertempat tinggal ditempat sunyi, maka ia belum mengerti akan makna pandangan mata pria seperti itu.
"Ratna. ijinkanlah aku ikut kau pergi ke Kota Raja! Aku pun hendak mencari ibuku. dan aku akan membantumu membalas dendam terhadap musuh-musuhmu! aku khawatir kalau-kalau kau akan menemui bencana ditempat itu, Ratna. Aku harus mengantar kau pergi! Ucapan ini dikeluarkan dengan suara bernafsu sehingga Ratna Wulan memandang makin heran.
"Ah, Adiprana, hal ini tak mungkin!"
"Mengapa tak mungkin, Ratna Wulan?"
Tanya Adiprana dengan suara gemetar.
"Pertama, karena ini adalah urusanku pribadi yang tiada sangkut-pautnya dengan kau dan tak perlu akan membawa orang lain terseret dalam permusuhan ini. Kedua, kau harus tinggal di sini memberi bimbingan dan latihan kepada Pasukan Candrasa Bayu, dan ketiga, karena betapapun juga, tidak pantas dan melanggar tata susila bagi seorang gadis melakukan perjalanan jauh berdua saja dengan seorang pria!"
Adiprana menggeser duduknya mendekati Ratna Wulan dan suaranya makin gemetar ketika ia menjawab penuh nafsu.
"Ratna Wulan, ketiga soal itu dapat kujawab sekarang juga. Pertama, urusan pribadimu telah kuanggap sebagai urusanku sendiri, bahkan kuanggap lebih mulia dan penting daripada urusanku pribadi. Kedua, aku takkan tahan tinggal di tempatini tanpa adanya kau disini, seakan-akan sunyi senyap dunia ini tanpa adanya kau di dekatku! Ketiga, kelak setiba kita di Kota Raja, aku akan minta ibuku melamarmu sebagai jodohku, maka apa salahnya bagi seorang calon jodohmu untuk mengantar kau ke mana kau pergi?"
Melihat betapa gadis itu memandangnya dengan pucat dan mata terbelalak, Adiprana melanjutkan ucapannya.
"Ratna. Ratna. tak tahukah betapa sinar matamu yang tajam melebihi Dewandanu itu telah mematahkan pertahanan imanku semenjak pertemuan kita pertama, sebagaimana anak-anak panahmu mematahkan ujung anak-anak panahku? Tak tahukah kau betapa senyum dan kerling matamu itu merupakan belenggu baja yang telah mengikat kedua kaki tanganku sehingga aku tidak kuasa lagi melepaskan diri dan tak kuasa meninggalkan tempat ini? Ratna. Ratna Wulan,dewi pujaan hatiku, aku. hambamu yang rendah ini. aku bersedia mengorbankan apa saja, jiwaku sekalianpun, untukmu karena. karena aku cinta padamu Ratna.!"
Mendengar pernyataan kasih ini, Ratna Wulan melompat berdiri bagaikan diserang oleh seekor ular berbisa. Ia memandang dengan muka sebentar pucat sebentar merah dan sepasang matanya terbelalak lebar memandang wajah pemuda yang masih duduk berlutut di depannya.
"Adiprana. jangan. jangan kau mengeluarkan kata-kata seperti itu!"
"Ratna Wulan, kekasih hati pujaan kalbu, kau boleh melarang aku makan minum, boleh melarang aku tidur, boleh pula melarang aku bernafas, akan tetapi kau tidak bisa melarang aku menyatakan suara hatiku, bisikan kalbuku.!"
"Kau gila, Adiprana!"
Kata Ratna Wulan sambil melangkah mundur dua tindak, akan tetapi Adiprana juga berdiri melangkah maju, merungrum (merayu) dara itu dengan cumbu rayu dan kata-kata bermadu.
"Memang aku sudah gila, Ratna Wulan! Aku telah gila, tergila-gila oleh kecantikanmu. Kau cantik jelita melebihi Dewi Ratih! Kau gagah perkasa melebihi Wara Srikandi! Kau lemah lembut dan setia melebihi Diah Setiawati! Kau melati suci di antara segala puspita!"
Wanita manakah yang takkan luluh imannya menghadapi cumbu rayu dari orang teruna setampan dan segagah Adiprana? Kalau saja yang dirungrum itu seorang wanita lain, tentu ia akan melempar perisai dan menyerah dengan hati bangga. Akan tetapi Ratna Wulan adalah seorang dara perkasa yang teguh imannya, dan pula ia masih asing dengan suara asmara ini, maka cembu rayu itu sungguh-sungguhpun membuat dadanya berdebar bangga, namun mendatangkan kekagetan besar.
"Tidak, tidak, Adiprana! Sadarlah kau, hai ksatria utama! Demikian lemahnya imanmu? Ucapanmu itu mencemarkan kegagahanmu."
"Apa, Ratna Wulan? Jangan salah sangka! Kasih sayangku kepadamu bukanlah kasih sayang terdorong nafsu semata. Aku mencintaimu dengan tulus ikhlas, dengan hati suci, dengan seluruh jiwa ragaku. Cinta
murni seperti ini bukan mencemarkan kegagahan, bahkan membuat nama seorang ksatria dijunjung tinggi sepanjang masa. Cintaku kepadamu bagaikan cinta Palgunadi terhadap Anggraeni, cinta yang akan kubawa sampai mati!"
"Cukup Adiprana. Tetapkanlah hatimu dan sadarlah!"
"Kau menolak cintaku, Ratna Wulan? Kau tega menghancurkan hidupku? Penolakanmu berarti hancurnya hidupku, seakan-akan dunia ditinggalkan Dewangkara (matahari). Aku akan binasa, tak kuat menghadapi gelombang hidup di mayapada."
"Adiprana, sekarang belum tiba saatnya bagiku untuk bicara tentang hal itu. Aku belum dapat membuka pintu hatiku kepada siapapun juga, tidak kepada pria yang manapun juga. Aku masih mempunyai tugas yang maha penting, Adiprana, dan aku tidak sudi memikirkan tentang. Jodoh dan lain-lain seperti itu sebelum tugas kewajibanku membalas dendam mendiang ayahku terlaksana!"
Sadarlah Adiprana dari keadaannya yang seakan-akan mabuk dan gandrung tadi. Ia berkata lemah.
"Maafkan sikapku tadi, Ratna Wulan. Apakah kata-katamu tadi bukan hanya merupakan alasan untuk menolak cintaku?"
"Tidak, Adiprana. Aku tidak menerima maupun menolak! Aku bersumpah bahwa sebelum terlaksana tugasku, aku takkan mengikat janji hati terhadap pria yang manapun juga."
"Jadi aku masih mempunyai harapan, Ratna?"
"Harapan selalu ada, Adiprana. Siapa tahu? Jodoh adalah kehendak Hyang Agung."
"Terima kasih, Ratna Wulan! Besar hatiku mendengar kata-katamu ini. Selama masih ada harapan aku akan kuat menahan derita asmara, aku akan berbantal rindu berguling dendam. Aku takkan meraba-raba di dalam gelap karena harapan itu merupakan lampu yang menjadi sumber penerangan bagiku."
"Sudahlah Adiprana, jangan terlalu lemah, kau mengecewakan hatiku. Sekarang jawablah sungguh-sungguh, apakah kau bersedia menggantikan kedudukan dan memimpin kawan-kawan dari Pasukan Candrasa Bayu."
"Aku bersedia, Ratna, bahkan aku akan membawa ibuku tinggal bersamaku di tempat ini. Aku akan membantu bahkan akan ikut dalam perjuangan mereka, kewajiban ini masih terlampau ringan bagiku, biarlah kujadikan pemanis harapanku."
"Kalau begitu, sekarang juga aku hendak pergi, Adiprana, aku hendak naik ke Mahameru menemui ibuku, kemudian aku akan berangkat mencari musuhku di Kota Raja."
"Mengapa demikian tergesa-gesa, Ratna Wulan?"
"Telah terlampau lama waktunya tertunda disini, Adiprana."
Gadis ini tak dapat menyatakan isi hatinya,ia merasa tidak enak untuk berdiam lebih lama di dekat Adiprana.
"Kalau begitu, selamat jalan, Ratna Wulan. Semangat dan doaku menyertaimu!"
"Selamat tinggal, Adiprana, dan jangan terlalu banyak melamun yang bukan-bukan!"
Maka pergilah Ratna Wulan, keluar dari hutan randu di mana ia tinggal selama lima pekan.
Dalam perjalanannya merupakan sawah ladang di mana ia bertemu dengan beberapa orang anggota pasukan Camdrasa Bayu. Ia berhenti sebentar dan dengan singkat memberitahukan maksudnya meninggalkan pasukan itu dan menyerahkan tugas para anggota itu merasa kecewa, akan tetapi mereka tidak putus asa karena Adiprana yangmengantikan dara perkasa itu. Karena menggunakan aji kesaktiannya, maka sebelum matahari terbenam, ia sampai di tempat tinggal ibunya, yaitu di puncak Mahameru. Dengan hati girang ia mendapat kenyataan bahwa gurunya, Eyang Semeru, telah kembali dari perjalanannya pula dan telah berada di dalam gua pertapaannya. Dengan singkat Ratna Wulan menceritakan pengalamannya kepada ibunya tanpa menyembunyikan sesuatu, bahkan ia menuturkan pula tentang pinangan Adiprana. Ibunya menghela napas dan berkata.
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo