Banjir Darah Di Borobudur 7
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
Melihat keadaan ini dan betapa sisa anak buahnya yang juga nekad-nekad dan berani-berani seperti pemimpinnya, Surarudira lalu berseru keras.
"Anak-anak...! Tahan...! Menyerahlah kepada ksatria gagah perkasa ini!"
Mendengar komando ini semua anggota perampok yang tadi masih melakukan perlawanan dengan nekad, tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan menyatakan takluk.
Surarudira!"
Berkata Pancapana dengan suara keren.
"Melihat kau dan anak buahmu, agaknya kalian bukan perampok-perampok biasa dan pernah pula menerima pendidikan dalam ilmu perang. Mengapakah kalian tidak mempergunakan kepandaian itu membela Kerajaan Mataram, bahkan menimbulkan kekacauan dan menjadi pengganggu serta pengrusak keamanan?"
Surarudira yang kini telah berdiri kembali dengan tubuh masih terasa sakit-sakit menjawab dengan angkuh.
"Untuk apa aku harus membela Kerajaan Mataram yang dipegang oleh raja lalim? Biarlah, biar Mataram runtuh daripada dikuasai oleh seorang raja yang tidak tahu kewajiban! Dahulu, ketika Sang Prabu Sanjaya masih memegang pemerintahan, kami adalah sepasukan pegawai yang setia. Kami berani mengorbankan nyawa kami untuk membela Mataram yang jaya. Ah...kalau saja Mataram dipegang oleh keturunan Sang Prabu Sanjaya..."
Berdebarlah jantung Pancapana mendengar ini akan tetapi tiba-tiba Indrayana mendahului dan bertanya kepada Surarudira.
"Benar-benarkah kau dulu mengabdi kepada Sang Prabu Sanjaya?"
"Mengapa aku harus membohong?"
"Tahukah kau bahwa Sang Prabu Sanjaya mempunyai seorang putera?"
"Tentu saja, namanya adalah Pangeran Pancapana, akan tetapi semenjak kecil telah lenyap mungkin terbunuh oleh Sang Prabu Panamkaran..."
"Bodoh! bentak Indrayana.
"Surarudira, dan kalian semua! Bukalah matamu lebar-lebar dan lihat baik-baik. Siapa yang berdiri di hadapanmu ini?"
Ia menunjuk dengan ibu jarinya ke arah Pancapana.
"Perhatikanlah baik-baik, tidak adakah persamaan antara wajahnya dan wajah mendiang Sang rabu Sanjaya?"
Semua mata memandang kepada Pancapana dan terdengarlah seruan-seruan heran kaget.
"Serupa benar dengan mendiang Sang Prabu Sanjaya!"
"Dia Sang Prabu sendiri ketika masih muda!"
Demikian terdengar seruan-seruan, sedangkan Surarudira sendiripun memandang dengan wajah pucat.
"Ya jagat Dewa Batara...!"
Serunya.
"Raden katakan terus terang, siapakah sebenarnya kau ini?"
Pancapana tersenyum.
"Adindaku Indrayana telah mengatakan tadi. Mendiang Sang Prabu Sanjaya adalah ramandaku."
Untuk sekejap suasana menjadi hening dan semua orang menahan nafas ketika Surarudira bertanya gagap.
"Jadi... jadi paduka... ini....Gusti Pangeran...."
"Aduh, Gusti Pangeran....!"
Surarudira lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, diturut oleh semua anak buahnya. Dari kedua mata kepala perampok yang kasar dan gagah itu keluarlah dua titik air mata karena sangat terharunya.
Terharu pula hati Pancapana melihat hal ini. Ternyata ucapan gurunya, Panembahan Bayumurti benar. Masih banyak orang-orang yang tetap setia kepada Mataram, terutama kepada mendiang Ayahnya yang berarti juga kepadanya. Bahkan perampok-perampok kasar inipun masih setia. Hal ini menggugah semangatnya dan Pancapana lalu berkata keras.
"Sudahlah, tak perlu segala kelemahan hati ini! Sekarang bukan waktunya untuk bertangis-tangisan! Mataram berada di ambang pintu mereka, di pinggir jurang kehancuran! Siapa lagi kalau bukan kita anak-anak Mataram yang membangunya kembali? Mataram sedang berada dalam bahaya, siapa lagi kalau bukan kita yang harus menolongnya? Siapa diantara kalian yang mau ikut dengan aku, Pangeran Pancapana, Putera Mahkota Mataram?"
Serentak semua mulut orang-orang di situ berseru hampir berbareng.
"Hamba ikut....!"
Pancapana girang sekali melihat hal ini dan ia lalu turun tangan bersama Indrayana memberi pertolongan kepada mereka yang menderita luka memulihkan kembali otot-otot yang keseleo, menyambung kembali tulang-tulang patah dan membebaskan pengaruh keampuhan bekas pukulan mereka.
Setelah menolong mereka semua dan juga memulihkan kesehatan Surarudira, si brengos ini lalu menceritakan keadaan Mataram yang masih terkurung oleh musuh yang kuat, yakni Bupati Yudasena.
"Memang Bupati Yudasena amat tangguh dan sakti Gusti Pangeran Pancapana. akan tetapi hamba belum pernah mencoba tenaganya. Jangan khawatir Gusti, kalau Gusti kehendaki hamba akan sanggup menghadapi Yudasena! Kata Surarudira yang tabah itu.
"Berapa banyakkah pasukan Yudasena yang mengepung Mataram?"
"Menurut berita yang hamba dengar, sedikitnya ada selaksa orang!"
Kalau begitu, marilah kita cepat-cepat pergi ke Mataram mengumpulkan tenaga-tenaga bantuan dari Rama Prabu dahulu, kemudian baru kita membantu Paman Prabu Panamkaran! kata Pancapana. Semua bekas perampok itu menyatakan setuju.
"Akan tetapi, paman Surarudira, apakah benar-benar engkau dan kawan-kawanmu sudah tetap hendak mengikut dan membantu? Dengan hati setia?"
"Hamba bersumpah, Gusti..."
"Ssst, tak perlu bersumpah. Hanya, harus kau ketahui bahwa aku dan dimas Indrayana adalah orang-orang miskin. Bahkan sekarangpun kami merasa lapar karena semenjak pagi belum makan. Apakah kalian sanggup menderita sengsara dalam mengikuti perjalanan kami ke Mataram?"
Tiba-tiba Surarudira tertawa gelak-gelak.
"Ha, ha, ha, ampun Gusti Pangeran. Mengapa paduka berkata demikian? Jangankan baru haus dan lapar, biarpun harus berkorban nyawa, hamba Surarudira dan kawan hamba yang empat puluh orang jumlahnya ini akan bersedia mengikuti dan membela paduka, sesembahan semua kawula Mataram!'
"Bagus, paman Sura, kau benar-benar seorang panglima sejati. Hayo, kita berangkat!"
"Siap, Gusti!"
Maka berangkatlah Pancapana dan Indrayana diiringi oleh Surarudira dan pasukannya ketika mereka melewati dusun-dusun, Surarudira memperkenalkan Pangeran Pancapana kepada penduduk dusun sehingga ramai orang menyambut Pangeran Pati ini, menyambut dengan penuh penghormatan, penuh harapan bahwa pengeran akan mendatangkan bahagia pada Mataram dan rakyatnya. Hidangan-hidangan dikeluarkan orang tanpa diminta lagi.
Makin dekat dengan Mataram, makin banyaklah pengikut Pancapana. Bahkan para panglima tua yang dahulu mengabdi kepada Sang Prabu Sanjaya lalu datang membawa pasukan-pasukan mereka menggabungkan diri sehingga kini Pangeran Pancapana mempunyai sebuah pasukan besar yang amat kuat, terdiri tidak kurang dari setengah laksa orang.
Barisan besar ini masih berkembang lagi ketika dengan cepat bergerak ke ibu kota Mataram yang masih terkepung oleh pasukan-pasukan Yudasena.
Sudah sembilan bulan lebih barisan-barisan Yudasena mengepung Dieng di mana terletak pusat Kerajaan ataram. Mataram telah kehabisan senapati-senapatinya karena semua orang yang maju menghadapi Yudasena terpukul kalah oleh Bupati yang digdaya ini. Akan tetapi Yudasena masih ragu-ragu untuk menyerang naik ke atas, karena kedudukan benteng Mataram masih amat kuat terjaga oleh sisa-sisa barisan Mataram. Pernah Yudasena mencoba untuk menyerang naik, akan tetapi ia dan berisannya disambut dengan anak-anak panah dan batu-batu yang datang melayang dari atas bagaikan hujan lebat sehingga terpaksa mereka turun kembali, mendirikan pesanggrahan di kaki bukit dan mengepung benteng Mataram.
Biarkan mereka mati kelaparan, akhirnya tentu menyerah kalah tanpa kita bersusah pAyah. Ha ha ha! kata Yudasena kepada para senapatinya.
Seluruh penduduk dan kawula Mataram yang terkepung merasa gelisah. Akan tetapi Sang Prabu Panamkaran sendiri masih saja enak-enak menghibur diri dengan para selirnya, seakan-akan pengurungan itu tidak mengganggunya sedikitpun juga. Padahal, sebetulnya di dalam hatinya, ia merasa amat gelisah dan khawatir. akan tetapi, ia merasa yakin bahwa betapapun juga Yudasena takkan membunuhnya, hanya akan merampas kedudukannya yang sudah tak diperdulikannya lagi itu. Oleh karena itu, dalam saat terakhir dari kejayaaanya, mengapa bersusah hati? Lebih baik bersenang-senang selagi masih bisa.
Sang Prabu Panamkara belum tua benar, akan tetapi tubuhnya sangat ringkih dan lemah. dalam kekuatan penjagaan kerajaan, ia hanya mengandalkan dua senapati tua yakni Senapati Bandudarma dan Bandupati, dua orang kakak beradik yang semenjak pemerintah Prabu Sanjaya dahulu telah menjadi senapati di Mataram. Dua orang senapati inilah yang dulu membanti Panamkaran untuk menduduki tahta kerajaan dan mengejar-ngejar Pangeran Pati Pancapana. Bahkan mereka berdua telah menyerahkan puteri-puteri mereka untuk menjadi selir dari raja itu agar mereka bisa mendapatkan kedudukan yang tinggi. Memang benar, keduanya kini telah menjadi panglima tertinggi, juga merangkap patih dalam.
Berkat pengalaman dan kepandaian kedua orang senapati tua inilah, maka sampai sedemikian jauh Mataram masih dapat dipertahankan, oleh Senapati Bandudarma serta adiknya, Bandupati yang juga mempertahankan benteng daripada serbuan Yudasena.
Sungguhpun Prabu Panamkara sama sekali tidak memusingkan pengepungan yang diadakan oleh Yudasena itu, namun kedua senapatinya ini merasa amat gelisah. Mereka mengandalkan kedudukan dan kemuliaan mereka kepada Sang Prabu Panamkara saja. Kalau Mataram dikuasai oleh lain raja, tak mungkin mereka berdua akan dapat mempertahankan kedudukan dan kemuliaannya. Maka mereka berlaku nekad dan hendak membela Mataram dengan mati-matian. Bukan Mataram, bukan rakyatnya ataupun kedudukan rajanya yang penting, akan tetapi kedudukan dan pangkat serta kemuliaan mereka sendirilah yang mereka pertahankan mati-matian! Banyak di antara para prajurit Mataram yang telah melarikan diri, dan hanya berkat penghamburan uang dan hadiah belaka yang membuat sebagian besar masih bertahan dan menjaga benteng itu.
Hampir setiap hari terdengar suara seruan-seruan dan tantangan-tantangan dari Yudasena, tantangan-tantangan yang disertai makian-makian pedas. Akan tetapi pihak Mataram yang mengakui kelemahan sendiri dan hanya mengandalkan kedudukan benteng yang amat kuat, tidak mau dan tidak berani melayani tantangan-tantangan itu. Setelah Senapati Bandudarma roboh dan digotong dalam keadaan luka-luka, kalah oleh Yudasena yang digdaya, siapa lagikah yang berani menghadapi bupati itu?
Pada suatu malam gelap gulita, seorang muda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan bergerak bagaikan seekor ular, menyelinap di antara pohon-pohon dan tetumbuhan, berhasil melampaui penjagaan para barisan pengepung dan kemudian bagaikan seekor kijang ia berlari cepat sekali mendaki bukit.
Beberapa orang penjaga di benteng Mataram ketika melihat berkelabatnya bayangan hitam, lalu menyerang dengan anak panah, akan tetapi dengan mudah saja pemuda itu menerkam anak panah tadi dengan tangannya sambil berseru
"Perajurit-perajurit Mataram, jangan salah sangka! Aku bukanlah musuh dan kedatanganku membawa berita baik! Bawalah aku menghadap Sang Prabu!"
Pemuda ini bukan lain adalah Indrayana sendiri. Sebagaimana diketahui, Pancapana berhasil mengumpulkan perajurit-perajurit yang dibantu oleh panglima-panglima tua dan akhirnya pangeran ini sampai di perbatasan Mataram. Ia sengaja berhenti di tempat yang agak jauh dari pesanggrahan Yudasena dan bala tentaranya, karena sebelum menyerang dan membebaskan Mataram dari kepungan mereka, para panglima tua hendak menyampaikan syarat dan tuntutan kepada Sang Prabu Panamkaran lebih dahulu. Maka ditulislah surat oleh para panglima itu, ditandatangani oleh sebelas orang panglima-panglima tua dari Mataram. Kemudian, mereka menemui kesukaran dalam memilih siapa orangnya yang dapat mengantarkan surat itu kepada Sang Prabu Panamkaran.
Bukit dimana kerajaan itu terletak telah dikurung oleh barisan musuh, maka bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah untuk menerobos penjagaan rumah itu dan naik ke bukit. tak seorangpun diantara merek, sungguhpun banyak yang mengajukan diri, dapat dipercaya akan berhasil melakukan tugas berat ini. Bahkan Surarudira sendiri yang memaksa untuk membawa surat itu, tidak di perkenankan oleh Pacapana. Akhirnya Indrayana maju dan tentu saja Pancapana setuju sekali, karena ia yakin bahwa adik seperguruannya ini pasti akan sanggup melakukan pekerjaan itu.
Demikian, dengan gerakan-gerakannay yang amat gesit, Indrayana bergerak di malam gelap itu akhirnya dapat juga mencapai puncak bukit dan berada di luar benteng. Para penjaga setelah melihat dengan jelas bahwa pendatang itu hanya seorang pemuda yang tiada berkawan, lalu membuka pintu benteng dan memperkenankan Indrayana masuk ke dalam benteng.
Begitu ia melangkah masuk, setengah losin prajurit penjaga meyergapnya! Empat menangkap kaki tangannya, seorang memeluk pinggangnya dan seorang lagi memiting lehernya!
Menyerahlah sebagai tawanan sebelum putus lehermu!"seorang di antara mereka mengancam.
Bukan main mendongkolnya hati Indrayana menghadapi penyambutan yang tak disangka-sangkanya ini. Ia mengerahkan tenaganya dan sekali ia menggoyang tubuh dengan gerakan melempar, enam orang peyergapnya itu terpelanting ke kanan kiri lalu jatuh bergulingan.
Kurang ajar!"bentak Indrayana."Aku datang membawa berita pertolongan, akan tetapi kalian menyambut dengan serangan! Butakan mata kalian menyambut dengan serangan! Butakah mata kalian memaksakan dan menganggap aku sebagai musuh, hayo majulah! Jangan maju seorang dua orang, kerahkan seluruh barisanmu. Aku, Raden Indrayana takkan mundur selagkahpun!"
Pada penjaga terkejut menyaksikan kehebatan sepak terjang pemuda tampan ini, apalagi ketika mendengar ucapannya yang gagah, mereka menjadi gentar. Seorang kepala pasukan yang telah agak tua usianya lalu bertanya.
"Anak muda, kau datang pada malam gelap, tentu saja mencurigakan hati kami. Sesungguhnya, engkau diutus oleh siapakah dan ada keperluan apa?"
"Nah, sedikitnya kalian harus bertanya dahulu sebelum turun tangan secara sembrono dan serampangan!"Indrayana menegur dengan gemas.
"Maafkan kami, anak muda,"kata penjaga kepala itu. Musuh telah berlalu mendesak, sehingga anak buahku merasa kurang sabar dan gelisah. Sekali lagi, siapakah yang mengutusmu naik ke sini?"
"Buka telinga kalian baik-baik! Aku adalah Raden Indrayana, utusan dari Pangeran Pancapana!"
Semua prajurit yang mendengar nama ini menjadi pucat dan memandang dengan mata terbelalak."tak mungkin ""
Gusti Pangeran sudah meninggal dunia ketika masih kecil """
"Memang demikian sangkaan orang!"kata Indrayana."Akan tetapi pada saat itu Gusti Pangeran Pancapana, telah atang bersama para panglima Mataram tua yang gagah berani, diikuti oleh barisan kawula Mataram yang setia dan yang hampir selaksa orang jumlahnya!"
Tiba-tiba bersoraklah semua orang mendengar ucapan ini dan dengan meriah mereka menyambut Indrayana. Ribuan macam pertanyaan dihujankan kepada Indrayana, akan tetapi pemuda ini berkata.
"Tidak ada gunanya semua pertanyaan itu dijawab. Kelak kalian akan tahu sendiri. Sekarang lebih baik bawalah aku ke hadapan Sang Prabu Panamkaran."
Penjaga kepala yang tua itu menggeleng kepala."Tidak bisa, Raden Indrayana. Tak mungkin menghadap Sang Prabu pada saat seperti ini. Tak seorangpun berani mengganggu Gusti Prabu dari pada tidurnya."
Menghadapi keadaan seperti ini, siapakah orangnya yang masih mementingkan urusan tidur?"Indrayana berseru marah, akan tetapi penjaga itu dengan isarat tangannya minta agar supaya pemuda ini bersabar.
"Orang lain boleh binggung dan gelisah sehingga lupa makan lupa tidur, akan tetapi Sang Prabu tak boleh diganggu kalau sedang berada di kamar beserta semua selir-selirnya!
"Sambil berkata demikian sebelah mata penjaga itu dikejapkan kepada Indrayana. Pemuda ini mengigit bibirnya dengan gemas sekali.
"Pantas saja Mataram menjadi lemah dan menghadapi keruntuhannya!"Ia menggumam, Kemudian ia berkata kepada penjaga kepala itu."Kalau demikian, biarlah besok pagi-pagi aku menghadap dan sekrang akupun hendak mengaso dan jangan menggangu tidurku!"
Penjaga itu lalu membawanya ke sebuah bilik di tempat penjagaan. Setelah merebahkan dirinya di ats bale-bale, sebentar saja pulaslah Indrayana.
"Apa?"seru Patih Bandudarma dengan mata melotot memandang wajah Indrayana penuh kecurigaan."Pangeran Pancapana masih hidup? Tidak bohongkah kau, anak muda?"
Indrayana menantang pandang mata Bandudarma dengan sinar marah.
"Untuk apa aku membohong kepadamu? Aku datang sebagai utusan Pangeran Pancapana, Putera Mahkota Mataram, juga utusan para senopati sepuh dari Mataram untuk menyampaikan surat kehadapan Sang Prabu Panamkaran. Mengapa aku harus membohong? Untuk apa? Lekas bawa kau menghadap Sang Prabu!"Indrayana sudah kehilangan sabarnya karena semenjak ia datang di Mataram, orang selalu mencurigakannya dan menyambut tidak sebagaimana mestinya.
"Serahkan saja surat itu kepada kami. Sebagai patih dalam dan senapati Mataram, kami hendak menerima surat itu mewakili Sang Prabu."
"Tidak!"jawab Indrayana tegas."Harus tanganku sendiri yang menyerahkan surat ini kepada Sang Prabu Panamkaran. Itu adalah tugasku. Mengapakah kalian agaknya tidak rela membiarkan aku menghadap Sang Prabu?"
Bandudarma menyeringai."Kami masih belum percaya penuh kepadamu, Indrayana. Siapa tahu kalau-kalau kau adalah seorang pesuruh dari Yudasena yang datang untuk membunuh Sang Prabu 1"
Merahkan muka Indrayana mendengar ini."kalau aku benar seorang pesuruh Yudasena, yang kubunuh bukannya Sang Prabu, melainkan kalian berdualah yang semenjak tadi tentu sudah menjadi makanan kerisku!"
"Bangsat kurang ajar!"seru andupati marah sekali. Tanpa memberi peringatan terlebih dahulu, kepalan tangannya melayang ke arah kepala, Indrayana menangkap lengan lawan yang memukul itu, membetot, mengayun dan melepaskan dan ""
Melayanglah tubuh Bandupati keluar dari pendapat kepatihan itu, jatuh berdebuk di atas tanah!
Indrayana berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bertolak pinggang.
"Patih Bandudarma!"bentaknya dengan muka merah dan mata berapai,"Bukan aku yang kurang ajar, akan tetapi kau dan adikmu itulah! Kalian sebagai patih yang sudah tua tentu maklum akan tata susila, maklum bagaimana harus menyambut seorang utusan raja! Kalian tidak menyambut aku sebagai mana mestinya, bahkan berani menghina. Hayo, sekarang kau mau membawa aku menghadap Sang Prabu, ataukah aku akan menghadap dengan kekerasan?"
Melihat kedigdayaan pemuda ini, Bandudarma menjadi gentar juga dan cepat ia menghantarkan Indrayana menghadap Sang Prabu Panamkaran. Bandudarma setelah sadar tadi, lalu mengikuti dari belakang tanpa banyak cakap lagi.
Seperti juga kedua orang patihnya, Sang Prabu Panamkaran merasa terkejut sekali mendengar bahwa pemuda yang tampan itu adalah seorang utusan dari Pangeranpati Pancapana. Akan tetapi ia tidak menyatakan sesuatu dan hanya menerima surat yang di bawa oleh Indrayana dan membaca surat itu. Kedua tangannya gemetar dan jantungnya berdebar keras ketika ia membaca surat itu, yang ditulis dengan singkat oleh para panglima tua dari Mataram. Beginilah bunyi surat itu :
Sang Prabu Panamkaran.
Kiranya tak perlu dijelskan lagi betapa buruk dan lemah keadaan Mataram semenjak paduka menggantikan kedudukan mendiang Sang Prabu Sanjaya. Pengepungan yang dilakukan oleh pemberontak Yudasena tentu akan menamatkan riwayat Mataram apabila tidak segera dipukul hancur. Kami, sebelas orang panglima-panglima dari Kerajaan Mataram yang pernah mengabdi dengan setia,kepada mendiang Sang Prabu Sanjaya dan telah ikut pula membauat Mataram menjadi jaya pada masa itu, telah berkumpul dan bertemu dengan Gusti Pangeran Pancapana, putera mahkota yang berhak penuh menduduki singgasana Kerajaan Mataram.
Melihat bahaya mengancam mataram kami berpendapat perlu sekali untuk menghancurkan musuh Mataram dengan syarat bahwa setelah pemberontak Yudasena dapat kami hancurkan, paduka harus mengundurkan diri dengan baik dan memberikan hak atas singgasana kepada Gusti Pangeran Pancapana. Kalau paduka menolak, kami akan membiarkan saja pemberontak Yudasena merampas kedudukan paduka, kemuliaan kamilah yang akan merampas pula singgasana Mataram dari tangan si pemberontak Yudasena.
Semua jawaban sapat dipercayakan kepada Raden Indrayana pembawa surat ini,
Tertanda :
Sebelas orang Panglima sepuh Mataram
Setelah membaca surat itu, untuk beberapa lama Sang Prabu berdiam diri, tak kuasa berkata-kata. Apakah dayanya? Daripada kerajan jatuh ke dalam tangan Yudasena, lebih baik diserahlan secara baik kepada Pancapana yang berhak dan masih terhitung keponakan sendiri. Dari Pancapana ia dapat mengharapkan pengampunan dan mungkin kedudukan tinggi sebagai penasehat dan sebagainya.
Maka setelah berpikir-pikir, ia lalu berkata.
"Raden Indrayana, katakanlah kepada keponakanku, Pangeran Pancapana itu bahwa hatiku merasa amat terharu bahwa dalam keadaan terjepit ini, dia masih mau membantuku mengusir musuh. Aaku sendiri tidak mempunyai putera, amaka siapa lagi kalau bukan Pancapana yang menggantikan kedudukanku? Tentu saja singgasana akan kuberikan kepada Pancapana, ini sudah emestinya. Nah, kataklanlah kepada para senapati sepuh dan kepada Pangeran Pacapana agar supaya segera menghancurkan Yudasena. Aku berjanji bahwa setelah ia berhasil mengusir musuh, aku akan mengundurkan diri dan mengangkat dia sebagai Raja Mataram."
Giranglah hati Indrayana. Kalau tadi ia masih bersikap angkuh terhadap Sang Prabu Panamkaran, kini ia menyembah dengan khidmat,"Duhai, Sang Prabu, legalah hati hamba mendengar kebijaksanaan paduka ini. Hamba percaya bahwa tidak saja Gusti Pangeran akan merasa lega, juga para senopati dan prajurit Mataram tentu akan memuji keputusan paduka ini. Sekarang hamba mohon diri untuk menyampaikan warta menggirangkan ini kepada Gusti Pangeran, harap saja paduka berhati-hati menjaga serangan-serangan musuh dalam selimut, karena di dalam setiap kerusuhan selalu timbul penghianat-penghianat."Dengan kata-kata yang merupakan sindirian bagi kedua patih itu. Indrayna mengundurkan diri dan kembali kepada Pangeran Pancapana, melalui penjagaan musuh dengan agagh berani. Berbeda dengan ketika berangkatnya, kini Indrayana tidka lagi bersembunyi-sembunyi, bahkan menjagaan pasukan Yudasena dengan berani, dan berhasil merobohkan dan menewaskan banyak musuh sebelum ia sampai di tempat pasukan pangeran pancapana berkumpul.
Sementara itu ketika kedua patih Bandudarma dan Bandupati mendengar jawaban Sang Prabu Panamkaran kepada Indrayana menjadi terkejut sekali. Mereka mengundurkan diri dan berunding dengan cepat bersama para pembantu dan perwira lain yang menjadi kaki tangan mereka. Setelah mengadakan perundingan kilat mereka lalu mengutus seorang perwira untuk diam-diam mendatangi kubu-kubu pertahanan musuh di bawah bukit, bertemu dengan Bupati Yudasena. Perwira ini berhasil bertemu dengan Yudasena dan menyerahkan sepucuk surat yang ditandatangani oleh Bandudarma dan Bandupati.
Yudasena menjadi amat terkejut dan juga girang setelah membaca surat itu. Di dalam surat itu, ia diberitahu bahwa sepasukan benar balatentara yang dipimpin oelh Pangeran Pancapana telah datang hendak membantu an menghancurkan pasukan Yudasena, dan kedua patih itu menawarkan kerjasama yang baik. Karena pasukan-pasukan Pangeran Pancapana itu dipimpin oleh senopati-senopati yang pandai dan merupakan lawan berat, maka kedua patih yang menjadi penghianat itu mengusulkan agar supaya Yudasena pura-pura kalah dan melarikan diri, menjaga sedapat mungkin agar jangan sampai pasukan-pasukannya menjadi lelah karena pertempuran itu. Jadi, dengan sengaja barisan-barisan Pangeran Pancapana itu dibiarkan naik ke atas menduduki Kerajaan Mataram, kalau sudah tiba di depan benteng, perajurit yang dipimpin oelh kedua patih itu akan menyerang dari dalam benteng dan pada saat itu, barisan Yudasena harus esegera naik dan menggempur tentara Pangeran Pancapana yang akan terjepit, digempur dari atas dan dari bawah bukit!
Sebagai penutup surat, kedua patih itu akan membantu agar singgasana kerajaan Mataram diserahkan kepada Yudasena, kemudian sebagai pengganti jasa, kedua patih itu akan diberi kedudukan tinggi dan tidak dianggap sebagai musuh!
Yudasena tertawa bergelak denagn girangnya"Ha, ha, paman Patih Bandudarma dan Bandupati memang benar-benar cerdik sekali. Baiklah, akau setuju dengan uslnya, dan bawalah balasan surat ini ke atas bukit!"Demikianlah persekutuan gelap telah terjalin antara kedua penghianat an si pemberontak Yudasena itu.
Sementara itu,setelah mendengar penuturan Indrayana, para pengliam tua dan Pangeran Pancapana menjadi girang sekali. Mereka lalu mengerahkan pasukan-pasukan mereka dan bergeraklah balatentara itu maju menuju ke kubu-kubu musuh, yakni tentara Yudasena.
Sebelum tentara Pangeran Pancapana sampai di kubu-kubu pertahanannya. Bupati Yudasena telah mengadakan perundingan denagn para pembantunya dan semua anggota barisan telah tahu belaka bahwa dalam menghadapi pasukan penyerbu dari luar, mereka tidak boelh menyerang dengan sungguh-sungguh dan setelah ada komando untuk mundur, mereka harus segera mengundurkan diri.
Kedua pasukan besar itu berhadapan dan Yudasena sendiri beserta belasan orang senapatinya menyambut rombongan Pangeran Pancapana yang menunggang kuda."Ha-ha!"Yudasena tertawa bergelak."Aku mendengar bahwa ada orang yang ebrani mengaku bernama Pangeran Pancapana yang sudah meninggal dunia. Manakah Pancapana palsu itu?"
Pangeran Panacana mengajukan kudanya dan membentak,"Yudasena, pemberontak rendah! Di waktu kerajaan sedang mengalami kemunduran, kau tidak berusaha membantu dan membangun kembali, bahkan datang melakukan penyerangan. Alangkah rendah watakmu! Kalau kau pernah mengabdi kepada mending rama prabu, tentu kau dapat melihat bahwa aku adalah Pangeran Pancapana yang asli. Tengoklah para panglima sepuh bekas senapati-senapati mendiang rama prabu, adakah mereka ini juga palsu? Lihat paman Senapati Cakraluyung, paman Kelabangwulung, dan yang lain-lain. Benar-benarkah kau tidak kenal mereka?"
Diam-diam Yudasena mengakui bahwa pemuda yang tampan ini memang serupa benar dengan mendiang Prabu Sanjaya, dan bahwa semua senapati tua itu memang benar jago-jago mataram pada masa Sang Prabu Sanjaya masihmemegang tampuk kerajaan. Akan tetapi ia memang sengaja berpura-pura tidak kenal, untuk menjalankan siasat yang telah diatur bersama-sama kedua patih Mataram.
Seorang pembantunya, yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, adalah seorang senopati yang amat kuat. Orang ini bernama Limandaka dan bersenjata ebuah penggada besar yang mengerikan. Limandaka melompat maju dan berkata,
"Para perampok dari manakah berani datang menggangu kami? Laki-laki berunding dengan kepalan dan senjata, tidak seperti perempuan mengandalkan bibirnya. Hayo, aku menjadi senopati pertama dari barisan Pasisir, siapakah yang berani menghadapiku?"
Melihat sikap orang yang kasar ini, Pancapana lalu memberi tanda kepala Surarudira untuk maju menghadapi senopati musuh itu. Surarudira menjadi girang sekali. Ia melompat turun dari kudanya dan amenghampiri si muak hitam yang juga tinggi besar seperti dia, lalu menuding dengan telunjuknya.
"Eh, muka hitam bermulut lebar! Akulah orangnya yang sanggup mengirim kau kembali ke tempat asalmu, di neraka!"
Marah sekali Limandaka mendengar ucapan ini"Siapakah kau, siluman brengos bermata jengkol? Katakan dulu namamu sebelum kedua matamu yang hampir keluar itu betul-betul melompat keluar terkena pukulan yang keras!"
"Aku tak pernah meninggalkan nama di rumah da tak pernah menyembunyikan nama atau menggantinya. Namaku Surarudira, senopati Mataram yang tiada taranya. Kau ini prajurit baru yang masih belajar memegang keris, siapakah namamu yang rendah?"
Surarudira, aku pernah mendengar bahwa orang yang bernama Surarudira hanyalah menjadi tukang membersihkan kandang kuda di Mataram! Ha, ha ha! Dan kau maju menjadi senopati menghadapi aku Senopati Limandaka yang sakti? Kau benar-benar sudah rindu kepada kuburan!"
Surarusdira marah sekali. Memang, sebelum ia menjadi seorang kepala barian pengawal dari Sang Prabu Sanjaya dahulu, ia bekerja sebagai pemeliharaan kuda, akan tetapi bukan kuda sembarangan kuda, melainkan kuda kelangenan ( kesayangan ) Sang Prabu Sanjaya, yang tidak mau mempercayakan pemeliharaan kuda itu ke tangan orang lain. Kini mendengar ejekan Limandaka, Sararudira menjadi mata gelap dan menubruk dengan terkam kedua tangannya yang kuat!
Alimandaka tidak mau membiarkan dirinya diterkam bagaikan seekor kelinci diterkam harimau, Ia mengangkat kedua tangannya dan menangkis pukulan Surarudira.
"Buk!"ketika kedua lengan orang tinggi besar itu saling beradu, keduanya terhuyung ke belakang beberapa tindak. Ternyata tenaga mereka sama kuatnya.
"Jahanam, rasakan tendangan mautku!"seru Limandaka sambil mengayun kaki kanan yang sebesar kaki gajah, menyambar ke arah wadah nasi Surarudira yang gedut, Surarudira hendak mengelak, akan tetapi tendangan itu merupakan keistimewaan dari kepandaia Limanaka, dan bukan seperti tendangan biasa yang mudah dielakkan. Tendangan itu dapat mengikuti gerakan yang mengelak, sehingga ketika tubuh Surarudira mengelak ke kiri, secepat angin kakai yang besar itu ikut membelok pula, dan masih dapat menendang paha Surarudira sehingga mencelat empat dapa lebih!
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun, Surarudira adalah seorang yang kebal dan kulitnya lebih tebal daripada kulit seekor badak. Biarpun tendangan keras itu membuat tubuhnya mencelat dan membuat daging pahanya merasa sakit, njarem ( pegel-pegel ) dan ketika ia maju, kakinay agak terpincang-pincang, namun tidak mengurangi semangatnya bertempur. Ia mendengus lalu membentak.
"Keparat, rasakan pembalasanku!"Ia Ia menubruk dengan kedua tangan dipentang bagaikan seekor harimau menerkam. Limandaka menyambutnay dengan tangan terpentang pula sehingga keduanya lalu saling terkam dan saling piting, akan tetapi keistmewaan Surarudira adalah main gulat. Dengan beberapa gerakan yang amat cerdik ia berhasil memeting leher lawannya dan membekuk tubuhnya sehingga tubuh Limandaka ditekuk ke belakang, lehernya berada dalam kempitan ketiak Surarudira. Ia meronta-ronta, akan tetapi tak dapat melepaskan diri. Sebaliknya, sungguhpun tak dapat mengirim pukulan, karena kedua tangannya tak bebas. Sedikit saja ia mengendurkan kempitannya, lawannya yang sama kuatnya itu tentu akan dapat melepaskan diri. Terdengar suara,"ah, uh, ah, uh,!"dan dengus dari hidung dan mulut mereka ketika keduanya mengerahkan tenaga, yang satu hendak mematahkan batang leher lawan, yang laih hendak melepaskan diri. Bukan main ramainay pergulatan itu. Akhirnya, karena pAyah menahan usaha Limandaka yang hendak melepaskan diri, Surarudira lalu mengangkat tubuh lawannya dan membantingnya sekuat tenaga!
Blek!!"Debu mengepul tinggi ketika tubuh Limandaka yang besar itu menimpa tanah dan bergulingan sampai enam kali. Kalau tadi ketika Surarudira kena tendang, barisan Pesisir bersorak-sorai, kini barisan Pangeran Pancapana bertepuk tangan dengan riang melihat Surarudira dapat membanting lawannya. Akan tetapi, ternyata bahwa Limandaka juga kebal dan kuat sekali tubuhnya. Bantingan yang cukup kuat itu hanya membuatnya nanar sejenak sehingga tanah yang dipijaknya serasa terputar-putar. Akan tetapi segera ia memeramkan mata dan menenangkan pikirannya dan tak lama kemudian, ia telah mengeluarkan senjata yang mengerikan, yakni penggada yang besarnya bukan main itu.
Melihat lawannya mengeluarkan senjata. Surarudira tidak mau kalah dan dicabutnyalah klewangnya yang tajam dan lebar berkilau terkena sinar matahari. Dan kini keduanya saling serang dengan senjata, jauh lebih hebat dan menegangkan daripada tadi. Barisan kedua belah pihak bersorak-sorai memberi tambahan semangat kepada jago masing-masing.
Sementara itu, beberapa orang senopati barisan Pesisir maju pula dan disambut oleh para senopati sepuh dari Mataram. Akan tetapi Indrayana mendahului para panglima tua itu dan pemuda yang gagah perkasa ini lalu mengamuk bagaikan seekor banteng terluka. Tiap lawan yang terkena pukulannya, roboh tak dapat bengun pula.
Melihat kehebatan pemuda ini Yudasena marah sekali dan ia sendiri maju ke medan pertempuran, setelah memberi tanda para barisan untuk maju menyerbu. Maka menyerbulah kedua barisan itu dan perang di mulai dengan gemuruh dan hebatnya. Yudasena sendiri yang menyergap Indrayana segera ditandingi oleh Pangeran Pancapana sendiri, Yudasena memang hanya hendak perang secara pura-pura saja untuk kemudian melarikan diri sebagaimana yang telah direncanakan akan tetapi ebagai seorang panglima, hatinya belum merasa puas kalau belum mencoba sampai di mana kedisdayaan lawan. Ia tela mendengar akan kedigdayaan para senopati sepuh dari Mataram, sehingga ia merasa gentar juga menghadapi mereka, akan tetapi melihat Pangeran Pancapana dan Indrayana yang masih muda belia, tentu saja ia merasa penasaran kalau harus mundur tanpa mencoba dulu kepandaian mereka!
Yudasena, bupati yang memberontak terhadap Mataram dan yang memimpin selaksa orang prajurit Pesisir untuk mengepung Mataram, adalah seorang yang mempunyai aji kesaktian di tangan kanannya yang disebut Asta Dahana ( Tangan Api ). Jarang sekali ada lawan yang sanggup menerima pukulan tangannya ini, ampuhnya melebihi tusukan senjata runcing atau babatan senjata tajam!
Ketika perang tanding antara pasukan Pesisir melawan psukan Mataram berlangsung. Yudasena ikut menyerbu dan ia disambut oleh Pangeran sendiri, karena Indrayana sedang sibuk mengamuk dan melayani fihak musuh.
Dengan seruan keras yang terdengar seperti seekor macam mengaum, Yudasena melompat dan mengirim pukulan tangan kanannya yan ampuh kepada Pangeran Pancapana. Melihat betapa pukulan itu didahului dengan sinar kemerahan berkilat dan juga terasa panas menyambar, maklumlah pemuda itu bahwa tangan lawannya ini ampuh dan mengandung hawa sakti. Cepat dan lincah sekali Pangeran Pancapana mengelak ke kiri dan tangan kirinya menyambar ke arah sambungan siku tangan lawan dengan maksud untuk mengetok sambungan siku itu agar terputus atau terlepas.
Akan tetapi Yudasena adalah seorang perwira yang selain gagah perkasa, juga telah banyak sekali pengalamannya dalam perkelahian, maka tentu saja tak mudah dirobohkan dengan segebrakan saja. Sebelum tangan Pancapana berhasil menghantam sikunya, lebih dulu ia telah menarik lengan kanannya dan sebuah tendangan keras ia layangkan ke arah perut pangeran itu. Kembali Pancapana dapat menghindarkan diri denagn sebuah tangkisan tangan kanannya. Ramailah mereka bertempur, kuat sama kuat, ketangkasan di lawan dengan kesigapan. Untuk menandingi Aji Kesaktian Asta Dahana dari lawannya, Pancapana juga mengerahkan aji kesaktian yang disebut tangan Kilat ( Asta Braja ) juga berada di tangan kanannya.
Yudasena cukup wasapada dan tahu pula bahwa tangan kanan pemuda itu ampuh sekali dan mengandung kekuatan yang berbahaya, maka seperti juga Pancapana, ia selalu mengelak pukulan tangan Pancapana, tidak berani untuk mencoba menerima pukulan itu. Keduanya memiliki kekuatan dan kekebalan, dan pukulan tangan kiri lawan diterimanya dengan senyum di bibir, akan tetapi pukulan tangan kanan selalu dielakkan atau ditangkis.
Yudasena diam-diam terkejut juga menyaksikan kedigdayaan pemuda yang mencalonkan diri menjadi Raja Mataram itu. Lebih-lebih kaget dan herannya ketika ia memukul dengan tangan kananya sambil menggerakkan tenaga. Pancapana menyambut pukulan itu dengan pukulan tangan pula.
"Duk!!"Dua tanagn raksasa yang didorong oelh aji kesaktian yang amat ampuh bertumbuk melalui dua kepalan tangan itu. Tubuh keduanya tergoncang karenanya dan terhuyun-huyun mundur lima langkah. Yudasena benar-benar merasa kagum dan juga penasaran mengapa lawannya yan masih muda itu sangup menerima pukulannya dengan pukulan pula, bahkan dari pukulan pemuda itu ia maklum bahwa ilmu tenaga lawannya tidak kalah hebatnya. Menurut rasa penasaran di hatinya, ia ingin mencabut senjatanya, akan tetapi ia teringat akan siasat yang telah diaturnya, maka ia berpikir bahwa belum tiba saatnya untuk mengadu jiwa.
"Bagus, kepandaianmu tidak buruk!"serunya sambuil melompat mundur, lalu ia memberi aba-aba kepada anak buanya untuk mengundurkan diri.
Para prajurit Pasisir yang telah maklum bahwa telah direncanakan sejak semula untuk penarikan mundur ini, dengan serentak meninggalkan gelanggang perang melarikan diri.
Pancapana dan Indrayana saling pandang sambil tersenyum puas. Mereka merasa bangga dan menganggap bahwa musuh terlampau lemah dan pengecut sehingga belum lagi pertempuran itu sampai di pncaknya, musuh telah mengundurkan diri. Kalau saja di situ tidka terdapat banyak senopati sepuh yang telah banyak makan asam garam peperangan dan pengalaman pertempuran, tentu kedua orang muda ini terkena tipu muslihat yang dijadikan siasat oleh Yudasena.
"Gusti Pangeran,"kata senopati Cakraluyung yang sudah tua dan berpengalaman,"gerakan Yudasena ini benar-benar amat mencurigakan. Penarikan mundur barisannya yang belum mengalami kehancuran itu lebih menyerupai siasat peperangan daripada kekalahan yang sewajarnya. Hamba tahu sampai di mana kekuatan barisan Yudasena dan kiranya takkan semudah ini mereka dapat dipukul mundur."
"Habis, bagaimana baiknya, paman Cakraluyung?"tanya Pangeran Pancapana.
"Kita masih belum tahu siasat apakah yang mereka jalankan,"jawab senopati tua itu,"maka kita harus berlaku wasapada. Juga kita harus berlaku cerdik dan berbuat seakan-akan kita belum mempunyai kecurigaan terhadap mereka. Oleh karena itu, harap paduka membawa sebagaian pasukan menyerbu terus ke atas dan masuk ke dalam benteng Mataram. Adapun hamba bersama sebagaian pasukan pula bersembunyi di belakang dan melihat apakan yang sesungguhnya menjadi siasat Yudasena. Kalau kiranya hamba menduga salah dan mereka akan membawa betul-betul kalah dan mundur, hamba akan membawa pasukan menyusul ke atas bukit."
Pangeran Pancapana menyetujui rencana ini, maka ia lalu membawa barsiannay terus mendaki bukit yang kini tak terkepung oleh musuh lagi itu.
Sebagaimana telah di rencanakan oleh Yudasena dan kedua Patih mataram yang berkhianat, ketika melihat barisan Pangeran Pancapana naik ke bukit, kedua Patih Bandudarma dan Bandupati itu lalu menegrahkan barisan untuk menyambut kedatangan Pangeran itu dengan serangan tiba-tiba. Sang Prabu Panamkara terkejut melihat persiapan ini dan ia menegur kedua orang paihnya, akan tetapi kedua orang patih yang berkhianat itu bahkan memerintahkan kaki tangannya untuk menangkap Sang Prabu Panamkaran dan dimasukkan ke dalam tahanan!
Sementara itu, setelah barisan Pangeran Pancapana tiba di luar tembok benteng, tiba-tiba pintu benteng itu terbuka dan dari dalam benteng menyerbulah tentara Mataram dibarengi dengan hujan anak panah dari atas tembok benteng yang menyerang pasukan-pasukan Pangeran Pancapana! Pancapana dan Indrayana terkejut sekali melihat sambutan ini.
"Dimas Indrayana? Bagaimana ini? Bukankah paman prabu sudah berjanji akan menerimaku dengan baik?"
Entahlah, kangmas Pancapana. Aku sendiripun amat heran! Benar-benarkah seorang ratu menjilat ludah sendiri yang sudah keluar dari mulutnya?"
Tiba-tiba terdengar sorakan hebat dan dari bawah menyerbulah barisan Yudasena yang tadi mengundurkan diri! Bukan main sibuknya barisan Pancapana yang diserang dari atas dan bawah ini!
"Kangmas Pancapana, biarlah aku masuk dulu ke dalam benteng dan mematahkan batang leher raja curang itu!"
"Nanti dulu, dimas, jangan kau binggung dan khawatir. Baiknya siasat curang ini telah diduga oleh paman Senopati Cakraluyung, kalau tidak celakalah barisan kita. Mari kita menyerbu dan merampas benteng. Pasukan Yudasena biarkan saja naik tentu akan diserang oleh paman Cakra luyung dari belakang."
(Lanjut ke Jilid 08)
Banjir Darah di Borobudur (Cerita Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08
Pangeran Pancapana lalu memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerbu terus ke dalam benteng. Banyak korabn jatuh bertumpuk di fihak pasukan penyerbu, akan tetapi berkat kegagahan Pancapana dan Indrayana yang memberi contoh menyerbu paling depan, pasukan itu besar sekali semangatnya dan terus menyerbu sehingga pintu benteng dapat dibobolkan pertahannya!
Sementara itu, sorakan yang tadi dikeluarkan oleh pasukan-pasukan Yudasena ketika mengejar naik untuk menggunting barisan Pancapana, tiba-tibamenjadi sirep dan terganti oleh teriakan-teriakan kaget ketika tiba-tiba dari kanan kiri dan belakang keluar pasukan-pasukan Cakraluyung menyerbu mereka! Yudasena terkejut sekali dan dalam kegugupannya, ia tak dapat memberi komando yang tepat sehingga barisannya berperang secara liar. Banyak sekali korban tewas dalam pertempuran dahsyat ini, perang campur menjadi satu sehingga sukar dibedakan mana kawan mana lawan. Yudasena dengan marah sekali lalu menyerbu dan akhirnya ia bertanding melawan Senopati Cakraluyung sendiri!
"Bangsat tua!"Yudasena memaki."Rupanya kaulah yang mengalahkan siasatku!"
"Pemberontak hina dina! Dewata selalu melindungi orang yang benar mengutuk yang sesat!"jawab Cakraluyung yang menagkis serangan tombak di tangan Yudasena dengan perisainya, kemudian membalas serangan lawan denagn pedangnya. Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi. Sungguhpun dalam siasat perang Cakraluyung tak usah kalah oleh Yudasena dan juga dalam ilmu pertempuran senopati tua ini amat pandai, namun ia telah tua sekali dan tenaganya sudah banyak berkurang. Apalagi tombak di tangan Yudasena selain merupakan tombak pusaka yang ampuh, juga dimainkan secara luar biasa cepat dan kuatnya, setelah melawan mati-matian akhirnya, Senopati Cakraluyung roboh dengan dada terluka oleh tombak.
Ha-ha-ha Cakraluyung! Ternyata kau tidak dilindungi oleh Dewata, maka tentu kau yang sesat dan aku yang benar!"Yudasena mengejek, lalu mengamuk dengan tombaknya sehingga barisan Mataram yang sudah kehilangan pemimpinnya ini sekarang menjadi kacau-balau dan kalau dilanjutkan pertempuran itu, tentu mereka akan terpukul hancur.
Akan tetapi, pada saat itu fihak barisan Yudasena menjadi kacau dan prajurit-prajurit barisan ini lari ke kanan kiri, yang kurang ceopat larinya terlempar ke kanan kiri bagaikan rumput kering saja. Terdegar pekik kesakitan susul menyusul. Ternyata bahwa yang datang mengamuk itu adalah Indrayana! Para prajurit Mataram ketika melihat oemuda yang gagah perwira ini, timbul lagi semangat mereka dan kembali peperangan dimulai dengan lebih hebat. Yudasena ketika mengetahui bahwa yang mengamuk itu Indrayana, segera memburu dengan tombak di tangan.
Pada saat itu, Indrayana tengah berlutut di dekat tubuh senopati Cakraluyung yang mandi darah an sudah tak berdaya lagi. Ketika Indrayana memangkunya, senopati sepu ini hanya bisa berbisik perlahan."Raden Indrayana ""
Sampaikan pesanku kepada Gusti Pangeran ""
Pandai dan bijaksanalah ia memerintah Mataram ""
Melindungi dan memimpin rakyat jelata ""
Semoga Mataram dapat di bangun kembali, makmur dan jaya sebagaimana dahulu """Maka meninggallah pahlawan tua ini di dalam pelukan Indrayana.
Ketika Yudasena datang menyerbu denagn tombaknya, Indrayana memandang kepada bupati ini dengan mata merah karena maranya. Ia meletakkan tubuh Cakraluyung di atas rumput, mencabut krisnya dan melompat ke depan menyambut kedatangan Yudasena. Tanpa banyak cakap Indrayana menyerang dengan kerisnya dan Yudasena pun tak mau mengalah begitu saja. Tombaknya diputar-putar dan bagaikan seekor ular hidup, tombak itu meluncur mendatangkan angin dan menghujani tubuh Indrayana dengan serangan-serangan kilat. Kalau melihat keadaan senjata mereka, sungguh berat sebelah, senjata di tangan Yudasena adalah sebatang tombak panjang sedangkan sebantang tombak Indrayana adalah sebilah keris yang pendek. Akan tetapi, Indrayana memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa sekali sehingga Yudasena tidak mempunyai banyak kesempatan untuk mempergunakan tombaknya. Tubuh pemuda itu berkelebat menyambar-nyambar bagaikan seekor burung serikatan, membuat Yudasena merasa terkejut sekali dan kepalanya pening.
"Yudasena, kau harus membayar dengan nyawamu untuk tewasnya Paman Cakraluyung!
"Indrayana membentak dan sebuah tusukan kilat denagn kerisnya membuat Yudasena terhuyung mundur, tangan kiri mendekap luka di dada yang tertembus keris, sedangkan tanagn kananya mengangkat tombak ini cepat sekali datangnya dan Indrayana tidak terburu mengelak lagi. Pemuda yang gagah ini lalu mengibas dengan tangan kirinya sehingga tombak itu dapat tertangkis dan meluncur ke samping. Terdengar pekik ketika tombak itu menembus punggung seorang prajurit yang sedang bertempur.
Sementara itu, Pancapana berhsil memasuki benteng. Dengan gemesnya pangeran ini mengamuk dan ketika ia dapat memegang batang leher seorang perwira, ia mencekik dan menghardik
Sang Prabu Samaratungga berdiri dari kursinya dengan wajah pucat. Ia teringat akan sabda seorang wiku sakti yang telah meinggal dunia dahulu yang menyatakan bahwa apabila gendewa pusaka Dewandanu patah, maka itu berarti bahwa Kerajaan Syailendra telah tiba masanya untuk lenyap dari tanah Jawa!
Siddha Kalagana melemparkan patahan dan gendewa itu ke tanah, tertawa bergelak dan berkata kepada Sang Prabu Samaratungga,"Ha, ha, ha! Tidak tahunya gendewa pusaka itu hanay terbuat dari bahan kayu yang lembek saja! Mana dia dapat menahan tenaga tanganku Sang Prabu, sekarang setelah saya dapat menempuh syarat pertama dengan baik, umumkanlah apakah syarat selanjutnya? Menurut pendengaranku, ditetapkan adanya tiga macam syarat!"
Terpaksa Sang Prabu Samaratungga lalu berdiri dan berkata dengan suara lantang.
"Telah kusaksikan bahwa yang kuat menarik gendewa pusaka Dewandana ada lima orang. Syarat-syarat sayembara ini masih ada dua macam lagi, yaitu pertama kali, peserta harsu dapat menlenyapkan hawa siluman yang mengotori puncak Gunung Papak. Adapun syarat terakhir ialah bahwa si peserta harus dapat mengusir semua ancaman musuh yang hendak menyerang atau menganggu keamanan Kerajaan Syailendra!"
Tiba-tiba Pramodawardani berbisik kepada Ayahnya,
"Ramanda Prabu, hamba kira lebih baik kalau para peserta itu memperkenalkan diri masing-masing terlebih dahulu."
Diam-diam Prabu Samaratungga memuji kecerdikan puterinya ini, karena memang perlu sekali mengetahui nama-nama daripada calon suami puteri mahkota.
"Sebelum sayembara ini dilanjutkan, perlu diketahui nama-nama para peserta yang lulus dalam syarat pertama. Orang pertama dan kedua telah diketahui, yaitu utusan-utusan dari Kerajaan Sriwijaya yang bernama Senapati Kalinggapati dan Kalinggajaya. Orang ke empat adalah Raden Indrayana putera Wiku Dutaprayoga seorang kawula Syailendra sendiri, dan orang kelima adalah Siddha Kalagana yang terkenal sebagai seorang pendeta dan juga kini menjadi raja. Akan tetapi, seapakah peserta ke tiga? Harap suka memperkenalkan nama dan kedudukan!"
Sang Rakai Pikatan berdiri dengan tenang dan senyum di bibirnya yang tak pernah meninggalkan wajahnya.
"Sang Maha Raja yang mulai harap maklum bahwa saya adalah Raja dari Mataram yang berjuluk Sang Rakai Pikatan."
Berisiklah para penonton ketika mendengar nama raja muda yang amat terkenal ini. Memang, nama Rakai Pikatan sebagai raja muda di Mataram amat terkenal dan menjadi buah bibir rakyat, karena raja muda yang masih perjaka itu dikhabarkan amat tampan, sakti dan bijaksana sehingga dalam waktu setahun saja telah berhasil membangun Mataram kembali menjadi jaya dan makmur.
Sang Prabu Samaratungga sendiri tertegun sejenak mendengar nama ini. Ia merasa amat bangga dan juga binggung. Raja Mataram merupakan tandingan berat bagi pangeran sriwijaya, maka kini pilihannya hanya condong kepada ketua calon ini, yakni pangeran pati dari Sriwijaya atau raja muda dari Mataram.
Sebaiknya, Pramodawardani mengerutkan keningnya. Ia maklum bahwa raja muda dari Mataram itu beragama Hindu, maka bagaimanakah kalau sampai ia menjadi permaisurinya? Kalau mengingat akan kedudukan, tentu saja lebih baik menjadi permaisuri Mataram, akan tetapi kalau mengingat akan agama, agaknya lebih baik menjadi istri Raden Indrayana. Adapun tentang kegagahan dan kecakapan, sukarlah untuk memilih antara kedua pemuda ksatria itu! Sama halus, sama tampan, sama gagah! Tiba-tiba mendapat sebuah pikiran yang baik. Betapapun juga, agaknya Ayahnya tentu akan memilih Raja Mataram daripada Raden Indrayana, dan untuk mencoba dari raja muda yang beragama Hindu itu hanya ada satu jalan yang amat baik.
Ibu kota Mataram dipindahkan kembali dari puncak Gunung ieng ke ibu kota medang yang makin lama makin menjadi besar dan ramai. Belum setahun Sang Prabu Pikatan memegang tampuk kerajaan, Mataram telah menjadi besar dan jaya, bahkan boleh dikata lebih besar daripada dahulu-dahulu. Semua ini berkat kebijaksanaan Sang Prabu Rakai Pikatan yang adil dan membela rakyat. Para petugas yang curang dan memeras rakyat disapu habis-habisan. Semua pamongpraja bekerja dengan setia dan jujur, benar-benar merupakan pimpinan dan pembimbing rakyat yang membela dan melindungi kawula Mataram, tidak seperti di bawah perintah Prabu Panamkaran, di mana tidak ada pemimpin yang benar-benar memimpin, yang ada melainkan pembesar yang hanya mementingkan urusan perut sendiri tak perduli akan keadaan rakyat jelata yang tercekik, kelaparan dan telanjang!
Setelah Sang Prabu Pikatan pindah ke Medang, Indrayana lalu minta diri dari sahabatnya ini untuk kembali ke Syailendra mencari Ayahnya, Sang Wiku Dutaprayoga,
"Aduhai, dimas Indrayana. Mengapa hendak meninggalkan aku? Kita telah bersama semenjak mengalami kesengsaraan, sama-sama berjuang bahu-membahu. Setelah kini aku mencapai pantai cita dan menikmati hasil perjuangan kita, mengapa kau hendak meninggalkanku? Marilah kita bersama menikmati kebahagiaan di Mataram dan kau bantulah pekerjaanku. Tidak ada patih yang lebih kuingini selain engkau, adikku yang budiman!"
Kata Sang Prabu Pikatan.
Indrayana tersenyum dan menyembah. Setelah Pancapana menjadi raja, tentu saja ia tidak dapat bersikap seperti dahulu, dan menurut tatasusila, ia harus menunjukkan sikap sebagai seorang hamba kepada junjungannya.
"Paduka telah maklum bahwa tiada kegembiraan lain kecuali mengabdi kepada pasuka dan bekerja sama dengan paduka yang selalu menjadi cita-cita hamba. Akan tetapi, sekarang Mataram telah bangkit kembali, sudah tercapai idam-idaman hati yang dikandung selama kita berjuang. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban hamba untuk mengingatkan kembali kepada Kerajaan Syailendra. Oleh karena betapapun juga, hamba adalah kawula Syailendra. Hamba mendengar berita angin bahwasannya kerajaan Sang Prabu Samaratungga kini sedang berada dalam ancaman musuh dari timur. Tentu takkan membenarkan apabila hamba berpeluk tangan saja."
Sang Prabu Pikatan mengangguk-angguk."Kau benar, dimas, memang demikianlah seharusnya watak seorang ksatrya, siap-siaga berjuang membela negara, membela kebenaran, dam mengerahkan tenaga untuk menghancurkan segala macam kejahatan. Akan tetapi, sebelum kau pergi ke Syailendra, kuharap kau suka mampir lebih dahulu di pondok paman Panembahan Bayumurti."
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo