Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Laut Kidul 10


Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Kakang Blekok Ireng, kita memang harus bersiap siaga. Ki Sumali semalam telah mengumpulkan pemuda-pemuda Loano dan agaknya dia hendak menyerbu ke sini."

   Kata Bardo.

   "Benarkah? Ah. kalau begitu, cepat siapkan kawan-kawan. Kita semua harus menjaga di luar perkampungan agar mereka tidak sampai menyerbu ke dalam untuk melindungi keluarga kita!"

   Kata Blekok Ireng.

   Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren segera mengumpulkan semua anak buahnya, berjumlah lima puluh orang lebih dan mereka semua menghadang di depan perkampungan dengan senjata di tangan, siap bertempur. Hati kedua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra ini menjadi agak tenang karena di situ terdapat Nyi Maya Dewi yang dapat mereka andalkan.

   Matahari telah naik tinggi ketika rombongan pemuda Loano yang dipimpin oleh ki sumali tiba di luar perkampungan gerombolan Gagak rodra. Para pemuda itu sudah dipesan oleh Ki Sumali agar jangan bertindak sembrono dan tidak melakukan penyerangan sebelum diperintah. Pesan ini sesuai dengan permintaan Aji yang tidak menghendaki terjadi pertempuran besar-besaran yang menjatuhkan banyak korban di kedua pihak. Kalau mungkin, dia hendak menyadarkan Gerombolan Gagak Rodra itu. Yang perlu ditundukkan adalah para pemimpinnya, karena kalau para pemimpinnya sudah dapat ditundukkan, tentu anak buahnya mudah di atur.

   Ki Sumali dan Aji berjalan di depan rombongan pemuda itu dan setelah berhadapan dengan gerombolan itu di depan perkampungan, mereka berhenti dan saling pandang. Ki Sumali melihat dua orang pimpinan Gagak Rodra berdiri dengan sikap angkuh dan di sebelahnya berdiri seorang wanita cantik. Juga dia melihat Pak Karto dan Mbok Ginah berdiri di depan. Ini membuktikan bahwa dugaannya benar. Dua orang itu memang diselundupkan oleh Gagak Rodra untuk menjadi pembantu di rumahnya, tentu untuk memata-matai dan kemudian berusaha membunuhnya. Ki Sumali menjadi marah sekali. Dia belum pernah berhadapan langsung dengan Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren, akan tetapi dia sudah pernah mendengar nama dua orang pimpinan Gagak Rodra ini dan dapat menduga bahwa tentu dua orang laki-laki yang tampak gagah itu yang menjadi pimpinan Gagak Rodra. Sementara itu, Aji mengenal dua orang kepala gerombolan yang pernah bentrok dengannya itu. Dan diapun diam-diam terkejut melihat Nyi Maya Dewi berada di situ, berdiri di pihak gerombolan Gagak Rodra, Juga dia melihat

   Mbok Ginah dan Pak Karto di sana. Akan tetapi Aji bersikap tenang dan membiarkan Ki Sumali yang berhadapan dan bicara dengan mereka. Di lain pihak, Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren juga terkejut ketika mereka mengenal Aji. Mereka sudah merasakan betapa saktinya pemuda ini. akan tetapi kehadiran Nyi Maya dewi di situ membesarkan hati mereka dan mereka bersikap congkak. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa pada saat itu, Nyi Maya Dewi juga terkejut sekali. Tentu saja ia mengenal Aji, akan tetapi ia diam saja dan diam-diam memutar otaknya mencari akal untuk dapat mengatasi pemuda yang sakti mandraguna itu. Blekok Ireng melangkah maju menghadapi Ki Sumali dan dengan sikap congkak, bertolak pinggang dan berkata.

   "Kalau tidak keliru, andika tentu Ki Sumali dari Loano. Apa kehendakmu mengajak puluhan orang dan datang ke perkampungan kami?"

   Ki Sumali memandang kepada dua orang laki-laki bertubuh tinggi itu, kemudian menjawab.

   "Tidak salah lagi kiranya, kalian berdua tentu yang bernama Blekok Ireng dan Jalak Uren, pimpinan gerombolan Gagak Rodra!"

   "Tidak salah dugaanmu, aku adalah Ki Blekok Ireng dan ini adalah Ki Jalak Uren. Kami pimpinan Perkumpulan Gagak Rodra. Heh, Ki Sumali, apa kehendakmu datang ke perkampungan kami?"

   Ki Sumali tersenyum mengejek.

   "Perlukah kalian bertanya lagi? Mengapa kalian masih berpura-pura tidak mengerti? Kalian telah mencoba untuk menculik isteriku Winarsih. Kemudian kalian menyelundupkan dua orang hina yang mengaku Karto dan Ginah itu untuk mencoba membunuh kami, dan kini kalian masih bertanya apa maksudku datang ke sini? Kalian bukan laki-laki sejati, mempergunakan cara yang curang dan pengecut. Kalau kalian memang hendak memusuhi aku, sekarang aku datang untuk menantang kalian bertanding seperti laki-laki jantan!"

   "Ki Sumali manusia sombong! Sikapmu yang sombong itu yang memancing permusuhan. Kalau engkau menuruti kehendak Aki Somad, tentu kami tidak akan memusuhimu dan kita dapat bekerja sama dan sama-sama hidup mulia dan senang. Apa yang kami lakukan kepadamu itu adalah sesuai dengan perintah Aki Somad. Oleh karena itu, kalau engkau hendak bertanya tentang itu, tanyailah saja kepada Aki Somad!"

   "Hemm, tak salah dugaanku. Kalian gerombolan Gagak Rodra juga sudah menjadi antek antek Belanda! hei orang-orang Gagak Rodra, tidak malukah kalian? Lupakah kalian bahwa kalian adalah orang-orang Jawa dan tinggal di Nusa Jawa? Apakah kalian begitu hina untuk mengkhianati bangsa sendiri, hendak menjual tanah air kepada bangsa Belanda? Sadarlah kalian, orang-orang lembah Kali Bogawanta dan mari kita membantu Mataram untuk menentang Kumpeni Belanda!"

   Blekok Ireng marah sekali, khawatir kalau di antara anak buahnya ada yang terpengaruh.

   "Tutup mulutmu, Ki Sumali! Engkaulah yang tidak tahu malu! Engkau yang sudah menjadi antek Sultan Agung yang telah menindas dan menaklukkan daerah kami. Kami akan selalu menentang Mataram yang angkara murka dan Kumpeni Belanda hanya membantu kami!"

   "Sudahlah, Blekok Ireng. tidak perlu banyak cakap lagi. kedatanganku ini untuk membuat perhitungan karena kalian telah berusaha menculik isteriku, kemudian berusaha membunuh kami. Aku tantang engkau untuk bertanding satu lawan satu sebagai seorang jantan. Kalau engkau tidak berani, jangan banyak cakap lagi. Engkau harus membubarkan gerombolan Gagak Rodra dan tidak lagi membantu Kumpeni Belanda atau aku dan kawan-kawan akan membasmi kalian semua!"

   Merah muka kedua orang pimpinan Gagak Rodra. Jalak uren melompat ke depan sambil menghunus sebatang klewang (semacam golok) yang berkilauan saking tajamnya.

   "Ki Sumali, akulah yang hendak melawanmu!"

   Akan tetapi Blekok Ireng juga melompat ke sisi Jalak Uren dan berkata.

   "Ki Sumali, kami sebagai pimpinan Gagak Rodra menyambut tantanganmu, tentu saja kalau engkau berani melawan kami berdua!"

   Berkata demikian, Blekok Ireng juga mencabut senjatanya, sebatang pedang besar panjang yang berkilauan tajam.

   Ki Sumali mengerling kepada Aji dan melihat pemuda itu mengangguk, dia tersenyum dan melangkah maju menghadapi dua orang pimpinan Gagak rodra itu. Aji sudah pernah bertanding melawan dua orang ketua gerombolan itu, dan diapun pernah bertanding melawan Ki Sumali maka dia dapat menilai kepandaian masing-masing dan merasa yakin bahwa Ki Sumali mampu menandingi pengeroyokan dua orang itu.

   Anak buah kedua pihak hanya menonton dan siap siaga menanti perintah. Aji berdiri menonton dengan sikap tenang namun waspada. Dia tahu bahwa wanita cantik yang berdiri di sana itu merupakan seorang yang amat berbahaya, curang dan juga kejam sekali. Di lain pihak, Nyi Maya Dewi juga hanya berdiri menonton. Baginya, ia tidak perduli apakah pihak Gagak Rodra akan kalah atau menang karena mereka itu bukan anak buahnya. Mereka itu hanya antek-antek kecil saja.

   Akan tetapi kehadiran Aji di situ membuat perasaan hatinya tidak enak. Ia memandang pemuda itu dengan penasaran dan juga membencinya karena ia pernah dikalahkan. akan tetapi ia juga merasa agak jerih di samping kagum. Kalau saja ia dapat memiliki seorang kekasih sesakti pemuda itu, masih amat muda dan tampan lagi, hatinya akan merasa puas! Ia berdiri menonton dengan sikap yang tampaknya tenang, namun dalam hatinya ia sedang mencari-cari cara untuk menghadapi pemuda itu, atau mungkin mengalahkannya, bahkan lebih baik lagi kalau ia dapat menarik pemuda itu menjadi sahabatnya, bukan musuhnya! Melihat dua orang lawannya sudah menghunus parang dan pedang, Ki sumali tidak mau bersikap sembrono dan kedua tangannya bergerak ke arah pinggang dan di lain saat tangan kanannya sudah mencabut sebatang keris yang berlekuk-lekuk panjang seperti seekor ular dan berwarna hitam. Itulah keris pusaka Kyai Sarpo Langking (Ular hitam) dan tangan kirinya memegang

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   sebatang suling dari bambu, akan tetapi berada di tangan Ki Sumali, benda lemah itu dapat menjadi senjata yang ampuh sekali dan hal ini sudah dibuktikan oleh Aji ketika dia bertanding melawan pendekar Loano itu.

   "Blekok Ireng dan Jalak Uren, aku sudah siap. Kalian mulailah!"

   Tantang Ki Sumali sambil menyilangkan keris dan suling di depan dadanya. Sikapnya tenang namun waspada dan dia tampak gagah sekali.

   Dua oang pemimpin Gagak Rodra itu juga bukan orang lemah. meraka berdua sudah terkenal digdaya, apalagi kini keduanya maju bersama. mereka menggeser kaki, perlahan-lahan Ki Blekok ireng menggeser ke sebelah kanan Ki Sumali, sedangkan Ki Jalak Uren menggeser ke sebelah kirinya. Mereka hendak mengepung lawan itu dari kanan kiri. Tiba-tiba Jalak Uren membentak dari sebelah kiri.

   "Haaahhh.....!!"

   Bentakannya itu disusul menyambarnya senjata klewang yang berkilauan tajam itu ke arah leher Ki Sumali. Klewang itu tajam bukan main. Para anggota Gagak Rodra melihat sendiri betapa klewang itu mampu mencukur bersih brewok muka Ki Jalak Uren. Kalau sudah dapat dipakai mencukur brewok, dapat dibayangkan tajamnya klewang ini.

   Sekali babat saja, leher tentu akan putus! Juga sabetan itu mengandung tenaga yang amat kuat. Buktinya ketika disabetkan, klewang itu mengeluarkan bunyi berdesing. Namun dengan gerakan yang ringan dan lincah, Ki Sumali sudah merendahkan tubuhnya sehingga sabetan klewang itu lewat di atas kepalanya. akan tetapi pada detik berikutnya pedang yang runcing di tangan Blekok Ireng sudah meluncur dan menusuk ke arah dadanya. ki sumali mengangkat lagi tubuhnya dan menggerakkan keris di tagan kanan dengan gerakan memutar untuk menangkis tusukan pedang sambil mengerahkan tenaganya.

   "Trangggg.......!"

   Pedang itu terpental tertangkis keris dan tampak bunga api berpijar ketika dua senjata itu beradu.

   Blekok ireng terkejut karena pertemuan dua buah senjata itu membuat telapak tangannya yang memegang pedang menjadi panas dan pedang itu terpental seperti bertemu dengan benda keras yang kuat sekali. Dua orang Pimpinan Gagak Rodra itu menjadi penasaran sekali ketika serangan pertama mereka gagal.

   "Hoosssss.......!"

   Kembali klewang menyambar ganas, kini menyerampang ke arah kaki Ki Sumali. Jalak Uren menyerang sambil berjongkok. Ki Sumali melompat ke atas sehingga serampangan klewang itu menyambar lewat di bawah kedua kakinya. Pada saat itu, pedang di tangan Blekok Ireng sudah menyambar lagi, kini menyerang dengan bacokan dari atas ke bawah mengarah kepala.

   "Hyaaaatttt.......!"

   Blekok Ireng mengeluarkan teriakan nyaring ketika pedangnya membacok. Namun dengan gerakan gesit sekali tubuh Ki Sumali yang masih belum menginjak tanah itu bergerak ke samping lalu berjungkir balik. Dia sudah dapat menghindarkan diri dari bacokan pedang itu. Dua orang lawannya menjadi semakin penasaran. mereka mendesak terus. Sampai enam tujuh kali Ki Sumali selalu mengelak atau mengakis sambil mempelajari gerakan dua orang pengeroyoknya. Setelah mulai mengenal dasar gerakan dua orang pengeroyoknya, mulailah Ki Sumali melakukan serangan pembalasan. Namun sepasang senjatanya terlalu pendek dibandingkan senjata kedua orang pengeroyoknya yang lebih panjang. Ketika klewang dan pedang itu membacok dari kanan kiri, keduanya mengarah kepalanya, Ki Sumali cepat menyambut dengan keris dan sulingnya sambil mengerahkan tenaganya.

   "Trakkk!"

   Empat senjata bertemu dan seperti melekat dan pada saat itu, tubuh Ki Sumali melompat, kedua kakinya mencuat ke kanan kiri menendang ke arah dada lawan.

   "Bukk! Bukk!"

   Tepat sekali kedua kaki Ki Sumali menghantam dada Blekok Ireng dan Jalak Uren. Dua orang itu terjengkang dan terbanting roboh. Akan tetapi dua orang pimpinan Gagak Rodra itu memiliki tubuh yang kuat juga. Tendangan itu tidak membuat mereka terluka. Mereka segera bangkit kembali dan melakukan pengeroyokan dengan lebih ganas. Ki Sumali mengandalkan kecepatan gerakan untuk menyambut kedua orang pengeroyoknya dan membalas serangan mereka. Serang menyerang terjadi dengan serunya.

   Aji menonton dengan hati tenang. Dia dapat melihat bahwa Ki Sumali tidak akan kalah menghadapi pengeroyokan dua orang itu. Karena menonton perkelahian itu dengan penuh perhatian, Aji tidak tahu bahwa sejak tadi Nyi Maya Dewi sudah tidak menonton pertandingan itu, melainkan mencurahkan perhatian kepadanya. Wanita itu agaknya juga dapat melihat bahwa kedua orang pimpinan Gagak Rodra itu sukar sekali akan dapat keluar sebagai pemenang. Maka ia mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Aji. Biarpun Ki Sumali cukup sakti, namun ia masih merasa yakin bahwa ia akan mampu mengalahkan pendekar Loano itu. Yang berbahaya baginya adalah pemuda sederhana itu. Maka ia harus dapat mendahuluinya, sebelum kedua orang pimpinan Gagak Rodra kalah. Karena kalau kedua orang itu sudah kalah, kedudukannya menjadi sulit dan berat sekali kalau ia harus melawan Ki Sumali dan Lindu Aji.

   Selagi perhatian Aji tertarik kepada pertandingan itu, Nyi Maya Dewi sejak tadi diam-diam telah menghimpun seluruh tenaga batinnya, mulutnya berkemak kemik membaca mantera dan ia mengerahkan aji pengasihan yang disebut Aji Pelet Mimi-mintuno. Setelah merasa bahwa kekuatan aji pengasiham itu sudah mencapai puncak kekuatannya, ia lalu melangkah perlahan menghampiri Aji. Setelah berdiri dalam jarak kurang lebih empat meter di sebelah kiri pemuda itu, ia lalu memasang aji pengasihan itu, suaranya merdu merayu ketika ia berkata lirih namun mengandung getaran aneh dan cukup keras untuk terdengar oleh Aji yang berdiri dekat.

   "Aji, wong bagus! Inilah aku jodohmu! Kita sehidup semati, atut runtut berkasih-kasihan seperti Mimi dan Mintuno! Ke sinilah, sayang, aku rindu kepadamu."

   Aji menoleh dan dalam pandangan matanya, wanita itu tampak ayu manis, cantik jelita seperti seorang dewi kahyangan. Mata itu demikian jeli indah, sinarnya sayu lembut setengah terpejam mengandung gairah membangkitkan rangsangan berahi, hidung kecil mancung itu cupingnya bergerak-gerak lembut mengembang kempis, mulut itu sedikit ternganga, sepasang bibir yang tipis, penuh, lembut dan merah membasah itu seperti terengah, merekah menantang. Tubuh yang ramping padat, mengkal lembut itu seolah menuntut untuk didekap dan dibelai.

   Aji belum pernah merasa tertarik oleh kecantikan wanita, kecuali ketika dia bertemu dengan Ratu A Wandansari yang membuatnya kagum namun penuh hormat, sekali ini merasa tersedot oleh daya tarik yang luar biasa, Baru sekali ini selama hidupnya dia mengalami berkobarnya gairah berahi dalam dirinya dan dengan sendirinya kedua kakinya melangkah, memenuhi panggilan wanita itu! Pengalaman yang baru sekali dirasakannya itu membuat Aji terkejut dan segera dia menyadari bahwa hal ini adalah tidak wajar! Kesadaran sekilat ini bagaikan sinar menyambarnya dan otomatis dia sudah tenggelam dalam Aji Tirta Bantala yang dia dapatkan dari mendiang Ki Tejobudi. matanya terpejam, bibirnya bergerak-gerak dan dengan suara berbisik dia menyebut,

   "Allah....... Allah....... Allah.......

   "

   Pada saat itu, berhentilah semua nafsu hati akal dan pikiran yang tadi mencengkeramnya dan dia merasa dirinya tenang dan bersih kembali. Ketika dia membuka mata memandang ke arah Nyi Maya Dewi yang berdiri dalam jarak tiga meter darinya itu, dia melihat wajah yang tetap cantik akan tetapi mengerikan! Mata itu mencorong penuh nafsu, mulut yang indah bentuknya itu menyeringai sehingga tampak kejam mengerikan.

   "Ya ampun, Gusti.......!"

   Aji berbisik lirih dan kakinya bergerak mundur beberapa langkah menjauhi wanita itu.

   Nyi Maya Dewi yang tadinya merasa girang dan hampir yakin bahwa aji pengasihan Pelet Mimi Mintuno yang dikerahkan itu tentu berhasil, menjadi terkejut dan kecewa marah melihat pemuda itu sadar kembali. Ia tahu bahwa pengaruh aji pengasihannya itu telah gagal. dengan marah sekali ia mengeluarkan segenggam daun sirih dan setelah berkemak kemik membaca mantera ia berseru.

   "Aji, mampuslah engkau diserang barisan ularku!"

   Dan ia lalu membanting segenggam daun sirih itu ke atas tanah.

   Seruan itu terdengar pula oleh para pemuda Loano yang menonton dan mereka terbelalak keheranan dan ngeri melihat betapa daun-daun yang dibanting wanita cantik itu benar-benar telah berubah menjadi banyak ular weling yang merayap ke arah Aji dengan sikap buas! Para pemuda Loano ini tadi melihat betapa wanita itu seperti merayu Aji. Akan tetapi mereka tidak tahu apa yang terjadi. Hanya melihat pemuda yang dirayu itu maju beberapa langkah, lalu berhenti dan mundur lagi.

   Akan tetapi kini melihat serangan aneh itu mereka menjadi jerih dan mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu. Juga hati mereka merasa takut menghadapi serangan sihir yang mengubah daun-daun menjadi ular-ular weling itu. Mereka semua mengenal ular yang amat berbahaya itu. Sekali tergigit, orang akan tewas seketika! Namun Aji yang diancam serangan puluhan ekor ular weling itu tampak tenang saja. Dia berjongkok mengambil segenggam tanah dan dilontarkannya tanah itu ke arah ular-ular yang merayap menuju kakinya.

   "Demi Allah, kembalilah kepada kodratmu!"

   Begitu disambar tanah yang dilontarkan ke arah ular-ular itu, tampak asap mengepul dan ular-ular jadi-jadian itupun kembali dalam ujud semula, yaitu beberapa helai daun sirih yang berserakan di atas tanah! Melihat ini, para pemuda Loano bertepuk tangan dan bersorak. Sebaliknya, para anak buah Gagak Rodra yang tadinya sudah merasa girang, mengerutkan alis mereka.

   Nyi Maya Dewi menjadi semakin marah. Tepuk tangan dan sorak sorai itu terdengar oleh telinganya bagaikan suara yang mengejeknya. Ia merangkap kedua tangan itu ke atas, lalu sambil membaca mantera ia menurunkan kedua tangan masih dalam sembah dan tiba-tiba ia mengeluarkan teriakan melengking dan panjang, kedua tangan itu dikembangkan ke arah puluhan orang pemuda Loano. Tiba-tiba dari kedua telapak tangannya itu muncul asap hitam yang tebal bergulung-gulung, seperti hidup asap itu melayang ke arah puluhan orang pemuda Loano!

   Tentu saja puluhan orang pemuda Loano itu menjadi gentar dan panik. Mereka bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Hendak maju mereka takut. Kalau melarikan diri mereka malu. Akan tetapi pada saat itu, tampak bayangan berkelebat dan Aji sudah melompat ke depan kelompok pemuda Loano itu. Dia menyambut datangnya asap hitam itu dengan dorongan kedua telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga Surya Chandra.

   "Wuuussss.......!"

   Dari dorongan ini muncul tenaga dahsyat seperti angin yang menerpa gulungan asap hitam itu.

   Asap hitam itu seperti hidup. Diterjang tenaga dahsyat itu asap membalik, bergulung-gulung seperti bingung, seperti naga yang ketakutan, kemudian asap itu terbang kembali ke arah kedua telapak tangan Nyi Maya Dewi! Melihat betapa berbagai penyerangannya dengan ilmu sihir dapat dipunahkan Aji, Nyi Maya Dewi memuncak kemarahannya.

   "Bocah sombong, aku bersumpah untuk membunuhmu!"

   Teriaknya dan ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Tampak asap mengepul di antara kedua telapak tangannya berubah merah seperti berlepotan darah! Inilah Aji Telapak Ludiro yang didapatkannya dengan latihan yang amat keji, yaitu menghisap darah anak-anak yang masih murni lahir batinnya! Kedua telapak tangan yang merah ini mengandung hawa pukulan beracun yang amat jahat. Semenjak menguasai ilmu sesat ini, belum pernah Nyi Maya Dewi mempergunakannya dalam perkelahian. Akan tetapi beberapa ekor kerbau dan sapi telah menjadi korbannya, tewas seketika begitu terkena tamparan tangannya!

   Aji tidak mengenal ilmu itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa lawannya tentu mempergunakan aji pukulan yang ampuh. maka diapun bersikap waspada.

   "Mampuslah!"

   Wanita itu berteriak dan menerjang maju, tangan kirinya menampar. terdengar suara berdesir dan saking cepatnya tangan itu bergerak, yang tampak hanya sinar kemerahan menyambar ke arah kepala Aji. Akan tetapi pemuda itu sudah memainkan ilmu silat Wanara Sakti. Dengan mudahnya dia mengelak. Ketika tangan kanan yang merah itu menyambar dari lain jurusan, diapun sudah cepat melompat dan mengelak. Wanita itu semakin penasaran dan terus mendesak, namun tubuh Aji dengan cepatnya berloncatan ke sana sini, kadang-kadang melompat dan jungkir balik, namun semua serangan wanita itu hanya mengenai tempat kosong. Aji sendiri belum mau membalas karena bagaimanapun juga, dia tidak ingin memukul orang, apa lagi orang yang dilawannya itu adalah seorang wanita. Rasanya tidak pantas memukul seorang wanita!

   Sementara itu perkelahian antara Ki Sumali yang dikeroyok dua oleh Blekok Ireng dan Jalak Uren berlangsung semakin seru. Akan tetapi segera tampak bahwa dua orang pimpinan Gagak Rodra itu kewalahan menghadapi kedigdayaan Ki Sumali. Suling di tangan kiri Ki Sumali bergerak cepat sampai mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup. Hal ini membingungkan dua orang pengeroyoknya itu, apa lagi keris Sarpo Langking yang digerakkan dengan cepat itu merupakan sinar hitam yang menyambar-nyambar ganas. Beberapa kali dua orang itu terjengkang dan terhuyung terkena sambaran tendangan kaki Pendekar Loano itu. Akan tetapi tubuh mereka kebal sehingga tidak dapat terluka oleh tendangan. Melihat keuletan mereka, Ki Sumali menjadi marah dan penasaran juga.

   Tiba-tiba Ki Sumali mengeluarkan pekik dahsyat. Itulah Aji Jerit Bairawa yang mengandung tenaga dalam yang ampuh sekali. Dua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra itu gemetar terserang pekik dahsyat itu sehingga sejenak mereka seperti lumpuh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ki Sumali. Hampir berbareng keris Sarpo Langking di tangan kanan dan suling bambu di tangan kiri berkelebat dan robohlah Blekok Ireng yang tertembus dadanya oleh keris dan Jalak Uren yang retak pelipisnya oleh hantaman suling bambu! Para pemuda Loano bersorak gembira melihat betapa Ki Sumali telah dapat merobohkan dua orang pemimpin gerombolan itu. Akan tetapi pada saat itu muncul seorang kakek. Usianya sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus dan agak bongkok karena punggungnya berpunuk.

   Mukanya memanjang ke depan seperti muka seekor kuda. Matanya sipit. Pakaiannya serba hitam dan dia berkalung sarung. Kedua lengannya memakai gelang akar bahar dan jari-jari tangannya penuh cincin bermata akik besar-besar. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular kering. Itulah Aki Somad! Melihat betapa Nyi Maya Dewi agaknya tidak mampu mengalahkan Aji, kakek itu merasa penasaran sekali. Nyi Maya Dewi masih terhitung murid keponakannya dan dia tahu bahwa wanita itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Bagaimana sekarang melawan seorang pemuda sederhana seperti itu tidak mampu mengalahkannya bahkan tampak kerepotan?

   "Maya Dewi. Minggirlah, biar aku yang akan menghajar bocah itu!"

   Teriak Aki Somad. Melihat kedatangan paman gurunya yang dalam kedudukannya sebagai telik dandi (mata-mata) Kumpeni Belanda masih berada di bawah kedudukannya sendiri sebagai pengawas umum, Nyi Maya Dewi merasa girang sekali.

   "Paman, jangan bunuh dia. Tangkap hidup-hidup untukku!"

   Teriaknya sambil melompat ke samping.

   "Huh, dasar mata keranjang!"

   Aki Somad terkekeh dan dia lalu menghadapi Aji.

   Sementara itu, melihat betapa dua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra sudah tewas oleh Ki Sumali, Nyi Maya Dewi menjadi marah sekali dan ia sudah meloncat ke depan dan langsung menyerang Pendekar Loano itu dengan ganas. Wanita ini sudah melolos senjatanya, yaitu sabuk Cinde Kencana. Begitu diputar, sabuk itu berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyambar-nyambar ke arah Ki Sumali. Pendekar Loano ini sudah siap, cepat dia menggerakkan keris dan sulingnya untuk menangkis dan balas menyerang. Mereka berdua tanpa banyak cakap lagi, sudah saling serang dengan sengit.

   Adapun Aki Somad yang berhadapan dengan Aji, berkemak kemik membaca mantera. kemudian dia menudingkan tongkat ular kering itu ke arah kepala Aji dan berseru.

   "Terimalah ini dan mati engkau!"

   Tiba-tiba dari ujung tongkat itu tampak sinar meluncur dibarengi suara menggelegar seperti ada petir menyambar ke arah kepala Aji! Pemuda ini maklum bahwa lawannya ini memiliki ilmu sihir yang amat kuat dan sambaran petir yang keluar dari tongkat itu berbahaya sekali. Dia lalu berlindung ke dalam Aji Tirta Bantala, dirinya menjadi kosong terisi Kekuasaan Tuhan yang membuat dirinya seolah menjadi seperti bumi atau air. Petir yang keluar dari ujung tongakt ular itu meledak-ledak dahsyat di atas kepalanya, akan tetapi sama sekali tidak menyentuhnya.

   Yang diserang itu seolah merupakan bumi atau air sehingga sama sekali tidak terpengaruh, bahka tidak meninggalkan bekas! Aki Somad terbelalak heran melihat serangan petirnya itu sama sekali tidak menyentuh pemuda itu seolah diri pemuda itu terlindung perisai tak tampak yang amat kuat. Dia merasa heran bukan main. Kalau pemuda itu mengeluarkan aji kesaktiannya, menyambut serangannya dengan tenaga sakti untuk menangkis, dia tidak akan merasa heran. Akan tetapi pemuda itu diam saja, seolah menyerah dirinya diserang tanpa melawan, akan tetapi anehnya, tenaga serangannya tidak mampu menyentuhnya!

   Aki Somad merasa penasaran. Dia adalah seorang ahli sihir, ahli ilmu hitam yang dikuasainya dengan jalan bertapa di Nusa Kambangan maka tentu saja dia merasa penasaran sekali kalau kekuatan sihirnya itu tidak mampu menyerang seorang pemuda yang masih tampak remaja! Dia berkemak-kemik lagi membaca mantera lain, kemudian dia melontarkan tongkatnya yang sudah tidak mengeluarkan petir lagi itu ke atas.

   "Wusss.......!"

   Asap mengepul dan tongkat itu berubah menjadi seekor naga besar yang menyambar turun ke arah Aji dengan moncong terbuka lebar mengeluarkan api berkobar, matanya mencorong berapi-api dan dua kaki depan dengan cakarnya yang runcing melengkung siap menerkam pemuda itu.

   Seperti tadi ketika menghadapi ilmu sihir Nyi Maya Dewi, Aji dengan tenang berjongkok, mengambil tanah lalu melontarkan tanah itu ke arah naga jadi-jadian sambil berseru.

   "Demi Allah, kembalilah ke ujud semula!"

   "Byarrrr.......!"

   Naga itu seperti terbakar dan runtuh menjadi sebatang tongkat ular kering kembali yang jatuh ke atas tanah! Aki Somad menggerakkan tangan kanannya dan tongkat itu mendadak terbang kembali ke tangannya.

   "Babo-babo, bocah kemarin sore, yang masih bau pupuk ubun-ubunmu berani menentang aku! Bocah lancang, sudah butakah matamu, tulikah telingamu sehingga engkau tidak tahu bahwa engkau berhadapan dengan Aki Somad yang mbaurekso Nusa Kambangan?"

   "Kiranya aku berhadapan dengan Aki Somad yang sudah kudengar bahwa andika menjadi telik sandi Kumpeni Belanda. Aki Somad, maafkan kalau aku yang muda memberi nasihat kepada seorang kakek seperti andika, akan tetapi, tidakkah andika menyadari bahwa menjadi telik sandi Kumpeni Belanda sama saja dengan mengkhianati nusa dan bangsa dan hendak menjual tanah air? Seorang kakek yang sakti mandraguna seperti andika sepatutnya malu melakukan hal seperti itu, Aki Somad!"

   "Keparat, bocah sombong! Aku tidak mengabdi kepada Belanda, aku mengabdi kepada daerahku sendiri, ingin membebaskan daerahku sendiri dari kekuasaan Mataram, dengan bantuan Kumpeni Belanda!"

   "Sama saja, Aki Somad! Seharusnya andika membantu Mataram menghadapi Kumpeni belanda, berarti membebaskan nusa dan bangsa dari ancaman bangsa Belanda, bukan sebaliknya. Harap andika dapat menyadari kesalahan ini, Aki Somad."

   "Omong kosong! Orang muda, siapakah gurumu yang tidak dapat mengajar adat kepadamu sehingga engkau berani melawan aku?"

   Dengan harapan kakek ini dapat menyadari kesalahannya, Aji menyebutkan nama gurunya.

   "Mendiang guruku adalah Ki Tejo Budi."

   "Tejo Budi? Hemmm, tiga bersaudara itu, Tejo Wening, Tejo langit, dan tejo budi! Tiga orang yang melupakan asal usul sendiri, Kerajaan banten juga sudah menganggap mereka sebagai pengkhianat. Orang banten yang setia kepada Mataram! Cuhhh!"

   Kakek itu meludah.

   "Dan engkau muridnya? Siapa namamu?"

   "Namaku Lindu Aji."

   "Hemmm, sebutlah nama orang tua dan gurumu karena sekarang engkau akan mati di tanganku!"

   Setelah berkata demikian, kakek itu menyelipkan tongkat ular di ikat pinggangnya, kemudian dia meniup kedua telapak tangannya. Tampak lidah api berkobar di kedua telapak tangannya itu ketika dia meniupnya!

   "Aji Tapak Geni! Hyaaaaahhhhh!"

   Kakek itu menyerang dengan dorongan kedua telapak tangannya yang bernyala. Hawa yang amat panas menyambar ke arah dada Aji. namun Aji sudah menggerakkan tubuhnya dengan lincah, memainkan ilmu silat Wanara Sakti.

   Aki Somad cepat menyambung serangannya yang luput itu dengan serangan lain, makin lama semakin dahsyat. Namun Aji dapat selalu mengelak dan melihat serangan yang semakin gencar, ketika tangan kiri kakek itu memukul ke arah lambung dari samping untuk menangkis.

   "Dukkkk!"

   Dua lengan bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang dan terhuyung, Hal ini menandakan bahwa keduanya memiliki tenaga sakti yang seimbang. Aki Somad merasa penasaran sekali dan kembali dia memukulkan kedua tangannya dengan pengerahan sepenuh tenaganya.

   "Hyaaaaaaaaahhh.......!!"

   Kedua telapak tangan bernyala itu mendorong ke depan dan hawa yang amat panas menyambar ke arah Aji.

   Aji yang juga menekuk kedua lututnya, tubuhnya merendah dan diapun mengerahkan aji tenaga sakti Surya Chandra dan mendorong ke depan menyambut pukulan jarak jauh itu.

   "Wuuuuuuuttt....... blarrrrr.......!!"

   Kini keduanya terdorong ke belakang sampai tujuh langkah. Wajah Aki Somad menjadi pucat dan dia merasa dadanya agak sesak karena tenaga saktinya membalik. Aji hanya terguncang saja dan tidak menderita.

   Kemarahan Aki Somad memuncak. Dia lalu mengambil keputusan untuk mengeluarkan aji pamungkasnya yang belum pernah dia pergunakan untuk melawan musuh. Aji ini amat gawat dan hanya kalau terpaksa saja dia keluarkan. Kini, saking marahnya, Aki Somad lupa diri dan menggunakan aji yang teramat dahsyat itu hanya untuk mengalahkan seorang pemuda! Dia berkemak-kemik membaca mantera, kedua tangannya membuat gerakan menyembah ke atas dan dia mengerahkan seluruh aji kesaktiannya ke langit-langit mulutnya karena di sanalah letak sumber kesaktian ini.

   "Aji Gineng Soka Weda....... uahh.......!"

   Kekek itu membuka mulutnya dan...... dari dalam mulutnya itu meluncur sinar yang setelah tiba di atas lalu berubah menjadi kepala raksasa yang mengerikan! Kepala itu besar sekali, sebesar kepala gajah, botak akan tetapi disekelilingnya terdapat rambut yang awut-awutan, alisnya tebal, matanya lebar mencorong, hidungnya besar pesek dan mulutnya amat menyeramkan. Mulut itu bercaling, lebar terbuka dan dari dalam mulut itu menjulur lidah panjang yang bernyala-nyala! Kepala ini melayang layang di atas, megelilingi Aji, mulutnya menyemburkan api, matanya beringas penuh ancaman.

   Aji Pernah mendengar dari mendiang Resi Tejo Budi tentang aji kesaktian yang disebut Aji Geneng Soka Weda ini. Dia maklum bahwa semua ilmu kedigdayaan yang pernah dipelajarinya tidak mungkin mampu melawan aji kesaktian yang amat hebat ini yang konon diturunkan oleh para dewa! Akan tetapi dia tidak merasa khawatir sama sekali. Dia tahu benar bahwa dia memiliki Pelindung Yang Maha Sakti, yaitu Kekuasaan Gusti Allah.

   Cepat dia tenggelam ke dalam Aji Tirta Bantala dan seluruh dirinya berlindung ke dalam kekuasaan Tuhan ketika dia menyerahkan diri, pasrah sepenuhnya kepada Kekuasaan Yang Maha Sakti. Kemudian, ketika kepala raksasa yang melayang dan menyambar turun hendak menerjangnya, tubuh Aji bergerak, digerakkan oleh kekuasaan di luar kehendaknya, bergeraknya Jiwa yang sudah hidup, kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan dan lututnya ditekuk, mukanya menghadap ke arah kepala raksasa itu, kedua tangannya bergerak sendiri, dengan kedua telapak tangan terbuka seperti mendorong ke arah kepala itu.

   "Syuuutttt....... darrrr.......!"

   
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Terdengar ledakan dan kepala raksasa itu terpental ke atas. Kepala itu terbang berputar-putar, menyambar turun akan tetapi setelah dekat dengan Aji kepala itu naik kembali, agaknya seperti ragu-ragu atau takut, kemudian kepala itu lenyap, berubah menjadi sinar dan meluncur masuk lagi ke dalam mulut Aki Somad yang terbuka lebar. Aki somad terhuyung, mukanya pucat.

   Aji memandang dan berkata dengan suara mengandung teguran tegas.

   "Aki Somad, sungguh sayang sekali selama bertahun-tahun andika mesu-raga (mengendalikan jasmani) dan mesu-brata (mengendalikan hawa nafsu) sehingga andika beruntung dapat menguasai Aji Gineng Soka Weda yang sakti itu. Akan tetapi ternyata engkau menyalah gunakan aji yang ampuh untuk mengumbar nafsu amarah. Engkau tiada beda dengan Prabu Niwotokawoco yang senang menggunakan aji yang agung itu untuk mengumbar nafsu angkara murka sehingga akhirnya aji itu sndiri yang menghancurkannya. Bertaubatlah dan sadarlah akan kesesatanmu, Aki Somad!"

   Mendengar ucapan ini, Aki Somad bukan menjadi sadar, bahkan menjadi makin marah. Dia telah dinasehati seorang bocah!

   "Bocah sombong! Aku belum kalah!"

   Teriaknya dan kini dia sudah menyerang lagi, menggunakan tongkat ular keringnya. Aji cepat menggunakan kelincahannya untuk menghindar. Dia harus berhati-hati karena kakek ini tidak dapat disamakan dengan Nyi Maya Dewi. Kakek ini jauh lebih sakti dan berbahaya. Kini terjadilah perkelahian adu ketangkasan, tidak lagi menggunakan ilmu hitam atau ilmu sihir.

   Sementara itu perkelahian antara Ki Sumali dan Nyi Maya Dewi juga berlangsung seru dan mati-matian. Akan tetapi kini Ki Sumali sudah terdesak hebat oleh sabuk Cinde Kencana di tangan wanita itu yang berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung. Ki Sumali hanya mampu mengelak dan menangkis saja, sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk membalas serangan lawan. Bahkan dadanya sudah terkena tendangan kaki wanita itu sehingga napasnya terasa agak sesak dan pundak kirinya terkena sabetan ujung sabuk sehingga lengan kirinya terasa ngilu. Akan tetapi dia masih membela diri mati-matian dan pantang menyerah. Sementara itu, anak buah kedua pihak sudah merasa gatal tangan, akan tetapi karena pimpinan mereka masih bertanding dan belum memberi perintah, merekapun tidak berani lancang bergerak.

   Tiba-tiba Karto dan Ginah yang nama aslinya Bardo dan Sumi, memegang parang dan pisau belati, maju membantu Nyi Maya Dewi mengeroyok Ki Sumali yang sudah terdesak hebat. Dua orang pembantu itu tidak berani membantu Aki Somad karena untuk membantu kakek itu menghadapi Aji, mereka tahu bahwa kepandaian mereka masih terlampau rendah sehingga bantuan mereka tidak akan menolong, bahkan akan merepotkan yang dibantu. Sebaliknya Ki Sumali sudah terdesak, maka mereka maju mengeroyok agar pendekar Loano itu segera dapat dirobohkan.

   Tentu saja masuknya dua orang yang membantu Nyi Maya Dewi mengeroyoknya itu membuat Ki Sumali menjadi semakin repot. Dia sudah berusaha untuk balas menyerang dengan pekik Aji Jerit Birowo, akan tetapi pengaruh pekikan ini tidak mempan terhadap Nyi Maya Dewi dan kedua orang pembantu itu agaknya telah melindungi telinga mereka dan menutupnya dengan kapuk sehingga tidak terpengaruh oleh suara pekikan itu.

   Ki Sumali memutar suling dan kerisnya dan pada saat yang teramat gawat baginya itu, tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang berkelebat. Segulungan sinar hijau berkeredepan menyambar dan menangkis sinar emas dari sabuk Cinde Kencana di tangan Nyi Maya Dewi yang mengancam Ki Sumali.

   "Cring.......!"

   Tampak bunga api berpijar dan sabuk itu terpental sehingga Nyi Maya Dewi terkejut dan melompat ke belakang.

   "Mengasolah, Pak-de (Uwa), biar aku yang menandingi perempuan genit ini!"

   Kata-kata itu keluar dari mulut yang amat manis. Ia seorang gadis yang masih muda, kurang lebih delapan belas tahun usianya. Wajahnya cantik jelita dan tubuhnya yang segar padat bagaikan buah yang ranum itu tampak gagah dan penuh keberanian. Matanya jeli dan kocak. Mata dan mulutnya yang indah itu membayangkan kejenakaan.

   Ki Sumali tertegun, memandang gadis itu dengan heran karena tidak mengenalnya. Akan tetapi gadis itu agaknya tidak melihat keheranannya karena perhatiannya ditujukan kepada Nyi Maya Dewi. Wanita itu marah sekali. Tadi ia sudah hampir berhasil membunuh Ki Sumali, akan tetapi tiba-tiba ada gadis remaja ini yang menggagalkannya.

   Nyi Maya Dewi memandang rendah gadis muda itu. Ia lalu mengerahkan kekuatan batinnya, menatap mata gadis muda itu dan berkata dengan suara lembut namun penuh wibawa.

   "Adik yang manis, andika harus menaati perintahku! Hayo, berlututlah andika!"

   Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak berlutut, melainkan tertawa bebas tidak malu-malu dan iapun berkata dengan nada mengejek.

   "Ih, nenek genit. Engkau ini sedang apa sih? Ngelindur barangkali, ya?"

   Nyi Maya Dewi marah sekali. Sihirnya tidak mempan, malah diejek! Dan ia disebut nenek genit. Ia, yang biasa dipuji-puji dan digilai pria karena kecantikannya dan semua orang mengatakan ia masih tampak seperti seorang perawan muda, kini disebut nenek genit. Sungguh penghinaan yang tidak dapat dimaafkan.

   "Bocah gendeng.......!"

   Ia memaki.

   "Dan kau nenek edan!"

   Gadis itu balas memaki.

   Nyi Maya Dewi tak dapat menahan lagi kemarahannya. sambil mengeluarkan jerit menyeramkan, sabuk Cinde Kencana di tangannya menyambar dan ia sudah menyerang dengan ganas sekali. Akan tetapi gadis muda itu ternyata memiliki gerakan yang amat lincah dan cekatan. Ia sudah melompat ke kiri sehingga sambaran senjata sabuk itu luput dan kontan keras pedangnya berubah menjadi sinar kehijauan ketika menyambar dengan serangan yang tidak kalah ganasnya.

   Nyi Maya Dewi juga mengelak dan balas menyerang. Kedua orang wanita cantik itu sudah saling serang dengan hebatnya, dan ternyata keduanya memiliki kelincahan yang seimbang sehingga terjadilah perkelahian yang seru sekali. Melihat betapa gadis yang tak dikenalnya itu mampu menandingi Nyi Maya Dewi, Ki Sumali walaupun sudah terluka pundaknya sehingga berdarah dan dadanya yang tertendang tadi masih agak nyeri, kini cepat bergerak menyerang dua orang yang tadinya menyelundup sebagai pembantu rumah tangganya. Bardo dan Sumi juga melawan mati-matian.

   Para pemuda Loano sudah siap siaga, akan tetapi karena sudah dipesan Ki Sumali bahwa mereka tidak boleh turun tangan sebelum diperintah, mereka diam saja dan hanya bersiap-siap, tidak berani melakukan serangan. Di lain pihak, para anak buah gerombolan Gagak Rodra juga tidak berani menyerbu, apa lagi melihat dua orang pemimpin mereka sudah tewas di tangan Ki Sumali. Bahkan diam-diam beberapa orang di antara mereka telah menyelinap memasuki perkampungan untuk mempersiapkan keluarga mereka kalau-kalau mereka itu terpaksa harus melarikan diri mengungsi. mereka menyuruh para keluarga yang terdiri dari wanita dan kanak-kanak itu untuk keluar dari perkampungan melalui pintu belakang perkampungan, di dekat kali Bogawanta. Juga perahu-perahu mereka telah dipersiapkan untuk dipergunakan menyelamatkan diri.

   Perkelahian itu masih berlangsung dengan seru. Nyi Maya Dewi merasa penasaran bukan main karena ternyata gadis remaja itu dapat menandinginya. Ia sudah berusaha memperhebat serangannya dan membantu serangan sabuk Cinde Kencana itu dengan serangan tangan kirinya. Serangan tangan kiri itu tidak kalah dahsyatnya karena jari-jari tangannya memiliki kuku panjang yang mengandung racun, Kuku-kukunya itu dapat menjadi senjata ampuh dan disebut Naka Sarpa (Kuku Ular), akan tetapi agaknya gadis muda itu sama sekali tidak gentar. Bukan saja ia dapat mengelak bahkan menangkis dengan tangannya yang berkulit halus lembut tanpa takut tergores kuku beracun itu. Ketika sambaran sabuk Cinde Kencana menyerang, gadis itu membabat dengan pedangnya.

   "Wuuuutttt....... crakkkk.......!!"

   Ujung sabuk itu terpotong! Nyi Maya Dewi terkejut dan marah melihat senjatanya rusak. Ia lalu mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular marah.

   "Ssssssshhhhhh!"

   Membarengi desisannya, ia menghantam dengan tangan kirinya, menggunakan aji pukulan Wisa Sarpa (Bisa Ular). Angin yang membawa bau amis itu menyambar ke arah gadis itu. namun gadis itu melompat ke belakang sambil tertawa mengejek.

   "Engkau memang nenek menjijikkan, seperti ular buduk!"

   Katanya sambil menutup hidungnya dengan pencet telunjuk dan ibu jari tangan kirinya.

   Nyi Maya Dewi seperti terbakar hatinya saking marahnya. Ia lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya setelah menenyimpan sabuknya. Kedua tapak tangan itu mengepulkan asap dan berubah menjadi merah seperti berlepotan darah. Dengan kedua tapak tangan merah itu ia lalu mendorong ke arah gadis yang menjadi lawannya sambil berteriak nyaring.

   "Aji Tapak Ludiro!"

   Gadis itu terkejut akan tetapi tidak merasa gentar.

   "Ih, ilmu siluman!"

   Ia berseru dan dengan berani iapun menyambut pukulan jarak jauh itu dengan dorongan kedua tangannya.

   "Aji Sunya Hasta.......!"

   Ia berteriak dan biarpun dari kedua tangannya seperti tidak mengeluarkan tenaga apapun, namun daya pukulan dahsyat yang dilontarkan Nyi Maya Dewi itu seolah tertahan di udara dan bertemu dengan dinding yang tak tampak.

   "Dessss.......!"

   Akibatnya, Nyi Maya Dewi terhuyung ke belakang akan tetapi gadis itu tampaknya tidak bergeming!

   Pada saat itu terdengar jerit dua kali dan ternyata Bardo dan Sumi yang mengeroyok Ki Sumali itu telah roboh dan tewas terkena tusukan keris dan pukulan suling di tangan pendekar Loano itu. Melihat betapa gadis remaja itu mampu menyambut aji pukulannya yang ampuh, bahkan membuatnya terhuyung, kemudian melihat dua orang pembantu itupun sudah roboh pula, ditambah lagi keadaan Aki Somad yang bertanding melawan Aji masih berimbang, hati Nyi Maya Dewi menjadi gentar.

   Nyi Maya Dewi maklum bahwa keadaan pihaknya tidak menguntungkan, apa lagi kedua orang pimpinan Gagak Rodra sudah tewas. Pemuda yang bernama Aji itu saja sudah merupakan lawan tangguh dan sekarang tiba-tiba muncul gadis remaja yang sakti mandraguna itu. Ia mengambil sesuatu dari pinggangnya dan membantingnya ke atas tanah. Itulah senjata api peledak yang didapatkan Nyi Maya Dewi dari Jenderal Jakuwes, panglima Kumpeni Belanda yang memimpin pasukan Kumpeni di Batavia dan menjadi kepala pula dari jaringan telik sandi.

   "Darrrr.......!!"

   Tampak api meledak dan disusul asap tebal memenuhi tempat itu.

   "Aki Somad, kita pergi!"

   Terdengar Nyi Maya Dewi berseru. Aki Somad mengerti. Dia sendiri sedang bingung karena dia belum juga mampu mengalahkan lawannya.

   Jangankan mengalahkan, mendesakpun dia belum mampu. Pemuda itu tangguh sekali dan keadaan mereka masih berimbang. Ilmu apapun yang dia kerahkan dan keluarkan untuk menyerang, selalu dapat ditandingi pemuda itu! Maka, melihat ledakan berasap dan mendengar seruan Nyi Maya Dewi, Aki Somad menggunakan keadaan yang gelap dan lawannya melompat mundur itu untuk melompat jauh dan melarikan diri.

   Para anak buah Gagak Rodra menjadi ketakutan. mereka merasa gelisah, hendak menyerang tidak berani dan sudah kehilangan pimpinan, mau lari takut kalau diserbu para pemuda Loano itu. Melihat ini, Ki Sumali lalu mengangkat tangan kanan yang memegang keris ke atas dan berseru dengan suara lantang sambil menahan rasa nyeri di pundak dan dadanya.

   "Heii, para anggauta Gagak Rodra! Pimpinan kalian telah tewas dan kalau kalian semua mau menakluk, melempar senjata dan semua duduk di atas tanah, kami tidak akan membunuh kalian!"

   Ucapan Ki Sumali yang lantang itu mendapat sambutan. Mula-mula para anggauta yang sudah tua membuang senjata dan duduk di atas tanah, lalu diturut para anggauta lain dan akhirnya semua anggauta perkumpulan itu membuang senjata dan duduk dengan sikap menyerah.

   "Bagus! kalian semua telah menyerah. Sekarang terserah keputusannya kepada anak mas Aji yang dalam hal ini menjadi orang yang mendapat kepercayaan dari Kanjeng sultan agung di mataram!"

   Ki sumali lalu berkata kepada aji.

   "Anak mas, sekarang berilah keputusan sesuai dengan tugas anak mas yang anak mas bawa dari mataram."

   Aji merasa terpaksa untuk bertindak. Bagaimanapun juga, ucapan Ki Sumali itu benar. Dia telah menjadi seorang abdi Mataram yang dipercaya dan diangkat menjadi telik sandi Mataram untuk mengamati keadaan di sepanjang perjalanan dan kalau perlu membantu Mataram menentang mereka yang menganggap Mataram sebagai musuh. Juga untuk menentang orang-orang yang dipergunakan Kumpeni Belanda untuk memusuhi Mataram dan menggagalkan usaha Mataram untuk mempersatukan semua daerah.

   "Saudara-saudara sekalian!"

   Katanya dan Aji mengerahkan tenaga dalamnya sehingga suaranya terdengar lantang berwibawa.

   "Kita ini sesungguhnya adalah sebangsa, sesaudara, maka tidak semestinya kalau kita saling bermusuhan. Ketahuilah bahwa bangsa dan tanah air kita semua ini terancam oleh Kumpeni Belanda yang hendak memperluas kekuasaan mereka di Nusantara. Karena itu sudah sepatutnya kalau kita bersatu untuk mnentangnya. Tindakan mendiang pimpinan kalian, Aki Somad dan Nyi Maya Dewi yang membantu Belanda itu adalah tindakan sesat,

   mengkhianati bangsa sendiri. Mereka hendak menjual tanah air kepada bangsa asing! Sadarkah kalian bahwa perbuatan itu sungguh hina dan terkutuk?"

   Para anak buah Gagak Rodra mengangguk-angguk dan ketika ada beberapa orang berteriak.

   "Kami sadar.....!"

   Maka yang lainpun berteriak riuh rendah.

   Baik Ki Sumali maupun Aji maklum bahwa teriakan orang-orang yang sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan sesat itu tidak dapat dipercaya begitu saja. Karena itu Aji berseru lagi dengan lantang.

   "Kami senang bahwa kalian telah menyadari kesalahan! Ketahuilah bahwa Kanjeng Sultan Agung di Mataram sama sekali tidak memusuhi bangsanya sendiri, melainkan mengajak semua daerah untuk bersatu guna menghimpun kekuatan dan menentang Kumpeni Belanda. Karena itu, asal kalian tidak lagi menjadi antek Belanda dan menghentikan perbuatan kalian mengganggu keamanan, tidak lagi mengganggu rakyat dan tidak lagi melakukan kejahatan, kami atas nama Gusti Sultan mengampuni kalian. Kalian boleh terus tinggal di perkampungan itu, bahkan boleh membangun lagi Gagak Rodra dan memilih pimpinan baru. Akan tetapi ingat, perkumpulan ini selanjutnya harus menjadi perkumpulan yang setia kepada Mataram dan tidak melakukan tindak kejahatan. Kalau kelak terbukti kalian kembali menjalankan kejahatan seperti membajak, merampok apalagi menjadi antek Kumpeni Belanda, kami akan kembali membawa pasukan dan membasmi kalian!"

   Ki Sumali lalu berkata lantang.

   "Kalian mengenal aku dan akulah yang menjadi saksi bahwa kalian akan mentaati pesan anak mas Aji tadi!"

   Setelah dinyatakan bahwa mereka diampuni, para anggota Gagak Rodra menjadi gembira sekali dan mereka bahkan mengajak anak dan isteri mereka keluar, bersalaman dengan para pemuda Loano, bahkan mengajak para penduduk Loano untuk memasuki perkampungan mereka di mana mereka menyuguhkan hidangan dan beramah tamah. Sebagian ada yang mengurus jenasah Ki Blekok Ireng, Ki Jalak Uren, Bardo dan Sumi.

   Ki Sumali, Aji dan gadis perkasa itu tidak memasuki perkampungan dan kini Ki Sumali tidak dapat lagi menahan keheranan dan keinginan tahu hatinya terhadap gadis ayu manis yang sakti mandraguna itu. Mereka bertiga tinggal di luar perkampungan Gagak Rodra, berdiri di bawah pohon dan Ki Sumali menghampiri gadis itu. Setelah berhadapan dia mengamati wajah gadis yang memandang kepadanya dengan senyum manis dan pandang mata tajam bersinar sinar mengandung kejenakaan.

   "Nah, sekarang kita dapat bercakap cakap. Nona, aku masih merasa heran sekali. melihat sikapmu, andika seolah-olah mengenal aku dengan baik. Akan tetapi mengapa aku merasa sama sekali tidak pernah melihat dan mengenalmu?"

   Pendekar Loano itu mengamati wajah gadis itu dengan penuh perhatian dan dia beusaha keras untuk mengingat.

   "Pak-de Sumali, aku sendiripun baru yakin akan diri pak-de setelah aku melihat pak-de memegang Keris Sarpo Langking dan sebatang suling bambu. Tentu saja pak-de lupa kepadaku karena ketika pakde melihat aku, ketika itu aku baru berusia tiga tahun. Hi-hik!"

   Gadis itu terkekeh. Tawanya manis dan terbuka tanpa ditutup-tutupi seperti biasanya gadis tertawa malu-malu. Akan tetapi tawanya sopan, mulutnya terbuka sedikit sehingga hanya tampak deretan giginya yang putih rapi dan ujung lidahnya yang merah.

   "Ahhh....... ? Tiga tahun?"

   Ki Sumali sadar akan kesalahannya. Dia tadi membayangkan wajah gadis itu seperti sekarang. Tentu saja dia tidak pernah berjumpa. Kini dia mencoba membayangkan bocah perempuan yang menyebut dia pak-de. berarti gadis ini tentu puteri dari adiknya! Dan karena adiknya hanya seorang, maka tidak salah lagi! Teringatlah dia sekarang. Puteri adiknya yang mungil. Dia mengamati wajah itu dengan seksama. Mata itu! Tajam bersinar-sinar dan seolah tersenyum selalu! Mata adiknya, tak salah lagi."

   "Duh, Gusti.......! Engkau ini....... puteri adikku Subali....... ? Engkau anak perempuan mungil lucu itu? Namamu....... nanti dulu....... namamu Sulastri! Ya, Sulastri, betul, kan?"

   Gadis itu tersenyum lebar, lalu menjabat dan mencium tangan Ki Sumali.

   "Tepat sekali, Pakde Sumali. Aku Sulastri menghaturkan hormat dan menyampaikan salam hormat dari ayah dan ibu."

   "Lastri.......! Ah, matur nuwun, Gusti. Aku dipertemukan dengan keponakanku dan engkau sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa dan....... dan....... sakti mandraguna. Mengagumkan sekali. Aku sungguh bangga mempunyai keponakan seperti engkau, Lastri!"

   "Ihhh......., paman. Jangan memuji setinggi langit, nanti kepalaku bisa membengkak dan membawaku membubung tinggi lalu pecah di udara! Paman membikin aku malu saja.......

   "

   Katanya dan mata yang tajam itu dengan sembunyi-sembunyi mengerling ke arah Aji yang sejak tadi hanya mendengarkan tanpa berani menatap wajah gadis itu secara langsung.

   "O ya, aku sampai lupa saking gembiraku. Lupa memperkenalkan kalian. Anak mas Aji, seperti engkau sudah mendengar sendiri, dara perkasa ini ternyata keponakanku sendiri, puteri dari adikku Subali yang tinggal di Galuh, namanya Sulastri. Lastri, pemuda ini bernama Lindu Aji. Dia datang dari Mataram dan engkau tadipun sudah mendengar. Dia ini seorang kepercayaan dari Gusti Sultan Agung di Mataram."

   Dua orang muda ini saling pandang. Aji hanya menatap wajah itu sekelebatan saja. Dia merasa tidak pantas dan malu kalau harus berlama-lama menatap wajah yang ayu manis itu. Di lain pihak, Sulastri memandang wajah Aji dengan penuh perhatian, bahkan tidak menyembunyikan keheranannya tanpa malu-malu atau rikuh.

   "Lindu Aji? Namanya kok lucu.......!"

   Kata Sulastri, sikapnya wajar, benar-benar heran, tidak bermaksud mentertawakan.

   "Sebut saja aku Aji."

   Kata Aji perlahan.

   "Aji, aku melihat tadi ketika andika menandingi kakek itu. Kepandaianmu hebat!"

   Sulastri memuji.

   "Lastri! Engkau jauh lebih muda, masih remaja. Jangan panggil nama anak mas Aji begitu saja. Sebut dia kakangmas!"

   Ki Sumali menegur keponakannya.

   Gadis itu tersenyum dan mengerling nakal ke arah pamannya.

   "Ah, pakde ini! Aku bukan anak kecil lagi, lho. Usiaku sudah delapan belas tahun!"

   Ki Sumali tertawa.

   "Baru delapan belas tahun. Anak mas Aji tentu jauh lebih tua. Bukankah begitu, anak mas Aji?"

   "Usia saya dua puluh tahun, paman."

   "Nah, Lastri, kau dengar sendiri! Anak mas Aji ini lebih tua dua tahun dari pada engkau. Sudah sepatutnya engkau menyebut dia kakang mas."

   Lastri tertawa.

   "

   Hi-hik, baiklah, pakde. Eh, kakangmas Aji, engkau masih begini muda sudah menjadi seorang senopati Mataram. Hebat!"

   "Ah, Nimas Sulastri, aku sama sekali bukan seorang senopati Mataram. Aku hanya berjanji kepada Gusti Sultan Agung untuk membantu Mataram dalam perjalananku ke barat."

   

   "Ah, kenapa kita bercakap-cakap di sini? Lastri, mari ikut aku pulang. Engkau tentu ingin bertemu dengan budemu, bukan?"

   Gadis itu memandang pak-denya dengan mata terbelalak.

   "Bude? Wah, pakde, ini merupakan kejutan menggembirakan! Menurut kata ayahku, pak-de hidup menyendiri, tidak menikah!"

   Ki Sumali tersenyum.

   "Aku sudah menikah, tiga tahun yang lalu, Lastri."

   "Pak-de sudah mempunyai anak?"

   Ki Sumali menggeleng kepalanya.

   "Belum. Mari, Lastri, engkau ikut denganku. Banyak yang harus kauceritakan tentang orang tuamu di sana nanti. Mari, anak mas Aji, kita pulang."

   Mereka bertiga lalu meninggalkan tempat itu, membiarkan orang-orang Loano yang kini menjadi sahabat dan beramah tamah dengan para anggauta Gagak Rodra dan keluarga mereka.

   Winarsih menyambut pulangnya Ki Sumali dan Aji dengan gembira dan lega bukan main. Wanita yang ditinggalkan di rumah kepala dusun itu selalu merasa gelisah. Maka, ketika ia mendapat kabar dari seorang tetangga yang dimintai tolong oleh Ki Sumali untuk mengabarkan kepada isterinya bahwa dia sudah pulang, Winarsih cepat meninggalkan rumah kepala dusun dan berlari pulang. Melihat suaminya dan Aji berada di beranda rumah, ia menghampiri mereka dan dengan wajah cerah gembira ia berkata.

   

Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini