Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Laut Kidul 21


Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



Memang demikianlah yang selalu diajarkan oleh mendiang gurunya, Ki Tejo Budi dahulu. Manusia hidup haruslah memenuhi dua kelengkapan itu agar dapat disebut manusia seutuhnya. Secara rohani, dia harus selalu dekat selalu ada kontak dan komunikasi, selalu di"jumenengi"

   Roh Allah yang Maha Suci dalam arti kata, Kekuasaan Gusti Allah selalu manunggal (bersatu) dalam dirinya. Dan secara jasmani, dia harus selalu mempergunakan semua anugerah Gusti Allah berupa badan dan hati akal pikiran ini untuk berikhtiar, berusaha untuk keselamatan jasmaninya, untuk kesejahteraan hidupnya di dunia dan terutama sekali, untuk membantu pekerjaan Gusti Allah, yaitu membangun kehidupan manusia di dunia yang penuh kedamaian, penuh kesejahteraan, penuh kasih sayang antara manusia.

   Dalam keadaan seperti itulah Aji menghadapi serangan tongkat pusaka di tangan Aki Mahesa Sura. Didasari iman penyerahannya kepada Gusti Allah, Aji lalu menyambut sinar hijau itu dengan dorongan telapak tangan kirinya sambil mengerahkan Aji Surya Chandra. Sinar hijau yang keluar dari moncong ular kering menyambar dahsyat, bertemu dengan telapak tangan kiri Aji yang dikembangkan. Sinar itu seolah terpental membalik dan menyambar kepala ular kering itu sendiri.

   "Uhhh.....!!"

   Kembali Aki Mahesa Sura terhuyung, terbawa oleh tongkatnya sendiri yang seperti terserang sinar hijau yang keluar dari moncongnya. Agaknya telapak tangan Aji tadi bekerja seperti sebuah cermin dan ketika sinar hijau menyambarnya, maka sinar itu seperti bertemu dengan cermin

   (Lanjut ke Jilid 23)

   Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 23

   dan bayangannya terpantul membalik dan menyerang sumber sinar hijau itu sendiri. Aki Mahesa Sura menjadi semakin marah dan penasaran. Dua macam serangan mempergunakan kekuatan sihir melalui mata dan suaranya telah digagalkan, bahkan serangan ketiga melalui tongkat ular juga terpantul membalik.

   Namun dia belum juga jera. Dia telah bertahun-tahun mempelajari ilmu-ilmu dari Pajajaran, maka kini dia mengerahkan semua kekuatannya untuk menyerang dengan sihir ilmu hitam yang dianggap paling ampuh. Tiba-tiba dia menancapkan tongkat ularnya ke atas tanah setelah itu dia mengeluarkan suara menggereng yang amat kuat sehingga menggetarkan sekeliling tempat itu, kedua tangannya diangkat ke depan dada dan membentuk cakar harimau, menggetar penuh tenaga dahsyat dan bergerak-gerak

   saling menyilang, kemudian dia berjungkir balik tiga kali dan tubuhnya berubah menjadi seekor harimau yang amat besar! Harimau sebesar kerbau itu memandang Aji dengan sepasang mata bersinar-sinar mencorong, moncongnya mengeluarkan suara menggereng, mengaum dan bibirnya tertarik-tarik memperlihatkan taring dan gigi yang putih mengkilap dan runcing mengerikan, kedua kaki depannya menggaruk-garuk tanah dan apabila kuku-kukunya itu ada yang menggurat batu, maka terperciklah bunga api!

   Aji menghadapi harimau itu dengan tenang. Dan maklum sepenuhnya bahwa mahluk yang berada di depannya itu adalah seekor harimau jadi-jadian. Pernah dia berhadapan dengan Munding Hideung dan Munding Bodas, murid-murid kakek ini dan dua orang pemimpin gerombolan itupun pernah memepergunakan ilmu hitam yang serupa, yaitu mereka menjadi dua ekor harimau jadi-jadian. Namun dia dapat memunahkan sihir mereka itu dengan Aji Tirta Bantala (Ilmu Air dan Tanah). Kekuatan mujijat yang muncul karena iman dan penyerahannya kepada Gusti Allah dapat memunahkan ilmu hitam kedua orang pimpinan gerombolan itu. Dan sekarang dia berhadapan dengan harimau jadi-jadian buatan Aki Mahesa Sura yang tentu jauh lebih dahsyat dan berbahaya dibandingkan dua orang muridnya! Timbul keinginan dalam hati Aji untuk menguji kemampuan dirinya sendiri melawan harimau jadi-jadian itu dengan ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari dari mendiang Ki Tejo Budi.

   Bagaimanapun juga, dia memiliki pegangan batin yang amat kuat, yaitu keyakinannya bahwa kepasrahannya kepada Gusti Allah. Kalau sudah begitu, apa yang perlu ditakuti lagi? Apapun yang terjadi dengan dirinya, sepenuhnya menurut kehendak Gusti Allah dan akan diterimanya dengan penuh rasa syukur karena apapun yang ditentukan Allah, betapa burukpun dalam pandangan manusia, sesungguhnya adalah yang terbaik baginya! Dalam menghadapi segala hal, dia harus berikhtiar berusaha sekuat tenaga untuk melindungi dirinya. Ikhtiar, usaha atau bekerja adalah wajib di samping iman penyerahan diri sepenuhnya yang merupakan keharusan manusia. Bekerja saja tanpa dilandasi adanya bimbingan Gusti Allah dapat menyesatkan, membuat kita lupa diri dan hanya mengejar hasil pekerjaan itu tanpa perduli apakah cara bekerja itu diridhoi Gusti Allah atau tidak. Sebaliknya, hanya bimbingan kepada jiwa kita saja oleh Gusti Allah tanpa mengerjakannya dengan jasmani kita, juga membuat kita tidak mungkin dapat hidup di dunia ini. Keduanya, olah kerja dan iman penyerahan haruslah sama-sama kuat. Dengan demikian, hidup akan menjadi seutuhnya sebagai seorang manusia.

   "Haunnggg..... grrrrr.....!!"

   Tiba-tiba harimau sebesar kerbau itu melompat dan menubruk, menerkam dengan dahsyatnya kepada Aji. Pemuda ini sudah siap dan waspada. Dia segera mengerahkan kelincahan berdasarkan Aji Bayu Sakti dan menggerakkan tubuhnya, bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Bagaikan seekor kera, atau lebih tepat lagi, bagaikan gerak gerik sang Hanoman dalam kisah wayang Ramayana, dia telah menyusup di bawah terkaman harimau jadi-jadian itu sehingga terkaman itu luput.

   Akan tetapi ketika Aji membalikkan tubuh dan berada di belakang harimau itu, tiba-tiba harimau itu menggerakkan ekornya yang panjang dan bagaikan ssebatang toya (tongkat) baja ekor itu menyambar dan menghantam kuat sekali ke arah pinggang Aji! Pemuda itu terkejut juga, tidak pernah menduga akan serangan yang mendadak itu. Karena untuk mengelak dia sudah tidak mempunyai kesempatan lagi, maka Aji lalu menyalurkan tenaga dari Aji Surya Chandra ke lengan kirinya dan menangkis sambaran ekor yang lebih besar daripada lengannya itu.

   "Wuuuttt..... dukkk!!"

   Aji merasa betapa tubuhnya tergetar saking kuatnya sambaran ekor harimau jadi-jadian itu. Akan tetapi harimau itupun menggereng dan ekornya terpental ketika bertemu lengan Aji. Harimau itu cepat sekali sudah memutar lagi tubuhnya dan cakar kananya menyambar dengan kecepatan kilat ke arah leher Aji. Pemuda itu masih dapat mengelak dengan miringkan tubuhnya, akan tetapi dengan cekatan cakar harimau itu dapat mengejar dan mengenai pundaknya.

   "Brettt.....!"

   Baju di pundak Aji robek, akan tetapi kuku-kuku rincing itu hanya mendatangkan guratan pada kulit pundaknya, tidak melukainya sama sekali karena tubuh Aji terlindung oleh kekuatan mujijat yang membuatnya kebal.

   Sekali lagi harimau raksasa itu membuat lompatan menerjang dan menerkam. Namun Aji dapat mengelak dengan lebih cepat lagi. Harimau itu mengamuk, menerkam dengan kedua cakar depannya dan berulang-ulang memukul dengan ekornya. Namun semua serangan itu dapat dihindarkan Aji dengan elakan dan kalau perlu serangan itu dipatahkan dengan tangkisan lengannya. Pertarungan sengit terjadi. Beberapa kali Aji terkena hantaman ekor akan tetapi pukulan itu hanya membuat dia terguncang sedikit dan ekor yang memukul itupun terpental. Sebaliknya beberapa kali tamparan tangan Aji mengenai tubuh binatang jadi-jadian itu. Akan tetapi tubuh harimau itupun kuat dan kebal sekali. Harimau itu terkadang terpelanting oleh pukulan tangan Aji, akan tetapi seperti tidak merasakan nyeri, binatang itu sudah bangkit dan menyerang lagi.

   Setelah cukup lama berkelahi dan belum juga dapat mengalahkan pemuda itu, harimau jadi-jadian itu menjadi kesetanan. Matanya mencorong seperti berapi dan moncongnya mengeluarkan uap panas. dengan gerengan yang menggetarkan jantung kini harimau itu menerkam lagi dengan lompatan tinggi.

   "Wiiii.....!"

   Aji cepat menyusup ke bawah perut mahluk jadi-jadian itu seperti ketika ia menyerang pertama kali. Secara tiba-tiba dia membalik ketika berada di belakang harimau dan sekali sambar, tangan kanannya sudah menangkap ekor harimau itu. Harimau itu meronta, namun Aji sudah mengerahkan tenaga dan mengayun lalu memutar-mutar tubuh harimau yang besar itu ke atas kepalanya. Harimau itu mengaum-aum marah akan tetapi tak mampu melepaskan diri dan diputar-putar cepat sekali seperti kitiran lalu mengayun dan melontarkan tubuh harimau besar itu sambil membentak.

   "Pergilah kau!"

   Tubuh harimau raksasa itu terlempar melalui pohon-pohon menuju ke arah sungai dan tak tampak lagi. Aji cepat mencari Sulastri dan Jatmika. Setelah memutar tubuhnya, dia melihat Jatmika dan Sulastri sedang bertarung melawan empat orang lawan yang tangguh. Masing-masing dikeroyok dua orang lawan dan mereka bertanding mati-matian.

   Tadi, setelah Aji berhasil memukul lepas dua buah pistol dari tangan Tumenggung Jaluwisa, senopati Sumedang ini segera dikeroyok dua oleh Jatmika dan Eulis. Mereka berkelahi dengan seru dan biarpun tumenggung itu seorang yang digdaya, namun menghadapi pengeroyokan Jatmika dan Eulis, dia kewalahan juga dan mulai terdesak. Memang, senjata di tangan dua orang muda itu hanya ranting kayu, namun di tangan mereka ranting itu menjadi senjata yang ampuh.

   Apalagi mereka menyelingi serangan ranting itu dengan tangan kiri yang melancarkan pukulan dengan Aji Margopati yang dahsyat dan ampuh. Biarpun Tumenggung Jaluwisa mengamuk dengan golok di tangan kanan dan keris Kyai Cubruk milik Jatmika di tangan kiri, namun tetap saja dia terdesak larena dua ujung ranting itu dapat mematahkan semua serangannya, dan pukulan Margopati itu menyambar-nyambar dahsyat.

   "Kena.....!!"

   Tiba-tiba Jatmika membentak dan ujung ranting di tangannya, dengan telak sekali menusuk pergelangan tangan kiri tumenggung itu. Tumenggung Jaluwisa terkejut, walaupun pergelangan tangannya tidak terluka namun sedetik tangan itu seperti kaku dan lumpuh sehingga keris rampasan yang dipegangnya terlepas. Dengan gerakan cepat Jatmika menyambar keris pusakanya yang terjatuh di atas tanah itu.

   Eulis cepat memutar rantingnya ketika Tumenggung Jaluwisa hendak menghalangi Jatmika memungut keris pusakanya sehingga pemuda itu akhirnya berhasil mengambil Keris Kyai Cubruk. Kini dengan keris di tangan kanan dan ranting di tangan kiri, Jatmika menyerang dengan hebat, dibantu oleh Eulis yang tingkat kepandaiannya tidak terpaut banyak dibandingkan tingkat kepandaian Jatmika. Tadi saja tumenggung itu sudah terdesak. Apa lagi sekarang. Dia memutar-mutar goloknya sehingga senjatanya itu berubah menjadi gulungan sinar yang menjadi perisai melindungi dirinya. Namun, tetap saja dia terdesak dan kerepotan. Tumenggung itu berulang kali mengeluarkan teriakan sebagai isarat kepada para pembantunya.

   Tiba-tiba muncul tiga orang yang memegang golok dan serentak mereka menyerbu dan membantu sang tumenggung. Mereka itu bukan lain adalah Munding Beureum, Munding Koneng, dan Munding Hejo. Tadi, tiga orang ini memimpin anak buah melawan para perajurit pengawal dan dengan adanya mereka bertiga yang mengamuk, biarpun jumlah anak buah itu tidak banyak dibandingkan pasukan pengawal, mereka mampu mendesak. Akan tetapi tiga orang itu mendengar isarat tumenggung yang minta bantuan. Maka mereka meninggalkan anak buah mereka dan membantu Tumenggung Jaluwisa.

   Munding Beureum dan Munding Koneng mengeroyok Eilis, sedangkan Munding Hejo membantu sang tumenggung mengeroyok Jatmika. Keadaan menjadi terbalik. Kalau tadi Tumenggung Jaluwisa yang terus terdesak, sekarang Jatmika dan Eulis yang terdesak dan terpaksa mereka harus mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh Bayu Sakti untuk bergerak cepat mengelak dari hujan serangan para pengeroyok.

   Aji yang sudah kehilangan lawan, melihat keadaan Jatmika dan Sulastri, melompat dan langsung dia menerjang ke arah Munding Beureum yang mengeroyok Sulastri.

   "Nimas Sulastri, jangan khawatir, aku datang membantumu!"

   Setelah berteriak demikian Aji lalu menampar ke arah pengeroyok yang ikat pinggangnya berwarna merah, yaitu Munding Beureum.

   "Wuuuutttt.....!"

   Munding Beureum terkejut bukan main melihat datangnya angin pukulan yang dahsyat. Dia terpaksa melemparkan tubuhnya ke samping, lalu menjatuhkan diri dan sambil bergulingan dia membabatkan goloknya ke arah kaki Aji.

   Gerakannya memang cekatan sekali. Sambil bergulingan goloknya menyambar-nyambar secara bertubi ke arah kedua kaki Aji. Aji berloncatan menghindar, akan tetapi ketika golok itu menyambar berulang-ulang, dia menggunakan kaki kanannya untuk memapaki dan menendang sambil mengerahkan tenaga.

   "Dess..... sing.....!"

   Golok itu terlepas dari tangan Munding Beureum dan meluncur ke arah Eulis atau Sulastri.

   Gadis itu menyambar dengan tangan kirinya dan ia sudah berhasil menangkap golok itu pada gagangnya. Melihat tubuh Munding Beureum masih bergulingan dan mendekatinya, ia lalu meluncurkan tongkat ranting kayunya ke arah tubuh yang bergulingan itu, sambil mengerahkan tenaga.

   "Wirrr..... capp!"

   Ranting kayu itu menancap ke dada Munding Beureum sampai hampir tembus! Orang itu mengeluarkan teriakan parau dan tewas tak lama kemudian. Eulis atau Sulastri girang bukan main mendapatkan pertolongan walaupun ia terheran-heran mendengar pemuda itu menyebutnya Nimas Sulastri! Sebutan nama ini terasa akrab di telinganya, juga rasanya ia tidak asing dengan wajah dan suara pemuda itu. Akan tetapi ia lupa lagi di mana dan bilamana pernah berjumpa dengan pemuda itu. Ia tidak dapat banyak berpikir karena kini Munding Koneng yang melihat saudara seperguruannya tewas, menjadi marah dan menyerangnya dengan ganas sekali. Eulis menangkis dengan golok rampasannya.

   "Cringgg.....!"

   Bunga api berpijar ketika dua batang golok bertemu. Namun kini Eulis memperlihatkan kehebatannya. Ia dahulu memang mahir dan sudah terbiasa bersilat pedang. Maka kini, memegang sebatang golok, ia dapat memainkannya dengan dahsyat sehingga Munding Koneng segera terdesak. Melihat keadaan Sulastri kini hanya menghadapi seorang lawan dan mampu mendesaknya, Aji lalu membantu Jatmika yang masih dikeroyok dua oleh Tumenggung Jaluwisa dan Munding Hejo. Dia menerjang ke arah pengeroyok yang sabuknya berwarna hijau dan yang memainkan sebatang golok.

   "Wuuuttt.....!"

   Tamparan tangan Aji ampuh sekali dan mendatangkan angin pukulan dahsyat. Munding Hejo terkejut dan dia membabatkan goloknya untuk menyambut tamparan tangan itu dengan maksud agar tangan yang menamparnya itu terbabat bunting oleh goloknya.

   "Dessss..... krek.....!!"

   Hebat sekali pertemuan dua tenaga itu. Golok itu patah dan tubuh Munding Hejo terlempar seperti daun kering disapu angin. Dia terlempar dan jatuh terguling-guling dekat dengan beberapa orang pasukan pengawal. Melihat musuh roboh terguling-guling, lima orang perajurit pasukan menghujani tubuh Munding Hejo dengan tusukan tombak dan bacokan golok. Getaran pukulan Aji tadi membuat Munding Hejo tidak mampu lagi mengerahkan aji kekebalannya sehingga tubuhnya rusak dan nyawanya melayang karena hujan serangan itu.

   Pada saat itu tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan ke dekat lima orang perajurit yang membacoki dan menusuki tubuh Munding hejo yang sudah tak bernyawa lagi.

   "Heeeeiiiitttt..... arrrggghhh.....!"

   Terdengar bentakan dan gerengan dahsyat dan orang itu mendorongkan kedua tangannya ke arah lima orang perajurit itu. Angin yang amat kuat menyambar dan lima orang perajurit itu berpelantingan roboh dan tidak mampu bangkit lagi karena mereka semua tewas!

   Aji terkejut dan cepat menghampiri. Ternyata dia berhadapan dengan Aki Mahesa Sura yang berdiri memegang tongkat ularnya dengan pakaian basah kuyup. Agaknya ketika dia menjadi harimau jadi-jadian dan dilemparkan Aji tadi terjatuh ke sungai akan tetapi tidak terluka dan dia dapat keluar dari sungai dengan tubuh dan pakaian basah kuyup. Tadi melihat betapa seorang muridnya, Munding Hejo dibantai, dia menjadi marah dan sekali serang dia telah membunuh lima orang perajurit pengawal! Sementara itu, semua anak buah pemberontak telah dapat dirobohkan dan sebagian lagi melarikan diri. Para perajurit pengawal yang masih hidup kini hanya menjadi penonton bersama Adipati Pangeran Mas Gede, tidak berani mendekati pertempuran hebat antara Eulis atau Sulastri melawan Munding Koneng, Jatmika melawan Tumenggung Jaluwisa, dan Aji yang kini saling berhadapan dengan Aki Mahesa Sura.

   "Babo-babo, Lindu Aji! Penghinaan ini harus kautebus dengan nyawamu!"

   Wajah kakek itu tampak bengis dan menyeramkan, seperti wajah iblis sendiri karena mengandung hawa amarah yang memuncak. Sinar matanya penuh ancaman maut, tongkat ular di tangan kanannya menggigitl saking kuatnya emosi menguasainya.

   Aji bersikap tenang.

   "Aki Mahesa Sura, cobalah renungkan lagi. Siapa yang menghina dan siapa yang menyulut api permusuhan dan pertempuran ini? Masih belum terlambat kalau andika menyadari kesalahan, bertaubat dan mengubah jalan hidupmu agar mendapatkan penerangan sejati dan menuntunmu ke jalan kebenaran."

   "Aaahhh!"

   Seperti iblis sendiri kakek itu menjadi marah mendengarkan ucapan itu, ucapan yang sama sekali berlawanan dengan keinginan hatinya.

   "Tak perlu berkhotbah di sini! Sekarang tinggal engkau atau aku yang menang atau mati!"

   Setelah berkata demikian, kakek itu mendorongkan telapak tangan kirinya ke arah Aji sambil berteriak lantang.

   "Aji Bajra Kalantaka! Mampuslah!!"

   Hebat dan dahsyat bukan main Aji Bajra Kalantaka (Kilat Dewa Maut) ini. Dari tangan kiri itu menyambar sinar yang menyilaukan mata, yang mencuat bagaikan sambaran halilintar ke arah Aji.

   Aji cepat merangkap kedua tangan di depan dada, melebur diri ke dalam kekuasaan Gusti Allah dan otomatis tangan kanannya mendorong ke depan. Tidak tampak apapun dari telapak tangan kanannya. Akan tetapi sinar kilat yang menyambar dari telapak tangan kiri kakek itu tiba-tiba terhenti di tengah jalan tertahan oleh sesuatu yang tidak tampak namun yang kuat sekali.

   Tejadilah adu kekuatan. Kakek itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong kekuatan yang menghalang itu. Sampai mulutnya mengeluarkan suara bekah-bekuh, tubuhnya gemetar dan keringatnya mulai membasahi mukanya, napasnya mulai terengah dan sinar kilat mulai terdesak mundur dan kembali ke telapak tangannya. Sejenak tangan kiri kakek itu terkulai lemas. Untung bahwa Aji tidak mendesaknya, kalau hal itu dilakukan, tentu kakek itu akan roboh.

   Namun, biar kakek itu sudah tua renta, semangatnya menggebu-gebu, dia tidak mau kalah dan merasa kuat. Apalagi dia sedang marah dan penasaran. Semangatnya ini yang membuat dia tiba-tiba dapat menguasai dirinya kembali dan kini dia mengeluarkan pekik menyeramkan.

   "Auuurrrggghhh.....!"

   Tubuhnya menerjang ke depan, tongkat ularnya diputar cepat sehingga berubah menjadi gulungan sinar hitam dan kini dia menggunakan ilmu silat yang cepat dan kuat untuk menyerang Aji.

   Menghadapi serangan cepat dan kuat yang amat berbahaya ini, Aji juga cepat bergerak lincah dan cekatan bagaikan seekor kera. Dan memainkan ilmu silat yang disebut Aji Wanara Sakti, mengelak dengan cepat dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan adu ilmu silat yang seru, cepat dan mengeluarkan angin berdesir desir. Tubuh mereka lenyap bentuknya, berubah menjadi bayang-bayang yang berkelebatan di antara gulungan sinar hitam tongkat itu. Dan ternyata ilmu silat yang dimainkan Aki Mahesa Sura itu memang hebat bukan main sehingga Aji sendiri kewalahan menghadapi sinar bergulung-gulung dan berkelebatan menyambar-nyambar seperti kilat itu. Hanya dengan kelincahan Aji Wanara Sakti saja dia masih mampu berkelebatan mengelak dan menghindarkan diri dari sambaran

   tongkat maut.

   Sementara itu, pertandingan antara Jatmika melawan Tumenggung Jaluwisa juga berlangsung dengan hebat dan seru. Tumenggung itu adalah senapati Sumedang, bahkan tangan kanan Pangeran Mas Gede, maka ilmu silatnya juga amat dahsyat. Denngan golok besarnya, dia berusaha keras untuk merobohkan Jatmika yang melawan golok itu dengan keris pusakanya Kyai Cubruk. Namun, senjatanya itu, biarpun merupakan pusaka ampuh, merupakan senjata yang pendek sehingga jangkauannya kalah jauh dibandingkan golok di tangan sang tumenggung. Oleh karena itu, dia harus bergerak dengan hati-hati dan menggunakan semua kelincahannya untuk menandingi lawan. Mereka saling serang dengan seru dan mati-matian.

   Hanya pertandingan antara Eulis melawan Munding Koneng yang agak berat sebelah. Biarpun Munding Koneng juga seorang digdaya, merupakan seorang di antara Panca Munding murid-murid Aki Mahesa Sura, namun melawan Eulis yang tingkat kepandaiannya setingkat dengan Jatmika, dia kewalahan sekali. Dara perkasa yang kini bersenjatakan sebatang golok rampasan itu memiliki kecepatan gerakan yang membuat Munding Koneng repot sekali. Kadang pandang matanya kabur melihat dara itu berkelebatan di sekitarnya dan golok di tangan mungil itu menyambar-nyambar dan sinarnya bergulung-gulung menyilaukan mata.

   "Trang-trang-trang.....!"

   Bertubi-tubi golok mereka bertemu ketika Munding Koneng menangkis serangan yang datang dengan gencar itu. Tiba-tiba Eulis mengeluarkan bentakan melengking dan kembali goloknya menyambar dari atas, membacok ke arah kepala lawan. Munding Koneng kembali menangkis dengan sekuat tenaga. Harapan satu-satunya hanyalah mengadu tenaga dengan harapan tangkisannya akan membuat golok di tangan dara itu patah atau terlepas dari pegangan karena dalam hal kecepatan dia kalah jauh sehingga dia terus terdesak.

   "Singgg..... trakkkk !"

   Dua batang golok bertemu dan saling melekat! Kesempatan yang hanya beberapa detik ini dipergunakan oleh Eulis untuk memukul dengan tangan kirinya.

   "Syuuuttt..... plakk!"

   Dada Munding Koneng terkena pukulan Margopati tangan kiri Eulis.

   "Aduhhhh.....!"

   Tubuh laki-laki itu terjengkang dan dia terbanting keras, tak dapat bangun lagi karena pukulan ampuh dan dahsyat itu telah merusak isi rongga dadanya. Eulis menoleh, memandang ke arah Jatmika yang masih bertanding dengan seru dan berimbang melawan Tumenggung Jaluwisa. Tanpa ragu-ragu lagi Eulis melompat dan langsung menyerang senopati Sumedang itu dengan goloknya.

   "Wirrrr.....!"

   Jaluwisa terkejut dan cepat melompat ke samping mengelak. Akan tetapi Jatmika sudah menyerangnya dan Eulis juga sudah menerjang lagi. Tumenggung Jaluwisa dikeroyok dua dan sekarang keadaan berubah. Senopati Sumedang yang memberontak itu mulai kewalahan dan dia hanya dapat mengelak dan menangkis dihujani serangan golok dan keris. Pertandingan berat sebelah ini tidak berlangsung lama. Setelah bersusah payah mempertahankan diri, Jaluwisa menjadi nekad. Dia ingin mengadu nyawa. Biar dia roboh asal dapat merobohkan pula Jatmika. Setelah didesak terus, akhirnya dia membalas, menyerang dahsyat sekali ke arah Jatmika, membacokkan goloknya ke arah leher pemuda itu dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Jatmika terkejut dan cepat menangkis dengan kerisnya.

   "Trangggg.....!!"

   Jatmika tergetar dan terhuyung, akan tetapi pada saat itu, sinar golok di tangan Eulis menyambar tepat mengenai lambung Jaluwisa yang tak terlindung.

   "Cratttt.....!"

   Darah muncrat dan Jaluwisa terhuyung, tangan kiri mendekap lambungnya yang terluka parah. Jatmika menggunakan kesempatan itu untuk menerjang dan keris pusakanya menyambar dan menusuk ke arah leher senopati Sumedang itu.

   Jaluwisa mengeluarkan teriakan lemah dan robohlah dia dalam gelimangan darahnya sendiri. Jatmika dan Eulis kini memandang ke arah Aji yang masih bertanding seru melawan Aki Mahesa Sura. Tanpa diperintah, seperti sudah bersepakat saja, sepasang orang muda ini sudah menerjang maju dan mengeroyok Aki Mahesa Sura. Kakek itu terkejut sekali karena dapat merasakan bahwa tingkat kepandaian dua orang muda yang maju membantu Aji itupun memiliki tingkat kesaktian yang sudah kuat sekali sehingga dia terdesak hebat.

   Tadi, ketika bertanding melawan Aji, kakek itu sudah merasa betapa sukarnya mengalahkan pemuda itu. Aji yang diserang tongkat ular yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung itu telah mencabut keris pusaka Kyai Nogowelang dan melakukan perlawanan mati-matian. Pemuda inipun maklum betapa saktinya kakek yang dihadapinya. Ketika Jatmika dan Sulastri atau Eulis datang membantunya, dia merasa girang dan dia mempercepat gerakan kerisnya untuk mendesak kakek yang sakti mandraguna itu, Ketika golok di tangan Eulis dan keris di tangan Jatmika kembali menyerang dari depan dalam saat yang berbareng, kakek itu mengerahkan tenaga pada tangan kanannya dan menggunakan tongkat ularnya untuk menangkis, sementara itu tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menghantam ke arah Aji, didorongkan dan dari telapak hitam itu keluar asap hitam.

   Melihat serangan ini, Aji cepat mendorongkan tangannya untuk menyambut sambil mengerahkan tenaga sakti dari Aji Suryo Candra.

   "Trangg-trangg.....!"

   Jatmika dan Eulis tergetar dan terhuyung oleh tangkisan tongkat Aki Mahesa Sura dan kakek itu hanya bergoyang tanda bahwa pertemuan senjata itupun menggoyahkannya. Pada saat itu, dua tenaga sakti bertemu di udara, antara dorongan tangan kakek itu yang bertemu dengan dorongan tangan Aji.

   "Wuuuttt..... desss.....!"

   Sebetulnya kakek itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali. akan tetapi pada saat itu, tenaganya terbagi. Sebagian tadi untuk menangkis golok Eulis dan keris Jatmika, dan sebagian lagi untuk menyerang Aji. Tangkisan terhadap dua senjata itu sudah membuat kakek itu tergetar dan sisa tenaganya yang dipakai untuk menyerang Aji yang menggunakan Aji Surya Chandra. Aki Mahesa Sura terkejut dan dari mulutnya keluar keluhan panjang, tubuhnya terhuyung ke belakang seperti terbawa angin. Melihat keadaan kakek ini, Jatmika dan Eulis tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Mereka berdua menerjang ke depan. Keris pusaka Kyai Cubruk di tangan Jatmika dan golok di tangan Eulis berkelebat.

   "Cratt-cratt!"

   Kakek itu tidak sempat melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan karena dia sudah terguncang oleh pertemuan tenaga saktinya dengan sambutan Aji tadi. Perutnya terobek pedang dan ulu hatinya tertikam keris! Dia roboh, akan tetapi dapat bangkit kembali dan dengan wajah menyeramkan, dia lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Jatmika dan Eulis. Asap hitam mengepul dari kedua telapak tangannya dan asap itu menyambat ke arah Jatmika dan Eulis.

   "Awas.....!"

   Aji berseru khawatir, maklum betapa hebat serangan kakek yang sudah terluka parah itu.

   Jatmika dan Eulis tak sempat mengelak lagi. mereka berdua, seperti sudah bersepakat, menekuk lutut dan keduanya mendorongkan telapak tangan mereka ke depan, menyambut pukulan dahsyat kakek itu dan mengerahkan Aji Margopati.

   "Wuuuttt..... bressss.....!!"

   Tubuh Jatmika dan Eulis terpental dan terbanting roboh, dan tubuh kakek itupun terjengkang dan roboh tak bergerak lagi.

   Aji terkejut dan cepat menghampiri Jatmika dan Eulis yang terbanting roboh. Dua orang itu sudah bangkit duduk bersila dan mengatur pernapasan. Aji merasa lega bahwa mereka berdua ternyata hanya terguncang saja dan tidak menderita luka berat. Dia melihat bahwa kakek itu telah tewas pula seperti para muridnya, Juga dia melihat bahwa anak buah Tumenggung Jaluwisa telah tewas semua, menjadi korban amukan para perajurit pengawal. Pertempuran benar-benar telah selesai dan biarpun di pihak pasukan pengawal banyak juga yang roboh dan tewas terkena tembakan, namun pihak para pemberontak itu telah terbasmi, tidak ada yang lolos. Adipati Sumedang, Pangeran Mas Gede, menghampiri Aji. Kini Jatmika dan Eulis juga sudah bangkit berdiri dan kesehatan mereka sudah pulih kembali.

   "Aduh, anakmas Lindu Aji, kami merasa bersyukur dan berterima kasih sekali kepada andika. Kalau tidak ada andika yang memperingatkan kami dan tidak membantu merobohkan pengkhianat Jaluwisa dan para pembantunya, entah apa yang akan terjadi dengan kami."

   Kata sang adipati dengan terharu.

   "Sesungguhnya yang menyelamatkan paduka adalah Gusti Allah, sedangkan kami bertiga ini hanya melaksanakan tugas kami saja."

   Kata Aji dengan rendah hati.

   "Andika sungguh seorang muda yang bijak, anakmas Aji. Dan siapakah pemuda dan dara ini? Kami juga harus mengucapkan terima kasih kepada meraka."

   Kata pangeran Mas Gede.

   "Mereka ini adalah saudara-saudara seperguruan saya, bernama Jatmika dan Sulastri."

   Aji memperkenalkan.

   "Bukan, aku bukan Sulastri. Namaku Listyani dan biasa disebut Eulis!"

   Kata Eulis sambil mengerutkan alisnya dan memandang heran kepada Aji.

   Pangeran Mas Gede tersenyum.

   "Siapapun juga namamu, nini, andika tetap merupakan seorang dara yang telah menolong kami. Nah, sekarang kami mengundang andika bertiga ke Kadipaten Sumedang sebagai tiga orang tamu kehormatan kami. Kami ingin menjamu andika bertiga untuk menyatakan syukur dan terima kasih kami."

   Aji terkejut dan heran bukan main ketika tadi mendengar bantahan Sulastri yang tidak mengakui namanya, bahkan mengatakan bahwa namanya Listyani atau Eulis. Saking herannya dia hanya berdiri memandang gadis itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ketika mendengar ucapan sang adipati yang mengundang mereka bertiga untuk ikut ke Kadipaten Sumedang, Aji cepat berkata dengan sikap hormat.

   "Harap paduka maafkan bahwa kami terpaksa tidak dapat memenuhi undangan paduka karena kami masih mempunyai urusan penting sekali yang harus kami selesaikan.

   Biarlah lain kali kalau semua sudah beres, kami berkunjung ke Sumedang dan menghadap paduka."

   Adipati Sumedang mengangguk-angguk.

   "Baiklah dan selamat tinggal, Anak mas Lindu Aji. Kami hendak kembali secpatnya ke kadipaten."

   Dia memerintahkan sebagian perajurit untuk mengurus semua mayat yang bergelimpangan dan mengurus teman-teman yang terluka, sedangkan sebagian lagi mendapat tugas untuk mengawalnya pulang ke kadipaten.

   "Mari kita meninggalkan tempat ini aku mau bicara dengan andika berdua."

   Kata Aji kepada Jatmika dan Sulastri.

   Jatmika yang juga ingin sekali mengetahui siapa sebenarnya pemuda perkasa yang telah menolong dia dan Eulis itu mengangguk kepada Eulis yang tampak ragu. Mereka lalu mengikuti Aji meninggalkan tempat bekas pertempuran dimana banyak perajurit pengawal sibuk mengurus para teman yang terluka dan jenazah-jenazah uang berserakan. Setelah berada agak jauh dari tempat bekas pertempuran, Aji memberi isyarat kepada Jatmika dan Eulis untuk S berhenti. Mereka duduk di atas batu dan Aji memandang dengan penuh selidik kepada Eulis yang sejak tadi diam saja.

   "Nimas Sulastri, mengapa engkau tidak mengakui namamu sendiri dan berganti nama Listyani atau Eulis? mengapa, nimas."

   Tanya Aji kepada Eulis yang tampak bingnung mendengar pertanyaan ini. Eulis menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya sambil menatap wajah Aji dengan senar mata penuh keheranan.

   
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"aku tidak mengenal andika dan namaku memang Listyani dan biasa disebut Eulis. Tanya saja kepada Kakangmas Jatmika ini. Bukankah begitu, kakangmas?"

   Eulis menoleh kepada Jatmika.

   Aji memandang kepada Jatmika dan pemuda ini mengangguk, lalu berkata kepada Aji.

   "Ki sanak, kami berdua mengucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu sehingga menyelamatkan kami berdua dan juga sang adipati. Gadis ini memang bernama Listyani atau Eulis, kenapa andika menyebutnya Sulastri? Apakah andika mengenalnya?"

   "Mengenalnya?"

   Aji mengerutkan alisnya.

   "Tentu saja aku mengenalnya dengan baik, bahkan aku juga mengenal namamu dengan baik, Kakang Jatmika. Andika putera Paman Sudrajat, bukan?"

   Jatmika menatap tajam wajah Aji.

   "Benar! Bagaimana andika tahu? Apakah andika mengenal ayahku?"

   "Sebelum aku menjawab pertanyaan ini, aku ingin engkau lebih dulu menjelaskan. Kalau engkau memang Kakangmas Jatmika putera Paman Sudrajat, kenapa engkau tidak mengenal Nimas Sulastri dan menyebutnya Listyani ayau Eulis? Hal ini aneh sekali. Sebagai putera Paman Sudrajat berarti engkau adalah cucu Eyang Ki Ageng Pasisiran atau Eyang Ki Tejo Langit. mustahil kalau engkau tidak mengenal Nimas Sulastri karena ia adalah murid Eyang Ki Tejo Langit."

   Jatmika terbelalak menatap wajah Aji, lalu menoleh dan memandang Sulastri.

   "Duh Gusti.....! Jadi..... ia ini Sulastri murid eyang? Bapa pernah bercerita tentang ia..... dan memang kami belum pernah saling berjumpa.....!"

   Jatmika lalu menghampiri Sulastri dan memegang kedua pundak gadis itu, mengguncangnya.

   "Engkau Sulastri.....! Pantas aku mengenal ilmu-ilmu yang kau mainkan. Engkau Sulastri, bukan Listyani atau Eulis!"

   "Kakangmas Jatmika, engkau ini bagaimana sih? Bukankah engkau sendiri yang mengatakan bahwa namaku Listyani dengan panggilan Eulis?"

   "Ya, karena ketika kita saling bertemu aku tidak mengenalmu dan engkau kehilangan ingatanmu, tidak ingat siapa namamu dan tidak ingat apa yang telah terjadi. Karena itu aku memberimu nama Listyani atau Eulis."

   "Ohhh.....!"

   Sulastri duduk lagi di atas batu, memegangi kepalanya dengan kedua tangan.

   "Kalau begitu..... siapakah aku ini..... ?"

   "Engkau adalah Sulastri, puteri Paman Subali di Dermayu, nimas dan aku Lindu Aji, murid eyang Guru Tejo Budi. Engkau ingat, bukan?"

   Sulastri menggeleng kepalanya kuat-kuat.

   "Tidak, tidak....! Aku tidak ingat sama sekali tidak ingat.....!"

   Lalu dia menundukkan mukanya dan memegangi kepala dengan kedua tangan lagi seolah hendak memaksa ingatannya yang hilang agar kembali. Akan tetapi kini Jatmika memandang wajah Aji dengan mata terbelalak penuh kejutan.

   "Andika murid..... Eyang Tejo Budi? Ahh, Adi Lindu Aji, bagaimana kabarnya dengan Eyang Tejo Budi? Di mana dia sekarang? Sudah bertahun-tahun aku merindukannya, ingin sekali menghadap dan sujud di depan kakinya!"

   Aji merasa terharu sekali. Dia maklum apa yang menjadi gejolak hati Jatmika. Ki Tejo Budi adalah kakek kandung pemuda itu, karena Ki Sudrajat adalah putera kandung Ki Tejo Budi, hanya anak angkat Ki Tejo Langit. Berat rasa hati dan mulutnya untuk menceritakan tentang kemtian orang-orang yang begitu dekat dengan Jatmika, akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus menceritakan yang sebenarna, menceritakan semuanya.

   "Maafkan aku, kakang Jatmika. Aku terpaksa menceritakan kenyataan yang tidak membahagiakan hatimu. Eyang Guru Tejo Budi sudah meninggal dunia kurang lebih satu setengah tahun yang lalu."

   "Ohhh.....!"

   Jatmika jatuh terduduk di atas batu, tubuhnya terasa lemas. Kakek kandungnya yang begitu dirindukannya ternyata telah meninggal dunia sebelum dia dapat bertemu.

   "Maaf, kakang. Aku membuatmu menjadi berduka."

   Kata Aji.

   Jatmika dapat menguasai dirinya dan menjadi tenang kembali. Dia menatap wajah Aji dan berkata.

   "Tolonglah, Adi Aji, ceritakan kepadaku tentang beliau, tentang Eyang Tejo Budi, di mana dia tinggal, bagaimana engkau dapat bertemu dengan beliau dan bahaimana beliau meninggal. Aku ingin sekali mengetahui segalanya tentang beliau. apakah beliau meninggalkan isteri..... atau anak..... ?"

   "Tidak, Kakang Jatmika. Semenjak berpisah dari Paman Sudrajat, eyang Guru Tejo Budi tidak pernah menikah lagi. Beliau hidup seorang diri, bahkan terlunta-lunta sampai pada suatu hari beliau tiba di dusun Gampingan dekat pantai Laut Kidul di mana aku tinggal bersama ibuku. Kemudian eyang guru tinggal bersama kami dan menjadi guruku sampai pada suatu hari beliau meninggal dunia karena sakit dan tua."

   "Ah, kalau ayahku tahu.....

   "

   Kata Jatmika terharu.

   "Paman sudrajat sudah tahu, kakang. Aku sudah menghadap Eyang Tejo Langit dan Paman sudrajat di pesisir dekat Dermayu..... dan sudah kucerotakan kepada mereka.."

   "ah, engkau sudah bertemu ayah dan eyang, Adi Aji?"

   "Sydah dan aku.....

   "

   Aji berhenti bicara, rasanya tidak tega untuk memberi tahu tentang kematian dua orang tua itu.

   Melihat Aji tersendat bicara, Jatmika memandang tajam.

   "Ada apakah, Aki? Apa yang hendak kaukatakan?"

   "Ah, tidak kakang. Aku hanya ingin tahu bagaimana engkau bertemu dengan Nimas Sulastri dan mengapa ia menjadi begini..... eh, kehilangan ingatan."

   "Pertemuan kami kebetulan saja, Dimas Aji. Aku melihat ia dikeroyok tujuh orang penjahat, di antara mereka adalah Munding Hideung dan kakek Ki Kolo Srenggi yang jahat dan sakti mandraguna. Untung setelah kami berdua bekerja sama dengan susah payah, akhirnya kami dapat meobohkan dan membunuh mereka. Nah, ketika kutanya, ia tidak ingat lagi siapa namanya dan darimana ia datang. Karena, biarpun ia murid Eyang Tejo Langit, aku belum pernah bertemu dengannya, maka aku tidak mengenalnya. Karena ia bingung dan tidak ingat namanya aku mengaku tahu bahwa namanya Listyani atau Eulis. Nah, begitulah pertemuan kami.

   Aku lalu pergi ke Sumedang untuk memenuhi pesan ayah dan eyang untuk membantu Kadipaten Sumedang yang dirongrong oleh pemberontakan. Akan tetapi dalam perjalanan, kami dihadang oleh Aki Mahesa Sura bersekongkol dengan Tumenggung Jaluwisa, senopati Sumedang yang memberontak. Kami pura-pura menyerah dan ditugaskan untuk membunuh Pangeran Mas Gede, Adipati Sumedang. Pada saat penyerangan itulah kami berdua menggunakan kesempatan untuk meloloskan diri dan kebetulan engkau muncul dan membantu kami, Dimas Aji. Sekarang ceritakanlah apa yang kauketahui tentang Nimas Sulastri?"

   Sulastri mengangkat mukanya memandang kepada Aji. Ia masih belum ingat apa-apa dan pemuda itu bagaikan orang asing baginya.

   "Ya..... ceritakanlah tentang diriku kalau benar aku ini Sulastri, aku ingin mendapatkan kembali ingatanku tentang diriku yang sebenarnya, semua terasa seperti mimpi dan aku benar-benar tidak ingat apa-apa lagi. Tidak ingat akan masa laluku, tidak ingat akan orang tuaku. Ahhh.....!"

   Sulastri memegangi kepalanya lagi.

   Aji memandang Sulastri dengan hati penuh iba, kemudian dia menatap wajah Jatmika dan berkata.

   "Aku melakukan perjalanan bersama nimas Sulastri sejak sebulan yang lalu. Kami menghadap Adipati Cirebon dan mendapat tugas untuk membasmi gerombolan Munding Hideung yang mengacau di Pegunungan Careme. Kami berdua berhasil temukan Munding Hideung dan Munding Bodas dengan anak buah mereka. Kami berhasil mengalahkan mereka, akan tetapi Nimas Sulastri terkena anak panah dan terjatuh ke bawah tebing yang amat curam. Setelah merobohkan semua gerombolan, aku menuruni tebing dan mencari-cari. Akan tetapi aku tidak dapat menemukan Nimas Sulastri yang hilang tanpa meninggalkan jejak! Sudah kucari dengan bantuan anak buah Munding Hideung selama dua hari, namun sia-sia. Nimas Sulastri lenyap."

   Sulastri mengangkat mukanya memandang Aji dengan alis berkerut. Melihat ini, Aji bertanya penuh harapan.

   "Nimas, apakah ceritaku tadi mendatangkan kembali ingatanmu?"

   Akan tetapi Sulastri menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya.

   "Aku tidak ingat apa-apa, tidak ingat sama sekali."

   Katanya sedih.

   "Dimas Aji, lanjutkan ceritamu. Bagaimana engkau dapat membantu kami?"

   Tanya Jatmika.

   "Sekarang jelas bahwa tentu Nimas Sulastri kehilangan ingatan ketika terjatuh ke bawah tebing itu. entah bagaimana ia selamat, mungkin Ki Kolo Srenggi itu yang menyelamatkannya. Ia selamat akan tetapi kehilangan ingatan, mungkin kepalanya terbentur keras. Nah, lanjutkan ceritamu, dimas."

   "Dalam keadaan putus asa dan membawa pedang pusaka Nogo Wilis milik Nimas Sulastri, aku pergi menemui Paman Subali dan istrinya, yaitu ayah ibu Nimas Sulastri dan menceritakan tentang hilangnya Nimas Sulastri. Tentu saja mereka merasa gelisah dan berduka sekali. Aku menyerahkan pedang Nogo Wilis kepada Paman Subali."

   Jatmika memandang gadis itu.

   "Nimas Sulastri, apakah Pedang Nogo Wilis dan ayah ibumu itu belum juga dapat mengembalikan ingatanmu?"

   Sulastri menggeleng kepalanya.

   "Jangan sebut aku dengan nama itu, kakangmas! Aku merasa lebih akrab dengan sebutan Listyani atau Eulis. Nama Sulastri itu terasa asing bagiku. Aku tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya. Yang teringat olehku hanya semenjak kita saling bertemu sampai sekarang."

   Jatmika menoleh kepada Aji.

   "Ceritamu tadi masih belum dapat mengembalikan ingatannya, Dimas Aji. Lanjutkanlah ceritamu tentang pertemuanmu dengan ayah dan kakekku, juga tentang bantuanmu kepada kami tadi."

   Aji sengaja melewati kisah pertemuannya dengan Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, dan dia langsung menceritakan bantuannya kepada Jatmika.

   "Secara kebetulan saja aku melihat rombongan Tumenggung Jaluwisa dan aku merasa curiga lalu aku membayangi mereka. Setelah mereka tiba di pondok Aki Mahesa Sura aku melihat Nimas Sulastri dan engkau yang belum kukenal, Kakang Jatmika. Aku mendengarkan perundingan mereka dan cepat-cepat aku pergi menemui Adipati Sumedang. Kuceritakan semuanya dan kami membuat rencana siasat untuk menghadapi serbuan yang diatur Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura. Ketika aku yang menggantikan sang adipati dan berada dalam kereta melihat kalian berdua membalik dan melawan para pemberontak, aku merasa girang sekali. Setelah aku mendengar namamu disebut, maka tahulah aku siapa engkau, Kakang Jatmika, aku sudah mendengar tentang engkau dari....."

   Tiba-tiba Aji teringat bahwa ia tidak ingin bercerita tentang Ki Sudrajat dan Ki Tejo Langit, maka dia terdiam seketika.

   "Ya, engkau tentu mendengar tentang aku dari ayah dan kakek. Bagaimana engkau dapat bertemu dengan mereka, dimas?"

   Tanya Jatmika.

   Berdebar rasa jantung dalam dada Aji. Beberapa kali dia menelan ludah. Akhirnya dia dapat menguasai ketegangan hatinya dan berkata dengan hati-hati.

   "mulanya begini, kakangmas. Aku sedang mencari orang yang bernama Raden banuseta yang enam tahun tujuh tahun yang lalu telah membunuh ayah kandungku di dusun Gampingan. ketika aku berkunjung kepada Paman Subali menceritakan tentang lenyapnya Nimas sulastri, aku mendapat keterangan darinya bahwa Raden banuseta adalah Ketua perkumpulan Dadali sakti di dermayu dan terkenal jahat. Aku lalu mengunjungi perguruan itu. Akan tetapi Banuseta sedang tidak berada di rumah. Di sana aku melihat wakilnya dan para anak buahnya hendak memaksa seorang wanita menjadi isteri Banuseta, Aku menentang dan menghajar mereka, membebaskan wanita itu dan suaminya. Aku merobohkan wakil ketuanya dan ketika aku hendak pergi, wakil ketua itu bertanya di mana alamatku karena Banuseta pasti akan mencariku untuk membalas dendam. karena aku hendak berkunjung ke pondok Eyang Tejo Langit di pesisir, maka aku sebutkan alamat itu, lalu aku pergi menuju ke pantai laut."

   "Dan engkau bertemu dengan ayah dan kakekku?"

   Tanya Jatmika. Aji menghela napas panjang, matanya menatap wajah Jatmika penuh iba.

   "Kakangmas Jatmika, sebelumnya ampunilah aku kalau terpaksa aku menyampaikan hal yang membuat engkau tidak bahagia."

   "Ada apakah, adimas? Katakan saja terus terang, aku siap menghadapi hal yang bagaimanapun juga."

   "Aku memang sudah menghadap Paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit. Mereka berduka sekali mendengar bahwa Eyang Guru Tejo Budi telah meninggal dunia. Juga mereka prihatin mendengar laporanku tentang lenyapnya Nimas Sulastri."

   Kembali dia berhenti.

   "tentu saja ayah dan kakekku bersedih dan prihatin mendengar berita yang tidak menyenangkan itu, dimas. dan selanjutnya?"

   "Aku ditahan malam itu oleh Paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit, kami bercakap-cakap dan aku menceritakan semua yang terjadi dengan mendiang Eyang Guru Tejo Budi dan dengan Nimas Sulastri. Akan tetapi tiba-tiba Banuseta dan anak buahnya datang menyerang. Dia berteriak menantangku. Aku mohon Paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit tidak mencampuri karena permusuhan dengan Banuseta adalah urusan pribadiku. Aku keluar menerima tantangan Banuseta. Dia menyerangku akan tetapi aku dapat mengalahkan dia. Tiba-tiba ada seorang temannya yang membelanya dan menandingi aku. Aku terkejut melihat ilmunya sama dengan ilmu Nimas Sulastri. Pada saat kami bertanding, Eyang Tejo Langit keluar dari pintu dan ketika menyebut nama lawanku, aku terkejut karena ternyata dia bernama Hasanudin atau panggilannya Udin!"

   "Ahhh..... ? Kakang Hasanudin..... ?"

   Jatmika berseru kaget.

   "Benar, dia Hasanudin...... kakak tiriku yang sedang kucari-cari.....

   "

   Kata Aji.

   "Kakak tirimu?"

   Jatmika mengulang, kaget dan heran.Galuh dan meninggalkan seorang putera. Hasanudin itulah puteranya dan ketika ayah meninggalkannya, dia masih kecil. Ayah sebelum meninggal dunia, berpesan kepadaku agar aku mencari kakak tiriku itu. Siapa tahu begitu bertemu, dia malah membantu Banuseta pembunuh ayah kami, membantu Banuseta yang menjadi antek Kumpeni Belanda."

   "Antek Kumpeni Belanda?"

   "Ya, Banuseta itu antek Kumpeni Belanda. Pada saat Eyang Tejo Langit muncul di luar pintu, dari kanan kiri terdengar letusan-letusan senapan dan Eyang Tejo Langit roboh tertembak anak buah Banuseta yang ternyata merupakan pasukan yang menggunakan senjata api."

   "Aaahhh.....!"

   Jatmika berseru, mukanya berubah pucat, matanya terbelalak, Aji merasa kasihan, akan tetapi sudah kepalang, dia harus menceritakan semuanya.

   "Pada saat itu, Paman Sudrajat muncul. kembali dihujani peluru senapan, akan tetapi semua peluru itu hanya merobek bajunya dan kekebalan Paman Sudrajat tidak dapat ditembusi peluru itu. Akan tetapi, tiba-tiba Banuseta menembakkan pistolnya ke arah Paman Sudrajat dan beliau ...... roboh.....

   "

   "Aahhh..... bagaimana..... bagaimana keadaan eyang dan bapa..... ?"

   "Mafkan aku, kakang..... paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit tewas.....

   "

   "Duh Gusti.....!!"

   Tubuh Jatmika terkulai dan diapun roboh pingsan. Untung Aji bergerak cepat dan merangkulnya sehingga dia tidak terbanting. Dengan lembut direbahkan tubuh yang lemas itu di atas

   rumput.

   "Kakangmas Jatmika, maafkan aku.....!"

   Aji mengeluh.

   "Kakangmas Jatmika.....!"

   Sulastri menjerit dan menubruk tubuh pemuda yang pingsan itu, mengguncang pundaknya dan menangis.

   "Aduh, kakangmas Jatmika, kasihan sekali engkau.....!"

   Tangisnya. Aji melihat betapa gadis itu menangis dengan sedihnya, air matanya bercucuran dan mengalir disepanjang kedua pipinya. Melihat gadis itu memeluki Jatmika sambil menangis, diam-diam ada rasa pedih dan perih di hati Aji.

   Betapa gadis ini amat menyayang Jatmika dan agaknya sama sekali tidak ingat lagi kepadanya! Ada rasa cemburu mengusik hatinya, akan tetapi dilawannya perasaan yang dia tahu tidak benar ini. Harus diakuinya bahwa ada rasa sayang besar sekali dalam hatinya terhadap dara ini. Mengapa dia harus cemburu? Dia tahu bahwa rasa cemburu didorong oleh nafsu daya rendah dan cinta yang yang disertai cemburu itu bukanlah cinta yang setulusnya, melainkan cinta yang mengandung nafsu untuk memiliki, nafsu untuk menyenangkan diri sendiri. Kalau memang Sulastri yang disayangnya itu ternyata mencinta pria lain, dan akan hidup berbahagia dengan pria lain, mengapa hatinya tidak rela? Kalau dia benar-benar menyayang Sulastri, tentu dia mementingkan kebahagiaan gadis itu dan hatinya akan turut berbahagia kalau gadis yang disayanginya itu berbahagia.

   "Minggirlah, nimas. Biar aku yang menyadarkannya."

   Katanya lirih dan Sulastri minggir, memberi keleluasaan kepada Aji untuk menolong pemuda yang pingsan itu.

   Aji maklum bahwa hati Jatmika tertekan penuh ketegangan. Maka, sebelum menyadarkannya, lebih dulu Aji menggunakan jari-jari tangannya untuk memijit, menekan dan mengurut tengkuk dan kedua pundak Jatmika, kemudian tiga kali dia mengurut pelipis di atas kedua telinga. Setelah itu barulah dia memijit tangan pemuda itu, tepat di tengah-tengah antara ibu jari dan telunjuk, membetotnya dan Jatmika segera mengeluh dan siuman. Begitu membuka matanya, Jatmika teringat akan apa yang didengarnya dari Aji. Serentak dia bangkit duduk, matanya melotot memandang ke kanan kiri, mencari-cari.

   "Jahanam keparat kalian Banuseta dan Hasanudin! Akan kubunuh kalian!"

   Dia bangkit berdiri. Aji segera merangkulnya.

   "Kakangmas Jatmika, ingatlah, kakang. Sebutlah nama Gusti Allah dan bersabarlah!"

   Pandang mata Jatmika melaang ke arah muka Aji, muka yang terhias senyum penuh kesabaran, sinar mata yang begitu lembut penuh pengertian dan juga mengandung wibawa yang amat meyakinkan. seketika Jatmika teringat dan diapun menangis.

   "Duh Gusti..... ampunilah hamba..... aduh bapa dan eyang..... semoga paduka mendapat pengampunan dan dianugerahi kedamaian dan ketenteraman oleh Gusti Allah....."

   Pemuda itu menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis.

   "Kakangmas Jatmika..... kuatkan hatimu, kakangmas ......!"

   Sulastri mendekat dan merangkul, Jatmika balas merangkul pundak gadis itu. Jatmika mengusap air matanya dan menghentikan tangisnya, teringat bahwa sungguh tidak pantas seorang satria meruntuhkan air mata.

   "Terima kasih, nimas Sulastri.....

   "

   "Eulis saja, kakangmas. Aku lebih senang kausebut Eulis, nama pemberianmu."

   "Ah, nimas Eulis, sekali lagi terima kasih. engkau begini baik kepadaku.....

   "

   "Engkau yang begini baik sekali kepadaku, kakangmas. Aku berjanji akan membantumu mencari musuh-musuh besar yang telah membunuh ayah dan kakekmu."

   "Sudah semestinya, nimas, karena kakekku itu juga eyang gurumu sehingga sebenarnya kita masih saudara seperguruan."

   "Sayang aku tidak ingat lagi siapa eyang guruku itu."

   Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Sulastri dengan wajah sedih.

   "Dimas Aji, aku berterima kasih sekali kepadamu karena selain engkau telah menolong kami, engkau juga menerangkan juga tentang keadaan diri Nimas Eulis yang sebenarnya, juga aku menjadi tahu akan tewasnya bapa dan eyang. Lanjutkan ceritamu tadi, Dimas Aji."

   Aji menghela napas panjang. Betapapun pedih hatinya melihat Sulastri lupa kepadanya dan kini gadis itu jells berhubungan akrab dengan Jatmika, namun di dasar hatinya dia merasa berbahagia melihat kenyataan bahwa gadis itu masih hidup.

   "Setelah Paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit tertembak, Hasanudin melarikan diri. Tanpa bantuannya, agaknya Banuseta merasa jerih dan diapun melarikan diri bersama anak buahnya. Aku lalu merawat dan masih sempat mendengar pesan terakhir Paman Sudrajat yang minta agar kalau aku bertemu dengan puteranya yang bernama Jatmika agar aku suka membantunya. kemudian Paman Sudrajat tewas dan aku mengubur kedua jenazah itu dibelakang pondok. Demikianlah, Kakangmas Jatmika."

   "Ah, sekali lagi terima kasih, Adimas Aji. Engkau sungguh baik sekali dan aku merasa girang bahwa engkau adalah murid Eyang Tejo Budi karena dengan demikian berarti antara kita masih ada tali persaudaraan seperguruan. Kita bertiga, Nimas Eulis, engkau dan aku masih saudara seperguruan atau sealiran."

   Tiba-tiba Sulastri memandang kepada Aji dan berkata.

   "Biarpun aku tidak ingat lagi tentang perguruanku, namun aku juga girang bahwa aku masih saudara seperguruan dengan Kakangmas Jatmika dan dngan engkau, Kakangmas Aji. Engkau adalah seorang yang gagah dan baik."

   Aji merasa terharu sekali. Biarpun sudah kehilangan ingatannya dan lupa masa lalunya, Sulastri ternyata masih bersikap baik dan ramah.

   "Akupun merasa girang, Nimas Sulastri."

   "Eh, engkau lupa lagi, kakangmas. Namaku Listyani, sebut saja Eulis."

   Aji terpaksa mengulang, untuk menyenangkan hati gadis itu.

   "Aku akan berusaha agar aku tidak lupa lagi, Nimas Eulis."

   Bagaimanapun, nama baru Eulis yang sederhana itu cukup cocok dan pantas karena Eulis berarti cantik. Dan Sulastri tidak berubah biarpun ingatannya hilang. Kecantikan tidak pernah hilang, bahkan dalam pandangan Aji gadis itu tampak semakin cantik!

   (Lanjut ke Jilid 24)

   Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24

   "Adimas Aji, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku ingin sekali melakukan pengejaran dan pencarian terhadap si jahanam Banuseta dan Hasanudin, akan tetapi bagaimana dngan Nimas Eulis?"

   Sulastri menyambar tangan Jatmika dan berkata.

   "Aku ikut denganmu, kakangmas. Aku akan membantumu menghadapi dua orang jahat itu!"

   "Kakangmas Jatmika, aku kira yang betanggung jawab atas kematian Paman Sudrajat dan Eyang tejo langit hanyalah banuseta seorang. Hasanudin tidak turun tangan terhadap mereka. Hasanudin hanya membantu Banuseta untuk melawan aku dan agaknya diapun menyesal ketika melihat Paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit roboh oleh tembakan sehingga dia melarikan diri."

   "Hemm, betapapun juga, melihat Eyang Tejo Langit yang menjadi gurunya tewas ditembak orang, sepatutnya dia harus membela."

   "Kakangmas Jatmika, menurut pendapatku, sebaiknya kalau engkau mengantarkan Nimas Eulis lebih dulu ke Dermayu, ke rumah orang tuanya. Siapa tahu, kalau dia bertemu dengan Paman Subali dan isterinya, ia akan mendapatkan kembali ingatannya. Apakah engkau tidak merasa bahwa menolong Nimas Eulis jauh lebih penting dari pada mencari Banuseta?"

   Kata Aji.

   "Tentu saja!"

   Jawab Jatmika cepat.

   "Engkau benar, Dimas Aji, aku akan lebih dulu membawa Nimas Eulis ke rumah Paman Subali di Dermayu. Mari, nimas, nita berangkat!"

   "Akan tetapi, kakangmas, aku sudah lupa lagi siapa orang tuaku, siapa nama mereka dan di mana tempat tinggal mereka!"

   Kata Sulastri.

   "Tidak mengapa, nimas. Ikutlah saja denganku dan kita sama lihat nati, mudah-mudahan pertemuanmu dengan orang tuamu akan mengembalikan ingatanmu yang hilang."

   Jatmika menggandeng tangan gadis itu dan menoleh kepada Aji.

   "Dimas Aji, kami berangkat. Selamat berpisah dan sampai bertemu kembali."

   "Selamat berpisah dan selamat jalan, semoga kalian berhasil dan semoga Gusti Allah selalu melindungi dan membimbing kalian!"

   Kata Aji kepada dua orang yang sudah mulai melangkah pergi itu.

   

Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini