Alap Alap Laut Kidul 24
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 24
"Baik sekali saranmu itu, Mang Engkos. Baiklah kalau begitu. Malam ini aku akan tinggal di sini, menjaga segala kemungkinan buruk. Besok pagi-pagi aku akan menghadap Paman Adipati Sumedang dan melaporkan kejahatan Jaka Bintara yang didukung Tumenggung Jayasiran. Kemudian kita lihat perkembangannya."
"Terima kasih, Mas Aji! Terima kasih, mang Engkos!"
Neneng Salmah berseru, sperti bersorak gembira.
"Biar kubuatkan masakan untuk andika bedua."
Gadis itu lalu berlari ke dapur untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka semua.
Setelah minum-minum sejenak, mang Engkos lalu berpamit pulang karena dia harus merawat Sudarman dan Ki Bajra yang terluka. Aji dipersilahkan beristirahat dalam sebuah kamar di mana pemuda ini duduk bersila, mengaso akan tetapi tetap waspada melakukan penjagaan. sementara itu, Neneng Salmah berada di kamar ayahnya. Ayah dan anak itu bicara berbisik-bisik, tampaknya serius sekali.
"Sudah kaupertimbangkan baik-baik, Salmah?"
Tanya Ki Salmun berbisik.
"Sudah, bapa. Kalau hati sudah merasa, perlukah pikiran mempertimbangkannya lagi? Selama hidupku, belum pernah aku bertemu seorang laki-laki seperti dia. Aku jatuh cinta, bapa, aku merasa berbahagia kalau dapat hidup didekatnya, biar hanya menjadi pelayannya, abdinya. Tolonglah, bapa, sampaikan keinginanku kepadanya, bicarakanlah urusan perjodohan ini."
Ki Salmun menghela napas panjang.
"Hemm, memang sebetulnya sudah matang waktunya bagimu untuk menjadi isteri orang, Salmah. Semenjak tiga tahun terakhir ini, entah berapa banyaknya pinangan pria yang terpaksa kutolak karena engkau masih belum ingin menjadi isteri orang. Bahkan pinangan Sudarman putera Mang Engkos yang begitu baik, terpaksa kutolak. Padahal engkau juga tahu bahwa Sudarman adalah seorang pemuda yang baik sekali, bahkan tadipun dia berusaha untuk membelamu dari orang Banten itu. Akan tetapi engkau menolak juga dan sekarang..... tiba-tiba engkau ingin menjadi isteri anakmas Aji."
"Akang Sudarman memang baik, akan tetapi aku tidak menyukainya, bapa. Sedangkan Mas Aji ini..... dia telah menjatuhkan hatiku dan aku merasa yakin bahwa hidupku pasti akan berbahagia di dekatnya, walaupun hanya menjadi pelayannya."
"Hemm, kalau tekadmu sudah bulat seperti ini, biarlah besok setelah dia menghadap Gusti adipati, akan kusampaian kepadanya."
"Terima kasih, bapa! Bapa memang seorang yang bijaksana dan berhati mulia! Hatur nuhun (terima kasih)....., bapa!"
Gadis itu merangkul dan mencium pipi ayahnya. Perbuatan ini mendatangkan rasa haru dalam hati Ki Salmun, membuat ia teringat akan mendiang isterinya dan dua butir air mata jatuh ke atas kedua pipinya.
Malam ini tidak terjadi sesuatu. Hal ini sebetulnya berkat Tumenggung Jayasiran yang mencegah Kyai Sidhi Kawasa dan Jaka Bintara yang hendak melakukan pengejaran terhadap Aji. Setelah matahari muncul menerangi bumi, Aji pergi mandi dan menerima ajakan sarapan pagi yang disediakan oleh Neneng Salmah. Sepagi itu Neneng Salmah telah mandi dan bertukar pakaian, tampak bersih dan cantik berseri walau wajahnya yang berkulit putih kuning mulus itu tidak memakai hiasan apapun, bahkan bedakpun tidak. Gadis itu tampak pendiam dan malu-malu. Ki Salmun juga tidak banyak bicara ketika mereka sarapan. Setelah selesai sarapan, Aji berpamit untuk pergi menghadap Sang Adipati Sumedang.
"Kami doakan semoga usaha andika berhasil baik, anakmas."
Kata Ki Salmun yang bersama puterinya mengantar pemuda itu sampai ke depan rumah. Setelah Aji pergi, mereka bergegas memasuki rumah dan menutup daun pintu. Kereta yang disewa masih berada di pekarangan dan kusirnya yang dengan setia menanti juga sudah mendapat kiriman sarapan oleh Neneng Salmah. Ketika tiba di pekarangan gedung kadipaten yang luas, aji disambut oleh para perajurit pengawal dengan penuh kehormatan setelah mereka mengetahui bahwa pemuda itu yang kemarin telah menyelamatkan Sang Adipati. mereka tahu bahwa pemuda itu adalah seorang senopati mataram dan seorang yang sakti mandraguna. seorang dari pengawal segera melapor ke dalam dan tak lama kemudian Aji diantar seorang perwira pasukan pengawal memasuki gedung kadipaten menuju ke ruangan tamu yang luas.
Akan tetapi ketika dia memasuki ruangan tamu di mana Adipati Sumedang, Pangeran Mas Gede, menantinya, Aji merasa terkejut bukan main melihat Kyai Sidhi Kawasa telah duduk berhadapan dengan sang adipati, agaknya menjadi tamu agung yang dihormati! Akan tetapi dia tidak memperlihatkan keterkejutan hatinya dan dengan tenang dia melangkah maju menghampiri lalu melakukan penghormatan dengan sembah sambil berdiri kepada sang adipati.
Pangeran Mas Gede bangkit berdiri dan menyambut Aji dengan senyum ramah.
"Ah, akhirnya andika muncul juga, Anakmas Lindu Aji. Silakan duduk, memang sejak tadi kami menanti kedatanganmu. Mari, kami perkenalkan. Anakmas, ini adalah Bapa Kyai Sidhi Kawasa, tokoh besar dari Banten yang juga menjadi penasihat Adipati di Banten. Bapa Kyai, ini adalah Anakmas Lindu Aji, senopati muda Mataram yang telah menyelamatkan kami dari ancaman pemberontak Tumenggung Jaluwisa!"
Melihat Kyai Sidhi Kawasa tidak bangkit berdiri, Aji pun lalu duduk dan kedua orang ini saling pandang dengan sinar mata mencorong. Sang Adipati memandang dengan alis berkerut. Tadi dia telah lebih dulu menerima pelaporan datuk Banten itu betapa Aji telah menghina dan membikin malu Jaka Bintara, bahkan telah melarikan Neneng Salmah dari tangan Jaka Bintara. tentu saja sang adipati merasa tidak enak terhadap dua orang tamunya dari Banten mengingat bahwa Raden Jaka Bintara adalah seorang pangeran dan dialah yang sudah memberikan Neneng Salmah kepada pangeran itu untuk menghiburnya. Akan tetapi di lain pihak, diapun berhutang budi kepada Lindu Aji, maka dia menjadi serba bingung.
"Hemm, para senopati Mataram hanya merupakan orang sombong yang suka memamerkan kesaktian, memukul orang-orang tak bedosa, sesuai dengan sifat angkara murka Mataram yang memerangi dan menaklukkan semua daerah. Akan tetapi Kadipaten Banten tidak akan tunduk kepada Mataram yang angkara murka!"
Kata Kyai Sidhi Kawasa.
"Paman.....!"
Pangeran Mas Gede terkejut sekali dan wajahnya berubah khawatir.
"Tidak apa-apa, Anakmas Adipati. Mungkin Kadipaten Sumedang memang mengakui kekuasaan Sultan Agung Mataram, akan tetapi kami dari Banten bukanlah taklukan Mataram!"
Kata Kyai Sidhi Kawasa dengan tajam menggigit.
Aji bangkit perlahan-lahan, memandang kepada kakek itu dengan sinar mata mencorong dan dia berkata dengan tenang.
"Kyai Sidhi Kawasa, sudah menjadi watak senopati Mataram sebagai satria sejati untuk menentang yang jahat dan membela yang lemah tertindas. Kalau andika memaksakan kekerasan di manapun andika berada, kalau bertemu dengan aku, sudah pasti aku akan menentangmu!"
"Babo-babo, apa kaukira aku takut kepadamu?"
Kyai Sidhi Kawasa bangkit berdiri. Kini dia memegang sebuah tongkat ular cobra yang tampak mengerikan. Aji juga bangkit berdiri.
"Akupun tidak takut kepadamu!"
Dua orang itu saling berhadapan, siap untuk saling serang. Adipati Sumedang cepat bangkit dari kursi dan berdiri di antara mereka, melerai.
"Cukup, kalau ada permusuhan pribadi, harap jangan dipertengkarkan di sini! Apakah andika berdua sama sekali tidak menaruh hormat kepada kami?"
"Maafkan, Anakmas Adipati."
Kata Kyai Sidhi Kawasa sambil duduk kembali. Akan tetapi Aji menghadapi sang adipati dan berkata dengan hormat.
"Paman Adipati, orang Banten ini dan muridnya telah berlaku sewenang-wenang di kadipaten ini, mengandalkan kesaktian melukai orang-orang, bahkan semalam mereka menculik Neneng Salmah. Tindakan mereka didukung Tumenggung Jayasiran, dan baru saja kakek ini bahkan menghina Mataram. Apakah Paman Adipati akan mendiamkan saja sikap dan perbuatannya?"
"Anakmas Lindu Aji, tenang dan bersabarlah. Bagaimanapun juga Paman Kyai Sidhi Kawasa ini adalah tamu kehormatan kami, dia adalah utusan kerajaan Banten. Bahkan muridnya, Raden Jaka Bintara, adalah seorang Pangeran Banten. Karena itu, semua urusan harus diselesaikan dengan jalan damai, bukan dengan permusuhan."
"Hemm, begitukah pendapat paman? Baiklah, kalau begitu saya mohon pamit!"
Setelah berkata demikian Aji cepat memberi hormat dan keluar dari ruangan itu, terus berjalan cepat meninggalkan gedung itu menuju ke rumah Ki Salmun. Ketika ia tiba di sana, Ki Salmun dan Neneng Salmah menyambutnya dengan penuh harapan. Mang Engkos juga sudah berada di situ, ingin mengetahui apa hasil kunjungan Aji ke kadipaten.
"Bagaimana hasilnya, anakmas?"
"Kami tidak perlu pergi, bukan, Mas Aji?"
Tanya pula Neneng Salmah penuh harapan. Aji menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Keadaannya semakin buruk. Ternyata Adipati Sumedang sendiri juga membela orang Banten. Andika berdua bersiaplah, kita pergi sekarang juga. Paman Salmun, tolong berikan surat saya untuk Kanjeng Adipati Cirebon, akan saya tambah sedikit laporan saya."
Ayah dan anak itu tentu saja menjadi prihatin lagi. Ki Salmun cepat mengeluarkan surat itu dan Aji menambahkan laporannya. Setelah itu, Ki Salmun, Neneng Salmah dan Aji lalu naik kereta yang masih siap menunggu di pekarangan dan berangkatlah mereka. Neneng Salmah duduk dalam kereta sambil menangis tanpa suara. Aji dan Ki Salmun duduk di depannya dan kereta bergerak meninggalkan pekarangan rumah itu. Mang Engkos berdiri di pekarangan mengikuti kereta itu dengan pandang matanya yang sayu. Dia ikut berduka dengan nasib Neneng Salmah dan ayahnya. Kalau saja dulu Neneng Salmah menerima pinangannya, pikirnya, tentu sekarang telah menjadi isteri Sudarman dan tidak akan terjadi musibah ini karena Sudarman tentu melarang isterinya menjadi ledek. Dia berjanji pada diri sendiri akan merawat rumah itu dan isinya dengan baik-baik.
Kereta meluncur laju keluar dari kota Sumedang melalui pintu gerbang sebelah utara. Tidak ada halangan sesuatu dalam perjalanan. Setelah matahari naik tinggi dan mereka tidak menemui gangguan, beberapa kali Neneng Salmah memberi isarat dengan pandang matanya kepada ayahnya, sedangkan Aji memejamkan kedua matanya seperti orang bersamadhi. Sebetulnya dia melakukan hal itu agar tidak usah bertemu pandang terlalu sering dengan Neneng Salmah.
Tadi, ketika beberapa kali dia beradu pandang, dia terkejut melihat betapa sinar mata gadis itu mengandung pandang yang aneh! Seperti orang terharu, orang memohon, dan ada kemesraan yang terasa benar olehnya dalam pandang mata yang indah itu. Melihat ayahnya masih belum juga tanggap, Neneng Salmah bahkan menjulurkan kaki dan menyentuh kaki Ki Salmun yang duduk di depannya. Ki Salmun terkejut memandang puterinya dan kembali Neneng Salmah memberi isyarat dengan kedipan matanya ke arah Aji. Barulah Ki Salmun mengerti apa yang dimaksud puterinya. Sesungguhnya, sejak tadipun dia sudah memikirkan janjinya semalam kepada puterinya, hanya dia merasa rikuh dan sukar untuk mengeluarkan kata-kata menyampaikan keinginan hati anaknya itu.
Dia menoleh kepada Aji yang duduk di sebelah kanannya. Melihat Aji duduk dengan punggung lurus dan kedua mata terpejam dia ragu-ragu dan meoleh kepada anaknya. Neneng Salmah kembali memberi isyarat seolah mendorongnya untuk segera bicara, maka Ki Salmun lalu menggunakan tangan kanannya menyentuh paha kiri Aji dan berkata lembut.
"Anakmas Aji tentu amat lelah dan mengantuk. Semua itu andika lakukan demi kami, sungguh membuat hati kami ayah dan anak merasa tidak enak sekali telah membuat anakmas kelelahan."
Seperti yang diharapkan ayah dan anak itu, Aji tidak tertidur. Dia membuka matanya dan tersenyum menoleh dan memandang kepada Ki Salmun.
"Ah, tidak sama sekali, paman. Saya tidak lelah atau mengantuk, saya sedang memikirkan keadaan Kadipaten Sumedang."
"Kalau begitu maafkan kalau saya mengganggu ketenanganmu, anakmas. Ada sesuatu yang hendak saya sampaikan."
"Ada apakah, paman? Kalau ada persoalan, katakana saja, kenapa mesti ragu-ragu?"
Aji merasa heran, apa lagi melihat Neneng Salmah menundukkan muka dengan kedua pipi merah sekali!
"Akan tetapi sebelumnya kami mohon sudilah kiranya anakmas memaafkan kami.....
"
Ki Salmun tampak gugup dan mukanya basah berkeringat.
"Tentu saja! Paman ini aneh-aneh saja. Kalau hendak menyatakan sesuatu, katakanlah saja, kenapa harus sungkan-sungkan dan minta maaf segala? Katakanlah, paman, aku yakin tidak akan marah."
"Begini, anakmas. Semalam kami, saya dan Salmah telah merundingkan tentang masa depan kehidupan Salmah. Ia menyatakan keinginan dan kebulatan tekadnya dan saya menyetujuinya, maka dalam kesempatan ini saya menyampaikan kepada anakmas tentang apa yang telah menjadi keputusan kami itu. Anak saya ini sudah mengambil keputusan untuk..... suwita (menghambakan diri) kepada andika, Anakmas Lindu Aji. Sudah tentu saja kalau anakmas belum beristeri dan sudi menerimanya sebagai isteri."
Aji terbelalak. Sama sekali tidak disangkanya akan mendengar pernyataan seperti itu! Mendadak saja dia teringat kepada Sulastri yang telah kehilangan ingatan dan kini menjadi Listyani atau Eulis. Sejenak dia tidak mampu bicara, hanya memandang kepada Neneng Salmah dan di melihat betapa kini gadis itu semakin menundukkan mukanya sehingga dagunya menempel pada dadanya. Bibir yang merah mungil itu seperti hendak tersenyum, namun gemetar dan tampak giginya rapi dan putih menggigit bibir bawahnya seperti hendak menahan gejolak hati yang membuat bibir itu tergetar.
Alangkah ayu manisnya gadis ini! Akan tetapi selain teringat kepada Sulastri, Ajipun teringat akan tugasnya. Memang dia telah bertemu dengan keluarga mendiang gurunya, bahkan telah bertemu dengan putera gurunya dan cucu gurunya yang ternyata adalah orang-orang bijaksana dan baik. Akan tetapi, biarpun dia telah bertemu dengan kakak tirinya seperti yang dipesankan mendiang ayahnya, namun pertemuan itu tidak melegakan hatinya karena dia mendapat kenyataan bahwa kakak tirinya itu terpikat oleh para kaki tangan Kumpeni Belanda. Hal ini haruslah ditentangnya. Dia harus menyadarkan kakak tirinya bahwa kakak tirinya itu diperalat oleh Banuseta, pada hal justru Banuseta itu yang menjadi musuh besar mereka berdua! Tugas ini harus diselesaikannya dan tugas besar lain, membantu usaha Sultan Agung Mataram untuk menyerang Batavia juga harus dia laksanakan dengan baik. Setelah semua itu terlaksana, barulah dia akan memikirkan tentang jodoh, akan tetapi tidak sekarang!
"Maaf, paman Salmun. terus terang saja, saya memang belum beristeri. Akan tetapi, paman, pada saat sekarang ini, saya masih mengemban banyak tugas penting dan saya sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan, Maaf, saya kira sekarang telah aman bagi andika berdua melanjutkan perjalanan tanpa saya karena saya harus mengambil jalan saya sendiri. Selamat jalan dan selamat berpisah."
Aji menyuruh kusir menghentikan kereta dan dia lalu turun dari kereta.
"Mas Aji.....!"
Neneng Salmah cepat turun pula dari kereta. Aji membalikkan tubuhnya dan gadis itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya. Gadis itu menangis.
"Ada apakah, nimas? Jangan begini, jangan berlutut seperti ini."
Kata Aji.
"Mas Aji.....
"
Neneng Salmah terisak.
"..... apakah andika membenci saya? Apakah andika jijik melihat saya..... ? Karena saya..... saya seorang ledek? Tentu saya tidak berharga dalam pandangan andika, tidak berharga menjadi..... isteri andika.....
"
Aji memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkatnya berdiri sehingga mereka berdiri berhadapan, dekat sekali.
"Sama sekali tidak, nimas. Kalau mau bicara tentang siapa yang tidak berharga di antara kita berdua, maka akulah yang tidak berharga untuk menjadi suamimu, nimas. Andika adalah sorang gadis yang baik sekali, bijaksana dan pandai, seorang seniwati yang jarang bandingannya. Sedangkan aku? Aku hanya seorang pemuda dusun yang melarat dan tidak memiliki apa-apa. Akan tetapi bukan itu yang menjadi alasanku menolak usul perjodohan yang diajukan ayahmu. Melainkan karena aku masih memiliki tugas yang banyak dan penting dan sama sekali aku belum mempunyai pikiran dan keinginan untuk menikah. Maafkan aku, nimas."
Akan tetapi Neneg Salmah tiba-tiba menjatuhkan lagi dirinya, berlutut sambil merangkul kedua kaki Aji. Ia menangis.
"Mas Aji..... aku sudah mengambil keputusan untuk menghambakan diriku kepadamu, mas..... aku mau menjadi apa saja, menjadi abdimu, menjadi hambamu, mencucikan pakaianmu, melakukan semua pekerjaan untuk melayanimu asal andika sudi menerimaku, asal aku diperbolehkan ikut denganmu.....
"
Aji tersenyum dan menghela napas, lalu menggeleng kepalanya, rasa haru memenuhi hatinya. Terasa benar olehnya betapa gadis itu amat mencintainya, begitu pasrah, bahkan mau menjadi budaknya, menjadi abdinya!
"Nimas Neneng Salmah, jangan menuruti perasaanmu, akan tetapi pergunakanlah akal budimu. Bangkitlah dan mari kita bicara secara baik-baik."
Suara Aji terdengar begitu penuh wibawa sehingga seolah menyeret Neneng Salmah dari keadaan yang dipenuhi perasaan haru dan duka itu, dan iapun bangkit perlahan-lahan sambil berusaha menghentikan isaknya. Mereka berdiri berhadapan, Aji, Neneng Salmah dan Ki Salmun.
"Nimas, pikirkanlah baik-baik. Kuulangi sekali lagi. Penolakan ini sama sekali bukan berarti bahwa aku benci atau tidak suka padamu. Aku masih mempunyai banyak sekali tugas penting yang harus kuselesaikan dan pada saat ini aku sama sekali belum berniat menikah. Dan bagaimana mungkin andika ikut denganku, nimas? Dalam menunaikan tugas ini, hidupku penuh bahaya. Ancaman maut mengintai dari seluruh penjuru. Aku masih dapat membela dan melindungi diriku sendiri, Nimas Neneng Salmah, akan tetapi bagaimana aku akan dapat melindungimu terus menerus? Engkau akan menyita banyak waktu dan perhatianku untuk melindungi dirimu, mendatangkan banyak kesulitan dan menghalangi terlaksananya semua tugasku. Apakah engkau menghendaki terjadinya hal seperti itu?"
"Aduh! Ampun Gusti! Ah, tidak, tentu saja saya tidak ......!"
Jerit nneeng salmah.
"Nah, sukurlah kalau begitu, Andika berdua akan aman tinggal bersama Paman Subali di Dermayu. Dia seorang yang bijaksana. Kelak, kalau semua tugasku sudah selesai terlaksana, baru kita dapat bicara soal perjodohan dengan hati terbuka dan jujur. Bagaimana pendapatmu, Nimas? Neneng Salmah menyembah.
"Aduh, Mas Aji. Andika membuka dan menyadarkan hati dan pikiranku. Aku tadi terlalu hanyut oleh perasaanku dan hanya mementingkan diri sndiri. Aku patut malu. Andika benar, mas Aji. Biarlah aku menaati semua petunjukmu. Semoga Gusti allah kelak memberkahi dan mengabulkan pemohonan dan keinginanku dan semoga Gusti Allah selalu melindungi andika."
"Amin, nimas. Nah, sekarang lanjutkan perjalanan kalian. Aku harus pergi!"
Aji melompat dan lenyap dari situ.
"Mas Aji.....!"
Neneng Salmah mengeluh, air matanya bercucuran. Rasanya semangatnya ikut terbang mengejar bayangan pemuda itu.
Salmun menyentuh pundaknya.
"Sudahlah, Salmah. Ucapan Anakmas Lindu Aji tadi benar sekali dan tidak ada yang perlu ditangisi. Mari kita melanjutkan perjalanan sesuai dengan petunjuknya". Dia menggandeng lengan anaknya dan mengajaknya memasuki kereta kembali, Kereta lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Dermayu lewat Cirebon.
Setelah tiba di Cirebon, tanpa banyak kesulitan Salmun dan puterinya diperkenankan menghadap Adipati Pangeran Ratu, penguasa Cirebon setelah dia melapor kepada perwira pengawal bahwa dia datang menghadap sebagai utusan Lindu Aji. Apa lagi wajah Neneng Salmah juga dikenal oleh perwira itu karena ledek dari Sumedang yang amat terkenal itu pernah pula ditanggap di kadipaten Cirebon.
Setelah Adipati Cirebon menerima surat Aji, membaca laporan pemuda itu bahwa Adipati Sumedang bersikap bersahabat, bahkan memanjakan dan membela pangeran dari Banten yang jahat, dia menjadi marah. Pada hari itu juga Adipati Cirebon mengirim utusan ke Mataram untuk menyerahkan pelaporannya kepada Sulatan Agung. Peristiwa ini menyebabkan kemarahan Sultan Agung dan beberapa bulan kemudian Sultan Agung di Mataram memutuskan untuk memecat Pangeran Mas Gede. Sebagai gantinya diangkat Adipati Ukur yang mewakili Mataram dan menjadi penguasa di Sumedang dan bahkan seluruh Priangan. Salmun dan Neneng Salmah tidak lama berada di Cirebon. mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka ke Dermayu. begitu memasuki Dermayu mereka langsung mencari Ki Subali.
Belasan hari yang lalu, Ki Subali dan isterinya mengalami peristiwa yang menggembirakan, namun sekaligus juga mengejutkan dan mengkhawatirkan.
Pada suatu siang, suami istri ini duduk diserambi depan dan seperti biasa, kalau mereka sedang duduk berdua tanpa kesibukan tertentu itu, tiada lain yang mereka bicarakan tentu perihal anak mereka, Sulastri. Sudah berbulan-bulan anak tunggal mereka itu meninggalkan mereka dan berita yang mereka dapat tentang anak mereka adalah berita yang membuat mereka berdua selalu merasa gelisah, yaitu ketika Lindu Aji datang berkunjung dan menceritakan bahwa Sulastri terjatuh ke dalam tebing yang amat curam. Yang menghibur hati mereka adalah bahwa Lindu Aji tidak pernah menemukan jenazahnya di bawah tebing, akan tetapi yang mengkhawatirkan hati mereka adalah tidak adanya berita dari anak mereka itu. Mereka tidak tahu bagaimana dengan nasib puteri mereka, kalau masih hidup di ana ia berada, kalau sudah mati di mana kuburnya.
Melihat wajah isterinya yang pucat dan muram, Ki Subali yang duduk di depan isterinya, terhalang meja, menghibur.
"Sudahlah, jangan terlalu membiarkan hati ditekan kesedihan. Hal ini amat tidak baik bagi kesehatanmu."
Nyi Subali memandang suaminya, menghela napas panjang dan akhirnya berkata.
"Semua ini adalah kesalahanmu......
"
"Ehh? Mengapa kesalahanku?"
"Kalau dulu engkau tidak membiarkan anak kita mempelajari ilmu silat, tidak melatih aji kanuragan, tentu ia tidak akan berani pergi merantau dan tidak terjadi malapetaka seperti ini. Ia akan menjadi seorang perawan yang alim, yang baik, membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah dan mungkin kita sekarang sudah mempunyai mantu, sudah menimang cucu.....
"
Wanita itu menahan tangisnya.
Ki Subali menghela napas panjang.
"Akupun menyesal kalau memikirkan hal itu. Engkau tahu sendiri bahwa aku seorang yang tidak suka akan kekerasan. Akan tetapi anak kita itu berhati keras dan ialah yang dahulu itu nekat untuk mempelajari aji kanuragan. Akan tetapi semua itu telah terjadi dan tidak ada gunanya disesali lagi. Sekarang kita hanya dapat berdoa dan mohon kepada Gusti Allah semoga anak kita selamat dan pada suatu hari akan pulang ke sini."
Tiba-tiba Nyi Subali menjulurkan tangannya di atas meja dan mencengkeram lengan tangan suaminya, matanya terbelalak memandang ke luar rumah.
"Ada apa, bune..... ?"
Ki Subali berseru kaget melihat isterinya memandang keluar rumah., diapun menoleh dan memandang ke pekarangan. Mereka berdua melihat dua orang memasuki pekarangan. seorang gadis yang bukan lain adalah Sulastri!
"Ia..... ia..... Sulastri anakku.....!"
Nyi Subali lalu bangkit dan berlari keluara diikuti suaminya.
Gadis itu tertegun melihat suami istri itu berlari keluar, yang wanita lari sambil menangis. Apa lagi ketika wanita yang wajah dan bentuk tubuhnya tidak asing baginya akan tetapi yang tidak dikenalnya siapa itu langsung merangkulnya sambil menangis. Eulis hanya bengong, membiarkan dirinya dirangkul dan diciumi sehingga mukanya basah oleh air mata yang membanjir keluar dari mata wanita itu.
"Sulastri..... anakku.....!"
Nyi Subali berkata dalam tangisnya, akan tetapi ibu ini dapat merasakan juga dengan penuh kekagetan dan keheranan betapa gadis itu sama sekali tidak menanggapinya, tidak membalas rangkulan dan ciumannya, melainkan hanya berdiri seperti patung! Maka iapun melepaskan rangkulannya untuk dapat mengamati wajah anaknya dengan jelas sambil membelalakkan matanya yang masih basah.
"Engkau..... engkau Lastri anakku..... engkau kenapa......
"
Eulis balas memandang dan menggelengkan kepalanya. Ada rasa suka dalam hatinya terhadap wanita ini, akan tetapi tetap saja ia tidak mengenal siapa wanita yang mengaki ibunya itu.
"Saya tidak mengenal bibi. Nama saya Listyani, biasa dipanggil Eulis.....
"
"Lastri, apa maksudmu dengan kata-kata itu? Engkau Sulastri anak tunggal kami! Mustahil engkau tidak mengenal ayah ibumu sendiri!"
Ki Subali membentak penasaran melihat sikap dan mendengar ucapan Sulastri.
Gadis itu memandang Ki Subali. Iapun merasa suka melihat laki-laki setengah tua itu, akan tetapi ia tidak tahu siapa dia. Ia menggeleng kepalanya.
"Saya..... saya tidak mengenal andika....."
Selagi Ki Subali dan isterinya kebingungan, Jatmika melangkah maju dan berkata.
"Maaf, kanjeng paman dan kanjeng bibi, saya kira hal ini perlu penjelasan dari saya."
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena tadi seluruh perhatiannya tertuju kepada anaknya, maka baru sekarang Ki Subali memperhatikan pemuda itu. Dia mengerutkan alisnya, memandang pemuda itu dengan penuh kecurigaan, seolah dia hendak menyalahkan pemuda itu akan keadaan Sulastri yang aneh itu.
"Siapa andika? Bagaimana andika dapat bersama anak kami? Mengapa anak kami menjadi begini?"
Jatmika mengangkat kedua tangannya ke atas, menyabarkan hati orang tua itu.
"Harap paman dan bibi tenang dan bersabar. Saya mengerti kegelisahan andika berdua. Saya dapat menceritakan keadaan Nimas Eulis dengan jelas. Apakah tidak sebaiknya kalau kita bicarakan masalah ini di dalam saja?"
Barulah Ki Subali teringat bahwa tadi dia bersikap kurang bijaksana terhadap pemuda ini, sebelumnya telah menyangka yang bukan-bukan.
"Maafkan kami.... kami bingung tadi..... silakan anakmas, silakan masuk. Bune, ajaklah Sulastri masuk."
Nyi Subali merangkul gadis itu.
"Lastri, mari masuk rumah, nak."
"Bibi, nama saya Listyani, panggil saja Eulis."
Bantah Eulis dengan suara lembut karena ia merasa hormat dan suka kepada wanita itu.
"Baiklah...... Eulis..... mari kita masuk dan bicara di dalam.....
"
Kata ibu itu dengan hati tersayat keharuan. Eulis menurut saja ketika ia dirangkul dan diajak masuk.
Mereka berempat lalu masuk ke ruangan dalam dan mengambil tempat duduk. Nyi Subali duduk di dekat Eulis dan tak pernah melepaskan gadis itu dari rangkulannya.
"Begini paman dan bibi. Sebelum saya bercerita tentang Nimas Eulis, saya ingin memperkenalkan diri lebih dulu. Nama saya Jatmika dan saya adalah cucu dari Eyang Ki Ageng Pasisiran yang tentu paman telah mengenalnya."
"Ah, maksudmu, guru Sulastri di pantai itu?"
"Benar, paman. menurut cerita yang kudengar dari Adimas Lindu Aji, mula-mula Nimas Eulis yang tadinya bernama Sulastri ini terjatuh dari atas tebing yang curam ketika bersama Adimas ia melawan gerombolan perampok."
"Hal itu sudah kami dengar dari anakmas Lindu Aji sendiri, Anakmas Jatmika. Dia menceritakan bahwa Sulastri jatuh dari atas tebing. Akan tetapi setelah selama dua hari Anakmas Aji mencari-cari, dia tidak dapat menemukan Sulastri di bawah tebing, Hal itu mendatangkan harapan bagi kami bahwa anak kami masih hidup. Akan tetapi hanya sampai di situ sajalah cerita anakmas Aji tentang Sulastri. Selanjutnya kami tidak tahu apa yang terjadi dengannya, dan tahu-tahu ia kini muncul bersama andika dalam keadaan seperti ini, tidak ingat kepada kami orang tuanya."
"Ah, kiranya Adimas Aji telah datang kepada paman berdua? Sekarang saya yang akan melanjutkan ceritanya, paman. Saya bertemu dengan Nimas Sulastri.....
"
"Kangmas Jatmika, aku lebih senang disebut Eulis!"
Sulastri atau Eulis mencela.
Jatmika tersenyum.
"Baiklah, Nimas. akan tetapi aku harus menceritakan keadaan yang sesungguhnya kepada Paman dan Bibi Subali.
"
Eulis diam saja, hanya memandang wajah Nyi Subali yang masih merangkul pinggangnya.
"Saya bertemu dengan Nimas Eulis dan berkenalan ketika berdua melawan gerombolan jahat."
"Kangmas Jatmika yang telah menolong saya ketika saya dikeroyok orang-orang jahat."
Kata Eulis. peristiwa itu tidak dapat ia lupakan karena sejak saat peristiwa itulah iangatannya mulai bekerja. sejak saat itu sampai sekarang saja yang dapat diingatnya, dan sebelum itu, ia tidak ingat apa-apa.
"Setelah lami berdua membasmi gerombolan jahat itu, kami berkenalan dan saat itu Nimas Eulis tidak ingat apa-apa, tidak tahu siapa dirinya dan apa yang terjadi dengan dirinya sebelumnya, karena itu, saya memilihkan nama Listyani atau disingkat Eulis kepadanya."
"Itu memang namaku! Aku suka disebut Eulis!"
Kata pula gadis itu.
Setelah mendengar keterangan Jatmika bahwa puterinya memang kehilangan ingatannya, dengan penuh pengertian Nyi Subali merangkul leher Eulis dan mencium pipinya.
"Baiklah, anakku, mulai sekarang aku akan menyebutmu Eulis, kalau engkau menyukai nama itu."
Katanya lembut.
"Kemudian bagaimana, Anakmas Jatmika?"
Tanya Ki Subali.
"Kami berdua tertawan orang-orang jahat yang bersekutu dengan seorang senopati Sumedang yang hendak memberontak terhadap Adipati Sumedang. mereka memaksa kami untuk membantu mereka memberontak terhadap Pangeran Mas Gede, adipati sumedang. Untung sekali kami bertemu dengan Adimas Lindu aji yang melindungi sang adipati membasmi para pemberontak. Adimas Aji yang menganjurkan agar kami berdua datang kesini, paman. Siapa tahu, di sini Nimas Eulis akan dapat memulihkan ingatannya."
Eulis yang sejak tadi mendengarkan, menatap wajah Ki Subali dan Nyi Subali bergantian. Dua wajah yang menimbulkan rasa suka di hatinya, dua wajah yang tidak terasa asing baginya, akan tetapi dua wajah yang sama sekali tidak diingat siapa mereka.
"Kami akan berusaha mencarikan usaha pengobatan untuk memulihkan ingatannya, anakmas."
Kata ki Subali.
"Jadi andika berdua ini adalah ayah dan ibu kandungku? Dan namaku sebenarnya Sulastri?"
Kata Eulis sambil mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi, sungguh aku sama sekali tidak ingat, tidak merasa mengenal dengan andika berdua dan hanya tahu dan ingat bahwa namaku Listyani atau Eulis, bukan Sulastri."
Dengan penuh kesabaran Ki Subali yang bijaksana berkata.
"Baiklah, nak. Mulai saat ini, engkau bernama Listyani atau Eulis seperti yang kaukehendaki, dan engkau anggaplah kami suami isteri sebagai pengganti ayah ibumu. Maukah engkau tinggal di sini bersama kami dan menjadi anak angkat kami?"
"Benar, Nimas Eulis. Engkau sebaiknya tinggal di sini bersama Paman Subali dan bibi. Mereka amat menyayangmu dan mudah-mudahan engkau akan menemukan ingatanmu kembali akan masa lalumu. Aku sendiri harus pergi untuk mengunjungi makam ayahku dan kakekku, kemudian aku akan mencari para pembunuh mereka!"
"Ah.....! Apakah..... Ki Ageng Pasisiran terbunuh, anakmas Jatmika?"
Tanya Ki Subali dengan terkejut dan heran.
Jatmika menghela napas panjang.
"Saya mendengar berita mengejutkan dan menyedihkan ini dari Adimas Lindu aji, paman. Ayah dan kakek saya terbunuh oleh penjahat yang bersekutu dengan para mata-mata kumpeni belanda."
"Ah, jahat sekali! Seorang yang sudah tua dan bijaksana seperti Ki Ageng Pasisiran juga dibunuhnya!"
Kata Ki Subali.
"Benar, paman. mereka itu jahat sekali. Selain menjadi antek Kumpeni Belanda, mengkhianati tanah air dan bangsa sendiri, mereka juga kejam. Karena itu, saya harus mencari mereka dan membalas kematian ayah dan kakek saya. Nah, saya mohon diri, paman dan bibi. engkau juga, nimas, aku pergi sekarang."
Jatmika cepat keluar dari rumah itu. Setelah dia tiba di luar, Eulis bangkit dan berlari keluar.
"Kakangmas Jatmika, tunggu.....!"
Nyi Subali bergerak hendak mengejar, akan tetapi suaminya memegang pundaknya dan mencegahnya.
"Sstt..... jangan kejar, biarkan saja mereka berdua bicara di luar. Tidakkah engkau melihat bahwa ada hubungan batin yang lebih akrab di antara mereka?"
Kata Ki Subali lirih dan isterinya mengangguk, lalu menjatuhkan dirinya terduduk kembali. Ia masih merasa terpukul melihat anak tunggal yang dikasihinya itu kini tidak mengenalnya sebagai ibu lagi!
Sementara itu, mendengar seruan Eulis, Jatmika berhenti dan memutar tubuhnya. Dia melihat Eulis mengejarnya keluar rumah dan mereka berdua berdiri berhadapan di pekarangan rumah itu.
"Nimas Eulis, ada apakah?"
Tanyanya sambil tersenyum. Betapa cantiknya gadis ini, pikirnya dan hatinya dipenuhi rasa sayang.
"Kakangmas Jatmika, kenapa engkau tidak mengajak aku?"
Eulis bertanya dan dalam suaranya terkandung teguran.
"Nimas, apakah engkau ingat bahwa Eyang Tejo langit atau Ki Ageng Pasisiran itu gurumu?"
Eulis menggeleng kepala dengan sedih.
"Aku tidak ingat sama sekali, aku tidak tahu siapa guruku.....
"
"Nah, apakah engkau tidak ingin menemukan kembali ingatanmu yang hilang itu? Tinggallah di sini, di rumahmu sendiri, di rumah ayah ibumu yang telah kaulupakan agar perlahan-lahan engkau dapat menemukan kembali inagatanmu. Percayalah, nimas. Hal ini yang terbaik untukmu. Aku sendiri mempunyai banyak tugas yang harus kuselesaikan. Aku berjanji bahwa kalau semua tugas telah kuselesaikan, aku pasti akan kembali ke sini."
"Benarkah, kakangmas? Engkau akan kembali ke sini? Engkau tidak akan melupakan aku?"
Tanya Eulis dengan wajah memelas. Jatmika tidak dapat menahan hatinya yang penuh kasih sayang, Dia maju dan memegang kedua tangan gadis itu.
"Betapa mungkin aku dapat melupakanmu, nimas? Aku akan selalu ingat kepadamu karena aku...... aku..... cinta padamu, nimas.....
"
"Engkau penolongku dan engkau merupakan orang yang paling baik bagiku. Kakangmas Jatmika, aku..... aku akan..... merindukanmu, karena aku..... jangan pergi terlalu lama.....
"
Jatmika menggenggam jari-jari tangan yang lembut hangat itu.
"Aduh, nimas. Betapa bahagia hatiku mendengar ucapanmu ini. Aku juga selalu akan merasa rindu padamu. pecayalah, aku pasti kembali dan aku..... aku akan melamarmu kepada Paman Subali, untuk menjadi istriku."
"Kangmas.....
"
Jatmika tidak ingin terseret gelombang gairah cintanya. Dia melepaskan tangan gadis itu.
"Cukup, nimas. Selamat tinggal, selamat berpisah untuk sementara waktu. Aku akan segera kembali."
Dia lalu memutar tubuhnya karena dia merasa bahwa kalau dia membiarkan dirinya terlalu lama berdekatan dan berbincang-bincang dengan gadis itu, dia tidak akan mampu memisahkan diri.
Eulis masih berdiri memandang sampai bayangan pemuda itu menghilang di sebuah tikungan. Ia masih tertegun mendengar ucapan pemuda itu dalam kalimat terakhir. Menjadi isterinya? Menjadi isteri Jatmika? Hal ni sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. Memang dengan terang harus ia akui bahwa ia kagum dan suka kepada Jatmika yang selalu sopan, lembut dan halus budi. Apa lagi pemuda itu selalu menolongnya, bahkan untuk membelanya pemuda itu rela mempertaruhkan keselamatan nyawanya? Sama sekali belum pernah terpikirkan dan pernyataan Jatmika tadi bagaikan halilintar menyambar dan membuarnya sadar sepenuhnya bahwa pemuda itu mencintanya!
"Eulis.....!"
Eulis menoleh dan ia melihat Nyi Subali menghampirinya perlahan-lahan. Eulis tersenyum. Ia merasa suka sekali kepada wanita ini. Pandang matanya yang demikian lembut dan mengandung kasih sayang yang terasa sekali olehnya, wajahnya yang baginya tampak cantik sekali.
"Bibi.....!"
Katanya dan balas merangkul ketika Nyi Subali merangkulnya.
"Bocah nakal!"
Kata Nyi Subali sambil mencium pipi gadis itu.
"Kenapa masih memanggilku bibi? Bukankah engkau kini telah menjadi anakku? Anakku yang tersayang? Engkau telah menjadi anakku, Eulis, karena itu sebut aku ibu, jangan bibi!"
Eulis tersenyum dan mereka bergandengan tangan memasuki rumah.
"Eh, maaf, aku lupa....., ibu."
Nyi subali menahan tangisnya. suara itu! Masih suara Sulastri. Aneh mendengar anaknya sendiri menyebut ibu kepadanya dengan malu-malu. Pada hal itu suara Sulastri, seperti dahulu kalau menyebut ibu kepadanya. lembut dan manja! Sinar matanya membayangkan kebandelan.
"anak nakal!"
Nyi Subali mempererat gandengannya dan tertawa. Eulis merasa dimanja dan iapun tertawa senang.
Demikianlah, mulai hari itu Eulis tinggal di rumah Ki Subali dan isterinya. Ia bukan seorang gadis bodoh. Sama sekali bukan. Ia bahkan seorang gadis yang cerdik sekali. Karena itu, iapun menemukan keanehan-keanehan dalam dirinya. Ia merasa amat dekat dengan "orang tua angkatnya", ia merasa akrab dengan segala sesuatu yang berada dalam rumah itu, pelatarannya, kebunnya, bahkan pohon-pohon yang tumbuh di sekitar rumah.
Lebih-lebih lagi, ia menemukan pakaian-pakaian dalam sebuah kamar yang diberikan kepadanya, dan semua pakaian itu cocok dan pas bagi tubuhnya. Kamar tidur itu, dengan pembaringan, dengan meja kursinya, semua itu sama sekali tidak asing baginya. Akan tetapi ia sama sekali tidak ingat pernah bertemu dengan Ki Subali dan Nyi Subali. Setelah beberapa hari tinggal di situ, dekat dengan Ki Subali dan Nyi Subali, kecerdikan akalnya membuat ia yakin akan keadaan dirinya. Ia merasa yakin bahwa Ki Subali dan isterinya adalah ayah ibunya, dan bahwa benar ia anak tunggal mereka yang bernama Sulastri. Ia dapat menduga bahwa ia tentu telah kehilangan ingatannya dan menurut keterangan pemuda yang bernama Lindu Aji itu, seperti juga diceritakan Jatmika kepada Ki Subali dan isterinya, ia telah terjatuh dari tebing yang tinggi. Kenyataannya ia tidak mati, akan tetapi kehilangan ingatannya. Hal ini membuat ia menduga bahwa tentu kejatuhan dari tebing yang tinggi itulah yang telah membuat ia kehilangan ingatan!
Samar-samar ia dapat ingat bahwa ia terjatuh ke tangan gerombolan penjahat, melawan mereka yang dibantu Jatmika. Itulah saat-saat ia dapat ingat dan sebelum itu, ia tidak ingat apa-apa. Kini ia percaya bahwa ia adalah Sulastri, anak tunggal Ki Subali dan isterinya. Akan tetapi, semua itu hanya dugaan yang muncul dari penalaran. Ingatannya belum kembali dan ia belum dapat ingat akan gurunya, Ki Ageng Pasisiran. Untung bahwa semua ilmu yang pernah ia pelajari telah mendarah daging, telah menyatu dengan dirinya sehingga walaupun ia tidak ingat akan teorinya, ia masih dapat memainkannya dengan baik.
Ki Subali dan Nyi Subali maklum akan keadaan diri puteri mereka itu. Suami isteri ini adalah orang-orang bijaksana dan amat mengasihi anak tunggal mereka. Mereka juga dapat menduga bahwa anak mereka itu tentu mengalami cidera ketika terjatuh dari tebing curam sehingga kehilangan ingatannya.
Dengan sabar dan telaten mereka menuntun ingatan Eulis untuk kembali ke masa lalu. Mereka menceritakan keadaan gadis itu ketika masih kecil, kenakalan-kenakalannya sampai ia tumbuh dewasa dan menjadi murid Ki Ageng Pasisiran. Eulis kini mulai hafal akan cerita tentang pengalaman-pengalamannya sejak kecil, akan tetapi hal ini tidak memulihkan ingatannya. Ia hanya tahu akan keadaan dirinya sendiri dari cerita kedua orang tua itu.
Betapapun juga, ia masih tetap ingin disebut Listyani atau Eulis. Nama ini sudah melekat dalam hatinya, terutama sekali karena nama itu pemberian Jatmika, pemuda yang telah menolong dan menyelamatkannya. Dan Ki Subali beserta isterinya yang bijaksana dan sabar itupun tidak memaksakan nama Sulastri kepada anak mereka. Mereka dengan hati tulus menyebutnya Eulis, merasa seolah kini puteri mereka itu telah berganti nama! Belasan hari telah berlalu. Ki Subali dan isterinya merasa lega dan berbahagia. Biarpun Sulastri atau Eulis belum menemukan kembali ingatannya, namun gadis itu tidak kehilangan kelincahannya. Masih lincah genbira dan bandel nakal seperti dulu! Pada suatu hari Sulastri duduk seorang diri di pendopo rumahnya. Ia duduk termenung. Tiba-tiba terdengar suara kucing.
"Meyoooongggg.....!"
Sulastri atau Eulis sadar dari lamunannya. ia memandang ke bawah dan melihat seekor kucing mendekatinya lalu kucing itu dengan manja membelai-belai kaki Eulis dengan leher dan perutnya. Eulis tertawa, membungkuk dan mengangkat kucing itu lalu dipangkunya dan dibelai kepala kucing dengan tangannya. Kucing itu dengan manja memejamkan mata dan menggeliatkan badannya.
"Candra, agaknya engkau masih mengenal aku. Ayah dan ibu menceritakan bahwa dulu engkau adalah kucing kesayanganku."
Kata Eulis lirih dan kucing itu mengeong lirih pula. Seekor kucing yang indah bulunya. Bulu halus tiga warna dan kucing itu, menurut Nyi Subali, dulu ditemukan Eulis di dalam hutan, dibawa pulang dan diberi nama Candramawa.
Kucing ini memiliki wibawa seperti harimau. Kalau ia lapar, dengan mengarahkan pandang matanya yang hijau mencorong itu ke arah seekor cecak yang sedang merayap di atas dinding, cecak itu akan jatuh dan menjadi mangsanya. Demikian pula, kalau ia mengejar tikus, tikus itu akan demikian ketakutan sehingga tidak mampu lari lagi, tinggal tubruk saja! Eulis tidak ingat lagi akan semua itu, akan tetapi cerita ibunya membuat ia merasa sayang kepada kucing itu.
Suara derap kaki kuda dan roda kereta membuat Eulis mengangkat muka memandang ke arah jalan di depan rumahnya. Ia melihat sebuah kereta berhenti di tepi jalan raya di depan pekarangan. Dua orang turun dari atas kereta, seorang laki-laki setangah tua dan seorang wanita muda. Wanita itu cantik manis dengan tubuh yang luwes dan ramping. Kedua orang itu lalu memasuki pekarangan. Eulis memandang penuh perhatian. Ia tidak merasa kenal kepada dua orang itu, akan tetapi karena mereka itu agaknya hendak berkunjung dan bertamu, Eulis lalu bangkit berdiri menyambut setelah melepaskan kucingnya ke atas lantai.
(Lanjut ke Jilid 27)
Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 27
"Puuuunten.....!"
Kata laki-laki itu dan gadis manis itupun memberi hormat dengan membungkuk.
"Maaaangga!"
Jawab Eulis mempersilakan.
"Maafkan kami, nona. Kami ingin bertanya, apakah benar di sini rumah Ki Subali?"
Tanya laki-laki itu yang bukan lain adalah Ki Salmun bersama anaknya Neneng Salmah.
Eulis mengangguk.
"Benar, paman."
Wajah Ki salmun tampak gembira. akhirnya sampai juga dia ke tempat tujuan.
"Dapatkah saya bertemu dan bicara dengan dia, nona? Kami datang dari Sumedang, dan menjadi utusan Anakmas Lindu Aji."
Mendengar nama ini, Eulis menjadi girang. Lindu Aji adalah pemuda sakti mandraguna yang telah menolong ia dan Jatmika, bahkan pemuda itu masih terhitung saudara seperguruan karena guru pemuda itu dan gurunya sendiri masih bersaudara.
"Ah, tentu saja, paman. Silakan andika berdua duduk menanti di sini, saya akan memberitahu bapa."
Setelah mempersilakan dua orang tamunya duduk, Eulis lalu masuk ke dalam rumah dan menemui ayahnya yang berada di bagian belakang rumah bersama ibunya.
"Bapa di luar ada dua orang tamu yang mengaku sebagai utusan Kakangmas Lindu Aji, ingin bertemu dan bicara dengan bapa. Mereka seorang laki-laki setengah tua dan seorang gadis cantik."
Mendengar ini, Ki Subali dan isterinya lalu bangkit dan menuju keluar, diikuti Eulis yang ingin tahu siapa dua orang yang mengaku diutus Lindu Aji itu. Setelah mereka tiba di luar, dua orang tamu itu bangkit berdiri dan Ki Subali memandang heran karena dia tidak mengenal tamu itu. Ki Salmun memberi hormat dan bertanya.
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah andika yang bernama Ki Subali?"
Ki Subali membalas penghormatan itu dan menjawab.
"Benar, ki sanak. Saya bernama Ki subali, ini isteri saya dan ini anak saya Eulis Listyani."
"Saya bernama Ki Salmun dan ini anak saya Neneng Salmah. Kami datang dari Sumedang dan menjadi utusan Anakmas Lindu Aji untuk menyerahkan surat ini kepada andika."
Setelah berkata demikian, Ki Salmun mengambil surat dari balik bajunya dan meneyerahkan kepada Ki Subali. Ki subali menerima surat itu, lalu berkata dengan ramah.
"Silakan duduk, ki sanak. Hemm, puterimu ini bernama Neneng Salmah? Bukankah ia waranggana yang terkenal dari Sumedang itu?"
Ki Salmun dan Neneng Salmah duduk kembali, berhadapan dengan Ki Subali dan anak isterinya. Mendengar pertanyaan itu, Ki Salmun menghela napas panjang.
"Benar, dan justeru karena ia menjadi waranggana itulah yang kini mendatangkan bencana atas diri kami!"
Kembali Ki Salmun menghela napas panjang.
"Untunglah bagi kami bahwa pada saat berbahaya muncul Anakmas Lindu Aji menyelamatkan anak saya."
"Hemm, apakah yang telah terjadi, paman?"
Tiba-tiba Eulis bertanya.
"Nanti dulu, Eulis. Biar kubaca dulu surat dari Anakmas Aji ini, mungkin dia memberi penjelasan akan apa yang telah terjadi."
Kata Ki Subali dan Eulis lalu berdiam diri, memandang ketika ayahnya membuka surat dan membacanya.
Setelah membaca surat itu dengan saksama, Ki Subali mengangkat muka memandang kepada Ki Salmun dan berkata.
"Ki sanak, dalam suratnya ini anakmas Lindu Aji hanya memberitahu bahwa andika dan puteri andika terancam bahaya besar dan harus meninggalkan Sumedang dan untuk sementara waktu menyingkir jauh dari Sumedang. Selain itu, dia minta kepada kami agar kami dapat menerima andika berdua tinggal di sini untuk sementara waktu."
"Sesungguhnya, ki sanak, kami tidak mempunyai keluarga di luar Sumedang dan kami tidak tahu harus melarikan diri ke mana. Kami hanya menaati pesan Anakmas Aji yang menjadi penyelamat dan penolong kami, karena itu hari ini kami datang ke hadapan andika. Akan tetapi, ki sanak, harap andika jangan memaksakan diri menerima kami berdua hanya karena ada surat dari anakmas Aji. Kalau sekiranya andika sekalian merasa keberatan menampung kami, katakanlah saja. Kami tidak akan merasa menyesal dan kami akan mencari tempat pemondokan sedapatnya."
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara menggetar namun penuh kejujuran seorang seniman.
Ki Subali sendiri seorang dalang, sasterawan, seorang seniman. Diapun menjawab sejujurnya.
"Rumah kami cukup besar dan kami selalu siap untuk menolong orang yang patut ditolong. Karena itulah mungkin maka Anakmas Aji mengirim kalian berdua ke sini. akan tetapi sebelum kami memutuskan apakah andika berdua patut ditolong atau tidak, ceritakanlah terlebih dahulu apa yang andika berdua alami di Sumedang."
"Nanti dulu, paman!"
Tiba-tiba Eulis berkata kepada Ki Salmun.
"Jangan paman ceritakan dulu tentang itu, tunggu saya akan mengambilkan suguhan minum lebih dulu. Saya harus ikut mendengarkan!"
Setelah berkata demikian Eulis bangkit dari duduknya.
Neneng Salmah ikut berdiri.
"Bolehkah saya membantumu, Neng Eulis?"
Tanyanya dengan bahasa yang halus.
Eulis tersenyum.
"Aeh, mengapa pakai sebutan neng (nona) segala? Sebut saja aku Eulis, Neneng Salmah."
"Terima kasih, Eulis, Nah, aku boleh membantumu, bukan?"
Dua orang gadis itu lalu bergandeng tangan dan menuju ke dapur di bagian belakang rumah. Tak lama kemudian mereka sudah keluar membawa minuman air teh. Sementra itu Ki Salmun benar saja tidak menceritakan tentang malapetaka yang menimpa dia dan puterinya, hanya menceritakan tentang keadaannya, bahwa dia seorang duda bahwa pekerjaannya adalah sebagi tukang kendang dan selalu menemani puterinya kalau ditanggap.
Kini Neneng Salmah ditarik oleh Eulis dan duduk disebelahnya, keduanya tampak akrab sekali. Tadi ketika menyiapkan minuman di dapur, keduanya saling bicara dan kini mereka mengetahui akan keahlian masing-masing yang membuat mereka saling merasa kagum. Ki Salmun lalu bercerita, dimulai dari ditanggapnya rombongan keseniannya di rumah Tumenggung Jayasiran. Ia menceritakan tentang keributan yang terjadi karena adanya pertandingan rebutan ledek sampai munculnya Raden Jaka Bintara dari Banten yang bengis, kejam dan sombong itu. Kemudian muncul Lindu Aji yang mengalahkan Jaka Bintara sehingga melegakan hati para penduduk Sumedang yang merasa tersinggung oleh ulah pemuda Banten yang sombong itu.
"Kami tidak menyangka bahwa peristiwa itu berekor panjang dan mendatangkan malapetaka bagi kami. Malamnya, datang pasukan pengawal Tumenggung Jayasiran yang memaksa Neneng Salmah untuk berkunjung ke tumenggungan. Karena yang memanggil sang tumenggung, kami tidak berani membangkang dan Neneng Salmah dibawa ke sana."
"Hemm, engkau dibawa dengan paksa ke rumah Tumenggung Jayasiran itu, Neneng? Lalu apa yang terjadi denganmu? Ceritakanlah kepadaku!"
Kata Eulis tak sabar. Sepasang mata bening Neneng Salmah menjadi basah dan beberapa butir air mata menitik keluar ke atas pipinya.
"setelah tiba di sana, aku dikeram dalam sebuah kamar dan tak lama kemudian muncul..... pemuda bangsawan dari Banten yang kejam itu.....
"
"Hemm, yang namanya Bintara itu?"
Tanya Eulis.
"Mau apa dia?"
"Dia..... dia hendak..... memaksa dan memperkosaku......
"
"Jahanam busuk! Keparat! Jangan takut, Neneng. aku akan pergi ke Sumedang mencari dia! Akan kuhancurkan kepala jahanam itu!"
Kata Eulis dengan marah sekali.
"Sabarlah, Eulis. kita dengarkan dulu cerita mereka."
Kata Ki Subali menyabarkan anaknya.
Eulis sadar akan sikapnya yang terburu nafsu.
"Neneng, selanjutnya bagaimana?"
"Pada saat yang amat berbahaya itu, muncullah Kakangmas Lindu Aji dan dia yang menyelamatkan aku, menolongku dan mengalahkan Jaka Bintara dan gurunya. Kemudian Kakangmas Lindu Aji mengantarkan aku pulang dan pada keesokan harinya dia mengusulkan agar aku dan bapa melarikan diri dari Sumedang dengan berkereta. Dia mengantarkan kami sampai cukup jauh dan aman keluar dari Sumedang dan menitipkan surat untuk Paman Subali."
"Ya, demikianlah keadaan kami, Saudara Subali. Kami menaati petunjuk Anakmas Aji karena kami memang tidak mempunyai keluarga di sini, akan tetapi kamipun merasa sungkan dan tidak enak sekali kalau harus mengganggu andika sekeluarga."
"Bapa, aku ingin agar Neneng Salmah tinggal bersama kita di sini. Aki ingin mempelajari tarian dan nyanyian darinya."
Tiba-tiba Eulis berkata kepada ayahnya. ia merangkul pundak Neneng Salmah.
"Dan akupun ingin sekali belajar aji kanuragan dari Eulis, Bapa."
Kata Neneng Salmah kepada ayahnya.
Ki Subali tertawa dan menoleh kepada isterinya.
"Bune, bagaimana pendapatmu?"
Nyi Subali adalah seorang wanita yang berwatak lembut dan mendengar peristiwa yang menimpa diri Neneng Salmah, ia sudah menaruh hati iba sekali. Apa lagi melihat waranggana, yang cantik manis itu begitu akrab dengan puterinya.
"Aku sih tidak keberatan menampung mereka, kalau saja Neneng Salmah dan ayahnya sudi tinggal di rumah kita yang buruk ini."
"Nah, kalian mendengar sendiri, Adi Salmun. sebaiknya aku memanggilmu adi saja karena bagaimanapun juga aku tentu lebih tua daripada andika. Anak kami Eulis sudah setuju, ibunya juga sudah setuju dan aku akan senang sekali kalau andika berdua tinggal di sini. Kebetulan sekali aku sendiri senang akan kesenian. Dengan keahlianmu menguasai semua permainan gamelan, dan puterimu yang ahli tembang dan tari, kita dapat membentuk sebuah kelompok seni kerawitan di Dermayu ini."
"Ah, terima kasih banyak, Kakang Subali. Terima kasih, Mbakyu!"
Ki Salmun memberi hormat dengan sembah yang dibalas oleh suami isteri itu. Sedangkan Eulis menjadi girang sekali dan ia saling berpelukan dengan Neneng Salmah.
Mereka semua lalu mengatur tempat untuk Neneng Salmah dan ayahnya. Neneng Salmah tentu saja tinggal sekamar dengan Eulis, dan hanya perlu disediakan sebuah kamar sederhana saja untuk ayahnya, Kisalmun lalu memberitahu kusir kereta bahwa mereka sudah tiba ditempat yang dituju dan kusir kereta boleh kembali ke Sumedang.
Demikianlah, mulai hari itu, Neneng Salmah dan ayahnya tinggal di rumah Ki Subali dan mereka berdua merasa bahagia sekali karena mereka diterima dan diperlakukan sebagai keluarga sendiri. Merekapun tahu diri, tidak mau tinggal menganggur melainkan membantu segala pekerjaan yang dilakukan keluarga tuan rumah. Karena kedua pihak dapat membawa diri, maka pergaulan mereka semakin akrab, terutama sekali Eulis dan Neneng Salmah. Demikian akrabnya pergaulan antara Eulis dan Neneng Salmah, sehingga dalam waktu singkat saja mereka sudah menceritakan keadaan diri dan hati masing-masing, membuka rahasia hati yang tidak diceritakan kepada orang lain.
Keduanya adalah anak tunggal, maka mereka merasa seperti menemukan seorang saudara.
Eulis bercerita tentang dirinya, tentang keadaannya yang kehilangan ingatan sehingga sampai kini belum juga ingat akan ayah ibunya sendiri. Biarpun ia amat mencinta mereka, namun ia tetap menganggap mereka itu sebagai orang tua angkat karena ia masih belum dapat mengingat kembali masa lalunya, sudah lupa sama sekali bahwa Ki subali dan isterinya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri.
"Apakah engkau mengenal Kakangmas Lindu Aji, Eulis?"
Tanya Neneng Salmah yang tak pernah dapat melupakan pemuda itu.
"Ah, dia? Baru satu kali aku bertemu dia, itu menurut iangatanku. Akan tetapi menurut ceritanya, aku dan dia pernah melakukan perjalanan bersama dan bersama-sama pula menghadapi para penjahat, sampai aku terjatuh dari tebing yang curam. Akan tetapi semua itu sama sekali tidak kuingat lagi.
Padahal menurut penuturannya, antara kami masih ada ikatan tali persaudaraan seperguruan. Entahlah, aku sudah lupa sama sekali. Bagaimana dengan engkau, Neneng? Bagaimana hubunganmu dengan Kakangmas Lindu Aji itu?"
Wajah Neneng Salmah menjadi merah dan sejenak ia menundukkan mukanya. Mereka berdua sedang mencuci pakaian di anak sungai yang mengalir tak jauh dari rumah mereka, sekalian mandi pagi.
"Ah, bagaimana, ya? Dia adalah penyelamatku, penolong kami.....
"
"Aih, engkau tidak dapat menyembunyikan kedua pipimu yang kemerahan, senyummu yang malu-malu dan kedua matamu yang bersinar-sinar kalau kita bicara tentang dia, Neneng Hayo, mengaku sajalah!"
Eulis menggunakan tangan memercikkan air ke arah muka Neneng Salmah sambil tertawa. Neneng Salmah membalas dan memercikkan air ke arah muka Eulis.
Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo