Ceritasilat Novel Online

Banjir Darah Di Borobudur 10


Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Kakangmas Pancapana ""

   Demi Dewi Yang Maha Agung, katakanlah sekali lagi. Benarkah Candra Dewi tidak menjadi permaisurimu? Apakah artinya semua ini ""??"

   Sang Prabu Pikatan juga memandang dengan penuh keheranan. Raja Mataram ini menyimpan kembali pedangnya.

   "Dimas Indrayana! Bukankah Candra Dewi telah lari dengan kau? telah menjadi isterimu?"

   "Tidak, tidak! Setelah memberikan surat pinanganmu kepada Paman Panembahan Bayumurti, aku lalu pergi kembali ke rumah rama wiku di syailendra. Di manakah adanya Jeng Dewi?"

   Maka berceritalah Sang Prabu Pikatan akan berita dari Panembahan Bayumurti bahwa Candra Dewi menolak pinagan itu dan bahkan dara itu lalu melarikan diri.

   "Tentu saja aku mengira bahwa Candra Dewi melarikan diri bersamamu karena kalian berdua saling mencintai. Itu pulalah yang membuat aku diam saja, bahkan aku telah merasa menyesal mengapa aku hendak memisahkan ikatan asmara yang denga amat teguhnya mengikat hatimu berdua. Sungguh sama sekali tidak kuduga bahwa Candra Dewi melarikan diri tanpa kau!"

   Mendengar ini, lemaslah tubuh Indrayana,"mengapa aku sebodoh ini? Sang Prabu, cabutlah pedangmu dan penggallah leherku. Hamba telah berlaku bodoh dan sesat. Ah, diajeng Dewi """Tak terasa pula air matanya menitik.

   Sang Rakai Pikatan merasa terharu sekali. Ia memegang kedua bahu Indrayana."Jangan kau bersikap demikian. Kau hanya memperberat penderitaanku yang timbul karena penyesalanku. Sesungguhnya akulah yang menjadi gara-gara semua ini. Marilah kita pergi mencari Candra Dewi, dimas. Aku akan mendapatkannya untumu. Aku takkan merasa bahagia memboyong Pramodawardani sebelum melihat engkau berkumpul kembali dengan Candra Dewi!"

   Dengan hati terharu kedua orang muda yang dahulu menjadi sahabat karib itu bersama-sama pergi menuju tempat pertapaan Panembahan Bayumurti untuk mencari Candra Dewi. Akan tetapi mereka kecele, karena setelah tiba di tempat itu, ternyata bahwa Sang Panembahan Bayumurti dan puterinya tidak berada di situ pula. Prabu Pikatan tidka putus harapan, dan ia lalu mengajak Imdrayana untuk mencari jejal Ayah dan anak itu yang menuju ke timur. Raja Mataram ini tidak memperdulikan lagi akan sayembara meminang puteri mahkota Syailendra karena telah bertekad untuk mencari Candra Dewi sampai dapat. Dia merasa berdosa terhadap Candra Dewi dan Indrayana.

   Kita tinggalkan dulu Sang Rakai Pikatan dan Raen Indrayana yang berkelana mencari Candra Dewi sampai berbulan lamanya danmarilah kita menengok keadaan Kerajaan Syailendra yang mengalami keributan besar.

   Pada hari Indrayana dan Sang Prabu Pikatan datanglah Siddha Kalaga memasuki hutan itu untuk memenuhi tugas sayembara, yaitu mencari kedua manusia iblis Sarpajati dan Sarpawuyung yang menjadi syarat sayembara. Alagkah herannya ketika ia melihat mayat kedua sonopati Sriwijaya, bangkai ular Nagawuluk, dan mayat kedua orang manusi aiblis yang di carinya itu. Ia dapat menduga bahwa semua ini tentulah hasil karya Indrayana dan Raja Mataram. Akan tetapi oleh karena di situ tidak terlihat kedua orang muda itu, Siddha Kalagana lalu mendatangkan kawan-kawannya untuk mengangkat semua mayat itu ke ibu kota sebagai bukti bahwa dialah yang berjasa dalam menewaskan Sarjapati dan Sarpawuyung!

   Sang Maha Raja Samaratungga terkejut sekali melihat tewasnya kedua senopati sriwijaya yang di harapkan akan menang. Lebih gelisah lagi hatinay ketika bahwa yang berhasil membinasakan Sarjapati dan Sarpawuyung adalah Pendeta Siddha Kalagana yang dibencinya! Hatinya curiga, karena ke manakah perginya Indrayana dan Sang Rakai Pikatan?

   "Sang Prabu,"kata Siddha Kalagana dengan sikap sombong,"karena aku yang dapat membuktikan mayat kedua orang iblis ini, akulah yang ebrhasil memenuhi syarat dari sayembara. Aku yang berhak memboyong Sang Diyah Ayu Pramodawardani sebagai permaisuriku. Ha, ha, ha,!"

   Sang Maha Raja Samaratungga menekan kegemasan hatinya melihat sikap yang kurang ajar dan sombong ini, lalu berkata denagn suara tenang.

   "Nanti dulu, Siddha Kalagana! Sebagaimana kau tahu, pengikut sayembara ada lima orang jumlahnya. Yang dua, senopati-senopati dari sriwijaya, telah tewas dalam melakukan tugasnya, maka masih ada dua oran lagi, kau sendiri, Raja Mataram, dan Indrayana. Oleh karena dua orang muda itu belum kembali, maka kita belum menetapkan siapa yang berhal disebut pemenang! Lagi pula, masih ada syarat yang terpenting, yaitu membangun sebuah candi sebesar gunung anakan yang selain besar, juga harus indah ukiran-ukirannya danmenjadi lambang dari Agama Buddha!"

   "Ha, ha, ha. Sang Prabu, jangan khawatir tentang candi itu! Di seluruh Syailendra dan Mataram tidak ada ahli-ahli seni ukir dan pahat sepandai orang-orangku! Anak buahku adalah ahli-ahli patung belaka yang dapat mengukir! Serahkanlah saja kepada Maha Raja Siddha Kalagana dan di atas dataran tinggi desa Tepusan tak lama lagi tentu akan berdiri sebuah candi indah sebesar gunung anakan. Akan kubuat yang seindah-indahnya sebagai hadian kepaa calon isteriku, Pramodawardani yang denok ayu! Ha, ha, ha!"

   Bukan main sebalnya hati Sang Maha raja Samaratungga mendengar ini. Maka ia lalu memberi isarat dengan tangannya agar supaya pendeta tua yang tidak dikehendaki ini segera pergi meninggalkan ruang pertemuan. Sambil tertawa-tawa Siddha Kalagana keluar dari keraton dan ia segera menyuruh pengikutnya untuk memanggil ahli patung di Kerajaan Durgaloka yang jumlahnya ribuan orang itu.

   Maka dimulailah pembangunan candi besar di desa Tepusan itu oleh anak buah Siddha Kalagana. Desa itu menjadi ramai sekali karena penuh dengan para pembangun candi yang di kepalai sendiri oleh Siddha Kalagana. Berkat pengaruhnya yang besar sekali dan jumlah pengikutnya yang puluhan ribu orang itu, Siddha Kalagana dapat mengumpulkan batu-batui besar yang hitam dan kuat. Setiap hari, ribuan orang mengangkat batu-batu besar ke desa Tepusan. Ahli-ahli pakar yang pandai dan cekatan lalu membentuk batu-batu itu menjadi halus dengan segi-segi yang lurus untuk kemudian di atur dan di pasang sebagai dasar candi yang hendak di bangun.

   Siddha Kalagana telah mulai dengan pembagunan candi besar, dimulai denagn batu-batu besar dan kuat sebagai alas atau dasar, kemudian membauat kaki candi yang terbuat daripada batu-batu kasar dan kuat ditumpuk-tumpuk. Takjublah semua orang ketika menyaksikan ukuran kaki candi ini. Benar-benar besar sekali dan luar biasa. Sebesar kaki bukit anakan betul sesuai dengan tuntutan sayembara. Alas dan candi itu bentuknya segi empat, ukurannya tidak kurang dari tujuh puluh lima depa ( satu depa ukuran kedua tangan dibentangkan ke kanan kiri )!

   Pekerjaan ini benar-benar merupakan pekerjaan raksasa yang hebat dan berat sekali. Baru pengangkatan batu ke desa Tepusan saja sudah merupakan pekerjaan yang luar biasa. Akan tetapi Siddha Kalagana benar-benar amat berpengaruh dan berkuasa besar. Ia mempunyai banyak tenaga ahli yang bersetia kepadanya, baik dibawah pengaruh sihir atau yang memang bersetia karena percaya dan tunduk kepadanya. Siddha Kalagana juga cerdik sekali, karena untuk pekerjaan besar ini, ia tidak segan-segan menghibur diri para pekerja. Maka terjadilah hal yang amat mengherankan rakyat di sekeliling tempat itu. Biasanya, dalam pembuatan candi, orang-orang yang mengerjakannya selalu berada dalam keadaan tekun dan penuh khidmat, karena candi adalah tempat pemujaan yang suci. Akan tetapi, kali ini orang-orang yang bekerja tidak berada dalam keadaan khidmat, bahkan sebaliknya. Mereka bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa, apalagi kalau malam tiba. Siddha Kalagana sengaja mendatangkan pelayan-pelayan wanita yang cantik jelita, yang juga menjadi penghiburnya dan juga penari yang pandai. Setiap malam di atas kaki candi yang rata dan lebar itu tentu diadakan malam gembira dengan tari-tarian yang seperti biasa bersifat kecabulan yang luar biasa. Kalau malam tiba, pekerja-pekerja laki-laki dan wanita seperti kemasikan iblis dan menari-nari di sekitar bangunan itu bagaikan gila. Bahkan Kalagana secara terang-terangan mengangkut patung Batari Durga yang telanjang itu ke tempat pembangunan dan setiap malam diadakan upacara pemujaan patung Batari Durga seperti biasa dilakukan mereka.

   Tentu saja hal ini merupakan penghinaan besar bagi Kerajaan Syailendra. Sang Maha Raja Samaratungga ketika mendengar ini menjadi amat marah, disuruhnya seroang utusan untuk menegur Siddha Kalagana, menuntut agar supaya taria-tarian serupa itu dihapuskan dan patung Batari Durga disingkirkan.

   Akan tetapi apakah jawab Siddha Kalagana? Sambil tertawa-tawa ia berkata,"Sampaikan kepada Sang Prabu bahwa akulah yang sanggup membangun candi besar sebukit anakan, dan bagaimana bentuk candi ini adalah menjadi hak tanggungjawabku. Pendeknya, Sang Prabu hanya tahu bahwa tak lama lagi di sini akan berdiri sebuan candi yang tiada keduanya di Tanah Jawa."

   Memang demikian kehendak Siddha Kalagana. Ia hendak mendesak Agama Buddha dan hendak memasukkan agamanya sendiri ke dalam Kerajaan Syailendra. Ia hendak membuat sebuah candi besar untuk Batari Durga.

   Makin marah dan gelisahlah hati Sang Prabu Samaratungga mendengar hal ini. Apalagi ketika ia diberitahu bahwa kini kaki candi itu mulai diukir dengan ukiran-ukiran yang amat tidak tahu malu. Ukiran-ukiran itu menggambarkan keadaan hidup manusia yang penuh kekotoran dak kecabulan, gambaran manusia dalam daerah Kamadhatu atau Kemawa cara. Ukiran-ukiran orang yang sedang menari-nari, saling membunuh, perkelahian, penangkapan dan pembunuhan terhadap binatang-binatang yang dimakan, bahkan digambarkan kecabulan dan perjinaan yang amat tidak patut.

   Sang Maha Raja Samaratungga lalu mengadakan persidangan dengan para senapati, perwira dan juga para penasihat, di antaranya para wiku dan pendeta Buddha. Hadir pula dalam persidangan itu Maha Wiku Darmamulya dan pendeta Buddha dari Hindu yang bernama Wisnanda.

   "Gusti,"

   Wiku Dharmamulya berkata mengajukan usulnya,"perbuatan Siddha Kalagana benar-benar menghina kita dan juga amat berbahaya. Kalau sampai pengaruh ilmu hitamnya itu menjalar dan mempengaruhi jiwa para rakyat jelata, maka akan banyaklah kawula yang terpikat dan tersesat. Oleh karena itu, menurut pendapat hamba, lebih baik Siddha Kalagana disirnakan sebelum ia mendatangkan malapetaka yang lebih hebat lagi."

   "Akan tetapi, ia adalah seorang peserta sayembara yang berhak melakukan tugasnya untuk menempuh syarat sayembara. Bukankah akan merendahkan nama Kerajaan Syailendra apabila kita menyerang dan membinasakannya dalam tugasnya menempuh sayembara? Lagi pula, Siddha Kalagana terkenal amat digdaya dan sakti mandraguna, siapakah kiranya yang akan dapat menandinginya?"

   "Tidak demikian kiranya, Gusti Sinuhun. Memang seroang peserta tidak boleh diganggu, akan tetapi kita mempunyai alasan kuat untuk menyerangnya, yaitu oleh karena Siddha Kalagana sebagai seorang peserta sayembara ternyata tidak memenuhi syarat dan tidak menurut perintah. Bukankah sayembara itu menuntut agar supaya ia membuat sebuah candi besar lambing Agama Buddha? Akan tetapi bukan saja ia tidak membuat candi seperti yang telah ditetapkan, sebaliknya ia malah menghina agama kita dan melakkan hal-hal yang melanggar kesusilaan yang kita junjung tinggi. Halitu saja sudah cukup menjadi alas an kuat untuk membinasakan pendeta siluman itu."

   Sembah Maha Wiku Dharmamulya, Memang benar apa yang dikatakan oleh saudara Maha Wiku Dharmamulya, Sang Maha Raja,"

   Tiba-tiba Wisananda berkata.

   "Adapun untuk menandingi Siddha Kalagana, hamba sanggup untuk mencoba kepandaian hamba."

   Wajah Sang Prabu Samaratungga menjadi terang, bahwa hatinya girang mendengar ini."Wisananda, engkau adalah seorang tamu yang terhormat di Kerajaan Syailendra dan menjadi pembantu Maha Wiku Dharmamulya. Kalau kau sanggup menolong kami menghadapi Siddha Kalagana, maka kami akan berterima kasih sekali kepadamu."

   "Sudah menjadi kewajiban hamba untuk mencoba menyirnakan segala perbuatan yang tidak benar, Sang Maha Raja!"

   Maka diaturlah rencana untuk menghadapi Siddha Kalagana. Maha Wiku Dharmamulya sendiri bersama pendeta Wisananda dengan membawa pasukan dan para pendeta Buddha akan mendatangi Siddha Kalagana dan memberi peringatan keras.

   Malam itu bulan purnama menerangi permukaan alam jagad raya. Keadaan di kaki candi yang sedang dibangun serta di pesanggrahan-pesanggrahan yang dibangun di sekitar candi itu, amat ramainya. Dari jauh sudah terdengar suara gamelan dan teriakan-teriakan orang yang sedang mengadakan tari-tarian. Empat puluh orang gadis-gadis berpakaian tipis tengah menari-nari di depan patung Batari Durga di atas kaki candi, diiringi gamelan yang aneh iramanya. Patung Batari Durga yang besar dan telanjang itu nampak seakan-akan hidup terkena cahaya Sang Candra. Siddha Kalagana seperti biasa duduk di kursi dekat patung itu, menerima penghormatan para penyembahnya dan menikmati keindahan gerak tubuh para penari yang cantik dan denok itu.

   Ketika pesta itu sedang memuncak dan ramai-ramainya, tiba-tiba datanglah rombongan Maha Wiku Dharmamulya ke tempat itu. Sang Maha Wiku Dharmamulya mengangkat tongkatnya ke atas, berdiri dibawah candi sambil berseru.

   "Siddha Kalagana! Kami datang membawa perintah sang maha raja!"

   Siddha Kalagana menengok ke bawah dan ketika ia melihat Wiku Dharmamulya beserta pasukannya, ia tertawa bergelak, memandang rendah sekali. Akan tetapi ia merasa jengkel juga karena pestanya diganggu orang. Dengan tangan kiri ia memberi isyarat kepada semua orang, dan semua orang yang sedang menari-nari itu lalu meninggalkan lapangan di atas kaki candi itu, menuruni anak tangga dan berlari ke tempat masing-masing.

   Dengan muka merah Maha Wiku Dharmamulya meramkan kedua matanya ketika ia melihat empat puluh orang gadis itu setengah telanjang di tempat itu. Pakaian merak yang tipis itu sebagian besar telah terbuka, muka mereka kemerah-merahan penuh nafsu dan gairah, sedangkan mata mereka memancarkan cahaya berahi dan mulut mereka tersenyum-senyum! Siddha Kalagana memberi aba-aba kepada mereka itu yang segera kembali ke pesanggerahan yang telah disediakan oleh Siddha Kalagana sebagai tempat tinggalnya bersama empat puluh orang"bidadari"

   Itu.

   Kini di atas kaki candi itu tinggallah Siddha Kalagana sendiri dan patung Batari Durga itu. Sungguhpun patung itu jauh lebih besar daripada tubuh pendeta itu, namun setelah Siddha Kalagana berdiri dan bersedekap pendeta ini nampak bagaikan seorang iblis yang dahsyat berdiri di atas alas dan kaki candi yang maha besar itu.

   "Dharmamulya!"

   Suaranya menggema di sekeliling kaki candi."Apakah maksudmu malam-malam dating mengganggu pesta yang sedang kulangsungkan?"

   Siddha Kalagana!"

   Kata Dharmamulya marah.

   "Kami datang atas nama Sang Maha Raja Samaratungga. Berkali-kali kau telah diberi peringatan akan perbuatanmu yang melanggar tata susila di tempat ini, akan tetapi kau tetap tidak mau menghentikan kegilaanmu. Oleh karena itu, kami datang untuk memberi peringatan yang penghadbisan, yaitu bahwa kau harus menghentikan pes-pesta dan penyembahan Batari Durga, mengusir semua penari telanjang dan merobohkan patung-patung yang tidak sesuai dengan Agama Buddha. Ingat bahwa candi yang dibangun harus merupakan lambing kebesaran Agama Buddha, maka ukiran-ukiran di kaki candi itupun harus dirubah pula, sesuai dengan kehidupan Sang Buddha yang maha agung!"

   Terdengar suara Siddha Kalagana tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan ini."Ha, ha, ha! Dharmamulya, kau seperti seorang bayi hendak memberi wejangan kepada seorang kakek! Taukah kau siapa adanya Buddha Gautama itu? Siapakah adanya Pangeran Sidharta itu? Ha, ha, ha! Mana kau tahu? Kau seorang Jawa, sedangkan Buddha Gautama yang kaupuja-puja itu lahir di negeriku. Aku yang lebih tahu bagaimana penghiudpan Pangeran Siddharta di masa mudanya! Ha, ha, ha! Apa kaukira begitu terlahir orang dapat menjadi sempurna pengetahuannya? Apkah Pangeran Siddharta juga tidak mengalami masa kesenangan hidup sebelum menjadi Buddha? Kau jangan banyak rebut. Candi ini akulah yang membangun dan aku pula yang menentukan bagaimana nanti jadinya. Candi ini akan menjadi candi indah dan hendak kujadikan hadiah bagi calon pengantinku, si cantik ayu Pramodawardani yang molek dan denok!"

   Tiba-tiba Wisananda melangkah maju dengan muka merah. Ia mengeluarkan ucapan dalam Bahasa Hindu terhadap Siddha Kalagana, akan tetapi setelah memandang tajam, Siddha Kalagana berkata dalam bahasa daerah.

   "Wisananda, kita bukan berada di Hindu, dan biarpun kita datang dari satu negeri, akan tetapi kau datang dari Hindu Utara, sedangkan aku datang dari selatan! Di tanah Hindu kita bermusuhan, apakah disini kau hendak memberi nasehat kepadaku? Tidak ada gunanya, dan lebih baik kau segera pergi dari sini. Aku tidak membutuhkan seorang pengemis seperti kau!"

   "Siddha Kalagana!"

   Maha Wiku Dharmamulya berseru marah."Jangan kau menghina orang!"

   "Ha, ha, ha, Dharmamulya. Siapa yang menghina? Bukankah para Wiku adalah pendeta-pendeta yang hidup sebagai pengemis? Hanya kau saja yang aneh dan hendak menjadi enak sendiri. Kau mengaku menjadi mahawiku, akan tetapi coba lihat bagaimana keadaan hidupmu? Mewah dan enak! Kenalkah kau akan hidup merantau sebagai pengemis? Sudah dapatkah engkau melenyapkan nafsu-nafsu duniawi? Lihatlah, pakaianmu masih bagus dan aku melihat minyak yang keluar dari daging ayam membasahi bibirmu. Ha, ha, ha! Pergilah, pergilah! Aku sedang sibuk, jangan engkau berani mengganggu pestaku!"

   "Siddha Kalagana!"

   Teriak Dharmamulya dengan marah sekali."Sudah kukatakan bahwa ini adalah peringatan terakhir, kalau engkau tetap membangkang, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!"

   "Menggunkan kekerasan?"Kening Siddha Kalagana berkerut dan sepasang matanya yang dalam megeluarkan cahaya berapi."Apa maksudmu?"

   "Kami akan merobohkan patung-patungmu, merusak bangunan candi, dan mengusir engkau kaki tangamu dari Syailendra!"

   Bedebah! Kau berani berkata begitu? "

   Sambil berkata demikian, Siddha Kalagana mengambil sebuah batu besar yang ditumpuk di dasar bangunan itu lalau melontarkan batu besar dan berat itu ke arah kepala Dharmamulya. Akan remuklah kepala pendeta itu kalau sampai tertimpa batu yang dilontarkan ini,akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan keras dan tongkat di tangan Wisananda bergerak menagkis batu itu yang meleak dan hancur!

   "Hmm, engkau berani memperlihatkan kepandaian di sini, Wisananda?"membentak Siddha Kalagana.

   "Untuk membela kebenaran aku bersedia mengorbankan nyawa, Siddha Kalagana!"menjawab Wisananda yang segera melompat ke atas kaki candi itu. Kedatangannya di sambut oleh Siddha Kalagana dan bertempurlah kedua orang Pendeta Hindu itu dengan ddahsyatnya di atas kaki candi. Para prajurit pasaukan yang di bawa oleh Dharmamulya segera mengepung dan hendak naik ke atas kaki candi, akan tetapi tiba-tiba terdegar sorakan riuh dan keluarlah pasukan Srigala Hitam anak buah Siddha Kalagana menyerbu! Perang hebat terjadi di atas kaki candi dan di bawah, perang campuh yang hebat sekali, disaksikan oleh bulan purnama raya. Pesta kegilaan tadi kini terganti oleh perang tanding yang hebat sekali. Teriak kesakitan dan sorak kemenagan terdengar saling susul, dibarengi dengan mengalir darah yang keluar dari tubuh manusia. Mayat bertumpuk, bergelimpangan di kaki candi.

   Pertandingan yang terjadi antara Siddha Kalagana dan Wisananda amat hebat dan seru. Keduanya sama kuat dan sama digdaya, keduanay memiliki tenaga batin yang cukup dahsyat. Ilmu sihir berlawanan denagn ilmu hitam, akan tetapi keduanay memiliki daya yang mendatangkan pengaruh yang mengerikan, yaitu ular Cobra yang telah kering dan kaku seperti tongkat, sedangkan Wisananda mainkan tongkatnya yang berat dan panjang. Dari cepatnya gerakan mereka, tubuh kedua orang pendeta itu elnyap ditelan sinar senjata mereka sendidi. Tak seorangpun prajurit berani membantu pertempuran ini, karena sukarlah bagi mereka untuk melihat mana yang kawan dan mana lawan. Para prajurit pasukan Dharmamulya sibuk menghadapi pasukan Srigala Hitam yang amat liar dan buas serta digdaya itu.

   Akhirnya, terdengarlah keluhan dan Wisananda nampak terhuyung ke belakang lalu ia roboh terlentang di atas batu-batu yang emnjadi alas candi itu. Kulit mukanya yang sudah hitam menjadi lebih hitam lagi dan dari jidatnya megalir sedikit darah. Ternyata jidatnya telah kena tertusuk lidah ular Cobra itu dan bisa yang amat hebat telah meracuni darahnya dan merenggut nyawa seketika itu juga dari badannya.

   Siddha Kalagana tertawa bergelak dan menyeramkan. Kemudian ia menggerak-gerakkan senjatanya dan kocar-kacirlah para prajurit Syailendra. Pasukan Srigala Hitam sudah merukan lawan yang amat kuat dan banyaklah sudah korban yang jatuh, kini ditambah amukan Siddha Kalagana yang dahsyat, membuat mereka tak dapat menahan lagi dan larilah pasukan Syailendra itu.

   Maha Wiku dharmamulya dengan terpincang-pincang juga lalu melaporkan kekalahan dan tewasnya Wisananda itu kepada Sang Maha Raja Samaratungga. Tentu saja Sang Prabu menjadi terkejut sekali mendengar berita buruk itu. Cepat Sang Orabu Samaratungga mengumpulkan para senopati untuk mengatur barisan menjaga keselamatan keraton dan mengadakan perundingan untuk menyerbu dan mengusir Siddha Kalagana dari Syailendra.

   Pada keesokan harinya dari jurusan utara datanglah Sang Prabu Pikatan, Raja Mataram bersama Indrayana, membawa pasukan yang kuat dan terdiri dari para prajurit pilihan. Bagaimana Rakai Pikatan dan Indrayana dapat tiba di ibukota Syailendra pada saat yang tepat itu?

   Sebagaimana diketahui di bagian depan, Sang Rakai Pikatan dan Indrayana pergi berkelana mencari jejak Candra Dewi yang melarikan diri. Sampai berbulan-bulan lamanya mereka merantau dan akhirnya mereka bertemu dengan Panembahan Bayumurti yang bertapa di Gunung Kidul. Sambil menumpahkan air mata, Rakai Pikatan Indrayana memohon ampun karena mereka berdua merasa bahwa merekalah yang menjadi sebab penderitaan batin Candra Dewi dan yang membuat gadis itu melarikan diri.

   "Sudahlah, hal itu tak perlu dipersoalkan lagi, Anakku Candra Dewi telah pergi dan kalau memang berjodoh, tentu akan bertemu dengan Raden Indrayana. Adapun paduka, ananda Prabu Pikatan, paduka tentu masih ingat akan pesanku bahwa Mataram akan bangkit dan menjadi jaya kembali. Oleh karena itu, sekarang kembalilah ke Mataram, pimpinlah pasukan yang kuat dan pergilah kembali ke Syailendra untuk membangun candi Buddha yang diminta oleh sang puteri mahkota itu."

   Demikianlah, dengan bergegas Rakai Pikatan kembali ke Mataram, diikuti oleh Indrayana yang setia. Di Mataram mereka mendengar kabar tentang Sidda Kalagana yang mengakuii telah terbunuh kedua manusia iblis di Gunung Papak, bahkan kini pendeta itu telah mulai membangun candi di dusun Tepusan. Mendengar ini Rakai Pikatan menjadi marah sekali dan ia segera memimpin pasukan prajurit pilihan, lalu bersama Indrayana menuju ke Syailendra dengan cepat.

   Sang Rakai Pikatan langsung pergi menghadap Maha Raja Samaratungga yang menjadi girang sekali melihat kedatangan Rakai Pikatan dan Indrayana. Di bawah ancaman Siddha Kalagana, ia melihat kedatangan kedua orang muda ini seakan-akan cahaya penerangan yang mengusir kegelapan hatinya.

   Rakai Pikatan lalu menceritakan bahwa dia an Indrayana yang berhasil membunuh siluman kembar di puncak Gunung Papak.

   "Bagus sekali, Anak Prabu Pikatan,"Maha Raja Samaratungga memuji,"dan secara kebetulan sekali syarat ketiga terletak di hadapanmu. Siddha Kalagana yang tadinya menjadi peserta sayembara, kini ternyata telah berobah menjadi musuh dan mengancam keselamatan Syailendra. Sudah menjadi tugasmu pula untuk mengusirnya dari kerajaan ini."

   "Jangan khawatir, paman prabu. Hamba sanggup untuk melenyapkan si angkara murka itu dari muka bumi ini,"jawab Rakai Pikatan dengan gagah.

   "Hanya satu hal yang masih membinggungkan hatiku. Bagaimana Indrayana dapat datang menghadap bersamamu? Apakah kau juga masih hendak melanjutkan sayembara ini, Indrayana? kudengar tadi bahwa siluman itu terbunuh oleh Anak Prabu Pikatan dan kau sendiri, maka bagaimana kehendakmu sekarang."

   Indrayana tersenyum lalu menyembah dengan hormatnya."Berkat pangestu paduka hamba dapat pula membunuh seorang di antara kedua siluman penggangu keamanan di Gunung Papak itu, gusti. Dan sudah tentu hamba lanjutkan pla sayembara ini dengan menempuh syarat ketiga, mengusir musuh negara yang datang mengganggu Kerajaan Syailendra. Akan tetapi ada sedikit perobahan dalam usaha hamba ini. Kini hamba melakukan semua perjuangan ini, bukan lain hamba melakukannya untuk sahabat dan junjungan hamba ini. Sang Pikatan, raja dari Mataram!"

   Biarpun hatinya merasa agak heran, namun Maha Raja Samaratungga menjadi girang juga mendengar ini.

   "Anak-anak muda, berangkatlah dan usahakanlah agar supaya Siddha Kalagana dapat terusir dan terbasmi sebelum menimbulkan kerusakan lebih banyak lagi. Doa restuku mengiringi usaha kalian, semoga kalian berhasil dan kembali dengan selamat!"

   Kedua orang muda itu mengundurkan diri dan segera mempersiapakan pasukan-pasukannya, dibantu pula oleh bebrapa orang senopati syailendra yang mengerahkan para prajurit pula. Bangunan candi besar yag baru selesai alas dan kakinya itu lalu dikurung, termasuk pesanggerahan-pesanggerahan yang dialami oleh Siddha Kalagana beserta para bidadarinya dan bangunan-bangunan tempat tinggal pasukan-pasukan Serigala Hitam.

   Marahlah Siddha Kalagana melihat pengepungan ini. Ia segera mengumpulkan pasukannya dan dengan senjata ular di tangan ia berseru keras.

   "Orang-orang Syailendra! Apakah pengalaman semalam itu masih belum membuat kalian menjadi kapok? Dengarlah, bahwa akulah yang akan menjadi raja baru di Syailendra, yang akan menggantikan Sang Prabu Samaratungga dan yang akan mendatangkan kebahagiaan di negeri ini! Apakah kalian buta tidak melihat bahwa aku adalah titisan Hyang Syiwa? Apakah kalian ingin aku menghancurkan dulu Syailendra sebelum kalian menyerah dan menerimaku sebagai suami Pramodawardani yang akan menggantikan kedudukan Samaratungga?"

   Akan tetapi, Siddha Kalagana terkejut ketika tiba-tiba muncul dua orang pemuda yang bukan lain adalah Raden Pancapana dan Raden Indrayana, musuh-musuh besarnya dahulu! Betapapun juga, ia tidak merasa takut, karena bukankah ia pernah membuat dua orang ini tidak berdaya?

   "Siddha Kalagana, pendeta siluman! Jangan membuka mulut besar karena kami yang akan melebur kejahatanmu!"kata Rakai Pikatan,

   "Ha, ha, ha,! Raja Mataram, kau seorang kanak-kanak hendak meruntuhkan langit. Lihat senjataku yang hendak menghancurkan kepalamu!"Siddha Kalagana melompat dan menyerang dengan hebatnya. Akan tetapi, Rakai Pikatan dan Indrayana telah siap sedia dan kedua org pemuda perkasa ini lalu mengeroyok pendeta yang sakti itu. Pertempuran terjadi dengan hebatnya, disusul oleh perang tanding antara pasukan Serigala Hitam pasukan-pasukan Mataram dan Syailendra yang bersatu.

   Kembali darah mengalir di sekitar candi yang sedang dibangun itu. Sebelum pertempuran terjadi, para pekerja telah mulai mengukir dan memahat, bahkan mulai hendak membangun candi tingkat pertama. Akan tetapi kini mereka lari ketakuutan dan bersembunyi di tempat aman agar jangan sampai terlibat dalam perang dahsyat itu. Pertempuran berjalan lebih sengit dari kemarin, perang campuh berkecambuk sangat hebatnya.

   Siddha Kalagana mengerahkan seluruh tenaganya, bahkan telah mempergunakan ilmu hitamnya, akan tetapi kedua orang muda yang telah mendapat gemblengan dari Bagawan Ekalaya, dapat menolak semua pengaruh ilmu hitam itu, bahkan lalu membalas dengan serangan-serangan maut yang membuat Siddha Kalagana sibuk sekali. Betapapun pandainya ia bersilat dengan tongkat ularnya, namun ia telah tua dan tenaganya telah banyak berkurang, maka perlahan-lahan ia mulai terdesak hebat.

   Sungguh mengagumkan Siddha Kalagana pendeta tua itu. Biarpun ia selalu terdesak, namun ia masih dapat mempertahankan diri dan pertempuran itu berlagsung sampai sehari penuh! Pasukan-pasukan Serigala Hitam bertempur laksana serigala-serigala kelaparan. Mereka menyerang dengan nekad, liar dan mati-matian sehingga korban yang jatuh di kedua fihak bertumpuk-tumpuk.

   Akan tetapi, akhirnya tidak saja Siddha Kalagana harus mengakui keunggulan ketua pemuda perkasa itu, juga pasukan-pasukan Serigala Hitam harus mengakui pula kekuatan lawan yang ajuh lebih besar jumlahnya. Setelah melihat bahwa ia tidak mempunyai harapan lagi untuk menang maka Siddha Kalagana memberi isarat pada sisa pengikutnya untuk mundur, dan melihat tidak berguna lagi melanjutkan peprangan Siddha Kalagana lalu melarikan diri, diikuti oleh sisa pasukan Serigala Hitam dan dikejar oleh Rakai Pikatan dan Indrayana beserta pasukan-pasukan mereka.

   Babo-babo, sang prabu! Apa kaukira tidak ada orang yang berani menentangmu? Pergunakan senjatamu kalau engkau memang jantan! "

   Pemuda itu menantang kembali sambil menyerang, dan Rakai Pikatan segera melompat ke belakang dan melarikan diri.

   Hampir saja ia bertubrukan dengan rombongan Prabu Samaratungga dan Indrayana memasuki tamansari. Semua orang terkejut dan heran melihat raja muda itu berlari ketakutan denagn muka pucat.

   "Indrayana, adikku sayang ""

   Kautolonglah aku """Rakai Pikatan merangkul Indrayana dengan napas terengah-engah. Indrayana heran sekali dan memeluk raja muda itu.

   "Apakah yang terjadi? Apakah paduka kalah menghadapi durjana itu?"

   "Ah, aku tak kuat menghadapinya. Ia sakti mendraguna. Haya engkaulah orangnya yang akan dapat mengalahkannya! Tolonglah aku dan tangkaplah maling itu, dimas Indrayana!"

   Indrayana lalu mencabut kerisnya Bajradenta ( keris pusaka Kilat Putih ) dan secepat rusa melompat ia masuk ke dalam taman dengan hati panas. Siapa yang dapat mengganggu Pramodawardani dan menghina Sang Rakai Pikatan?

   Ketika ia masuk ke dalam pintu keputren, ia melihat seorang pemuda berdiri dengan keris di tangan.

   "Maling hina dina, jangan kau lari!"teriak Indrayana sambil melompat ke hadapan pemuda itu. Pemuda itu terkejut dan mengangkat muka memandang.

   "Begitu lemahkah hatimu sehingga engkau masih mau membela raja yang tidak mengenal budi?"pemuda itu menegur sambil memandang tajam.

   Indrayana tertegun dan matanya terbelalak."Candra Dewi ""!"bisiknya dan kerisnya terlepas dari pegangan."Aduh, diajeng Dewi ""

   Kesuma hatiku "", ke mana saja gerangan engkau pergi selama ini? Tega benar engkau melihat aku merana ""

   Mencari-carimu dengan hati luka karena duka nestapa dan bimbang """

   "Pemuda"itu menjadi lemas dan kerisnyapun terlepas dari pegangan, jatuh berdering di atas lantai. Ia menunduk dan dari kedua matanya menitik air mata! Indrayana maju menghampirinya dan memeluk kedua bahunya.

   "Diajeng ""

   Diajeng Dewi ""

   Tak tahukah engkau bahwa aku dan kangmas Pancapana mencari-carimu sampai jauh? Siapa tahu engkau berada di sini ""

   Ah, jeng Dewi, bisa saja engkau mendatangkan gara-gara!"

   "Aku ""

   Aku hendak membalas dendam kepada Pancapana """

   Pada saat itu, rombongan Maha Raja Samaratungga datang diikuti oleh Rakai Pikatan yang masih nampak gelisah! Melihat betapa"maling"itu berada dalam pelukan Indrayana, semua orang menjadi terheran-heran, kecuali Rakai Pikatan sendiri yang kini dapat tersenyum lega dan puas. Puteri Mahkota Pramodawardani juga keluar dari biliknya dan tersenyum menggoda Candra Dewi yang cepat melepaskan diri dari pelukan Indrayana dan kini menggandeng tangan puteri mahkota itu.

   "Eh, eh, apakah yang telah terjadi? Siapakah pemuda ini?"Maha raja Samaratungga bertanya kepada puterinya sambil mengerutkan kening.

   "Dia bukan pemuda, rama. Dia ada;ah seorang puteri pula, seorang puteri jelita yang bernama Candra Dewi, puteri dari Panembahan Bayumurti!"

   Maka berceritalah Candra Dewi kepada kedua pemuda itu, didengarkan pula oleh Maha Raja Samaratungga dan para senopati. Ternyata bahwa setelah melarikan diri dari tempat tinggal Ayahnya, Candra Dewi yang merasa sakit hati kepada Rakai Pikatan karena pinangan yang membuat ia terpisah dari kekasihnya itu, Candra ewi pergi merantau dan akhirnya bertapa di Puncak Gunung Suralaya di Pegunungan Kedeng.

   Akhirnya ia lalu turun gunung dan menghadap Sang Puteri Pramodawardani, dan ia diterima oleh Puteri mahkota yang ramah tamah itu, dijadikan pelayan dan kawan yang terkasih. Ketika diadakan sayembara, Candra Dewi mengaku kepada puteri Pramodawardani tentang keadaan dirinya, maka Pramodawardani yang juga merasa tidak senang mendengar perbuatan Rakai Pikatan yang pernah melamar Candra Dewi, lalu merencanakan akal untuk menggoda dan membalas. Rakai Pikatan terkena tipu ini dan mendapat malu di depan puteri calon permaisurinya!

   Maha Raja Samaratungga menggeleng-geleng kepalanya."Aah, kalian orang-orang muda memang benar-benar aneh dan suka menimbulkan gara-gara! Sudahlah sekarang kalian telah bertemu dengan jodoh masing-masing. Hanya satu hal yang masih harus dilaksanakan, yaitu pembangaunan sebuah candi Buddha dan lambang persatuan antara Mataram dan Syailendra!"

   Tiba-tiba, udara malam hari yang tadinya terang oleh bulan purnama itu, mejadi gelap seakan-akan mendung tebal menutup seluruh angkasa di atas Kerajaan Syailendra! Bahkan api-api penerangan dari lampu-lampu yang terpasang di situ padam semua, membuat keadaan menjadi gelap sama sekali, sehingga melihat tanagn sendiri tidak akan nampak.

   Orang-orang menjadi kaget dan binggung, bahkan lalu terdengar jerit dan tangis di sana-sini seakan-akan iblis-iblis keluar mengamuk. Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak disusul oleh suara yang parau.

   "Ha, ha, ha! Orang-orang Mataram dan syailendra! Jangan kira bahwa Siddha Kalagana mudah dikalhkan begitu saja!"

   "Jahanam!"berseru Rakai Pikatan dan Indrayana yang lalu mengambil senjata pusaka masing-masing. Akan tetapi, apakah daya mereka dalam keadaan yang gelap gulita itu? Ternyata bahwa ilmu hitam yang dikeluarkan oleh Siddha Kalagana ini hebat sekali, membuat semua penerangan menjadi tertutup oleh kabut hitam tebal.

   Dan lebih hebat lagi, di dalam kegelapan luar biasa itu, Siddha Kalagana membawa tentara Serigala Hitam menyerbu. Para aprajurit yang menjaga di luar tamansari dan keraton menjadi binggung dan panik. Mereka tidak dapat melihat musuh dan tahu-tahu banyak prajurit jatuh bergelimpangan ditusuk lembing. Ada pula yang bertempur melawan kawan-kawan sendiri yang disangka musuh.

   Terdengar pekik Pramodawardani dan Candra Dewi ketika dua buah lengan yang kuat menyambar tubuh mereka dan mereka diseret keluar dari tamansari. Indrayana dan Rakai Pikatan segera mengejar, akan tetapi mereka tersandung dan jatuh terguling di dalam gelap.

   "Kakangmas Pancapana, leks menyebut nama Eyang Ekalaya ""

   Kedua orang muda itu lalu duduk bersila dan mengheningkan cipta, minta pertolongan guru mereka, Sang Panembahan Ekalaya.

   Tiba-tiba terdengar suara guntur menyambar dibarengi kilat bercahaya dan seketika itu juga lenyaplah kabut hitam tebal yang menggelapi udara. Bulan purnama bercahaya kembali sepenuhnya, tidka lagi terhalang oleh mendung hitam. Indrayana dan Rakai Pikatan melompat bangun dan melihat tiga orang kakek berdiri di hadapan mereka. Ternyata bahwa mereka ini adalah Wiku Dutaprayoga Ayah Indrayana, Panembahan Bayumurti Ayah Candra Dewi dan seorang tua tinggi dan berwajah agung yang mereka kenal. Agaknya tiga orang tua sakti inilah yang membuyarkan pengaruh ilmu hitam Siddha Kalagana.

   Indrayana dan Rakai Pikatan hendak memberi hormat, akan tetapi panembahan Bayumurti menunjuk ke luar pintu tamansari dan berkata,"Kesanalah larinya Siddha Kalagana yang menculik Sang Pueteri dan Candra Dewi!"

   Bagai anak panah melesat dari busurnya, kedua orang muda itu lalu melompat keluar dari tamansari dan mengejar. Benar saja, di sana kelihatan Siddha Kalagana sedang menyeret-nyeret kedua orang dara yang meronta-ronta itu.

   
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ketika Siddha Kalagana melihat Indrayana dan Rakai Pikatan datang memburu, terpaksa itu melepaskan kedua orang dara itu dan dengan muka buas ia menerjang. Pertempuran terjadi hebat sekali. Kali ini Indrayana dan Rakai Pikatan mrnyerang dengan penuh amarah. Gerakan tangan mereka yang memegang senjata bagaikan tangan maut sendiri yang menjangkau dan hendak merengut nyawa pendeta busuk itu, Siddha Kalagana menjadi gentar karena ilmu hitamnya dapat dibuyarkan, maka ia melawan denagn setengah hati dan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan diri.

   Sementara itu, setelah keadaan menjadi terang kembali, para prajurit Syailendra, dibantu oleh para prajurit Mataram yang sudah menyerbu pula ke siru, membiki pembalasan hebat. Mereka menyerang pasukan Serigala Hitam, menghantam sepuasnya sehingga dalam waktu singkat emua anggota Serigala Hitam dapat dibunuh atau dilukai.

   Pertempuran antara Siddha Kalagana melawan Indrayana dan Rakai Pikatan makin hebat. Pendeta itu beberapa kali mencoba untuk melarikan diri, akan tetapi ia selalu dikejar sehingga akhirnya, keris pusaka Bajradenta dengan tepat sekali telah terbenam ke dalam dadanya dan pedang Rakai Pikatan membacok lehernya sehingga hampir putus.

   Siddha Kalagana memekik ngeri, akan tetapi sungguh luar biasa, pendeta ini masih dapat melompat jauh dan melarikan diri, sungguhpun luka-lukanya ini bagi orang lain tentu akan mendatangkan maut! Indrayana dan Rakai Pikatan saling pandang dengan heran, dan hendak mengejar. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh Siddha Kalagana yang lari itu terhuyung-huyung, menabrak pohon waringin lalu jatuh terguling dalam keadaan tertelungkap.

   Indrayana menghampiri tubuh ini dan dengan kakinya ia membalikkan tubuh pendeta itu. Ternyata bahwa Siddha Kalagana telah tewas.

   Kakek tua yang bernama Wiku Dutaprayoga dan Panembahan Bayumurti itu adalah seorang pertapa bernama GUNADARMA, seorang yang selain suci juga memiliki kepandaian luar biasa tentang pembuatan candi-candi dan seni pahat san ukir. Ia adalah murid dari Sang Bagawan Ekalaya yang lama bertapa seorang diri, menanti datangnya saat baik, yaitu masa persatuan Syailendra dan Mataram.

   Setelah masa itu tiba, ia datang dan bersama Wiku Dutaprayoga dan Panembahan Bayumurti, ia menolong kerajaan dari pengaruh ilmu hitam yang dilepas oleh Siddha Kalagana.

   Setelah Siddha Kalagana tewas dan anak buahnya telah ditumpas, maka pembangunan candi sebesar bukit anakan itu dilanjutkan oleh Rakai Pikatan dan kini pembangunan itu dilakukan bersama-sama. Ahli-ahli di Syailendra pahat yang tadinya menjadi kawula Siddha Kalagana, kini telah insyaf dan dipekerjakan pula dalam pembuatan candi, disamping ahli-ahli di Syailendra sendiri dan ahli-ahli yang didatangkan dari Mataram Pembangunan meha besar ini dipimpin oleh Sang Pertapa GUNADARMA yang bijaksana.

   Tadinya pembagunan kaki candi yang dilakukan oleh Siddha Kalagana itu hendak dibongkar, bahkan tempat itu dianggap sudah kotor karena telah banyak darah mengalir di situ, akan tetapi Sang Pertapa GUNADARMA berkata.

   "Tidak apa, kaki candi ini cukup baik dan kuat sekali untuk dijadikan alas candi. Memang, kaki candi ini telah diukir dan menggambarkan daerah Kamadhatu, penuh nafsu-nafsu keduniawian. Akan tetapi, biarlah ini menjadikan cermin dan peringatan bagi setiap orang yang menyaksikan bahwa segala kesenangan lahir dan kenikmatan nafsu keduniawian hanya akan mendatangkan malapetaka belaka. Biarlah candi besar ini berdiri di atas segala kotoran, menjadi lambang bahwa Agama Buddha akan tumbuh dan membawa manusia yang tadinya tenggelam di dalam lautan Kamadhatu yang penuh nafsu jahat, ke alam bersih, ke alam Rupadhatu dan seterusnya, untuk selanjutnya mencapai tujuan terakhir, yaitu Nirwana."

   Betapapun juga, untuk mengusir segala pengaruh jahat yang timbul dari pertumpahan darah dan pembunuhan yang terjadi di daerah suci ini, diasakanlah tapa brata dan samadhi di atas permukaan kaki candi. Di sini Sang GUNADARMA, Penembahan Bayumurti, Wiku Dutaprayoga dan pendeta-pendeta lain, bersamadhi selama empat puluh hari.

   Betapapun juga, untuk mengusir segala pengaruh jahat yg timbul dari pertumpahan darah dan pembunuhan yang terjadi di daerah suci ini, diadakan tapa brata dan samadhi di atas permukaan kaki candi. Di sini Sang GUNADARMA, diikuti oleh Rakai Pikatan sendiri, Indrayana, Penambahan Bayumurti, Wiku Dutaprayoga dan pendeta-pendeta lain, bersamadhi selama empat puluh hari untuk mengusir pengaruh-pengaruh kotor. Setelah itu, barulah pembangunan candi yang amat indah, besar, dan suci dimulai, dibangun di atas kaki candi buatan Siddha Kalagana itu.

   Pembangunan candi besar itu benar-benar merupakan hasil karya yang luar biasa sekali, lambang dari keagungan Agama Buddha dan juga merupakan lambang dari persatuan Syailendra dan Mataram. Candi ini diberi nama Bhumisambharabhudhara, juga disebut Dasyhabodhisatwabhumi atau sepuluh tingkat Bodhistwa, dibuat menjadi sebuah candi terdiri dari sepuluh tingkat yang maha hebat.

   Patung-patung Buddha, ukiran-ukiran di seputar dinding candi, dilakukan oleh ahli-ahli pahat yang amat pandai sehingga ukiran-ukiran itu seakan-akan hidup, patung-patung itu seakan-akan bernapas dan mata patung seakan-akan bercahaya dan dapat bergerak manik matanya.

   Demikianlah, dengan pesta dan perayaan besar, Sang Rakai Pikatan, raja dari Mataram itu menikah dengan Sang Puteri Pramodawardani yang kemudian setelah menjadi permaisuri Sang Rakai Pikatan lalu disebut juga Sri Kahuluan. Dengan adanya pernikahan ini, Kerajaan Syailendra seakan-akan di persatukan dengan Kerajaan Mataram sehingga Kerajaan Mataram menjadi makin besar dan jaya. Tidak ada rakyat, baik yang memeluk Agama Buddha, maupun pemeluk Agama Hindu, merasa tersinggung lagi, karena bukankah tampk pemerintahan berada di tangan Rakai Pikatan yang beragama Hindu, akan tetapi bukanlah candi yang terbesar adalah candi Buddha? Tidak ada perselisihan lagi anatara Agama Buddha dan Agama Hindu yang sesungguhnya bertujuan satu, yaitu kemuliaan lahir batin bagi seluruh manusia.

   Setelah Sang Maha Raja Samaratngga dengan puas melihat pernikahan puteranay berlagsung, beliau lalu mengirim puterinya, Pangeran Balaputeradewa, ke Sriwijaya. Pertama-tama untuk menyatakan bela sungkawa atas tewasnya kedua senopati Sriwijaya dalam tangan kedua orang iblis kembar, dan kedua untuk memberi kesempatan kepada Pangeran Balaputeradewa yang masih belum dewasa itu mempelajari dan memperdalam pengetahuan dalam Agama Buddha. Keberangkatan sang pangeran ini diantar oleh para pendeta dan wiku, di antaranya Sang Maha Wiku Dharmamulya sendiri. Kelak Sang Pangeran Balaputera ini akan menjadi raja di Sriwijaya dan berhasil pula membuat Kerajaan Sriwijaya menjadi besar dan makmur.

   Adapun Indrayana dan Candra Dewi juga melangsungkan pernikahannay dengan penuh kebahagiaan dan selajutnya menjadi pembantu dan sahabat terkasih dari Sang Rakai Pikatan dan permaisurinya.

   Betapapun tepat ucapan dari Sang Pertapa GUNADARMA tentang keadaan lukisan di kaki candi buatan Siddha Kalagana itu, semua perasaan rakyat Tanah Jawa yang halus dan menjunjung tinggi kesusilaan itu, amat tersinggung oleh lukisan-lukisan yang terdapat pada kaki candi itu lalu ditutup dengan batu-batu sehingga bentuk kakinya berubah dan tidak tampak lagi lukisan-lukisan yang menggambarkan keadaan hawa bafsu atau yang disebut daerah Kamadhatu itu, yang nampak hanyalah bangunan candi yang didirikan di atas kaki candi.

   Adapun nama candi itu, Bumisambharabhudara. Akhirnya dipermudah oleh rakyat dengan sebutan Candi Borobudur yang sekarang, seribu tahun lebih semenjak dibangun, masih berdiri dengan megah dan agung, menjadi kebanggaan rakyat Indonesia, dikagumi oleh semua orang diseluruh dunia sebagai sebuah bangunan yang besar dan luar biasa.

   Memang Borobudur merupakan bangunan yang patut mendatangkan rasa bangga di dalam hati setiap manusia Indonesia yang mencintai tanah airnya karena bangunan manakah yang demikian kuat, besar, dah megahnya? Bangunan manakah yang dapat menahan goncangan-goncangan dan gempa bumi akibat letusan Gunung Merapi yang telah terjadi beberapa kali selama seribu tahun lebih itu, sungguhpun bangunan itu hanya didirikan daripada batu-batu ditumpuk-tumpuk?

   Kalau kita berdiri di bagian atas Candi Borobudur, atau melihat candi besar itu dari jauh, datanglah kebanggan dan keyakinan dalam hati yang berbisik bahwa hanya bangsa yang besar sajalah yang sanggup menciptaan bangunan sehebat itu pada zaman tingkat hidup manusia masih amat senderhana, dan mesin-mesin pembangunan dan pengangkutan masih belum pernah termimpikan oleh otak manusia!

   Demikianlah, cerita ini ditutup dengan seruan"Nama Buddhaya"untuk penghormatan kepada Borobudur yang besar, kepada Agama Buddha yang mendatangkan kebudayaan dan kesenian luhur, dan terutama sekali kepada neenk moyang kita yang agung!

   TAMAT

   dino, http://indozone.net/literatures/literature/410

   21 September 2008 jam 11:16am

   


Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini