Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Laut Kidul 13


Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



"Bodoh amat engkau, Raden. memang gadis itu cukup sakti dan kebal terhadap pengaruh sihir dan aji pengasihan, akan tetapi bukankah engkau memiliki racun perangsang yang amat ampuh? Kalau kau menggunakan racun itu, tentu ia akan jatuh."

   "Ya, akan tetapi aku tidak suka karena ia hanya akan patuh seperti boneka hidup. Tidak, aku menghendaki ia menyerahkan diri karena ingin menyelamatkan nyawanya. Karena itu, berikanlah obat penawar itu padaku. Biar aku yang menyimpannya. Dengan obat itu padaku, aku akan merasa yakin dan dapat bersabar menanti."

   "Hi-hi-hik, dasar mata keranjang engkau! Tiada pernah puasnya!"

   Terdengar suara nyi Maya Dewi menggoda.

   "Sama dengan engkau, Maya. Sudahlah, serahkan padaku. Akupun selalu membantumu kalau engkau menginginkan seorang pria, bukan? Ketika di Sumedang dulu, siapa yang membantumu sehingga engkau berhasil mendapatkan keponakan adipati yang tampan seperti Arjuna itu?"

   "Baiklah, baiklah.......! Akan tetapi malam ini engkau harus dapat menyenangkan hatiku!"

   "Jangan khawatir, manis!"

   Terdengar suara cekikikan tawa dan senda gurau. Aji tidak mau mendengarkan lagi. Apa yang didengarnya sudah cukup baginya. Dia tahu bahwa mulai malam ini, obat penawar untuk menyembuhkan Sulastri berada di tangan pria bangsawan itu! Dia tahu sekarang ke mana harus mencari obat untuk menyelamatkan Sulastri dan dia hanya tinggal menanti kesempatan baik saja untuk dapat menangkap dan memaksa pria itu menyerahkan obat penawar. Dia akan mencari kesempatan terbaik!

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Aji dan Sulastri sudah diajak keluar dari rumah besar milik Ki Warga itu. Yang mengawal mereka adalah Nyi Maya Dewi, Banuseta, Ki Harya Baka Wulung, dan Aki Somad. Selain empat orang sakti ini, masih ada Ki Warga. Tokoh ini sesungguhnya adalah seorang yang penting. Ki Warga ini merupakan orang yang memiliki hubungan dekat dengan Kumpeni Belanda. Bahkan dia dipergunakan Belanda untuk menjadi pimpinan semua telik sandi yang bergerak di sepanjang pantai Laut Utara. Di samping itu, Ki Warga juga menjadi orang kepercayaan Kadipaten Tegal. Memang tidak dapat disangkal lagi bahwa Belanda amat pandai bersiasat. Tidak saja melakukan gerakan memecah belah persatuan dengan cara mengadu domba, akan tetapi juga pandai mempengaruhi para pejabat daerah

   dengan menggunakan pengaruh harta benda dan janji-janji kedudukan.

   Banyak kadipaten yang dapat dipengaruhi Kumpeni, sehingga walaupun pada lahirnya mereka takut dan menakluk kepada kekuasaan Mataram, namun diam-diam mereka mengadakan hubungan baik dengan Kumpeni Belanda dan mengadakan hubungan dagang yang dianggap menguntungkan. Sesungguhnya, tidak adanya persatuan yang bulat di seluruh Nusantara dalam menghadapi Kumpeni Belanda inilah yang membuat semua usaha untuk menentang Kumpeni selalu gagal. Bahkan oleh sebab ini pula maka penyerangan besar-besaran pasukan Mataram ke Batavia telah mengalami kegagalan.

   Aji dan Sulastri bersama empat orang pengawal mereka naik kereta seperti ketika mereka memasuki Tegal. Ki Warga sendiri menunggang kuda, malah dia mendahului kereta. Ternyata kedua orang tawanan itu dibawa kepantai dan dengan sebuah perahu mereka dibawaa ke sebuah kapal yang berlabuh tak jauh dari pantai. Pantai itu terlalu dangkal bagi kapal itu sehingga tidak dapat berlabuh dekat daratan.

   Aji dan Sulastri dibawa naik ke atas kapal itu. Diam-diam mereka memperhatikan keadaan kapal. Walaupun sikap mereka tenang saja, namun sebenarnya mereka merasa tegang dan memperhatikan keadaan dengan penuh selidik. Mereka melihat sebuah kapal yang besar dan dilengkapi dengan beberapa buah meriam besar. Di atas kapal terdapat belasan orang, hampir dua puluh banyaknya, semua adalah orang-orang kulit putih yang bertubuh tinggi besar, bermuka kemerahan dan rambut meraka tidak hitam, melainkan ada yang coklat, kemerahan dan kuning keemasan! Sulastri sudah sering melihat orang kulit putih di Indramayu atau Dermayu, maka iapun tidak merasa heran. Akan tetapi Aji belum penah melihat orang Belanda, maka diam-diam dia memperhatikan dan merasa terheran-heran.

   Keadaan orang-orang tinggi besar itu mengingatkan dia akan tokoh-tokoh wayang, yaitu golongan buto (raksasa). Jadi inilah bangsa yang merupakan ancaman bahaya bagi nusa dan bangsanya. Diapun melihat bahwa mereka semua membawa senjata bedil. Pernah dia mendengar cerita tentang bedil yang dapat menyemburkan api dan peluru, yang dapat membinasakan lawan dalam jarak jauh dan merupakan senjata yang amat berbahaya. Aji tahu bahwa dia harus berhati-hati sekali terhadap orang-orang bule ini. Mereka tampak kuat dan juga sinar mata mereka kejam. Ketika orang itu memandang ke arah Sulastri, tampak sekali gairah dalam pandang mata mereka dan mereka menyeringai secara kurang ajar.

   Akan tetapi ketika seorang Belanda setengah tua keluar dari bilik kapal itu, belasan orang itu berdiri tegak dalam keadaan siap. Orang belanda setengah tua itu menyambut rombongan yang baru naik kapal dengan senyum ramah. Dari sikap ketika dia menjabat tangan Nyi Maya Dewi, tampak bahwa di antara mereka terdapat hubungan yang akrab. Orang itu berusia aekitar lima puluh tahun, berkumis dan berwajah tampan, tubuhnya tinggi kurus dan pakaiannya mewah dan gagah. Di pinggangnya tergantung sebuah senjata pistol.

   Inilah Kapten De Vos yang mejadi boss dari Nyi Maya Dewi. Kapten de Vos ini merupakan seorang perwira yang bertugas sebagai penyelidik dan amat dipercaya oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen di Batavia! Bersama seorang perwira Belanda lainnya yang terkenal dengan sebutan Jakuwes (nama aselinya Jacques Levebre), De Vos inilah yang mengatur jaringan mata-mata kumpeni Belanda yang disebar di seluruh Nusantara!

   "Hallo, Nyi Maya Dewi yang manis, apa kabar? Kami mendengar kamu membawa tawanan yang amat penting bagi kami. Benarkah? Dan siapakah mereka semua ini?"

   Tanya De Vos setelah menjabat tangan wanita itu dengan hangat.

   Dengan senyumnya yang manis, Maya Dewi memperkenalkan teman-temannya, setelah memberi isarat kepada Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad untuk Melangkah maju.

   "Ini adalah Ki Harya Baka Wulung dari Madura, tuan kapten. Dan yang ini adalah Aki Somad dari Nusa Kambangan. Mereka adalah pembantu-pembantu yang setia dan dapat diandalkan, sakti dan tangguh."

   Kemudian dengan senyum tak pernah meninggalkan bibirnya ia melanjutkan sambil menunjuk kepada Ki Warga dan Raden Banuseta.

   "Dua orang ini tentu sudah tuan kenal dengan baik."

   Kapten De Vos menyalami empat orang itu dan berkata.

   "Ya, ya, kami kenal baik mereka ini. Dan mana tawanan itu?"

   "Inilah mereka, tuan."

   Kata Nyi Maya Dewi sambil menudingkan telunjuknya ke arah Aji dan Sulastri. Sepasang mata yang kebiruan itu memandang kepada dua orang muda itu dengan penuh selidik dan Kapten De Vos tampak terheran-heran.

   "Mereka ini orang-orang penting Mataram? Geweldig (hebat)! Begini muda, dan yang perempuan ini begini cantik, sudah jadi orang penting Mataram?"

   Wanita cantik itu tersenyum dengan genitnya.

   "Ah, Tuan Kapten De Vos, jangan pandang rendah mereka ini!

   Biarpun mereka ini masih muda, akan tetapi mereka adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian tinggi dan berbahaya sekali!"

   "Is dat zo (Begitukah)?"

   Kapten De Vos melihat ke atas. Dua ekor burung camar laut terbang di atas kapal itu.

   Cepat dia mengambil senapan yang dipegang oleh seorang anak buah yang berdiri di dekatnya. Dengan gerakan cepat sekali dia mengokang bedil itu, membidik dan ketika dia menarik pelatuknya, dua kali terdengar letusan. Api dan peluru menyambar keluar dari moncong bedil dan dua ekor burung berbulu putih itu jatuh ke atas dek kapal. Mati seketika.

   Aji dan Sulastri melihat semua ini dan diam-diam mereka terkejut. Apa yang mereka dengar tentang kehebatan senjata api itu kini mereka lihat sendiri.

   "Ha-ha-ha. Mereka ini sakti? Apakah mereka dapat terbang lebih cepat dari pada dua ekor burung itu?"

   Dia menuding ke arah bangkai dua ekor burung dan melemparkan kembali senapan itu kepada anak buahnya.

   Ki Warga, Maya Dewi dan Banuseta tidak heran menyaksikan keahlian menembak itu. mereka sudah mengenal Kapten De Vos yang terkenal jago tembak. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad juga merasa kagum. Orang Belanda ini cukup berbahaya, pikir mereka.

   Nyi Maya Dewi yang pandai mengambil hati orang, bertepuk tangan memuji.

   "Hebat, tuan kapten, kepandaian tuan mempergunakan senjata api memang hebat sekali. Akan tetapi tuan harus berhati-hati terhadap mereka."

   "Goed, goed (baik, baik). mari kita duduk di dalam dan bicara!"

   Ajak Kapten De Vos sambil mengangguk-angguk.

   Mereka semua lalu memasuki ruangan kapal di mana terdapat sebuah meja besar dengan banyak kursi disekelilingnya. Aji dan Sulastri dipersilahkan duduk di atas kursi, berhadapan dengan Kapten De Vos. Maya Dewi duduk di samping kiri Kapten Belanda itu dan Ki Warga yang sejak tadi diam saja duduk di sebelah kanannya. Tempat duduk ini saja sudah menunjukkan betapa kedudukan Ki Warga itu penting sekali dan dia dihargai oleh Kapten De Vos. Aji duduk di depan kapten itu, Sulastri duduk disebelah kirinya. Mereka berdua diapit oleh Harya Baka Wulung dan Aki Somad, sedangkan Banuseta duduk di sebelah kanan Ki Warga. Jelaslah bahwa yang duduk di jajaran Kapten De Vos itu adalah orang-orang yang sudah dipercaya kapten Belanda itu, sedangkan Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad yang baru saja bertemu dengannya, merupakan pembantu-pembantu baru yang masih asing.

   "Hemm, kalian berdua ini orang-orang penting Mataram, ya? Dan kamu berdua mau bekerja sama dengan kami dan mau menceritakan kekuatan dan rencana Sultan Agung untuk menyerang Batavia? Goed zo! Kamu berdua akan kami beri hadiah banyak. Lebih dulu, katakan siapa nama kamu berdua, he?"

   "Namaku Aji dan ia itu Sulastri!"

   Jawab Aji pendek.

   "Pemuda ini bernama Lindu Aji dan dikenal sebagai Alap-alap Laut Kidul, tuan kapten! Dia digdaya dan berbahaya sekali!"

   Kata Ki Harya Baka Wulung menjelaskan.

   "Ha-ha, apa bedanya alap-alap dengan dua rkor burung yang aku tembak tadi?"

   Tanya Kapten De Vos mencemoohkan.

   "Alap-alap merupakan burung liar dan ganas. Burung Camar yang tuan tembak jatuh tadi dapat menjadi mangsanya."

   Maya Dewi menerangkan.

   "Ha-ha-ha, biarpun pandai terbang, sekali senapan di tanganku meletus, seekor alap-alap ganaspun tentu akan jatuh dan mati! Nah, sekarang cepat ceritakan kepada kami tentang keadaan pasukan Mataram, berapa kekuatan mereka dan bagaimana persiapan pasukan mereka. Juga ceritakan bagaimana rencana siasat mereka untuk menyerang Batavia!"

   Sambil berkata demikian, sepasang mata biru itu mengamati wajah Lindu Aji dan Sulastri penuh selidik. Sulastri yang merasa tidak berdaya karena tubuhnya telah terancam maut oleh racun itu, hanya melirik ke arah Aji. Ia tahu akan siasat yang dipergunakan pemuda itu, yalah bahwa pemuda itu membiarkan lawan-lawannya percaya bahwa Aji dan ia mengetahui rahasia itu, maka mereka tidak akan membunuh Aji dan ia. Karena ia tidak tahu bagaimana siasat Aji selanjutnya dan tidak mempunyai kesempatan untuk bicara berdua, maka iapun hanya menyerahkannya kepada pemuda itu. Aji juga telah mempersiapkan diri. Sebelumnya dia memang sudah mengatur siasat.

   Dia memiliki modal kuat, yaitu kepercayaan orang-orang itu bahwa dia dan Sulastri benar-benar dapat memberi keterangan penting tentang gerakan pasukan Mataram yang ditakuti Kumpeni Balanda!

   "Tuan,"

   Katanya, suaranya tegas dan tenang.

   "Urusan ini penting sekali bagi kami berdua. Menceritakan semua itu kepada Kumpeni, berarti kami berdua telah berkhianat dan hukuman untuk pengkhianat amat berat dan mengerikan."

   "Ha, kamu berdua takut? Jangan takut! Kalau kamu berdua bekerja sama dengan kami, maka kamu berdua akan dilindungi. Jangan takut kepada Sultan Agung. Kami memiliki meriam-meriam besar dan senjata-senjata api yang ampuh. Hayo, ceritakan saja dan kamu akan memperoleh hadiah dan juga perlindungan dari kami!"

   Kata Kapten De Vos.

   Aji menghela napas lalu menggeleng kepala.

   "Sungguh, tuan. Urusan ini amat penting dan gawat bagi kami berdua. Oleh karena itu, kami minta agar kami berdua diberi kesempatan untuk berunding dan memperbincangkan hal ini berdua saja. Ketahuilah, tuan. Ini merupakan keputusan hidup mati kami, karena itu harus kami rundingkan dengan matang lebih dulu."

   Alis yang berwarna kelabu itu berkerut dan sepasang mata biru mencorong marah.

   "Kamu harus menceritakan sekarang juga!"

   Bentaknya.

   Namun dengan tenang dan tegas Aji menggeleng kepala.

   "Besok pagi, tuan."

   "Sekarang! Atau, kami akan menembak kamu berdua!"

   Kapten De Vos menggertak sambil mencabut pistolnya dan menodongkan senjata itu ke arah Aji dan Sulastri yang duduk di depannya.

   Dia menatap wajah dua orang muda itu dan diam-diam merasa heran dan kagum. Dua orang muda yang ditodongnya itu sedikitpun tidak tampak takut, dan balas menatapnya dengan sinar mata berapi.

   "Kami tidak takut mati, tuan. Kalau tuan membunuh kami berdua sekarang, pasukan Mataram yang besar sekali jumlahnya akan membalaskan kematian kami, menyerbu dan membakar habis Batavia, membunuh semua Kumpeni Belanda!"

   Aji juga menggertak dan karena ucapannya itu mendatangkan kesan yang kuat.

   Menghadapi sikap tenang Aji ini, Kapten De Vos meragu. Dia lalu menoleh ke kanan dan bertanya kepada Ki Warga.

   "Bagaimana pendapatmu, Warga?"

   Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu tersenyum.

   "Apakah tidak sebaiknya kalau dijadikan taruhan saja? Kalau tuan yang menang mereka harus memberi keterangan sekarang juga, akan tetapi kalau mereka menang terpaksa tuan harus bersabar sampai besok pagi."

   "Akan tetapi, laporan dua orang penjaga semalam?"

   Tanya kapten itu.

   "Ah, mereka mungkin hanya mimpi, tuan."

   Kata Ki Warga sambil tertawa.

   "Mereka hanya melapor melihat Aji ini lalu tiba-tiba mereka tidak ingat apa-apa lagi. Kalau laporan mereka itu betul, tentu semalam telah terjadi sesuatu. Buktinya tidak terjadi apa-apa."

   "Kalau begitu baiklah. Kita buat taruhan. Wacht even (tunggu sebentar), bukankah Maya Dewi tadi mengatakan bahwa pemuda ini digdaya dan tangguh? Bagus, kita adu dia melawan Hendrik De Haan, jagoan kita itu! Heh, Lindu Aji, sekarang begini saja baiknya! Dari pada kita bersitegang memperebutkan apakah kalian harus memberi keterangan sekarang ataukah besok pagi, maka kita adakan pertandingan untuk menentukan. Kalau kamu dapat mengalahkan jagoan kami dalam perkelahian tangan kosong, biarlah kami mengalah dan kamu boleh malam ini berunding dengan Sulastri ini dan besok pagi memberi keterangan kepada kami. Akan tetapi kalau kamu kalah melawan jagoan kami itu, kamu harus menceritakan keterangan tentang pasukan Mataram itu sekarang juga! Bagaimana, Aji, beranikah kamu berkelahi menandingi jagoan kami?"

   Aji berpikir sejenak, lalu bertanya.

   "Pertandingan tangan kosong tanpa menggunakan senjata api?"

   "Natuurlijk (tentu saja)! Kami bukan orang curang. Pertandingan boksen (tinju), tanpa senjata, satu lawan satu. Nah, beranikah kamu?"

   Aji saling lirik dengan Sulastri, lalu dia memandang Kapten De Vos dan berkata tegas.

   "Aku berani, tuan! Akan tetapi tuan jangan melanggar janji. Kalau aku keluar sebagai pemenang, aku diberi kesempatan bicara empat mata dengan Sulastri dan baru besok pagi kami memberi keterangan kepadamu."

   "Bagus!"

   Kapten itu tampak gembira sekali dan dia lalu berseru kepada seorang anak buahnya.

   "Panggil Hendrik De Haan ke sini!"

   Tak lama kemudian muncullah kapten itu. Sulastri terbelalak memandang laki-laki yang melangkah datang seperti seekor gajah itu! Seorang bule berambut kecoklatan, usianya sekitar tiga puluh tahun dan segalanya pada diri laki-laki ini hanya dapat dinilai dengan satu kata : besar! Seorang raksasa yang tingginya satu setengah kali tinggi tubuh Aji. Kedua lengan yang memakai kaos pendek itu tampak besar dan kokoh kuat, dengan otot melingkar-lingkar. Dadanya bidang dan tebal, penuh bulu coklat kekuningan, lehernya seperti leher badak. Diam-diam hati Sulastri merasa ngeri juga. Selama hidupnya belum pernah ia melihat seorang laki-laki setinggi besar dan sekokoh ini. Orang-orang bule yang pernah dilihatnya tampak kecil dibandingkan raksasa ini. Tampaknya, dengan sekali pukul saja kepala Aji akan dapat pecah dan tulang-tulang tubuhnya dapat remuk! Kedua kakinya juga panjang dan besar penuh bulu, tampak mengerikan karena dia mengenakan celana pendek.

   Aji juga memandang orang yang baru memasuki ruangan itu dengan penuh perhatian. Dia tidak tertarik A oleh bentuk tubuh seperti raksasa itu. Baginya, tubuh yang tampak kokoh kuat tidak berarti apa-apa. Aji lebih memperhatikan sikap raksasa itu, terutama pandang matanya. Hatinya merasa lega. Pandang mata raksasa itu membayangkan kebodohan, seorang yang biasa mengandalkan okol (tenaga) daripada akal. Orang seperti ini bukan merupakan lawan berbahaya baginya, walaupun untuk merobohkannya juga tidak mudah karena melihat bentuk tubuhnya, orang itu tentu memiliki tenaga gajah dan tubuhnya itu agaknya berkulit tebal tahan pukul!

   Dalam bahasa Belanda yang totok raksasa itu bertanya kepada Kapten De Vos.

   "Kapten, ada tugas apa untukku?"

   "Hendrik, kami mengadakan taruhan untuk mengadu kamu dengan pemuda ini. Pertandingan boksen satu lawan satu, tanpa senjata apapun. Jangan sampai kamu kalah olehnya. Hendrik karena yang kupertaruhkan ini penting sekali!"

   Sepasang mata yang lebar memandang kepada Aji yang masih duduk dan dia terbelalak lalu memandang atasannya.

   "Kapten! Aku hendak diadu dengan kleine jongen (bocah kecil) ini?"

   "Ya, siapa yang roboh dan tidak mampu melanjutkan pertandingan dianggap kalah."

   "Hua-ha-ha-ha! Ah, kapten, jangan bergurau! Aku takut melawan anak ini, ha-ha-ha!"

   "Takut? Apa maksudmu, Hendrik?"

   Tanya De Vos heran.

   "Aku takut kalau pukulanku akan membuat kepalanya remuk atau dadanya pecah, kapten!"

   Kata raksasa itu serius.

   "Ohh! Jangan keluarkan semua tenagamu, Hendrik. Dia ini orang penting, tidak boleh dibunuh, hanya boleh dikalahkan agar aku menang bertaruh."

   Hendrik mengangguk-angguk.

   "Kalau begitu aku mengerti, kapten."

   Kapten De Vos menoleh kepada Aji.

   "Nah, bagaimana, orang muda? Apakah kamu tetap bersedia dan berani melawan Hendrik De Haan ini?"

   Sambil tetap duduk tenang Aji menjawab.

   "Saya siap dan berani, tuan."

   "Bagus, kalau begitu mari kita semua pergi keluar ruangan. Pertandingan dilakukan di atas dek luar yang luas."

   Kata De Vos. Semua orang bangkit berdiri. Juga Aji dan Sulastri bangkit berdiri dan mereka berdua mengikuti keluar dari ruangan itu menuju ke dek kapal yang luas. Sebentar saja berita tentang diadakannya pertandingan itu sudah terdengar semua anak buah kapal.

   Mereka menjadi gembira sekali. Bagi para anak buah kapal, perkelahian merupakan satu di antara kesenangan mereka. Mereka adalah orang-orang kasar yang sudah terbiasa hidup keras menghadapi ancaman bahaya di tengah lautan, biasa bekerja keras dan suka pula akan kekerasan. Bahkan setiap kali mendarat mereka selalu saja terlibat perkelahian karena hal itu mereka anggap sebagai kejantanan mereka. Kini, mendengar bahwa Hendrik De Haan, raksasa jagoan itu akan diadu melawan seorang pemuda pribumi yang menjadi tawanan, mereka tentu saja merasa geli, menertawakan Aji. Tadi mereka sudah melihat betapa pemuda itu seorang yang tubuhnya termasuk kecil dan ringkih sekali dibandingkan Hendrik dan berat tubuhnya belum tentu ada setengah berat tubuh raksasa itu. Bagaimana mereka akan dipertandingkan? Mereka semua sudah berkumpul di dek, membentuk lingkaran lebar. Mereka bukan tertarik untuk menonton perkelahian yang seimbang, melainkan hendak menonton bagaimana Hendrik akan menggilas dan membantai lawan tak seimbang itu.

   Kursi-kursi kecil telah dikeluarkan. Kapten De Vos duduk di atas sebuah kursi. Para pembantunya, Ki Warga, Nyi Maya Dewi, Raden Banuseta, Ki Harya Baka Wulung, dan Aki Somad juga sudah dipersilahkan duduk di atas kursi yang berderet-deret. Sulastri juga diberi sebuah kursi, akan tetapi ia tidak mau duduk. Ia hanya berdiri saja dengan hati mulai merasa tegang dan gelisah. Bagaimanapun juga, raksasa itu menyeramkan. Ia khawatir kalau-kalau Aji akan tewas di tangan raksasa itu. Kalau Aji sampai tewas, hilanglah harapan baginya untuk dapat lolos dari tangan mereka. Ia tidak takut mati, akan tetapi ia merasa ngeri membayangkan dirinya dihina dan diperkosa. Kalau Aji sampai tewas di tangan raksasa itu, iapun akan mengamuk. Tidak perduli apakah racun di tubuhnya akan menewaskannya, ia pasti akan mengamuk sampai mati. Karena itu, ia tidak mau duduk, melainkan berdiri dan bersiap siaga.

   Raksasa bule bernama Hendrik de Haan itu kini telah menanggalkan baju kaosnya dan tinggal mengenakan sebuah selana pendek. Tubuh atas yang telanjang itu tampak besar dan kokoh sekali, dengan otot yang menggelembung dan melingkar-lingkar. Aji maklum bahwa tubuh itu memiliki tenaga otot atau tenaga kasar yang amat kuat, namun orang itu tidak mempunyai "isi", hanya mngandalknan tenaga otot sehingga tiada bedanya dengan seekor kerbau. Diapun melangkah maju menghampiri tempat yang dilingkari para anak buah kapal itu, berhadapan dengan Hendrik. Sikapnya tenang saja dan dia hanya mengiktkan kain sarungnya agar jangan terlepas atau berkibar kalau dipakai bergerak. Aji tampak berdiri santai saja di depan calon lawannya, seolah dia sama sekali tidak membuat persiapan. Namun dari sinar matanya Sulastri tahu bahwa seluruh syaraf dalam tubuh pemuda itu dalam kedaan siap siaga.

   "Sebelumnya kamu harus tahu akan aturannya!"

   Kata Kapten de Vos kepada Aji.

   "Pertandingan ini namanya boksen. Kamu hanya boleh memukul bagian pinggang ke atas. Bagian pinggang ke bawah tidak boleh dipukul. Juga dilarang menggunakan tendangan, dilarang menangkap dengan tangan, mendorong atau menarik!"

   Aji mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mengenal aturan seperti itu. Dia tidak mengenal permainan tinju.

   "Ah, aturan macam apa itu? Bertanding dalam perkelahian tidak boleh memukul pinggang ke bawah, tidak boleh menendang, tidak boleh menangkap, menarik atau mendorong. Kalau tidak boleh ini tidak boleh itu, mengapa bertanding berkelahi? Lebih baik tidak saja!"

   Hendrik yang tidak paham bahasa Indonesia, bertanya kepada Kapten De Vos melihat Aji berdiri membelakanginya. Setelah De Vos menceritakan keberatan Aji tentang peraturan pertandingan, Hendrik tertawa.

   "Ha-ha-ha, kalau tidak memakai larangan dan berkelahi dengan sebenarnya, bagaimana aku dapat menjaga agar dia tidak sampai mati terbunuh?"

   De Vos berkata kepada Aji.

   "Aji, peraturan itu diadakan justeru untuk menjaga agar kamu tidak sampai terpukul mati. Kalau tanpa batas, dan Hendrik boleh menggunakan segala cara untuk menyerangmu, bagaimana kami akan dapat terhindar dari maut?"

   "Tuan, aku sudah berani menerima tantangan berkelahi, berarti aku tidak takut akan kematian. Terluka atau mati adalah resiko dalam pertandingan adu kanuragan, siapa yang takut mati? Kalau berkelahi bebas tanpa larangan, aku mau melayaninya. Kalau memakai segala macam aturan dan larangan, aku tidak mau berkelahi!"

   Jawab Aji dengan tegas. Ucapan ini diterjemahkan De Vos kepada Hendrik dan kembali Hendrik tertawa.

   "Kalau begitu aku tidak tanggung kalai sampai dia terpukul atau tertendang mati, kapten. Akan tetapi aku akan berusaha agar jangan sampai membunuhnya."

   
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kapten De Vos mengangguk-angguk. Memang dia menghendaki pertandingan itu dilakukan dengan peraturan tinju karena dia tidak ingin kalau Aji sampai terpukul tewas. Dia amat membutuhkan keterangan dan pengakuan pemuda itu tentang Mataram.

   "Baiklah, Aji. Kamu boleh melawan Hendrik dengan cara bebas."

   Mendengar ini, Aji memutar tubuh dan kembali menghadapi Hendrik. Bagaikan dua ekor ayam jantan hendak berlaga, kedua orang itu kini saling berhadapan dan saling pandang. Sungguh bukan merupakan lawan seimbang. Hendrik hampir dua kali lebih besar dan lebih tinggi daripada Aji. Kedua kakinya juga memakai sepatu kulit yang tebal. Raksasa bule ini sudah memasang kuda-kuda. Kaki kanannya ditarik ke belakang, kaki kiri ke depan, kedua tangan dikepal dan siap memukul, tergantung di depan dada. Sebaliknya Aji berdiri tenang dan santai saja, hanya sepasang matanya yang dengan tajam mengikuti semua gerak tubuh lawan.

   "Mulailah!"

   Perintah De Vos yang menonton dengan mata bersinar-sinar. Semua orang yang menonton, kecuali Sulastri, memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar.

   Semua orang merasa gembira seperti biasa kalau mereka menonton adu tinju. Mendengar perintah ini, Hendrik mulai menyerang. Karena pertandingan itu tidak dibatasi dengan peaturan tinju, maka kedua tangannya menyambar dari kanan kiri. Maksudnya dia hendak menangkap tubuh kecil itu kemudian akan dibantingnya sehingga dia akan keluar sebagai pemenang dalam satu gebrakan saja tanpa harus membunuh lawan yang kecil itu. Kedua tangan itu menyambarnya dengan cepat dari kanan kiri dan gerakannya yang didorong tenaga besar itu mendatangkan angin yang kuat.

   "Wuuuttt....... plakkkk!"

   Dengan menimbulkan suara tepukan nyaring dua telapak tangan besar itu saling bertemu di udara karena kedua tangan itu luput menangkap sasarannya. Tubuh Aji dengan gesitnya telah mengelak dan condong ke belakang.

   "Verdomme.......!"

   Hendrik memaki dengan marah dan penasaran, Bagaimana mungkin cengkeraman kedua tangannya itu luput begitu saja? Dia cepat mengejar, melangkah ke depan dan karena sudah terbiasa, kini kedua tangannya dikepal dan membuat pasangan kuda-kuda orang bertinju, Dua kepalan tangan itu kini cepat menyerang secara bertubi-tubi ke arah kepala dan dada Aji. Pukulannya cepat dan kuat sekali. Pukulan swing dan long hook yang cepat sekali, diseling pukulan upper cut yang mematikan. Namun, semua pukulan bertubi-tubi itu hanya mendatangkan suara mengiuk dan bersuitan, sedikitpun tidak pernah mengenai sasarannya.

   Apa lagi kena, menyerempet sedilitpun tidak! Semua pukulan itu dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Aji yang sudah bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Semua penonton terbelalak dan suasana riuh karena mereka mengeluarkan seruan heran dan juga kaget. Mereka melihat pemuda itu membuat gerakan yang lucu seperti gerakan seekor monyet. Akan tetapi anehnya, semua pukulan hebat dari jagoan mereka itu tidak pernah mengenai sasaran.

   Pukulan yang dilakukan dengan sepenuh tenaga, kalau mengenai tempat kosong dapat menguras tenaga. Setelah pukulan-pukulan keras itu tidak ada yang mengenai sasaran sampai puluhan kali, mulailah Hendrik berkeringat dan dia merasa penasaran dan marah sekali. Dia tahu bahwa ada orang yang pandai berkelit dan memiliki gerakan gesit sekali, akan tetapi belum pernah dia dapat membayangkan ada orang yang mampu menghindarkan diri dari serangkaian serangannya sampai puluhan kali, hanya dengan elakan dan tidak pernah menangkis. demikian gesitkah orang ini, atau serangannya yang lamban?

   "Verrek, zeg.......!"

   Dia memaki dan kini kedua kakinya yang berbulu, besar dan panjang itu menyambar-nyambar dengan tendangan sekuat tendangan pemain sepak bola yang mahir. Agaknya, tak pelak lagi, tubuh Aji akan terlempar seperti bola kalau sampai terkena tendangan dahsyat itu. Namun, Aji yang bergerak dengan ilmu silat Wanara Sakti itu menjadi cekatan sekali, tidak ubahnya seekor kera. Hanya dengan sedikit memutar tubuh saja tendangan lawan itu dapat dielakkan dan ketika tendangan demi tendangan susul menyusul datang bertubi-tubi, tubuhnya berputaran dan tak sebuahpun tendangan mampu menyentuh tubuhnya!

   Keringat telah membanjiri seluruh tubuh Hendrik. Dia mulai panik. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu keanehan seperti ini. Kini dia sudah mempergunakan segala daya. Dia tidak hanya meninju seperti seorang petinju, akan tetapi dia juga menampar, menjotos, mencengkeram, menendang, namun semua itu sama sekali tidak pernah menyentuh lawan. Dia merasa seolah bertanding melawan bayangan saja!

   Kini semua penonton menjadi terbelalak dan mulut mereka ternganga. Tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Hendrik, raksasa jagoan mereka itu kini diperlakukan seperti seorang anak kecil saja oleh pemuda itu. Semua serangannya, kebanyakan serangan maut karena kalau mengenai sasaran tentu membuat tulang-tulang remuk dan kepala atau dada dapat pecah, sama sekali tidak pernah dapat menyentuh lawan.

   Hanya Sulastri yang tersenyum senang, akan tetapi ia mengerutkan alisnya melihat kenyataan betapa Aji sama sekali tidak pernah membalas, pada hal ia yakin bahwa kalau Aji menghendakinya, sejak tadi raksasa itu sudah dapat dirobohkam.

   "Mas Aji, apa maksudmu main-main seperti ini? Cepat kalahkan dia!"

   Akhirnya Sulastri tak dapat menahan diri dan berseru nyaring. Mendengar teriakan gadis itu, Aji juga merasa bahwa sudah cukup ia mempermainkan lawannya, membiarkan lawan menyerang sampai kehabisan teaga. Ketika kedua tangan raksasa itu menyambar lagi dengan pukulan, dia mengelak ke samping, menekuk lutut kiri dan dari bawah kaki kanannya menyambar cepat sekali. Kaki kanan itu menyambar dua kali ke arah lutut Hendrik, seperti ular memagut dan tepat sekali mengenai sasaran.

   "Tuk! Tuk!"

   Tepat sekali sambungan lutut kedua kaki Hendrik tercium tendangan dan tak mungkin dapat dipertahankan lagi, kedua kaki raksasa itu terasa lumpuh dan diapun jatuh bertekuk lutut. Aji tidak membuang kesempatan ini. Tangan kirinya menyambar dengan jari terbuka ke arah tengkuk raksasa itu.

   "Wuuuttt....... dukkkk!"

   Tubuh yang besar itu terkulai roboh dan tak mampu bergerak lagi karena pingsan. Seruan-seruan kaget terdengar dan para anak buah kapal yang membawa bedil sudah siap menodongkan bedil mereka ke arah Aji. Akan tetapi Nyi Maya Dewi yang duduk dekat Kapten De Vos memberi isarat kepada pembesar Kumpeni itu dan De Vos memberi aba-aba kepada para anak buahnya untuk mundur. Beberapa orang anak buah kapal lalu menggotong tubuh raksasa yang pingsan itu pergi dari situ.

   "Tuan, jagomu telah kalah. Harap tuan suka memegang janji."

   Kata Aji kepada De Vos. Melihat kekalahan Hendrik tadi, De Vos mengerutkan alisnya dan tahulah dia bahwa Maya Dewi tidak berbohong atau melebih lebihkan. pemuda yang tampak lemah itu sungguh berbahaya sekali. Kalau gadis cantik itu juga sama tangguhnya, maka mereka berdua sungguh merupakan orang-orang berbahaya, apa lagi mereka adalah orang-orang Mataram!

   "Oh tentu, tentu saja. kami selalu memenuhi janji. Bukankah begitu, Warga?"

   De Vos menoleh kepada pembantu utamanya yang amat dipercaya itu.

   Warga adalah seorang yang amat cerdik. Dia sudah mendengar dari Maya Dewi akan keadaan Aji dan Sulastri. Gadis sakti itu telah keracunan dan hal itu membuat Aji dan Sulastri menyerah dan tunduk kepada mereka, menuruti kemauan mereka. Dia yakin bahwa Aji dan Sulastri berada dalam keadaan keracunan dan belum diberi obat penawarnya. Maka, ketika De Vos bertanya kepadanya, tanda bahwa kapten itu merasa gelisah dan bingung, merasa ragu apa yang harus diperbuatnya, diapun segera menjawab.

   "Tentu saja, tuan kapten. Aji dan Sulastri berhak untuk mengadakan perundingan berdua saja malam ini dan besok pagi baru mereka akan memberi keterangan tentang kekuatan pasukan Mataram dan tentang rencana penyerbuan ke Batavia. Aji telah menangkan pertandingan dan sudah sepantasnya kalau kita menghormat seorang pendekar gagah perkasa seperti dia dan merayakan kemenangannya. Sekalian kita merayakan untuk menyambut kedatangan Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad yang terhormat dan telah berjasa besar bagi Kumpeni!"

   "Goed, heel goed! (Baik, sangat baik)! Kita berpesta untuk menyambut mereka!"

   Pesta perjamuan diadakan dengan meriah. Aji dan Sulastri duduk pula bersama mereka semua, menghadapi meja makan besar yang penuh hidangan bermacam masakan. Mereka tidak merasa sungkan karena mereka memang membutuhkan makan cukup agar tubuh mereka tetap kuat. Juga mereka tidak takut keracunan makanan karena semua orang ikut makan.

   Kapten De Vos yang ingin sekali menarik dua orang muda itu agar dapat menjadi pembantunya, memperlihatkan sikap ramah dan hormat. Dia sendiri menuangkan anggur ke dalam gelas dan menghidangkannya kepada Aji dan sulastri. Akan tetapi ketika dua orang ini mencium bau anggur yang keras dan yang belum pernah mereka rasakan, Aji menolak dan minta agar mereka diberi minuman air teh saja. Permintaan ini dipenuhi dan Kapten De Vos mengangkat gelas anggurnya.

   "Mari kita minum untuk mengucapkan selamat datang kepada Tuan Lindu Aji dan Nona Sulastri, juga mengucapkan selamat atas kemenangannya!"

   Tiba-tiba Sulastri yang selama ini berdiam diri saja karena merasa tidak berdaya, berkata.

   "Nanti dulu, tuan. Sebelum kita minum, aku ingin mendengar dulu darimu. Apakah setelah kami berdua menceritakan apa yang kita ketahui, kami akan dibebaskan tanpa gangguan apapun?"

   Kapten De Vos merasa heran dan kagum. Tadinya dia mengira bahwa Sulastri yang tadinya diam saja itu seorang gadis pemalu. Kiranya kini bicara dengan lancar dan pandang matanya kepadanya demikian mencorong penuh selidik dan wajah yang jelita itu tampak cerdik sekali!

   "Ya, tentu, tentu! Tentu kami akan membebaskan kamu berdua tanpa gangguan!"

   Kata De Vos sambil mengangguk angguk.

   "Akan tetapi, kami telah diracuni oleh Maya Dewi dan ia berjanji akan memberikan obat penawarnya kepadaku kalau aku dan Mas Aji sudah memberikan keterangan. Apakah tuan berani menanggung bahwa Maya Dewi akan memegang janjinya?"

   Tanya pula Sulastri sambil melirik ke arah Maya Dewi.

   "Terus terang saja, aku tidak mungkin dapat mempercayai janjinya. Saya minta agar tuan berjanji. saya lebih percaya kepadamu. Tuan adalah seorang yang mempunyai kedudukan tinggi, kiranya mustahil kalau tuan akan bertindak curang dan pengecut, menjilat ludah sendiri, menelan dan mengingkari janji!"

   Aji diam-diam kagum akan kata-kata dan sikap Sulastri.

   Dia memperhatikan dan melihat betapa wajah Maya Dewi berubah kemerahan dan wanita ini bertukar pandang dngan pria jangkung yang menjadi kekasihnya dan yang telah menyimpan obat penawar untuk Sulastri. Sementara itu, mendengar ucapan Sulastri, De Vos juga megangguk angguk dan melirik ke arah Maya Dewi. Baru sekarang dia mengetahui benar mengapa orang-orang digdaya seperti Aji dan Sulastri mudah saja dibawa ke kapal dihadapkan kepadanya dan dipaksa membuka rahasia tentang Mataram. Kiranya gadis jelita itu telah keracunan dan obat penawarnya ada pada Maya Dewi! Sungguh suatu siasat yang amat cerdik dari pembantunya yang cantik dan terpercaya ini.

   "O, begitukah? Maya, apa kamu menyimpan obat penawar itu?"

   Tanyanya sambil menoleh kepada Maya Dewi. Wanita itu mengangguk membenarkan.

   "Nou....... kalau begitu, geen problem (tiada masalah)! Biar kami yang berjanji bahwa kalau memberi keterangan yang sejelasnya tentang kekuatan pasukan Mataram dan rencana mereka menyerbu Batavia, kamu berdua akan dibebaskan tanpa gangguan dan obat penawar untuk Nona Sulastri akan kami berikan!"

   "Bersumpahlah, tuan, agar kami mau percaya."

   Kata pula Aulastri.

   "Bersumpah? Wat bedoel je (apa maksudmu)?"

   Ki Warga yang ternyata pandai berbahasa Belanda segera menerangkan apa yang dimaksudkan Sulastri dengan bersumpah.

   "Oo, is dat zo (begitukah)? Baik, kami bersumpah akan memenuhi janji-janji kami tadi. Kalau kami berbohong, biarlah kami mati tenggelam bersama kapal kami!"

   Setelah selesai makan, seperti yang telah dijanjikan, Aji dan Sulastri memperoleh kebebasan berdua saja dalam sebuah bilik di kapal itu. Sebelum bicara, keduanya meneliti keadaan kamar itu. Setelah melihat semua penjuru dan merasa yakin bahwa pembicaraan mereka tidak disadap atau diintai, mulailah mereka bercakap-cakap dengan suara berbisik sehingga andaikata ada yang mendengarkan dari luar kamar sekalipun, pendengarnya tidak akan dapat menangkap suara mereka.

   "Gertakanmu kepada kapten itu tadi sehingga memaksanya bersumpah sungguh baik dan tepat sekali, Lastri. Dengan demikian tentu dia sekarang tidak ragu lagi bahwa kita memang menyimpan rahasia Mataram."

   Bisik Aji.

   "Akan tetapi sesungguhnya aku masih tidak mengerti, Mas Aji. Mengapa engkau katakana kepada mereka bahwa kita mengerti akan rahasia Mataram? Rahasia apakah itu?"

   Aji tersenyum.

   "Itu hanya siasatku saja, Lastri. Kalau kita benar-benar mengetahui akan rahasia Mataram, apa kau kira aku akan sudi membocorkan rahasia itu kepada mereka? Tidak, lebih baik mati dari pada mengkhianati Mataram. Akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu apa-apa, hanya kukatakan bahwa aku tahu akan besarnya kekuatan pasukan Mataram dan bahwa engkau tahu akan rencana penyerbuan Mataram ke Batavia."

   "akan tetapi kenapa? Untuk apa kebohongan itu?"

   "Itu hanya siasatku agar kita tidak dibunuh karena aku sudah terpaksa menyerah melihat engkau roboh pingsan dan mereka tawan."

   "Ahh, engkau berkorban untuk aku, kakangmas. Mengapa engkau menyerah dan tidak mengamuk dan kalau mereka terlalu kuat, tidak melarikan diri saja. Karena aku engkau tertawan pula."

   Kata Sulastri dan penyesalan ini sungguh-sungguh.

   "Ah, nimas, bagaimana mungkin aku melarikan diri dan membiarkan engkau terjatuh ke tangan manusia-manusia berwatak iblis itu? Aku menyerah dan aku segera bersiasat memberi harga yang tinggi sekali kepada kita, yaitu bahwa aku dan engkau tahu akan rahasia yang amat penting dari Mataram, rahasia itu penting sekali bagi Kumpeni. Siasatku berhasil. Mereka tidak berani mengganggu kita dan menghadapkan kita kepada Kapten De Vos."

   "Akan tetapi nenek genit itu meracuni aku sehingga kita sama sekali tidak berdaya. Andaikata mereka ingkar janji dan tidak menyerahkan obat penawar kepadaku, maka segala usaha untuk menolongku sia-sia saja, mas. Apa tidak lebih baik kita mengamuk saja, membunuh mereka semua dan engkau berusaha menyelamatkan diri?"

   "Dan engkau?"

   "Aku? Biarkan aku mati keracunan, aku tidak takut mati!"

   "Tidak mungkin! Dengar, aku sudah mengatur siasat lain, karena itu aku minta agar diberi waktu sampai besok pagi agar kita dapat berunding dan bergerak malam ini."

   "Apa yang kita lakukan, Mas Aji?"

   "Ketika kita berada di rumah Ki Warga, aku berhasil mendengar percakapan antara Maya Dewi dan pria jangkung itu. Aku tidak tahu siapa namanya."

   "Aku juga hanya mendengar orang-orang menyebutnya raden saja."

   Kata Sulastri.

   "Apa yang kau dengar?"

   "Maya Dewi menyerahkan obat penawar untukmu itu kepada jahanam itu!"

   "Eh, kenapa?"

   "Jahanam keparat itu agaknya tergila-gila kepadamu, nimas. Dia menginginkan dirimu dan dia minta obat penawar itu agar dia dapat memaksamu. Kalau obat penawar itu berada ditangannya berarti nyawamu berada di tangannya."

   "Si kunyuk babi anjing kurang ajar itu!"

   Sulastri memaki dan karena dalam amarahnya ia mengeluarkan suara keras, maka Aji cepat memberi isarat agar gadis itu tidak berteriak-teriak.

   "Lastri, tenang dan sabarlah. Dalam keadaan terancam seperti ini kita harus dapat bersikap tenang. Aku sengaja minta agar kita berdua mendapat kesempatan untuk berunding dan siasatku berhasil. Kita dapat bicara sekarang. Tunggu sebenatar!"

   Aji kembali memeriksa keadaan sekitar luar bilik kapal itu. Tidak ada orang mengintai. Dia kembali lagi, duduk dekat Sulastri dan melanjutkan pembicaraan dengan suara berbisik.

   "Malam nanti kita harus bergerak, harus bertindak cepat."

   "Apa yang akan kita lakukan?"

   "Kita harus membuat kekacauan di kapal ini malam nanti."

   "Bagus! Aku suka itu. Akan tetapi..... ah, racun di tubuhku membuat aku tidak mungkin mengerahkan tenaga sakti. Apa yang dapat kulakukan untuk membantumu, Mas Aji? Aku ingin sekali membantu. Berilah tugas padaku!"

   Sulastri bergairah sekali. Ia sudah hampir tidak tahan berada dalam keadaan tidak berdaya dan menjadi tawanan seperti itu.

   "Tugasmu penting sekali, Lastri. Untuk membuat suasana menjadi ribut dan kacau, engkau harus membuat kebakaran di kapal ini! Aku melihat anak buah kapal mengambil minyak dari bilik kecil di sudut sana itu. Agaknya bilik itu gudang umntuk menyimpan alat-alat, di antaranya minyak. Nah, kalau engkau dapat melempar api ke dalam bilik itu, pasti akan terjadi kebakaran dan suasana menjadi ribut dan kacau."

   Gadis itu mengangguk-angguk.

   "Itu mudah, aku dapat melakukannya. Akan tetapi sesudah itu bagaimana?"

   "Engkau sudah tahu pula bahwa Kapten De Vos itu merupakan orang penting dari Kumpeni Belanda dan agaknya amat berkuasa, dihormati semua orang dan juga ditaati. Bahkan Maya dewi dan orang penuh rahasia bernama Ki Warga itu tampaknya amat tunduk kepadanya. Nah, dalam kekacauan itu aku akan mencari kesempatan untuk menawan dan menyandera Kapten De Vos. Kalau usahaku itu berhasil, kita pasti dapat menuntut apa yang kita perlukan. Selanjutnya serahkan saja kepadaku. Engkau harus selalu dekat denganku setelah melakukan pembakaran itu. Dengan Kapten De Vos sebagai sandera, mereka pasti tidak akan berani bertindak sembarangan dan akan mematuhi semua tuntutan kita."

   (Lanjut ke Jilid 15)

   Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15

   Sulastri mengangguk-angguk dan sepasang alis yang kecil hitam berbentuk indah itu berkerut memikir. Kemudian ia bertanya.

   "Semua itu baik sekali, Mas Aji. Akan tetapi bagaimana seandainya rencana kita gagal? Andaikata aku tidak dapat melaksanakan pembakaran dan engkau tidak berhasil menyandera De Vos? Bagaimana? Mereka tentu akan memaksa kita untuk memberi keterangan tentang Mataram yang tidak kita ketahui sama sekali. Kalau begitu, bagaimana?"

   "Kalau kita gagal, masih ada harapan bagi kita. Selama mereka masih yakin bahwa kita berdua menyimpan rahasia tentang Mataram, aku yakin mereka tidak akan begitu bodoh untuk mengganggu kita. Rahasia itu masih dapat kita pergunakan sebagai perisai dan pelindung diri. Kita masih dapat mencari kesempatan dan akal lain. Kalaupun terpaksa kita harus bicara, kita dapat saja memberi keterangan secara ngawur. Kita dapat mengarang sesuka kita asal masuk di akal. Misalnya aku. Aku dapat mengatakan bahwa besar kekuatan pasukan Mataram ada lima puluh laksa (lima ribu) orang dan masih ada cadangannya sebanyak itu pula. Aku dapat mengatakan bahwa seluruh kadipaten di Nusa Jawa siap membantu Mataram dan banyak lagi yang dapat kukatakan untuk membuat Belanda menjadi panik."

   "Dan aku, bagaimana? Aku tidak mengerti tentang siasat perang!"

   Kata Sulastri bingung.

   "Ah, katakana saja bahwa balatentara Mataram akan dipecah menjadi empat bagian. Tiga bagian akan menyerang dari barat, selatan dan timur Batavia, sedangkan yang sebagian akan menyerang dengan menggunakan perahu-perahu dan mengepung di utara. Dengan demikian Batavia akan dikepung dari semua penjuru. Kalau ditanya tentang ransum, katakan saja rakyat di sekitar Batavia sudah siap membantu. Juga Banten akan datang pula menyerang. Dengan demikian Kumpeni Belanda akan menjadi semakin panik dan ketakutan. Akan tetapi semua keterangan ini tidak perlu kita ceritakan kalau keadaan kita tidak terpaksa sekali. Maka, usaha kita malam nanti harus berhasil baik."

   Mereka lalu mengatur siasat dan merundingkan dengan teliti. Agar tidak mendatangkan kecurigaan kepada pihak musuh, setelah mandi dan makan malam, mereka tinggal di bilik masing-masing yang memang disediakan untuk mereka. Bilik kecil mereka berdampingan.

   Malam itu gelap dan sunyi. Kapal yang berlabuh tak jauh dari pantai itu bergoyang-goyang sedikit karena air laut pasang. Kapten De Vos mengadakan rapat dengan Ki Warga, Nyi Maya Dewi, Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad dan Raden Banuseta. Mereka membicarakan tentang hasil para anggauta jaringan mata-mata Kumpeni Belanda dan dalam hal ini yang banyak memberi keterangan adalah Ki Warga sebagai pemimpin jaringan mata-mata dan Maya Dewi yang bertugas sebagai pengawas dan banyak melakukan peninjauan di daerah-daerah. Juga dalam kesempatan itu Kapten De Vos memuji siasat Maya Dewi yang telah meracuni Sulastri sehingga dua orang muda yang sakti dan tangguh itu dapat dibuat tidak berdaya dan dipaksa untuk membuka rahasia gerakan Mataram.

   "Siasatmu itu benar-benar hebat, Maya. Keadaan mereka berdua sudah tersudut dan terpaksa, mau tidak mau mereka tentu akan membuka rahasia itu. Betapa setiapun mereka kepada Mataram, tentu mereka lebih sayang kepada nyawa mereka. Ha-ha-ha, kita akan berhasil! Kalau kita sudah tahu akan kekuatan dan rencana siasat Mataram menyerang Batavia, akan mudah bagi kita unuk menghancurkan mereka!"

   Kapten De Vos yang sudah mulai mabok anggur sehingga mukanya yang biasanya sudah kemerahan itu kini menjadi merah sekali, tertawa-tawa gembira. Tiba-tiba suara yang tenang serius Ki Warga menghentikan suara tawa Kapten De Vos.

   "Saya harap tuan kapten tidak terlalu gembira lebih dulu."

   Kapten De Vos menghentikan tawanya dan pada saat itu, Hendrik De Haan memasuki ruangan itu.

   "Aha, Hendrik, kebetulan kamu datang. Duduklah dan ikut berunding. Mungkin kami membutuhkan pendapatmu!"

   Raksasa itu lalu menyeret sebuah kursi dan duduk di tempat yang lowong, di depan Ki Harya Baka Wulung, terhalang meja. Tanpa diperintah dia meraih botol minuman anggur dan menuangkan ke dalam sebuah gelas besar yang kosong, lalu minum dengan lahap sekali. Melihat sikap itu, kapten De Vos dan yang lain-lain tidak memperdulikannya. Memang demikianlah sifat dan watak raksasa ini, atau watak pelaut kulit putih pada umumnya, keras dan kasar.

   "Tuan Warga, apa yang kau katakan tadi? Kenapa kamu mencegah kami terlalu gembira? Apakah masalahnya?"

   "Begini, tuan kapten. Tuan bergembira karena dua orang tawanan itu, Lindu Aji dan Sulastri, akan membuka rahasia Mataram, memberi keterangan tentang kekuatan balatentara Mataram dan rencana siasat mereka menggempur Batavia sebagai pengulangan serangan mereka pertama yang berhasil kita gagalkan."

   "Ya, tentu saja. Apa salahnya itu?"

   "Tidak salah, tuan. Akan tetapi kalau bergembira sekarang, itu terlalu terburu-buru namanya. belum waktunya untuk bergembira."

   "Hei, Tuan Warga. Apa maksudmu?"

   "Saya hanya hendak bertanya, tuan. Bagaimana seandainya besok pagi itu kedua orang tawanan kita memberi keterangan yang palsu? Keterangan yang sama sekali tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan? Kalau mereka itu berbohong, bukankah pihak kita yang akan menderita rugi besar?"

   Mendengar ucapan itu, semua orang tertegun dan baru ingat akan kemungkinan besar itu. Kapten De Vos termenung dan tampak bingung dan khawatir. Kemudian dia mengepal tinju dan memukul meja.

   "Brakk! God Verdomme, zeg!"

   Dia memaki.

   "Benar sekali omonganmu itu, Tuan Warga. Untung

   kamu mengingatkan kami akan kemungkinan itu. Natuurlijk (tentu saja), bisa saja mereka

   berbohong, bahkan lebih banyak kemungkinannya mereka itu berbohong! Lalu bagaimana

   baiknya, Tuan Warga?"

   "Mudah saja mengatasinya, tuan kapten. Besok pagi biarkan mereka menerangkan tentang rahasia itu, akan tetapi kita tidak boleh membebaskan mereka dulu. Kita tunggu sampai penyerangan Mataram itu benar terjadi. Kalau memang benar seperti yang mereka laporkan, nah, baru kita bebaskan mereka. Kalau sebaliknya laporan itu palsu dan tidak benar, kita hukum dan bunuh mereka."

   "Oho, bagus, bagus! Kami setuju dan sebaiknya diatur begitu. Kamu memang pandai, Tuan Warga. Maya, besok engkau dan para pembantumu yang baru ini, Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad, harus siap siaga dan menjaga kalau-kalau dua orang tawanan itu akan memberontak. Kita biarkan mereka memberikan laporan, akan tetapi tetap menahan mereka sampai terbukti benar tidaknya laporan mereka seperti dikatakan Tuan Warga tadi."

   "Baik, tuan."

   Kata Nyi Maya dewi patuh.

   Tiba-tiba Ki Harya Baka Wulung berseru nyaring.

   "Aku tidak setuju!"

   Tentu saja semua orang terkejut dan memandang kepadanya.

   "Apa maksudmu dengan ucapan itu, Tuan Harya?"

   Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanya Kapten De Vos sambil memandang penuh selidik dengan sepasang matanya yang kebiruan.

   "Tuan Kapten, aku Ki Harya Baka Wulung adalah seorang tokoh besar Madura yang gagah perkasa. Bangsa kami terkenal keras namun terbuka dan sekali berjanji, akan memenuhinya dengan taruhan nyawa. Aku tidak suka kalau diajak utuk mengingkari janji, biarpun terhadap dua orang muda yang menjadi musuhku. Aku tidak setuju dengan cara yang curang itu."

   Mendengar ucapan yang nadanya keras itu, Hendrik De Haan yang menjadi pengawal pribadi dan jagoan Kapten De Vos menjadi marah. Dia bangkit berdiri mengepal tinjunya yang besar diamangkan ke arah Ki Harya Baka Wulung.

   "Harya Baka Wulung!"

   Dia berteriak dengan suara cedal lalu melanjutkan kata-kata dalam bahasa Belanda karena tidak mahir berbahasa daerah. Ki Warga segera menyalin dalam bahasa daerah agar dapat dimengerti Ki Harya Baka Wulung.

   "Harya Baka Wulung, kamu mengaku tokoh Madura yang gagah perkasa akan tetapi buktinya Madura sudah jatuh ke tangan Mataram. Kamu sekarang ini menjadi pembantu Kumpeni Belanda dan kewajibanmu adalah untuk menaati semua perintah Kapten De Vos! Tidak sepatutnya kamu bersikap kasar seperti ini!"

   Terbelalak sepasang mata Ki Harya Baka Wulung mendengar terjemahan Ki Warga itu. Diapun mengamangkan tinjunya ke arah muka raksasa bule itu dan membentak.

   "Hendrik De Haan! kaukira aku takut kepadamu? Kamu hanya tukang pukul murahan! Ketika aku bergabung dngan Nyi Maya Dewi, aku hanya mau karena ingin melihat Mataram jatuh, bukan berarti aku menjadi antek Belanda. Aku hanya mau bekerja sama untuk menjatuhkan Mataram!"

   Hendrik De Haan tidak dapat bicara bahasa daerah, akan tetapi karena dia sudah lama juga mengikuti Kapten De Vos, kalau hanya mendengar saja dia dapat mengerti artinya. Maka, mendengar jawaban itu, dia lalu meninggalkan kursinya, berdiri di tengah ruangan itu dan menantang. Dia hanya menggapai dengan tangan kiri dan mengamangkan tinju kanan ke arah Ki Harya Baka Wulung. Tokoh Madura itu adalah seorang yang berwatak keras, maka diapun segera melompat menghampiri. Dua orang ini sudah berhadapan dengan mata melotot. Biarpun Ki Harya Baka Wulung sudah berusia hampir tujuh puluh tahun, dia masih tampak gagah dan kokoh dengan tubuhnya yang tinggi tegap. Walaupun tubuhnya tidak sebesar tubuh Hendrik, namun dia dapat disebut seorang bertubuh raksasa di antara bangsanya. Kumisnya yang tebal itu seolah berdiri saking marahnya.

   "Majulah, setan bule!"

   Ki Harya Baka Wulung menantang.

   "Paman Harya, jangan membunuh orang!"

   Nyi Maya Dewi berseru khawatir.

   "Aku hanya ingin menghajar si keparat ini!"

   Kata Ki Harya Baka Wulung.

   Sementara itu, Hendrik De Haan yang sudah agak banyak minum anggur dan hawa panas sudah mulai naik ke kepalanya, tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia sudah menerjang ke depan, menyerang bagaikan seekor biruang. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung adalah seorang sakti yang memiliki kemahiran pencak silat yang sudah matang. Melihat serangan kedua tangan dari kanan kiri atas itu, diapun menangkis dari dalam dengan kedua lengannya.

   "Dukkk!"

   Dua pasang lengan bertemu dan pada saat itu, kaki kanan Harya Baka Wulung menyapu kaki lawan dan pada saat yang sama, lengan kanannya yang menangkis dan sikunya menhunjam ke depan dengan kuat sekali.

   "Desss....... dukkk!"

   Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Hendrik terjengkang. Akan tetapi dia bukan orang lemah.

   Ketika tubuhnya terdorong ke belakang dan kakinya terjegal, dia malah membuang diri ke belakang dan berjungkir balik sehingga dia tidak sampai terbanting roboh. Hantaman siku kanan Harya Baka Wulung yang mengenai dadanya tadi seolah tidak dirasakannya. Hendrik menjadi marah dan sambil mengeluarkan gerengan dari mulutnya yang berbau arak itu, dia menerjang lagi. Kedua lengannya yang besar panjang itu kini tidak memukul melainkan bagaikan dua ekor ular cepatnya tahu-tahu telah menangkap kedua lengan lawan. Gerakannya cepat sekali karena dia mempergunakan ilmu gulat yang pernah dipelajarinya. Harya Baka Wulung terkejut dan tidak mampu menghindar, tahu-tahu kedua lengannya telah ditangkap dan raksasa bule itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengangkat tubuh Harya Baka Wulung dan membantingnya.

   Hendrik biasa berlatih mengangkat besi yang beratnya dua kali berat tubuh Harya Baka Wulung, maka dia merasa yakin akan mampu mengangkat tubuh lawan itu tinggi-tinggi kemudian dibantingnya agar tulang-tulang itu menjadi patah-patah. Akan tetapi raksasa Belanda itu terlalu memandang rendah lawannya. Harya Baka Wulung seorang tokoh besar Madura yang memiliki banyak aji kesaktian dan dia merupakan seorang ahli tapa yang telah menguasai banyak ilmu yang hebat-hebat. Ketika dia maklum akan niat lawan, yaitu mengangkatnya ke atas, cepat dia mengerahkan Aji Selatantra.

   Dengan aji yang dahsyat itu, tubuh Harya Baka Wulung seolah menjadi seberat gunung batu! Hendrik de Haan mengerahkan seluruh tenaganya, namun sia-sia, sama sekali dia tidak mampu mengangkat tubuh kakek tua itu! Dia bekah-bekuh, menahan napas dan mengerahkan segenap tenaganya, otot-ototnya sampai menggembung, tulang-tulangnya berkerotokan, bahkan hawa dalam perutnya yang didorong keluar sehingga terdengar suara memberebet! Namun, setelah ber ah-ah-uh-uh beberapa lama tetap saja tubuh lawan tidak dapat diangkatnya.

   Ketika kedua lengannya bagian atas siku itu dipegang lawan, kedua tangan Ki Harya Baka Wulung berada di sebelah dalam. Kini, dia menggerakkan kedua tangan ke depan dan dia mengangkap pinggang Hendrik. Dia mengerahkan tenaga Cantuka Sakti yang luar biasa dahsyatnya itu dan sambil mengeluarkan suara nyaring dia mengangkat tubuh Hendrik ke atas.

   

Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini