Kemelut Blambangan 13
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Tejakasmala dan dua orang senopati Klungkung, yaitu Ki Cakrasakti dan Ki Candrabaya, terpaksa melarikan diri karena Parmadi dan Muryani yang dibantu Maya Dewi, juga menculnya pasukan Pasuruan membuat anak buah mereka banyak yang roboh dan tewas. Setelah melarikan diri jauh dari tempat pertempuran tadi, diikuti oleh dua orang senopati Bali dan sisa anak buah mereka, Tejakasmala berhenti dan mengusap keringatnya. Dia merasa kecewa dan marah sekali. Apalagi mengingat bahwa usahanya membunuh suami isteri yang menjadi penghalang bagi persekutuan Blambangan itu gagal, dan putera mereka itu pun tak dapat dia tawan. Kalau saja tadi dia dapat menawan anak laki-laki itu, tentu anak itu dapat di pergunakan sebagai sandera untuk memaksa suami isteri itu menyerah dan membantu Blambangan!
Melihat anak buahnya tinggal bersisa empat orang saja, dia lalu menyuruh mereka kembali ke Blambangan. Dia sendiri lalu berjalan seenaknya bersama Cakrasakti dan Candrabaya, disepanjang perjalanan dia cemberut dan marah-marah.
"Aku tadi melihat ada seseorang yang melarikan anak laki-laki mereka. Apakah kalian juga melihatnya?"
Tanya Tejakasmala kepada dua orang rekannya.
"Saya tidak melihatnya, anakmas Tejakasmala."
Kata Cakrasakti.
"Saya melihatnya tadi. Dia seorang laki-laki berpakaian mewah. Gerakannya cepat sekali. Jelas bahwa dia memiliki kesaktian yang tinggi."
Kata Candrabaya.
"Hemm, aku sendiri tidak melihat mukanya dengan jelas. Apakah engkau melihat bagaimana wajahnya, Paman?"
"Tidak jelas karena hanya sekejap, akan tetapi jelas dia seorang laki-laki berwajah tampan dan usianya sekitar empat puluh tahun."
"Hemm, siapakah dia itu? Kawan ataukah lawan? dan apa maksudnya menculik putera Parmadi?"
Tejakasmala merasa kecewa bukan main. Dia merasa tidak puas karena sejak datang ke Blambangan dan mendapat tugas, selalu saja dia mengalami kegagalan. Pertama kali, ketika menyerang Ki Tejomanik dan Retno Susilo yang dibantu Lindu Aji dan Sulastri. Dia dan kawan- kawannya mengalami kegagalan karena ketika itu muncul Bagus Sajiwo dan Maya Dewi. Dan sekarang, menyerang Parmadi dan Muryani dia juga gagal! Yang menyakitkan hati, dia terpaksa melarikan diri dan kehilangan enam orang anak buahnya. Dia harus melarikan diri semalam suntuk dan baru pada keesokan harinya dapat melakukan perjalanan santai bersama dua orang senopati Bali setelah menyuruh empat orang sisa anak buahnya pergi dulu, kembali ke Blambangan. Hati Tejakasmala kesal sekali dan uring- uringan, ingin ia menumpahkan kemarahannya, akan tetapi kepada siapa?
Tejakasmala mengepal tinju kanannya.
"Hah, kalau saja si bedebah itu tidak menculik putera Parmadi, tentu sebelum lari kita dapat meangkap dan menawannya. Jahanam keparat betul penculik anak itu! Dia mengacaukan urusan kita!"
Tiba-tiba terdengar suara dari atas.
"Ho-ho! Kotor benar mulutmu! Mudah saja memaki-maki orang sebelum mengatahui duduknya perkara!"
Tiga orang itu terkejut dan memandang ke atas. dari puncak sebatang pohon trembesi yang besar dan tinggi, tampak seorang laki-laki duduk di atas cabang tertinggi yang terayun-ayun hampir tidak kuat menyangga tubuhnya. Laki-laki itu tersenyum dan kedua tangannya bergerak, menyambitkan sesuatu ke bawah. tampak sinar-sinar kecil hitam menyambar ke arah tubuh Tejakasmala. Cakrasakti dan Candrabaya.
Tejakasmala menepiskan tangannya dan beberapa buah benda kecil terpukul runtuh. Candrabaya dan Cakrasakti melakukan hal yang sama, akan tetapi mereka merasa tangan mereka yang terkena benda kecil-kecil hitam itu terasa panas. Kiranya benda-benda itu adalah biji buah trembesi yang kecil-kecil yang biasa disebut godril!
"Babo-babo, keparat!"
Tejakasmala yang sedang uring-uringan itu marah sekali. Dia mengambil beberapa biji godril dari atas tanah dan melontarkannya ke atas, ke arah orang yang duduk ongkang-ongkang (kedua kaki tergantung) itu.
Laki-laki itu tiba-tiba melayang turun dan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong dan beberapa buah godril itu pun terpukul runtuh oleh angin pukulannya. Tubuhnya kini tiba di atas tanah dengan ringan seperti seekor burung hinggap di atas tanah saja. Tejakasmala memandang penuh perhatian. Orang itu berusia sekitar empat puluh satu tahun, tubuhnya tinggi tegap, mukanya bulat berkulit bersih dan agak putih, sepasang matanya kebiruan dan rambutnya berombak. Sungguh seorang pria yang tampan dan pakaiannya mewah sekali.
"Ini dia jahanam yang menculik anak itu!"
Ki Candrabaya berteriak dan dia sudah menyerang orang itu dari sebelah kiri dengan kerisnya yang besar dan panjang.
"Wusss....!"
Serangan itu luput karena laki-laki itu telah dapat mengelak dengan gerakan ringan dan
indah.
"Wirrrr....!"
Keris besar panjang di tangan Ki Cakrasakti menyambar dari belakang, menusuk ke arah punggung orang itu. Akan tetapi tubuh orang itu bergerak lincah sekali sehingga kembali tusukan keris itu luput. Dua orang senopati Bali itu merasa penasaran sekali. Mereka segera mengeroyok orang itu dengan serangan bertubi-tubi. Akan tetapi lawannya seolah sesosok bayangan yang tidak pernah dapat disentuh keris mereka. Tiba-tiba orang itu berseru.
"Lepaskan keris !"
Dia membuat gerakan berputar kedua tangannya menyambar.
"Plak! Plak!"
Pergelangan tangan kedua orang senopati Bali yang memegang keris ditampar dan seketika terasa lumpuh sehingga keris mereka terlepas jatuh ke atas tanah. Laki-laki itu melompat ke belakang sambil tertawa.
"Ha-ha-ha!"
Suara tawanya aneh sekali, seperti hanya berada di kerongkongannya sehingga terdengar menyeramkan, seperti suara tawa setan dari dalam kuburan! "Kalian berdua masih terlalu lemah untuk melawan aku!"
Mendengar ejekan ini, dua orang senopati yang merasa tangan kanan mereka sudah pulih kembali, cepat menyambar keris mereka dan siap untuk menyerang lagi.
"Tahan ....!"
Tiba-tiba Tejakasmala berseru dan memberi isarat kepada dua orang pembantunya untuk mundur. Dia melihat betapa orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi dan melihat kenyataan bahwa dia tidak melukai dua orang pembantunya, menjadi bukti bahwa dia bukanlah seorang musuh. Maka dia kini berdiri menghadap orang itu dan diam-diam Tejakasmala mengerahkan kekuatan sihirnya lalu berkata dengan nada memerintah.
"Ki sanak! Katakan siapa Andika dan apa maksud Andika menemui kami!"
Tejakasmala merasa yakin nahwa suaranya itu akan memepengaruhi lawan dan memaksanya dari dalam untuk menjawab sejujurnya.
Akan tetapi orang itu tertawa! Suara tawanya yang khas, seperti tawa setan atau tawa seorang yang miring otaknya, bergema dan dia menjawab, logat bicaranya agak asing.
"Ha-ha-ha-ha! Andika masih muda remaja dan aku jauh lebih tua. Sudah sepantasnya kalau Andika yang lebih dulu memperkenalkan diri kepadaku!"
Tejakasmala diam-diam terkejut. Orang ini sama sekali tidak terpengaruh kekuatan sihirnya! Dia semakin yakin bahwa orang ini sakti mandraguna dan merupakan lawan yang tangguh, melihat cara dia tadi membuat keris dua orang senopati Bali itu terlepas dari pegangan. Dia lalu sengaja memperkenalkan gurunya untuk mendatangkan kesan yang membuat lawan jerih.
"Baiklah, aku bernama Tejakasmala. Murid utama dari sang Bhagawan Ekabrata dari Gunung Agung di Bali-dwipa!"
Orang itu adalah Satyabrata. Ketika dia melihat kemarin betapa Parmadi dan Muryani yang dibantu Maya Dewi menghadapi serbuan belasan orang, dia menggunakan kesempatan itu untuk menculik Joko Galing, putera Muryani. Dia lakukan itu untuk dapat memaksa Muryani ikut dengan dia menjadi isterinya karena sampai sekarang dia masih benar-benar amat mencintai Muryani. Akan tetapi usahanya digagalkan Maya Dewi yang entah bagaimana kini berpihak kepada Parmadi dan Muryani.
Joko Galing dapat terampas Maya Dewi. Usahanya gagal dan dia ingin sekali mengetahui siapa rombongan orang yang memusuhi Parmadi dan Muryani. Orang-orang itu berarti masih segolongan dengan dia, yaitu yang memusuhi para pendekar pembela Mataram. Demikianlah, pagi hari itu dia menghadang Tejakasmala dan dua orang senopati Bali dan bersembunyi di atas pohon trembesi. Mendengar Tejakasmala memperkenalkan diri sebagai murid utama Sang bhagawan Ekabrata dari Gunung Agung di Bali, Satyabrata tertawa lagi, tawa yang aneh itu.
"Ha-ha-ha. sudah kuduga. Kalian dari Bali! lalu mengapa kalian dari Bali berkeliaran di sini dan menyerang Parmadi dan Muryani?"
Tejakasmala mengerutkan alisnya. Dia belum yakin dengan siapa dia berhadapan, dengan kawan ataukah lawan! akan tetapi, orang ini agaknya sudah engenal Parmadi dan Muryani, mungkin juga dia itu kawan Parmadi dan kemarin dia melarikan anak parmadi justeru untuk menyelamatkan anak itu!
"Kisanak!"
Kata Tejakasmala dengan suara keras dan tegas.
"Katakan, siapa Andika!"
"Ho-ho, belum menjawab pertanyaanku sudah berbalik bertanya! Jawab dulu pertanyaanku tadi mengapa kalian dari Bali berkeliaran di sini dan menyerang Parmadi?"
Sikap yang tidak bersahabat ini menambah kecurigaan Tejakasmala. Musuh yang berbahaya harus didahului, pikirnya. Diam-diam lalu mengerahkan tenaga saktinya, membaca mantram dan menyerang dengan Aji Bayutantra yang mengeluarkan angin dahsyat.
"Sambut seranganku!"
Bentaknya. Angin dahsyat itu menerjang ke arah Satyabrata dengan kekuatan hebat, menandakan bahwa aji pukulan itu memang hebat sekali. Satyabrata adalah orang yang telah mewarisi peninggalan ilmu-ilmu aneh dan dahsyat dari mendiang Resi Ekomolo, seorang datuk jahat yang tidak waras otaknya namun yang sakti mandraguna. Begitu Tejakasmala menyerang, dia pun mengenal aji pukulan ampuh, maka dia tidak berani memandang rendah.
Biarpun dia sudah menduga bahwa Tejakasmala dan dua orang itu tentu memusuhi Parmadi dan Muryani, namun dia merasa gembira bertemu tanding yang memiliki kesaktian seperti Tejakasmala. Sebelum memperkenalkan diri dia ingin menguji dulu sampai di mana kehebatan ilmu dari pemuda Bali ini. Dia lalu mengerahkan tenaga sakti yang dihimpun dari cara bersamadhi Waringin Sungsang, dengan jungkir balik kepala di bawah dan kaki di atas. Tenaga ini dahsyat dan kuat sekali. Dia lalu menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.
"Wuuuuttt.... blarrr....!"
Dua orang itu sama- sama terpental ke belakang dan mereka terkejut bukan main. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa lawan mereka sekuat itu tenaga saktinya! Akan tetapi Satyabrata menjadi semakin gembira. Hatinya senang mendapatkan seorang rekan yang demikian sakti untuk bersama-sama menentang Mataram! Maka dia lalu melompat ke depan dan menyerang dengan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Tejakasmala menjadi marah dan dia mengelak, menangkis dan membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Terjadilah perkelahian yang amat seru. Makin lama, pertandingan itu membuat Satyabrata semakin gembira dan bersemangat, sebaliknya membuat Tejakasmala semakin marah.
Melihat Tejakasmala berkelahi lawan orang asing itu, Cakrasakti dan Candrabaya maju dan menerjang, membantu Tejakasmala melakukan pengeroyolan. Melihat tiga orang itu agaknya benar- benar menyerangnya, Satyabrata merasa sudah cukup menguji dan dia mendapatkan kenyataan betapa pemuda Bali itu memang cukup tangguh, pantas untuk diajak kerja sama. Maka dia lalu cepat melompat jauh ke belakang sambil berseru.
"Tahan....!"
Akan tetapi pada saat itu, dari arah belakangnya, terdengar ledakan.
"Dar-darr!!"
Satyabrata cepat membalik dan kedua tangannya bergerak cepat. Dia sudah berhasil menepiskan dua butir peluru sehingga melenceng dan tidak mengenal dirinya. Tampak tiga orang yang muncul dari balik pohon-pohon. Mereka adalah Candra Dewi, Arya Bratadewa, dan Dartoko. Melihat Arya Bratadewa memegang dua buah pistol di kedua tangannya, ditodongkan kepadanya, siap untuk menembak, Satyabrata segera dapat menduga siapa laki-laki bermuka pucat seperti mayat itu. Sebelum meninggalkan Batavia, dia sudah mendapat penjelasan tentang para mata-mata Kumpeni Belanda yang penting dan yang baru, seorang diantaranya yang oleh Kumpeni Belanda diutus menghubungi Blambangan adalah Arya Bratadewa. Maka dia lalu berkata dengan lantang.
"Bukankah yang datang dan membawa pistol itu Arya Bratadewa?"
Mendengar ini, Arya Bratadewa maju menghampiri Satyabrata, dua moncong pitolnya masih menodong tubuh Satyabrata.
"Andika siapakah dan bagaimana dapat mengetahui namaku?"
Pandang mata Arya Bratadewa dengan tajam penuh selidik menatap wajah Satyabrata.
Satyabrata mengeluarkan tiga buah uang dinar emas bergambar sepasang singa dan menyingkap jubahnya sehingga tampak dua buah pistol terselip di pinggang, sebuah diantaranya pistol kecil terhias emas permata dan sederetan peluru emas tampak berderet di sabuk itu. melihat ini Arya Bratadewa terbelalak dan dia menatap tajam wajah Satyabrata, melihat sepasang mata kebiruan dan rambut berombak itu.
"Ah, sekarang saya ingat. Andika.... bukankah Andika yang bernama.... Raden Satyabrata?"
Satyabrata menangguk senang. Senang dia disebut raden dan memang pihak Kumpeni, para pembesarnya, sengaja menyebut dia raden untuk mengangkatnya agar dihormati orang. Memang lucu sekali! Ayahnya seorang kulit putih bangsa Portugis bernama Henrik dan ibunya seorang wanita Jawa bukan priyayi, akan tetapi anaknya tiba-tiba saja disebut Raden!
"Benar, aku Raden Satyabrata!"
Jata Satyabrata bangga.
"Akan tetapi.... mengapa tadi Andika bertanding melawan Ki Tejakasmala dan dua orang senopati Klungkung? Mereka itu bukan musuh, melainkan sekutu kita. Apakah Andika belum mengetahuinya dari kapten Van Klompen yang mewakili Kumpeni ketika diadakan pertemuan di Kadipaten Blambangan?"
Setyabrata terawa. tawanya mengejutkan semua orang karena seperti tawa iblis atau orang gila.
"Hah- hah-heh-heh! Aku tahu dan aku hanya ingin menguji sampai di mana kemampuan kawan-kawan yang hendak bekerja sama menentang Mataram yang mempunyai banyak pembela yang sakti. Mari, ke sinilah, kita berkenalan."
Satyabrata menggapai, akan tetapi baik Tejakasmala dan dua orang senopati Klungkung, maupun Candra Dewi dan Dartoko, memandang ragu dan curiga.
"Kawan-kawan, harap jangan khawatir, Raden Satyabrata ini adalah utusan Kumpeni Belanda yang amat tinggi kedudukannya, bahkan lebih tinggi daripada Kapten Van Klompen yang datang ke Blambangan dahulu itu. Saya sendiri harus mentaati semua perintahnya seperti yang dipesan para pejabat tinggi di Batavia."
Setelah Arya Bratadewa memperkenalkan Satyabrata, semua orang merasa lega dan segera menghampiri Satyabrata sambil menyimpan senjata masing-masing. Satyabrata mengulurkan tangan kepada Tejakasmala, mengajak bersalaman.
"Tejakasmala, aku kagum sekali padamu. engkau masih begini muda namun telah memiliki kepandaian tinggi."
"Ah, Andika terlalu memuji, Raden Satyabrata. Andikalah yang sakti mandraguna."
Kata Tejakasmala dengan sejujurnya karena memang harus dia akui bahwa tingkat kepandaian Satyabrata tinggi dan tenaga saktinya juga amat kuat sehingga dia sendiri tidak yakin apakah dia mampu mengalahkan utusan Kumpeni Belanda itu.
"O, ya, dan Nimas Ayu ini siapakah?"
Tiba-tiba Satyabrata memandang kepada Candra Dewi. Kini sudah banyak terjadi perubahan pada watak Candra Dewi. Dulu, sebelum bertemu dan bergabung dengan Arya Bratadewa, wataknya amat kaku dan ganas. Kalau ada laki-laki berani memujinya seperti yang dilakukan Satyabrata, tentu ia akan langsung menyerang dan membunuhnya. Akan tetapi sekarang ia tidak begitu ganas lagi. Ia telah berhubungan dengan banyak tokoh sakti, dan tidak dapat ia memperlihatkan keganasannya. Pula, tadi ia pun melihat betapa Satyabrata kuat menghadapi pengeroyokan Tejakasmala yang dibantu dua orang senopati Bali. Ini saja sudah membuat ia maklum bahwa kedigdayaan Satyabrata tidak akan dapat ia tandingi! Maka, ketika ia ditanya oleh Satyabrata dengan sebutan Nimas Ayu, ia memandang pria itu dan menjawab dengan ramah.
"Perkenalkan, Raden Satyabrata, namaku Candra Dewi, belum lama saya membantu Paman Arya Bratadewa dalam persekutuan dengan Blambangan."
"Raden Satyabrata, ketahuilah bahwa Ni Candra Dewi ini seperti juga saya, berasal dari banten dan ia sudah siap membantu Kumpeni menentang Mataram."
"Wah, itu bagus sekali! Kami baru saja kehilangan seorang pembantu wanita yang telah berkhianat terhadap Kumpeni, dan kini mendapatkan penggantinya yang tidak kalah cantik dan saktinya!"
Satyabrata memuji.
"Andika maksudkan Maya Dewi, Raden? Hendaknya diketahui bahwa ni Candra Dewi ini adalah kakak tiri Maya Dewi dan tentang kesaktiannya, tentu saja ia tidak kalah dibandingkan Maya Dewi."
Kata Arya Bratadewa. Tentu saja dia berbohong karena dia tahu bahwa Maya Dewi kini telah menjadi seorang yang sakti mandraguna, melebihi tingkat kepandaian Candra Dewi.
"Akan tetapi, kepandaian Maya Dewi amat hebat!"
Tiba-tiba Tejakasmala berkata.
"Hebat? Ha-ha, jangan khawatir. Peluru emasku telah melukainya. Mungkin kini telah membunuhnya! Eh, siapa pula teman-teman yang lain ini?"
Satyabrata bertanya.
"Kedua paman ini adalah Ki Cakrasakti dan Ki Candrabaya, dua orang senopati Klungkung, Bali."
Tejakasmala memperkenalkan.
"Dan saudara ini bernama Dartoko, murid Kyai Kasmalapati datuk Blambangan."
Arya Bratadewa memperkenalkan temannya.
Tejakasmala bertanya.
"Raden Satyabrata, ketika kami bertiga bertanding melawan Parmadi, Muryani yang dibantu Maya Dewi, saya melihat Andika melarikan putera Parmadi. Tawanan itu penting sekali untuk dapat memaksa suami isteri yang sakti mandraguna itu membantu Blambangan. Di manakah anak itu sekarang?"
Satyabrata menghela napas panjang.
"Maya Dewi si keparat yang sudah lupa akan kebaikan sahabat lama. Ia menemui aku malam tadi, bertindak curang, memadamkan api unggun dan membawa lari anak itu. Akan tetapi aku telah menembaknya dan aku yakin tembakanku itu melukainya!"
"Akan tetapi bukankah ia kebal?"
Tanya Dartoko yang sudah merasakan kedigdayaan Maya Dewi.
"Ha-ha-ha-hah, kebal? siapa yang dapat menahan peluru emasku?"
Satyabrata tertawa bergelak.
"Dia benar. Peluru emas dapat menembus kekebalan."
Kata Arya Bratadewa.
"Raden Satyabrata, mari kita kembali ke Blambangan untuk memberi pelaporan tentang keadaan kadipaten Pasuruan dan terutama sekali untuk memperkenalkan Andika sebagai utusan Kumpeni Belanda."
"Baik, Adi Tejakasmala,"
Kata Setyabrata yang sengaja menyebut adi kepada Tejakasmala yang berusia dua puluh lima tahun agar dia dianggap muda dan tak banyak selisih usianya dibandingkan Tejakasmala! "Memang aku mempunyai tugas menemui Adipati Blambangan dan menyerahkan surat dari Kapten Pieter Van de Cramer."
Berangkatlah tujuh orang itu menuju ke timur dan di sepanjang perjalanan tampak betapa Satyabrata mendekati Candra Dewi dan mengajaknya bergaul lebih akrab. Dia sama sekali tidak tahu bahwa sikapnya ini bahkan menimbulkan perasaan muak dalam hati Candra Dewi yang memang tidak pernah menyenangi laki-laki.
Perguruan Bromo Dadali berada di Gunng Muria. Padepokan dan pondok-pondok para muridnya merupakan sebuah perkampungan yang berada di sebuah puncak bukit yang datar. Perguruan silat Bromo Dadali ini adalah sebuah perguruan yang usianya sudah lebih dari satu abad. Sebelum meninggal dunia, Sunan Muria yang terkenal bijaksana dan juga sakti, mengajarkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid. Murid ini pun hidup sebagai seorang pertapa dan tinggal di Gunung Muria. Dialah yang menurunkan ilmu-ilmunya kepada para murid dan terbentuklah perguruan silat Bromo Dadali itu. Guru besar atau pemimpin Bromo Dadali yang sekarang bernama Ki Ageng Branjang yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun.
Dia menjadi ketua Bromo Dadali sudah lebih dari tiga puluh tahun dan selama dalam pimpinannya, perguruan ini memeproleh kemajuan pesat. Muryani, isteri Parmadi, adalah seorang di antara murid-murid Ki Ageng Branjang. Bahkan ia menjadi murid terkasih dan oleh Ki Ageng Branjang ia dianggap anak sendiri sehingga menerima lebih banyak ilmu dari pada murid-murid yang lain. Hubungan dekat inilah membuat Muryani mengambil keputusan untuk menitipkan puteranya, Joko Galing, ke perguruan Bromo Dadali agar mereka dapat membela Mataram menghadapi ancaman dari Blambangan.
Kini perguruan silat Bromo Dadali sudah berkembang. Para murid yang tinggal di puncak bukit Gunung Muria bahkan ada yang sudah beranak-bini sehingga tempat itu merupakan perkampungan yang penghuninya adalah para murid Bromo Dadali bersama keluarga mereka. Jumlah para murid hanya sekitar lima puluh orang, akan tetapi karena sebagian besar sudah berkeluarga, maka jumlah penduduknya ada seratus lima puluh orang lebih. Mereka bekerja bertani, menanam pula rempah-rempah dan tanaman obat yang dapat menghasilkan uang cukup banyak, dan ada kalanya mereka menjadi nelayan pencari ikan di Laut Utara. Kehidupan mereka sederhana namun cukup dan merasa berbahagia, tenteram dan sejahtera.
Perguruan silat Bromo Dadali terkenal sebagai pekumpulan orang gagah yang setia kepada Mataram. Walaupun tidak secara aktip membantu Mataram apabila Mataram berperang melawan musuh, namun segala bujukan dari pihak mana pun untuk ikut menentang Mataram dengan janji-janji imbalan besar, perguruan ini tetap menolak dan siap mempertahankan pendirian mereka yang setia kepada Mataram itu dengan kekerasan. Tidak pernah ada golongan penjahat yang berani mengganggu perguruan ini, bahkan dusun-dusun di sekitar daerah Gunung Muria selalu aman karena tidak ada penjahat berani mengacau daerah di mana Bromo Dadali seolah menjadi pengawalnya.
Dalam usianya yang sudah enam puluh sembilan tahun, Ki Ageng Branjang lebih suka bersamadi di dalam sanggar pamujan. urusan perguruan dia serahkan kepada murid tertua yang bernama Sanuri, seorang laki-laki bertubuh tegap gagah dan berwajah sederhana. Sanuri berusia lima puluh tahun dan dialah yang mewakili Ki Ageng Branjang memimpin lima puluh lebih orang murid beserta keluarga mereka itu. Isterinya bernama Markonah, juga merupakan seorang murid Bromo Dadali yang sudah mencapai tingkat tinggi. Usianya tiga puluh delapan tahun dan Markonah ini yang membantu suaminya mengurus perguruan Bromo Dadali, bahkan Markonah pula yang mewakili guru mereka melatih ilmu silat Bromo Dadali untuk memperdalam tingkat para murid.
Suami isteri yang kini mewakili Ki Ageng Branjang memimpin Bromo Dadali itu mempunyai seorang anak perempuan yang telah berusia dua belas tahun, bernama Niken Arum. Sejak kecil Niken Arum terkenal sebagai anak yang cerdik sekali dan bakatnya amat baik dalam ilmu kanuragan sehingga dalam usia dua belas tahun saja ia sudah mahir mainkan gerakan dasar ilmu silat Bromo Dadali dan mulai berlatih untuk melengkapi gerakan-gerakan dasar ini dengan gerakan kembangan yang banyak ragamnya, bahkan dapat muncul gerakan kembangan baru sesuai dengan watak dan bakat si murid. Tentu saja karena usianya baru dua belas tahun, Niken Arum belum dapat mengisi gerakannya dengan tenaga sakti. namun ia telah memiliki gerakan yang gesit sekali, lincah dan gerakannya indah.
Anehnya, anak perempuan ini selain gemar berlatih silat, ia juga suka belajar membaca, hal yang merupakan sesuatu yang aneh di jaman itu. Melihat kesukaan puterinya itu, Ki Sanuri lalu mengajarkan ilmu membaca kepada puterinya. Dan sejak kecil sudah tampak bahwa watak gadis cilik ini pendiam, serius, dan pandai membawa diri, hormat terhadap para murid Bromo Dadali yang lebih tua.
Setelah berusia dua belas tahun, mulai tampak bahwa Niken Arum akan menjadi seorang gadis yang cantik dan manis sekali. Maka, di antara para murid Bromo Dadali yang memiliki anak laki-laki berusia belasan tahun, diam-diam menaksir Niken Arum untuk dijadikan mantunya kelak setelah dewasa! Ada pula di antara mereka yang menyinggung soal ini kepada Ki Sanuri dan Nyi Markonah, akan tetapi suami isteri ini selalu mengelak dengan halus dan menyatakan bahwa belum tiba saatnya membicarakan urusan perjodohan anak mereka karena masih terlalu kecil.
Seorang di antara mereka yang ingin sekali mengambil Niken Arum sebagai mantunya adalah Ki Kiswoyo, murid Bromo Dadali yang berusia sekitar empat puluh lima tahun. Isteri Ki Kiswoyo bukan murid Bromo Dadali, melainkan seorang gadis dari dusun di kaki Gunung Muria. Setelah menikah dengan Ki Kiswoyo, ia lalu diboyong dan tinggal di perkampungan Bromo Dadali. Ki Kiswoyo hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang berusia tiga belas tahun bernama Sangkolo. Ketika anak itu lahir dan diberi nama Sangkolo, Ki Ageng Branjang sudah mengingatkan Ki Kiswoyo bahwa nama Sangkolo itu tidak baik artinya, karena Sangkolo berarti rantai, hukuman atau siksaan.
Akan tetapi Ki Kiswoyo mengatakan bahwa dia mendapatkan nama itu dalam mimpi dan dia bersikeras menamakan anaknya Sangkolo. Setelah besar anak itu memang tampak cerdik, bertubuh tegap sehat, dan wajahnya juga termasuk tampan sehingga ayah ibunya merasa bangga sekali. Apalagi di antara para bocah di perkampungan itu, Sangkolo terkenal pemberani dan juga amat mahir bersilat Bromo Dadali, juga tenaganya besar dan dia mempunyai keberanian yang nekat sehingga dalam setiap pertandingan uji coba, dia selalu mengalahkan murid-murid kecil lainnya. Kalau Niken Arum paling menonjol di antara murid- murid kecil wanita, Sangkolo-lah murid kecil pria yang paling dijagokan!
Penolakan Ki Sanuri untuk membicarakan urusan perjodohan anak mereka, membuat Ki Kiswoyo kecewa. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani mendesak kakak seperguruannya itu dan dia pun tidak putus harapan karena siapakah anak laki- laki yang lebih tampan, lebih gagah dan lebih pantas untuk kelak menjadi suami Niken Arum? Apalagi, di antara semua anak-anak yang berada di perkampungan itu, telah menjadi bahan guyonan bahwa Niken Arum adalah pacangan (calon jodoh) Sangkolo! Bahkan bukan hanya anak-anak, orang- orang dewasa pun menganggap sudah sewajarnya kalau kedua orang anak itu kelak dijodohkan karena keduanya merupakan anak-anak yang menonjol, baik kepintaran maupun keelokan rupanya.
Sanjungan dan pujian ini tentu saja mempengaruhi hati dan pikiran Sangkolo dan dia sudah menganggap bahwa Niken Arum itu "miliknya"! Akan tetapi karena mereka berdua masih kecil, baru berusia dua belas dan tiga belas tahun, dan sikap Niken Arum pendiam dan tidak pernah melayani Sangkolo kalau pemuda remaja itu mengajak bicara akrab atau bersenda gurau, maka Sangkolo juga tidak berani bersikap kasar atau sembarangan. Hanya dia memang sengaja menonjolkan dan pamer kepada anak-anak lain bahwa Niken Arum adalah miliknya dan kelak menjadi isterinya, bahkan dia mengancam akan bertindak kasar kalau ada pemuda remaja lain yang berani "mendekati"
Niken Arum!
Sikap dan watak seorang anak remaja amat dipengaruhi oleh cara mendidik dan sikap orang tuanya sendiri. Sangkolo terlalu disanjung, dibanggakan, dan dimanja orang tuanya, terutama ibunya. Ki Kiswoyo sendiri selalu membanggakan puteranya dan bersikap seolah-olah di dunia ini tidak ada anak laki-laki sebaik Sangkolo, apalagi melebihinya! Dalam setiap persoalan, sejak Sangkolo masih kecil, orang tuanya selalu mencampuri dan membela Sangkolo mati-matian. Hal ini menumbuhkan watak dan sikap sombong dan besar kepala kepada anak remaja itu. Dia menganggap dirinya yang terhebat, terpandai, tertampan dan segala ter lainnya, apalagi dia merasa dilindungi dan didukung ayahnya yang merupakan seorang di antara murid-murid golongan tua dari perguruan Bromo Dadali.
Sebetulnya, di balik keinginan keras Ki Kiswoyo untuk mengambil Niken Arum sebagai mantunya tersembunyi hasrat terpendam dalam hatinya terhadap Markonah, ibu Niken Arum yang juga menjadi adik seperguruannya. Dahulu, Kiswoyo menaksir Markonah. Dia jatuh cinta kepada Markonah, akan tetapi ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan karena Markonah telah menjatuhkan pilihan hatinya kepada Sanuri, walaupun Ki Sanuri dua belas tahun lebih tua dari padanya. Hal ini membuat Ki Kiswoyo kecewa dan berduka. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengganggu Sanuri yang menjadi kakak seperguruannya dan dia lalu mendahului mereka, menikah dengan seorang gadis dusun kaki Gunung Muria. Setelah dia mempunyai seorang anak laki-laki dan setahun kemudian Ki Sanuri dan Markonah memiliki seorang anak perempuan, maka timbul hasrat hatinya yang dulu tidak kesampaian pada diri Markonah. Kini dia ingin agar puteranya dapat berjodoh dengan puteri Markonah, keturunan mereka yang akan menyambung cintanya yang terputus itu!
Selama beberapa bulan akhir-akhir ini, diam- diam terjadi pergolakan di perguruan Bromo Dadali. Biarpun pergolakan ini hanya mengguncang para murid, Dan semua murid setuju agar hal ini jangan sampai terdengar oleh Ki Ageng Branjang yang sudah tua dan selalu terbenam dalam samadhinya, namun cukup meresahkan hati mereka.
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang meresahkan hati para murid Bromo Dadali itu adalah kedatangan beberapa orang utusan dari Kadipaten Blambangan yang dipimpin Ki Randujapang yang sudah mengenal Ki Ageng Branjang dengan baik. Ki Randujapang ini adalah seorang tokoh dari Madura, murid mendiang Ki Harya Baka Wulung. Ki Randujapang dan kawan-kawannya bermaksud menemui Ki Ageng Branjang, akan tetapi Ki Sanuri sebagai murid tertua dan mewakili gurunya, mencegahnya. Dia mengatakan bahwa Ki Ageng Branjang sudah tua dan tidak ingin diganggu, maka pembicaraan lalu diadakan antara Ki Randujapang bersama kawan-kawannya sebagai utusan Blambangan dan Ki Sanuri bersama Ki Kiswoyo sebagai wakil perguruan Bromo Dadali.
Ki Randujapang ditemani dua orang kawannya yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa yang menyeramkan. Mereka adalah yang terkenal dengan sebutan Dwi Kala (Dua Kala) yaitu Kaladhama, berusia sekitar empat puluh lima tahun, bertubuh raksasa bermuka hitam dengan mata melotot lebar, tubuhnya berbulu seperti orang utan. Adapun yang kedua bernama Kalajana, berusia empat puluh tiga tahun, juga bertubuh raksasa dengan muka bopeng (burik), tubuhnya berbulu pula. Dwi Kala ini adalah dua orang senopati Blambangan, murid-murid Bhagawan Kalasrenggi yang menjadi penasihat Adipati Blambangan dan mereka terkenal sakti mandraguna.
Adapun Ki Randujapang sendiri, berusia lima puluhan tahun, juga bertubuh tinggi besar mukanya penuh brewok dan dialah yang datang dari Madura memimpin sekitar tiga ribu orang Madura yang membenci Mataram, untuk bergabung dengan Blambangan yang berniat menggempur Mataram. Karena Ki Randujapang sudah mengenal baik Ki Ageng Branjang, maka dia yang dijadikan utusan Adipati Blambangan untuk menghubungi perguruan Bromo Dadali yang terkenal itu.
Dalam pertemuan itu, Ki Randujapang menyampaikan pemintaan Adipati Blambangan yang didukung Bhagawan Kalasrenggi kepada perguruan Bromo Dadali, agar pertemuan itu mau menggunakan pengaruhnya untuk membujuk para tokoh, para bupati, dan orang-orang yang memiliki kekuasaan di daerah pantai Laut utara, untuk mendukung gerakan Blambangan yang hendak menggempur Mataram.
"Kerajaan Mataram menaklukkan daerah kabupaten dan kadipaten dengan kekerasan sehingga menimbulkan penasaran dan dendam kepada banyak orang."
Demikian antara lain Ki Randujapang membujuk.
"Hanya Blambangan saja yang belum dikuasai Mataram. Sekarang tiba saatnya bagi kita yang merasa penasaran dan mendendam, untuk membalas dan meruntuhkanMataram bersama-sama agar semua daerah terbebas dari cengkeraman Mataram, bebas melakukan perdagangan dengan siapa pun. Karena itu, kami mengharapkan bantuan perguruan Bromo Dadali."
Ki Sanuri mengerutkan alisnya. Dia tahu betul bahwa sejak dahulu, Ki Ageng Branjang selalu menolak kalau diajak kerja sana untuk memusuhi Mataram. Gurunya itu setia kepada Sultan Agung di Mataram dan biar pun sejak dahulu tidak membantu Mataram secara langsung, namun dia menentang setiap pemberontakan terhadap Mataram.
Dia memandang tajam kepada Ki Randujapang dan Dwi Kala, lalu berkata dengan hormat karena dia maklum menghadapi orang-orang yang sakti.
"Saya harap Andika bertiga tidak merasa kecewa kalau kami belum dapat menjawab penawaran Kadipaten Blambangan untuk membujuk para tokoh di pesisir utara. Pertama, karena selama saya menjadi murid Bromo Dadali, kami belum pernah terlibat dalam permusuhan menentang Mataram. Kedua kalinya, guru kami sedang bersemadhi dan sementara ini tidak mau diganggu."
"Akan tetapi, Kakang Sanuri! Untuk urusan penting ini, kita dapat menghadap Bapa guru sekarang juga. Atau, kita sendiri dapat mengambil keputusan atas nama Bapa Guru, karena urusan ini penting sekali, menyangkut hari depan dan kesejahteraan perguruan kita!"
Kata Ki Kiswoyo mencela kakak seperguruannya.
"Diamlah, Adi Kiswoyo. Andika tidak berhak bicara begitu dan biarkan aku yang mewakili Bapa Guru sebagai pimpinan Bromo Dadali!"
Kata Sanuri sambil menatap tajam wajah adik seperguruannya itu.
"Ki Randujapang tersenyum kecut dan mengangguk-angguk.
"Baiklah, kalau begitu kami memberi waktu satu bulan kepada Andika untuk membicarakan hal ini dengan Ki Ageng Branjang. Sebulan kemudian kami akan datang lagi minta kepastian. Kami hanya berharap Bromo Dadali akan menjaga persahabatannya dengan para penguasa daerah. Kalau Bromo Dadali menolak kerja sama ini, berarti Bromo Dadali berpihak kepada Mataram dan tentu saja hal itu berarti bahwa Bromo Dadali memusuhi persekutuankami!"
Setelah mengeluarkan kata-kata yang bernada ancaman ini, Ki Randujapang dan Dwi Kala meninggalkan Gunung Muria dengan sikap marah.
Pada keesokan harinya, secara diam-diam dan rahasia, Ki Randujapang yang dalam pembicaraan itu melihat sikap Ki Kiswoyo, menghubungi Ki Kiswoyo dan terjadi perundingan di antara mereka. Dalam perundingan rahasia yang dilakukan di kaki Gunung Muria dan tidak diketahui orang lain itu, Ki Randujapang menjanjikan kepada Ki Kiswoyo bahwa kalau dia mau membantu Blambangan, maka tiga orang utusan Blambangan itu mau membantunya merebut kekuasaan dan menjadikan Ki Kiswoyo sebagai ketua Bromo Dadali di samping janji hadiah berupa harta kekayaan dan kedudukan tinggi kelak kalau usaha menjatuhkan Mataram itu berhasil!
Tergiur oleh janji ini, diam-diam Ki Kiswoyo lalu menyebar bujukan di antara para murid Bromo Dadali sehingga terjadilah perpecahan pendapat yang meresahkan mereka. Sebagian condong menyetujui pendapat Ki Sanuri untuk membela Mataram, sebagian pula condong menyetujui Ki Kiswoyo untuk berhabung dengan persekutuan yang diadakan Blambangan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Biarpun saling bertentangan pendapat, namun kedua pihak masih belum menyatakan pendapat mereka karena Ki Ageng Branjang sendiri belum bicara mengenai hal ini. Ki Sanuri tidak merasa perlu mengganggu gurunya yang sudah tua dengan urusan ini. Dia merasa berhak mewakili gurunya dan mengambil keputusan menolak ajakan Blambangan itu karena dia merasa yakin akan pendirian gurunya. Kalau nanti utusan Blambangan datang lagi, dia akan tetap menolak, apapun akibatnya akan dia hadapi.
Dua minggu telah lewat sejak Ki Randujapang datang berkunjung ke Bromo Dadali. Pada suatu pagi datang tiga orang tamu memasuki perkampungan Bromo Dadali dan kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh para murid Bromo Dadali. Yang datang itu adalah Muryani, Parmadi, dan anak mereka, Joko Galing. Tentu saja Muryani, suami dan anaknya itu disambut dengan genbira oleh para murid yang selain mengenal baik Muryani sebagai saudara seperguruan, juga tahu bahwa kini Muryani telah menjadi seorang sakti mandraguna.
Kurang lebih lima belas tahun yang lalu, ketika Bromo Dadali diserbu Raden Dibyasakti putera Harya Baka Wulung dari Madura karena Ki Ageng Branjang tidak mau diajak kerja sama menentang Mataram, Muryani yang datang mengalahkan Dibyasakti sehingga musuh itu melarikan diri bersama anak buahnya. Padahal Dibyasakti itu tangguh luar biasa dan tidak ada yang mengalahkannya sehingga Bromo Dadali terancam sekali pada waktu itu. Kini Muryani muncul bersama suaminya yang kabarnya juga sakti mandraguna, bersama anak mereka yang baru berusia enam tahun. Tentu saja semua orang menyambut dengan gembira.
Yang paling gembira adalah Ki Sanuri. Tadinya dia merasa cemas memikirkan ancaman Ki Randujapang. Kedatangan adik seperguruan yang dapat diandalkan ini membesarkan hatinya sehingga Ki Sanuri cepat menghadap Ki Ageng Branjang di sanggar pamujan untuk melaporkan tentang kedatangan Muryani.
Ki Ageng Branjang juga gembira sekali mendengar bahwa muridnya yang terkasih dan sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri itu datang berkunjung bersama suami dan anaknya. Dia segera keluar dari sanggar pamujan dan menyambut kedatangan keluarga itu.
Setelah beremu Ki Ageng Branjang di ruangan dalam, Muryani, Parmadi dan Joko Galing segera memberi hotmat dengan sembah.
"Bapa guru....!"
Kata Muryani, terharu melihat gurunya kini tampak demikian tua dan lelah. Ketika ia mendekat, Ki Ageng Branjang mengelus kepalanya.
"Angger, Muryani, engkau berbahagia dalam hidupmu, bukan?"
"Mendapat pangestu (restu) Bapa Guru, saya sekeluarga berbahagia."
Kata Muryani.
"Kanjeng Paman, saya menghaturkan hormat."
Kata Parmadi dan Ki Ageng Branjang menerima sembah itu dengan senyum ramah.
"Anak mas Parmadi, silakan duduk Anak mas!" "Eyang, saya Jaka Galing! Eyang sehat-sehat saja, bukan?"
Menerima teguran salam dari anak laki-laki yang lincah itu, Ki Ageng Branjang tertawa terkekeh- kekeh saking senang hatinya."Waduh, cucuku Joko Galing! Engkau kini telah menjadi seorang joko cilik (pemuda kecil) yang ganteng dan gagah! Aku sehat- sehat saja, Cucuku. Mendekatlah, Joko Galing!"
Anak itu mendekati Ki Ageng Branjang dan kakek itu merangkul, memeluk sambil menggerayangi kepala dan kedua pundak anak itu. Kagumlah dia karena anak itu benar-benar memiliki bentuk kepala yang besar dan bagus, juga tulang-tulangnya kuat.
"Joko, keluar dan bermain-maunlah dengan anak-anak di sini. Engkau perlu berkenalan dengan mereka dan jangan nakal. Ayah dan Ibu akan bicara dengan eyangmu."
Kata Muryani yang tidak menghendaki anaknya mendengarkan percakapan mereka yang menyangkut urusan pembelaan Mataram.
Setelah Joko Galing keluar, Muryani dan Parmadi lalu memberitahukan maksud kunjungan mereka, yaitu untuk sementara akan menitipkan Joko Galing di Bromo Dadali karena mereka berdua harus membela Pasuruan yang agaknya terancam penyerbuan Blambangan yang hendak memberontak terhadap Mataram. Kelak selesai perang, mereka akan datang menjemput anak mereka.
"Jadi Blambangan hendak memberontak terhadap Mataram? Ah, mengapa mereka itu masih juga belum mengerti bahwa musuh kita semua itu adalah Kumpeni Belanda?"
"kanjeng Paman, menurut yang kami dengar, Blambangan bersekutu dengan Kumpeni Belanda, menerima banyak senjata api, dibantu oleh pasukan besar Bali dan dari Madura. Keadaan akan berbahaya sekali karena persekutuan mereka itu kuat, dibantu orang-orang yang sakti mandraguna."
Kata Parmadi.
"Karena itu, Bapa Guru, saya hendak menitipkan Joko Galing di sini agar kami berdua dapat membela Pasuruan dan Mataram dengan bebas, tanpa khawatir terjadi apa-apa dengan anak kami."
"Wah, tentu saja boleh. Bahkan kami senang sekali kalau Joko Galing untuk sementara tinggal di sini. Kami akan menjaganya baik-baik."
Kata Kakek itu.
"Memang anak itu harus berada di tempat yang terlindung dan aman, Bapa Guru. Dalam perjalanan kami ke sini pun, kami dihadang orang-orang jahat utusan Blambangan dan dalam perkelahian itu, kami nyaris celaka, bahkan Joko Galing diculik orang."
Kata Muryani.
"Ah, apakah yang terjadi?"
Ki Ageng Branjang terkejut mendengar ucapan Muryani itu.
Muryani lalu bercerita tentang penghadangan yang dilakukan tiga orang jagoan dari Bali yang bersekutu dengan Blambangan dan anak buah mereka. akhirnya, setelah muncul pasukan Pasuruan membantu, para penyerang itu dapat dikalahkan dan melarikan diri. Akan tetapi dalam keributan itu, Joko Galing dilarikan orang.
"Hemm, siapa yang menculik putera kalian?"
Tanya Kakek itu.
"Bapa Guru, tentu akan heran mendengarnya. Penculiknya adalah si manusia Iblis Satyabrata."
Kata Muryani.
Sepasang mata kakek itu terbelalak.
"Satyabrata? Kukira dia telah mati!"
"Tadinya kami juga mengira begitu, karena sudah belasan tahun dia tidak penah muncul."
Kata Muryani sedangkan sejak tadi Parmadi hanya mendengarkan saja, membiarkan isterinya yang bercerita kepada Ki Ageng Branjang.
"Wah, berbahaya sekali manusia iblis yang jahat dan sakti itu. Akan tetapi, bagaimana kini Joko Galing dapat kembali kepada kalian?"
"Tanpa kami sangka-sangka, ada orang yang menyelamatkan anak kami, Bapa Guru dan Bapa tentu akan heran pula mengetahui siapa orang yang mengembalikan Joko Galing kepada kami. Penolongnya itu adalah Maya Dewi!"
"Heh? bagaimana ini? Maya Dewi yang terkenal sebagai Iblis Betina itu yang menolong Joko Galing dan mengembalikannya kepadamu?"
"Benar, Bapa. Kami juga merasa heran sekali dan sempat mencurigainya. akan tetapi setelah ia pergi, Joko Galing bercerita bahwa wanita yang dulu seperti iblis jahat itu benar-benar telah menolongnya bahkan dengan mengorbankan diri tertembak dan terluka pangkal lengannya."
"Sebuah mujizat! Kalau Gusti Allah menghendaki, tidak ada hal yang mustahil di dunia ini. Kita wajib bersukur karena peristiwa itu membuktikan bahwa Gusti Allah telah melindungi Joko Galing sehingga terbebas dari bahaya."
Mereka lalu bercakap-cakap dengan gembira. Atas permintaan gurunya, Muryani harus menceritakan semua pengalamannya sejak pertemuan mereka yang terakhir, beberapa tahun yang lalu dan mereka juga memperbincangkan ancaman Blambangan terhadap Mataram.
Sementara itu, Joko Galing keluar dari rumah besar Ki Ageng Branjang. setelah tiba di pendopo, dia disambut oleh Sanuri, Markonah, dan Niken Arum.
"Joko Galing, engkau tentu telah lupa kepada kami karena ketika engkau diajak ke sini oleh Ibumu, engkau masih kecil."
Kata Sanuri sambil tersenyum ramah.
"ketahuilah, Joko Galing, aku adalah Pakde- mu Ki Sanuri, ini Bibi-gurumu Nyi Markonah dan ini anak kami, Mbakayumu Niken Arum."
Joko Galing tersenyum. Dia sejak kanak-kanak tak pernah merasa malu kalau berhadapan dengan siapa pun, dan biar pun dia juga diajar tata-krama namun dia memiliki watak yang terbuka dan tidak suka akan sikap yang bermuka-muka atau kesopanan yang dibuat-buat untuk menyenangkan hati orang. Dia hanya mengangguk kepada tiga orang itu dan berkata.
"Saya pernah mendengar nama Pakde sekalian dari Ibu."
Ki Sanuri lalu berkata kepada puterinya.
"Niken Arum, ajaklah Adikmu Joko Galing bermain-main dan berkenalan dengan anak-anak yang lain."
"Baik, Ayah. Mari, Joko Galing, kuperkenalkan kepada saudara-saudara yang lain dan kuantar engkau melihat-lihat keadaan di pekampungan Bromo Dadali."
"Mari, Mbakayu Niken Arum."
Kata Joko Galing dan mereka berjalan menuruni anak tangga pendopo ke halaman. Biarpun usia Niken Arum sudah dua belas tahun sedangkan Joko Galing baru enam tahun, namun tinggi mereka hampir sama.
Niken Arum membawa Joko Galing ke padang rumput yang terdapat di tengah perkampungan dan tempat itu menjadi tempat di mana anak-anak bermain-main dan berkumpul. Tidak kurang dari lima belas orang anak laki-laki dan sepuluh orang anak perempuan berkumpul di situ dan usia mereka antara enam sampai tiga belas tahun. Yang lebih muda masih lebih suka bermain dekat ibunya dan yang sudah lebih tua mulai bekerja membantu orang tua mereka.
Anak-anak itu menyambut Joko Galing dengan gembira. Semua anak sudah mendengar bahwa Bibi Muryani yang mereka dengar sebagai murid Bromo Dadali terpandai, datang bersama suami dan puteranya. Maka kini mereka menyambut Joko Galing dengan gembira dan kagum karena bagaimanapn juga, penampilan Joko Galing agak berbeda dari mereka, baik pakaiannya maupun sikapnya. Hal ini dapat dimaklumi karena sejak kecil Joko Galing hidup di Kadipaten Pasuruan, sebuah
(Lanjut ke Jilid 15)
Kemelut Blambangan (Seri ke 05 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
kota dengan lingkungan yang lain dibandingkan keadaan perkampungan Bromo Dadali yang linkungannya hanya dusun-dusun yang bersahaja. Pendeknya, secara mudah dapat digambarkan bahwa keadaan Joko Galing adalah "anak kota"
Yang berbeda dari mereka yang "anak- anak desa"! Maka, anak-anak itu merasa kagum dan menghujani Joko Galing dengan pertanyaan- pertanyaan.
Akan tetapi ada seorang anak laki-laki yang sejak tadi memandang ke arah Joko Galing dengan alis berkerut, mata mengandung kemarahan dan mulutnya menyeringai penuh ejekan, Anak ini adalah Sangkolo. Hatinya dipenuhi rasa marah, dengki, iri dan dia memandang rendah kepada anak laki-laki yang sedang menjadi pusat perhatian semua anak- anak itu. Apalagi melihat betapa Niken Arum akrab dengan anak laki-laki itu, sejak tadi menggandeng tangan anak yang kemudian dia ketahui sebagai Joko Galing.
Melihat betapa semua anak bersikap manis dan tersenyum-senyum memandang kagum kepada Joko Galing, Sangkolo tidak dapat menahan panasnya hati yang penuh iri. Dia, sebagai anak yang paling menonjol di antara mereka, dianggap paling pandai, paling tampan gagah, paling kuat sehingga tidak ada yang berani menentangnya, belum pernah diperlakukan semanis itu oleh anak-anak perkampungan mereka.
Dengan mengangkat dadanya yang bidang, menegakkan kepalanya, dia melangkah lebar menghampiri kerumunan anak-anak itu. denagn kasar dia mendorong anak-anak yang sedang merubung Joko Galing ke kanan kiri dan ketika anak-anak itu melihat siapa yang melakukan ekasaran itu, mereka tidak berani melawan dan cepat mereka minggir memberi jalan kepada Sengkolo untuk memasuki lingkaran mereka.
Dengan alis berkerut dan muka merah karena marah, Sangkolo berdiri di depan Joko Galing dan Niken Arum yang memandang kepadanya dengan heran. Sangkolo menjulurkan tangan kiri ke depan, tangan kanannya bertolak pinggang dan dengan sikap menghina dan mengejek telunjuknya menuding depan hidung Joko Galing.
"Siapa tikus kecil ini?"
Kemudian dia memandang ke arah tangan kanan Joko Galing yang masih menggandeng tangan Niken Arum dan membentak.
"Heh, Cindil (anak tikus), hayo lepaskan tangan Niken Arum!"
Biarpun ia marah melihat sikap Sangkolo yang jelas menghina Joko Galing, Niken Arum tidak mau melihat keributan dan ia segera memperkenalkan.
"Adi Joko, ini adalah Kakang Sangkolo, putera Paman Kiswoyo. Kakang Sangkolo, Adik ii adalah Joko Galing, putera Bibi Muryani dari Kadipaten Pasuruan. Adi Joko, bersalamanlah dengan Kakang Sangkolo."
Mendengar ucapan Niken Arum, Joko Galing menjulurkan tangan siap untuk bersalaman, akan tetapi sama sekali tidak tersangka-sangka oleh dia dan semua orang, tahu-tahu kedua tangan Sangkolo bergerak menampar pipi Joko Galing dari kanan kiri lalu kaki kirinya melangkah ke depan dan lutut kanannya diangkat menghantam perut Joko Galing.
"Plak-plak! Bukk!!"
Tubuh Joko Galing terjengkang dan dia terbanting duduk, membelalakkan mata keheranan dan kedua tangannya mengelus kedua pipinya yang agak sembab dan merah terkena tamparan keras tadi, dan perutnya terasa nyeri pula. Dia lebih merasa heran daripada marah dan hanya duduk dan memandang bengong kepada penyerangnya.
"Heh-heh, begini saja ya anak Pasuruan? Anak kota yang kementhus (sombong)!"
"Apa kesalahanku?"
Joko Galing yang keheranan itu bertanya, sementara itu anak-anak yang tadi mengelilinginya kini mundur agak jauh agar jangan terlibat perkelahian. Hanya Niken Arum yang masih berdiri di situ, ia pun terkejut dan heran melihat peristiwa yang tidak tersangka-sangka itu sehingga bengong dan tertegun.
"Kesalahanmu? Engkau tidak boleh menggandeng tangan Niken Arum! Ia milikku, tahu? Engkau pantas dihajar!"
Sangkolo sudah melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba Niken Arum meloncat ke depannya dan kedua tangannya menyambar.
"Plak! Plak!"
Kedua pipi Sangkolo kini ditamparnya sampai kulit pipinya menjadi merah.
"Sangkolo!!"
Bentak Niken Arum tanpa menggunakan sebutan kakang lagi.
"Betapa jahat dan curangnya engkau! Joko Galing adalah tamu kita yang baru datang dan engkau sudah menghina dan menamparnya!"
"Sudahlah, engkau tahu apa! Anak perempuan jangan mencampuri urusan anak laki-laki!"
Kata Sangkolo dan ketika Niken Arum hendak mencegahnya menghampiri Joko Galing, dia mendorong dengan tangannya sehingga Niken Arum terhuyung ke pinggir.
"Sangkolo! Engkau anak laki-laki curang! Engkau menampar aku tanpa memberitahu peringatan lebih dulu dan sekarang engkau berlaku kasar kepada seorang anak perempuan yang masih adik seperguruanmu sendiri! Apakah di Bromo Dadali ini engkau tidak mendapat pendidikan budi pekerti?"
Kini Joko Galing sudah menghadapi Sangkolo dan menegurnya. Anak ini marah sekali melihat Niken Arum yang membelanya itu didorong sampai terhuyung. Dengan berani dia berdiri berhadapan dengan Sangkolo yang jauh lebih besar daripada dia karena usia Sangkolo sudah dua kali usianya.
Sangkolo yang amat marah karena tadi pipinya ditampar Niken Arum, tidak mau menumpahkan kemarahannya kepada gadis remaja itu dan mendengar ucapan Joko Galing, semua perasaan marahnya dia tumpahkan kepada anak itu.
"Cindil busuk, kamu berani menantang aku?"
Bentaknya dan dia sudah mengepal kedua tangannya, mukanya masih merah oleh tamparan Niken Arum tadi, alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mengancam.
"Aku tidak menantang siapa-siapa, akan tetapi aku selalu siap menghadapi laki-laki yang curang dan beraninya hanya menghina perempuan."
Kata Joko Galing dengan sikap tenang walaupun dia juga marah sekali. Para murid cilik Bromo Dadali melihat pertengkaran itu, sudah membuat lingkaran lebar dan mereka ingin menonton. Akan tetapi kebanyakan dari mereka merasa penasaran melihat Sangkolo yang sudah besar itu menantang Joko Galing yang masih kecil. Kebanyakan dari mereka memang merasa tidak senang kepada Sangkolo yang suka bertindak sewenang-wenang kepada anak-anak lain. Hemm, beranikah engkau bertanding melawan aku? Cindil busuk !"
Tantang Sangkolo.
"Aku bukan cindil busuk macam kamu! Aku Joko Galing dan aku tidak pernah takut bertanding melawan orang jahat macam kamu!"
Kata Joko Galing.
"Bagus! Mari lawan aku, monyet, kalau engkau ingin dadamu ambrol (jebol) dan kepalamu pecah!"
Setelah berkata demikian, Sangkolo merenggangkan kedua kakinya yang berjingkat, tubuhnya agak membungkuk dengan kedua lengan diangkat ke kanan kiri seperti seekor burung hendak terbang. Inilah pebukaan ilmu silat Bromo Dadali yang disebut kuda- kuda Dadali Anglayang (Burung Walet Melayang)!
Melihat ini, Niken Arum merasa khawatir sekali. Joko Galing masih begitu kecil dan usia Sangkolo dua kali lebih tua. Selain itu, ia tahu bahwa di antara para anak-anak di Bromo Dadali, Sangkolo merupakan murid yang paling pandai dan memiliki tenaga yang kuat. Dalam hal ilmu silat, ia sendiri tidak berada di bawah tingkat Sangkolo, akan tetapi harus ia akui bahwa ia kalah jauh dalam hal tenaga.
"Adi Joko, biar aku yang menghadapinya!"
Niken Arum sudah melompat ke depan Sangkolo, membelakangi Joko Galing dan ia pun sudah memasang kuda-kuda yang sama dengan pasangan Sangkolo. Melihat ini Sangkolo tertegun dan meragu.
"Ahh, Niken Arum, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Aku malah menjadi pelindungmu agar engkau jangan diganggu siapa pun juga. Aku menantang Joko Galing itu. Hei, bocah Pasuruan, apakah beranimu hanya bersembunyi di balik punggung seorang perempuan?"
Mendengar ini, panas rasa perut Joko Galing. Sejak kecil sekali dia tidak pernah merasa takut, maka ucapan itu sungguh menikam harga dirinya. Dia melangkah maju dan menangkap pergelangan tangan Niken Arum.
"Mbakyu Niken, mundurlah! Aku ingin menghajar mulut kotor bocah sombong ini!"
Ketika Joko Galing menarik lengan Niken Arum, gadis remaja itu terkejut. Ia merasa betapa jari-jari tangan anak laki-laki yang baru berusia enam tahun itu kuat bukan main dan ketika Joko Galing menariknya ke belakang, ia tidak mampu bertahan dan terpaksa ia melangkah ke belakang.
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo