Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Laut Kidul 11


Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



"Kakang Sumali! Dimas Aji! Kalian pulang dengan selamat! Sukurlah, hatiku menjadi lega dan berbahagia!"

   Sulastri yang melihat seorang wanita muda cantik jelita menyambut kedua orang pria itu, tertegun. Ia bangkit dari duduknya, menghampiri pak-denya dan bertanya.

   "Pak-de, siapakah mbakayu ini?"

   "Mbakayu? Ha-ha-ha! Inilah budemu, Lastri. Ini Winarsih, isteriku! Winarsih, gadis ini adalah Sulastri, keponakanku. Ingat akan adikku Subali yang pernah kuceritakan kepadamu dan yang tinggal di Galuh? Nah, ini puterinya!"

   Dua orang wanita itu saling pandang dan Sulastri tidak menyembunyikan keheranannya.

   "Bu-de....... ? Masih begini muda dan cantik?"

   "Memang, muda dan cantik! Pak-de mu ini memang seorang laki-laki yang beruntung, Lastri. Budemu muda dan cantik dan....... amat mencintaiku!"

   Sulastri adalah seorang gadis yang sejak kecil memang berwatak terbuka dan jujur, sesuai dengan kegagahannya.

   "Benarkah itu, Bude Winarsih?"

   Winarsih mengangguk dan tersenyum lebar, lalu menoleh memandang suaminya.

   "Benar, Sulastri. Aku amat mencinta sumiku karena diapun amat sayang kepadaku. Dia seorang suami yang baik dan bijaksana, tiada keduanya di dunia ini dan aku amat berbahagia menjadi isterinya!"

   Ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang sungguh-sungguh. Sulastri menjadi terharu dan iapun maju dan merangkul Winarsih.

   "Bude Winarsih.......!"

   Winarsih balas merangkul. Dua orang wanita cantik itu berangkulan dan saling berciuman pipi. Ki Sumali memandang dengan senyum senang.

   "Hayo, kita masuk dan duduk di dalam agar leluasa dan enak bercakap-cakap."

   Mereka berempat memasuki ruangan dalam dan duduk. Sulastri duduk dekat Winarsih dan selalu menggandeng tangan budenya itu. Mereka tampak akrab sekali. Agaknya Sulastri senang dan kagum melihat bu-denya yang masih muda, cantik dan sikapnya halus lembut itu. sebaliknya Winarsih juga suka dan kagum kepada keponakan suaminya yang tampak demikian lincah dan wajahnya selalu cerah dan riang gembira.

   "Bu-de Winarsih ini pantas menjadi mbakyuku!"

   Kata Sulastri sambil memegang tangan Winarsih dan memangku tangan itu."Berapa sih usia bude?"

   Winarsih tersenyum.

   "Usiaku sudah dua puluh satu tahun."

   "Ah, kalau begitu bude seusiaku ketika bertemu dan menikah dengan pak-de Sumali!"

   "Sudahlah, Lastri, jangan bertanya melulu! Engkau sekarang yang harus bercerita tentang keadaan orang tuamu di Galuh. Sudah kurang lebih lima belas tahun aku tidak bertemu dan tidak mendengar kabar tentang mereka. Mereka baik-baik saja, bukan?"

   "Ayah dan ibu baik-baik saja, pak-de. Mereka titip salam hormat agar kusampaikan kepada pak-de."

   "Setahuku, adikku subali hanya menguasai ilmu kanuragan biasa saja. sejak muda dia malas memperdalam ilmu kanuragan, lebih menyukai ilmu sastra. Bagaimana kini engkau anaknya memiliki kesaktian yang demikian hebat? Winarsih, tadi Lastri membantu kami. Kalau tidak ada ia yang membantu, mungkin kami akan menghadapi kesukaran."

   "Ah, pak-de ini bisa saja memuji orang. Jangan percaya, Bu-de Winarsih. Dia melebih-lebihkan!"

   Winarsih tersenyum dan mengusap pipinya yang berkulit lembut halus dari gadis itu.

   "Pak-de mu tidak pernah berbohong, Lastri. Kalau dia memuji, berarti engkau memang sudah sepatutnya dipuji."

   "Wah, bu-de ini setia sekali kepada pak-de, mati-matian membela dan membenarkan. Bisa kalah aku kalau dikeroyok begini!"

   Sulastri pura-pura cemberut. Sikapnya demikian lucu sehingga semua orang tersenyum.

   (Lanjut ke Jilid 12)

   Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12

   "Hayo jangan berputar-putar, Lastri. Ceritakan bagaimana engkau dapat menjadi seorang dara yang sakti mandraguna. bahkan engkau mampu menandingi seorang iblis betina sakti seperti nyi Maya Dewi. Bukankah ia Nyi Maya dewi, anak mas Aji? Aku baru sekali itu bertemu dengannya, akan tetapi sudah lama mendengar akan namanya yang kesohor!"

   "Benar, paman. Ia memang Nyi Maya Dewi."

   Kata Aji.

   "Apa? Jadi wanita itu tadi Nyi Maya Dewi datuk wanita Parahiyangan itu?"

   Sulastri tampak terheran dan tertegun.

   "Sudahkah engkau mengenalnya, Lastri?"

   Yanya Ki Sumali.

   "Hanya mendengar namanya saja, pak-de.......!"

   Gadis itu tampak termenung.

   "Hayo, Lastri. Ceritakan dari siapa engkau mempelajari semua aji kesaktianmu itu?"

   Ki Sumali mendesak.

   "Memang benar kata Pak-de tadi bahwa ayahku hanya mengenal sedikit ilmu pencak silat. Ayah lebih suka membaca kitab-kitab kuno bertembang mocopat dari pada berlatih silat. Ibu juga seorang wanita yang lembut keibuan seperti bude ini."

   "Apakah engkau mempunyai kakak atau adik, Lastri?"

   Tanya Winarsih.

   "Tidak, Bu-de. Aku anak tunggal, anak manja.......

   "

   Gadis itu tertawa. Melihat gerak-gerik dan ucapan gadis itu, mau tidak mau Aji tersenyum. Dia percaya bahwa gadis ini memang manja sekali, akan tetapi harus diakui bahwa Sulastri mempunyai sikap yang keras dan gagah akan tetapi jujur terbuka.

   "Hayo lanjutkan ceritamu!"

   Ki Sumali mendesak.

   "Wah, Pak-de Sumali ini orangnya tidak sabaran. tentu dia pencemburu, ya, bude?"

   Tanya Sulastri sambil memandang kepada Winarsih.

   Wajah Ki Sumali menjadi kemerahan karena merasa tersindir. Akan tetapi Winarsih cepat berkata.

   "Sama sekali tidak! Pakdemu orangnya penyabar dan penuh kepercayaan. Ceritakanlah, Sulastri, kami semua ingin sekali mendengarnya."

   "Ketika aku berusia delapan tahun, secara kebetulan sekali aku bertemu dngan seorang kakek. Dia berkata bahwa aku berbakat baik dan berjodoh untuk menjadi muridnya. Dia meremas-remas batu sampai hancur menjadi tepung. Aku tertarik sekali dan aku merengek-rengek kepada ayah dan ibu agar diperbolehkan menjadi murid kakek itu. Ayah dan ibu akhirnya menyetujui. Ingat, aku anak manja dan kalau mereka tidak menyetujui, aku dapat menjerit-jerit menangis sampai orang-orang sedusun berdatangan karena kaget!"

   Gadis itu tertawa dan yang mendengarkan ikut merasa geli dan tertawa.

   "Demikianlah, selama sepuluh tahun aku digembleng oleh kakek itu yang menjadi guruku."

   "Siapa nama kakek itu, Lastri?"

   "Tidak ada yang tahu siapa namanya, pak-de. Dia tidak pernah mau memperkenalkan namanya, bahkan kepada akupun tidak. Dia hanya mengaku disebut Ki Gede Pasisiran dan berasal dari Banten."

   "Tentu kakek yang sakti mandraguna."

   Kata Ki Sumali.

   "Jadi engkau telah mewarisi aji kesaktiannya, Lastri? Sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat tiba-tiba muncul di tepi Kali Bogawanta tadi dan menolong kami?"

   "Aku memang hendak pergi ke Loano untuk mencarimu, pakde. Ketika melihat seorang laki-laki gagah perkasa, berusia lima puluh tahun lebih, memegang keris berbentuk ular hitam dan sebatang suling, aku segera dapat menduga bahwa orang itu tentu Pakde Sumali seperti sudah digambarkan oleh ayah. Maka aku segera membantumu, pakde."

   "Dan kenapa engkau seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri menempuh jarak sedemikian jauhnya, mencariku? apakah engkau diutus oleh ayahmu untuk mencariku?"

   Sulastri menggeleng kepalanya.

   "Tidak, pakde."

   "Kalau begitu kenapa? Engkau bahkan tidak mengenal aku karena ketika aku berkunjung ke rumah orang tuamu engkau baru berusia tiga tahun. Apa maksudmu mencariku, Lastri?"

   Sulastri cemberut menatap wajah Ki Sumali.

   "Apakah aku tidak boleh mencari pakde?"

   Winarsih cepat merangkulnya.

   "Tentu saja boleh dan kami merasa senang dan berbahagia sekali menerima kunjunganmu, Lastri. Akan tetapi pakdemu dan aku juga ingin sekali mengetahui angin apa yang meniup engkau sampai ke sini, keperluan sangat penting apa yang membawamu ke rumah kami?"

   "Aku sedang kesal sekali, bude!"

   "Kesal sekali? kenapa, lastri?"

   Tanya Winarsih.

   "Pokoknya aku sedang jengkel sekali!"

   Gadis itu cemberut dan alisnya yang hitam melengkung indah itu dikerutkan.

   Ki Sumali tersenyum. Keponakannya ini kolokan dan manja sekali, akan tetapi bukan tidak menyenangkan.

   "Lastri, katakanlah mengapa engkau kesal dan jengkel? Barangkali kami dapat membantumu melenyapkan kekesalan hatimu itu."

   Gadis itu menggeleng kepalanya.

   "Tidak, pakde. Yang membuat aku kesal merupakan urusan pribadiku yang tak dapat kukatakan kepada siapapun juga, bahkan kepada ayah juga tidak. Pendeknya, aku sedang kesal dan jengkel sekali. Karena itu, aku lalu berpamit kepada ayah dan ibu untuk pergi mengunjungi pakde di Loano. Aku mengetahui alamat pakde dari ayah. Ayah dan ibu seperti biasa, tidak dapat melarangku dan pergilah aku ke sini dan di tengah jalan tadi kebetulan aku melihat pakde sedang berkelahi maka aku lalu membantu Pak-de dan bude tentu tidak marah karena aku tidak mau berterus terang tentang persoalan pribadiku itu dan mau menerima aku, bukan?"

   "Tentu saja, Lastri! Persoalan pribadi yang dirahasiakan merupakan hak seorang dan kalau engkau tidak mau menceritakan kepada orang lain, jangan ceritakan! Kami menerimamu dengan senang hati."

   "Lastri, engkau boleh tinggal di sini menenteramkan hatimu berapa lamapun kauinginkan."

   "Terima kasih, pakde dan bude. Sekarang giliran pakde, bude dan juga Kakangmas Aji bercerita. Pakde Sumali dulu mendapatkan giliran!"

   Kata Lastri yang kini sudah tersenyum-senyum cerah lagi, sudah lupa akan kekesalan hatinya.

   "Aih, keenakan bicara aku sampai lupa pekerjaan di dapur. Bisa hangus nanti nasi yang sedang kumasak."

   Kata Winarsih sambil bangkit dari tempat duduknya.

   "Biar aku membantumu, bude!"

   Sulastri juga bangkit.

   "Eeitt, kalau engkau membantu, lalu bagaimana engkau dapat mendengarkan cerita pakdemu? Tentang diriku, engkau dapat mendengar langsung dari pakdemu juga. Nanti saja engkau membantuku kalau percakapanmu dengan pakdemu sudah selesai, Lastri."

   Kata Winarsih yang segera pergi ke dapur. Sulastri terpaksa duduk kembali menghadapi Ki sumali.

   "Tentang diri kami berdua, tidak banyak yang dapat diceritakan, Lastri. Sejak dulu aku tinggal di Loano, maka ayahmu mengetahui alamatku. Aku bertemu budemu tiga tahun yang lalu ketika aku menentang gerombolan perampok yang mengacau di Loano, juga menolong budemu dari tangan mereka, kami saling jatuh cinta dan karena pada waktu itu aku masih bujangan biarpun usiaku sudah lima puluh satu tahun, kami lalu menikah. Pada suatu hari, beberapa bulan yang lalu, kami kedatangan tamu. Dia adalah Aki Somad, seorang pertapa di nusa Kambangan yang sakti. Kami kenalan lama dan kami menyambutnya dengan baik. Akan tetapi kunjungannya itu bermaksud membujuk agar aku menjadi antek Kumpeni Belanda. Tentu saja kutolak tegas dan dia pergi dengan marah-marah."

   "Pakde maksudkan kakek yang bongkok berpunuk punggungnya, yang bertanding melawan Kakangmas Aji tadi?"

   "Benar, dia orangnya. Tak lama kemudian, pada suatu pagi budemu Winarsih lenayap diculik orang!"

   "Ahh.......!"

   Sulastri mengerutkan alisnya dan mengepal tinju.

   "Siapa jahanam yang berani menculiknya?"

   "Yang menculiknya ternyata kemudian adalah gerombolan Gagak Rodra, tentu saja atas perintah Aki Somad. Agaknya dia hendak menggunakan penculikan itu untuk memaksa aku mau menjadi antek Belanda. Sampai dua hari aku mencarinya tanpa hasil. Untung sekali, di tengah perjalanan para penculik itu bertemu dengan Anak mas Aji yang berhasil menolong dan membebaskan Winarsih, membawanya pulang ke sini."

   "Ah, kiranya Kakangmas Aji berjasa besar bagi keluarga pakde!"

   Kata Sulastri sambil memandang wajah Aji.

   "Aku ikut berterima kasih padamu, kangmas!"

   "Ah, Nimas Sulastri, aku hanya memenuhi kewajiban.

   Kita semua patut bersukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah."

   "Wah, bicaramu mirip ayahku!"

   Kata Sulastri dengan seruan heran.

   "Lalu bagaimana, pak-de, bagaimana ceritanya sampai terjadi pertempuran tadi?"

   "Setelah Winarsih diantar pulang oleh Anak mas aji dengan selamat, aku dapat yakin bahwa pelakunya adalah para pimpinan Gagak Rodra. malam itu aku mengumpulkan para pemuda Loano dan merencanakan persiapan untuk bedok pagi-pagi menyerbu ke sarang Gagak Rodra bersama Anak mas aji dan para pemuda itu. Akan tetapi malam itu kami bertiga, Anak mas Aji, Winarsih, dan aku sendiri hampir saja menjadi korban, diracuni oleh dua orang pembantu kami sendiri."

   "Ah! Bagaimana dua orang pembantu sendiri hendak meracuni keluarga pak-de sendiri?"

   "Ternyata mereka itu adalah orang-orangnya antek Belanda yang sengaja diselundupkan ke sini sebagai pengungsi dan kami terima sebagai pelayan karena merasa kasihan. Sekali lagi, untung ada Anak mas Aji. Dia yang mula-mula menaruh curiga dan membiarkan ayam makan singkong rebus beracun itu sehingga ayam itu mati. Dua orang pelayan itu membuktikan kebersihan mereka dengan berani makan singkong rebus itu sehingga kami terkecoh. Akan tetapi pagi-pagi sekali tadi, dua orang yang mengaku suami isteri itu memasuki kamar Anak mas Aji dan bermaksud membunuhnya.

   Akan tetapi Anak mas Aji sudah curiga dan siap siaga sehingga usaha pembunuhan itupun dapat digagalkan. Mereka melarikan diri dan ketika kami menyerbu ke sarang Gagak Rodra tadi, ternyata mereka berdua berada pula di sana. Dalam perkelahian, mereka berdua dan dua orang pimpinan Gagak Rodra berhasil kubinasakan."

   "Kalau begitu, pak-de dan Kakangmas Aji bersalah besar sekali!"

   Tiba-tiba Sulastri mencela dan mengerutkan alisnya. Dua orang laki-laki itu tentu saja terkejut dan heran, saling pandang dan tidak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba menyalahkan mereka!

   "Lastri, apa maksudmu? Engkau mengatakan kami berdua salah besar? Mengapa?"

   Tanya Ki Sumali heran dan juga penasaran.

   "Sudah jelas bahwa gerombolan Gagak Rodra itu terdiri dari orang-orang jahat yang berdosa besar! Kenapa pakde berdua tidak membasmi dan membunuh mereka semua, akan tetapi memaafkan mereka? Itu merupakan kesalahan yang besar sekali!"

   Ki Sumali mengerling kepada Aji. Dia sendiri diam-diam dapat menyetujui pendapat gadis itu. Dia tidak akan menolak andaikata Aji tadi mengajak dia membasmi gerombolan itu. buktinya empat orang penting gerombolan itu yang bertanding dengan dia, dia tewaskan semua.

   "Biarlah Anak-mas Aji yang menjawab pertanyaan itu, Lastri."

   Ki Sumali dan Sulastri memandang kepada Aji. Pemuda itu menghela napas panjang sebelum menjawab, menjernihkan pikirannya lalu berkata dengan tenang.

   "Nimas Sulastri, jawaban mengapa kami memaafkan para anggauta Gagak Rodra itu ada dua. Yang pertama, sesuai dengan kebijaksanaan yang telah dilakukan oleh Gusti Sultan Agung, dan kedua atas pertimbangan prikemanusiaan."

   "Coba jelaskan satu demi satu, kakang-mas, agar hatiku tidak merasa penasaran."

   "Gusti Sultan Agung telah mengambil kebijaksanaan terhadap semua daerah yang dulu menentang Mataram. Beliau menganggap bahwa semua daerah itu merupakan bangsa dan saudara sendiri, bukan musuh. Hanya saudara sebangsa yang sedang berselisih paham. Buktinya, ketika Mataram mengalahkan daerah-daerah yang tadinya menentang itu, Gusti Sultan tidak menghukum para bupati dan adipati yang tadinya menentang. Bahkan mereka diberi kedudukan kembali. Ingat saja, Pangeran Pekik dari Surabaya bahkan dinikahkan dengan Gusti Puteri Ratu Wandansari, lalu Raden Praseno putera Bupati Arisbaya malah diangkat menjadi Adipati Madura berjuluk Pangeran Cakraningrat. Kemudian Sunan Giri juga dimaafkan dan diangkat kembali dengan gelar Panembahan, dan masih banyak lagi. Karena itu, kalau sekarang kami memaafkan para anggauta Gagak Rodra dan memberi kesempatan kepada mereka untuk bertaubat dan mengubah jalan hidup mereka, hal ini adalah sesuai dengan kebijaksanaan Gusti Sultan Agung."

   "Hemmm, engkau sungguh seorang yang setia dan mencontoh kebijaksanaan Sultan Agung, Kakangmas Aji. Lalu alasan yang kedua? Prikemanusiaan? Apa maksudmu?"

   "Nimas, jawablah dulu pertanyaanku ini. Percayakah engkau akan ucapan orang bijak jaman dahulu bahwa di dunia ini, tidak ada seorangpun manusia yang tanpa salah dan tidak berdosa?"

   Gadis itu mengangguk.

   "Aku percaya. Semua manusia pasti mempunyai kesalahan, setiap orang manusia pasti berdosa. Hanya Gusti Allah yang tanpa kesalahan tanpa dosa, serba sempurna."

   
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bagus jawabanmu itu sudah menjawab pertanyaanmu tentang alasan ke dua itu. Engkau, aku, dan Paman Sumali adalah manusia-manusia juga, bukan?"

   "Tentu saja!"

   "Kalau begitu, sesuai dengan kepercayaan kita tadi, kita bertiga inipun tidak bersih dari kesalahan dan dosa! Kita bertiga inipun hanya merupakan orang-orang yang berdosa, bukankah begitu?"

   Gadis itu agak meragu, akan tetapi lalu mengangguk.

   "Ya, begitulah mestinya."

   "Nah, kalau kita sendiri inipun adalah manusia-manusia berdosa, mengapa kita menyalahkan orang-orang lain yang kita anggap jahat? Mereka dan kita sama saja, bukan? Sama berdosanya. Hanya dosa kita itu berbeda-beda sifatnya atau kadarnya, akan tetapi tetap saja kita sama-sama orang berdosa. Jadi sudah sepatutnyalah berdasarkan persamaan dan rasa prikemanusiaan kita memaafkan kesalahan orang lain."

   "Wah, wah! Ucapan dan pendapatmu makin mirip ayah, kakangmas. Akan tetapi aku masih merasa penasaran. Mereka itu orang-orang jahat dan berbahaya.......

   "

   "Orang yang sedang melakukan perbuatan menyimpang dari kebenaran tiada bedanya dengan orang yang sedang sakit, nimas. Yang sakit itu batinnya, bukan badannya. Akan tetapi ingat, orang yang sakit itu dapat sembuh dan orang yang sedang sehat itu bisa saja tiba-tiba jatuh sakit, artinya, orang yang sekarang jahat itu dapat saja bertaubat dan menjadi baik, sebaliknya orang yang sekarang tampak baik itu bukan tidak mungkin jatuh dan melakukan perbuatan jahat. Karena itu, mencoba menyadarkan orang jahat sama dengan mencoba menyembuhkan orang sakit dan aku percaya seyakin-yakinnya, kalau Gusti Allah menghendaki, mereka yang tadinya jahat itu dapat menjadi orang-orang yang berguna dan baik."

   "Ah, betapa sukarnya untuk dapat memaafkan orang yang telah berbuat jahat kepada kita!"

   Kata gadis itu.

   "Engkau benar, Lastri. Memang memaafkan orang yang bersalah kepada kita itu sukar sekali."

   Pada saat itu muncul Winarsih.

   "Hei, tiada habis-habisnya kalian bicara. Mari, berhenti dulu bicaranya dan kita makan. Hari sudah siang, makanan sudah kupersiapkan di meja makan ruangan dalam. Silakan!"

   Mereka berempat lalu memasuki ruangan dalam dan makan bersama. Sulastri merasa gembira setelah mendapat kenyataan bahwa uwanya ternyata adalah seorang yang ramah dan baik. Terlebih lagi senang hatinya melihat isteri uwanya itu ternyata seorang yang amat ramah dan lembut, bersikap demikian akrab kepadanya seolah mereka sudah lama sekali berkenalan. Akan tetapi yang paling menarik hatinya adalah Aji. belum pernah sebelumnya dia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian lembut, sopan, berpemandangan luas, pandai berfilsafat seperti seorang kyai, dan memiliki kesaktian yang hebat pula!

   Sampai tiga hari tiga malam lamanya Aji tinggal di rumah Ki Sumali. Dia selalu ditahan-tahan oleh suami isteri itu, bahkan Sulastri yang kini mulai akrab dengannya juga ikut membantu suami istri itu menahan Aji. Akan tetapi pada hari ke empatnya, pagi-pagi sekali Aji memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya dan berpamit. Setelah menikmati sarapan pagi, dia berkata kepada Ki Sumali.

   "Paman, pagi hari ini terpaksa saya mohon diri. Paman tentu maklum bahwa saya mengemban tugas, maka tidak dapat saya tinggal di sini lebih lama lagi. Saya harus melanjutkan perjalanan saya, saya harus melanjutkan perjalanan saya, saya harap Paman Sumali, Mbakayu Winarsih, dan Nimas Sulastri kali ini tidak akan menahan saya lagi."

   Ki Sumali mengangguk.

   "Kami mengerti, Anak mas Aji. Kami sudah cukup bersukur bahwa anak mas mau tinggal di sini sampai tiga hari lamanya. Kalau anak mas sudah mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan hari ini, kami hanya dapat memberi bekal doa keselamatan agar engkau selamat dalam perjalanan dan berhasil melaksanakan tugas-tugasmu."

   "Dan percayalah, Dimas Aji. Kami sekeluarga takkan pernah melupakan budimu yang telah menolong dan menyelamatkan kami. Semoga Gusti Allah membalas segala budi kebaikanmu itu."

   Kata Winarsih dan suaranya mengandung keharuan.

   "Eh, Mas Aji, engkau hendak melanjutkan perjalanan ke manakah? Atau hal itu merupakan rahasia besar dan aku tidak boleh mengetahuinya?"

   Tiba-tiba Sulastri bertanya, sepasang mata yang jeli itu memandang penuh selidik.

   Aji tersenyum.

   "Tentu saja engkau boleh mengetahui, Lastri!"

   Kini hubungan antara kedua orang muda itu begitu akrab sehingga Sulastri menyebut pemuda itu Mas Aji dan sebaliknya Aji menyebutnya Lastri begitu saja.

   "Aku akan pergi ke daerah Galuh, kemudian menyusup ke daerah Kumpeni Belanda di Batavia dan juga mungkin aku akan pergi ke Banten."

   Gadis itu memandang dengan wajah berseri dan kedua matanya bersinar-sinar.

   "Ke Galuh? Ah, sungguh kebetulan sekali! Aku pergi denganmu, Mas Aji. Akupun hendak pulang ke Galuh!"

   "Lastri, baru tiga hari engkau di sini. Masa sudah hendak pergi lagi?"

   Kata Winarsih.

   "Lastri, Anak mas Aji melakukan perjalanan untuk melaksanakan tugas. Bagaimana engkau dapat melakukan perjalanan bersama dia?"

   Kata pula Ki Sumali.

   "Bude, aku berjanji kepada ayah ibu untuk tidak terlalu lama pergi, maka aku akan segera pulang. Dan, Pakde, aku tidak mengganggu Mas Aji. Melakukan perjalanan berdua tentu lebih asyik dan menyenangkan! Pula, kalau perlu, aku dapat membantu Mas Aji melaksanakan tugasnya!"

   Kata gadis itu dengan lincah dan gembira.

   Ki Sumali mengerutkan alisnya. Dia adalah pakde (uwa) dari gadis itu. Dan sudah sepantasnya kalau dia mewakili adiknya untuk menasihati gadis itu dan menganggapnya sebagai anak sendiri.

   "Nini Sulastri."

   Katanya dan suaranya terdengar sungguh-sungguh dan penuh wibawa.

   "Dengarkan nasihatku karena di sini aku menjadi pengganti ayahmu. Engkau tidak boleh melakukan perjalanan berdua dengan Anak mas Aji. Seorang perawan dan seorang perjaka, bagaimana boleh melakukan perjalanan jauh berhari-hari hanya berdua saja? Apa anggapan orang nanti? Ini namanya tidak pantas dan kalian dapat disangka suami isteri!"

   Mendengar ucapan pakdenya itu, Sulastri tertawa.

   "Hi-hik, sudah habiskah nasihat pakde? Kalau sudah habis, aku akan menjawab!"

   Ki Sumali mengerutkan alisnya. Biarpun baru berkumpul selama tiga hari dia sudah mengenal gadis itu sebagai seorang yang berwatak keras dan jujur. Akan tetapi dia tidak percaya bahwa gadis perkasa itu memiliki watak yang bandel dan keras kepala.

   "Jawablah, asal jawabanmu masuk akal."

   Katanya.

   "Begini, pakde dan bude. Aku akan menjawab nasihat pakde tadi satu demi satu. Pakde bilang bahwa pakde menjadi pengganti ayahku, akan tetapi aku melihat bahwa pendapat pakde dan ayahku sama sekali berbeda, jauh berbeda. Buktinya, ayahku mengijinkan aku melakukan perjalanan ke sini seorang diri saja! Dan aku yakin akan pendirian ayah, pasti tidak akan memberikan nasihat seperti yang pakde berikan tadi. Sekarang tentang seorang perawan dan seorang perjaka melakukan perjalanan bersama. Mengapa tidak boleh? Biarpun melakukan perjalanan bersama yang jauh berhari-hari, hanya berdua saja, apa salahnya? Melakukan perjalanan berdua bukanlah dosa, pakde. Sekarang tentang anggapan orang! Hidup kita tidak ada sangkut pautnya dengan pendapat dan anggapan orang-orang lain! Pantas dan tidak pantas itu bergantung sepenuhnya kepada prilaku kita sendiri. Kalau ada orang menganggap kita melakukan perbuatan yang tidak pantas dan berdosa, yang penting kita harus mengamati diri sendiri. Kalau benar-benar kita melakukan perbuatan yang salah itu, kita harus mawas diri dan berusaha sekuat tenaga untuk bertaubat dan mengubah prilaku kita. Sebaliknya kalau kita bersih dari anggapan itu, maka kita tidak perlu menghiraukan semua anggapan itu. Aku yakin ayahku akan memberi nasihat seperti ini, pakde. Kalau kita terlalu menggantungkan kehidupan kita pada pendapat orang lain, kita akan sukar untuk melangkah, tentu akan tersandung-sandung pendapat dan anggapan orang lain yang hanya usil dan mau tahu urusan orang lain."

   Mau tidak mau Ki sumali tersenyum. Bantahan itu memang bernada keras, namun dia dapat melihat kebenaran yang terkandung di dalamnya.

   "Wah, engkau ini pantas menjadi Srikandi, Lastri. Akan tetapi kita ini manusia yang bermasyarakat, tidak hidup sendiri, bagaimana kita akan dapat mengabaikan pendapat umum begitu saja?"

   "Pendapat umum memang harus kita perhatikan, akan tetapi kita terima yang kita anggap benar dan baik saja, yang salah dan tidak baik tentu saja kita tolak! Wah, kita berbantahan panjang lebar tentang niatku melakukan perjalanan bersama mas Aji, sama sekali tidak ingat bahwa yang bersangkutan dan berkepentingan berada di depan hidung kita! Pada hal yang berhak menentukan adalah Mas Aji sendiri! Nah, Mas Aji, sekarang jawablah sejujurnya, tidak perlu rikuh-rikuh tidak perlu pura-pura. Bagaimana tanggapanmu? Maukah engkau kalau aku menemanimu melakukan perjalanan ke Galuh atau engkau merasa keberatan kalau kita melakukan perjalanan bersama?"

   Dalam perbantahan antara pakde dan keponakan tadi, Aji dapat merasakan kebenaran kedua orang itu. Sebetulnya, kalau dia mau jujur terhadap dirinya sendiri, dia merasa senang akan tetapi juga rikuh melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang gadis yang demikian ayu manis merak ati!

   Menolak tentu saja tidak mungkin. Hal itu tentu akan membuat Sulastri tersinggung dan marah dan dia tidak menghendaki demikian. Dia tersenyum, memandang kepada Ki Sumali, lalu kepada Winarsih dan akhirnya kepada Sulastri yang menatap wajahnya dengan sinar mata mencorong penuh selidik.

   "Lastri, tentu saja aku tidak keberatan untuk melakukan perjalanan bersamamu......."

   "Yahuuuu.......!"

   Gadis itu bersorak sambil mengangkat kedua lengan ke atas dan membuat gerakan tari yang luwes dengan gerakan leher, pundak, dan pinggul sehingga tiga orang itu mau tidak mau tertawa melihatnya.

   "Akan tetapi, Lastri......."

   Sulastri tiba-tiba menghentikan tariannya, menghadap Aji dan bertanya keras.

   "Akan tetapi apa?"

   "Karena aku mengemban tugas dari Gusti Sultan Agung, maka tentu saja perjalananku mengandung bahaya dan aku tidak ingin melibatkan dirimu dalam bahaya."

   "Phuuuuhhhh! Bahaya? Bahaya itu makananku sehari-hari, mas! Kalau ada bahaya menghadang, aku malah dapat membantumu mengatasinya. Aku juga bukan seorang perempuan lemah yang membutuhkan perlindungan! Aku dapat melindungi diri sendiri bahkan dapat membantumu!"

   "Lastri, engkau berlawanan dengan pendapat umum, berarti engkau menentang arus!"

   Kata Ki Sumali. Gadis itu memutar tubuh, kini menghadapi pakdenya.

   "Menentang arus, pakde? Harus! Harus! Seorang yang merasa dirinya gagah dan memiliki prinsip, mempunyai pendirian teguh, harus berani menentang arus! Kita sudah terbiasa mengaminkan saja semua pendapat umum seolah-olah pendapat umum itu pasti benar! Itu salah kaprah namanya, biarpun salah kalau sudah menjadi pendapat umum menjadi benar! Celakalah orang yang tidak punya pendirian. Contohnya pakde sendiri. Pakde adalah seorang yang memiliki pendirian teguh dan pakde tentu berani menentang arus. Misalnya orang seluruh Loano ini menjadi antek Belanda, apakah pakde juga mengikuti arus, menuruti pendapat umum ikut-ikutan menjadi antek Belanda?"

   "Nah, itu namanya menentang arus karena pakde mempunyai prinsip berdasarkan kesetiaan pakde kepada Nusa dan Bangsa! Nah, sekarang contohnya yang jelas lagi seperti bude ini. Iapun wanita yang berani menentang arus karena mempunyai prinsip!"

   "Eh! Aku?"

   Winarsih membelalakkan matanya yang indah dan lembut sinarnya itu.

   "Jangan bergurai, Lastri! Aku ini hanya seorang perempuan yang lemah dan bodoh!"

   "Siapa bilang bude lemah dan bodoh? Maaf, aku bukan hendak menyinggung atau mengejek, aku bahkan kagum dan memuji, dan bicara dari hati tanpa tedeng aling-aling karena aku membicarakan kenyataan. Pakde dan bude, kukira umum akan berpendapat bahwa amat tidak baik dan tidak pantas bagi bude yang cantik dan muda menjadi istri pakde yang jauh lebih tua, bukan? Akan tetapi bude mempunyai prinsip yang kuat berdasarkan cinta kasih murni. Nah, karena prinsip itu, bude berani menentang arus, bertindak berlawanan dengan pendapat umum. Dan aku sama sekali tidak berpendapat bahwa tindakan yang diambil bude itu salah!"

   Ki Sumali dan Winarsih saling pandang, akan tetapi mereka tidak merasa tersinggung karena gadis itu bicara blak-blakan, walaupun wajah mereka berubah kemerahan.

   "Ha-ha-ha! Sudahlah, sudahlah! Kami mengaku kalah. Mana bisa menang berdebat melawan seorang Srikandi?"

   Kata Ki Sumali tertawa. Isterinya, Winarsih tersenyum saja. Ia diam-diam harus membenarkan ucapakan keponakan suaminya itu. Semenjak ia menjadi isteri Ki Sumali, entah sudah berapa banyak kenalan sedusunnya, baik secara halus menyindir atau terang-terangan, menyatakan keheranan mereka, menyayangkan dirinya yang masih begitu muda menjadi isteri suaminya yang jauh lebih tua. Akan tetapi semua itu dianggapnya angin lalu saja karena di dasar hatinya ia harus mengakui bahwa ia amat kagum dan cinta kepada pria itu. Baginya tidak ada pria lain yang patut dikagumi, dikasihani, disayang kecuali Ki Sumali!

   "Wah, Dimas Aji akan repot sekali menghadapimu dalam perjalanan. Engkau jangan selalu membantahnya, Lastri."

   Kata Winarsih sambil tersenyum.

   "Aih, tidak bisa, bude! Kalau perlu, jika kuanggap dia keliru, pasti akan kubantah, bude!"

   Kata dara itu sambil menatap wajah Aji dengan sinar mata menantang. Aji tersenyum.

   "Nimas Lastri benar. Setiap orang perlu menerima kritik dari orang lain karena kalau tidak, dia tidak akan pernah dapat menyadari akan kesalahannya sendiri."

   "Nah, itu baru namanya jantan!"

   Sulastri berseru girang, merasa dibenarkan.

   "Mengakui kebenaran orang lain dan menyadari kesalahan sendiri akan tetapi juga melihat kesalahan umum dan berani menentangnya, itulah seyogyanya sikap seorang gagah!"

   "Wah, melihat gelagatnya, agaknya Anakmas Aji yang akan kaulindungi, bukan sebaliknya!"

   Kata Ki Sumali sambil tertawa.

   "Ah, ya tidak, pakde. Orang hidup harus saling bantu, saling tolong, saling melindungi. Betul tidak, kangmas Aji?"

   Aji tersenyum dan mengangguk.

   "Engkau benar, nimas."

   Diam-diam Aji merasa senang. Gadis ini luar biasa. Belum pernah dia bertemu dengan gadis selincah ini, Sama cantik Jelitanya dengan Puteri Wandansari, isteri Adipati Surabaya dan puteri Sultan Agung. Hanya bedanya, Puteri Wandansari yang juga gagah perkasa itu sikapnya lembut dan penuh wibawa, sedangkan Sulastri lincah jenaka dan keras kepala, seperti kuda betina liar yang sukar ditundukkan dan dijinakkan. Akan tetapi, gadis ini jelas boleh diandalkan. Sakti mandraguna dan penuh keberanian, memiliki jiwa pendekar yang gagah perkasa.

   Setelah berkemas, Aji dan Sulastri pada hari itu juga meninggalkan Loano. Ki Sumali menyerahkan seekor kuda yang cukup baik untuk Sulastri dan kedua orang muda itu menyeberangi Kali Bogawanta lalu menunggang kuda menuju ke barat.

   Benar seperti yang menjadi dugaan dan harapan Aji, perjalanan bersama Sulastri benar-benar amat menyenangkan hati. Dara itu selalu riang gembira, wajahnya cerah ceria dan sikapnya lincah jenaka sehingga suasananya selalu menyenangkan. Selain menjadi teman seperjalanan yang amat menyenangkan, juga Aji menganggap Sulastri dapat menolongnya menjadi penunjuk jalan dalam usahanya mencari kakak tirinya Hasanudin dan juga mencari Raden Banuseta yang telah membunuh ayahnya.

   Di lain pihak, Sulastri juga semakin akrab dan suka kepada Aji. Dia mengagumi Aji yang dia tahu memiliki kesaktian yang luar biasa, dan pemuda ini sungguh amat berbeda daripada pemuda lain. Biasanya, para pemuda memandang kepadanya dengan sinar mata penuh gairah dan sikap mereka condong untuk menggodanya. Akan tetapi pandang mata Aji kepadanya lembut dan sopan, sikapnya terkendali dan menghormatinya. Hal ini membuat ia merasa senang sekali dan ia merasa semakin suka kepada pemuda itu.

   Akan tetapi kadang iapun dapat memperlihatkan kejengkelannya terhadap Aji yang dicelanya sebagai terlalu lamban, telalu sabar dan terlalu mengalah. Dara yang cantik jelita, lincah jenaka dan gagah perkasa ini adalah anak tunggal dari Ki Subali yang tinggal di Indramayu. Ki Subali adalah seorang saterawan dan dia juga menjadi seorang dalang yang terkenal di Indramayu. Keahliannya sungguh berbeda dengan kakaknya, Ki Sumali.

   Kalau Ki Sumali sejak mudanya suka memperdalam olah kanuragan, sebaliknya Ki Subali suka mempelajari sastra dan seni. Dia pandai menari, menembang, mendalang dan ahli sastra, bahkan pandai mendalang wayang golek. Isterinyapun seorang waranggana (penembang) yang bersuara merdu dan sering menjadi pesindennya ketika suaminya mendalang. Mereka hanya memiliki seorang anak, yaitu Sulastri. Tidaklah mengherankan kalau suami isteri itu amat memanjakan Sulastri sehingga anak ini tumbuh menjadi seorang anak yang manja dan keras hati, minta agar semua keinginannya dituruti.

   Sejak kecil Sulastri berwatak lincah dan nakal, seperti seorang anak laki-laki yang diam-diam didambakan ayah ibunya. Ia bahkan suka bergaul dengan anak laki-laki daripada dengan anak perempuan. Kebiasaan ini tentu saja membuat ia bertambah lincah dan nakal, seperti anak laki-laki. Maka, tidak aneh kalau setelah ia berusia spuluh tahun, ia merengek kepada ayahnya, minta agar ia dibawa ayahnya untuk berguru ilmu bela diri kepada Ki Ageng Pasisiran, seorang kakek tua renta yang dikenal sebagai seorang yang sakti mandraguna.

   "Ah, kaukira mudah saja menjadi murid Ki Ageng Pasisiran?"

   Teriak Ki subali terkejut dan heran ketika anaknya yang berusia sepuluh tahun itu merengek minta agar diantar ayahnya utnuk menjadi murid kakek sakti itu.

   "Hal itu sama sekali tidak mungkin, Lastri!"

   "Aih, ayah ini! Mengapa tidak mungkin? Aku tahu bahwa ayah adalah sahabat Ki Ageng Pasisiran! Kalau ayah yang membawa ke sana, tentu dia akan mau menerimaku sebagai murid!"

   Sulastri membantah.

   "Hemmm, anak tak tahu diri. Mau tahu mengapa tidak mungkin? Pertama karena engkau masih anak kecil dan perempuan lagi! Kedua, setahuku Ki Ageng Pasisiran tidak pernah menerima murid. Selama ini aku lihat dia hanya mempunyai dua orang murid, itupun yang seorang adalah puteranya sendiri. dan ketiga, Ki Ageng Pasisiran kini sudah tua, usianya sudah tujuh puluh tahun, bagaimana dapat menerima murid seorang bocah perempuan berusia sepuluh tahun seperti engkau?"

   Sulastri membanting-banting kaki dan menangis lalu lari ke pangkuan ibunya.

   "Ibu....... ibu..... kalau begitu ibu saja yang mengantar aku ke sana. Ayah tidak mau, ayah tidak sayang kepadaku.......!"

   Subali mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang ketika melihat betapa isterinya memandang kepadanya dengan penuh tuntutan. Selalu saja isterinya membela puteri mereka itu.

   "Lastri, engkau ini seorang anak perempuan, bagaimana ingin mempelajari olah kanuragan? Mau jadim apa engkau kelak?"

   "Ayah, kalau aku menjadi orang kuat dan digdaya, akan kuhajar orang-orang jahat itu! Anak-anak lelaki yang suka menggangguku, mengejek aku cengeng, ringkih, penakut dan sebagainya, akan kusikat semua!"

   "Hemmm, engkau ini nak perempuan ingin menjadi tukang pukul, ya?"

   Ki Subali menegur.

   "Bukan tukang pukul, ayah, melainkan seorang wanita yang berjiwa satria. Apa salahnya kalau seorang wnita menjadi sakti mandraguna? Bukankah Srikandi itu juga wanita? Dan ia gagah perkasa, tidak tajut menghadapi penjahat yang manapun juga. Aku ingin menjadi seperti srikandi!"

   Ki subali menggeleng-geleng kepala.

   "Baiklah, kalau engkau ingin belajar pencak silat, akan kumasukkan perguruan silat."

   "Tidak mau, ayah! Aku hanya ingin menjadi murid Eyang Ageng Pasisiran!"

   Sulastri merengek dan menangis.

   Seperti biasa, kalau sudah begitu, ibu anak itu mendesak suaminya dan akhirnya Ki Subali mengalah. Apa boleh buat, dia pada suatu pagi mengantar anak perempuannya yang berusia sepuluh tahun itu kepada Ki Ageng Pasisiran yang tinggal di daerah pesisir, tentu saja dengan dugaan bahwa kakek tua renta itu pasti menolak, tentu anaknya yang bandel ini tidak akan dapt memaksanya lagi.

   Rumah kediaman Ki Ageng Pasisiran berada di dekat laut utara, sebuah rumah yang kokoh namun sederhana. Ki ageng Pasisiran ini datang dan bertempat tinggal di situ sebagai seorang duda kurang lebih lima tahun yang lalu. Usianya sekarang sudah tujuh puluh lima tahun dan dia hidup menyepi di rumah yang terpencil itu, hanya ditemani seorang cantrik atau pelayan laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh tahun. Ketika datang dan bertempat tinggal di situ, dia dikenal sebagai seorang pertapa yang bernama Ki Ageng Pasisiran.

   Sebetulnya, kakek ini bukan lain adalah Ki Tejo Langit yang datang dari Banten. Seperti kita ketahui, nama ini pernah disebut oleh Ki Tejo Budi sebagai kakak seperguruannya. Akan tetapi, kini Ki Tejo Langit muncul di pesisir Indramayu dengan nama Ki Ageng Pasisiran dan hidup menyendiri, hanya ditemani seorang pelayan atau cantrik.

   Di antara sedikit orang yang dikenal Ki Ageng Pasisiran, yang tak banyak juga jumlahnya, adalah Ki Subali. Kakek tua renta itu senang bercakap-cakap dengan Ki Subali tentang seni dan sastra. Sebaliknya Ki Subali juga mengagumi kakek tua renta itu karena luas pengalamannya.

   Akan tetapi ketika Ki Subali berkunjung bersama puterinya, dia merasa ragu dan tegang juga. Tentu kakek sakti itu akan menganggap dia bergurau. Menggelikan memang kalau minta kakek tua renta sakti mandraguna itu mengambil Sulastri yang baru berusia sepuluh tahun, anak perempuan lagi, menjadi muridnya untuk mempelajari aji kesaktian! Ki Ageng Pasisiran yang masih tampak tegap dan kuat itu menyambutnya dengan ramah.

   "Wah, kebetulan andika datang berkunjung, Ki Subali. Sudah lama tidak jumpa. Ini puterimu? Manis dan mungil!"

   Ki Ageng Pasisiran menyentuh pundak Sulastri. Akan tetapi begitu dia menyentuh pundak anak itu, dia memandang heran dan penuh perhatian, lalu kedua tangannya kini meraba-raba kedua pundak dan punggung, menelusuri tulang punggung dengan jari tangannya.

   "Ada apakah, paman?"

   Tanya Ki Subali heran melihat kakek itu meraba-raba pundak dan punggung anaknya. Ki Ageng Pasisiran seolah baru sadar. Dia melepaskan rabaannya dan berkata ramah.

   "Ah, tidak apa-pa. mari, silakan duduk. Engkau juga duduklah, anak manis. Siapa namamu?"

   "Nama saya Sulastri, eyang."

   Kata anak itu dengan tabah.

   Setelah mereka bertiga duduk, Ki Subali memberanikan diri berkata.

   "Paman, sebetulnya kedatangan saya sekali ini mengajak anak saya Sulastri bukan sekedar ingin bercakap-cakap seperti biasa, melainkan ada urusan yang hendak saya sampaikan kepada paman."

   Ki Ageng Pasisiran tersenyum sabar.

   "Ya, ya....... urusan apakah itu, Ki Subali. Katakanlah."

   Ki Subali merasa agak rikuh dan tegang karena menganggap bahwa permintaannya tidak pantas.

   "begini, paman. Kedatangan saya ini, eh, kami ini....... yaitu anak saya Sulastri ini....... maksud saya ingin sekali....... ah, bagaimana saya harus mengatakan....... ?"

   Tiba-tiba Sulastri yang berkata lantang.

   Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Eyang, saya ingin belajar aji kanuragan kepada eyang, saya ingin menjadi murid eyang!"

   Ki Subali terkejut dan cepat berkata dengan sikap hormat kepada kakek itu.

   "Ah, mohon maaf sebanyaknya atas kelancangan kami, paman. Kami telah mengajukan permintaan yang bukan-bukan dan tidak pantas.......

   "

   Akan tetapi betapa heran dan girang hati Ki Subali ketika Ki Ageng Pasisiran tertawa dan berkata.

   "Heh-heh-heh, bagus sekali, bagus sekali! Inilah kesempatan baik bagiku, dalam tahun-tahun terakhir hidupku dapat mewariskan ilmu-ilmuku kepada seorang murid yang bertulang baik dan berbakat! Sulastri, aku suka menerimamu sebagai muridku!"

   Sulastri memang anak yang luar biasa. Dalam usia sepuluh tahun itu, ia sudah pandai membawa diri dan begitu mendengar dirinya diterima menjadi murid Ki Ageng Pasisiran, langsung ia menjatuhkan diri berlutut dan menyembah di depan kaki ki Ageng Pasisiran!

   "Terima kasih banyak bahwa eyang guru sudi menerima saya menjadi murid!"

   Melihat ulah puterinya, ki Subali juga cepat menghaturkan terima kasih. Demikianlah, mulai hari itu, Sulastri menjadi murid Ki Ageng Pasisiran. Setiap hari ia datang ke rumah kakek itu dan mulai menerima gemblengan langsung dari Ki Ageng Pasisiran. Ia ternyata amat berbakat dan juga tekun sekali sehingga kakek tua renta itu semakin bersemangat mengajarkan semua ilmu yang dikuasainya kepada murid itu. Akan tetapi Ki Subali juga tidak melalaikan pendidikan sastra dan seni kepada puteri tunggalnya itu karena dia maklum bahwa pelajaran ilmu kanuragan yang tidak dibarengi dengan ilmu pendidikan kerohanian akan dapat membawa anaknya menyeleweng dan hanya akan mengandalkan kekerasan saja.

   Hal ini amatlah berbahaya. Karena itu, dengan bertukar pendapat bersama Ki Ageng Pasisiran, dia menanamkan jiwa satria kepada anaknya itu agar semua aji kanuragan yang dipelajarinya itu akan dapat dipergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan seperti watak seorang pendekar atau satria.

   Demikianlah, bertahun-tahun Sulastri mempelajari ilmu kanuragan dari Ki Ageng Pasisiran sampai berusia delapan belas tahun. Selama delapan tahun itu ia mempelajari semua aji yang dikuasai Ki Ageng Pasisiran sehingga ia menjadi seorang dara perkasa yang memiliki kedigdayaan. Ia menjadi seorang dara yang sakti mandraguna, akan tetapi biarpun ia berwatak keras dan lincah jenaka seperti pembawaannya sejak ia kecil, namun pelajaran budi pekerti, kesusilaan dan kerohanian yang ia terima dari ayahnya merupakan pengekang sehingga ia tidak sampai menjadi seorang yang suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan aji kesaktiannya.

   Setelah berusia delapan belas tahun dan sudah menyerap sebagian besar ilmu dari Ki Ageng Pasisiran, pada suatu hari ia bertemu dengan dua orang laki-laki yang oleh gurunya diperkenalkan sebagai seorang puteranya dan seorang muridnya! Ketika pagi itu Sulastri seperti biasa datang

   berkunjung, dua orang laki-laki itu sudah berada di situ. Seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan seorang lagi yang berusia kurang lebih lima puluh tahun. Tentu saja Sulastri menjadi terheran-heran, juga dua orang laki-laki itu memandang kepadanya dengan kagum. lalu muncullah Ki Ageng pasisiran yang kini telah berusia delapan puluh tahun lebih. Dia tersenyum melihat kedatangan Sulastri.

   "Ah, engkau, Lastri. Kebetulan sekali. Kenalkanlah, ini adalah puteraku, Sudrajat. Kini dia tinggal di Banten bersama keluarganya dan kebetulan dia datang berkunjung."

   Kakek itu menunjuk kepada laki-laki yang berusia lima puluh tahun yang bertubuh sedang dan bersikap tenang dan lembut.

   "Ajat, inilah Sulastri, muridku seperti yang telah kuceritakan kepadamu semalam."

   Karena laki-laki itu diakui sebagai putera eyang gurunya, Sulastri membungkuk dengan hormat dan berkata ramah.

   "Paman Sudrajat, kapankah paman datang dan apakah paman sekeluarga baik-baik saja?"

   Laki-laki itu adalah Sudrajat yang sebenarnya adalah anak tiri ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit karena sebenarnya Sudrajat ini adalah putera kandung Ki atau Resi Tejo Budi, guru Lindu Aji. Melihat sikap dan mendengar tegur sapa Sulastri yang demikian ramah, dia memandang kagum.

   Jarang ada gadis yang demikian lincah, ramah dan sama sekali tidak tampak malu-malu seperti para gadis lain. Juga dia merasa heran bagaimana ayahnya yang sudah begitu tua mengambil murid dara yang begini muda, apalagi kalau diingat bahwa dara ini menjadi murid ayahnya sejak berusia sepuluh tahun!

   "Sulastri, aku merasa girang sekali dapat bertemu dengan andika yang menjadi murid ayahku. Menurut cerita ayah, andika seorang murid yang baik dan patuh. Aku ikut berterima kasih kepadamu, Lastri, karena setidaknya andika telah membangkitkan semangat ayahku yang sudah tua untuk mengajarkan ilmu-ilmunya kepadamu."

   "Terima kasih, Paman Sudrajat. Ternyata paman baik dan ramah sekali dan hal ini tidak mengherankan hati saya. Sebagai putera eyang guru, tentu saja paman bijaksana dan baik hati!"

   "Aha, menurut ayah andika baru berusia delapan belas tahun akan tetapi kulihat andika telah berpikiran dewasa dan pandai membawa diri. Aku bangga mempunyai seorang keponakan yang menurut tingkat juga adik seperguruan seperti andika, Sulastri!"

   Kata Sudrajat sambil tersenyum.

   "Ayah, cucu ayah Jatmika sudah berusia dua puluh tahun. Alangkah cocoknya kalau Jatmika dijodohkan dengan Sulastri! Akan bahagia hati saya mempunyai seorang mantu seperti Sulastri!"

   Pada saat itu, laki-laki kedua yang usianya sekitar tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, tubuhnya tingi tegap, berkumis pendek, tiba-tiba berkata, suaranya nyaring.

   "Eyang guru, apakah saya tidak akan diperkenalkan dengan adik seperguruan saya, Nimas Sulastri ini?"

   "Heh-heh, sampai lupa aku,"

   Kata kakek tua renta itu.

   "Lastri, ini adalah kakak seperguruanmu, namanya Hasanudin dan panggilannya adalah Udin."

   Sulastri memandang kepada pria itu. Wajah seorang pria dewasa yang sudah matang. Wajah yang ganteng dan menarik, akan tetapi melihat sinar mata yang tajam itu menggerayangi tubuhnya Sulastri mengerutkan alisnya dan rasa tidak suka memenuhi hatinya. Maka, biarpun ia telah diperkenalkan oleh gurunya kepada laki-laki yang menjadi kakak seperguruannya itu, ia diam saja, tidak seperti ketika diperkenalkan kepada Sudrajat yang langsung disapanya dengan ramah. Ia hanya memandang saja dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik, seolah hendak mengetahui laki-laki macam apa yang berada di depannya itu.

   Melihat gadis itu diam saja. pemuda itu tersenyum. Dia menganggap gadis jelita itu tentu malu kepadanya, tidak seperti kepada Sudrajat yng sudah tua tentu tidak merasa rikuh lagi. Maka diapun berkata dengan sikap manis.

   "Aeh, Nimas Sulastri, harap jangan malu-malu kepadaku. Aku adalah kakak perguruanmu sendiri."

   "Kakangmas Hasanudin........

   "

   "Aeh, jangan panggil Hasanudin. Orang-orang yang dekat denganku menyebut aku Udin, lebih akrab!"

   "Akan tetapi aku menyebutmu kakangmas Hasanudin!"

   Kata Sulastri dengan suara datar.

   "Aku tidak malu hanya masih asing karena aku tidak mengira mempunyai seorang kakak seperguruan. Eyang guru tidak pernah bercerita tentang engkau."

   "Memang sudah lama aku tidak menghadap eyang guru, sudah lebih dari delapan tahun. Aku selalu sibuk dengan urusan pekerjaanku. Aku tinggal di Galuh.......

   "

   "Tentu dengan keluargamu, bukan?"

   Sulastri memotong.

   "Aeh, Adik Sulastri, aku belum berkeluarga, belum beristeri kalau itu yang kau maksudkan. Aku masih perjaka tulen, ha-ha-ha! Dan akupun tidak mempunyai seorangpun keluarga, kecuali Paman Sudrajat dan Eyang Guru ini."

   Dia berhenti sebentar lalu cepat-cepat disambungnya.

   "Tentu saja sekarang ada engkau yang boleh kuanggap sebagai keluargaku terdekat, ha-ha!"

   Sambil berkata demikian, sepasang mata itu memandang tajam dan penuh arti, berkedip beberapa kali. Panas rasa perut gadis itu. Ia melihat kedipan mata yang jelas mengandung maksud tidak sopan itu, akan tetapi karena di situ terdapat eyang gurunya dan juga Ki Sudrajat, ia menahan kemarahannya dan untuk menutupi perasaan marahnya, ia bertanya sambil lalu.

   "Ayah ibumu?"

   "Ibuku meninggal ketika aku masih kecil dan ayahku ........ dia juga sudah mati. Aku sebatang kara, akan tetapi sekarang....... hemm, ada engkau di sini, Lastri."

   Kemudian tiba-tiba Hasanudin memandang Ki Ageng Pasisiran dan berkata.

   "Eyang guru, bagaimana kalau saya dan Sulastri menjadi suami isteri? Tentu eyang guru akan menyetujuinya, bukan?"

   Sulastri terkejut dan marah sekali, matanya terbelalak dan mukanya berubah merah. Kalau tadi Ki Sudrajat mengusulkan perjodohan, hal itu dilakukan untuk puteranya, akan tetapi Hasanudin ini mengusulkan perjodohan untuk diri sendiri! Betapa beraninya! Ia merasa diremehkan sekali. Akan tetapi kemarahannya agak reda ketika melihat gurunya mengur laki-laki itu.

   "Udin, jangan lancang engkau! Urusan perjodohan tidak bisa diputuskan begitu saja! Sulastri masih mempunyai ayah ibu, tanpa perkenan ayah ibunya, dan tanpa persetujuan ia sendiri, bagaimana mungkin perjodohan dapat dilakukan?"

   "Aeh, eyang, bukankah sejak lama eyang selalu mendesak saya untuk menikah? Selama ini saya belum menemukan seorang gadis yang cocok dan tepat untuk menjadi isteri saya dan sekarang tiba-tiba saja saya bertemu dengan nimas Sulastri ini. Ia cocok sekali untuk menjadi isteri saya, eyang. Mohon eyang suka mengatur agar saya dapat berjodoh dengan nimas Sulastri ini, eyang."

   Tiba-tiba Sulastri tidak mampu menahan kemarahannya lagi.

   "Aku tidak sudi! Aku belum ingin menikah! Eyang guru, maafkan saya, saya akan pulang!"

   Setelah berkata demikian, Sulastri melompat dan berlari keluar, terus meninggalkan rumah gurunya.

   Setelah gadis itu berlari pergi, Ki Ageng Pasisiran menghela napas panjang. Dia merasa dirinya telah tua dan lemah sehingga wibawanya berkurang banyak dan dia melihat betapa murid-muridnya berani bersikap kurang mengacuhkannya.

   "Udin, kulihat engkau masih belum juga dapat mengendalikan keinginan perasaanmu. Setelah bertahun-tahun berpisah dariku, kulihat engkau masih tidak memiliki ketenangan dan kesabaran. Tidak semestinya engkau bersikap seperti tadi."

   Tegur Ki Ageng Pasisiran.

   "Ayah berkata benar, Udin. sikapmu tadi tidak benar, engkau telah menyinggung perasaan Sulastri!"

   Sudrajat juga menegur.

   (Lanjut ke Jilid 13)

   Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   Hasanudin memandang kedua orang itu dengan alis berkerut.

   "Paman Sudrajat, paman sendiri tadi mengusulkan pernikahan antara Sulastri dan putera paman. Akan tetapi Jatmika itu masih belum dewasa benar, masih hijau dan belum waktunya menikah. Dan bukankah sepantasnya kalau paman gurunya menikah lebih dulu sebelum dia?"

   Kemudian Hasanudin berkata kepada gurunya.

   "Eyang, sejak dahulu saya menganggap eyang sebagai pengganti orang tua saya. Oleh karena itu, saya mohon agar melamarkan Nimas Sulastri untuk menjadi jodoh saya kepada orang tuanya."

   "Sabar....... sabar Udin, jangan tergesa-gesa.......

   "

   Kata kakek tua renta itu.

   "Kalau eyang tidak mau, berarti eyang sesungguhnya tidak sayang kepada saya. Biarlah saya akan melamar sendiri kalau begitu!"

   Kata Hasanudin dengan suara tegas.

   "Hemm, Udin. Jangan berdikap kasar begitu. Urusan perjodohan ini harus kita rundingkan dulu baik-baik. Kalau memang sudah bulat kehendakmu, tentu ayah akan suka melamarkan Sulastri untukmu."

   Kata Ki Sudrajat menyabarkan hati pemuda itu karena dia tidak ingin terjadi ketegangan dalam hati ayahnya yang sudah tua sekali itu. Mereka lalu duduk dan membicarakan keinginan Hasanudin untuk minta tolong Ki Ageng Pasisiran melamar Sulastri.

   Sementara itu Sulastri berlari pulang. Mukanya masih merah dan hatinya masih panas ketika ia tiba di rumah orang tuanya. Ki Subali merasa heran melihat puterinya begitu cepat pulang. Biasanya, kalau berkunjung ke rumah gurunya, gadis itu sedikitnya setengah hari baru pulang.

   "Eh, kenapa engkau sudah pulang, Lastri? begitu cepat!"

   Kata ayahnya. Ibunya memandang heran melihat wajah puterinya kemerahan dan matanya mencorong.

   "Lastri, ada apakah? Engkau kelihatan tidak senang!"

   Tanya ibunya. Gadis itu menjatuhkan dirinya di atas bangku di depan ayah ibunya. Mulutnya yang berbentuk indah itu cemberut, akan tetapi malah tampak manis dan menggemaskan.

   "Aku bertemu dengan dua orang murid eyang guru."

   Katanya dengan nada jengkel.

   "Eh, ki Ageng Pasisiran masih mempunyai dua orang murid lain? Siapa mereka?"

   Tanya Ki Subali.

   "Lho! Bertemu dengan dua orang saudara seperguruan mengapa menjadi tidak sengang dan marah-marah?"

   Tegur ibunya heran.

   "Mereka itu adalah Ki Sudrajat yang ternyata malah putera eyang guru sendiri, berusia kurang lebih lima puluh tahun dan yang kedua bernama Hasanudin, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Bagaimana tidak akan menyebalkan hatiku? Ki Sudrajat itu ingin mengambil aku sebagai mantunya, dan Hasanudin itu ingin mengambil aku sebagai isterinya. memangnya aku ini apa? Diambil mantu dan isteri begitu saja! Menyebalkan!"

   Sulastri masih cemberut.

   Suami isteri itu saling pandang dan mau tidak mau mereka berdua tersenyum lebar, menahan tawa yang hendak terlepas dari mulut mereka.

   "Akan tetapi, Lastri. kenapa marah-marah? itu berarti bahwa mereka suka sekali kepadamu!"

   Kata Ki Subali menahan tawa.

   "Ya, Lastri. mereka itu ingin mengambil mantu atau memperisteri engkau, berarti mereka kagum dan suka kepadamu!"

   Kata pula ibunya, bangga betapa puterinya begitu dikagumi banyak orang!

   "Ah, ayah dan ibu ini! Aku tetap saja tidak suka dan tidak sudi dianggap barang mainan indah yang boleh diambil begitu saja! Ayah, aku mau melaksanakan keinginanku yang sudah bertahun-tahun kutunda, ingin pergi mengunjungi Paman Sumali di Loano!"

   Ayah ibunya terkejut.

   "Akan tetapi Loano itu jauh sekali, lastri!"

   Kata ibunya.

   "Dan keadaan sekarang ini tidak aman! Sedang ada bahaya perang. Pasukan Mataram kabarnya akan menyerang lagi ke Jayakarta. tentu terjadi pergolakan di daerah-daerah. melakukan perjalanan dalam keadaan begini amat berbahaya!"

   Kata pula Ki Subali.

   "Ah, aku tidak takut, ayah. Aku sudah cukup kuat untuk menjaga dan membela diri. Hatiku sedang kesal dan aku merasa sebal kepada mereka. Kalau mereka benar-benar berani datang untuk melamarku, ayah harus menolaknya! Aku hendak pergi ke Loano, mengunjungi Paman Sumali!"

   "aah, bagaimana ini, Lastri? Kalau Ki Ageng Pasisiran sendiri datang meminangmu, bagaimana aku berani menolaknya?"

   

Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini