Alap Alap Laut Kidul 26
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 26
Tanya Karel.
"Tidak apa-apa, aku hanya mengecek saja atas perintah Tuan Kapten."
Hasanudin lalu pergi dari situ. Jantungnya berdebar tegang. Karen telah berbohong! Orang yang dikatakan penolongnya itu telah menyelundup memasuki benteng dengan bantuan Karen. Dia harus menyelidiki! Bukan mustahil bahwa orang itu adalah telik sandi Mataram yang menyusup masuk ke dalam benteng! Akan tetapi mau apa dia? Apa yang dapat dilakukan seorang saja dalam benteng yang dihuni ribuan serdadu itu? Tiba-tiba dia teringat. Gudang mesiu atau gudang ransum! Agaknya ke sanalah orang itu pergi. Setelah berpikir demikian Hasanudin lalu menyelinap di antara pohon-pohon menuju ke bangunan gudang mesiu yang berada di belakang, sebelah barat dalam benteng.
Dia menghampiri gedung mesiu. Dua orang serdadu yang berjaga di depan gedung itu masih duduk berjaga di situ. Berarti keadaan aman di situ. Dia lalu pergi ke bagian belakang gedung itu di mana berdiri tiga buah gudang ransum yang besar, berjajar dan sambung menyambung. Di depan pintu besar tiga buah gudang yang menjadi satu itu biasanya terdapat dua orang serdadu penjaga. Akan tetapi, di bawah sinar lampu yang tergantung di atas pintu besar itu, kini tidak tampak adanya penjaga seorangpun. Hasanudin menjadi curiga karena hal ini aneh sekali.
Dia melompat ke depan pintu dan melihat dua batang senapan menggeletak di situ, akan tetapi dua orang serdadunya tidak ada. Dia lalu mencari ke belakang dan setelah tiba di pinggir gudang, dia melihat dua orang serdadu itu telah menggeletak di bawah pohon yang gelap. Dia terkejut sekali dan pada saat itu ada angin menyambar dari samping. Aji telah berhasil merobohkan dua orang penjaga gudang dan menyeret tubuh mereka ke samping gudang. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan seorang laki-laki di depan gudang, bahkan laki-laki itu mencari ke samping gudang dan menemukan tubuh dua orang penjaga. Melihat ini, Aji terkejut dan kebetulan sekali laki-laki itu berdiri di bawah lampu yang tergantung di samping gedung.
Dia makin kaget mengenal wajah laki-laki itu, Hasanudin! Udin kakak tirinya, orang yang dicari-carinya, yang telah membantu Banuseta ketika jahanam itu menyerbu tempat tinggal Ki Tejo Langit di pantai Dermayu! Dia tahu bahwa Hasanudin ini membenci ayah kandungnya, ayah kandung mereka dan kalau dia hanya membujuk dan mengingatkannya begitu saja, tidak mungkin kakak tirinya itu mau mendengarnya. Bahkan kalau Hasanudin tahu bahwa dia putera Harun Hambali, mungkin dia akan dimusuhinya pula. Karena itu, jalan satu-satunya hanyalah merobohkannya lebih dulu, baru membujuknya. Setelah berpikir demikian, Aji lalu menyerang dengan cepat.
Akan tetapi, Hasanudin bukan seorang yang lemah. Dia adalah murid Aki Somad yang kemudian memperdalam ilmunya kepada Ki Tejo Langit. Begitu ada angin pukulan dahsyat menyambar dari samping, Udin atau Hasanudin melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan tamparan Aji itupun luput. Udin cepat melompat berdiri dan begitu melihat Aji, walaupun muka pemuda itu berlumpur, dia masih ingat bahwa pemuda itu adalah orang yang dulu pernah bertempur dengannya di tempat tinggal Ki Tejo Langit, seorang yang amat tangguh.
"Hemm, kiranya engkau, telik sandi Mataram!"
Bentaknya dan diapun balas menyerang dengan hebat karena dia sudah menggunakan Aji Margopati, pukulan yang mematikan. Aji tidak mau membuang waktu lagi, maklum bahwa kakak tirinya ini juga bekas murid Ki Tejo Langit, segera memainkan ilmu silat Wabara Sakti untuk mengelak dan secepat kilat dia sudah menggunakan jari-jari tangan yang dipenuhi tenaga Surya Candra, menotok ke arah iga kanan lawannya.
"Tukk!"
Iga kanan itu terkena totokan dan seketika tubuh Udin menjadi lemas. Aji cepat menubruk dan menelikung kedua tangan kakak tirinya ke belakang sehingga Udin tidak mampu bergerak lagi!
"Hemm, aku sudah kalah, kalau hendak bunuh, lakukanlah. Aku tidak takut mati!"
bentaknya, diam-diam merasa penasaran dan malu sekali bahwa dalam segebrakan saja dia telah dibuat tak berdaya oleh lawannya.
"Aku tidak akan membunuhmu, Kakang Hasanudin karena engkau adalah kakakku. ketahuilah bahwa aku adalah putera kandung ayah kita, Harun Hambali!"
"Bohong! Harun Hambali hanya mempunyai anak seorang saja, yaitu aku! Dan dia seorang pengecut jahat, aku akan membunuhnya!"
"Sabar dan tenanglah, Kakang Udin. Dan dengarkan ceritaku baik-baik. Bapa Harun telah melarikan diri ke Mataram dan di sana dia menikah lagi dengan ibuku, dan lahirlah aku. Namaku Lindu Aji dan ayah kita telah tewas terbunuh oleh orang jahat."
"Hemm, dia sendiri juga jahat, tidak bertanggung jawab, meninggalkan aku begitu saja. Pantas kalau dia terbunuh orang pula!"
"Nanti dulu, kakang. Tahukah engkau mengapa ayah kita meninggalkanmu ketika engkau masih kecil dan menitipkanmu kepada Paman Ujang Karim?"
"Karena dia membunuh seorang menak dan pengecut itu melarikan diri ketakutan, tidak memperdulikan lagi padaku."
"Dan tahukah engkau mengapa ayah kita itu membunuh menak yang bernama Anom Bahrudin itu?"
"Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu!"
"Kakang Udin, engkau pasti tidak tahu mengapa ibu kandungmu meninggal dunia?"
"Apa..... ?"
Udin menengok untuk memandang wajah Aji, matanya terbelalak.
"Aku..... aku tidak tahu. Kata paman Ujang, ibu meninggal karena sakit.....
"
"Paman Ujang Karim bohong karena dia ketakutan. Ibumu meninggal dunia karena gantung diri setelah ia diculik dan diperkosa oleh seorang menak, Yaitu Aom Bahrudin! Karena itulah, Bapa harun hambali membunuh Aom Bahrudin itu. Karena dia khawatir akan keselamatanmu maka dia menitipkan engkau kepada Paman Ujang Karim dan dia sendiri lalu melarikan diri ke daerah Mataram."
Mata itu terbelalak dan muka itu menjadi merah.
"Be...... benarkah itu..... ?"
Aji melepaskan ringkusannya dan memulihkan kembali tenaga Hasanudin sehingga orang itu mampu bangkit berdiri.
Mereka berdiri berhadapan.
"Lindu Aji, benarkah apa yang kau ceritakan itu?"
"Mengapa aku harus berbohong? Mendiang bapa sendiri yang menceritakannya."
"Mendiang..... ? Kau..... kau maksudkan..... ayah kita telah meninggal?"
"Telah dibunuh orang. Bapa Harun Hambali dan juga Paman Ujang Karim telah dibunuh orang dan tahukah engkau siapa yang membunuh meraka? Bukan lain adalah Raden Banuseta itu. Dia adalah putera Aom Bahrudin yang membalas kematian ayahnya dan mencari ayah kita sampai ke Mataram kemudian membunuh ayah, juga membunuh Paman Ujang Karim yang kebetulan berada di sana."
"Jahanam busuk!"
Hasanudin mengepal tinjunya dan memaki.
"Dan engkau telah dapat dibujuknya untuk membantu kumpeni Belanda, kakang. Ah, kakang, tidak dapatkah engkau melihat betapa jahat dan hinanya orang yang mengabdi kepada bangsa Belanda untuk memusuhi bangsa sendiri? Dan Banuseta itu telah pula membunuh Paman Sudrajat, juga membunuh Eyang Tejo Langit gurumu sendiri! Dan engkau telah dipergunakannya untuk membantu dia mengabdi kepada Belanda. Sadarlah, kakang. Mendiang bapa kita adalah seorang ksatria, sedangkan Banuseta itu adalah seorang pengkhianat bangsa, seorang putera bangsawan jahat yang memperkosa ibu kandungmu sendiri!"
"Keparat busuk banuseta, mati engkau ditanganku!"
Hasanudin membentak dan sekali melompat diapun lenyap dalam kegelapan malam.
Setelah mendengar cerita Aji bahwa ibu kandungnya mati membunuh diri setelah diculik dan diperkosa Aom Bhrudin dan ayah kandungnya dibunuh Banuseta putera Aom Bahrudin, Hasanudin marah bukan main. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Banuseta yang disangkanya seorang sahabat baik itu ternyata musuh besarnya. Apa lagi kalau dia ingat betapa Banuseta juga sudah membunuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, kemarahannya memuncak. Bagaikan seorang yang telah dimasuki iblis, dia lari, tidak memperdulikan apa saja untuk mencari Banuseta. Kebetulan sekali Banuseta juga sudah kembali dan sedang menghadap Kapten Van De Vos di ruangan tamu. Banuseta mendapat kabar bahwa Karen terlihat muncul di kota bersama seorang laki-laki, maka dia segera kembali untuk melapor atasannya.
"Betulkah laporanmu ini, Banuseta?"
Tanya Kapten van De Vos marah.
"Benar, tuan. Sudah beberapa orang mengatakan bahwa mereka melihat Nona Karen memasuki kota bersama seorang laki-laki pribumi dan mereka berdua memasuki benteng melalui pintu gerbang.....
"
Pada saat itu Hasanudin melompat masuk ke dalam ruangan tamu itu dan segera menghampiri Banuseta. Sikapnya menyeramkan, wajahnya beringas dan tidak memperdulikan sopan santun sehingga mengejutkan dan mengherankan hati sang kapten dan Banuseta.
"Banuseta, benarkah engkau telah membunuh seorang bernama Harun Hambali?"
Hasanudin bertanya dan berdiri di depan Banuseta. bangsawan muda itu merasa heran, akan tetapi dia bangkit berdiri juga dan menjawab.
"Memang benar, Udin karena jahanam itu telah membunuh ayahku. Aku hanya membalas dendam
kematian ayahku."
"Hemm, apakah ayahmu bernama Aom bahrudin?"
"Benar."
"Engkau tahu mengapa Harun Hambali membunuh Aom Bahrudin?"
"Aku tidak tahu, mungkin Harun itu orang jahat."
"ketahuilah, Aom Bahrudin itu telah menculik dan memperkosa isteri Harun Hambali sehingga wanita itu membunuh diri!"
"Ah, aku tidak tahu dan aku tidak percaya."
"Dan tahukah engkau siapa aku? Wanita yang diperkosa ayahmu dan mati membunuh diri itu adalah ibu kandungku dan Harun Hambali adalah ayah kandungku! karena itu, engkau harus mati di tanganku, Banuseta!"
Hasanudin menampar dengan keras sekali. Banuseta yang terkejut cepat menggerakkan tangan menangkis.
"Wuuuttt..... dukkk !!"
Dua lengan bertemu dan akbatnya, tubuh Banuseta terdorong ke belakang, menabrak kursi sehingga dia roboh. Akan tetapi, sebagai ketua cabang perguruan silat Dadali Sakti, dia sudah melompat lagi dan mencabut goloknya yang bergagang emas. Ketika Hasanudin menyerang lagi, dia menyambut dengan babatan goloknya. Hasanudin mengelak dan keduanya lalu berkelahi dengan seru dalam ruangan tamu itu. Kapten Van De Vos mencabut pistolnya dan berseru nyaring.
"God verdomme! Hentikan perkelahian itu!"
Dan menodongkan pistolnya. Akan tetapi Hasanudin tidak memperdulikan teriakan ini, bahkan memperhebat serangannya dan gerakan kedua orang yang berkelahi itu sedemikian cepatnya, berputar-putar sehingga sulitlah bagi Kapten Van De Vos untuk menentukan sasarannya. Tentu saja dalam hatinya dia membela Raden Banuseta yang telah lama menjadi kaki tangannya, sedangkan Hasanudin adalah orang baru. Akan tetapi sukarlah untuk membidikkan pistolnya ke arah tubuh Hasanudin yang bergerak cepat itu. Jangan-jangan malah salah sasaran!
Hasanudin bernafsu sekali untuk membunuh musuh besarnya itu. dia sadar betul bahwa dirinya telah terseret ke dalam tindakan yang sesat tanpa diketahui bahwa "sahabat baik"
Itu justeru musuh besarnya. Dan sesungguhnya Raden Banuseta juga sama sekali tidak tahu bahwa Udin adalah putera kandung Harun, musuh besarnya, Kalau dia mengetahui, tentu dia sudah turun tangan lebih dulu untuk membunuh putera musuhnya itu.
"Aji Tapak Geni! Aarrgghhhh.....!!"
Hasanudin mengeluarkan aji yang dipelajarinya dari Aki Somad itu.
Kedua tangannya yang digosok-gosokkan itu ditiup menyala dan ketika dipukulkan ke depan, ada api menyambar ke arah Banuseta. Orang ini terkejut sekali dan mencoba menghindar, namun terlambat. Pukulan berapi itu mengenai dadanya dan diapun terjengkang roboh. Hasanudin, bagaikan seekor harimau, menerkam dan mencengkeram dan mencekik lehernya. Banuseta mengeluarkan suara mengerikan dan matanya melotot, lidahnya keluar dan batang lehernya patah!
Pada saat itu terdengan teriakan-teriakan dari luar gedung.
"Kebakaran! Kebakaran!!"
dan terdengar banyak orang berlari-larian.
Kapten Van De Vos kini medapat kesempatan. Pistol yang berisi peluru emas itu menyalak tiga kali.
"Dar-dar-darrrr.....!"
Dan tubuh Hasanudin terpelanting. Akan tetapi dia sempat menyambar golok yang terlepas dari tangan Banuseta yang telah tewas dan dalam keadaan terluka parah oleh tiga peluru emas itu, Hasanudin masih mampu mengerahkan tenaga terakhir, melontarkan golok itu ke arah Kapten Van De Vos.
"Singggg..... capppp.....!"
Van De Vos mengeluh ketika golok itu menancap diperut dan menembus di punggungnya. Dia masih dapat melepaskan dua kali tembakan yang ngawur sebelum jatuh terjerembab di atas lantai, tewas mandi darahnya sendiri.
Sementara itu, begitu terdengar teriakan kebakaran, Karen Van De Vos dapat menduga bahwa kebakaran itu tentu dilakukan oleh Aji. Maka iapun cepat berlari melalui pintu belakang sambil membawa segulung pakaian. Ia tidak tahu apa yang terjadi di ruangan tamu. Ia hanya ingat akan keselamatan Aji. Ia harus menolongnya karena kalau tidak, tidak mungkin Aji dapat menyelamatkan diri.
Dugaan Karen memang tepat. Yang membuat kebakaran itu adalah Aji. Setelah dia berhasil menyadarkan kakak tirinya, Aji yang sudah merobohkan dua orang penjaga gudang ransum, lalu dia menggunakan tenaga saktinya untuk mematahkan gembok yang berada di pintu gudang. Dia membuka pintu dorong gudang itu dan mengambil dua buah lampu minyak gantung. Dilemparkannya dua buah lampu gantung itu dan gudang ransum itupun terbakar.
Akan tetapi dia mendengar suara tembakan beruntun tiga kali, lalu dua kali lagi. Tembakan itu membuat dia maklum bahwa sebentar lagi tentu banyak serdadu datang ke tempat itu, apalagi sudah terdengar teriakan ada kebakaran. Dia menjadi agak bingung juga, tidak tahu ke mana harus melarikan diri. Dia menyelinap menjauhi gudang yang terbakar, bersembunyi di tempat gelap.
"Sssttt..... Aji.....!"
Tiba-tiba terdengar bisikan.
"Karen.....!"
Aji berbisik kembali, segera mengenal suara itu dengan gembira karena dia merasa yakin bahwa kemunculan gadis itu pasti membawa kebaikan bagi dirinya.
"Sttt..... Aji kau dalam bahaya. cepat pakai ini, hayo cepat!"
Karen muncul dan masuk ke dalam bayangan gelap di mana Aji bersembunyi. Gadis itu dengan cekatan membantu Aji memakai gaun besar di luar pakaiannya, juga mengenakan syaal (kain penutup pundak dan leher) lebar dan menutupi kepala Aji dengan kain putih yang diikatkan di bawah dagu. Jadilah Aji seperti seorang nenek tua yang biasa memakai gaun!
"Hayo cepat, ikut aku!"
Bisik Karen dan ia mengait lengan Aji dan dibawanya berlari menuju ke bagian gelap benteng itu. Mereka melihat para serdadu berlarian sibuk memadamkan api. Setelah tiba di pintu gerbang benteng, lima orang serdadu memberi hormat kepada Karen dan tidak memperdulikan "nenek"
Itu. Dengan leluasa Karen menyeret Aji keluar benteng. di tempat gelap Karen berbisik.
"Cepat pergi keluar kota. Cepat, Aji.....!"
Kini Aji merasa begitu gembira dan berterima kasih kepada gadis itu sehingga kini dia yang merangkul dan mencium bibir Karen untuk menyatakan terima kasihnya.
"Cepat..... selamat jalan, Aji..... Semoga Tuhan melindungimu, Aji.....!"
Karen mendorong tubuh Aji dan pemuda itu melompat dan berlari di antara banyak orang yang berdesakan ingin menonton kebakaran dalam benteng.
Dengan mempergunakan kesempatan selagi penduduk Batavia atau Jayakarta dalam keadaan panik, Aji berhasil lolos dari kota itu.
Seperti biasa, pada pagi hari itu, Eulis (Sulastri) dan Neneng Salmah berada di tepi anak sungai untuk mandi dan mencuci pakaian. Akan tetapi, mereka tidak segera mencuci pakaian, melainkan bercakap-cakap sambil duduk di atas batu.
"Eulis, sudah hampir setengah tahun aku berada di sini dan aku merasa amat berbahagia dapat hidup bersama ayahku dengan engkau dan Paman Subali dan bibi yang begitu baik sekali kepada kami. Ah, sungguh aku merasa beruntung mendapatkan seorang saudara seperti engkau, Eulis."
"Aeh, sudah berapa ratus kali engkau mengatakan hal itu, hampir setiap hari. Akulah yang seharusnya berterima kasih karena kehadiranmu mengurangi banayak sekali kesedihanku yang telah kehilangan ingatan. Bahkan aku dapat belajar menari dan bertembang darimu."
"Suaramu juga indah dan merdu sekali, Eulis."
"Dan engkaupun ternyata memiliki bakat bermain pencak silat."
"Akan tetapi katamu aku bermain pencak dengan gerakan terlalu indah seperti orang menari."
Kata Neneng.
"Dan akupun kalau menari seperti orang bersilat, seperti pria!"
Kata Eulis.
"Sudahlah, mari sebelum kita mandi, coba engkau berlatih tari terbaru yang kuajarkan kepadamu."
"Tari Srimpi? Wah, sukar benar gerakannya."
"Tidak sukar, hanya engkau kurang sabar, Eulis. cobalah."
Desak Neneng Salmah.
"Boleh, aku akan berlatih berjoget dan bertembang, akan tetapi sesudah itu engkau harus berlatih silat dengan Aji Sonya Hasta seperti yang kuajarkan."
"Baik, nah, mulailah!"
Eulis lalu bertembang. tembang Kinanti dan suaranya memang benar merdu dan lantang. Kedua orang dara jelita ini sama sekali tidak tahu bahwa tak jauh dari situ, bersembunyi di balik batu besar, dua pasang mata manusia sejak tadi mengintai dan dua pasang telinga mendengarkan. Dua orang manusia itu memang telah berada di situ sebelum Eulis dan Neneng Salmah datang, maka Eulis yang peka itupun tidak tahu akan keadaan mereka. Ketika disebutnya Aji Sonya Hasta, seorang dari mereka, seorang laki-laki terbelalak heran dan semakin memperhatikan.
Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya sedang dan wajahnya tampan dan berwibawa. Matanya lembuat namun bersinar tajam dan hidungnya mancung, wajahnya cerah karena mulutnya selalu tersenyum. Kumis tipis membuat dia tampak gagah. Adapun orang kedua adalah seorang wanita berusia kurang lebih dua puluh delapan tahun, cantik jelita dan wajahnya lembut.
Wajahnya bulat dengan dagu meruncing. Sepasang alisnya hitam dan sepasang matanya berbinar-binar seperti bintang kejora, bulu matanya lentik, hidung kecil mancung dan mulutnya menggairahkan. Sungguh merupakan sepasang manusia yang serasi, yang pria tampan gagah dan yang wanita cantik anggun.
Setelah selesai bertembang, Eulis lalu mulai menari. Memang indah tariannya, namun gerakannya kurang luwes bagi taru srimpi, karena gerakannya mengandung kegagahan.
"Sekarang ganti engkau coba berlatih Aji Sonya Hasta!"
Kata Eulis setelah rampung berjoget.
Neneng Salmah juga tidak malu-malu lagi. Ia mulai bersilat dengan Aji Sonya Hasta yang diajarkan Eulis. Gerakannya indah dan luwes, sungguh seperti orang menari, namun gadis ini telah dapat memperoleh inti aji itu, yang tampaknya kosong namun berisi kekuatan yang dahsyat. Kosong namun berisi, yang berisi penuh malah kosong, itulah inti dari gerakan silat Sonya Hasta itu. Pria yang mengintai menjadi semakin heran.
Setelah Neneng Salmah selesai berlatih, Eulis merangkulnya.
"Bagus! Hebat, sekarang engkau tidak perlu khawatir akan gangguan laki-laki brengsek lagi, Neneng. Biar ada tiga empat orang laki-laki kasar, kalau mengganggumu pasti akan roboh semua ditanganmu."
"Tapi mana bisa aku memukul orang, Eulis?"
"Tidak perlu memukul. jentikan jari tanganmu dan tamparan tanganmu sudah cukup membuat orang jahat terjungkal! Penyerangmu dapat mampus tanpa mengeluarkan darah!"
"Membunuh orang? Hiiihhh.....!!"
Neneng Salmah bergidik ngeri.
"Jangankan membunuh orang, membunuh seekor coro (kecoak) saja aku ngeri dan tidak tega!"
Pria dan wanita yang mengintai itu saling pandang dan tersenyum geli. Mendengar percakapan antara dua orang gadis jelita itu, mendengar Eulis bertembang, dan melihat Neneng Salmah bermain pencak silat, meraka merasa kagum akan tetapi juga geli. Sikap dan kata-kata kedua orang gadis itu lucu dan juga menyenangkan. Dari ucapan mereka berdua, dua orang pengintai itu maklum bahwa dua orang gadis itu adalah orang-orang yang berwatak periang dan baik.
"Tentu saja! Coro itu binatang yang tidak ada dosanya, akan tetapi banyak manusia di dunia ini yang amat keji dan jauh lebih jahat dibandingkan coro atau binatang apapun juga!"
Kata Eulis.
Neneng Salmah menghela napas panjang.
"Engkau benar, Eulis. Kalau aku teringat akan pengalamanku yang lalu, sebagian besar laki-laki yang ikut berjoget itu tidak sopan, pandang mata, senyuman dan kata-kata mereka kurang ajar. apa lagi kalau ingat pangeran dari Banten itu, iihh, dia jahat sekali melebihi seekor harimau yang buas!"
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Eulis tertawa.
"Heh-heh, apa kaukira harimau itu buas?"
"Tentu saja. Harimau merobek-robek tubuh korbannya dengan kejam dan makan dagingnya, minum darahnya!"
Kata Neneng Salmah.
"Habis, bagaimana? Apa engkau menyuruh harimau itu makan rumput dan daun-daunan? Atau menyuruh harimau itu menyembelih dulu korbannya lalu memasaknya dan makan masakan daging korbannya seperti kita? Sudah kodratnya begitu, harimau tidak doyan sayur, tidak pandai memasak daging, maka tentu saja dia makan binatang yang lebih lemah. Kalau tidak, dia akan mati kelaparan. Sama sekali dia tidak dapat dikatakan buas!"
Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Eulis teringat dan melamun. Dari mana ia mengerti semua itu? Siapa yang mengajarnya? Ia dapat merasakan betul bahwa ia pernah mendengar ada orang yang mengajarkan semua itu kepadanya, pengertian tentang kasunyatan dalam kehidupan ini. Akan tetapi ia tidak ingat lagi siapa yang mengajarinya! Tiba-tiba tanpa disengaja Eulis menoleh ke arah batu di balik mana dua orang itu mengintai. Hanya sekelebatan saja bayangan itu tampak, namun cukup bagi Eulis untuk bereru nyaring.
"Heii! Siapa mengintai di sana? Hayo keluar!"
Dua orang yang sejak tadi mengintai itu keluar dari balik batu-batu. Pria tampan yang wajahnya lembut dan cerah itu adalah seorang gagah perkasa yang berjasa besar membantu Mataram ketika terjadi perang antara Mataram dan Madura.
Dia juga ikut dalam pertempuran ketika pasukan Mataram menundukkan Surabaya dan Giri. Akan tetapi dia tidak mau menerimanya ketika hendak dianugerahi pangkat senopati oleh Sultan Agung. Dia hanya memilih sebidang tanah di Pasuruhan dan tinggal di sana seperti rakyat biasa. Nama pria itu adalah Parmadi. Adapun wanita itu adalah istrinya bernama Muryani, juga seorang wanita yang sakti mandraguna. Ketika Parmadi membantu Mataram, sepak terjangnya yang gagah dan kesaktiannya yang kadang dibantu sebuah seruling yang dapat dipergunakan sebagai alat senjata ampuh, maka diapun mendapat julukan "Seruling Gading".
Mendengar seruan Eulis yang agaknya telah mengetahui akan tempat mereka mengintai, suami isteri ini keluar dan makin yakinlah mereka bahwa Eulis tentu seorang gadis yang sakti mandraguna sehingga dapat mengetahui bahwa mereka mengintai di balik batu-batu itu. Mereka lalu menghampiri dua orang gadis itu yang sudah bangkit berdiri memandang kepada mereka dengan alis berkerut.
(Lanjut ke Jilid 29)
Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 29
Parmadi dengan tersenyum merangkap kedua tangan memberi salam penghormatan lalu berkata.
"maafkanlah kami, adik-adik yang manis. sesungguhnya kami berdua tidak berniat mengintai. Kami telah lama berada di sini sebelum andika berdua tiba. ketika melihat andika berua bertembang, menari lalu bermain pencak silat, kami merasa tertarik sekali sehingga kami berdiam diri untuk menyaksikan. Saya bernama Parmadi dan ini isteriku, Muryani."
Wanita cantik itupun berkata, menyambung ucapan Parmadi.
"Suamiku berkata benar, adik-adik yang baik. Kami tidak bermaksud buruk, hanya teramat heran dan tertarik melihat adik ini tadi bermain silat yang katanya belajar darimu."
Eulis mengerutkan alisnya.
"Apapun alasannya, perbuatan kalian berdua mengintai kami patut dicurigai! Hayo katakan apa maumu?"
Pada dasarnya Eulis memang memiliki watak keras. Apalagi telah beberapa kali ia bertemu dengan orang-orang yang jahat, seperti Mahesa Sura, Kolo Srenggi dan kelima Mahesa yang menjadi murid mereka, yang telah dibasminya bersama Jatmika dan Lindu Aji. Tentu saja ia merasa curiga.
Parmadi bertukar pandang dengan isterinya dan dia memberi isyarat dengan kedipan matanya, lalu dia menghadapi Eulis yang tampak galak menantang, sedangkan Neneng Salmah hanya menonton saja dengan hati tegang.
"Kalau andika curiga kepada kami, akupun curiga kepadamu. dari mana engkau mempelajari Aji Sonya Hasta?"
Ditanya demikian, Eulis menjadi marah. Ia sendiri memang tidak ingat lagi dari siapa ia mempelajari ilmu itu, walaupun ia masih ingat akan nama dan cara menggunakannya.
Menurut keterangan Ki Subali yang kini menjadi ayahnya walaupun ia masih belum ingat benar bahwa dia adalah ayah kandungnya, gurunya adalah Ki Ageng Pasisiran yang kini sudah meninggal.Akan tetapi ia tidak perduli lagi dan menganggap pertanyaan Parmadi itu lancing dan hendak mencampuri urusan pribadinya.
"Perduli apa engkau dengan itu? Bukan urusanmu!"
Bentaknya.
Muryani mengerutkan alisnya. Ia sendiri di waktu mudanya juga lincah dan keras, akan tetapi setelah menjadi isteri Parmadi selama beberapa tahun, perangainya sudah berubah lembut.
"Adik yang baik, kami hanya ingin mengetahui, siapakah guru andika? Ketahuilah bahwa suamiku ini juga menguasai Aji Sonya Hasta."
"Hemm, kalau begitu tentu dia yang telah mencuri aji itu! lebih baik kalian yang mengaku dari mana mendapatkan aji iu! Siapa gurumu?"
Eulis bertanya.
Parmadi tersenyum. Mungkin kalau dia memberi tahu siapa gurunya, gadis itu akan mengenalnya dan tidak bersikap begitu keras padanya.
"Guruku adalah Eyang Ki Tejo Wening."
Eulis mengerutkan alisnya.
"Aku tidak mengenal nama itu! Tentu gurumu itu yang menjiplak atau mencuri ilmuku!"
"Hemm, kalau begitu ingin aku melihat apakah Aji sonya Hasta yang kaumiliki itu tulen ataukah palsu!"
Kata Parmadi yang telah memberi isyarat kepada isterinya. Dia ingin menguji gadis galak ini karena kini dia curiga bahwa gadis ini entah bagaimana caranya telah mempelajari aji kesaktian itu dari orang yang mencurinya.
"Nah, tampak sekarang belangnya!"
Bentak Eulis.
"Engkau pasti berniat buruk. Mari kita sama lihat, siapa yang mencuri dan mempunyai aji yang palsu!"
"Eulis, jangan berkelahi!"
Bujuk Neneng Salmah.
"Mundurlah, Neneng. Biar aku menghajar orang kurang ajar ini."
Kata Eulis sambil mendorong mundur Neneng Salmah yang terpaksa mundur dan menonton dengan hati gelisah. Muryani juga mundur sambil tersenyum. Ia maklum bahwa suaminya hanya ingin melihat apakah gadis bernama Eulis itu benar-benar menguasai Aji Sonya Hasta yang aseli. Maka ia menonton dengan tenang saja.
Eulis lalu membuat gerakan pembukaan. Kedua tangannya melakukan sembah di atas kepalanya, kemudian kedua lutut ditekuk dan kedua tangan diturunkan dan menjadi sembah di depan dada, kemudian kedua lengan dikembangkan ke kanan kiri, terbuka dengan kedua telapak tangan menghadap ke depan. Pembukaan itu benar-benar menandakan kekosongan, bahkan keadaan dirinya tebuka sama sekali.
"Mulailah!"
Bentak Eulis, matanya mencorong dan biarpun pembukaan itu tampak lemah sekali dan mudah dimasuki serangan lawan, namun sesungguhnya semua urat syarafnya sudah siap siaga dan menjadi peka sekali. Parmadi tertegun. gerakan pembukaan itu nyaris sempurna! Diapun membuat gerakan yang sama sehingga diam-diam Eulis juga kaget, akan tetapi ia bersikap tida acuh.
"Andika yang mulai, adik manis."
Kata Parmadi ramah. Eulis menganggap sebutan itu seperti ejekan yang kurang ajar, maka iapun tidak sungkan lagi.
"Sambut ini.....!"
Tangannya dari samping bergerak, kedua tangan membuat gerak yang arahnya berlawanan dan tampaknya sebagai tamparan lembut hampir mengusap atau mengelus, Namun di dalamnya tekandung hawa yang amat kuat sehingga terdengar bunyi bersiut.
"Bagus!"
Parmadi memuji karena memang gerakan gadis itu ketika menyerang tepat dan benar, Diapun lalu mengelak dan balas menyerang. Namun Eulis dapat menangkis tamparan itu dari samping lalu cepat membalas. Dua orang itu sudah bertanding seru, serang menyerang dan karena mereka memainkan ilmu silat yang sama, maka tampaknya seperti dua orang yang sedang latihan saja.
Melihat ini, Muryani juga merasa heran dan ia tidak ragu lagi bahwa antara suaminya dan gadis itu pasti ada hubungan persaudaraan seperguruan. Juga karena kdua orang itu melakukan gerakan yang sama, Neneng Salmah juga menduga demikian. Bagaimanapun juga, ia sendiri sudah mempelajari ilmu silat itu, maka ia berseru kepada Eulis.
"Eulis, hentikanlah! Dia benar, gerakanmu sama benar dengan gerakannya!"
Akan tetapi dasar Eulis seorang gadis yang keras hati, ia masih belum mau mengalah. Ia melompat ke belakang, lalu menggosok kedua telapak tangannya dan mendorongkan kedua tangannya itu ke arah Parmadi sambil mengerahkan tenaga saktinya. Parmadi terbelalak dan cepat menghindarkan diri dengan melempar tubuh ke kiri sehingga serangan itu luput.
Angin pukulan yang amat dahsyat menyambar lewat samping tubuh Parmadi.
"Itu Aji Margopati.....!"
Seru Parmadi.
Eulis menjadi penasaran karena serangannya dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya. Maka iapun mengerahkan tenaga sakti lebih besar lagi lalu kembali ia menyerang dengan aji pukulan Margopati yang amat dahsyat itu. Parmadi terpaksa memperlihatkan kesaktiannya. Kedua tangannya didorong kedepan menyambut pukulan dahsyat itu, namun dia membatasi tenaganya karena tidak ingin melukai gadis yang pandai mempergunakan Aji Sonya Hasta dan Aji Margopati itu.
"Wuuuttt..... wessss!"
Eulis terkejut bukan main karena tenaga pukulannya itu seolah bertemu dengan air.
Tenaganya seperti tenggelam dan kehilangan daya serangnya. Ia seorang gadis yang keras hati namun cerdik. Ia kini mengetahui benar bahwa ia berhadapan dengan seorang yang sakti mandraguna, yang jauh melampaui tingkat kepandaiannya sendiri, akan tetapi orang itu sama sekali tidak mempunyai niat jahat sehingga tidak mempergunakan kesaktiannya untuk mencelakai dirinya. Hal ini terasa sekali dalam tangkisan orang itu yang sama sekali tidak melawan, melainkan membuat tenaga aji pukulan Margopati seperti punah dan lumpuh!"
Ia melompat mundur sampai dekat Neneng Salmah dan dengan mata terbelalak ia memandang kepada Parmadi sambil berkata gagap.
"Andika..... andika sebetulnya siapakah.....?"
Parmadi dan Muryani melangkah maju menghampiri dua orang gadis itu. Parmadi tersenyum dan berkata lembut,
"Sudah kami katakan tadi bahwa kami bukanlah musuh, kami tidak mempunyai niat buruk hanya kami tertarik melihat Aji Sonya Hasta tadi. Sekarang aku melihat bahwa Aji Sonya Hasta yang andika mainkan itu benar-benar aseli sehingga aku yakin bahwa di antara kita masih terdapat tali persaudaraan seperguruan! Seperti sudah kuperkenalkan diri tadi, namaku Parmadi dan ini istriku Muryani. Kami berasal dari jauh di timur, dari kadipaten Pasuruan. Andika berdua siapakah?"
Karena Eulis tidak juga menjawab disebabkan perasaan malu atas kekerasan sikapnya dan juga kekalahan yang diam-diam harua diakuinya itu, Neneng Salmah yang menjawab.
"Maafkan sikap saudaraku tadi. Ia bernama Eulis dan saya sendiri bernama Neneng Salmah. Eulis tidak dapat menjawab pertanyaan andika karena ia telah kehilangan ingatan tentang masa lalunya, bahkan tidak ingat lagi akan ayah ibunya sendiri."
"Neneng, kenapa hal itu kauceritakan?"
Tegur Eulis.
"Eulis, mereka ini bukan musuh, melainkan orang-orang yang baik hati dan sakti mandraguna. Apa lagi melihat aji kesaktiannya yang sama dengan yang kaumiliki, aku merasa yakin bahwa dia masih ada hubungan persaudaraan seperguruan denganmu."
"Engkau benar sekali, Neneng Salmah. Suamiku tentu masih ada pertalian persaudaraan seperguruan dengan Eulis ini, dan siapa tahu kalau Gusti Allah mengijinkan, suamiku dapat menyembuhkan Eulis dari penyakitnya kehilangan ingatan itu."
Neneng Salmah terbelalak dan wajahnya berseri.
"Ah, benarkah? Kalau begitu, Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryani, kami persilakan andika berdua suka singgah di rumah kami dan bertemu ayah Eulis, yaitu Paman Subali yang akan dapat menceritakan segala tentang guru Eulis. Mari, Eulis, kita antar mereka ini singgah ke rumah."
Neneng Salmah mengajak Eulis. Akan tetapi Eulis menggeleng kepalanya.
"Engkau sajalah yang mengantar, Neneng. Aku hendak mencuci pakaian dan mandi."
Bagaimanapun juga, hati Eulis masih agak penasaran karena ia tidak mampu menandingi Parmadi. Parmadi dan Muryani saling pandang, kemudian Parmadi berkata kepada Neneng Salmah.
"Baiklah, Nimas Neneng Salmah, kami akan menemui Paman Subali. Aku kasihan kepada Nimas Eulis yang tidak salah lagi tentu masih saudara seperguruanku sendiri. Mari kita pergi."
Suami isteri itu lalu mengikuti Neneng Salmah menuju ke rumah Ki Subali yang berada tidak begitu jauh dari situ. Setelah ditinggal pergi. Eulis termenung seorang diri.
Bagaimanapun juga, jantungnya berdebar tegang. Benarkah orang yang bernama Parmadi itu mampu menyembuhkannya dan mengembalikan ingatannya tentang masa lalu yang hilang? Ia duduk melamun dan mencoba untuk mengerahkan ingatannya. Namun selalu terbentur dan berhenti. Yang diingatnya hanyalah saat ia bertemu dengan Jatmika, dari saat itu sampai sekarang. Bahkan ia tidak ingat akan masa lalunya bersama ibunya yang dianggap orang-orang yang baru dijumpainya dan dikenalnya sekarang. Ia termangu-mangu dan jantungnya berdebar tegang. Apa saja yang akan dapat diingatnya kalau ia benar dapat disembuhkan?
Ki Subali dan isterinya merasa heran melihat Neneng Salmah pulang bersama seorang pria dan seorang wanita yang tidak mereka kenal. Ki Salmun yang baru muncul dari samping rumah sambil memanggul pacul juga merasa heran dan dia menegur anaknya.
"Neneng, kenapa engkau pulang sendiri? Di mana Eulis?"
"Ia masih berada di sungai. Saya pulang mengantarkan dua orang tamu ini. Paman Subali dan Bibi, ini adalah Kakangmas Parmadi dan Mbakyu Muryani. Kakangmas Parmadi adalah saudara seperguruan Eulis dan dia bersama isterinya ingin bicara dengan paman tentang Eulis, bahkan dia akan berusaha mengobati Eulis agar pulih kembali ingatannya."
Mendengar ini, Ki Subali dan isterinya menjadi girang sekali.
"Ah, marilah anakmas berdua, silakan duduk!"
Ki Subali memersilakan kedua orang tamunya duduk di serambi.
Parmadi duduk dihadapi Ki Subali dan isterinya. Ki Salmun yang mendengar bahwa kedua orang itu adalah tamu Ki Subali, dengan sikap sopan mengangguk lalu melanjutkan perjalanannya ke ladang untuk bekerja seperti biasa. Di sana, Ki Subali memiliki sebidang tanah ladang di mana dipekerjakan beberapa orang buruh tani. Biasanya Ki Subali dan Ki Salmun juga membantu setiap kali mereka tidak mempunyai kesibukan lain. Neneng Salmah duduk di atas bangku di sudut serambi, ingin mendengarkan apa yang dibicarakan para tamu itu. Ia ingin sekali melihat Eulis disembuhkan dari penyakit "lupa"
Itu.
"Benarkah Anakmas Parmadi masih sudara seperguruan anak kami Eulis?"
Tanya Ki Subali sambil memandang wajah Parmadi dengan kagum. Sekali pandang saja Ki Subali dapat menilai bahwa pria di depannya ini adalah seorang yang "berisi"
Dan berwatak baik.
"Saya menilai demikian karena aji kesaktiannya sama benar dengan yang pernah saya pelajari, paman. Saya ingin mengetahui, siapakah sebenarnya guru dari puteri paman itu?"
Ki Subali menghela napas panjang.
"Anak kami itu sebetulnya bernama Sulastri. Di waktu remaja ia berguru kepada seorang pertapa yang bernama Ki Ageng Pasisiran yang tinggal dalam sebuah pondok di pantai laut utara daerah Dermayu ini."
"Ki Ageng Pasisiran..... ?"
Parmadi dan Muryani mengulang nama itu sambil mengerutkan alis karena mereka tidak mengenal nama ini.
"Tadinya saya mengira ia murid Ki Tejo Budi, atau Ki Tejo Langit, atau bahkan Eyang Ki Tejo Wening!"
Kata Parmadi heran.
"Sesungguhnyalah! akhirnya kami mendengar bahwa Ki Ageng Pasisiran itu datang dari Banten dan dahulu bernama Ki Tejo Langit, anakmas."
"Nah, benar, dan tepat dugaanku! Kiranya ia murid Paman Guru Ki Tejo Langit! Ketahuilah, paman, saya adalah murid Eyang Resi Tejo Wening yaitu kakak seperguruan Paman guru Tejo Langit. Jadi, puteri paman itu adalah adik seperguruan saya sendiri seperti yang kuduga! Akan tetapi, bagaimana ceritanya sampai Nimas Eulis kehilangan ingatannya tentang masa lalunya? Dan mengapa pula namanya dari Sulastri berganti menjadi Eulis?"
Ki Subali menghela napas panjang.
"Kami juga belum lama mendengar tentang anak kami itu. mula-mula datang Anakmas Lindu Aji yang menceritakan bahwa ketika dia dan Sulastri menghadapi gerombolan penjahat, Sulastri terguling jatuh ke dalam tebing yang curam. Akan tetapi Anakmas Lindu Aji tidak menemukan jenazahnya maka menduga bahwa ia masih hidup. Lama kami menunggu Anakmas Aji yang katanya hendak mencari Sulastri. Tiba-tiba pada suatu hari, Sulastri muncul bersama Anakmas jatmika dalam keadaan sehat dan selamat, hanya..... ia lupa segalanya di masa lalu, bahkan tidak mengenal kami ayah ibunya sendiri."
"Nanti dulu, paman. Siapakah itu Lindu Aji, dan siapa pula itu Jatmika?"
"Menurut keterangan mereka, anakmas lindu Aji adalah murid Ki Tejo Budi, sedangkan Anakmas Jatmika adalah cucu Ki Tejo Langit karena dia adalah putera Ki Sudrajat. Jadi mereka semua masih saudara seperguruan dari anak kami Sulastri.
Parmadi mengangguk-angguk.
"Ah, kiranya aku bertemu dengan para murid keturunan Paman Tejo Budi dan Paman Tejo Langit. Tahukah paman, di mana Paman Tejo Budi dan Paman Tejo Langit itu?"
Ki Subali menghela napas panjang.
"Menurut keterangan Anakmas Lindu Aji, Ki Tejo Budi sudah meninggal dunia. Adapun menurut keterangan Anakmas Jatmika, Ki Tejo Langit atau Ki Ageng Pasisiran, juga Ki Sudrajat, tewas ditembak telik sandi Kumpeni Belanda,"
"Duh Gusti..... kumpeni keparat!"
Kata Muryani penasaran. Parmadi menghela napas panjang.
"Semoga mereka mendapatkan tempat yang bahagia di alam baka. Lalu bagaimana ceritanya tentang Nimas Eulis..... eh, Sulastri, paman?"
Pada saat itu Neneng Salmah bangkit berdiri, wajahnya berseri-seri dan ia berkata.
"Harap maafkan saya, saya harus pergi menemui Eulis dan mengajaknya pulang!"
Tanpa menanti jawaban, Neneng Salmah sudah berlari keluar. Ia begitu gembira mendengar keterangan Parmadi tadi. Jelas sekarang bahwa Parmadi adalah kakak seperguruan Eulis sendiri, Kalau saja orang yang sakti mandraguna itu benar-benar dapat menyembuhkan Eulis, betapa akan bahagianya mereka semua!
Setelah Neneng Salmah pergi, Ki Subali melanjutkan ceritanya tentang anaknya.
"Menurut keterangan S Anakmas Jatmika, dia bertemu dengan Sulastri yang sedang dikeroyok orang-orang jahat. Anakmas Jatmika membantunya dan berhasil mengalahkan para pengeroyok. Ketika berkenalan, Sulastri sudah tidak ingat lagi akan nama dan masa lalunya. Agar tidak membingungkannya, Anakmas Jatmika lalu memberi nama Listyani dengan panggilan Eulis kepadanya. Ajkan tetapi kemudian, mereka berdua bertemu dengan Anakmas Aji yang memberitahu Anakmas Jatmika agar mengantarkan Sulastri pulang ke sini. Nah, demikianlah, Anakmas, sampai sekarang Sulastri berada di sini, akan tetapi belum juga ia dapat mengingat masa lalunya."
"Dan siapa Neneng Salmah itu, Paman?"
Tanya Muryani.
"Ah, ia bersama ayahnya datang dari Sumedang dan sekarang tinggal bersama kami di sini. Ia akrab dengan Sulastri. Mereka seperti kakak beradik saja. Neneng Salmah itu dahulu menjadi waranggana yang amat terkenal di Sumedang."
Suami isteri itu mengangguk-angguk.
"Paman, sebagai kakak seperguruan Sulastri saya merasa prihatin sekali melihat keadaannya. Oleh karena itu, kalau paman mengijinkan, saya
akan mencoba untuk mengobati dan menyembuhkannya dari keadaan hilang ingatan masa lalunya."
Ki Subali dan isterinya gembira sekali mendengar itu.
"Ah, sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih. anakmas! Tentu saja kami setuju sekali!"
Sementara itu, Neneng Salmah berlari-lari ke tepi sungai di mana Eulis sedang mandi. Ia telah selesai mencuci pakaian, juga cucian Neneng Salmah telah ia lakukan.
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah, cucianku sudah kau kerjakan, Eulis?"
"Sudah, hayo mandilah!"
Kata Eulis sambil menyiramlan air ke arah Neneng Salmah. Sambil tertawa Neneng Salmah lalu menanggalkan pakaian, hanya bertapih pinjung lalu turun ke dalam air. Sambil mandi ia lalu berkata gembira.
"Eulis, Kakangmas Parmadi itu benar-benar kakak seperguruanmu!"
"Hemm, bagaimana engkau bisa begitu yakin?"
"Mereka tadi bercakap-cakap dan aku mendengarkan. Ketahuilah Eulis, Kakangmas Parmadi, Kakangmas Lindu Aji, Kakangmas Jatmika yang Kau ceritakan itu, dan engkau sendiri masih saudara-saudara sepeguruan. Guru-guru kalian ada tiga bersaudara. Yang pertama adalah Resi Tejo Wening yang menjadi guru Kakangmas Parmadi, lalu Ki Tejo Langit yang menjadi gurumu dan juga menjadi kakek dari Kakangmas Jatmika, dan yang ketiga adalah Ki Tejo Budi yang menjadi guru Kakangmas Lindu Aji. Mari kita cepat mandi, Eulis, engkau harus cepat pulang menemui Kakangmas Parmadi dan isterinya."
"Akan tetapi aku tidak ingat sama sekali tentang guruku. Wajahnyapun sudah tidak kuingat lagi."
"Eulis, Kakangmas Parmadi sanggup untuk mengobatimu. Mari kita cepat pulang! Siapa tahu dia benar-benar dapat mengembalikan ingatanmu masa lalu itu. Alangkah akan senangnya!"
"Jangan tergesa-gesa! Nanti dhangkalmu (debu yang menempel di kulit) tidak bersih!"
Eulis menggoda.
"Ihh! Memangnya dhangkalku berapa tebalnya sih?"
Mereka tertawa-tawa sambil menyiramkan air. Dua orang gadis itu memang akrab dan rukun sekali, saling menyayang. Setelah mandi, mereka lalu berganti pakaian kering dan pulang.
Setibanya di serambi rumah, Ki Subali segera menyambut anaknya dengan berkata.
"Eulis, cepat memberi hormat kepada kakak seperguruanmu Anakmas Parmadi dan isterinya!"
Biarpun tidak ingat siapa gurunya, namun dari keterangan Lindu Aji, Jatmika, dan kini Parmadi yang sudah ia ketahui kesaktiannya yang jelas menguasai Aji Sonya Hasta dan Margopati, Eulis percaya bahwa kenyataan kalau Parmadi adalah kakak seperguruannya agaknya tidak dapat dibantah lagi. Maka dengan senyum malu-malu mengingat akan sikapnya yang keras tadi, iapun menghampiri Parmadi dan Muryani, menyembah dengan merangkap kedua tangan di depan dada, agak membungkuk dan berkata dengan suara lirih.
"Kakangmas Parmadi, Mbakayu Muryani, maafkan sikapku tadi."
Muryani segera menghampiri dan merangkulnya.
"Aih, tidak perlu minta maaf. Kesalah-pahaman tadi sudah wajar karena kita tidak saling mengenal."
Melihat keramahan Muryani, Eulis merasakan ini dan ia menjadi gembira sekali.
"Adi Sulastri, maaf kalau aku memanggilmu Sulastri, diantara kita memang tidak perlu minta maaf. Engkau adalah adik seperguruanku sendiri, karena itu maukah engkau kalau aku berusaha mengobatimu agar engkau sembuh dan dapat mengingat kembali masa lalumu?"
Tanya Parmadi sambil tersenyum.
Eulis atau Sulastri merasa heran mengapa hatinya tidak merasa tidak enak atau tidak senang dengan sebutan nama yang asing baginya itu. Pada hal, dulu ia tidak suka kalau Jatmika menyebutnya Sulastri. Ada sesuatu dalam suara Parmadi yang menandung wibawa amat kuatnya. Ia tersenyum dan mengangguk.
"Tentu saja aku akan senang sekali kalau dapat mengingat kembali masa laluku, Kakang Parmadi."
Ia tidak ragu-ragu menyebut pria itu kakang saja, sebutan akrab seorang adik terhadap kakaknya. Setelah menikmati sarapan pagi yang dihidangkan oleh Eulis dan Neneng Salmah, Parmadi berkata kepada Eulis.
"Adik Sulastri, sudahkah engkau siap untuk membiarkan aku berusaha untuk mengobatimu?"
Eulis tersenyum.
"Tentu saja aku siap, kakang. Aku sudah siap sejak tadi karena akupun ingin sekali dapat segera mengingat semua masa laluku itu."
"Justeru itulah pantangannya, adikku. Engkau sudah menguasai Aji Sonya Hasta, tentu sudah tahu bagaimana harus mengosongkan dirimu, bukan? Jangan ada keinginan apapun, harapan apapun kecuali hanya menyerah sepenuhnya lahir batin kepada kekuasaan Gusti Allah karena hanya Gusti Allah yang akan mampu memperbaiki segala macam kerusakan. Engkau bersama aku, disaksikan oleh diajeng Muryani dan Neneng Salmah yang juga pernah mempelajari cara mengosongkan diri dengan penyerahan mutlak, harus berada di dalam ruangan tertutup."
Lalu Parmadi menoleh kepada Ki Subali.
"Paman, apakah dapat disediakan sebuah kamar di mana kami berempat dapat berdiam tanpa
gangguan dari luar?"
"Oh, ada. anak mas. Eulis, pergunakan kamarmu sendiri. Bukankah kamar kalian berdua cukup luas?"
Kata Ki Subali.
"Baik, ayah. Mari, Kakang Parmadi, Mbakayu Muryani, dan neneng. Kita ke kamar!"
Mereka berempat lalu memasuki kamar di mana biasanya Eulis dan Neneng Salmah tidur. Sebuah kamar yang cukup luas. Sebelum menutup daun pintu kamar, Parmadi memesan kepada Ki Subali agar jangan ada yang mengganggu mereka yang berada dalam kamar itu dan jangan heran dan kaget kalau Ki Subali dan isterinya mendengar suara alunan seruling dari dalam kamar.
Setelah menutup daun pintu, Parmadi dan Muryani duduk bersila di atas sebuah amben (dipan) kayu yang biasa ditiduri Eulis. Parmadi minta kepada mereka untuk menenangkan diri, melepaskan semua ketegangan, membuat diri lahir batin menjadi kosong dan menanti apa yang akan terjadi tanpa penolakan.
"Adi Sulastri, apa saja yang kauterima, rasakan dan terima saja sebagai kekuasaan Gusti Allah dan apapun yang terjadi para dirimu, serahkan sepenuhnya kepadaNya.
"Baik, Kakangmas Parmadi."
Mereka berempat duduk dengan tenang dan santai. Setelah merasakan getaran memenuhi dirinya, dengan gerakan perlahan, matanya terpejam, Parmadi lalu mengambil seruling gading dari ikat pinggangnya, lalu meniup suling itu. Itulah yang oleh Resi Tejo Wening disebut Sunyatmaka (Berjiwa Bebas). Terdengar suara suling yang lembut sekali, lembut mendayu-dayu penuh getaran yang aneh. Biarpun suara suling tidak melagukan tembang tertentu, namun bagi telinga Neneng Salmah terdengar demikian merdu dan indah dan tanpa dikehendakinya lagi, kedua lengannya bergerak-gerak lembut, menari-nari! Muryani yang sudah terbiasa dengan suara suling yang aneh ini, tanpa disengaja lagi merangkap kedua tangan ke depan dahi dalam sembah dan seluruh dirinya terasa dibawa melayang-layang oleh suara itu.
Eulis atau Sulastri juga merasakan getaran hebat. Suara seruling itu seperti menyusup ke dalam dirinya, menjalari seluruh tubuhnya, terasa ada denyutan-denyutan aneh yang mula-mula terasa di kedua telinganya yang mula-mula menangkap suara itu, kemudian perlahan-lahan ke seluruh tubuh, berdenyut-denyut, terutama dikepalanya. Dirinya benar-benar kosong, tidak ada sama sekali ulah hati akal pikiran, yang ada hanya rasa menerima yang membuat dirinya sepeti pintu terbuka yang dapat menerima dengan pekanya.
Tiba-tiba ia merasa seperti ada ledakan-ledakan kecil dikepalanya dan perasaannya menangkap bayangan-bayangan aneh. Ia seolah melihat dirinya disambar anak panah yang menancap dipundak kirinya, terasa nyeri dan perih. Akan tetapi yang membuat ia merasa ngeri adalah ketika ia melihat dirinya terjungkal dan jatuh ke dalam tebing yang amat curam, lalu kepalanya terbentur sesuatu yang keras dan segalanya lalu menjadi gelap! Eulis atau Sulastri terkulai di atas pembaringan dan pingsan! Pada saat itu, beberapa detik sebelum gadis tu roboh pingsan, suara suling itu tiba-tiba terhenti karena daun pintu kamar itu
terbuka keras oleh tenaga dari luar, berbareng dengan terdengarnya jerit Nyi Subali.
Karena itu, maka Parmadi terpaksa menghentikan tiupan sulingnya sebelum dapat menyembuhkan Sulastri dengan tuntas. Dia dan Muryani maklum bahwa terjadi sesuatu yang tidak baik. Karena mengira ada bahaya mengancam Ki Subali dan isterinya, apalagi daun pintu terbuka secara kasar dari luar, mereka berdua segera berkelebat cepat sekali keluar dari kamar itu. Mereka melihat Ki Subali dan isterinya berlari masuk ke dalam rumah dan Ki Subali berkata gugup.
"Di luar...... ada tiga orang.....
"
Parmadi dan Muryani tidak menunggu keterangan lebih lanjut dan mereka berdua cepat melompat ke luar rumah.
Sementara itu, Ki Subali dan Nyi Subali memasuki kamar anaknya. Mereka melihat Sulastri terkulai dan dirangkul oleh Neneng Salmah yang mengguncang-guncang pundak Sulastri dan mencoba menyadarkannya dengan memanggil-manggil namanya.
"Eulis.....! Eulis.....! Sadarlah, bangunlah.....!"
Nyi Subali merangkul puterinya dan menangis.
"Anakku.....! Eulis..... engkau kenapa, nak?"
Neneng Salmah bertanya kepada Ki Subali setelah menyerahkan Eulis dalam rangkulan Nyi Subali.
"Paman. apa yang telah terjadi?"
"Di luar, ada tiga orang yang dengan kasar minta agar aku menyerahkan engkau kepada mereka, Neneng."
Kata Ki Subali.
"Mereka tadi yang menyebabkan pintu-pintu dalam rumah ini terbuka semua, mungkin dengan ilmu sihir mereka!"
Mendengar ini, Neneng Salmah terkejut.
"Dan di mana Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryani?"
"Mereka berdua keluar untuk menghadapi tiga orang itu."
Mendengar ini Neneng Salmah cepat berlari keluar untuk melihat siapa tiga orang yang minta agar Ki Subali menyerahkan dirinya kepada mereka. Sementara itu, Parmadi dan Muryani sudah tiba di luar rumah. Mereka melihat ada tiga orang berdiri di pekarangan, di depan serambi rumah. Mereka cepat keluar dari serambi dan menghampiri tiga orang itu. Mereka itu adalah seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian seperti seorang bangsawan, pesolek dan mewah, tubuhnya tinggi kurus dan wajahnya tampan, namun sikapnya congkak sekali. Dia berdiri bertolak pinggang dengan kedua kaki terpentang. Di samping kanannya berdiri dua orang kakek.
Yang seorang berusia sekitar enam puluh tujuh tahun, kepalanya kecil botak, sedikit rambut di sisi keriting dan berwarna dua. Mukanya licin tanpa kumis atau jenggot, hidungnya pesek mulutnya kecil.
Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar hitam dan tangan kanan memegang sebatang tongkat ular kobra. Adapun kakek yang ke dua berusia kurang lebih enam puluh tahun, tubuh yang juga tinggi kurus itu agak bungkuk dan punggungnya berpunuk, mukanya seperti muka kuda, matanya sipit. Pakaiannya serba hitam dan berkalung sarung. Lengannya juga mengenakan akar bahar dan jari-jari tangannya penuh cincin-cincin bermata akik yang besar-besar. Kakek inipun memegang sebatang tongkat dari seekor ular kering.
Dua orang kakek aneh ini memiliki sinar mata yang tajam dan berpengaruh sekali. Melihat dua orang kakek ini, Parmadi dan Muryani terkejut dan segera mengenal mereka. Kakek pertama yang berkepala botak itu adalah Kyai Sidhi Kawasa, datuk dari Banten. Adapun kakek kedua yang bermuka kuda itu adalah Aki Somad, pertapa dari Nusakambangan. Kedua orang ini dikenal suami isteri itu sebagai tokoh-tokoh yang beberapa tahun lalu membantu Madura dan Surabaya. Setelah Madura, Surabaya dan Giri ditundukkan Mataram, mereka berhasil lolos. Parmadi tahu benar bahwa dua orang datuk ini adalah orang-orang yang membenci Mataram. Akan tetapi suami isteri itu tidak mengenal orang muda berpakaian bangsawan itu.
"Hemm. kiranya Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad yang datang! Apakah yang andika berdua kehendaki datang berkunjung ke rumah orang tanpa sopan santun?"
Parmadi menegur, walaupun suaranya lembut.
Dua orang datuk itu juga merasa terkejut bukan main ketika mereka mengenal Parmadi dan Muryani, dua orang yang beberapa tahun yang lalu membantu Mataram dalam perang melawan Madura, Surabaya dan Giri. mereka juga maklum bahwa Parmadi merupakan seorang yang sakti mandraguna dan Muryani, walaupun tidak setinggi suaminya kepandaiannya, namun merupakan lawan yang cukup berbahaya. Akan tetapi karena mereka datang berdua, bahkan masih ditemani pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran Banten, Raden Jaka Bintara yang juga murid Kyai Sidhi Kawasa, maka berbesar hati dan tidak menjadi gentar.
"Oho!"
Kata Kyai Sidhi Kawasa dan berkata dengan suaranya yang lembut.
"Adi Somad, tentu andika masih mengenal orang-orang Mataram ini, bukan?"
"Heh-heh, tentu saja, Kakang Sidhi Kawasa. mereka adalah musuh kita. Kalau tidak salah ingat, namanya Parmadi dan yang perempuan ini..... eh..... siapa lagi namanya.....
"
"Muryani, namanya Muryani."
Kata Kyai Sidhi Kawasa. Kemudian dia berkata kepada suami isteri itu.
"Kalian disini? Kebetulan sekali, ada kesempatan bagi kami untuk membalas dendam. Akan tetapi karena sekarang tidak ada perang lagi, dan kami tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, kami dapat memaafkan dan melepaskan kalian kalau kalian cepat menyuruh Neneng Salmah keluar dan menemui kami!"
"Tidak semudah itu, Kyai Sidhi Kawasa! Apa urusannya maka andika menghendaki agar Neneng Salmah keluar menemuimu?"
Tiba-tiba Jaka Bintara membentaknya.
"Tidak perlu andika mencampuri urusan pribadi kami!"
Jaka Bintara ini memang berwatak sombong. Mungkin karena dia merasa sebagai seorang pangeran yang biasanya ditaati semua orang.
Selain itu, dia sama sekali tidak mengenal nama Parmadi dan Muryani sehingga tentu saja memandang rendah seperti yang biasa dia lakukan. Apalagi saat itu dia ditemani dua orang datuk sakti mandraguna, maka ketinggian hatinya meningkat. Tiba-tiba Neneng Salmah muncul dari pintu dan melihat Pangeran Jaka Bintara, ia keluar dari serambi dan langsung menudingkan telunjuknya kepada pangeran dari Banten itu.
"Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryani, inilah Pangeran Jaka Bintara dari Banten yang jahat dan dulu pernah menculikku di Sumedang!"
Kiranya ketika dulu Neneng Salmah berhasil lolos dari Sumedang bersama ayahnya dan dikawal Lindu Aji, Jaka Bintara tidak terima dan bersama Kyai Sidhi Kawasa lalu melakukan penyelidikan. Akhirnya mereka dapat mendengar bahwa gadis itu telah melarikan diri dengan kereta dikawal oleh Lindu Aji. Mereka mencari kusir kereta dan memaksa dia mengaku ke mana gadis ledek yang membuat pangeran dari Sumedang itu tergila-gila pergi. Si kusir takut akan ancaman dan mengaku bahwa Neneng Salmah bersama ayahnya kini tinggal di rumah Ki Subali di Dermayu. Jaka Bintara yang sudah tergila-gila dan merasa penasaran kalau belum mendapatkan diri Neneng Salmah, membujuk gurunya untuk menyusul ke Dermayu. Namun Kyai Sidhi Kawasa agak gentar menghadapi Lindu Aji yang diperkirakan melindungi gadis itu, maka dia lalu mencari Aki Somad untuk diajak menemani mereka. Demikianlah, tiga orang itu akhirnya tiba di rumah Ki Subali, sama sekali tidak mengira bahwa mereka akan bertemu dengan Parmadi dan Muryani, musuh lama mereka.
Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo