Alap Alap Laut Kidul 14
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
"Kok-kok-kokkk!"
Terdengar suara berkokok itu dari dalam perutnya dan tubuh Hendrik yang tinggi besar itu telah diangkatnya ke atas kepalanya.
"Paman Harya, jangan membunuh!"
Kembali Maya dewi berteriak.
Mendengar teriakan ini, Harya Baka Wulung teringat. Diapun bukan seorang bodoh yang menurutkan nafsu amarah. Dia tahu bahwa kalau dia membunuh, bukan saja nyawanya terancam oleh Kapten De Vos dan anak buahnya yang mempunyai senjata api, akan tetapi juga usahanya bekerja sama dengan Belanda untuk membalas dendamnya kepada Mataram akan gagal. Maka, dia tidak membanting tubuh raksasa itu. Kalau dibantingnya dengan tenaga Cantuka Sakti tentu akan remuk tulang-tulang tubuh itu atau akan pecah kepalanya. Dia lalu melemparkan saja tubuh Hendrik ke atas.
"Bressss.......!"
Tubuh itu melayang ke atas lalu terbanting jatuh ke atas lantai kapal. Memang tidak sampai tewas atau patah-patah tulangnya, namun cukup membuat kepalanya pening dan pinggulnya nyeri, perutnya mulas.
Hendrik merasa malu sekali dan hal ini membuatnya marah besar. Biarpun pandang matanya masih berkunang, namun dia segera mencabut sebuah pistol besar yang terselip di pinggangnya dan siap untuk menembakkan pistol itu ke arah Harya Baka Wulung. Akan tetapi, datuk besar Madura ini sudah siap. Dia sudah mengerahkan ajinya yang amat dahsyat yaitu Aji Kukus Langking (Asap Hitam). Begitu dia mendorongkan kedua tangannya, asap tebal hitam menyambar ke arah Hendrik dan terdengar kakek itu berseru dengan suara menggetar mengandung penuh wibawa.
"Lepaskan senjata api itu!"
Terjadi keanehan. Bentakan yang mengandung kekuatan sihir itu membuat Hendrik melepaskan pistolnya sebelum dia sempat menarik pelatuknya. Pistol jatuh berdetak di atas lantai dan asap hitam itu membuatnya terhuyung ke belakang sehingga dia terjengkang dan terjatuh.
Ki Harya Baka Wulung menarik kembali ajinya. Asap hitam lenyap dan tubuh Hendrik terkapar di atas lantai kapal dan muka berubah menghitam seperti hangus. Akan tetapi. dia masih untung karena Harya Baka Wulung tidak berniat membunuhnya sehingga tubuhnya tidak sampai melepuh terbakar, hanya hangus seolah-olah dia berjemur matahari dari pagi sampai petang!
Ketika Harya Baka Wulung memandang ke sekeliling, kiranya dia sudah terkepung belasan orang anak buah kapal yang menodongkan bedil mereka ke arahnya. Dengan sikap tenang Harya Baka Wulung menghadapi Kapten De Vos dan berkata.
"Aku tidak membunuhnya, dan aku ingin bekerja sama dengan Kumpeni untuk mengalahkan Mataram, bukan untuk menjadi antek Belanda, juga bukan untuk bermusuhan dengan Belanda!"
Ki Warga cepat berkata kepada Kapten De Vos dalam bahasa Belanda.
"Tuan Kapten, orang ini amat berguna bagi kita."
Kapten De Vos segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menghentikan penodongan mereka dan mengundurkan diri keluar dari ruangan itu. Para anak buah itu untuk kedua kalinya, menggotong tubuh Hendrik dan meninggalkan ruangan itu.
Kapten De Vos tersenyum lebar, memandang Harya Baka Wulung.
"Kami mengerti maksudmu, Tuan Harya. Maafkan kelancangan Hendrik tadi. Memang Maya Dewi sudah melaporkan kepada kami bahwa Tuan Harya dan Tuan Somad ingin bekerja sama dengan kami, bukan menjadi pegawai kami. Silahkan duduk kembali, Tuan Harya. Kita bicara dan berunding sebagai sahabat, bukan sebagai atasan kepada bawahan. Silakan."
Kapten De Vos adalah seorang pejabat yang bertugas sebagai intelejen Belanda dan dia memang sudah mendapat pendidikan mendalam sehingga dia mampu menyesuaikan diri demi keuntungan Kumpeni. Menghadapi sikap sabar dan ramah ini, mereda kemarahan Harya Baka wulung dan dia pun
duduk kemabli ke atas kursinya yang tadi.
Kapten De Vos menuangkan sendiri anggir ke dalam gelas di depan Harya Baka Wulung, lalu dia mengajaknya minum anggur sambil berkata.
"Marilah kita minum anggur ini sebagai pernyataan persahabatan ini dan sebagai permintaan maaf kami atas kelancangan Hendrik tadi."
Harya Baka Wulung menyambut dan minum anggurnya. Suasana menjadi akrab kembali.
"Tuan Harya, kalau boleh kami bertanya, kenapa kamu begitu membenci Mataram? Apakah karena Mataram telah menaklukkan seluruh Madura dan sekarang kamu ingin membebaskan Madura dari kekuasaan Mataram?"
Tanya Kapten De Vos.
Harya Baka Wulung menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Kekalahan Madura terhadap Mataram tidak perlu dipersoalkan lagi. Madura telah membuat perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena memang kalah kuat maka dapat ditundukkan, kini malah dapat dipersatukan di bawah pimpinan Pangeran Cakraningrat yang berkedudukan di Sampang, diangkat oleh Sultan Agung. Pangeran Cakraningrat itu dahulunya adalah Raden Praseno, putera Bupati Arisbaya, dan dia adalah muridku. Tidak, tidak ada alasan bagiku untuk mendendam kepada Mataram karena kekalahan Madura."
"Kalau begitu, kenapa kamu begitu membenci Mataram sehingga bersedia bekerja sama dengan kami untuk menjatuhkan Mataram?"
Desak Kapten De Vos. Dia merasa perlu mengetahui latar belakang orang yang akan bekerja sama dengan Kumpeni menghadapi Mataram.
Mendengar pertanyaan itu, Harya Baka Wulung seperti diingatkan kembali akan segala suka dukanya, terutama sekali kedukaan yang teramat besar sehubungan dengan tewasnya putera tercinta. Dia hanya mempunyai seorang putera yang diberi nama Raden Dibyasakti, seorang pemuda yang menurut penilaiannya sendiri amat tampan gagah dan patut dibanggakan. Seluruh cinta kasihnya tercurah kepada puteranya itu. Akan tetapi puteranya itu tewas ketika perang sedang panas-panasnya terjadi antara Madura dan Mataram. Kematian Raden Dibyasakti itu menghancurkan hatinya dan menanamkan bibit dendam kebencian yang teramat besar terhadap Mataram umumnya dan Sultan Agung pada khususnya. Dia harus membalas dendam kematian puteranya itu, apapun yang terjadi! Setelah menghela napas panjang, Harya Baka Wulung mejawab pertanyaan Kapten De Vos itu.
"Sebetulnya ini urusan pribadi. Aku sudah bersumpah dalam hati untuk membalas kepada Sultan Agung untuk dengan cara apapun juga menghancurkan Mataram. Mataram telah merenggut nyawa puteraku yang tunggal, telah menghancurkan semua kebahagiaanku."
Melihat wajah Harya Baka Wulung yang penuh duka dan kini kakek itu menunduk lesu, suasana menjadi hening.
Akhirnya Kapten De Vos berseru.
"Mari kita minum lagi. Kita lupakan kenangan masa lalu dan mari kita bersiap untuk menghancurkan Mataram, musuh kita bersama!"
Mereka minum anggur lagi. Setelah ketegangan mereda, De Vos bertanya kepada Harya Baka Wulung.
"Tuan Harya, kalau tuan tidak setuju untuk tetap menahan dua orang tawanan sampai terbukti bahwa laporan mereka benar, lalu kalau menurut tuan, apa yang harus kita lakukan agar kita tidak sampai menderita rugi oleh kebohongan mereka?"
"Kalau mereka besok pagi memberi keterangan, kita harus membebaskan mereka seperti yang telah dijanjikan. Untuk mencegah agar mereka tidak berbohong, kita minta mereka bersumpah lebih dulu sebelum memberi keterangan mereka. Orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan seperti mereka pasti tidak akan mau melanggar sumpah sendiri. Kalau hal ini masih meragukan, kita beri mereka racun yang akan bertahan sampai saat terjadinya penyerbuan Mataram seperti yang mereka katakan. Setelah ternyata keterangan mereka kelak benar, mereka kelak boleh datang minta obat penawar kepada kita."
Kapten De Vos melihat betapa semua pembantunya mengangguk-angguk menyetujui siasat itu, maka diapun berkata gembira.
"Bagus, bagus sekali. Dengan begitu, kita tidak melanggar janji, juga kita tetap mengikat mereka sehingga mereka pasti tidak berani berbohong!"
Dengan gembira dia lalu mengajak semua orang untuk menambah minuman anggur.
Sementara itu, setelah menunggu cukup lama, membiarkan musuh-musuh mereka berpesta dan makan minum sepuasnya, sesuai dengan yang sudah mereka atur dalam pembicaraan mereka siang tadi, Sulastri menerima ketukan pada dinding kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Aji.
Ketukan tiga kali, berarti ia harus mulai dengan tugasnya. Ia membalas dengan ketukan tiga kali sebagai isarat bahwa ia telah mengerti dan siap melaksanakan tugasnya. Ia mengintai dari balik daun pintu kamarnya. Ada dua orang penjaga duduk di depan , di antara kamarnya dan kamar Aji. Dua orang kulit putih dan bertubuh tinggi kurus, bermuka merah dan hidung mereka panjang seperti hidung Petruk. Sulastri segera memasang aksi, tersenyum manis sekali ketika ia membuka pintu kamarnya dan menghampiri dua orang anak buah kapal yang memegang bedil itu. Melihat gadis cantik itu tersenyum-senyum dan menghampiri mereka dengan langkah yang lemah gemulai, dua orang laki-laki kulit putih itu tentu saja merasa senang, Mereka juga tersenyum dan menyambut Sulastri dengan bahasa daerah yang patah-patah.
"Selamat malam, nona manis. Belum tidurkah?"
Tegur seorang.
"Nona manis hendak pergi ke manakah?"
Tanya yang kedua.
Sulastri memperlebar senyumnya sehingga sinar lampu gantung menimpa deretan giginya yang putih mengkilap.
"Aku kesepian sekali, tuan-tuan. Aku ingin mengajak kalian bercakap-cakap."
Kata Sulastri dan sengaja ia menggunakan jari-jari tangannya yang lentik untuk menyentuh tangan mereka. tentu saja dua orang anak buah kapal itu yang seperti hmpir semua pelaut, selalu haus akan hiburan dan gila perempuan.
"Ah, kami senang sekali, nona!"
Kata yang kedua lebih berani. Tangannya hendak merangkul. Akan tetapi Sulastri melangkah mundur lalu menoleh ke kanan kiri dan berkata lirih.
"Jangan di sini, tuan. Aku takut dan malu kalau ketahuan orang lain. Mari kita bicara dalam kamarku saja."
Dua orang anak buah kapal yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu saling pandang, terbelalak dan tersenyum. Hati mereka melonjak dan rasanya ingin bersorak gembira.
Ketika melihat gadis itu dengan lenggang memikat sehingga pinggulnya menari-nari melangkah menuju kembali ke kamarnya, dua orang itu seperti berebut mengikuti dari belakang. Karena seluruh perhatian mereka tertuju kepada tubuh belakang Sulastri yang menggairahkan, mereka sama sekali tidak tahu bahwa pintu kamar sebelah terbuka dan sesosok bayangan berkelebat keluar dari kamar itu. Ketika dua orang penjaga itu tiba di luar kamar Sulastri yang daun pintunya terbuka lebar, Sulastri berkata dengan manis.
"Masuklah saja, tuan-tuan, jangan ragu dan malu!"
Dua orang itu melangkah masuk dan pada saat itu, Aji melompat ke belakang mereka. Kedua tangannya menyambar ke arah tengkuk dua orang anak buah kapal itu.
"Ngek-ngek!"
Dua orang itu terkulai. Sulastri cepat menyambut bedil mereka yang terlepas dari pegangan agar tidak menimbulkan suara gaduh. Aji sudah menangkap lengan kedua orang itu sehingga tidak sampai terguling roboh. Dia lalu menyeret dua tubuh yang sudah tak dapat bergerak karena pingsan itu ke dalam kamar. Menggunakan kain alas pembaringan yang dirobek, aji mengikat kaki tangan kedua orang itu dan menyumbat mulut mereka. Kemudian, tanpa mengeluarkan suara, kedua orang muda itu berindap ke luar.
Mereka tidak perlu bicara lagi karena siang tadi mereka telah mengatur rencana dengan matang. Setelah membuat dua orang penjaga itu tidak berdaya, Sulastri menyelinap dan menuju ke buritan kapal. Sedangkan Aji sudah menyelinap dan bersembunyi di balik tihang. Sulastri tiba di luar bilik yang menjadi gudang kapal itu. Ia mengambil lampu gantung yang berada di luar bilik, kemudian mendorong daun jendela dengan kekuatan tangannya.
Ia tidak berani mengerahkan tenaga sakti karena hal itu akan menimbulkan nyeri hebat dalam dadanya. Akan tetapi kedua tangannya yang terlatih itu memiliki tenaga otot yang cukup kuat untuk membuat daun jendela yang tidak begitu kokoh itu terbuka. Setelah jendela terbuka, ia lalu melemparkan dan membanting lampu gantung ke dalam gudang. Terdengar ledakan kecil dan gudang itu segera terbakar. Minyak yang tersimpan dalam gudang itu segera disambar api dan bernyala besar. Setelah berhasil membakar gudang, Sulastri cepat berlari dan terengah-engah ia mendekam di samping Aji, di belakang tihang besar.
"Brand! Brand! (Kebakaran, kebakaran!)"
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dan banyak kaki berlari-larian.
Mereka yang sedang berpesta terkejut bukan main. Mereka yang tidak mengerti bahasa Belanda, saling pandang dengan heran. Ki Warga cepat memberitahu mereka.
"Ada
kebakaran!"
"Cepat, kita lihat! Maya Dewi, Tuan Harya dan Tuan Somad, juga kamu Tuan Warga dan Tuan Banuseta, pergilah kamu ke kamar dua orang tawanan itu!"
Kata Kapten De Vos.
Mereka semua menghambur ke luar dari ruangan di mana mereka tadi berpesta. Lima orang pembantu itu berlari ke arah dua buah kamar di mana dua orang tawanan itu berada, sedangkan De Vos sendiri berlari ke arah buritan kapal karena di sanalah terjadinya kebakaran.
Semua anak buah kapal sibuk berusaha untuk memadamkan kebakaran. Sebetulnya, dengan tenaga banyak orang, kebakaran tentu mudah dipadamkan. Akan tetapi karena persediaan minyak dalam bilik gudang itu terbakar, maka agak sukarlah kebakaran itu dipadamkan, Kapten De Vos yang marah-marah memberi petunjuk dan aba-aba kepada anak buahnya. Dia berjalan mondar-mandir sambil berteriak memberi komando.
Tiba-tiba, lengan kanannya ditangkap sebuah tangan yang amat kuat dan lengan itu ditelikung ke belakang tubuhnya. Sebelum dia sempat meronta, sebatang ujung pisau belati yang runcing tajam menempel dilehernya. Aji yang menangkap kapten itu berseru.
"Diam, jangan bergerak, atau lehermu akan kupenggal!"
Sulastri yang berada di dekat Aji, cepat mengambil pistol yang tergantung di pinggang Kapten De Vos dan membuang senjata api itu ke luar kapal. Kemudian mereka berdua mengundurkan diri ke pagar kapal. Aji menarik dan memaksa De Vos ikut dengan menyeretnya. Sementara itu, lima orang pembantu yang berlari menuju je dua buah kamar tawanan, tentu saja menjadi terkejut melihat dua orang penjaga berada di kamar Sulastri dalam keadaan terikat dan tersumbat mulut mereka, sedangkan dua orang tawanan itu tidak tampak. Ki Warga cepat membebaskan mereka dan bertanya apa yang telah terjadi.
"Perempuan itu....... ia memanggil kami dan tahu-tahu kami dipukul dari belakang dan tidak ingat apa-apa lagi. Ketika kami siuman, kami telah berada di sini dalam keadaan begini."
Dua orang itu bercerita.
"Tawanan lolos! Tentu mereka yang melakukan pembakaran itu. Mari cepat keluar dan cari mereka!"
Kata Ki Warga. Semua orang berlari keluar. Mereka berlari ke arah buritan dan membantu mereka yang memadamkan api. Tak lama kemudian api dapat dipadamkan.
"Di mana Kapten de Vos?"
Tanya Ki Warga. Barulah semua orang merasa heran dan panic. Pimpinan mereka itu tidak tampak batang hidungnya, pada hal tadi sibuk memimpin anak buahnya memadamlan api. Tiba-tiba mereka mendengar suara yang nyaring yang datangnya dari bagian tengah di atas dek itu.
"Heii, kalian Semua lihatlah! kapten De Vos berada di sini!"
Semua orang berlarian menuju kearah suara dan setelah tiba di dekar tihang layar besar mereka tertegun, berdiri mematung dengan mata terbelalak. Di sana, dekat pagar di pinggir, Kapten De Vos berdiri tak berdaya dengan muka pucat. Di belakangnya berdiri Lindu Aji dan Sulastri, keduanya memegang sebatang pisau belati yang runcing dan tajam. Aji menempelkan belatinya di leher De Vos sedangkan Sulastri menodongkan belatinya di lambungnya! Melihat ini, para anak buah kapal sudah menodongkan bedil mereka ke arah dua orang tawanan itu, akan tetapi Aji cepat membentak.
"Lepaskan bedil kalian atau kami akan membunuh Kapten De Vos lebih dulu!"
Dia dan Sulastri menekan pisau belati yang mereka rampas dari dua orang penjaga tadi lebih kuat sehingga ujung pisau yang runcing itu mulai menembus kulit dan kulit di leher dan lambung terluka dan mengeluarkan darah.
"Stop! Lepaskan semua bedil itu, kalian goblok!!"
Kapten De Vos berteriak kepada anak buahnya. Anak buah kapal itu tak dapat berbuat lain kecuali menaati perintah atasan mereka. Kalau mereka nekat menembak, tentu Kapten De Vos akan mati dan kalau hal ini terjadi, berarti malapetaka besar bagi mereka! Ditangkapnya De Vos oleh dua orang tawanan itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Terpaksa mereka melepaskan bedil masing-masing ke atas dek.
Nyi Maya Dewi berkata dan suaranya terdengar penuh ancaman.
"Lindu Aji, apa yang kaulakukan ini? Bukankah kita sudah berjanji bahwa engkau besok akan melaporkan keterangan kepada kami dan sebagai gantinya kami akan membebaskan kalian dan memberi obat penawar kepada Sulastri yang akan mati tersiksa beberapa hari lagi?"
"Maya Dewi, siapa percaya akan janji-janji kalian? Sekarang bukan saatnya bagi kalian menuntut. Bukan kalian yang berhak menentukan, melainkan kami! Kalian harus memenuhi permintaan kami sebagai pengganti nyawa Kapten De Vos!"
Melihat beberapa orang di antara mereka ada yang membuat gerakan seolah hendak menyerang, Aji berteriak lantang.
"Jangan bergerak atau aku akan memenggal leher Kapten De Vos! Jangan kira bahwa kami tidak akan berani melakukan itu. Kami akan membunuhnya dulu kemudian mengamuk sampai mati!"
"Tahan.......!"
Ki Warga berseru.
"Aji, apa yang kaukehendaki? Akan tetapi bersumpahlah dulu bahwa engkau akan membebaskan Kapten De Vos kalau kami memenuhi permintaanmu."
"Baik, aku bersumpah akan membebaskan Kapten De Vos kalau kalian memenuhi semua permintaan kami."
Kata Aji.
"Permintaan kami yang pertama, serahkan obat penawar bagi Sulastri!"
Berkata demikian, Aji memandang kepada Nyi Maya Dewi. Dia tahu bahwa obat itu ada pada kekasih wanita itu yang kini berdiri di sebelah kiri Maya Dewi.
Dia akan tahu bahwa kalau obat itu diberikan oleh Maya Dewi, berarti obat itu palsu. Ki Warga dan semua orang kini menoleh dan memandang kepada Maya Dewi. mereka tahu bahwa yang dapat memberikan obat yang diminta itu hanyalah Maya Dewi.
Nyi Maya Dewi balas memandang Aji dan sikapnya tenang saja. Hal ini menunjukkan bahwa ia adalah N seorang wanita yang banyak pengalaman, licik dan tidak mudah gugup.
"Akan tetapi, Aji. Aku tidak dapat menyerahkan obat itu kepadamu di sini. Obat penawar itu kusimpan di daratan, yaitu di Tegal di rumah Ki Warga."
"Hemm, Nyi Maya Dewi, tidak perlu lagi kau berbohong. Aku tahu pasti bahwa obat penawar itu ada padamu. Hayo cepat berikan! Ataukah aku harus menyiksa Kapten De Vos lebih dulu?"
Aji sengaja menekan pisau belati itu di leher De Vos sehingga kapten itu berteriak.
"Ben je gek, Maya (Gilakah kamu, Maya)? Hayo cepat berikan obat penawar itu kepadanya!"
Maya Dewi tampak bingung dan ia memandang kepada banuseta. Terpaksa ia menangguk memberi isyarat kepada pria itu dan berkata lirih.
"Berikanlah, Raden."
Banuseta mengerutkan alisnya dan memandang kepada Sulastri. Dia tidak rela melepaskan kesempatan untuk menguasai gadis yang digandrunginya itu.
"Akan tetapi....... Maya.......
"
"Tidak ada tapi!"
Kapten De Vos membentak marah.
"Godverdomme, zeg! Berikan obat itu atau kuperintahkan orang-orangku untuk menembak kepalamu!"
Mendengar bentakan ini, Banuseta menjadi pucat mukanya dan dia segera merogoh ke balik ikat pinggangnya, mengeluarkan sebuah bungkusan kain kecil dan menyodorkannya kepada Sulastri. Akan tetapi seperti yang sudah ia rencanakan bersama Aji, Sulastri tidak mau menerimanya, tidak mau memberi kesempatan dirinya ditangkap.
"Letakkan di atas lantai dekat sini!"
Perintah Aji.
Banuseta menurut karena Kapten De Vos memandang kepadanya dengan mata mendelik dan memerintah. Dia meletakkan bungkusan obat penawar itu di atas lantai di depan Aji.
"Tuan Kapten, sekarang perintahkan Maya Dewi mengembalikan keris dan pedang kami yang dirampasnya."
Kata Aji.
"Kembalikanlah, Maya dan cepat!"
Perintah De Vos.
Maya Dewi tidak berani membangkang. Ia mengeluarkan Pedang Nogo Wilis milik Sulastri dan Keris Nogowelang milik Aji, meletakkan dua buah pusaka, itu di atas lantai dekat bungkusan obat penawar.
"Lastri, ambillah semua itu."
Kata Aji.
Sulastri melangkah maju, dengan waspada ia mengambil bungkusan obat penawar dan menyimpan di ikat pinggangnya, kemudian menyerahkan Keris Nogo Welang kepada Aji dan menggantung sarung pedang Nogo Wilis di ikat pinggangnya. Kedua orang muda itu lalu membuang pisau belati dan kini memegang pusaka masing-masing untuk menodong Kapten De Vos dan melindungi diri sendiri.
Karena Kapten De Vos benar-benar berada dalam kekuasaan Aji dan Sulastri, dan keselamatan nyawanya terancam, maka biarpun di situ hadir orang-orang sakti seperti Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad, Nyi Maya Dewi, Ki Warga, Raden Banuseta, Hendrik dan para perajurit, mereka tidak berani berkutik. Bahkan Aki Somad dan Harya Baka Wulung juga tidak berani membuat ulah atau mencoba mempergunakan aji sihir mereka karena mereka maklum betapa saktinya kedua orang muda itu, terutama sekali Lindu Aji.
"Kapten, cepat perintahkan menurunkan perahu kecil itu!"
Kata Aji kepada tawanannya.
"Juga sediakan tangga tali untuk turun!"
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perintah itu diteriakkan Kapten De Vos. Setelah perahu diturunkan ke air dan tangga tali dipasang, Aji memberi isarat kepada Sulastri untuk menurunkan tangga tali dan masuk ke dalam perahu kecil yang sudah diturunkan di sisi perahu besar.
Kemudian dia berkata kepada Nyi Maya Dewi dengan nada suara mengancam.
"Kami akan menyandera Kapten ini. Nanti kalau ternyata bahwa obat penawar yang kauberikan itu manjur dan menyembuhkan Sulastri, kami pasti akan membebaskan dia. Kalau ternyata engkau menipu kami dan obat penawar itu tidak dapat menyembuhkan Sulastri, kapten ini akan kami bunuh!"
Mendengar ini, Kapten De Vos menjadi pucat wajahnya.
"Maya, jangan main-main kamu! Kalau kamu menipu dan gadis itu tidak dapat disembuhkan sehingga aku terbunuh, Kumpeni tentu akan menangkap kalian semua dan menghukum kalian dengan siksaan yang paling berat!"
Mendengar ini Maya segera berkata kepada Aji.
"Aji, kami telah menuruti semua permintaanmu, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa engkau akan benar-benar membebaskan Tuan Kapten De Vos."
"Aku pasti akan membebaskannya. Katakan bagaimana aturan minum obat penawar racun itu."
"Mudah saja. Masukkan obat bubuk itu semua ke dalam secangkir air kelapa muda hijau, kemudian minum sampai habis dan pengaruh racun itu akan punah. Akan tetapi setelah itu engkau harus membebaskan tuan kapten."
"Aku tidak akan melanggar janji!"
Setelah berkata demikian, Aji memegang lengan kanan De Vos, tetap menempelkan keris di punggungnya dan memaksa kapten itu menuruni tangga tali bersama dia. Mereka turun ke perahu di mana Sulastri telah menunggu. Aji lalu mendayung perahu itu dengan cepat meninggalkan kapal menuju ke pantai. Lampu-lampu yang menyorot dari rumah-rumah para nelayan di pantai memudahkan Aji menujukan arah perahunya.
Fajar mulai menyingsing ketika akhirnya perahu kecil itu mendarat. Aji dan Sulastri mengajak De Vos meninggalkan pantai menuju ke bagian barat yang jauh dari perkampungan karena mereka tidak ingin menarik perhatian penduduk pantai. Juga mereka hendak memasuki daerah yang tertutup oleh bukit karang agar tidak dapat tampak dari kapal karena mereka maklum bahwa mereka yang berada di kapal tentu akan berusaha untuk mengintai dengan alat teropong.
Mereka berhenti di sebuah tegalan di mana terdapat beberapa batang pohon kelapa. Melihat beberapa butir buah kelapa muda hijau bergantungan di pohon, Aji mempergunakan batu karang untuk menyambit dan dua butir buah kelapa muda hijau runtuh. Dengan pedang milik Sulastri, dia membelah buah kelapa muda itu dengan hati-hati sehingga airnya tidak tumpah. Dimintanya bungkusan obat dari Sulastri dan dimasukkan obat bubuk itu ke dalam air kelapa muda.
"Minumlah, Lastri. Mudah-mudahan engkau sembuh."
"Maya pasti tidak berbohong."
Kata De Vos.
"Kalau ia berbohong dan obat itu tidak menolong, ia dan kawan-kawannya akan dihukum mati semua!"
"Mudah-mudahan engkau benar, tuan kapten, karena nyawamu juga tergantung kepada kesembuhan Sulastri."
Kata Aji.
Sulastri minum air kelapa muda yang sudah dicampur obat bubuk itu. Setelah air kelapa muda diminumnya habis, ia lalu duduk bersila, mengatur pernapasan untuk membiarkan obat di dalam perutnya bekerja. Aji dan De Vos memandang dengan penuh perhatian dan perasaan tegang. Tiba-tiba gadis itu mengerutkan alisnya dan menggigit bibirnya sendiri. Ia tampak menahan perasaan nyeri yang hebat.
"Lastri, kenapa..... ?"
Aji bertanya khawatir.
"Perutku...... mulai melilit-lilit....... ah, aku tidak kuat lagi...... harus ke sungai.......!"
Gadis itu melompat berdiri dan lari ke arah anak sungai yang tadi mereka lewati.
"God....... (Tuhan)! Apa yang terjadi dengannya.....?"
De Vos berkata dengan muka pucat sambil memandang ke arah menghilangnya bayangan gadis itu di balik pohon-pohon. Aji masih tenang. Dia merasa yakin bahwa Maya Dewi pasti tidak berani menipunya, apa lagi mencelakai Sulastri dengan obat palsu karena Kapten De Vos masih berada di tangannya. Wanita itu tidak akan berani melanggar perintah De Vos yang merupakan orang penting dari Kumpeni.
"Mungkin itu pengaruh obat penawar yang akan menyembuhkan."
Kata Aji tenang.
"Mudah-mudahan begitu.......
"
Kapten De Vos termenung, hatinya masih diliputi kekhawatiran kalau-kalau terjadi sesuatu pada diri gadis itu yang dapat menyebabkan dia dibunuh. Dia duduk dengan lemas di atas akar pohon yang menonjol di permukaan tanah dan menanti. Dia merasa tidak berdaya sama sekali. selama ini andalannya hanyalah senjata apinya dan pistol-pistolnya telah dilucuti sebelum dia ditawan tadi. Untuk nekad menyerang pemuda ini dengan kaki tangannya? Sama saja dengan membunuh diri! Dia sudah melihat akan kehebatan pemuda itu ketika tadi pemuda itu bertanding melawan Hendrik De Haan. Jagoan juara tinju itu saja tidak mampu berkutik melawan Aji, apalagi dia!
Tak lama kemudian Sulastri muncul. Gadis itu melangkah dengan lenggang gemulai seperti menari. Sinar matahari pagi yang kemerahan menimpa wajahnya, tampak cemerlang dan segar, masih basah. Sepasang matanya yang jeli tampak bersinar mencorong, berbeda dengan pandang matanya tadi yang mengandung penasaran dan agak gelisah. Sinar mata ini saja sudah menggirangkan hati Aji karena merupakan pertanda yang baik. Bahkan Kapten De Vos menyambutnya dengan penuh perhatian dan ketegangan. Keadaan gadis itu menentukan nasib dirinya.
"Bagaimana, lastri?"
Tanya Aji sambil memandang wajah gadis itu penuh harapan.
"Ya, bagaimana, nona? Sudah sembuhkah kamu.......?"
De Vos bertanya.
Sulastri tersenyum kepada Aji dan berkata.
"Engkau lihat sendiri, Mas Aji!"
Ia menghampiri pohon kelapa, berdiri dalam jarak dua meter, menekuk sedikit kedua lutut kakinya, mengerahkan tenaga saktinya lalu mendorong dengan kedua telapak tangan terbuka sambil membentak nyaring.
"Aji Margopati.......!"
Angin pukulan dahsyat menyambar ke arah batang pohon kelapa sebesar pinggang gadis itu.
"Wuuuttt....... kraaakkk....... bruuukkk.......!"
Pohon kelapa itu tumbang! Kapten De Vos terbelalak dan mukanya berubah pucat. Kalau tidak melihat sendiri, pasti dia tidak akan percaya bahwa ada orang apalagi ia seorang gadis jelita, mampu merobohkan dan menumbangkan sebatang pohon kelapa hanya dengan pukulan jarak jauh.
"Lastri, engkau telah sembuh!"
Seru Aji dengan girang sekali. Gadis itu telah mampu mempergunakan pukulan tenaga sakti, berarti ia telah sembuh sama sekali.
"Obat itu memang manjur sekali, semua racun terkuras keluar dari perutku. Saking lega dan girang, aku tadi sekalian mandi, segar sekali rasanya."
Kata Sulastri.
"Syukurlah! Kamu telah sembuh, ahhh....... aku girang sekali.......!"
De Vos berseru sambil berloncatan seperti hendak menari-nari karena hal itu akan berarti dia dibebaskan! Sulastri menoleh kepadanya dan alisnya berkerut.
"Jangan girang dulu, kumpeni jahat! Hendak kulihat apakah badanmu lebih kuat dari pada batang pohon kelapa itu?"
Tiba-tiba Sulastri sudah menghantamkan tangan kirinya yang terbuka dengan dorongan dahsyat ke arah orang Belanda itu.
"Haiiittt.......!"
"Plakk.......!!"
Sulastri terdorong ke belakang dan ia memandang kepada Aji dengan mata terbelalak.
"Kangmas Aji! Kenapa....... kenapa kau lakukan itu? Kenapa engkau menangkis pukulanku dan....... melindungi kumpeni musuh rakyat ini?"
"Tenanglah, Adi Sulastri. Aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang yang melanggar janji sendiri. Kita sudah berjanji bahwa kalau obat penawar itu berhasil menyembuhkanmu, kita akan membebaskan Kapten De Vos ini."
"Akan tetapi janji orang-orang seperti dia dan antek-anteknya itu, apakah dapat dipercaya?"
Sulastri membantah dengan penasaran, sementara itu De Vos memandang dengan sinar mata gelisah.
"Mereka memang tidak dapat dipercaya dan bukan orang-orang yang baik, akan tetapi kita tidak sama dengan mereka, bukan? Kita adalah orang-orang yang menjaga kebenaran dan keadilan, menjunjung tinggi kehormatan dan kegagahan. Kita tidak perlu meniru kecurangan mereka. Kita adalah orang-orang yang tidak akan melanggar janji sendiri, bukan?"
Sulastri menarik napas panjang.
"Sudahlah, aku takkan menang berdebat melawanmu. Bebaskan dia kalau engkau sudah memutuskan demikian."
Aji bernapas lega. Tadinya dia merasa khawatir kalau gadis yang keras hati itu akan memaksakan kehendaknya membunuh orang Belanda ini.
"Terima kasih, Lastri."
Kemudian dia berkata kepada De Vos.
"Tuan kapten, sekarang engkau boleh pergi. Aku membebaskanmu."
Kapten De Vos adalah seorang yang sejak mudanya perajurit dan pelaut. Diapun seorang yang amat menghargai kegagahan dan dia merasa kagum sekali akan sikap dua orang muda yang dia anggap sebagai bangsa yang sederhana dan terbelakang itu, terutama sekali dia kagum melihat sikap Aji.
"Tuan Lindu Aji,"
Katanya dan nada suaranya mengandung hormat.
"Tidak akan menyesalkah tuan membebaskan saya? Ketahuilah bahwa kalau kelak kita saling berjumpa dalam sebuah pertempuran, saya tidak akan ragu-ragu untuk menembak kepala tuan dengan pistol saya."
Aji tersenyum.
"Itu sudah menjadi kewajibanmu, tuan. Akupun kalau bertemu denganmu dalam pertempuran, tidak akan ragu untuk membunuhmu."
"Mas Aji, kenapa susah-susah? Bunuh saja dia sekarang! Bukankah dia musuh kita?"
Kata Sulastri.
"Tidak, di antara dia dan kita tidak ada permusuhan pribadi, Lastri. Tuan kapten, ketahuilah, kami adalah satria-satria Mataram yang tahu akan harga diri dan kehormatan. Yang bermusuhan adalah antara kerajaan kita. Karena itu, dalam perang membela kerajaan masing-masing mungkin kita akan saling bunuh. Akan tetapi antara kita pribadi tidak ada permusuhan apapun Apa lagi kami sudah berjanji akan membebaskan setelah Sulastri sembuh oleh obat penawar itu. Pergilah, tuan, mudah-mudahan engkau akan menyadari bahwa kerajaan tuan dari seberang lautan yang jauh itu sedang mengganggu dan mengacau tanah air kami!"
Kapten De Vos tersenyum dan menggerakkan pundaknya sebagai tanda bahwa dia tidak berdaya dalam hal itu.
"Apa boleh buat, Tuan Aji, salah atau benar Belanda adalah kerajaanku yang harus kubela. Selamat tinggal!"
Dia lalu melangkah pergi dengan cepat menuju ke pantai di mana tadi Aji meninggalkan perahu kecil yang mereka naiki untuk mendarat.
Setelah Kapten De Vos pergi, Sulastri menghela napas, memandang Aji dan berkata.
"Mas Aji, siasat kita berjalan baik dan mulus seperti kita rencanakan. Untung sekali bahwa aku telah dapat disembuhkan. Akan tetapi hatiku merasa penasaran bukan main, bahkan sampai sekarang masih terasa panas dan tidak puas!"
"Wah, kenapa begitu, Lastri? Bukankah kita sepatutnya bersukur kepada Gusti Allah karena kita berdua dapat meloloskan diri dari tangan mereka dengan selamat?"
"Benar, kakangmas, akan tetapi hatiku merasa penasaran karena kita tidak dapat membasmi orang-orang yang menjadi antek Kumpeni itu. Aku merasa muak dan benci kepada mereka dan ingin sekali menumpas mereka! Terutama nenek tak tahu malu Maya Dewi itu!"
"Hal itu tidak mudah, Lastri. Kalau hanya Maya Dewi seorang, tentu tidak sukar kita mengalahkannya. Akan tetapi ia memiliki sekutu orang-orang yang sakti mandraguna seperti Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad, laki-laki bangsawan tinggi kurus itu, dan kita tidak boleh memandang remeh orang yang tinggi besar, pandai berbahasa belanda yang disebut Ki Warga itu. Agaknya dia mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar dan menjadi orang penting dari Kumpeni Belanda. Belum lagi di sana ada Kapten de Vos dan anak buahnya yang amat berbahaya dengan senjata api mereka. Setidaknya kita sekarang mengetahui siapa-siapa yang menjadi antek dan mata-mata Kumpeni."
"Hemm, kalau saja tadi aku membunuh Belanda itu, setidaknya akan tertebus rasa penasaranku."
"Sebaliknya, Lastri. Perasaan kita akan tertekan karena kita telah melanggar janji sendiri. sudahlah, mari kita cepat pergi dari sini. Aku yakin bahwa kalau Kapten De Vos suadah kembali ke kapalnya, mereka semua akan mencari kita di sini. mereka tidak ingin melepaskan kita begitu saja karena telah mengetahui semua rahasia mereka."
Dengan wajah membayangkan ketidak puasan hati, Sulastri mengikuti Aji meninggalkan tempat itu dengan cepat menuju ke arah barat, Karena mereka melakukan perjalanan cepat, mempergunakan ilmu berlari cepat, maka seandainya gerombolan antek Kumpeni melakukan pengejaran, tetap saja mereka tidak akan dapat menemukan dua orang muda perkasa itu.
Usaha penyerangan Sultan Agung dengan mengerahkan pasukan besar ke Batavia untuk pertama kalinya (tahun 1628) telah mengalami kegagalan besar. Senopati Baureksa yang diserahi tugas memimpin pasukan penyerbuan itu gugur dalam perang, tertembak peluru meriam Belanda. Banyak perwira Mataram gugur sehingga melemahkan semangat bertempur pasukan Mataram. Selain itu, timbul pula gangguan yang teramat besar dan yang merupakan pukulan parah bagi pasukan Mataram yang mengepung Batavia, yaitu berjangkitnya penyakit malaria yang menewaskan banyak perajurit dan melemahkan sebagian besar dari mereka.
Ditambah lagi karena kekurangan pangan karena gudang-gudang ransum mereka dibakar habis oleh antek-antek Kumpeni Belanda. Maka penyerbuan pertama itu gagal sama sekali. Sultan Agung merasa kecewa, menyesal dan marah besar. Saking marahnya melihat usaha penyerbuan itu gagal dan melihat pasukan Mataram pulang membawa kehancuran, Sultan Agung amat marah karena pasukannya tidak melawan terus sampai Batavia dapat dirobohkan.
Dia menganggap sebagian para perwira kurang semangat dan bersikap pengecut. karena itu dia memerintahkan Tumenggung Suro Agul-agul untuk menghukum mati para pasukan pengikut yang melarikan diri. Akan tetapi perintah itu disalah artikan oleh Tumenggung Suro Agul-agul. Dia malah menangkap Adipati Mandureja dan Kyai Adipati Upasanta, lalu menghukum mati dua orang senopati
(Lanjut ke Jilid 16)
Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
ini. Hal itu tentu saja menggegerkan di kalangan pamong praja. apa lagi mengingat bahwa kedua orang senopati yang dihukum mati itu adalah cucu-cucu keturunan mendiang Ki Patih Mandaraka yang termasyhur, yang menjadi pembantu utama mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati.
Ketika Sultan Agung mendengar akan kekeliruan hukuman ini, dia menjadi semakin sedih dan marah.
"Semua pimpinan penyerangan ke Batavia yang gagal itu ikut bertanggung jawab, bukan hanya kedua orang senopati itu!"
Katanya dan Sultan Agung lalu menjatuhkan hukuman mati kepada Tumenggung Suro Agul-agul dan banyak bangsawan yang dianggap gagal memimpin penyerbuan itu.
Peristiwa yang amat menyedihkan ini, kegagalan penyerbuan ke Batavia, kehancuran pasukan dan banyaknya korban yang gugur dalam perang atau terserang penyakit, lalu banyaknya bangsawan yang dihukum mati, medatangkan kegelisahan di antara para menteri, senopati, para panglima dan perwira. Akan tetapi, kegagalan besar itu sama sekali tidak membuat jera hati Sultan Agung yang amat membenci sepak terjang Kumpeni Belanda yang semakin meluaskan kekuasaannya secara licik, mula-mula melalui perdagangan, lalu perlahan-lahan memperluas bumi Nusantara yang dicengkeramnya.
Sultan Agung membuat persiapan lagi untuk melakukan penyerangan kedua yang lebih besar. Untuk itu, dia mengangkat Tumenggung Singoranu yang tua sebagai senopati yang akan memimpin penyerbuan, memerintahkan Tumenggung Singoranu untuk melatih dan memperkokoh barisan Mataram, mengundang para pemuda yang perkasa untuk menjadi perajurit. Juga Sultan Agung menyerahkan kepada Senopati Suroantani untuk memimpin mempersiapkan penyerbuan dengan cara menyebar banyak telik sandi (mata-mata) ke kadipaten-kadipaten sampai menyusup ke Batavia, untuk menyelidiki siapa-siapa yang akan menjadi lawan dan siapa menjadi kawan, serta sampai di mana ketahanan dan kekuatan pihak Kumpeni Belanda.
Setelah berhasil melepaskan diri dari cengkeraman para antek kumpeni yang dipimpin Nyi Maya Dewi, Aji lalu mengajak Sulastri untuk pergi ke Kadipaten Cirebon. dari Senopati Suroantani Aji sudah mendengar bahwa Adipati di Cirebon dapat dipercaya dukungannya terhadap Mataram. Mereka lalu mohon menghadap dan setelah Aji memperlihatkan Keris Pusaka Nogo Welang hadiah yang juga merupakan tanda kekuasaan dari Sultan Agung, Sang Adipati Cirebon
menerima kunjungan Aji dengan hormat.
Setelah memberi hormat dan kedua orang muda itu dipersilahkan duduk oleh Sang Adipati, Aji lalu berkata dengan hormat.
"Gusti Pangeran, hamba mohon beribu ampun karena sudah berani mengganggu ketenangan paduka dan berani menghadap tanpa dipanggil. Hamba menerima perintah Gusti Sultan Agung, diperbantukan kepada Paman Senopati Suroantani, dan dalam tugas ini hamba diberi sebutan Alap-alap Lauit Kidul. Gadis ini adalah seorang sahabat hamba yang telah membantu pekerjaan dan tugas hamba, namanya Sulastri."
Adipati Cirebon adalah seorang pria yang sudah tua namun tubuhnya masih tampak sehat dan kuat. Dalam usianya yang sudah enam puluh lima tahun itu masih tampak penuh semangat. matanya yang tajam mengamati wajah Lindu Aji dan sulastri dan dia tampak puas dengan apa yang dilihatnya.
Raja ini disebut Pangeran Ratu dan dia adalah cicit dari Sunan Gunung Jati yang pernah menjadi penguasa di Cirebon dan amat terkenal sebagai tokoh yang mengembangkan Agama Islam di Cirebon.
Sang Adipati mengangguk-angguk.
"Kami telah melihat pusaka yang merupakan hadiah penghargaan dari Sultan Agung dan kami percaya kepadamu, orang muda. Sebutanmu Alap-alap Laut Kidul? Andika pantas menyandang sebutan itu, akan tetapi siapakah nama andika yang sebenarnya? Ataukah nama itu dirahasiakan?"
"Hamba tentu saja tidak merahasiakan terhadap paduka kalau memang paduka berkenan ingin mengetahui. Nama hamba adalah Lindu Aji."
"Lindu Aji? Wah, nama yang bagus sekali! Nah, sekarang katakanlah kepada kami, kepentingan apa yang membawa andika menghadap?"
"Hamba hendak melaporkan bahwa keadaan di Kadipaten Tegal cukup mencurigakan, Gusti Pangeran. Di sana hamba berdua telah ditawan oleh segerombolan orang-orang yang menjadi kaki tangan Kumpeni Belanda. Beruntung sekali Gusti Allah masih melindungi hamba berdua sehingga hamba dapat membebaskan diri hamba dan hamba segera menghadap paduka untuk menceritakan hal ini karena siapa tahu mereka itu akan mengadakan kekacauan di daerah paduka."
Adipati itu mengerutkan alisnya dan berseru.
"Alhamdulillah bahwa kalian telah dapat melepaskan diri dari cengkeraman mereka. apa yang terjadi dan siapa mereka yang menjadi antek Kumpeni Belanda itu?"
Aji lalu menceritakan pengalamannya bersama Sulastri ketika bentrok dengan Nyi Maya Dewi dan kawan-kawannya sampai mereka berdua tertawan dan dibawa ke kapal Belanda, dihadapkan kepada Kapten De Vos sampai akhirnya mereka berdua mempergunakan siasat dan dapat membebaskan diri dari cengkeraman mereka. Sang Adipati mendengarkan dengan penuh perhatian. setelah Aji mengakhiri ceritanya dia bertanya.
"Coba andika sebutkan lagi satu demi satu nama mereka yang menjadi antek Kumpeni Belanda."
Aji menjawab dengan jelas.
"Mereka adalah Ki Warga yang tinggal di Tegal dan agaknya dia orang penting dari Kumpeni. Kemudian Nyi Maya Dewi, Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad pertapa di Nusakambangan. Ki Harya Baka Wulung itu seorang tokoh besar dari Madura, dan seorang laki-laki berpakaian seperti bangsawan yang disebut Raden oleh Maya Dewi akan tetapi hamba tidak mengetahui namanya."
Sang adipati mengangguk-angguk.
"Hemm, kami mengenal nama-nama itu. Bukan nama yang asing. Akan tetapi baru sekarang kami yakin dari ceritamu bahwa mereka benar-benar telah merendahkan diri menjadi antek Kumpeni Belanda. Ki Harya Baka Wulung setahu kami adalah seorang tokoh besar dan pahlawan Madura yang dahulu membela Madura mati-matian dari serbuan Mataram. Kenapa dia mau merendahkan diri menjadi antek Belanda, pada hal orang-orang Madura pada umumnya tidak suka kepada Belanda? Hemm, kukira dia hendak membalas dendam kepada Mataram dengan jalan membonceng kekuatan Kumpeni. Dan Nyi Maya Dewi?
Kami mengenal wanita cantik sebagai puteri mendiang Resi Koloyitmo, seorang datuk sesat yang amat terkenal dari Parahyangan dan karena kejahatannya bahkan menjadi buronan Kerajaan Pajajaran. Kabarnya puterinya itu juga menjadi seorang gadis yang sakti mandraguna namun sesat seperti bapaknya, akan tetapi sungguh tidak disangka-sangka bahwa iapun begitu jauh tersesat untuk mengabdi kepada Bangsa Belanda memusuhi bangsa sendiri dan mengkhianati tanah airnya. Dan tentang Aki Somad? Wah, kami pernah juga mendengar nama tokoh dari Nusakambangan ini. Namanya juga tak dapat dibilang bersih. Kabarnya dia menjadi datuknya para bajak laut dan perampok di daerah Cilacap dan Banyumas. Akan tetapi juga sungguh mengejutkan kalau kini dia begitu merendahkan diri untuk menjadi antek Kumpeni Belanda.
Adapun tentang Ki Warga, dia itu seorang yang aneh. Ada berita bahwa dia memang orang kepercayaan Adipati Tegal dan dialah orangnya yang menjadi perantara dalam semua urusan dengan pihak Kumpeni Belanda. Masih diragukan apakah dia itu antek Belanda ataukah sebetulnya dia alat Kadipaten Tegal untuk menyelidiki keadaan demi keuntungan Kadipaten Tegal yang sebetulnya tidak memperlihatkan tanda-tanda menentang Mataram, akan tetapi juga tidak berkeras menolak kehadiran kapal Kumpeni di pantainya. Bagaimanapun juga, berita yang andika sampaikan kepada kami ini amat penting sehingga kami dapat bersiap-siap dan waspada tehadap segala kemungkinan buruk."
"Hal ini sudah menjadi tugas kewajiban hamba, gusti. Paman Senopati Suroantani memang memesan kepada hamba untuk menceritakan semua hal yang menyangkut gerakan Kumpeni Belanda melalui para mata-matanya kepada para kadipaten yang menjadi sekutu Mataram termasuk Kadipaten Cirebon. Karena itu, hamba mengharap paduka sudi mengirim utusan untuk mengabarkan semua ini kepada Paman Senopati Suroantani di Mataram."
"Jangan khawatir. Kami akan mengabarkan semua kepada Senopati Suroantani di Mataram. dan andika, Nini Sulastri, andika, telah dapat membantu anakmas Lindu Aji. Agaknya andika juga seorang gadis yang memiliki aji kesaktian, nini. Apakah andika tunggal guru dengan anakmas Lindu Aji?"
"Hamba bukan saudara seperguruan Kakangmas Aji, gusti. Guru hamba adalah Ki Ageng Pasisiran yang tinggal menyepi di daerah pantai Dermayu."
"Hemm, Ki Ageng Pasisiran? Kami pernah mendengar akan adanya seorang pertapa yang tua renta di pantai Dermayu itu. Akan tetapi tidak pernah terdengar dia membuka perguruan pencak silat. Kiranya andika seorang wanita yang masih muda menjadi muridnya. Hebat sekali! Dari mana andika berasal, Nini Sulastri dan siapakah orang tuamu?"
"Orang tua hamba tinggal di Dermayu, ayah hamba bernama Ki Subali."
"Ah, apakah bukan Ki Subali, sasterawan yang juga pandai menjadi dalang itu?"
"Benar dia, gusti."
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus! Kami mengenal Ki Subali. Pernah kami mengundang dia mendalang di kadipaten. Kalau begitu, nini, andika adalah orang sendiri yang dapat kami percaya. Dan andika anak mas Lindu Aji, siapakah guru andika?"
"Guru hamba adalah mendiang Eyang Tejobudi, gusti."
"Mendiang Ki Tejobudi? Dia sudah meninggal dunia? Ah, belasan tahun yang lalu dia pernah menjadi tamu kami dan kami bersahabat baik! Bagus, sungguh kebetulan sekali. Agaknya memang Gusti Allah yang mengirim kalian ke sini untuk membantu kami. Anakmas Lindu Aji dan Nini Sulastri, kami membutuhkan pertolongan kalian dan kami harap kalian tidak berkeberatan untuk menyingkirkan duri yang mengganggu ketenteraman kadipaten kami."
"Tentu saja hamba berdua siap untuk membantu, gusti. apakah yang dapat hamba lakukan untuk Kadipaten Cirebon?"
Tanya Aji.
"Begini, anakmas. Sudah ada kurang lebih dua bulan ini daerah pinggiran kadipaten kami di sekitar Gunung Cireme, diganggu ketenteramannya oleh gerombolan yang mengacau dan melakukan perampokan dan penganiayaan. Bahkan mereka itu berani merampok sampai ke Majalengka dan Leuwimunding. Gerombolan itu memakai nama Munding Hideung dan memiliki pimpinan terdiri dari orang-orang yang digdaya. Beberapa kali kami mengirim pasukan untuk menumpasnya, namun sejauh ini belum berhasil bahkan kami kehilangan banyak perwira yang tewas ketika terjadi pertempurang. Gerombolan Munding Hideung itu bersarang di gunung Cireme. nah, mengingat bahwa andika berdua adalah murid-murid tokoh sakti mandraguna dan juga merupakan orang kepercayaan sultan agung, kami harap andika berdua menolong kami. Hancurkan gerombolan itu dan tangkap hidup atau mati, para pimpinan Munding Hideung. Kami akan menyediakan pasukan yang kalian butuhkan."
Aji menoleh kepada Sulastri dan kebetulan gadis itupun sedang menoleh kepadanya sehingga mereka bertemu pandang sejenak. Namun pertautan pandang mata mereka yang sejenak itu sudah cukup untuk dapat saling mengerti perasaan masing-masing. mereka setuju untuk membantu Kadipaten Cirebon. Maka, tanpa ragu-ragu lagi Aji lalu berkata dengan sembah.
"Hamba berdua siap untuk membantu dan melaksanakan perintah paduka, gusti pangeran."
Adipati itu tampak gembira sekali.
"Bagus! Terima kasih, anakmas Lindu Aji dan Nini sulastri. lalu, berapa banyak perajurit yang kalian butuhkan?"
"Hamba berdua tidak akan membewa pasukan, gusti. Kalau membawa pasukan, tentu akan mudah ketahuan dan gerombolan itu dapat bersiap-siap, bersembunyi atau bahkan menjebak kami. Kami akan melakukan penyelidikan berdua saja dan akan berusaha untuk menangkap pemimpin gerombolan itu. Hamba kira kalau pemimpinnya sudah dapat ditangkap, para anak buahnya tidak akan merajalela lagi dan mudah untuk dibasmi."
"Berdua saja? Apakah tidak berbahaya? Nini Sulastri, bagaimana pendapat andika?"
"Pendapat hamba sama dengan pendapat Kakangmas Aji, gusti. Dengan bekerja berdua saja, kami akan lebih mudah menyusup ke sarang mereka dan lebih leluasa bergerak."
Sang adipati mengangguk-angguk.
"Hebat! Kami kagum akan keberanian dan semangat kalian orang-orang muda. Mengingatkan kami puluhan tahun yang lalu ketika kami masih muda. Ahh, petualangan-petualangan seperti inilah yang membangkitkan semangat dan gairah hidup. Menghadapi bahaya, rintangan, ancaman, dan tantangan dan berhasil mengatasi semua itu. Alangkah indahnya! Kalau begitu, katakan, apa saja yang kalian perlukan untuk bekal pelaksanaan tugasmu yang berat ini dan kami pasti akan mengadakannya untuk kalian."
"Hamba menghaturkan banyak terima kasih. gusti pangeran. Akan tetapi sesungguhnya, hamba berdua tidak membutuhkan apapun."
Kata Sulastri.
"Benar, gusti Pangeran. Hamba berdua hanya membutuhkan doa restu paduka."
Sambung Aji dengan suara sungguh-sungguh. Sang Adipati mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Tentu, tentu sekali. kami akan selalu berdoa semoga Gusti Allah melindungi andika berdua dan akan membimbing andika sehingga tugas berat ini dapat andika laksanakan dengan berhasil baik. Nah, kalau begitu berangkatlah sekarang juga. Kasihan rakyat kami di pinggiran kalau kekacauan ini dibiarkan berlarut-larut."
"Sendika, kami nyuwun pangestu, gusti."
Kata Aji dan Sulastri sambil menyembah. sang adipati melambaikan tangan dan keduanya lalu keluar dari ruangan paseban.
Akan tetapi begitu mereka tiba di pintu gerbang kadipaten, dua orang perajurit yang menuntun dua ekor kuda menghadang mereka dan memberi hormat lalu berkata.
"Kami diperintahkan Gusti Pangeran Ratu untuk menyerahkan dua ekor kuda ini kepada andika berdua."
Aji saling pandang dengan Sulastri dan kedua orang muda ini tertawa senang. Jalan pikiran mereka sejalan. Kalau bicara tentang kebutuhan mereka pada saat itu, yang mereka butuhkan memang dua ekor kuda sehingga mereka dapat melakukan perjalanan menuju pegunungan Careme dengan cepat. Mereka mengucapkan terima kasih, mencengklak kuda masing-masing dan melarikan kuda keluar dari Kadipaten Cirebon.
Menjelang senja tibalah mereka di sebuah dusun yang berada di kaki gunung Careme, yaitu dusun kecil yang disebut Dusun Kapayun. Karena di dusun sekecil itu tidak terdapat warung makan maupun penginapan, Aji dan Sulastri lalu langsung mencari rumah pamong dusun atau kepala dusun itu.
Semua orang menunjuk ke sebuah rumah yang lebih besar dari pada sekitar tiga puluh rumah yang berada di dusun itu. Ki Sajali, pria berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus berkumis panjang yang menjadi pamong dusun Kapayun, menyambut dua orang muda itu dengan sinar mata penuh curiga. Sinar matanya memandang penuh selidik kepada dua orang muda yang sedang menambatkan kuda mereka di sebatang pohon di pekarangan rumahnya. Stelah menambatkan kuda, Aji dan Sulastri melangkah menuju ke pendapa dan disambut oleh laki-laki yang tinggi kurus itu.
Aji membungkuk dengan hormat lalu bertanya.
"Maafkan kami, paman. Kami hendak bertemu dengan Paman Sajali yang menjadi pamong dusun ini."
"Hemm, andika siapakah dan ada keperluan apakah hendak bertemu dengan pamong dusun?"
Mendengar pertanyaan yang dilakukan dengan sikap kasar dan galak itu, Sulastri tak sabar lagi dan menjawab dengan galak pula.
"Kami adalah orang-orang kepercayaan dan utusan Gusti Pangeran Ratu di Cirebon untuk membasmi gerombolan yang dipimpin Munding Hideung!"
Orang itu tampak terkejut, matanya terbelalak dan sikapnya berubah hormat.
"Ah, kiranya andika berdua adalah utusan Gusti Pangeran Ratu? Mohon maaf atas sikap saya tadi, denmas dan denroro! Saya adalah Ki Sajali, pamong dusun ini."
Melihat Ki Sajali bersikap hormat, Aji segera berkata dengan lembut pula. Bagaimanapun juga, dia dan Sulastri membutuhkan bantuan kepala dusun itu untuk diberi makan malam dan tempat peristirahatan malam itu.
"Maaf, Paman Sajali. Sesungguhnya bahwa kami berdua adalah utusan Gusti Pangeran Ratu yang mengemban tugas membasmi gerombolan pimpinan Munding Hideung yang mengganas di sekitar Gunung Careme. Karena kami kemalaman di sini, maka saya mohon paman suka menampung kami untuk semalam ini. Saya bernama Aji dan nona ini adalah Sulastri."
"Ah, silakan, silakan, denmas aji dan denroro Sulastri! Saya merasa girang dan mendapat kehormatan besar sekali andika berdua sudi bermalam di sini. mari silakan masuk, barangkali andika berdua ingin mandi-mandi dan mengaso dulu. Saya akan menyuruh orang mempersiapkan makan malam."
"Wah, tidak usah terlalu merepotkan paman."
Kata Aji agak rikuh.
"Tidak, sama sekali tidak repot, den mas!"
Kepala dusun itu melangkah masuk diikuti dua orang muda itu. Mereka mendapatkan dua buah kamar dan dengan ramah Ki Sajali mempersilakan mereka untuk mandi di kamar yang berada di belakang, lalu meninggalkan mereka untuk mempersiapkan makan malam. Aji dan Sulastri memasuki kamar masing-masing.
Kamar yang kecil sederhana, namun cukup lumayan untuk melewatkan malam itu karena di situ terdapat sebuah amben (dipan) yang bertilamkan tikar yang cukup bersih. Aji bersikap hati-hati dan mereka mandi bergantian untuk dapat melakukan penjagaan atas barang-barang yang mereka tinggalkan dalam kamar. Setelah selesai mandi dan bertukar pakaian, mereka keluar dari kamar, meninggalkan buntalan pakaian mereka kecuali senjata mereka yang mereka bawa. Sulastri menggantungkan pedang Nogo Wilis di punggung sedangkan Aji menyelipkan Keris Nogo Welang di ikat pinggangnya. Mereka bertemu di luar kamar dan Sulastri berbisik.
"Mas Aji, engkau melihat sesuatu yang aneh?"
"Di rumah ini?"
"Di rumah ini dan di dusun ini."
"Hemm, sikap Ki Sajali itu cukup mencurigakan. Tadinya dia bersikap angkuh, keras dan curiga, kemudian setelah dia tahu siapa kita, sikapnya berubah dan berlebihan, bahkan menjilat. Sikap seperti itu biasanya menyembunyikan niat tertentu yang tidak baik."
"Aku melihat yang lebih aneh lagi."
"Apa itu Lastri?"
"Apakah engkau tidak melihat di waktu pergi ke belakang untuk mandi tadi? Di rumah ini tidak tampak ada wanitanya. Semuanya laki-laki, bahkan aku melihat kesibukan di dapur juga dilakukan laki-laki dan mereka semua masih muda dan kelihatan kasar."
"Ah, aku ingat sekarang. Pantas ketika aku memasuki dusun dan bertanya-tanya tentang kepala dusun, aku merasa ada sesuatu yang kurang di dusun ini, yaitu tidak tampak adanya wanita dan kanak-kanan di dusun ini."
"Benar, bahkan tidak ada laki-laki tua. Semua laki-laki muda yang kelihatan kasar. Inilah yang kuanggap aneh dan tidak wajar."
Kata Sulastri.
Aji mengangguk-angguk. Diam-diam dia merasa girang bahwa perjalanannya ditemani seorang gadis seperti Sulastri yang ternyata selain digdaya, juga cerdik dan waspada.
Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo