Alap Alap Laut Kidul 19
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
"Eh, Kakangmas Jatmika, kenapa sejak tadi engkau memandangku seperti itu?"
Tiba-tiba Eulis bertanya denga suara menegur ketika tanpa disadarinya pemuda itu mengamatinya dengan sepasang mata penuh selidik Barulah Jatmika gelagapan dan baru dia menyadari bahwa kelakuannya tadi tidak patut.
"Eh..... ohh..... aku sungguh merasa heran melihatmu, Nimas Eulis,"
Katanya agak gagap.
"Heran?"
Tanya Eulis mulai mengamati diri sendiri untuk mencari kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres.
"Apakah ada sesuatu yang aneh pada diriku?"
"Memang ada yang aneh sekali, nimas, akan tetapi bukan pada dirimu."
"Lalu apa yang aneh? Katakanlah, kakangmas, engkau membuat aku menjadi penasaran dan ingin tahu."
"Nimas, ketika engkau dikeroyok oleh Gerombolan Gunung Careme itu, aku melihat gerakan ilmu silatmu dan aku mengenalnya dengan baik. Itulah yang membuat aku menjadi heran sekali karena semua aji kanuragan yang kau pergunakan untuk melawan mereka itu adalah aliran dari perguruanku. Aku tidak sangsi atau ragu lagi bahwa ilmu yang kita kuasai itu sealiran, Berarti kita ini masih saudara seperguruan. Cobalah ingat-ingat, Nimas, siapakah yang mengajarkan semua ilmu silat itu kepadamu? Siapakah gurumu?"
Eulis memejamkan kedua matanya, mengerutkan alisnya dan mencoba untuk mengingat-ingat. Akan tetapi ia tidak dapat mengingat apa-apa sebelum mendapatkan dirinya dikeroyok tujuh orang jahat itu. Yang dapat diingatnya hanya sejak pengeroyokan itu, sampai Jatmika menolongnya. Sebelum itu gelap, sama sekali kosong dan ia tidak dapat mengingat apapun, ia tidak ingat siapa gurunya, tidak ingat siapa orang tuanya dan dari mana ia berasal. Yang ia ingat hanya bahwa ia bernama Listyani dengan sebutan Eulis dan berasal dari daerah Cirebon seperti yang dikatakan Jatmika kepadanya.
Eulis membuka kedua matanya, memandang kepada pemuda yang duduk disampingnya itu dan ia menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu, kakangmas, tidak ingat siapa guruku. Akan tetapi, bukankah engkau sendiri yang mengayakan bahwa aku bernama Listyani, biasa disebut Eulis dan berasal dari daerah Cirebon? Engkau lebih mengetahui tentang asal usulku, kakangmas, tentu engkau tahu pula dari siapa aku belajar semua ilmu ini."
Jatmika menggeleng kepalanya.
"Tidak, nimas. akupun tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa engkau bernama Listyani atau Eulis dan berasal dari daerah Cirebon. Akan tetapi engkau tentu ingat akan nama-nama semua aji yang engkau kuasai itu, bukan?"
Eulis menggeleng kepala.
"Engkau menguasai Aji Surya Hasta, Aji Margopati, dan Aji Guruh Bumi!!"
Kata Jatmika penasaran. Eulis menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Aku tidak tahu, tidak mengenal nama-nama itu. Sudahlah, Kakangmas Jatmika, aku memang sama sekali tidak ingat akan masa laluku. Tentang diriku, biarlah kita ketahui bahwa aku bernama Listyani atau Eulis berasal dari daerah Cirebon dan aku menguasai ilmu-ilmu kanuragan yang sealiran denganmu. Sekarang, sebaiknya engkau menceritakan tentang dirimu, kakangmas, agar aku dapat mengenalmu lebih baik lagi."
Jatmika menghela napas panjang. Sebetulnya ia ingin tahu sekali siapa sebenarnya gadis yang amat menarik hatinya itu. Dia harus mengakui bahwa biarpun dia sudah bertemu dengan banyak wanita cantik, semenjak tinggal di Banten, sampai pindah ke Dermayu, namun belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis yang begitu menarik hatinya. Dia merasakan benar bahwa sekali ini dia benar-benar jatuh cinta kepada gadis yang tidak diketahui nama atau asal-usulnya ini. Dia memberi nama Listyani atau Eulis hanya agar gadis itu tidak menjadi bingung. Dia menduga bahwa gadis itu telah kehilangan ingatannya yang sebabnya tidak dia ketahui pula. Akan tetapi mendengar ucapan Eulis tadi, dia merasa gembira sekali. Setidaknya, gadis ini menaruh perhatian kepadanya dan ingin dapat mengenalnya lebih baik.
"Engkau sudah tahu, namaku Jatmika. Aku berasal dari Banten. Ayahku bernama Ki Sudrajat dan sejak aku kecil, ayah, ibu dan aku tinggal di Banten. Dua tahun yang lalu ibuku meninggal dunia. Ayah lalu mengajak aku menyusul eyangku yang tinggal di pantai laut Dermayu. Eyangku itu bernama Ki Tejo Langit, akan tetapi di pantai laut Dermayu eyang berjuluk Ki Ageng Pasisiran. Akan tetapi, aku tidak betah menganggur tinggal di sana, maka aku lalu berpamit dari ayah dan eyang untuk pergi merantau dan mencari pengalaman sambil mengamalkan semua ilmu yang pernah kupelajari dari ayah dan eyang. Nah, kulihat gerakan aji kanuraganmu tadi sama benar dengan aliran kami sekeluarga. Nimas Eulis, apakah ceritaku ini tidak mengingatkan engkau akan sesuatu?"
Eulis mengerutkan alisnya, mencoba untuk mengingat-ingat.
"Aku tidak ingat apa-apa, kakangmas, hanya nama Dermayu dan Ki Ageng Pasisiran itu rasanya tidak asing bagiku, akan tetapi aku tidak tahu di mana tempat itu atau siapa yang memiliki nama itu."
"Aneh sekali. Aku harus menyelidiki asal usulmu, nimas, dan aku akan membantumu sampai engkau menemukan orang tuamu. Aku akan mempertemukan engkau dengan Eyang Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit. Mungkin beliau mengenalmu dan dapat menceritakan siapa orang tuamu."
"Baik, kakangmas. Karena aku tidak ingat apa-apa dan merasa bingung, maka aku menurut saja apa yang akan kau lakukan untuk mencari orang tuaku agar aku dapat mengingat lagi asal usulku."
"Kita akan pergi ke Dermayu, nimas. Akan tetapi sebelum itu, kita harus pergi dulu ke Sumedang memenuhi pesan ayah dan eyang untuk membantu Gusti Pangeran Mas Gede, Adipati Sumedang menghadapi orang-orang pemberontak yang mengadakan kekacauan di daerah Kadipaten Sumedang."
"Baik, kakangmas. Aku ikut dan aku akan membantumu sekuat tenaga walaupun aku tidak tahu mengapa engkau membantu Kadipaten Sumedang dan siapa pula Gusti Pangeran Mas Gede itu."
Kembali Jatmika menghela napas panjang.
"Nimas, aku yakin bahwa seandainya engkau tidak melupakan asal usulmu, tentu engkau akan mengetahui akan keadaan yang kau tanyakan itu. Agaknya sekarang engkaupun tidak tahu akan Kerajaan Mataram dan Gusti Sultan Agung raja Mataram, bukan?"
Eulis memandang bodoh dan menggeleng kepala.
"Kasihan engkau, Nimas Eulis. Entah apa yang terjadi denganmu sehingga engkau melupakan segala hal. Ketahuilah, Kerajaan Mataram adalah kerajaan besar yang menguasai hampir seluruh Nusantara. Hampir semua kadipaten di Jawadwipa tunduk dan mendukung Kerajaan mataram yang kini sedang mempersiapkan diri dan menyusun kekuatan untuk menghadapi kekuasaan Kumpeni Belanda yang semakin merajalela."
"Siapakah Kumpeni Belanda itu, kakangmas?"
Jatmika maklum bahwa gadis ini sudah kehilangan ingatannya, maka dia harus menjelaskan segalanya agar gadis itu tidak bingung dan tahu benar di pihak mana ia harus berdiri.
"Kumpeni Belanda adalah bangsa asing berkulit bule dan bermata siwer (berwarna). Kalau engkau berasal dari daerah Cirebon, kurasa engkau pasti pernah melihat bangsa Belanda."
Eulis menggeleng kepala.
"Aku tidak ingat, kakangmas."
"Sudahlah, ketahuilah saja bahwa bangsa Belanda adalah bangsa asing yang sama sekali berlainan dengan bangsa kita. Mereka disebut Kumpeni Belanda dan sekarang mereka mempunyai benteng di Jayakarta. Akan tetapi mereka itu semakin merajalela dan berusaha menguasai perdagangan, juga berusaha memperluasa tanah yang mereka kuasai. Mereka hendak merampas tanah air kita, nimas."
Eulis mengerutkan alisnya. Biarpun ia tidak ingat sama sekali dan cerita ini merupakan hal baru baginya, namun ia dapat mengerti bahwa Kumpeni Belanda itu adalah musuh!.
(Lanjut ke Jilid 21)
Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 21
"Jahat sekali mereka!"
Katanya.
"Mereka jahat, akan tetapi juga amat kuat, nimas. Karena itu, kita berkewajiban untuk membantu Mataram dan menentang Kumpeni Belanda. Bagaimana pendapatmu, nimas?"
Eulis mengepal kedua tangannya.
"Aku juga akan membantu Mataram dan menentang Kumpeni Belanda!"
"Bagus! Nah, ketahuilah bahwa Gusti Mas Gede, Adipati Sumedang itu juga mendukung Mataram dan sekarang Sumedang dikacau oleh gerombolan pemberontak yang agaknya digerakkan oleh Kumpeni Belanda. Maka kita harus membantu Sumedang dan menentang para pemberontak itu."
"Baik, kakangmas. Aku setuju untuk bersamamu membantu Kadipaten Sumedang."
"Mari kita lanjutkan perjalanan, nimas. Sudah cukup lama kita melepaskan lelah di sini."
Kata Jatmika yang melompat turun dari atas panggung gubuk itu. Eulis juga melompat turun dan mereka meninggalkan gubuk di tengah sawah itu, melalui pematang sawah. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke barat. Akan tetapi ketika mereka tiba di tepi sebuah hutan, muncul lima orang dan Jatmika berbisik kepada Eulis.
"Hati-hati, nimas. Lima orang itu agaknya mencurigakan. Mereka seperti sengaja menghadang kita."
Eulis memandang ke depan dan memang, lima orang itu kini berhenti dan sengaja menghadang di jalan yang menuju ke hutan itu. Jatmika mengambil sikap tidak acuh dan berjalan terus, Eulis berjalan di sisinya. Akan tetapi setelah mereka tiba dekat dengan lima orang itu, seorang di antara mereka berseru.
"Benar, merekalah itu! Mereka yang telah membunuh Kakang Munding Hideung dan Paman Kolo Srenggi!"
Jatmika dan Eulis memandang orang yang bicara sambil menuding kepada mereka itu. Mereka tidak mengenal orang itu, akan tetapi dari ucapan orang itu mereka dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang anak buah Munding Hideung yang berhasil meloloskan diri. Kini pemuda dan dara itu berdiri berhadapan dengan lima orang itu dan mereka mengamati dengan penuh perhatian. Yang bicara tadi adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Tiga orang lain juga sebaya dengannya. Akan tetapi orang ke lima adalah seorang kakek berusia tujuh puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan mukanya kehitaman, hidungnya mancung sekali dan matanya cekung tajam. Wajahnya mirip seekor burung kakaktua dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular setinggi pinggangnya. Kakek itu tampak menyeramkan sekali, tubuhnya yang tinggi itu agak bongkok, tulang tubuhnya besar dan sepasang matanya tajam bukan main, sinarnya seperti dapat menembus jantung.
"Apa?"
Kakek itu berkata, suaranya terdengar agak bindeng dan logatnya asing, kaku.
"Bocah-bocah ini mampu menewaskan Munding Hideung dan Kolo Srenggi? Heh, orang muda! Benarkah andika berdua yang telah membunuh Munding Hideung dan Kolo Srenggi?"
Pertanyaan ini diajukan kepada Jatmika. Pemuda itu bersikap tenang dan waspada karena dia dapat menduga bahwa kakek itu tentu seorang yang sakti mandraguna.
"Kalau yang anda maksudkan itu gerombolan penjahat yang mengganas di Gunung Careme, benar kami yang membasminya."
Jawab Jatmika dengan jujur.
"Babo-babo si keparat jahanam!"
Kakek itu memaki marah.
"Mereka itu adalah sahabatku dan muridku, dan kalian berdua berani membunuh mereka! Siapakah kalian yang begini tak tahu diri dan nekat? Ketahuilah, kini kalian berhadapan dengan Aki Mahesa Sura. Hayo mengaku siapa kalian, jangan mati tanpa nama!"
Dengan sikap tenang Jatmika menjawab.
"Namaku Jatmika dan gadis ini bernama Listyani. Kami menentang gerombolan di Gunung Careme karena mereka jahat. Aki Mahesa Sura, andika adalah seorang yang sudah tua, sebaiknya jangan membela mereka karena kalau andika membela gerombolan itu, berarti andika juga jahat dan terpaksa kami akan menentangmu!"
"Huh-huh, apa sih baik atau jahat itu? Yang baik bagiku belum tentu baik bagimu dan yang jahat bagimu belum tentu jahat bagiku! Kalian berdua telah membunuh sahabatku Kolo Srenggi dan muridku Munding Hideung, karena itu kalian harus dihukum!"
Dia menoleh ke belakang, dan berkata kepada tiga di antara orang pengikutnya.
"Panca Munding (Lima Kerbau) telah hilang dua, tinggal kalian bertiga harus dapat membalaskan dendam ini. Tangkaplah dua orang muda itu!"
Mendengar perintah ini, tiga orang laki-laki yang tadinya berdiri di belakang Aki Mahesa Sura serentak berlompatan ke depan menghadapi Jatmika dan Eulis.
"Aku adalah Munding Beureum!"
Kata seorang yang memakai sabuk berwarna merah.
"Aku Munding Koneng!"
Kata orang kedua yang bersabuk kuning.
"Aku Munding Hejo!"
Kata orang ketiga yang bersabuk hijau.
"Selama bertahun-tahun, kami Panca Munding sehidup semati di gunung Careme. Kini kalian telah membunuh dua orang kakak kami, maka menyerahlah untuk kami tangkap dan menerima hukuman dari guru kami!"
Kata Munding Beureum.
"Kami berdua tidak merasa bersalah. Kalau kalian hendak membela yang jahat, terpaksa kami akan menghajar kalian juga!"
Kata Jatmika. Eulis juga sudah siap karena ia mengerti bahwa mereka berhadapan dengan teman-teman penjahat yang telah dibasminya bersama Jatmika. Diam-diam dara perkasa ini telah mengerahkan tenaga saktinya, siap untuk melawan.
Munding Beureum mengeluarkan gerengan dan agaknya ini merupakan isarat bagi dua orang adik seperguruannya. Mereka bertiga mengeluarkan suara gerengan dan tiba-tiba mereka berjungkir balik di atas tanah tiga kali dan...... bentuk mereka telah berubah menjadi tiga ekor harimau sebesar anak lembu! Tiga ekor harimau ini menggereng dan mengaum sambil memperlihatkan taring dan mengibas-kibaskan ekor mereka yang panjang.
Tentu saja Eulis terbelalak ngeri, akan tetapi Jatmika menoleh kepadanya dan berkata lirih.
"Pergunakan Aji Guruh Bumi.....
"
Eulis menurut. Bersama Jatmika ia lalu mengerahkan tenaga sakti dan memasang Aji guruh Bumi, menggedruk (membanting) kaki tiga kali ke atas tanah lalu keduanya mendorongkan kedua telapak tangan ke depan dan membentak.
"Aji Guruh Bumi.....!!"
Tiga ekor harimau jadi-jadian yang sudah bergerak ke depan hendak menubruk itu tiba-tiba dilanda angin pukulan yang amat kuat. Tiga ekor binatang jadi-jadian itu terdorong ke belakang dan jatuh bergulingan, berubah lagi menjadi tiga orang laki-laki ang tampak terkejut. Mereka manjadi penasaran sekali. Ilmu mereka mengubah diri menjadi harimau ternyata dapat dipunahkan dua orang muda itu dengan aji pukulan yang amat ampuh. Mereka lalu mencabut keris masing-masing dan serentak maju menyerang. Munding Hejo yang paling muda sudah menerjang dan menyerang Eulis dengan tusukan kerisnya. Eulis bergerak cepat menghindarkan diri dengan elakan ke belakang, lalu membalik dan kaki kirinya mencuat, melayang dan menyambar ke arah muka lawan. Munding Hejo cukup cekatan. Dia sudah mampu menghindar dari sambaran kaki itu dengan merendahkan tubuhnya lalu menyerang lagi dengan kerisnya. terjadi perkelahian sengit antara Eulis melawan Munding Hejo.
Sementara itu, Munding Beureum dan Munding Koneng juga sudah maju mengeroyok Jatmika yang mereka anggap lebih tangguh dibandingkan gadis itu. Mereka menyerang dengan tusukan keris, bertubi-tubi, dengan gerakan yang tangkas, cepat dan kuat. Melihat gerakan mereka, tahulah Jatmika bahwa dua orang lawannya adalah lawan-lawan yang cukup tangguh. Maka diapun cepat mencabut kerisnya. Keris yang gagangnya terbuat dari kayu cendana hitam. Keris itu berpamor emas dan itulah Kyai Cubruk, keris pusaka dari Banten yang terkenal ampuh pemberian ayahnya Ki Sudrajat.
"Trang.....! Cring.....!!"
Dua batang keris di tangan Munding Beureum dan Munding Koneng terpental ketika senjata mereka itu ditangkis oleh keris Kyai Cubruk di tangan.
Gerakan tangan Jatmika yang memegang keris itu cepat dan kuat bukan main sehingga keris itu lenyap bentuknya, dan berubah menjadi sinar yang berkelebatan dan bergulung-gulung. Juga pemuda perkasa itu membalas serangan kedua orang pengeroyolnya bukan hanya dengan keris, akan tetapi juga tangan kirinya menyelingi tusukan kerisnya dengan tamparan-tramparan dahsyat. Karena dia mengerahkan tenaga sakti dalam tamparan tangan kiri itu, maka tamparan itu tidak kalah hebat dan berbahayanya daripada tusukan kerisnya. Dan setiap kali dua orang lawannya menangkis tamparannya, tubuh mereka terdorong dan mereka terhuyung ke belakang.
Bukan hanya dua orang pengeroyok Jatmika yang terdesak, juga Munding Hejo yang bertanding melawan Eulis, mulai terdesak. Biarpun dia menggunakan keris sedangkan gadis itu bertangan kosong, namun tamparan-tamparan yang dilakukan Eulis sungguh amat hebat dan mulai mendesak Munding Hejo sehingga dia tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang.
Aki Mahesa Sura sejak tadi menonton pertandingan itu dan dia mengerutkan alisnya yang putih setelah melihat betapa lewat beberapa puluh jurus, tiga orang muridnya terdesak hebat oleh sepasang orang muda itu. Ternyata dua orang muda itu memang sakti mandraguna, apalagi pemuda itu. Dikeroyok dua juga masih mampu mendesak. Pantas saja sahabatnya, Ki Kolo Srenggi, dapat tewas melawan mereka. tentu pemuda itu yang telah mengalahkan dan menewaskan Kolo Srenggi. Dan sekarang kalau dia diamkan saja, tentu tiga orang muridnya itu juga akan tewas di tangan mereka.
Aki Mahesa Sura yang sudah tua renta itu segera menggerakkan tubuhnya. Tubuh jangkung agak bongkok itu sekali bergerak telah meluncur ke depan, seperti melayang saja dan tahu-tahu dia sudah berada dekat Eulis yang sedang mendesak Munding Hejo dan tongkat ularnya menyambar ke arah tengkuk Eulis.
"Syuuuutttt.....!"
Eulis terkejut dan hidungnya mencium bau amis keluar dari sinar hitam yang menyambar ke arah tengkuknya itu. Ia cepat melangkah maju, memutar tubuh dan mengelak dari sambaran tongkat ular itu. Akan tetapi tiba-tiba tangan kiri kakek tua renta itu menyambar menyengkeram ke arah kepalanya. Eulis terkejut sekali. Jarak antara ia dan kakek itu ada dua meter, akan tetapi lengan kiri kakek itu dapat mulur (memanjang) seperti karet saja dan tahu-tahu jari-jari tangan kiri itu sudah mengancam kepalanya. Eulis cepat membuang diri ke atas tanah dan bergulingan menjauh. Namun tetap saja tangan kiri itu mengejarnya dan tengkuknya terkena tepukan kakek itu.
"Plakkk.....!"
Tubuh Eulis tiba-tiba menjadi lemas dan ia tidak mampu bergerak lagi. Aki Mahesa Sura menghampiri dan memegang pangkal lengan kanan Eulis dan diangkatnya gadis itu bangkit berdiri. Akan tetapi tubuh Eulis seperti lemas tak bertenaga sehingga ia berdiri lunglai dan bersandar ke tubuh kakek itu.
"Jatmika, hentikan perlawananmu atau aku akan membunuh gadis ini!"
Aki Mahesa Sura membentak dan Jatmika cepat melompat ke belakang lalu memandang. Alangkah kagetnya ketika dia melihat Eulis sudah tertangkap oleh kakek yang mukanya seperti Begawan Durna tokoh cerita Mahabarata itu!
"Aki Mahesa Sura! Bebaskan gadis itu dan mari kita bertanding secara jantan!"
Jatmika membentak marah dan juga khawatir melihat Eulis sudah tak berdaya dan tertawan.
"Heh-heh-heh, Jatmika. Buang kerismu dan menyerahlah daripada engkau melihat gadis ini kubunuh di depan matamu!"
Aki Mahesa Sura mengancam sambil mengangkat tongkat ularnya, mengancam untuk membunuh gadis itu dengan tongkatnya.
"Aki Mahesa Sura, tidak malukah andika bertindak curang? Lepaskan Nimas Eulis dan mari kita mengadu kesaktian kalau andika berani!"
Kembali Jatmika menantang.
"Hah-hah-ho-ho! Ini bukan kecurangan melainkan kecerdikan, Jatmika. Kalau dengan akal dapat menang tanpa lelah, mengapa mesti menggunakan okol yang melelahkan?"
Tiba-tiba Eulis yang lemas tak berdaya itu berseru, suaranya juga terdengar lemah namun cukup lantang.
"Jangan menyerah, Kakangmas Jatmika! Lawan mereka, jangan perdulikan aku! Aku tidak takut mati!"
Aki Mahesa Sura menjadi marah. Mukanya yang berkulit hitam menjadi semakin hitam dan sepasang mata yang cekung itu mengeluarkan sinar berapi.
"Hemm, kalau ia minta mati, lihatlah betapa aku akan membunuhnya, Jatmika!"
Katanya dan dia mengangkat tongkat ularnya, siap ditusukkan pada leher Eulis yang memandang dengan mata tidak membayangkan rasa takut sedikitpun.
"Tahan.....!"
Teriak Jatmika dan kakek itu menahan pukulan tongkatnya.
"Aki Mahesa Sura, katakan dulu apa yang akan andika lakukan kalau aku mau menyerah. Kalau setelah aku menyerah andika tetap akan membunuh Nimas Eulis, apa artinya aku menyerah? Aku akan melawan sampai titik darah penghabisan dan kalau andika membunuh Nimas Eulis, aku pasti akan membunuhmu!"
Ucapan Jatmika itu dikeluarkan dengan penuh semangat sehingga dapat terasa oleh Aki Mahesa Sura bahwa ucapan itu bukan sekedar gertak belaka. Kakek ini berpikir. Tidak ada untungnya kalau dia membunuh gadis jelita ini. Apalagi kalau dia melakukan itu, Jatmika tentu akan berusaha mati-matian untuk membunuhnya dan dia tahu betapa saktinya pemuda itu.
"Hemm, baiklah. Kalau engkau tidak melawan dan menyerahkan diri, aku tidak akan membunuh kalian berdua!"
Kata kakek itu.
"Bersumpahlah, Aki Mahesa Sura, baru aku mau percaya."
Kata Jatmika.
"Keparat! Engkau tidak percaya janji seorang datuk besar yang sakti mndraguna seperti aku? Baik, aku bersumpah tidak akan membunuh kalian kalau engkau mau menyerah."
"Jangan, Kakangmas Jatmika! Jangan percaya padanya, jangan menyerah dan jangan perdulikan aku!"
Teriak Eulis.
"Nimas Eulis, jangan khawatir. Aku yakin bahwa seorang tua dan terhormat seperti Aki Mahesa Sura, tidak akan melanggar sumpahnya sendiri. Nah, Aki Mahesa Sura, aku menyerah!."
Jatmika menyarungkan kembali kerisnya.
Aki Mahesa Sura lalu berkata kepada tiga orang muridnya dengan suara memerintah.
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ikat tangan mereka ke belakang, pergunakan tali pengikat pinggang kalian!"
Tiga orang murid itu lalu melolos sabuk mereka. Sabuk itu terbuat dari lawe yang sudah dirajah (diberi kesaktian) karena itu merupakan benda yang memiliki daya yang luar biasa kuatnya. Mahesa Sura menyeringai mengelus jenggotnya yang putih melihat tiga orang muridnya sibuk melaksanakan perintahnya. Munding Beureum dan Munding Koneng menelikung kedua lengan Jatmika ke belakang tubuhnya, sedangkan Munding Hejo mengikat kedua pergelangan tangan Eulis ke belakang tubuhna pula. Setelah memeriksa ikatan itu yang amat kuat, Mahesa Sura lalu menepuk tiga kali pundak dan punggung Eulis dan seketika gadis itu mampu bergerak, Eulis meronta dan berusaha mematahkan ikatan kedua tangan, namun usahanya tidak berhasil karena tali itu kuat bukan main.
Gadis itu menjadi marah dan kedua kakinya mencuat bergantian ia mencoba untuk menyerang Mahesa Sura. kakek ini terkekeh dan mengelak, terkadang menangkis sehingga kaki gadis itu terpental dan ia merasa tulang kakinya nyeri ketika tertangkis oleh tangan kakek itu. Melihat gadis itu sudah dapat bergerak, Jatmika diam-diam juga mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali yang menelikungnya, namun usahanya juga tidak berhasil. Maklumlah dia bahwa mereka berdua tidak akan dapat melepaskan diri karena itu mereka harus mempergunakan kecerdikan, menanti kesempatan untuk meloloskan diri. Menggunakan kekerasan yang sia-sia hanya merugikan mereka sendiri.
"Jatmika, engkau sudah berjanji tidak melawan dan aku berjanji tidak akan membunuh kalian. Kalau kalian ingkar janji, akupun dapat mengingkari janjiku dan membunuh kalian."
Kata Aki Mahesa Sura.
"Nimas Eulis, kata-katanya itu benar. Kita harus menyerah, itulah yang sudah kujanjikan dan aku tidak ingin melihat engkau melanggar janji. Tenanglah, nimas, engkau tidak perlu khawatir. Bukankah aku berada di sampingmu?"
Eulis juga melihat betapa perlawanan akan sia-sia belaka, ia memandang pemuda itu dan melihat pemuda itu tersenyum dan sinar matanya seolah memberi isarat kepadanya. Iapun berhenti meronta dan menundukkan muka lalu berkata lirih.
"Aku menyerah."
"Heh-heh-heh-ho-ho-ho!"
Aki Mahesa Sura tertawa gembira.
"Sebentar lagi malam tiba. Mari kita bawa dua orang tawanan ini ke pondok kita agar tidak kemalaman di perjalanan."
Tiga orang muridnya itu menggiring Jatmika dan Eulis memasuki hutan. Mereka berhenti setelah hari menjadi agak gelap. Senja telah tiba dan mereka sampai di lembah Sungai Ci Lutung di mana berdiri sebuah pondok kayu yang cukup besar. Jatmika dan Eulis disuruh masuk dan mereka semua duduk di atas bangku-bangku kayu mengelilingi sebuah meja.
Munding Koneng dan Munding Hejo lalu sibuk bekerja di dapur mempersiapkan makanan dan di ruangan itu tinggal Aki Mahesa Sura dan Munding Beureum yang menemani atau menjaga dua orang tawanan itu. Tak lama kemudian dua orang murid yang sibuk di dapur itu memasuki ruangan membawa sebakul nasi dan beberapa macam masakan sederhana.
"Biarkan Nimas Listyani makan lebih dulu!"
Kata Jatmika.
"Tidak, biarkan Kakangmas Jatmika yang makan."
Bantah Eulis.
"Baiklah, Jatmika akan makan lebih dulu."
Kata kakek itu. Berdebar rasanya jantung kedua orang tawanan itu.
Mungkin kini tiba saatnya mereka memperoleh kesempatan untuk meloloskan diri! Akan tetapi ternyata kakek itu cerdik sekali. Dia menyuruh membebaskan ikatan kedua tangan Jatmika, akan tetapi Eulis dalam keadaan masih terikat disuruh duduk di dekatnya. Dalam keadaan seperti ini tentu saja Jatmika tidak berani memberontak karena kakek itu akan dapat dengan mudah turun tangan membunuh Eulis! Akan tetapi untuk dapat membuat tubuhnya tetap sehat dan kuat, Jatmika menghilangkan perasaannya yang tertekan dan diapun mulai makan.
Sehabis makan dan minum, Jatmika diikat lagi kedua lengannya ke belakang. Barulah Aki Mahesa sura S menyuruh muridnya melepaskan ikatan tangan Eulis dan dia sendiri duduk dekat Jatmika untuk menjaga kalau-kalau gadis itu memberontak. Eulis maklum bahwa kalau ia memberontak, tentu nyawa Jatmika terancam. Ia menahan kemarahannya dan tidak memberontak, akan tetapi hatinya yang keras dan penuh kebencian terhadap musuh-musuhnya itu membuat ia marah sekali dan ia menolak keras ketika dipersilakan makan minum.
"Aku tidak sudi makan minum!"
Bentaknya setelah kedua pergelangan tangannya dibebaskan dari ikatan.
"Hemm, engkau tidak mau makan? Kalau engkau lebih suka menderita dan mati kelaparan, terserah kepadamu!"
Kata Aki Mahesa Sura.
"Nimas Eulis, harap engkau jangan berkeras hati seperti itu. Aki Mahesa Sura sudah berbaik hati memberi kita makan. Maka, makanlah, nimas, ini perlu untuk menjaga kesehatan tubuhmu."
Kembali mereka bertemu pandang dan Eulis melihat sinar mata pemuda itu yang mengandung isarat kepadanya. Iapun teringat bahwa selama mereka masih belum dibunuh, hanya ditawan saja mereka berdua masih mempunyai kesempatan untuk melepaskan diri dari cengkeraman Aki mahesa sura dan tiga orang muridnya. Akan tetapi tentu saja ia tidak akan mampu berbuat banyak kalau ia menderita kelaparan dan tubuhnya kehilangan tenaga dan menjadi lemas. Ia maklum akan isarat Jatmika. pemuda itu menganjurkan agar ia tetap menjaga kesehatan tubuhnya agar kalau kesempatan itu terbuka, mereka akan dapat memberontak dan melepaskan diri.
"Baiklah, baiklah!"
Katanya marah dengan bersungut-sungut ia pun mulai makan. Tentu saja dalam keadaan seperti itu, makanpun tidak terasa sedap. Akan tetapi ia memaksa diri untuk menelan nasi dan sayurnya dan merasa betapa tubuhnya segar kembali.
Setelah makan dan minum, eulis mempergunakan kesempatan itu untuk berkata kepada Aki Mahesa Sura.
"Aki Mahesa Sura, aku merasa badanku gerah dan kotor berkeringat, maka perkenankanlah aku untuk mandi membersihkan diri di sungai."
Aki Mahesa Sura menyeringai dan mengangguk, berkata kepada tiga orang muridnya.
"Kalian bertiga kawallah ia dan biarkan ia mandi di sungai. Pemuda ini tinggal di sini bersamaku."
Aki Mahesa Sura memang cerdik. Dengan menahan Jatmika sebagai sandera, tentu saja Eulis tidak berdaya dan tidak berani memberontak. Apalagi yang mengawalnya tiga orang murid kakek itu. Melawan pengeroyokan tiga orang ini tentu saja akan berat sekali bagi Eulis. Iapun tidak ingin memberontak karena ia tidak mau kalau sampai pemuda sahabat barunya itu dibunuh. Kegelapan malam itu menolong Eulis sehingga ia dapat mandi di tepi sungai tanpa malu-malu karena tiga orang yang mengawalnya dan yang menjaga di darat tidak dapat melihatnya dengan jelas dan iapun dapat mandi dan membersihan badannya dengan leluasa. Setelah mandi Eulis merasa segar dan bersemangat kembali, dan Jatmika melihat betapa segar wajah yang jelita itu ketika gadis itu kembali memasuki ruangan dikawal tiga orang murid Aki Mahesa Sura.
Munding Beureum lalu menggunakan tali ikat pinggang yang kuat itu untuk megikat lagi kedua pergelangan tangan Eulis ke belakang tubuhnya. Aki Mahesa Sura membawa Jatmika keluar rumah dan melepaskan ikatan tangannya. kembali kakek itu memperlihatkan kecerdikannya. Dia sendiri yang pergi mengawal Jatmika sehingga kalau pemuda itu berani memberontak, pemuda itu harus menghadapi dia yang sakti mandraguna, sedangkan Eulis tetap berada dalam kekuasaan tiga orang itu dalam keadaan terbelenggu. Dengan demikian, Jatmika sama sekali tidak berdaya, tidak berani untuk mencoba meloloskan diri karena hal itu akan membahayakan keselamatan Eulis.
Setelah mandi, Jatmika juga merasa tubuhnya segar dan bersemangat. Dia memutar otaknya. Aki Mahesa Sura merupakan orang yang paling berbahaya di antara empat orang yang menawan dia dan Eulis. yang seorang lagi, anak buah Munding Hideung itu telah disuruh pergi oleh kakek itu, entah ke mana.
Kini kakek itu menjaganya di tepi sungai. Kalau saja dia dapat merobohkan kakek itu sekarang, membunuhnya atau setidaknya membuat dia tidak berdaya, tentu tiga orang murid kakek itu tidak mengetahuinya dan diam-diam dia dapat menyerbu mereka untuk membebaskan Eulis! Membayangkan kemungkinan ini, jantung dalam dada Jatmika berdebar. ketika dia mengenakan kembali pakaiannya dalam gelap dan melangkah keluar dari tepi sungai, menghampiri Aki Mahesa Sura yang berdiri termangu tak jauh dari situ, seluruh urat syaraf dalam tubuhnya sudah menegang dan dia sudah siap siaga untuk melakukan serangan mendadak dan merobohkan kakek sakti mandraguna itu.
Akan tetapi, ketika dia melangkah sambil mengerahkan ilmunya agar tubuhnya menjadi ringan dan langkahnya tak terdengar orang, kakek itu membalikkan tubuh menghadapinya dan berkata dengan suara mengandung ejekan.
"Kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan mencoba untuk memberontak, Jatmika. Sebelum engkau dapat merobohkanku, gadismu itu tentu akan dicabut nyawanya oleh tiga orang muridku!"
Sudah tentu saja Jatmika terkejut bukan main. Kakek itu telah dapat menerka apa yang berada dalam benaknya. Dia menyadari. Tentu kakek yang cerdik itu tadi mendengar langkah kakinya yang ringan, yang tidak seperti biasa dan kakek itu sudah dapat mengambil kesimpulan apa yang berada dalam pikirannya. Tentu saja dia merasa malu dan dia berkata.
"Aki, siapa yang akan memberontak? Nimas Eulis berada dalam kekuasaanmu, aku tidak akan memberontak dan engkau tidak akan membunuh kami seperti telah dijanjikan!"
"Heh-heh, andaikata engkau memberontak sekalipun, apa kaukira akan mudah begitu saja mengalahkan aku? Mari kita kembali. Aku ada pembicaraan penting dengan kalian berdua."
Jatmika dikawal kembali ke pondok dan seperti halnya Eulis, diapun ditelikung kembali. Kedua lengannya diikat di belakang tubuhnya. Mereka semua duduk kembali menghadapi meja besar yang sudah dibersihkan. eulis duduk diapit tiga orang murid kakek itu, sedangkan Jatmika duduk di sebelah kiri Aki mahesa Sura, di seberang meja. Biarpun dua orang tawanan itu sudah dibelenggu, agaknya kakek itu masih bersikap hati-hati dan menjaga mereka dengan ketat. Dia sendiri menjaga Jatmika dan tiga orang muridnya disuruh menjaga Eulis.
Melihat kakek itu diam saja, hanya memandang dia dan Eulis penuh perhatian, Jatmika menjadi tidak sabar.
"Aki Mahesa Sura, sekarang katakanlah, apa yang hendak kaulakukan kepada kami yang telah kautawan? Engkau hendak membawa kami ke manakah?"
"Heh-heh, engkau tidak perlu tahu, Jatmika. sekarang jawablah pertanyaanku. Siapakah gurumu?"
Jatmika tidak ingin menyembunyikan nama gurunya, bahkan dia ingin mengagetkan hati kakek itu dengan memperkenalkan nama besar gurunya.
"Guruku adalah eyangku sendiri yang tinggal di pantai deramyu, berjuluk Ki Ageng Pasisiran, dahulu bernama Ki Tejo Langit."
Benar saja. Aki Mahesa Sura tampak terkejut.
"Ah tiga orang saudara seperguruan Tejo dari banten yang terkenal. Tejo Wening, Tejo Langit dan Tejo Budi! Kiranya engkau murid dan juga cucu Ki Tejo Langit? Bagus sekali. Tiga orang datuk Banten itu tentu tidak suka kepada Mataram. Sungguh kebetulan sekali. Kalau begitu kita masih orang sendiri dan sehaluan. Sudahlah, skan kuhapuskan saja kesalah-pahaman antara kita. Mulai sekarang kuajak kalian berdua untuk bekerja sama. Eh, akan tetapi murid siapakah Listyani ini?"
"Nimas Eulis adalah adik seperguruanku!"
Kata Jatmika karena dia sendiri tidak tahu, juga gadis itu tidak tahu murid siapakah ia. Akan tetapi dia tidak berbohong kalau mengakui gadis itu sebagai saudara seperguruannya karena ilmu-ilmu mereka memang sealiran.
"Bagus! Cocok sudah kalau begitu. Murid Tejo Langit tentu saja tepat untuk bekerja sama dengan kami. Jatmika dan Listyani, kalian tentu bersedia untuk bekerja sama dengan kami, bukan? Kalian murid dari Banten dan aku sendiri berasal dari Pajajaran, sudah semestinya bekerja sama untuk menentang kekuasaan Mataram yang sewenang-wenang itu! Mendengar dia diajak bersekutu menentang Mataram, tentu saja seketika hati Jatmika menolak keras. Akan tetapi dia bersikap cerdik. Dalam keadaan tidak berdaya itu tidak ada untungnya untuk berkeras menentang kehendak kakek itu. Dia dapat berpura-pura bersikap lunak dan hendak mengetahui apa sebenarnya yang dikehendaki kakek itu.
"Bekerja sama sih baik saja, Aki Mahesa Sura. Akan tetapi bekerja sama menentang kekuasaan Mataram? Apakah yang kau maksudkan dengan itu?"
"Ketahuilah, Jatmika, Pangeran Mas Gede yang kini menjadi Adipati Sumedang adalah orang yang dipercaya oleh Sultan Agung di mataram dan kadipaten Sumedang akan dijadikan tempat penyimpanan ransum bagi para pasukan Mataram kalau nanti menyerang Kumpeni Belanda di Batavia, bahkan Kadipaten Sumedang juga mempersiapkan pasukan untuk membantu mataram menggempur Belanda."
"Hemm, kalau begitu lalu mengapa?"
"Dengar baik-baik. sebagai murid Ki Tejo Langit engkau tentu juga kami, memusuhi Mataram. Karena Kadipaten Sumedang menjadi antek Mataram, maka perlu sekali Adipati Pangeran Mas Gede itu dirobohkan kedudukannya diganti seorang yang lebih pantas, seorang yang tidak mau menghambakan diri kepada Mataram."
"Hemm, maksudmu hendak memberontak terhadap Kadipaten sumedang dan menggantikan adipatinya? Lalu kalau menurutmu, siapa yang akan dijadikan pengganti?"
"Siapa saja asal dapat mengambil sikap memusuhi Mataram. Bisa diambil seorang dari murid-muridku, atau engkau sendiri juga bisa, Jatmika. Selama engkau menentang Mataram, aku akan selalu mendukung dan membantumu."
"Hemm, bicara memang mudah, Aki Mahesa Sura! Akan tetapi melaksanakan itulah yang sukar. Apa kaukira mudah saja merobohkan sang adipati yang memiliki banyak pasukan perajurit, hanya mengandalkan engkau, tiga orang muridmu dan kami berdua?"
"Heh-heh-heh, engkau terlalu memandang remeh kepadaku, Jatmika! Kaukira aku sebodoh itu? aku sudah menghimpun kekuatan yang lumayan banyaknya. Walaupun tidak sebanyak pasukan Kadipaten sumedang, namun seluruh anggauta pasukan kami dipersenjatai dengan senjata api bedil, dan kalau kalian berdua mau membantu, sudah pasti Kadipaten Sumedang dapat direbut dan Pangeran Mas Gede dapat dirobohkan dan diganti orang lain."
Jatmika sejak tadi memutar otaknya. Dia menerima pesan dari eyang dan ayahnya untuk membantu Sumedang yang sedang terancam pemberontakan. Siapa kira dia dan Eulis kini malah telah tertawan oleh pimpinan pemberontak itu yang bukan lain adalah Aki mahesa Sura dan diajak untuk membantu pemberontakan menjatuhkan Kadipaten Sumedang! Jatmika maklum bahwa itulah sebabnya mengapa kakek itu tidak membunuh dia dan eulis, pada hal mereka berdua sudah membunuh murid dan sahabat kakek itu! Dia tahu bahwa kalau dia menolak, apalagi kalau kakek itu tahu bahwa dia malah membela Mataram, tentu nyawa dia dan Eulis tidak akan dapat tertolong pula!
"Bagaimana, Jatmika? Kenapa engkau diam dan bengong saja?"
"Kakangmas Jatmika.....
"
"Diamlah, Nimas Eulis dan engkau turutlah saja aku!"
Jatmika memotong ucapan Eulis. Dia tahu bahwa tentu Eulis yang sudah dia beritahu tentang keadaan Mataram itu sudah yakin bahwa mereka berdua harus membela Mataram dan sama sekali tidak boleh menentang Mataram. Karena itu dia mendahului untuk mengatur siasat dan dia yakin bahwa Eulis akan menurut saja karena gadis yang sudah kehilangan ingatannya akan masa lalu itu merasa tidak berdaya dan hanya percaya kepadanya.
"Baiklah, Aki Mahesa Sura. Aku dan Eulis akan membantu, akan tetapi setelah kita bekerja sama, cepat lepaskan ikatan pada kedua tangan kami agar kami dapat leluasa bicara dan leluasa bergerak."
"Dan leluasa pula memberontak, dan menyerangku, bukan? Heh-heh-heh, aku tidak setolol itu, Jatmika!"
"Hemm, lalu maumu bagaimana, Aki Mahesa Sura? Kalau engkau tidak percaya kepada kami, mengapa kau mengajak kami untuk bekerja sama?"
Kata Jatmika, sengaja brtanya dengan suara bernada marah dan penasaran.
"Bersabarlah sampai besok pagi, orang muda. Seorang anak buahku sudah kusuruh memberi kabar kepada pimpinan kami. Besok pagi akan dapat kami memberi keputusan kepada kalian. Sekarang beristirahatlah. Engkau beristirahat dalam kamar bersamaku, dan Listyani akan dijaga tiga orang muridku."
"Tidak sudi aku sekamar dengan mereka!"
Eulis membentak marah.
"Aki Mahesa Sura, kalau murid-muridmu berani mengganggu selembar saja rambut Nimas Eulis aku akan.....!"
"Tenanglah, Jatmika. mereka tidak akan berani."
Kata kakek itu lalu berkata kepada tiga orang muridnya.
"Biarkan gadis itu tidur dalam kamar sebelah dan kalian bertiga berjaga di luar kamar. Awas, kalau ada yang menyentuhnya, aku akan membuntungi anggauta badan kalian yang berani menyentuhnya!"
Melihat gadis itu masih ragu dan memandang kepadanya, Jatmika berkata.
"pergilah tidur di kamar sebelah, nimas dan percayalah, Aki Mahesa Sura tidak akan melanggar janji."
Setelah jatmika berkata demikian, barulah Eulis bangkit berdiri lalu melangkah dan memasuki kamar sebelah yang diterangi sebuah lampu gantung kecil. Dengan kedua tangan terbelenggu, gadis itu lalu merebahkan diri di atas pembaringan kayu, miringkan tubuh menghadap ke dalam dan segera ia dapat tidur karena memang ia sudah merasa lelah dan mengantuk.
"Mari kita beristirahat, Jatmika,"
Kata Aki Mahesa Sura. jatmika bangkit dan mengikuti kakek itu memasuki sebuah kamar. dalam kamar itu terdapat dua buah dipan kayu.
Menurut petunjuk Aki Mahesa Sura, Jatmika merebahkan dirinya di atas dipan yang berada di sebelah dalam, tidur miring membelakangi kakek itu yang duduk bersila di dipan kedua. Jatmika maklum bahwa memberontak tidak akan ada gunanya, bahkan membahayakan keselamatan Eulis. Maka dia mengambil keputusan untuk dapat tidur nyenyak agar tenaganya pulih kembali dan dalam keadaan segar bugar menghadapi peristiwa besok pagi.
Pemuda itu melangkah dengan muka tunduk. Tubuhnya jangkung tegap, membayangkan kekuatan dahsyat di balik sikap lemah lembut itu. Wajahnya tampan manis, matanya lembut namun sinarnya tajam mencorong. Langkahnya seperti seekor harimau. Pakaiannya yang sederhana seperti pakaian pemuda tani itu tidak menyembunyikan keadaan dirinya yang menarik, yang berbeda dengan pemuda biasa. Memang sudah menjadi kebiasaannya kalau berjalan selalu menundukkan mukanya. Hal ini bukan berarti bahwa dia tidak memperhatikan keadaan disekitarnya. Biarpun selalu menunduk, namun dia peka sekali terhadap lingkungannya.
Takkan mudah bagi orang untuk lewat di dekatnya tanpa diketahuinya. Dia peka dan selalu waspada terhadap dirinya sendiri, pikirannya, perasaannya, gerak langkahnya, dan peka terhadap apapun yang berada di luar dirinya. Kalau dia menunduk, hal ini adalah karena sudah menjadi kebiasaannya dan hal ini sesuai dengan ajaran yang dia dapatkan dari mendiang Ki Tejo Budi. Masih terngiang suara gurunya itu kalau dikenangnya, yang mengajarkan perihal menundukkan muka ini. Tampaknya sederhana saja, hanya selalu menundukkan muka, namun ternyata mengandung ajaran yang amat penting sebagai penurun sikap hidup.
"Biasakanlah untuk menundukkan muka, Aji,"
Demikian mendiang Ki Tejo Budi dahulu memberi wejangan.
"Orang menundukkan muka itu selalu waspada akan langkah hidupnya, tidak akan mudah berjegal tersandung, mudah melihat kesalahan sendiri. Tidak seperti orang yang dalam perjalanan hidupnya selalu menengadahkan muka melihat ke atas, dia mudah tersandung dan jatuh tersungkur. Orang yang selalu menundukkan muka memandang ke bawah, akan tetapi dapat melihat mereka yang berada di bawahnya, yang lebih rendah, lebih miskin dan lebih kekurangan daripada dirinya sendiri. Dengan demikian dia akan selalu merasa bahwa dia adalah seorang yang beruntung, cukup tinggi, cukup berkemampuan dan berlebihan dibanding banyak orang yang berada di bawahnya sehingga dia akan dapat mengucapkan syukur dan terima kasih kepada kemurahan Gusti Allah kepadanya.
Sebaliknya orang yang selalu berdongak hanya akan melihat mereka yang berada lebih tinggi darinya, lebih pandai, lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya. Dengan demikian dia akan selalu merasa bahwa dia adalah seorang yang tidak berbahagia, yang rendah, yang kalah kaya, kalah makmur, kalah pandai oleh mereka yang berada diatasnya sehingga dia akan selalu mengomel, mencela, mengatakan bahwa Gusti Allah tidak adil kepadanya, hidupnya penuh keluh kesah dan iri hati, Lihat betapa arif bijaksananya nenek moyang kita. Mereka membuat gambar-gambar wayang kulit yang mengandung penuh arti. Lihat gambaran wayang.
Semua satria arif bijaksana, semua digambar dengan muka menunduk dan lihat para raksasa yang angkara murka, semua digambar dengan muka menengadah atau dagu terangkat! Coba bayangkan, bagaimana sikap orang yang sombong, yang sewenang-wenang, yang angkara murka, yang berbangga diri dan berkepala besar, semua tentu mengangkat mukanya.
Sebaliknya, orang yang penyabar, yang mengalah, yang rendah hati, yang alim, selalu tentu menundukkan mukanya! Orang yang menundukkan mukanya itu juga menundukkan hatinya terhadap Gusti Allah, setiap saat mengucapkan syukur dan memuji namaNya. Akan tetapi orang yang menengadah atau mengangkat mukanya itupun meninggikan hatinya, bisanya hanya menuntut kepada manusia lain atau kepada Gusti Allah sekalipun, agar mendapatkan ini dan itu demi kesenangan diri sendiri belaka. Camkanlah ini, Lindu Aji muridku."
Aji tidak pernah melupakan petuah gurunya itu sehingga sudah menjadi kebiasaan baginya untuk selalu merendahkan hati dan menundukkan muka, bahkan di waktu berjalan. Dalam kewaspadaannya, juga terhadap diri sendiri, yaitu kebiasaan mawas diri yang selalu dilakukan, Aji mendapatkan bahwa dirinya sedang diombang-ambingkan berbagai perasaan. Harus diakuinya bahwa betapa kuatnya iman dan penyerahannya kepada Gusti Allah, namun dia tidak dapat melepaskan diri sama sekali terhadap pengaruh nafsu.
Dan hal ini cocok dengan wejangan mendiang gurunya.
"Lindu Aji, tidak ada seorangpun manusia betapapun pandainya, betapapun salehnya, dapat terlepas sepenuhnya dari pengaruh nafsu. Selama kita masih mengenakan badan jasmani ini, sudah pasti kita terpengaruh oleh nafsu daya rendah benda, nafsu daya rendah hewani dan nafsu daya rendah nabati, hal ini adalah karena kita selama hidup dalam dunia ini masih amat membutuhkan mereka. Kita membutuhkan sandang papan dan benda-benda lain yang membawa daya rendah benda. Kita membutuhkan makan minum yang membawa daya rendah hewani dan nabati. Bagaimana mungkin kita terbebas dari kesemuanya itu? Dan daya-daya rendah itulah yang mengakibatkan kita masih merasakan segala macam perasaan yang bergolak dalam hati akal pikiran seperti misalnya senang, suah, puas, kecewa, marah. malu, khawatir dan sebagainya.
Hanya bedanya, Aji, orang yang kuat imannya dan penyerahannya kepada Gusti Allah, pengaruh nafsu-nafsu daya rendah itu tidak sampai menyeretnya terlalu jauh, tidak sampai membuat dia melakukan perbuatan-perbuatan jahat karena ada kekuasaan Gusti Allah yang akan menahan dan membimbingnya. Tidak seperti orang tak beriman yang lalu melampiaskan nafsu-nafsunya dengan melakukan perbuatan yang keji dan sejahat-jahatnya."
Teringat akan semua ini, biarpun Aji melihat dengan jelas betapa hatinya bergolak oleh pengaruh nafsu-nafsu, dia tidak merasa khawatir akan tetapi percaya bahwa Gusti Allah tidak akan meninggalkannya. Pada saat itu, dia merasa penasaran, marah, kecewa dan juga berduka dan khawatir. Dia merasa penasaran dan marah melihat sepak terjang orang-orang yang memberontak terhadap Mataram dan merendahkan diri menjadi antek Kumpeni Belanda menjual nusa bangsa sendiri.
Dia kecewa sekali melihat betapa Hasanudin, kakak tirinya seayah berlainan ibu, telah tersesat dan terpikat oleh Belanda menjadi kaki tangannya pula. Dia berduka karena kematian Ki Sudrajat putera mendiang gurunya, dan kematian Ki Tejo Langit kakak seperguruan gurunya yang memang selama ini dicarinya. Baru saja bertemu, pada malam yang sama, mereka berdua tewas diterjang peluru-peluru senapan Kumpeni Belanda. Dan dia terutama sekali merasa khawatir memikirkan nasib Sulastri yang jatuh ke bawah tebing lalu lenyap tanpa meninggalkan bekas! Kini dia dibebani oleh lebih banyak tugas lagi.
Selain mambantu Mataram dalam mempersiapkan diri untuk menyerbu Kumpeni Belanda di Batavia, dia juga harus mencari Sulastri, lalu mencari Raden Banuseta yang ternyata amat jahat dan menjadi antek Belanda, selain telah membunuh ayah kandungnya, juga telah membawa serdadu Kumpeni membunuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat. Selain itu juga harus mencari dan menyadarkan kakak tirinya, Hasanudin yang tersesat. Dia melakukan perjalanan cepat kembali ke Gunung Careme, melewati tempat dimana Sulastri lenyap kemudian dengan cepat dia menuruni gunung itu menuju ke barat. Dan pada sore hari itu, tibalah dia di lembah Sungai Ci Lutung.
Ketika dia berjalan santai menyusuri tepi sungai untuk mencari penyeberangan atau tempat yang nyaman untuk melewatkan malam, sukur kalau dia bisa mendapatkan makanan, tiba-tiba dia melihat serombongan orang yang dipimpin seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang gagah perkasa berpakaian bangsawan. Rombongan yang mengikuti laki-laki gagah ini berjumlah dua puluh empat orang, melihat pakaian dan bentuk tubuhnya, jelas mereka adalah orang-orang sebangsa, akan tetapi mereka semua memegang senapan berlaras panjang, dan laki-laki gagah itupun menyelipkan sebatang pistol di ikat pinggangnya. Kalau saja mereka itu berpakaian serdadu, tentu mudah diduga bahwa mereka adalah pasukan Kumpeni Belanda. Akan tetapi mereka tidak berpakaian seragam, dan mereka itu jelas orang-orang dari bangsa sendiri. Melihat keadaan mereka yang berjalan menyusuri pantai ke arah utara, dia tertarik sekali dan cepat dia membayangi mereka.
Ketika membayangi mereka dari jarak agak dekat sambil menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak dengan pengerahan tenaga dalam sehingga gerakannya cepat dan hanya berkelebat seperti bayang-bayang, Aji mendengar seorang di antara dua losin anak buah itu bertanya.
"Gusti Menggung, tidak kelirukah jalan yang kita tempuh?"
Pria yang gagah perkasa yang memimpin pasukan itu, yang berkumis tebal sekepal sebelah seperti Raden Gatutkaca, tertawa "Ha-ha, mana bisa keliru? Aku pernah ke sini. Hayo cepat, keburu malam!"
Suaranya besar dan mantap, juga berwibawa, rombongan itu mempercepat jalannya, bahkan setengah berlari dipimpin orang yang disebut Gusti Menggung itu.
Aji dapat melihat betapa orang gagah itu dapat berlari dengan ringan, tampaknya seperti melangkah biasa saja, akan tetapi anak buahnya terengah-engah mengikutinya dengan berlari cepat! Seorang yang cukup tangguh, pikir Aji sambil berlari agar dapat terus membayangi dari jarak dekat. Akhirnya, setelah cuaca mulai gelap, tibalah mereka di depan sebuah pondok kayu yang cukup besar di tepi sungai itu.
Mereka berhenti di luar pintu dan pemimpin rombongan itu berseru dengan suara lantang.
"Aki (Kakek) Mahesa Sura! Apakah andika berada di dalam pondok?"
Aki Mahesa Sura yang sedang duduk bersila di atas dipan, menjaga Jatmika yang rebah di dipan yang lain, menyeringai lebar mendengar suara itu.
"Heh-heh, kiranya Denmas Tumenggung Jaluwisa telah datang, kukira besok pagi baru tiba. Tunggu, kubukai pintu!"
Aki Mahesa Sura memberi isyarat kepada Jatmika yang juga bangkit duduk untuk ikut dengannya keluar kamar. setibanya di luar kamar, kakek itu berkata kepada tiga orang muridnya.
"Kalian bawa gadis itu keluar, ke ruangan depan."
Tiga orang murid kakek itu membuka pintu kamar dan sebelum mereka masuk, Eulis sudah berada di ambang pintu. Gadis itu tidak ingin tiga orang itu memasuki kamarnya. Dalam keadaan terbelenggu, Jatmika dan Eulis dibawa ke ruangan tengah dan mereka disuruh duduk menghadapi meja besar tadi, terpisah. Beberapa buah lampu gantung dipasang sehingga ruangan itu menjadi terang. Daun pintu depan dibuka dan masuklah pemimpin rombongan tadi dengan sikap gagah.
Kakek itu menyambut dengan sikap hormat dan bergembira.
"Selamat datang di pondokku, Denmas Tumenggung Jaluwisa. Tidak kusangka andika akan datang malam-malam begini! Silakan duduk."
Pria itu adalah Tumenggung Jaluwisa, tangan kanan atau orang kepercayaan Pangeran Mas Gede, Adipati yang berusia lima puluh tahun dan menjadi penguasa di Sumedang. Tadinya, Sultan Agung setelah diakui kekuasaannya oleh para adipati di Jawa Barat kecuali Banten, mengangkat Dipati Kusuma Dinata sebagai penguasa di daerah Jawa Barat dan menjadi wakil Kerajaan Mataram. Setelah Dipati Kusuma Dinata meninggal dunia, kedudukannya digantikan oleh Pangeran Mas Gede. Tumenggung Jaluwisa merupakan orang kepercayaan, juga senopati yang diandalkan di Sumedang.
Mendengar sambutan itu, Tumenggung Jaluwisa melayangkan pandang matanya, dengan memandang ke arah Jatmika dan Eulis yang dibelenggu tangannya, dan matanya bersinar melahap kecantikan gadis tawanan itu. Kemudian dia menoleh keluar dan berkata kepada anak buahnya.
"Kalian beristirahat di pendopo. Jangan tinggalkan tempat dan tetap waspada dan berjaga-jaga."
Setelah berkata demikian, dia melangkah memasuki ruangan depan yang terang itu dan duduk berhadapan dengan Aki Mahesa Sura, tiga orang muridnya, yaitu Munding Beureum, Monding Koneng, dan Munding Hejo yang mengapit dua orang tawanan yang terbelenggu itu.
"Aki, siapakah mereka ini?"
Tumenggung Jaluwisa menuding ke arah tiga murid dan dua tawanan itu.
Sementara itu, Aji sudah menyelidiki dengan hati-hati dan kini dia mendekam di pojok luar ruangan depan itu dan mengintai dari sebuah lubang yang dibuat dengan tusukan telunjuknya pada dinding papan. Ketika dia melihat Eulis, jantungnya berdebar tegang, dia terbelalak dan hatinya diliputi rasa girang, heran dan terharu.
"Nimas Sulastri.....!!"
Untung Aji dapat menguasai mulutnya yang hampir saja dilalui jerit hatinya itu. Hanya dalam hati dia menjerit memanggil nama gadis itu. sulastri masih hidup! Ini yang terpenting dan yang kedua, gadis itu tertawan dan harus dibebaskan. Akan tetapi dia kini sudah memiliki banyak pengalaman dan tidak mau bertindak sembrono. Dia hendak melihat keadaan dulu dan melihat perkembangannya. Maka, ketika Tumenggung Jaluwisa duduk lalu bertanya kepada kakek yang tadi disebut sebagai Aki mahesa Sura, Aji mengintai penuh perhatian.
"Perkenankan, denmas tumenggung. Yang tiga orang ini adalah murid-muridku. Munding Beureum, Munding Koneng dan Munding Hejo. Mereka inilah tiga dari panca Munding yang memimpin anak buah Munding Hideung di Gunung Careme. Heh, kalian bertiga, ketahuilah bahwa ini adalah Denmas Tumenggung Jaluwisa, senopati Sumedang."
Tiga murid itu merasa rendah diri dan mengangguk dengan hormat. Guru mereka sendiri saja demikian hormat terhadap tumenggung itu, tentu saja mereka harus lebih hormat lagi.
"Dan dua orang ini, siapakah, Aki?"
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya sang tumenggung akan tetapi sepasang matanya menggerayangi wajah cantik dan tubuh indah yang duduk begitu dekat di depannya itu. Sekali bangkit berdiri dan meraih dengan tangannya, tentu dia sudah dapat membelai tubuh itu!
"Oh, mereka ini adalah dua orang tawanan penting kami, akan tetapi mungkin akan menjaditeman-teman seperjuangan kami. Panjang ceritanya, denmas. Pasti akan kuceritakan nanti. Akan tetapi kedatangan denmas malam-malam begini sungguh mengejutkan hati kami. Bukankah menurut rencana, besok pagi baru denmas akan tiba di sini?"
"Memang benar, Aki Mahesa Sura. Ini adalah kehendak dan perintah dari Mayor Jakuwes. Beliau menghendaki agar rencana itu dilaksanakan secepatnya, jangan sampai mendahului laporan Adipati Sumedang tentang persiapan Kadipaten Sumedang untuk kelak membantu Mataram. Karena desakan itulah maka keberangkatanku setelah menerima laporan utusanmu itu kupercepat dan malam ini aku dapat tiba di sini."
Aji mendengarkan semua ini. Tadi dia heran setengah mati ketika Sulastri diperkenalkan sebagai seorang tawanan yang akan menjadi teman seperjuangan. dan siapa pula pemuda tampan ganteng yang menjadi tawanan di samping Sulastri itu? Tampaknya begitu tenang namun sinar matanya mencorong. Juga dia tidak tahu siapa gerangan Mayor Jakuwes yang agaknya begitu besar kekuasaannya. Tentu saja dia tidak tahu. Yang disebut Mayor Jakuwes itu sesungguhnya adalah seorang perwira Kumpeni Belanda keturunan Portugis. Nama aslinya adalah Jacques Lefebre akan tetapi selanjutnya akan disebut Mayor Jakuwes saja seperti yang dikenal oleh orang pribumi, baik yang menentang Kumpeni Belanda maupun yang menjadi antek bangsa asing itu.
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo