Kemelut Blambangan 7
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
"Bagaimana Andika dapat tahu dan yakin bahwa laporanmu itu benar? Ingat, banyak sekali perahu pedagang Cina hilir mudik dan biasanya mereka itu hanya berdagang. Bagaimana Andika dapat mengetahui dengan pasti bahwa ada perahu pedagang Cina membawa seorang mata-mata Mataram?"
"Hamba tidak akan berani melapor kalau tidak yakin. Akan tetapi yang memberi kabar kepada hamba itu adalah seorang Cina pula, bahkan masih ada hubungan dengan pemilik perahu itu. Agar Paduka tidak ragu, maka orang itu sekarang hamba ajak ke sini dan menanti di luar."
"Bagus, ajak dia masuk menghadap!"
Mata- mata itu keluar dan kembali bersama seorang Cina yang berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya tampan dan gagah, sinar matanya membayangka n keberanian, namun senyumnya mengandung ejekan seorang yang tinggi hati. Pakaiannya serba kuning dan ringkas, rambutnya digelung ke atas dan diikat kain putih. Di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce-ronce merah. Agaknya pemuda Cina ini sudah cukup lama berada di Jawa-dwipa karena tanpa canggung dia memberi hormat dengan membungkuk dan menyembah di depan dada. Juga suara tidak terdengar kaku ketika dia menujukan kata-katanya kepada Sang Adipati Blambangan dalam bahasa daerah, walaupun masih pelo (cedal).
"Sang Adipati, saya menghaturkan hormat."
Adipati Santa Guna Alit mengangkat tangan sebagai tanda menerima penghormatan itu dan memberi isayarat kepada Bhagawan Kalasrenggi untuk bicara dengan pemuda Cina itu.
"Heh, Kisanak, siapakah namamu?"
Bhagawan Kalasrenggi bertanya dan sepasang matanya mencorong, menatap tajam pemuda Cina itu untuk melihat apakah pemuda asing itu dapat dipercaya ataukah tidak.
"Nama saya Kam Leng."
Jawab pemuda itu sambil membalas pandang mata bhagawan itu dengan berani dan dari sinar matanya yang tajam, Bhagawan Kalasrenggi dapat mengetahui bahwa pemuda asing itu bukan orang sembarangan, melainkan orang yang "berisi"
Atau yang memiliki tenaga dalam yang kuat.
"Kam Leng, engkau berhadapan dengan Bhagawan Kalasrenggi yang mewakili Sang Adipati Blambangan. Jawablah pertanyaan kami ini. Benarkah pemberitahuanmu bahwa ada sebuah perahu pedagang Cina yang ditumpangi seorang mata-mata Mataram?"
"Benar sekali, Sang Bhagawan."
"Hemm, bagaimana engkau bisa yakin bahwa ada seorang mata-mata Mataram di perahu itu?"
"Perahu itu milik seorang pedagang dari Tuban yang saya kenal. Dia membawa barang dagangan hasil bumi dan rempah-rempah, dan sekali ini Tan Beng Ki, pemilik perahu itu, melakukan pelayaran bukan hanya untuk berdagang, akan tetapi juga untuk mengajak puterinya dan calon mantunya berpesiar untuk merayakan pertunangan mereka. Keterangan saya ini tidak mungkin salah, karena saya mengetahui sendiri bahwa mereka sedang berlayar ke sini. Gadis puteri Tan Beng Ki dan tunangannya itu keduanya adalah adik-adik seperguruan saya."
"Hemm, Kam Leng! Kalau mereka itu masih ada hubungan persaudaraan denganmu, mengapa engkau melaporkan kepada kami? Apakah pamrihmu?"
"Saya akan menunjukkan yang mana perahu itu dengan satu syarat."
Bhagawan Kalasrenggi mengerutkan alisnya.
"Syarat? Apa itu?"
Dengan tenang Kam Leng menjawab.
"Saya akan menunjukkan perahu itu kepada Andika sekalian dan bahkan siap membantu menyerbu kalau para penghuni perahu melawan, asalkan Andika berjanji lebih dulu bahwa setelah berhasil, perahu dan gadis yang berada di situ harus diserahkan kepada saya. Yang lain-lain boleh dibunuh atau ditangkap, terserah."
"Heh-heh-heh, jadi itukah pamrihmu? Merampas perahu dan gadis tunangan Adik seperguruanmu sendiri?"
"Ya, kalau Andika mau berjanji, saya akan menunjukkan yang mana perahu yang ditumpangi mata-mata dari Tuban itu. Kalau Andika tidak mau berjanji lebih dulu, saya pun tidak mau menunjukkan."
"Uh-uh, kami tadinya mengira bahwa engkau datang hendak membantu Blambangan melawan Mataram! Tidak tahunya engkau malah mengajukan persyaratan. Siapakah engkau ini yang berani berlagak dan mengajukan persyaratan dengan kami?"
"Saya adalah seorang pendekar, murid perguruan Siauw-lim-pai di Cina. Saya tidak mempunyai kepentingan dengan Blambangan atau Mataram dan saya tidak peduli akan permusuhan antara kedua kerajaan itu. Saya mengajukan persyaratan karena saya seorang pedagang, mengajak kerja-sama yang saling menguntungkan. Andika dapat menangkap seorang mata-mata Mataram yang Andika musuhi dan saya dapat memperoleh perahu dan gadis yang saya inginkan. Sudah adil, bukan?"
"Ha-ha-ha, enak saja engkau hendak bekerja sama dengan kami. Kami tidak mau bekerja sama dengan orang sembarangan. Akan tetapi engkau mengaku sebagai murid perguruan Siauw-lim-pai di Cina dan nama perguruan itu sudah sering kami mendengarnya. Untuk melihat apakah engkau cukup berharga untuk bekerja sama dengan kami, kami harus menguji dulu sampai di mana kepandaianmu. Bersediakah engkau untuk diuji?"
Kam Leng tersenyum lebar sehingga tampak semakin mengejek lagi.
"Andika sudah terlalu tua untuk menguji ilmu silatku, Sang Bhagawan!"
"Ho-ho, selain terlalu tua, aku juga terlalu kuat bagimu, Kam Leng! Karena itu, biar kusuruh muridku saja untuk mengujimu. Selain dia lebih muda, juga lebih ringan.
"Kalajana, kau wakili aku menguji kepandaian Kam Leng ini agar kita semua melihat apakah dia pantas untuk bekerja sama dengan kita."
Kalajana mengangguk dan dia pun berdiri dan menghampiri pemuda Cina itu. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang seolah hendak mengukur sampai di mana kekuatan lawan melalui pandang mata itu.
Kalajana adalah murid Bhagawan Kalasrenggi. Usianya sekitar empat puluh dua tahun, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, mukanya kasar, burik (bopeng) dan tubuhnya berbulu. Seperti para murid Bhagawan Kalasrenggi lainnya, Kalanjana ini pun seorang ahli silat yang tangguh, juga ahli racun dan pandai pula menggunakan ilmu sihir.
Kalajana mengamati calon lawannya. Seorang laki-laki bermata sipit, usianya sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya sejangkung dia akan tetapi tubuhnya yang tegap tidaklah sebesar tubuhnya, dan melihat punggung pemuda Cina itu tergantung sebatang pedang beronce merah, Kalajana berkata dengan suara yang besar dan lantang.
"Kam Leng, aku Kalajana mewakili Bapa Guru Bhagawan Kalasrenggi ingin menguji kedigdayaanmu. Aku melihat engkau mempunyai sebatang pedang. Katakan, engkau ingin diuji pertandingan tangan kosong atau bersenjata?"
"Sesukamu, Ki Kalajana. Aku sudah siap untuk kedua-duanya."
"Kalajana, engkau cobalah kemampuannya bersilat tangan kosong!"
Tiba-tiba Bhagawan Kalasrenggi berseru.
"Nah, engkau sudah mendengar perintah guruku, Kam Leng? Bersiaplah engkau!"
Kalajana mengembangkan kedua lengannya yang besar panjang berbulu, sikapnya mengancam dan menyeramkan, seperti seekor biruang yang berdiri dan siap menerkam.
"Aku sudah siap!"
"Sambutlah ini!"
Tiba-tiba Kalajana menggerakkan kedua tangannya. Dari kanan kiri kedua tangan yang lebar dengan jari-jarinya yang besar itu mencengkeram ke arah kedua pundak Kam Leng. Akan tetapi dia hanya menangkap angin karena dengan gerakan yang ringan dan gesit sekali Kam Leng sudah mengelak dari terkaman itu dengan menggeser kaki ke kiri, lalu smbil membalikkan tubuhnya dia membalas dengan pukulan lurus ke arah lambung kanan lawan.
"Hyaaahhh....!"
"Plakk!"
Kalajana menangkis dengan lengannya yang besar, Dua lengan bertemu dan keduanya terdorong dua langkah ke belakang. Pertemuan dua tenaga kasar ini menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga otot yang sama kuatnya. Dengan hati penasaran, Kalajana menyerang lagi, namun serangannya yang bertubi-tubi itu selalu dapat dihindarkan oleh Kam Leng dengan elakan maupun tangkisan. Terjadilah perkelahian yang seru dan seimbang. Semua orang melihat betapa Kam Leng memiliki gerakan yang ringan dan gesit sekali, terutama kedudukan kedua kakinya amat kokoh sehingga dengan sedikit geseran atau putaran saja selain dapat mengelak, dia dapat pula membalas dengan serangan yang tidak kalah kuatnya. Melihat betapa Kam Leng dapat menandingi muridnya sampai belasan jurus, Bhagawan Kalasrenggi mengangguk- angguk. Pemuda Cina ini boleh juga untuk memperkuat pasukannya!
Akan tetapi setelah lewat dua puluh jurus, Kalajana mulai terdesak hebat. Ternyata, kelebihan Kam Leng dalam hal keringanan tubuh dan kecepatan gerakan, membuat dia lebih unggul. Saking cepatnya dia bergerak dengan serangan bertubi-tubi dengan kedua tangan dan kedua kakinya, Kalajana hanya mampu menangkis. Dia menjadi sibuk dan terdesak, tidak mampu membalas karena tidak mendapat kesempatan sama sekali. Biarpun dia sudah menggerakkan kedua tangan secepatnya untuk menangkis semua serangan, tetap saja sebuah tendangan mengenai perutnya.
"Bukk....!"
Untung bahwa Ki Kalajana telah mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi perutnya sehingga menjadi kebal. Tendangan itu tidak melukainya, hanya membuat ia terhuyung ke belakang sampai dua tombak. Dia merasa penasaran dan cepat dia mengerahkan tenaga saktinya dan ketika dia menggerakkan kedua tangannya lalu saling menggosok telapak tangan, tampaklah kedua tangannya itu seperti membara.
"Sambut Aji Tatit Geni!"
Bentaknya dan ia mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Kam Leng. Ada kilatan api menyambar dari kedua tangan itu ke arah lawan.
"Auuughhh....!"
Kam Leng tidak mengenal aji seperti itu, namun dia dapat menduga bahwa itu adalah pukulan sakti yang mengandung tenaga sakti yang amat berbahaya. Kalau dia mengelak, tentu lawan mengira dia takut dan akan menyerang terus dengan pukulan yang mengandung kilatan api itu. Maka dia lalu memasang kuda-kuda, mengerahkan seluruh tenaga dalamnya lalu menyalurkannya lewat kedua tangannya lalu mendorong ke depan menyambut pukulan itu.
"Syuuuttt.... desss ,,,, !"
Dua tenaga sakti yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, dua orang itu terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung! Mereka menderita guncangan hebat karena tenaga sendiri yang membalik, namun tidak sampai terluka. Dalam adu tenaga sakti ini, keduanya ternyata seimbang, Ki Kalajana masih merasa penasaran dan meraba gagang goloknya, akan tetapi Bhagawan Kalasrenggi berkata.
"Sudah cukup, Kalajana, mundurlah! Kam Leng, setelah diuji, kepandaianmu lumayan dan engkau cukup berharga untuk bekerja sama dengan kami. Nah, sekarang jadilah engkau penunjuk jalan. Beberapa orang akan mengikutimu untuk menangkap mata-mata mataram itu."
"Akan tetapi, Sang Bhagawan. Saya harap Andika mengirim orang-orang yang berkepandaian tinggi karena mata-mata Mataram itu adalah orang yang sakti. Bahkan saya sendiri pernah bertanding melawan dia dan saya kalah."
"Hemm, begitukah? Nah, kami harap Andika berdua suka membantu Kaladhama dan Kalajana menemani Kam Leng menangkap atau membunuh mata-mata Mataram itu, Arya Bratadewa dan Candra Dewi. Kalau mata-mata itu memang sakti seperti yang diceritakan Kam Leng, tentu Andika mudah untuk membunuhnya dengan senjata api Andika. Para perajurit masih sedang belajar menembak dengan senjata api pemberian Kumpeni dan belum mahir. Harap Andika berdua suka membantu."
"Tentu! Tenu saja, Paman Bhagawan Kalasrenggi! Kami berdua akan membereskan mata- mata Mataram itu, jangan khawatir."
Jawab Arya Bratadewa sambil tersenyum dan sikapnya memandang ringan kepada mata-mata Mataram seperti yang diceritakan Kam Leng. Kaladhama, Kalajana, Arya Bratadewa dan Candra Dewi menuju ke tempat di mana perahu yang dimaksudkan berlabuh.
Jauh sebelum jaman itu, bahkan sebelum jaman Mojopahit, sudah terdapat bangsa Cina yang merantau sampai ke Nusa Jawa, Kalau jaman dahulu mereka datang dengan perahu-perahu jung mereka sebagai pedagang, setelah Kumpeni Belanda menjejakkan kaki mereka ke Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya, semakin banyak bangsa Cina berdatangan karena Kumpeni mendatangkan banyak bangsa Cina sebagai tenaga kerja, terutama yang ahli pertukangan.
Ada waktu itu, sudah banyak bangsa Cina yang tinggal di daerah pasisiran, di kota-kota pantai utara. Pada umumnya mereka adalah pedagang-pedagang yang ulet, nelayan-nelayan, atau pengrajin-pengrajin kayu dan rotan yang mahir. Setelah mendengar betapa sanak keluarga dan rekan- rekan mereka berhasil mencari nafkah di negara selatan atau daerah selatan ini, dapat hidup berkecukupan, maka makin banyaklah orang Cina berlayar untuk mencari nafkah di Nusa Jawa. Pada waktu itu, bangsa Mancu mulai menyerbu Cina dan makin mendesak ke selatan. Keadaan ini, terancam oleh penjajahan dan keadaan hidup yang serba kekurangan, juga takut akan datangnya bahaya peperangan dari utara, berbondong-bondong bangsa Cina mempergunakan segala kesempatan menempu bahaya pelayaran dengan peahu sederhana, menyeberang ke selatan. Ada yang mendarat dan menetap di pulau-pulau lain seperti Malaysia dan Philipina, akan tetapi sebagian besar mereka menuju ke Pulau Jawa.
Tan Beng Ki adalah seorang di antara banyak perantau Cina yang datang dan menetap di Pulau Jawa. Tadinya dia datang seorang diri dalam usia empat puluh tahun, meninggalkan isteri dan seorang anak perempuan Cina. Lima tahun kemudian dia telah berhasil maju, bahkan telah mampu memiliki sebuah perahu yang cukup besar untuk berdagang. Dia teringat akan isteri dan anaknya lalu dia pulang ke Cina untuk menjemput mereka. Akan tetapi setelah tiba di Cina, ternyata isterinya telah meninggal dunia setahun yang lalu, meninggalkan anak perempuan mereka yang berusia tiga belas tahun. Tan beng Ki lalu membawa Tan Swi Hong, anak perempuannya itu ke Pulau Jawa, di mana dia tinggal di Tuban dan telah memiliki sebuah rumah yang lumayan besarnya.
Karena pada jaman itu, semua perjalanan, baik yang melalui air mapun darat, tidak aman, apalagi yang membawa barang dagangan berharga, maka Tan Beng Ki membutuhkan bantuan piauw-su (pengawal keamanan). Dia sendiri bukan seorang lemah karena dia pernah belajar ilmu silat ketika masih tinggal di Cina. Akan tetapi untuk menjaga keamanan dari serangan dan gangguan para bajak laut dan perampok, Tan Beng Ki membutuhkan bantuan piauw-su. Setelah mencari-cari, akhirnya pada suatu hari dia mendapatkan seorang pemuda yang memiliki ilmu silat tinggi, murid Siauw-lim-pai yang sudah tiga tahun berada di Pulau Jawa. Pemuda itu bernama Kam Leng yang pada waktu itu diterima bekerja sebagai pengawal oleh Tan Beng Ki berusia sekitar dua puluh enam tahun.
Kemudian ternyata bahwa keberadaan Kam Leng yang tinggi ilmu silatnya itu dapat menjamin keamanan barang kiriman yang dikawalnya, baik dengan perahu maupun dengan kereta melalui darat. Tentu saja hal ini menyenagkan hati Tan Beng Ki dan Kam Leng dianggap sebagai saudara sendiri, diberi pembagian keuntungan sehingga pemuda ini dapat menabung agar kelak dia dapat memiliki modal sendiri untuk berdagang.Selain bekerja sebagai pengawal, Kam Leng juga mengajarkan ilmu silat kepada Tan Swi Hong yang berusia empat belas tahun ketika dia mulai bekerja di situ. Swi Hong pernah belajar ilmu silat ketika berda di Cina, dan kini dilatih Kam Leng, tentu saja kepandaiannya meningkat. empat tahun kemudian, setelah Swi Hong berusia delapan belas tahun, ia telah memiliki ilmu silat yang lebih tinggi daripada tingkat kepandaian ayahnya!
Setahun yang lalu, ketika Swi Hong berusia tujuh belas tahun, datang seorang pemuda lain bernama Sie Tiong yang ketika itu berusia dua puluh satu tahun. Sie Tiong ini memang diundang oleh Kam Leng untuk bekerja di Tuban membantu Tan Beng Ki karena Sue Tiong adalah sute (adik seperguruan) Kam Leng. Tidak seperti Kam Leng yang sudah hampir sepuluh tahun tinggal di Pulau Jawa, Sie Tiong baru datang tiga tahun yang lalu, mengikuti pamannya dan tinggal di daerah Semarang. Mendapat panggilan suheng (kakak seperguruan) itu, Sie Tiong datang dan mulailah dia bekerja pada Tan Beng Ki, selain sebagai pengawal juga mengerjakan pembukuan karena tidak seperti Kam Leng yang hanya pandai ilmu silat, Sie Tiong ini merupakan seorang bun-bun-coan-jai (ahli silat dan sastra).
Berbeda dengan watak Kam Leng yang agak kaku dan tinggi hati, sebaliknya Sie Tiong seorang pemuda yang bersikap lembut dan bijaksana, mungkin karena dia terpelajar dan sudah membaca kitab-kitab Su-si Ngo-keng yang mengandung pelajaran tentang prikemanusiaan dan kesusilaan dari Khong Cu (Confucius) dan kitab-kitab Agama Buddha. Selain itu juga Sie Tiong seorang pemuda yang tampan dengan sepasang mata lebar dan mulutnya selalu menyungging senyum ramah.
Maka terjadilah hal yang tidak dapat dihindarkan lagi. Tan Swi Hong yang cantik manis itu saling jatuh cinta dengan Sie Tiong! Sebagai seorang ayah yang penuh perhatian dan amat menyadari puterinya, Tan Beng Ki segera memaklumi akan hubungan batin antara puterinya dan Sie Tiong ini. Dia tidak merasa keberatan karena hati saudagar ini pun merasa suka kepada pemuda yang selain lihai ilmu silatnya, juga pandai mengatur pembukuan dan sikapnya sopan dan lembut menyenangkan hati.
Akan tetapi, ada orang yang tidak senang melihat keakraban hubungan antara Sie Tiong dan Swi Hong ini. Biarpun keduanya dalam bergaul tetap sopan dan menjaga kesusilaan, namun dalam pandang mata dan suara kedua orang itu, dengan mudah Kam Leng mengetahui bahwa antara sute-nya dan Swi Hong terdapat hubungan kasih sayang. Dia diam-diam menjadi khawatir dan marah sekali. Dia sendiri, diam- diam sejak Swi Hong mulai berkembang dewasa, menaruh hati kepada gadis itu.. Dia yang melatih gadis itu dalam ilmu silat, melihat gadis itu dari remaja tumbuh menjadi dewasa, seolah melihat mekarnya setangkai bunga yang diidamkan, dan kini setelah mekar semerbak harum akan dipetik orang lain! Tentu saja dia tidak rela dan dia pun mengambil keputusan untuk mendahului sebelum kedua orang itu terikat secara resmi.
Pada suatu sore, Kam Leng yang mengetahui kebiasaan Swi Hong yang suka duduk seorang diri dalam taman di belakang rumahnya, memasuki taman itu.
"Eh, engkau, Leng-ko (Kakak Leng)?"
Tegur Swi Hong ketika melihat Kam Leng.
"Hong-moi (Adik Hong), aku.... aku ingin bicara denganmu."
"Bicaralah, Leng-ko. Eh, duduklah dan katakan apa yang ingin kau bicarakan."
Kam Leng duduk di bangku depan gadis itu. Dia adalah seorang gagah yang tidak mengenal takut, dan tidak muda lagi karena usianya sudah tiga puluh tahun. Akan tetapi dia belum pernah bergaul rapat dengan wanita. Kini, berhadapan dengan Swi Hong yang dikenalnya sejak empat tahun yang lalu, yang hampir setiap hari dia latih ilmu silat, dia menjadi gugup dan sulit untuk bicara. Sukar baginya untuk bicara menyatakan cintanya kepada gadis itu.
"Hong-moi, aku.... anu.... aku mau bicara...."
"Hei, Leng-ko, engkau ini mengapakah? Kalau mau bicara, ya bicaralah, mengapa ragu-ragu dan gagap begini? Ada apakah, Leng-ko?"
(Lanjut ke Jilid 08)
Kemelut Blambangan (Seri ke 05 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08
Kam Leng mengerahkan kekuatan batinnya dan memberanikan diri, berkata tegas sambil membusungkan dada untuk menekan rasa gugupnya.
"Begini, Hong-moi. Aku ingin agar engkau menjadi isteriku!"
"Ahhh.... Leng-ko!"
Swi Hong terbelalak dan mukanya berubah merah, sama sekali tidak menyangka pembantu ayahnya yang juga menjadi gurunya dalam ilmu silat ini akan bicara seperti itu.
"Hong-moi."
Kam Leng menjadi berani sekarang setelah ucapan pertama tadi dikeluarkan.
"Aku mencintaimu, tidak tahukah engkau, Hong-moi bahwa sejak engkau remaja dulu aku sudah mencintamu? Kini engkau telah dewasa dan aku ingin engkau menjadi isteriku."
"Leng-ko, singkirkan jauh-jauh pikiran itu. Aku sudah menganggap engkau sebagai Kakakku sendiri, juga Guruku. Tidak, aku tidak bisa menjadi isterimu, Leng-ko."
"Akan tetapi aku mencintamu, Hong-moi. Apakah engkau tidak cinta padaku? Aku sudah berjasa besar terhadap Ayahmu dan aku sudah bersusah payah mengajarimu ilmu silat, menyayangmu sejak dulu...."
"Tidak.... tidak!"
Swi Hong bangkit berdiri.
"Leng-ko, hentikan itu, jangan merusak hubungan antara kita yang sudah baik!"
Swi Hong lalu berlari meninggalkan Kam Leng yang duduk tertegun di atas bangku dalam taman itu.
Hatinya terpukul. Kecewa dan penasaran. Jelas bahwa Swi Hong telah menolaknya! Akan tetapi hal ini tidak membuat dia putus asa. Di sana masih ada Tan Beng Ki, ayah gadis itu. Dialah yang akan memutuskan, Kalau dia melamar kepada ayah gadis itu, besar kemungkinan lamarannya diterima dan kalau si Ayah sudah menyetujui, tentu Swi Hong tidak dapat menolak pula!
Karena khawatir terlambat, malam itu juga, setelah makan malam, Kam Leng menghadap Tan Beng Ki di ruangan dalam. Mereka duduk berhadapan.
"Kam Leng, ada apakah? Engkau tampaknya mempunyai urusan penting untuk kau sampaikan kepadaku."
Kata Tan Beng Ki sambil menatap tajam wajah orang muda yang sudah hampir lima tahun membantunya itu.
Berhadapan dengan Tan Beng Ki, hati Kam Leng lebih tabah dibandingkan ketika dia berhadapan dengan Swi Hong sore tadi.
"Paman, bagaimana pendapat Paman tentang bantuan tenaga saya selama empat tahun lebih ini? Apakah Paman anggap saya cukup berguna dan berjasa?"
"Ah, tentu saja, Kam Leng! Bantuanmu besar sekali dan engkau amat berjasa ikut memajukan usahaku!"
"Saya berterima kasih kepada Paman karena saya merasa betapa Paman memperlakukan saya sebagai keluarga sendiri, bukan sebagai karyawan."
"Memang, engkau sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri, Kam Leng."
"Nah, karena itulah, Paman. Saya mempunyai keinginan untuk memperkuat hubungan dan ikatan kekeluargaan antara Paman dan saya."
"Maksudmu....?"
Tan Beng Ki memandang dengan sinar mata heran dan tidak mengerti.
"Begini, Paman. Terus terang saja, maksud saya menghadap Paman ini adalah untuk melamar Adik Tan Swi Hong untuk menjadi jodoh saya."
Agak terkejut hati Tan Beng Ki mendengar pinangan ini walaupun hal ini tidak terlalu mengherankan. Kam Leng, biarpun sudah berusia tiga puluh tahun, belum menikah dan dia tahu bahwa pemuda ini bukan laki-laki yang suka pelesir dengan wanita. Dan Swi Hong adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik manis. Sudah wajar kalau Kam Leng mengajukan pinangan. Sebenarnya dia agaknya tidak akan ragu menerima Kam Leng sebagai mantunya akan tetapi dia sudah tahu akan adanya hubungan cinta walaupun secara diam-diam antara anaknya dengan Sie Tiong!
"Kam Leng, aku mengerti apa yang kau maksudkan. Engkau melamar Swi Hong untuk menjadi isterimu. Hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi untuk memberi jawaban atas pinanganmu ini, aku harus bertanya kepada Swi Hong lebih dulu dan merundingkan urusan ini."
Kam Leng mengerutkan alisnya. Memang dia sudah khawatir akan mendapat jawaban seperti itu.
"Akan tetapi, Paman. Sebagai seorang wanita tentu Hong-moi merasa malu untuk memutuskan urusan perjodohannya. Saya kira hal ini cukup berada di tangan Paman untuk memutuskan, dan Hong-moi hanya akan menurut saja keputusan Paman."
"Tidak begitu, Kam Leng. Aku tidak ingin memaksakan kehendakku dalam urusan perjodohan Swi Hong kepadanya. Aku tidak akan memaksanya menerima kalau ia tidak setuju dan tidak akan memaksanya menolak kalau ia memang sudah setuju. Swi Hong, kesinilah!"
Tan Beng Ki berteriak memanggil puterinya, tanpa mempedulikan pandang mata Kam Leng yang tak senang.
"Ayah memanggilku? Ada apakah, Ayah?"
Swi Hong memasuki ruangan itu dan bertanya sambil melirik ke arah Kam Leng.
"Duduklah, Swi Hong."
Setelah puterinya mengambil tempat duduk, dia melanjutkan.
"Begini, Anakku. Kam Leng datang untuk melamarmu, aku tidak dapat mengambil keputusan sebelum menanyakan pendapatmu tentang lamaran ini."
Swi Hong menoleh dan memandang kepada Kam Leng dengan sinar mata mencorong karena marah.
"Leng-ko, aku sudah bilang tidak, mengapa engkau masih juga mengajukan lamaran kepada Ayahku? Sekali lagi aku bilang tidak, aku tidak mau menjadi isterimu!"
Setelah berkata demikian, Swi Hong bangkit berdiri dan dengan marah meninggalkan ruangan itu, kembali ke kamarnya.
Wajah Kam Leng agak pucat, lalu berubah merah sekali. Tan Beng Ki menghela napas dan berkata dengan nada menghibur.
"Maafkan Anakku, Kam Leng. Mungkin karena terlalu kumanjakan ia bersikap seperti itu. Engkau mendengar sendiri penolakannya, Kam Leng, maka tidak mungkin aku dapat menerima lamaranmu."
Kam Leng dengan muka kemerahan menundukkan mukanya. Ruangan itu hanya diterangi lampu gantung yang berada di bagian belakang tubuh Kam Leng sehingga Tan Beng Ki tidak dapat melihat betapa sepasang mata itu berkilat.
"Saya mengerti, Paman. Lamaran saya telah ditolak."
"Jangan kecil hati, Kam Leng. Anggap saja Swi Hong bukan jodohmu. Sekarang banyak gadis Cina dalam keluarga Cina di Tuban maupun di kota-kota pesisir. Engkau pilih saja yang mana, aku pasti akan menjadi walimu untuk mengajukan pinangan."
"Terima kasih, Paman dan permisi."
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah Kam Leng meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke kamarnya sendiri yang berada di bangunan belakang rumah induk itu, Tan Beng Ki segera mencari puterinya. setelah bertemu dia berkata.
"Swi Hong, Kam Leng sudah menerima kenyataan, bahwa dia bukan jodohmu. Coba katakan Swi Hong, mengapa engkau menolak lamaran Kam Leng? Bukankah dia seorang yang sudah berjasa terhadap kita dan dia pasti dapat menjadi seorang suami yang baik?"
"Ayah, aku tidak.... tidak mencintanya. Aku hanya menganggap dia sebagai Kakakku dan Guruku. Aku tidak ingin menjadi isterinya."
"Hemm, kalau begitu, siapakah yang menjadi pilihan hatimu? Katakan saja kepadaku, aku akan mengurus perjodohanmu. Engkau sudah cukup dewasa untuk berumah tangga, Swi Hong."
"Ihh, Ayah....!"
Swi Hong menundukkan mukanya, yang berubah merah. Ia tersenyum-senyum malu.
"Swi Hong, aku melihat pergaulanmu dengan Sie Tiong...."
"Ah, Ayah! Pergaulanku dengan Tiong-ko (Kakak Tiong) biasa-biasa saja!"
Dengan cepat Swi Hong memotong.
"Aku tahu. Kalian bergaul dengan sopan dan menjaga kesusilaan. Akan tetapi, tanpa kalian mengaku, dari sikap kalian aku yakin bahwa Sie Tiong menaruh hati padamu dan engkau.... hemm, agaknya engkau tidak keberatan."
"Ihh, Ayah....!"
"Swi hong, katakan terus terang. Engkau mencinta Sie Tiong?"
Swi Hong menundukkan muka, lalu menggeleng kepala dan menjawab lirih.
"Aku.... aku tidak tahu, Ayah...."
Tan Beng Ki maklum bahwa anaknya bicara terus terang. Seorang gadis muda seperti anaknya ini, mana ia dapat menentukan apakah ia jatuh cinta ataukah tidak? Ia belum pernah mengenal cinta!
"Engkau suka padanya?"
Sekali ini Swi Hong mengangguk!
"Andaikata Sie Tiong melamarmu untuk menjadi isterinya, apakah engkau juga akan menolaknya seperti tolakanmu terhadap Kam Leng?"
Sampai lama Swi Hong tidak menjawab, lalu sambil tetap menundukkan muka, dengan malu-malu ia berbisik "Aih, Ayah.... bagaimana Ayah sajalah...."
Tan Beng Ki tertawa bergelak. Tidak ada yang lebih jelas lagi daripada jawaban itu! Bagaimana ayah saja itu berarti mau!
"Begini, anakku."
Tan Beng Ki bicara dengan suara serius sehingga Swi Hong mendengarkan penuh perhatian. Mereka duduk berhadapan dalam kamar gadis itu.
"Aku merasa tidak enak hati atas penolakan kita terhadap Kam Leng. Aku tahu bahwa dia kecewa, penasaran dan terpukul. Mungkin sekali merasa malu dan bahkan mendendam. Oleh karena itu, sebaiknya diatur secepatnya agar engkau terikat dengan pria lain. Dan pria itu menurut pandanganku, adalah Sie Tiong. Bagaimana, engkau suka bukan berjodoh dengan Sie Tiong?"
"Ayah, aku.... aku belum ingin menikah sekarang...."
"Tidak perlu menikah sekarang. Kita menanti sampai engkau siap dan bersedia. Akan tetapi sementara ini, sebaiknya engkau terikat dan kalau engkau setuju, kita dapat merayakan pertunanganmu dengan Sie Tiong. Walaupun belum menikah, kalau engkau sudah terikat dengan pria lain dan menjadi calon isterinya. Dengan begitu maka tidak akan ada pemuda lain yang mengharapkanmu menjadi jodohnya, termasuk Kam Leng. Nah, sekarang jawab sejujurnya. Engkau mau kalau kita resmikan pertunanganmu dengan Sie Tiong?"
".... terserah Ayah sajalah...."
Ini berarti mau lagi! Tan beng Ki tertawa-tawa gembira dan dia segera menemui Sie Tiong malam itu juga! Sie Tiong adalah seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun, baru setahun bekerja kepada Tan Beng Ki. Tubuhnya sedang, wajahnya tampan dan lembut. Sikapnya juga sederhana dan dia rendah hati, ramah. Ketika Tan Beng Ki memanggilnya dan terang-terangan menyatakan keinginan hatinya untuk menjodohkan Swi Hong dengannya, pemuda ini tentu saja merasa berbahagia sekali. Dia tidak berpura-pura lagi dan segera menerimanya karena memang sudah ada hubungan kasih antara dia dan Swi Hong. Hal ini mereka berdua juga sudah mengetahui, apa lebih tepat lagi merasakan melalui sinar mata dan suara masing-masing. Dia merasa terharu dan berterima kasih sekali atas kebaikan Tan Beng Ki.
Tan Beng Ki lalu merayakan hari pertunangan puterinya dengan Sie Tion. sbuah perta diadakan dan di mengundang para relasi dahanh, juga orang-orang penting di Tuban, termasuk para pamong prajanya. Kam Leng tidak tampak dalam pesta itu. semenjak lamarannya ditolak, dia memang jarang tampak di rumah keluarga pedagang itu. Bahkan stelah ada rencana pesta pertunangan antara Tan swi Hong dan Sie Tiong, tiga hari sebelum pesta dirayakan, Kam Leng sudah tidak tampak lagi. Tidak ada yang mengetahui ke mana dia pergi.
Sebelum dia pergi, pada sore hari kemarinnya, dia berhasil menemui Sie Tiong dan bicara berdua saja.
"Sute, engkau sungguh seorang yang tidak mengenal budi. Engkau seperti seekor harimau jahat, setelah dipelihara, diberi makan sejak kecil, setelah besar malah menerkam pemeliharanya sendiri."
Sie Tiong menatap wajah suhengnya dengan tajam dan heran.
"Eh, Suheng, mengapa engkau berkata demikian? Apa kesalahanku?"
"Sute, jangan pura-pura tidak tahu! Coba jawab, siapakah yang menolongmu, mengajakmu datang ke sini dan memintakan pekerjaan kepada Paman Tan Beng Ki? Siapa yang menanggungmu sehingga engkau dipercaya dan dapat diterima?"
"Aku masih ingat benar, Suheng. Suhenglah yang menolongku dan untuk itu aku berterima kasih sekali padamu."
"huh, mulutnya saja berkata begitu. Akan tetapi buktinya? Engkau mencaplok apa yang kuidam- idamkan sejak bertahun-yahun. akulah yang mendidik Swi Hong, kalau ia dahulu kuncup bunga, akulah yang menyirami dan menjaga setiap hari dengan harapan kalau sudah mekar dewasa, aku yang akan memetiknya. Akan tetapi engkau begitu datang makah mengganggu dan bunga yang kudambakan setelah mekar engkau yang memetik. Engkau menghancurkan harapanku, engkau merusak hidupku."
Sie Tiong terkejut bukan main mendengar ucapan suhengnya ini, karena sungguh dia sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya ini agaknya diam- diam mencinta Swi Hong.
"Aduh, Suheng. Mengapa tidak suheng katakan sejak dulu? Aku memang mencinta Hong-moi, tetapi kalau aku tahu bahwa Suheng juga mencintainya tentu aku rela mengalah. Sungguh, Suheng, aku tidak merampas Hong-moi darimu. Aku hanya menurut saja kehendak Paman Tan Beng Ki untuk menjodohkan Hong-moi dengan aku. Suheng, kalau Suheng mencinta Hong-moi, mengapa tidak sejak dulu Suheng melamarnya? Sekarang, apa yang Suheng ingin kulakukan? Apakah aku harus menghadap Paman Tan Beng Kid an terus terang memberitahu padanya bahwa Suheng mencinta Hong-moi dan aku rela untuk membatalkan perunangan itu agar Suheng dapat berjodoh dengan Hong-moi?"
Kam Leng mengerutkan alisnya. Hatinya semakin panas mengenang betapa lamarannya telah ditolak oleh Swi Hong.
"Sudahlah!"
Dia mendengus.
"Tidak ada gunanya lagi! Akan tetapi ingatlah bahwa engkau telah menyakitkan hatiku, maka berhati-hatilah engkau!"
Setelah berkata demikian, Kam Leng meninggalkan sutenya dan sejak saat itu, dia menghilang. Semua pakaian juga lenyap dari dalam kamarnya. Tahulah keluarga itu bahwa Kam Leng pergi tanpa pamit, Sie Tiong merasa menyesal sekali, akan tetapi dia pun tidak dapat berbuat sesuatu. Da hanya merasa kasihan kepada suhengnya, akan tetapi dia tidak merasa bersalah karena memang perjodohan itu atas prakasa Tan Beng Ki. Andaikata tidak ada usulan dari pedagang itu, biarpun diam-diam amat mencinta Tan Swi Hong, mana dia ada keberanian untuk melamar puteri majikannya sendiri?
Pesta pertunangan itu cukup meriah. karena bangsa Cina yang tinggal di Tuban belum banyak, dan terutama karena hubungan Tan Beng Ki dengan para pejabat pamong praja dan penduduk pribumi di situ akrab, maka sebagian besar para tamunya adalah pribumi, tamu Cina hanya sekitar dua puluh orang saja.
Biarpun bukan pesta pernikahan, hanya pertunangan, namun karena puterinya merupakan anak tunggal, Tan Beng Ki merayakannya dengan meriah. Para tamu makan minum sambil mendengarkan suara merdu waranggana menembang diiringi gamelan dan menonton para penari melenggang-lenggokkan tubuh mereka yang denok dan lentur. Di antara para tamu itu terdapat Bagus Sajiwo dan Joko Darmono. Bagaimana kedua orang muda itu dapat menjadi tamu dalam pesta pertunangan itu?
Seperti kita ketahui, Bagus Sajiwo dan Joko Darmono melanjutkan perjalanan dengan niat untuk menuju Blambangan. Akan tetapi dalam perjalanan mereka itu mereka mendengar bahwa memasuki daerah Blambangan amatlah sulitnya. Semua daerah perbatasan dijaga ketat dan semua orang yang datang dari luar Blambangan diperiksa dan digeledah dengan teliti. Bagus Sajiwo lalu mengusulkan untuk mendatangi Blambangan lewat lautan, dengan naik perahu. Kalau naik perahu, tentu mereka akan dapat mendarat di pantai daerah Blambangan bagian timur dan dapat memasuki kadipaten itu tanpa diketahui orang Blambangan. Bagus Sajiwo pernah mendengar dari ayahnya bahwa Bupati Tuban merupakan orang yang setia kepada Mataram.
Bahkan ketika Mataram menundukkan Madura, Bupati Tuban merupakan orang yang setia kepada Mataram. Bahkan ketika Mataram menundukkan Madura, Bupati Tuban banyak membantu. Maka dia lalu mengajak Joko Darmono pergi ke Tuban dan setelah tiba di situ mereka menghadap sang Bupati Tuban. Ketika mendengar bahwa Bagus Sajiwo putera Ki Tejomanik yang dulu bernama Sutejo, Bupati Tuban menerima mereka dengan gembira. Di situ Bagus Sajiwo dan Joko Darmono mendengar lebih banyak tentang gerakan Blambangan yang merencanakan pemberontakan terhadap Mataram. Ketika Sang Adipati mendengar bahwa dua orang muda itu bermaksud pergi ke Blambangan untuk melihat keadaan dalam usaha mereka membantu Mataram, dia segera berkata dengan nada gembira.
"Kebetulan sekali. Kini ada kesempatan baik sekali bagi Andika berdua untuk menyusup ke Blambangan tanpa dicurigai. Hari ini seorang pedagang Cina bernama Tan Beng Ki sedang merayakan pertunangan anaknya dan kami mendengar bahwa besok pagi, dia hendak mengajak anak dan calon mantunya ikut dengan perahu dagangannya ke Blambangan. Nah, kalau kalian ikut dalam perahu mereka, menyamar sebagai karyawan atau tukang perahu, tentu kalian tidak dicurigai dan dapat memasuki Blambangan dengan mudah."
Bagus Sajiwo dan Joko Darmono merasa girang. Demikianlah, Bupati Tuban lalu memerintahkan seorang pamong paraja yang mendapat undangan dari Tan Beng Ki untuk mengajak dua orang pemuda itu dan memperkenalkannya kepada Tan Beng Ki sebagai dua orang kepecayaan Sang Bupati yang akan turut dalam perahu pedagang itu besok pagi ke Blambangan. Pegawai kabupaten yang membawa dua orang pemuda itu sengaja datang lebih dulu sebelum para tamu datang dan dia memperkenalkan Bagus Sajiwo dan Joko Darmono sebagai dua orang kepercayaan Sang Bupati yang diutus pergi menyusup ke Blambangan dan ikut dalam perahu saudagar itu, menyamar sebagai pegawai atau tukang perahu. Tan Beng Ki tentu saja menerima mereka berdua dengan baik, karena pedagang ini juga mempunyai hubungan baik dengan pamong praja setempat dan dia menghormati Bupati Tuban.
Mereka berdua ikut makan minum dan menikmati tontonan, mendengarkan tembang dan gamelan. Mulai saat itu, Joko Darmono tidak dapat lagi menjadi penunjuk jalan karena yang dikenalnya hanyalah daerah Blambangan, akan tetapi belum pernah dia melakukan pelayaran dengan perahu besar.
Ketika mereka melihat Tan Swi Hong yang mengenakan pakaian baru, dengan potongan biasa, bukan pakaian pengantin yang menutupi wajahnya yang cantik, duduk bersanding namun agak berjauhan dengan Sie Tiong yang juga mengenakan pakaian baru, Joko Darmono berbisik kepada Bagus Sajiwo.
"Lihat, Bagus. Puteri Pedagang Tan itu cantik sekali, ya?"
Bagus Sajiwo memandang dan dia pun harus mengakui bahwa Tan Swi Hong itu cantik, akan tetapi yang lebih mengherankan dan juga mengagumkan lagi, gadis itu tampak bersemangat dan gagah!
Pandang matanya tidak malu-malu seperti gadis kebanyakan, melainkan bersinar terang dan tajam.
"Memang ia canyik, Joko. Seperti itukah gadis yang kau idam-idankan?"
"Husshh! Ngawur kau! Aku justeru ingin sekali tahu apakah engkau dapat jatuh cinta kepada gadis seperti itu?"
"Engkau juga ngawur! Lihat, ia sudah mempunyai calon suami dan tunangannya itu juga tampan dan gagah!"
Joko Darmono kini memandang ke arah Sie Tiong.
"Memang dia cukup ganteng. Akan tetapi aku seperti melihat mendung menutupi wajahnya. Lihat, senar matanya muram."
"Engkau benar, Joko. Heran, bagaimana mungkin pemuda itu bermuram durja (berwajah sedih) dalam keadaan seperti ini? Kurang bagaimana? bertunangan dengan seorang gadis cantik jelita, mertuanya berkecukupan dan pertunangannya dirayakan begini meriah."
"Jangan-jangan dia tidak cinta kepada calon isterinya."
Kata Joko Darmono.
"Engkau pernah bilang bahwa tanpa adanya perasaan cinta kasih kedua pihak, pasangan hidup tidak akan berbahagia hidupnya?"
"Begitulah. Akan tetapi belum tentu dia tidak mencinta tunangannya itu. Siapa tahu ada persoalan lain yang merisaukan hatinya."
Ucapan Bagus Sajiwo itu memang benar. Dalam keadaan semeriah dan segembira itu, hati Sie Tiong merasa tertekan. Bagaimana dia dapat merasakan kegembiraan kalau dia ingat akan Kam Leng, suhengnya yang dia tahu merana, kecewa dan berduka karena patah hati dalam kegagalan cintanya? Saat itu dia merasa seolah menari-nari di atas hati suhengnya, menginjak-injak hati itu! Padahal selama ini hubungan batin yang erat antara dia dan suhengnya. Mereka berdua sama-sama, senasib sependeritaan, akan tetapi sekarang, karena seorang perempuan, hubungan itu retak, bahkan patah.
Suhengnya tentu kecewa dan membencinya. Inilah yang membuat wajahnya muram dan dia tidak dapat menikmati keberuntungannya. Dia merasa kasihan kepada Kam Leng, apalgi setelah dia bercakap-cajap dengan Swi Hong dan menceritakan bahwa suhengnya mencintanya, gadis itu memberitahukan bahwa suhengnya memang sudah mengajukan lamaran kepadanya namun ditolaknya karena ia tidak mencinta suhengnya.
Beberapa kali Swi Hong menoleh kepada tunangannya. Ia tahu apa yang menyebabkan pemuda itu bermuram durja. Ini tidak baik kalau dibiarkan terus, pikirnya. Para tamu tentu akan merasa heran melihat pemuda yang sedang dirayakan pertunangannya itu tampak tidak gembira. Ia lalu mengambil sebiji kedele dari atas meja, lalu tanpa diketahui orang, dengan telunjuk kanannya, dia menyentil kedele itu ke arah tunangannya.
Kedele itu menyambar bagaikan seekor lalat ke arah Sie Tiong dan tepat mengenai lengannya. Sie Tiong terkejut menengok ke kiri ketika merasa lengan kirinya terkena sesuatu yang kecil namun kuat. Dia melihat Swi Hong memandang kepadanya dan tersenyum dengan pandang mata menegur. Dia menyadari bahwa sejak tadi dia termenung dengan perasaan tertekan, maka dia juga membalas dengan senyum dan mengangguk, tanda bahwa dia mengerti dan diapun lalu menghilangkan kerut alisnya dan kemuraman wajahnya.
"Wah, hebat juga gadis itu!"
Joko Darmono berbisik kepada Bagus Sajiwo. Bagus Sajiwo juga mengerti dan dia pun merasa kagum. Dia melihat betapa kedele itu dapat disentil sehingga meluncur amat cepat mengenai lengan pemuda yang duduk sejauh kurang lebih tiga tombak lebih darinya. Kedele itu mengenai lengan yang tertutup baju yang kainnya cukup tebal namun pemuda itu tampak terkejut, tanda bahwa benturan kedele itu kuat sekali dan hal ini menunjukkan bahwa gadis Cina itu memiliki tenaga dalam yang kuat! Jelas bukan gadis yang tangguh, memiliki ilmu kanuragan yang kuat! Kedua orang pemuda ini memandang kagum dan heran.
Setelah pesta itu selesai dan para tamu mulai berpamit dan bubaran, Bagus Sajiwo dan Joko Darmono tetap duduk menanti karena tadi sudah ada permufakatan dengan Tan Beng Ki bahwa mereka berdua akan diterima sebagai tamu dan bermalam di rumah itu karena perahu akan berangkat besok pagi- pagi sekali. Tentu saja Tan Beng Ki menerima dan menghormati kedua orang pemuda itu karena mereka adalah orang-orang kepercayaan Sang Bupati dan melalui pamong paraja tadi telah "dititipkan"
Kepadanya.
Setelah semua tamu pulang, Tan Beng Ki mempersilakan dua orang pemuda itu masuk ke ruangan dalam rumah besar itu dan mereka diperkenalkan kepada Tan Swi Hong dan Sie Tiong. Mereka saling memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada sebagai sembah penghormatan.
"Swi Hong dan Sie Tiong, dua orang pemuda ini adalah orang-orang kepercayaan kanjeng Bupati. Mereka ini bernama.... wah, saya lupa lagi nama yang diperkenalkan pamong tadi...."
"Nama saya Bagus Sajiwo."
"Dan saya Joko Darmono."
"Saya merasa senang berkenalan dengan andika berdua. Nama saya Sie Tiong."
"Saya Tan Swi Hong, puteri dari Ayah Tan Beng Ki ini."
Dua orang pemuda itu harus menanamkan benar-benar tiga nama itu dalam ingatan mereka agar tidak mudah lupa karena bagi mereka nama-nama asing itu agak sukar diingat.
Tan Beng Ki lalu berkata sambil tersenyum kepada dua orang tamunya.
"Maafkan saya. Saya masih mempunyai banyak urusan yang harus saya kerjakan. Silakan kalian berempat bercakap-cakap dan mempererat persahabatan. Kita akan melakukan pelayaran bersama seperahu untuk beberapa hari lamanya, sudah sepatutnya kalau kita dapat mengenal diri masing-masing lebih baik."
"Silakan, Tuan."
Kata Bagus Sajiwo. Tadi dia sudah minta keterangan kepada pamong yang mengantar dia dan Joko Darmono ke situ bagaimana harus menyebut tuan rumah. Pamong itu menasihatkan agar dia menyebut babah atau tuan. Karena sebutan babah masih asing baginya, dia memilih sebutan tuan karena dia pernah mendengar dari ayah ibunya bahwa bangsa asing sebaiknya disebut tuan.
Tan Beng Ki tersenyum lebar. Dia sudah lama tinggal di Nusa Jawa dan sudah menyerap kebiasaan bangsa peribumi yang rendah hati.
"Wah, harap jangan menyebut Tuan kepadaku, anakmas Bagus Sajiwo. Sebutan Tuan itu hanya untuk bangsa Belanda. Sebut saja aku Paman."
"Terima kasih, Paman Tan Beng Ki."
"Cukup Paman Tan saja agar jangan terlalu panjang dan mudah kau ingat."
Kata pula pedagang itu, lalu dia meninggalkan ruangan menuju je belakang.
Kini tinggal empat orang muda itu di ruangan yang cukup luas itu. Sejenak mereka saling berpandangan, saling senyum dan Joko Darmono yang lincah dan pandai bicara itu segera membuka percakapan.
"Wah, kalau kita berempat hanya diam saja, saling pandang dan senyum-senyum, orang akan mengira kita berempat ini gagu. Sayang sekali, tiga orang pemuda ganteng dan seorang gadis jelita ternyata gagu!"
Mendengar ucapan yang berupa kelakar ini, mereka berempat tertawa. Swi Hong menutupi mulutnya ketika tertawa matanya bersinar dan wajahnya berseri.
"Mas Joko Pramono...."
"Wah, engkau belum selamatan sudah mengubah namaku, Nona! Namaku Joko Darmono, boleh kau panggil Joko saja."
"Maaf, Mas Joko, akan tetapi jangan sebut aku Nona, sebut saja namaku, Swi Hong."
"Baik, Swi Hong. Akan tetapi engkau panggil saja aku Joko. Begitu lebih akrab, bukan?"
"Baiklah, Joko. engkau sungguh pandai berkelakar. Kami gembira sekali berkenalan dengan kalian berdua."
Kata Swi Hong sambil tersenyum manis.
"He-he, kalian berdua hati-hati, Jangan terlalu akrab, nanti Sie Tiong bisa sangat cemburu!"
Bagus Sajiwo ikut pula berkelakar, menggoda.
Sie Tiong orangnya lembut dan sederhana, agak pendiam, akan tetapi tidak kaku.
"Aih, Bagus Sa.... da-apa, aku lupa lagi!"
"Heh-heh, Bagus Sa.... Sapi, begitu!"
Joko Darmono berseru dan kembali semua orang tertawa.
"Sebut saja aku Bagus, Sie Tiong."
"Aih, namanya sesuai dengan orangnya."
Kini Tan Swi Hong makin berani dan akrab ikut bercanda.
"Waduh, sekarang Sie Tiong akan cemburu kepadamu, Bagus. Tunangannya memuji engkau tampan."
"Sama sekali tidak ada cemburu di antara kami, Bagus dan Joko. Hong-moi (Adik Hong) mengatakan yang sebenarnya, bukan untuk merayu dengan pujian."
"Benar apa yang dikatakan oleh Tiong-ko. Cemburu hanya terdapat dalam pikiran orang yang dangkal pandangannya dan palsu cintanya."
Kata Tan Swi Hong.
"Wah, nama kalian sekarang berubah pula! Swi Hong menjadi Hong-moi dan Sie Tiong menjadi Tiong-ko!"
Joko Darmono mencela.
Swi Hong tertawa.
"Tidak berubah, Joko. Moi atau moi-moi berarti diajeng, dan ko atau ko-ko berarti kakangmas, begitu!"
"Aduh mesranya!"
Joko Darmono menggoda lagi.
"Nanti dulu, Swi Hong. Engkau tadi mengatakan bahwa cemburu hanya terdapat dalam pikiran orang yang dangkal pandangannya dan palsu cintanya. Aku tertarik sekali. Coba jelaskan!"
Kata Bagus Sajiwo.
Tan Swi Hong tersenyum dan mengerling kepada tunangannya, lalu berkatalah "dia yang memberi penjelasan."
Sie Tiong tersenyum.
"Terus terang saja. Akupun pertama tahu akan hal itu dari baca kitab-kitab kuno lalu kurenungkan sehingga dapat melihat kebenaran yang terkandung didalamnya. Begini, Bagus dan Joko. Cemburu merupakan pemikiran yang dangkal karena semua orang juga mengetahui bahwa cemburu mendatangkan kebencian dan kemarahan yang membuat orang dapat melakukan kekejaman. Cemburu muncul dari kemelekatan, ingin memiliki dan menguasai demi kesenangan diri sendiri. Orang yang berpandangan luas tidak akan membiarkan cemburu meracuni hatinya yang akibatnya akan menggelapkan pandangan dan mematahkan pertimbangan akal budi. Cemburu hanya mengotorkan cinta dan kalau ada cemburu, berarti cintanya palsu. Cinta yang sejati mengandung kepercayaan mutlak dan sepenuhnya kepada orang yang dicintanya. Nah, demikianlah yang kuketahui dari kitab-kitab kuno."
Bagus Sajiwo mengangguk-angguk kagum.
"Wah, tidak kusangka kalian ini muda-mudi Cina juga memiliki pandangan yang mendalam tentang kehidupan. Sie Tiong, engkau pandai membaca kitab kuno, tentu engkau seorang yang terpelajar tinggi."
"Ah, Bagus. Semua orang juga pelajar kalau saja dia mau belajar. Hidup ini sesungguhnya mempelajari segalanya melalui pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain, bukan?"
"Heh-heh, percakapan antara dua orang kakek yang sepatutnya menjadi pertapa dan pendeta. kering dan tidak menarik! Swi Hong, lebih baik kita bicara tentang hal lain yang lebih menggembirakan. Aku melihat tadi engkau seorang gadis yang memiliki tenaga hebat. Sentilanmu pada sebiji kedele kepada tunanganmu tadi benar-benar mengagumkan!"
Bukan hanya Swi Hong, juga Sie Tiong tampak terkejut dan keduanya memandang kepada Joko Darmono dengan mata terbelalak.
"Joko! Engkau.... engkau tahu akan hal itu?"
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Swi Hong.
Joko Darmono tersenyum.
"Tentu saja aku tahu dan Bagus juga tahu. Aku pernah mendengar bahwa bangsa Cina banyak yang pandai bermain silat. Aku yakin engkau tentu pandai silat, Swi Hong! Betul,
kan?"
Swi Hong mengerling ke arah tunangannya sambil tersenyum.
"Ah, aku tidak sepandai dia."
"Hebat! Tentu engkau seorang ahli silat yang pandai, seorang pendekar, Sie Tiong!"
Kata pula Joko Darmono.
"Wah, tidak berani aku mengaku sebagai seorang pendekar yang pandai. Bagiku, seorang pendekar bukan asal dia pandai bersilat dan pandai berkelahi, melainkan seorang yang dengan gigih membela kebenaran dan keadilan dan siap mengorbankan dirinya untuk membela orang-orang tertindas dan menentang orang yang sewenang- wenang dan jahat."
"Kami percaya bahwa engkau tentu seorang pendekar yang pandai silat dan juga seorang ahli sastra, Sie Tiong."
Kata Bagus Sajiwo.
"Jangan memandang terlalu tinggi, Bagus. Terus terang saja, aku suka mempelajari sastra dan tentang ilmu silat, aku tahu sedikit-sedikit. Aku pernah belajar ilmu silat di biara Siauw-lim-si."
"Ah, aku pernah mendengar bahwa perguruan Siauw-lim merupakan perguruan silat yang paling besar dan terkenal di Cina!"
Sie Tiong mengangguk.
"Memang benar, akan tetapi bukan berarti aku memiliki kepandaian tinggi. aku hanya mempelajari sedikit saja, hanya untuk bekal memebela diri."
Bagus Sajiwo teringat akan nasihat mendiang Ki Ageng Mahnedra, bahwa orang yang omongannya besar dan sombong tidak perlu ditakuti karena biasanya seperti gentong kosong yang nyaring buinyinya, akan tetapi harus berhati-hati terhadap orang yang bicaranya merendahkan diri karena orang seperti itu suka menyembunyikan kemampuan yang hebat. Batang padi yang kosong tegak, akan tetapi yang padat berisi merunduk.
"Sie Tiong dan Swi Hong, bolehkah kami melihat kalian berlatih silat sebentar? Kami ingin sekali melihat ilmu silat kalian!"
Kata Joko Darmono.
"Ah, ilmu silat kami masih rendah...."
"Sie Tiong, aku juga mengharap engkau dan Swi Hong mau memperlihatkan ilmu silat kalian kepada kami. Bukankah kita telah menjadi sahabat baik? Jadi, tidak usah sungkan!"
Bagus Sajiwo juga membujuk.
"Dan engkau sendiri, apakah juga murid Siauw- lim, Swi Hong?"
Tanya Joko Darmono.
"Boleh dibilang begitu, Joko. Aku dilatih oleh Ayahku sendiri, kemudian aku mempelajari ilmu silat Siauw-lim."
"Wah, kalau begitu kalian ini pasamngan hebat!"
"Marilah, Sie Tiong dan Swi Hong, perlihatkan ilmu silat kalian kepada kami. Kami ingin sekali melihatnya."
Bagus Sajiwo membujuk lagi.
Sie Tiong tampaknya tak dapat menolak lagi, akan tetapi Swi Hong mendahuluinya.
"Bagus dan Joko, kami tidak keberatan memperlihatkan ilmu silat kami, akan tetapi hanya dengan satu syarat!"
"Wih! Pakai syarat-syaratan segala! Dasar berdarah pedagang, tidak mau kalah dan tidak mau rugi. Nah, katakan apa syaratnya?"Joko Darmono berseru, namun nada suaranya jelas berkelakar sehingga Swi Hong tidak merasa tersinggung. Gadis itu tersenyum memandang Joko Darmono.
"Kalian dapat melihat ketika diam-diam tadi aku menyentil kedele, hal itu menunjukkan bahwa kalian memiliki penglihatan yang tajam. Kami dapat menduga bahwa kalian tentu bukan orang-orang sembarangan, tentu memiliki aji kesaktian. Maka, kami mau memperlihatkan ilmu silat kami kalau kalian juga nanti menunjukkan kepandaian kalian kepada kami. Bagaimana, setuju?"
"Aku setuju! Usul itu bagus sekali!"
Sie Tiong berseru gembiara.
Jolo dan Bagus saling berpandangan, lalu keduanya tertawa.
"Wah, terpeleset kita sekarang, Bagus! Gadis ini benar-benar cerdik sekali. Baiklah, Swi Hong dan Sie tiong, kalian berdua perlihatkan dulu ilmu silat kalian, setelah itu nanti giliran kami untuk memperlihatkan kebodohan kami."
"Aih, jangan begitu, Joko. Di antara kita tidak perlu saling merendah. Tidak ada yang pintar atau bodoh. Kita sama-sama memperlihatkan apa yang pernah kita pelajari dan masing-masing memberi saran kalau ada kekurangannya. Nah, mari kita pergi ke lian-bu-thia."
Kata Sie Tiong.
"Apa itu?"
Bagus bertanya heran.
"Lian-bu-thia artinya Ruangan latihan silat. Kami mempunyai ruangan itu, disebelah belakang. Mari kita ke sana."
Mereka berempat lalu menuju ke belakang. Ruangan yang dimaksudkan itu berada di jajaran gudang-gudang barang, sebuah ruangan tertutup yang luas dan disudut terdapat sebuah rak tempat berbagai macam senjata. Ada toya, tombak, ruyung, trisula, golok, pedang dan lain-lain.
"Wah, bagus sekali ruangan untuk latihan ini!"
Joko berseru. Mereka lalu duduk di atas bangku yang terdapat di samping dekat dinding.
"Hayo, mulailah kalian!"
Joko mendesak.
Sie Tiong dan Swi Hong saling pandang, kemudian keduanya melangkah ke tengah ruangan, berdiri saling berhadapan. Pertama mereka memutar tubuh menghadapi Bagus Sajiwo dan Joko Darmono, mengangkat kedua tangan depan dada dan membungkuk sebagai penghormatan kepada mereka yang menonton, kemudian mereka saling memberi hormat.
"Siap!"
Kata Sie Tiong sambil memasang kuda- kuda Ji-ma-she (Menunggang Kuda), kedua kakinya terpentang dan lututnya ditekuk, tubuhnya tegak lurus, seperti orang sedang menunggang kuda, kedua tangan diletakkan di sisi pinggang.
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo