Bagus Sajiwo 5
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Tejo-tejo sulaksana! Selamat datang di padepokan kami yang buruk dan kotor. Siapakah gerangan andika berdua yang terhormat dan apakah kiranya yang dapat kami bantu sehingga andika berdua mengunjungi kami?"
Melihat sikap dan mendengar sapaan yang penuh kelembutan dan hormat itu, pria itu membalas penghormatan dengan menyembah depan dada lalu membungkuk, diturut oleh wanita disebelahnya.
"Permisi, paman wiku. Maafkanlah kiranya kalau kami datang mengganggu keheningan dan ketenteraman andika. Saya bernama Ki Tejomanik, penduduk dusun Bayeman di lereng Gunung Kawi, dan ini adalah isteri saya bernama Retno Susilo."
"Jagat Dewa Bathara! Saya pernah mendengar akan nama besar Ki Sutejo dan isterinya yang bernama Retno Susilo, suami isteri tokoh Mataram yang sakti mandraguna. Andika berduakah itu?"
Ki Tejomanik yang di waktu muda terkenal dengan nama Sutejo itu mengangguk dan tersenyum.
"Benar, paman, akan tetapi kami berdua tidaklah sehebat yang dikabarkan orang."
"Ah, Darun dan Dayun, kita kedatangan tamu agung! Cepat, sediakan minuman dan Nyamikan (makanan) seadanya untuk menyambut tamu-tamu kita!"
"Sendiko dawuh, Bapa Wiku!"
Jawab dua orang cantrik itu dengan suara berbareng dan mereka lalu cepat memasuki pondok.
"Ah, tidak usah repot, paman. Kami hanya merepotkan saja!"
Kata Retno Susilo.
"Sama sekali tidak. Marilah, anak mas berdua, silakan masuk dan kita bicarakan tentang kepentingan andika berdua datang berkunjung, agar lebih leluasa kita bicara. Silakan!"
Wiku Menak Jelangger mempersilakan dua orang tamunya duduk di ruangan depan yang mendapat cukup sinar matahari pagi melalui dua buah jendela di sebelah timur ruangan yang terbuka lebar-lebar sehingga ruangan itu cukup terang dan hawa udara pagi yang sejuk mengalir masuk berlimpah-limpah.
Mereka duduk mengelilingi sebuah meja yang terbuat dari kayu jati, meja dengan ukiran indah dengan empat kursinya yang terukir indah pula.
Pasangan meja kursi ini merupakan hadiah dari Adipati Blambangan karena biarpun Wiku Menak Jelangger tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, bahkan tidak ikut membantu kalau kadipaten Blambangan berperang melawan musuhnya, namun sang wiku tetap dihormati sang adipati. Pertama karena Wiku Menak Jelangger menurunkan beberapa ilmunya kepada banyak senopati Blambangan dan juga karena kakak seperguruannya, mendiang Wiku Menak Koncar merupakan orang kepercayaan Sang Adipati Blambangan.
Darun dan Dayun menghidangkan minuman air teh panas dan jagung rebus, dan dengan ramah dan manis budi sang wiku mempersilakan kedua orang tamunya untuk menikmati jagung muda rebus yang masih mengepul panas itu dan minum air tehnya.
Ki Tejomanik dan isterinya menyambut ajakan ini dan mereka berdua makan jagung rebus dan minum air teh. Setelah mereka berhenti makan, sang wiku lalu bertanya.
"Nah, sekarang harap anak mas suka menceritakan, apa yang mendorong andika berdua mengunjungi aku, seorang tua yang tidak mempunyai urusan apapun dengan dunia ramai? Bantuan apa yang dapat kuberikan kepada andika berdua?"
Suami isteri itu saling pandang dan karena hubungan mereka sebagai suami isteri sudah berjalan hampir dua puluh tahun, maka mereka saling mengenal secara mendalam, bahkan dari pandang mata saja mereka seolah dapat mengetahui isi hati dan pikiran masing-masing.
Kedua orang suami isteri ini merasa heran. Setahu mereka, dari cerita para pendekar yang membela Mataram, Wiku Menak Koncar yang menjadi tokoh besar Blambangan adalah seorang yang berwatak kejam, bahkan tidak segan untuk bersekutu dengan pihak Kumpeni Belanda untuk memusuhi Mataram. Juga mereka mendengar bahwa Wiku Menak Koncar tewas ketika bertanding melawan Sang Puteri Wandansari yang telah menjadi isteri Pangeran Pekik, Adipati Surabaya yang sakti mandraguna dan yang masih terhitung adik seperguruan Ki Tejomanik sendiri. Mereka berdualah yang langsung menerima masing-masing ilmu yang hebat yang merupakan aji pamungkas dari mendiang Resi Limut Manik.
Sang Puteri Wandansari menerima ilmu pedang Kartika Sakti, sedangkan Ki Tejomanik yang dulu bernama Sutejo menerima ilmu pecut Bajrakirana. Akan tetapi, Wiku Menak Jelangger ini, yang kabarnya adalah adik seperguruan mendiang Wiku Menak Koncar, sama sekali tidak membayangkan sikap seorang yang sesat dan jahat. Malah sebaliknya, dia tampak begitu bijaksana, manis budi dan menyambut orang-orang yang lebih muda seperti mereka dengan begitu ramah dan hormat! Karena ini, maka Ki Tejomanik dan isterinya bersikap hati-hati dan juga penuh hormat.
Retno Susilo memhiarkan suaminya yang bicara, karena ia khawatir sikapnya yang terbuka sehingga terkadang kasar itu akan menyinggung perasaan sang wiku.
"Sekali lagi kami berdua mohon maaf sekiranya kunjungan kami tanpa undangan ini mengganggu dan merepotkan paman wiku. Terus terang saja, kedatangan kami ini untuk mohon pertolongan dari paman karena kiranya hanya andika yang dapat menolong kami, paman wiku."
"Hemm, bahagia sekali kalau aku merupakan satu-satunya orang yang dapat menolong andika berdua dan tentu saja aku bersedia untuk melakukan apa yang andika butuhkan. Nah, katakan, pertolongan apakah yang andika maksudkan itu?"
"Begini, paman wiku. Kami berdua jauh-jauh datang dari tempat tinggal kami di lereng Gunung Kawi untuk mencari keterangan perihal diri Sang Wiku Menak Koncar. Kami sudah berkeliling di Blambangan, akan tetapi tidak ada seorangpun yang dapat menceritakan apa yang ingin kami ketahui tentang Wiku Menak Koncar. Akhirnya kami mendengar bahwa andika adalah saudara seperguruan Wiku Menak Koncar. Karena itu kami yakin bahwa andika adalah satu-satunya orang yang akan dapat menceritakan masalah yang ingin kami ketahui tentang Wiku Menak Koncar."
Ki Tejomanik tidak berani langsung menceritakan persoalannya, karena dia ingin menjajagi (mengukur) lebih dulu sikap sang wiku.
Wiku Menak Jelangger menghela napas panjang.
"Andika agaknya terlambat, Anak mas Tejomanik. Kakang Menak Koncar telah meninggal dunia, sekitar dua tiga tahun yang lalu."
"Kami sudah mengetahui, paman. Akan tetapi yang ingin kami ketahui tentang diri Sang Wiku Menak Koncar adalah pada waktu kurang lebih sepuluh tahun yang lalu."
Wiku Menak Jelangger tampak termenung, lalu menatap wajah Ki Tejomanik dengan pandang mata tajam penuh selidik, lalu dia bertanya.
"Sepuluh tahun yang lalu? Apa yang ingin andika ketahui tentang dia sepuluh tahun yang lalu, anak mas? Apa yang telah terjadi?"
Wiku Menak Jelangger Kembali saling pandang dengan Retno Susilo. Mereka berdua memang merasa sungkan menceritakan tentang kejahatan mendiang Wiku Menak Koncar kepada adik seperguruannya yang manis budi ini. Akan tetapi sudah sepuluh tahun suami isteri ini merantau sampai jauh, bukan hanya untuk ikut berjuang membantu Mataram, melainkan terutama sekali untuk mencari putera mereka yang hilang diculik Wiku Menak Koncar.
Kurang lebih dua tahun yang lalu, mereka mendengar pengakuan Kyai Sidhi Kawasa bahwa yang menculik putera mereka dan membawa lari pedang Nogo Wilis adalah Wiku Menak Koncar dan Kyai Sidhi Kawasa membantunya. Setelah berhasil, Wiku Menak Koncar membawa pergi Bagus Sajiwo, putera ki Tejomanik dan Retno Susilo itu, sedangkan pedang pusaka itu diberikan kepada Sang Kyai Sidhi Kawasa.
Sebelum Kyai Sidhi Kawasa tewas membunuh diri karena kalah dalam pertempuran antara pasukan Kumpeni Belanda melawan Pasukan Mataram, dimana dia membantu Belanda, dia membuat pengakuan itu kepada Ki Tejomanik dan isterinya.
Setelah perang berhenti karena balatentara Mataram gagal dalam penyerbuannya ke Batavia, suami isteri itu lalu mulai mencari keterangan tentang Wiku Menak Koncar, tentu saja ke Blambangan, tempat asal sang wiku yang menculik putera mereka itu.
Melihat suami isteri itu tampak ragu dan sungkan menjawab pertanyaan tadi, Wiku Menak Jelangger berkata.
"Anak mas Tejomanik, tampaknya andika berdua ragu dan sungkan. Ceritakan saja apa yang terjadi, jangan sungkan karena akupun sudah mengetahui bahwa semasa hidupnya, Kakang Wiku Menak Koncar telah tersesat, langkah-langkah hidupnya menyimpang dari kebenaran. Aku dapat menduga bahwa tentu timbul permasalahan dan permusuhan antara andika berdua dan dia."
Mendengar ucapan itu, timbul keberanian di dalam hati Tejomanik.
"Sebelumnya maafkan kami, paman wiku. Sesungguhnyalah, memang mendiang Wiku Menak Koncar memusuhi kami khususnya dan Mataram pada umumnya. Saudara-saudaranya, Ki Klabangkolo tewas dalam tangan mendiang ayah saya, Ki Harjodento ketua perkumpulan persilatan Nogo-dento. Biarpun kemudian dia dapat membalas dendam dan membunuh ayah ibu saya, namun dendamnya masih bernyala. dalam hatinya. Apalagi ketika saudaranya yang lain, Resi Wisangkolo tewas di tangan Gusti Puteri Wandansari, dia semakin mendendam. Nah, agaknya semua rasa dendam itu hendak dia tumpahkan kepada kami karena pertama, mungkin saya adalah putera musuh besarnya, kedua, saya adalah saudara seperguruan Gusti Puteri Wandansari, dan ke tiga saya adalah seorang kawula Mataram yang setia dan selalu membantu Mataram menghadapi para lawannya. Maka, pada suatu hari, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, Wiku Menak Koncar yang dibantu oleh mendiang Kyai Sidhi Kawasa, mendatangi tempat tinggal kami di Gunung Kawi. Mereka berdua menculik puteraku yang bernama Bagus Sajiwo dan mencuri pedang pusaka Nogo Wilis selagi kami tidak berada di rumah. Kyai Sidhi Kawasa mendapat bagian pedang pusaka itu dan anak kami dibawa pergi oleh Wiku Menak Koncar. Tadinya kami tidak tahu siapa yang menculik putera kami dan kami mencari bertahun-tahun dengan sia-sia. Akhirnya, dua tahun yang lalu kami menemukan pedang pusaka Nogo Wilis dan tahu bahwa Kyai Sidhi Kawasa yang mencurinya. Kami mencarinya dan setelah bertemu dalam sebuah pertempuran dimana Kyai Sidhi Kawasa membantu Belanda, sebelum tewas membunuh diri, dia mengakui semua itu. Dialah yang menceritakan bahwa Wiku Menak Koncar yang melarikan anak kami. Akan tetapi kami sudah mendengar bahwa dia telah tewas di tangan Gusti Puteri Wandansari. Karena itulah kami mencari sampai disini dan mengharapkan keterangan paman tentang anak kami Bagus Sajiwo yang dilarikannya itu."
"Paman Wiku, saya percaya bahwa andika tentu dukup bijaksana untuk mengetahui betapa sakitnya hati seorang ibu yang dipisahkan dari anak tunggalnya. Karena itu, saya mohon andika suka memberi keterangan kepada kami!"
Kata Retno Susilo dengan suara yang menggetarkan penuh perasaan harap-harap cemas dan haru.
Mendengar penjelasan yang panjang dari Ki Tejomanik dan mendengar permohonan dari Retno Susilo, Wiku Menak Jelangger menghela napas panjang.
"Duh Jagat Dewa Bathara, mengapa andika membuat karma yang demikian buruknya, Kakang Menak Koncar? Anak-mas Tejomanik berdua, sebetulnya tidak pantaslah kalau aku membicarakan keburukan kakak seperguruan sendiri. Anak-mas, jawablah sejujurnya, apakah andika berdua masih menaruh hati dendam kepadanya?"
"Sama sekali tidak, paman. Kami diajar untuk tidak membenci orangnya, melainkan menentang perbuatan jahat dari siapapun juga. Wiku Menak Koncar sudah tiada, kami tidak mendendam, akan tetapi kami hanya berusaha untuk menemukan kembali anak tunggal kami."
Wiku Menak Jelangger mengangguk-angguk dan mulutnya tersenyum.
"Bagus, Andaikata tadi andika menjawab bahwa andika masih mendendam, sampai matipun aku tidak akan mau bercerita tentang mendiang kakang Wiku Menak Koncar. Akan tetapi demi untuk membantu kalian menemukan kembali putera kalian, aku akan menceritakan apa yang kuketahui."
"Terima kasih, paman wiku!"
Kata suami isteri itu.
"Sepuluh tahun yang lalu, Kakang Wiku Menak Koncar mengunjungi aku dengan wajah murung. Dia sedang jengkel dan marah dan setelah kutanyakan, dia bercerita terus terang bahwa dia telah berhasil menculik putera kalian."
"Mau diapakan anak saya dan kemana anakku dibawanya, paman?"
Retno Susilo memotong dengan tidak sabar.
"Tenang dan sabarlah, diajeng. Biar paman wiku melanjutkan ceritanya."
Ki Tejomanik menyentuh lengan isterinya.
"Dia bermaksud mendidik anak itu agar kelak kalau sudah dewasa dan tangguh dapat disuruh memusuhi andika berdua."
"Ahh, keparat!"
Retno Susilo berseru.
"Tenang, diajeng!"
Ki Tejomanik kini enegur isterinya, khawatir bahwa watak yang dulu liar dan keras ganas dari isterinya itu akan kambuh kembali saking cemas dan dukanya memikirkan anak tunggal mereka.
"Untung bahwa hal itu tidak terjadi. Dia menceritakan bahwa ketika dia membawa anak itu sampai di kaki pegunungan Ijen, muncul seorang kakek yang sakti mandraguna. Kakek itu merampas anak andika dari tangan Kakang Wiku Menak Koncar. Setelah dikalahkan dalam pertandingan, Kakang Wiku Menak Koncar terpaksa meninggalkan anak dan kakek tua itu. Dia masih penasaran dan bahkan mengajak aku untuk membantunya menghadapi kakek itu dan merampas kembali anak andika, akan tetapi setelah mendengar siapa kakek itu aku menasehatkan dia agar jangan melawan kakek yang aku tahu amat sakti mandra-guna dan kami sama sekali bukan tandingannya itu."
"Jadi, kalau begitu, anak saya kini berada pada kakek itu, paman?"
Tanya Retno Susilo.
Wiku Menak Jelangger mengangguk-angguk.
"Paman wiku, siapakah nama kakek yang merampas anak kami dari tangan Wiku Menak Koncar itu?"
Tanya Ki Tejo manik.
"Namanya adalah Ki Ageng Mahendra."
"Ya Allah....!"
Mendengar disebutnya nama ini, Ki Tejomanik merangkap kedua tangan dalam sembah dan memejamkan kedua matanya.
"Terima kasih, gusti, hamba yakin kini bahwa putera hamba berada dalam tangan yang melindunginya."
Katanya lirih seperti berdoa.
Retno Susilo mengguncang lengan suaminya.
"Siapa itu Ki Ageng Mahendra? Apa engkau mengenalnya? Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya!"
"Memang nama itu tidak pernah muncul di dunia ramai. Akupun hanya mendengarnya satu kali saja ketika mendiang eyang guru menyebutnya. Eyang Ki Ageng Mahendra adalah adik seperguruan Eyang Guru Limut Manik."
Kata Ki Tejomanik.
Wiku Menak Jelangger tampak terkejut mendengar ucapan Ki Tejomanik dan memandang wajah satria itu dengan mata terbuka lebar.
"Jadi andika ini murid Paman Resi Limut Manik? Jagat Dewa Bathara! Aduh Kakang Menak Koncar, mengapa andika begitu bodoh untuk memusuhi orang-orang seperti mereka ini? Tidak mengherankan kalau engkau dan teman-temanmu berguguran ...."
"Paman Wiku, kemanakah anak kami dibawa oleh Ki Ageng Mahendra itu? Dimana tempat tinggalnya?"
Tanya Retno Susilo yang juga sudah merasa tenang mendengar anaknya berada di tangan orang sakti yang melindunginya.
Wiku Menak Jelangger menggeleng kepalanya.
"Aku tidak tahu, juga mendiang Kakang Menak Koncar tidak tahu. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia bertemu Ki Ageng Mahendra itu di kaki pegunungan Ijen. Nah, hanya itulah yang kuketahui dari Kakang Menak Koncar tentang putera andika berdua, Anak mas Tejomanik."
"Terima kasih banyak, paman. Keterangan paman Wiku ini sungguh teramat berharga dan penting, selain dapat membuat kami berdua merasa tenang dan bahagia mendengar anak kami berada di tangan yang melindunginya, juga kami dapat menemukan jejak untuk mencari anak kami itu. Terima kasih dan kami mohon pamit, Paman Wiku Menak Jelangger."
"Berterima kasihlah kepada Yang Maha Kasih, bukan kepadaku, anak mas. Kalau andika berdua hendak melanjutkan usaha pencarian itu dan pergi sekarang, selamat jalan dan semoga andika dapat segera berkumpul kembali dengan anak tunggal andika."
"Terima kasih, paman."
Kata suami isteri itu lalu mereka meninggalkan padepokan Wiku Menak Jelangger.
- oOOo -
Pemuda dusun yang bertubuh tinggi tegap itu terhuyung-huyung menuruni lereng pegunungan Wilis. Keringatnya bercucuran dan mukanya yang bagi ukuran pedusunan dapat dikata tampan itu pucat pasi.
Baru saja dia terhindar dari maut yang mengerikan. Ketika dia sedang berburu celeng (babi hutan) di hutan yang berada di lereng Wilis itu, dia melihat seekor celeng jantan besar diantara semak belukar. Cepat dia menggunakan busur dan anak panah, menyerang celeng itu.
Akan tetapi anak panahnya meleset ketika mengenai punggung celeng yang berkulit tebal. Celeng itu agaknya menjadi marah dan berlari ke arahnya sambil menundukkan kepala dan siap untuk menyerangnya dengan moncong yang dipersenjatai taring yang panjang runcing dan kuat itu!
Jayeng, demikian nama pemuda dusun itu, adalah seorang pemburu yang sudah berpengalaman. Usianya sekitar dua puluh lima tahun dan sudah lima tahun lebih dia mempunyai pekerjaan berburu binatang hutan, terutama celeng.
Kini, melihat celeng itu menyerangnya, dia tahu bahwa betapa besar bahayanya kalau binatang itu sudah marah. Dia cepat melarikan diri dan dengan jalan berputaran dari pohon ke pohon, dia dapat menghindarkan diri dari sergapan celeng itu yang kalau sudah berlari kencang, sukar untuk membelok apa lagi berputar, maka dipermainkan oleh Jayeng dengan cara berputar-putaran diantara pohon-pohon, dia tidak berdaya.
Akhirnya Jayeng dapat keluar dari hutan itu. Dia lalu melanjutkan perjalanannya berburu. Agaknya dia sedang sial karena sehari penuh dia tidak lagi menemukan binatang buruan yang memadai. Dia berjalan terus ke timur dan pada keesokan harinya, tibalah dia di daerah pegunungan sekitar Wilis. Tanpa setahunya, dia tiba di kaki Bukit Keluwung.
Daerah baru ini menarik hatinya. Siapa tahu, bukit yang dari bawah tampak dipenuhi hutan belukar itu mempunyai banyak binatang buruan. Dia mulai mendaki.
Akan tetapi setibanya di dekat puncak, dia terkejut sekali melihat kobaran api di puncak bukit itu. Ada kebakaran.
Dia tidak tahu apa yang menyebabka kebakaran itu. Dia terus mendaki, mendekat. Dan dia bersembunyi mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Dia melihat seorang wanita cantik jelita berpakaian serba putih, menangis sambil mengamuk dengan sebuah kebutan berbulu putih.
Sebuah pondok yang mungil dan indah sedang dimakan api berkobar dan wanita itu menggunakan kebutannya untuk menghancurkan apa saja yang berada di depannya. Bukan saja bagian rumah yang sedang terbakar itu, juga pohon-pohon, batu-batu, bertumbangan dan remuk dihantam bulu kebutannya yang mengeluarkan suara meledak-ledak. Dan wanita cantik itu mengamuk seperti kesetanan sambil menangis terisak-isak!
JAYENG menjadi ketakutan. Tentu dia sedang melihat setan! Manusia mana, apa lagi kalau dia wanita yang mampu menumbangkan pohon-pohon besar, meremukkan batu-batu besar, hanya dengan sabetan sebuah kebutan? Dan wanita itu menangis seperti seorang yang miring otaknya!
Jayeng merasa bulu tengkuknya meremang. Dia bergidik ngeri. Pasti dia tengah melihat iblis betina di senja hari itu. Dia lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri!
Wanita yang dilihat Jayeng itu bukan lain adalah Candra Dewi yang sedang mengamuk karena ia tidak mampu mendapatkan Maya Dewi dan Bagus Sajiwo yang dikejarnya. Ia kehilangan mereka di terowongan karena terhalang sebuah pintu baja yang kokoh kuat.
Karena tidak dapat membuka pintu itu, ia lalu menjadi marah dan mempergunakan aji pukulan yang sakti untuk menggempur pintu baja. Begitu pintu itu didobraknya dengan kekuatan dahsyat, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan batu-batu di dekat pintu berjatuhan.
Nyi Candra Dewi cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, berkelebat keluar terowongan sambil memutar kebutannya di atas kepala. Untung ia melakukan ini karena kalau tidak, ia pasti akan tertimpa batu-batu dan akan tewas tertimbun batu.
Kebutan yang diputar di atas kepala itu melindunginya karena dapat menangkis batu-batu yang menimpanya, dan kedua kakinya seperti melayang ketika ia melompat keluar. Akhirnya ia dapat keluar dari terowongan dengan selamat meskipun ada beberapa potong batu sempat mengenai pundaknya namun tidak mengakibatkan luka parah. Ia menganggap bahwa Maya Dewi dan Bagus Sajiwo pasti sudah terkubur dalam terowongan itu. Teringat akan ini tiba-tiba ia menangis, menangis terisak-isak.
"Dia harus menjadi suamiku, untuk menebus aib ini! Aku telah ternoda....dan hanya kalau dia menjadi suamiku dapat menghapus noda dan aib ini.... hu-hu-huuh.... Bagus Sajiwo....!"
Teringat bahwa satu-satunya laki-laki yang pernah menjamahnya dan yang dapat membersihkannya dari aib itu kini telah mati terkubur di dalam puncak bukit, ia lalu menghampiri batu besar di depan guha terowongan, mengerahkan tenaga pada jari telunjuknya dan dengan telunjuknya seolah menjadi sekuat baja itu ia mengukir tulisan di atas batu yang berbuyi: KUBURAN MAYA DEWI DAN BAGUS SAJIWO.
Setelah itu, kemarahannya tiba-tiba bangkit lagi, mengingat betapa laki-laki yang seharusnya menjadi suaminya itu kini mati bersama Maya Dewi! Timbul rasa cemburu yang besar dan dengan marah ia lalu membakar pondok tempat tinggal Maya Dewi dan mengamuk dengan kebutannya, menghancurkan segala yang berada di depannya!
Biarpun cuaca sudah mulai gelap, penglihatan Candra Dewi yang amat tajam terlatih itu dapat melihat berkelebatnya bayangan orang yang melarikan diri turun dari daerah puncak. Ia tidak tahu siapa orang yang melarikan diri itu, akan tetapi ia dapat tahu bahwa orang itu adalah laki-laki. Amarahnya semakin berkobar.
"Berhenti! Engkau harus mati!"
Bentaknya dan Candra Dewi melompat dan mengejar.
Mendengar bentakan nyaring suara wanita itu, tentu saja Jayeng menjadi semakin ketakutan. Dengan hati merasa ngeri dia lari secepat mungkin menuruni puncak. Apa lagi ketika mulai terdengar suara ledakan-ledakan kebutan yang mengerikan itu, disusul tumbangnya pohon-pohon yang dilanda sabetan ujung kebutan. Seluruh tubuhnya menggigil, giginya bergeratukan dan dia tahu benar bahwa bahaya maut telah menghampirinya.
Kalau sampai dia dapat dikejar, tentu dia akan mati oleh iblis betina yang mengerikan itu.
Jayeng mempercepat larinya dan ada satu keuntungan baginya. Biarpun tentu saja larinya jauh kalah cepat dibandingkan Candra Dewi yang mengejarnya, namun dia menang pengalaman. Bertahun-tahun dia menjelajahi hutan-hutan sehingga dia mengenal betul hutan-hutan yang liar dan lebat.
Berbeda dengan Candra Dewi yang sama sekali asing dengan daerah penuh hutan-hutan lebat itu sehingga beberapa kali wanita ini bertemu jalan buntu dan terpaksa menggunakan kebutannya untuk menumbangkan pohon-pohon yang menghalanginya.
Setelah keadaan terpepet benar dan maklum bahwa kalau dia sudah tiba di luar hutan, di tempat terbuka pasti dia akan tersusul dan tak dapat dihindarkan lagi, dia tentu akan terbunuh oleh iblis betina itu!
Tiba-tiba di sebelah kirinya dia melihat sebuah jurang yang amat curam. Inilah penolongku, kata hatinya dan cepat dia memasuki jurang itu dengan cara bergayutan pada akar-akar pohon dan batu-batu gunung. Dia sudah terbiasa melakukan ini kalau mengejar buruannya, maka dia tidak merasa ngeri dan dapat turun sampai cukup dalam dan sama sekali tidak tampak dari atas jurang.
Dari bawah dia mendengar bunyi ledakan-ledakan itu, lewat di atas jurang, lalu semakin menjauh ke arah bawah bukit. Hatinya lega sekali walaupun masih takut. Cepat dia merayap naik, kemudian dia melarikan diri ke bawah bukit ke arah utara karena dia tadi mendengar betapa ledakan-ledakan itu mengarah selatan.
Saking takutnya, dalam kegelapan dia tetap melanjutkan pelariannya, meraba-raba dengan hati-hati. Daerah ini asing baginya. Dia tidak hafal akan jurang-jurang, maka kalau dalam kegelapan dia terjeblos ke dalam jurang, akan tamatlah riwayatnya.
Semalam suntuk dia merangkak, meraba-raba, maju selangkah demi selangkah dan setelah pagi menggantikan malam dan mulai terang tanah, dia melanjutkan larinya menuju ke arah Barat-laut yang menuju ke Pegunungan Liman. Dia berlari terus siang malam hampir tak pernah berhenti, hanya makan buah-buah atau daun-daun, juga sekali dua kali makan daging binatang hutan yang dapat dia tangkap. Akhirnya, pada suatu pagi yang cerah, dia terguling roboh pingsan di lereng sebelah barat Pegunungan Liman!
Jayeng sadar dari pingsannya ketika merasa ada air membasahi mukanya, ada air yang memasuki mulutnya dan dia telan, ada jari-jari tangan yang menyentuh muka, pundak dan dadanya. Dia membuka mata dan melihat seorang wanita berjongkok di dekat tubuhnya yang roboh telentang, dia diserang ketakutan hebat karena mengira bahwa akhirnya dia terjatuh ke tangan iblis betina yang mengejar-ngejarnya!
Dia segera bangkit dan hendak melarikan diri, akan tetapi wanita itu segera bangkit dan memegang lengannya karena tiba-tiba kepalanya terasa pening, semua berputar dan dia tentu sudah terpelanting roboh kalau saja wanita itu tidak memegang lengannya. Merasa tak berdaya dan terancam maut, Jayeng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kaki wanita itu.
"Ampun.... ampunkan saya, ni dewi...., ampunkan dan jangan bunuh saya ...."
Ada dua tangan dengan lembut menyentuh kedua pundaknya dan membantunya bangkit duduk. Suara lembut terdengar manis di telinga Jayeng yang masih ketakutan itu.
"Siapakah yang akan membunuhmu, ki sanak? Aku bukan ni dewi dan jangan takut, kalau ada yang hendak membunuhmu, kami pasti akan membela dan melindungimu. Di wilayah kami ini tidak ada orang boleh melakukan pembunuhan begitu saja."
Mendengar ucapan ini, Jayeng baru berani mengangkat mukanya yang tadi menunduk, dan memandang wanita itu. Ternyata wanita ini, sama sekali tidak mengenakan pakaian putih dan bukanlah iblis betina yang dia lihat amat cantik jelita namun mengerikan itu.
Wanita ini masih muda, sekitar dua puluh tahun usianya. Kulitnya agak gelap akan tetapi wajahnya hitam manis, tubuh yang padat itu bagaikan setangkai bunga sedang mekar, dan rambutnya yang panjang indah itu sebagian digelung di atas kepala, ujungnya berjuntai ke atas pundaknya. Rambut di kepala itu dihias beberapa bunga melati yang dironce, putih bersih dan keharumannya dapat tercium
(Lanjut ke Jilid 06)
Bagus Sajiwo (Seri ke 04 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh Jayeng.
Wajah gadis biasa, namun manis sekali bagi Jayeng, dan amat menarik hatinya. Dia juga merasa malu kepada diri sendiri, mengira gadis itu iblis betina dan dia telah memperlihatkan sikap ketakutan seperti itu. Memalukan bagi seorang pria, pada hal dia bukan laki-laki yang lemah. Bahkan dengan anak panah dan tombaknya, dia berani menghadapi seekor harimau tanpa gentar!
"Maafkan aku.... akan tetapi, siapakah andika?"
Dia bertanya.
Gadis hitam manis itu tersenyum dan giginya tampak putih bersih dan rata sehingga ia tampak lebih manis ketika tersenyum.
"Tidakkah sepantasnya kalau andika yang lebih dulu memperkenalkan diri dan datang memasuki daerah kami ini? Aku mendapatkan andika pingsan disini. Apa yang telah terjadi dan mengapa pula andika tadi menyebut-nyebut ni dewi dan minta ampun agar jangan dibunuh?"
Wajah Jayeng menjadi kemerahan akan tetapi teringat akan pengalamannya dengan iblis betina itu, dia mengkirik (merasa ngeri).
"Baiklah,"
Katanya perlahan.
"Namaku Jayeng dan pekerjaanku sebagai pemburu binatang hutan. Aku tinggal di dusun Magel, di kaki pegunungan Wilis sebelah selatan. Dua hari yang lalu, aku berburu binatang. Karena sampai sehari penuh belum berhasil mendapatkan seekor pun binatang buruan, aku mendaki Bukit Keluwung yang belum pernah kujelajahi. Mungkin bukit yang banyak hutannya itu menyimpan banyak binatang buruan. Aku mendaki dan setibanya di dekat puncak ...aku.... aku.... melihat.... iblis betina itu...."
Gadis hitam manis itu mengerutkan alisnya.
"Iblis betina? Apa maksudmu?"
"Aku melihat seorang wanita, cantik jelita akan tetapi ia seperti kesetanan. Ia membakar sebuah rumah bagus, dan mengamuk dengan cambuknya. Sepak terjangnya mengerikan. Ia menumbangkan pohon-pohon besar dengan sabetan kebutannya, bahkan menghancurkan batu-batu besar dengan senjatanya yang aneh itu.. Lalu.... ia agaknya melihatku dan mengejarku. Ia mengancam membunuh dan ia .... menangis terus.... suara lengking tangis diantara ledakan-ledakan kebutan itu.... sungguh mengerikan. Aku melarikan diri, untung waktu itu telah mulai gelap. Aku lari dengan suara kebutan meledak-ledak dibelakangku. Akhirnya, aku dapat bersembunyi ke dalam jurang. Ia melewati jurang dan terus menuruni bukit ke arah selatan. Aku cepat keluar dari jurang dan terus berlari ke arah utara. Sehari dua malam aku berlari terus, akhirnya.... aku tiba disini, ketakutan, kelelahan dan kelaparan. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Tahu-tahu berada disini dan ada andika disini."
Jayeng menutupi muka dengan kedua tangan untuk mengusir kengerian yang menghantuinya.
Gadis itu menyentuh lengannya.
"Tenanglah, andika aman disini. Ini daerah kami, daerah perkumpulan kami, Melati Puspa. Tidak seorangpun berani mengganggumu disini. Aku adalah Marsi seorang anggauta Melati Puspa dan aku akan melindungimu kalau ada iblis datang hendak mengganggumu."
Ucapan itu demikian melegakan hati Jayeng sehingga dia menurunkan kedua tangannya, lalu memegang kedua tangan Marsi dengan. tatapan mata penuh terima kasih.
"Terima kasih, Marsi, aku percaya sepenuhnya padamu. Akan tetapi kenapa engkau begini baik kepadaku?"
Wajah yang hitam manis itu kemerahan.
"Mengapa? Aku harus baik kepada siapapun juga, siap menolong siapa yang terancam bahaya dan menentang tiap perbuatan jahat. Begitulah perintah yang harus ditaati semua anggauta Melati Puspa, termasuk aku."
"Perintah siapa?"
"Tentu saja perintah Ni Melati Puspa, ketua dan pemimpin kami."
Marsi merasa rikuh sekali ketika mendapat kenyataan betapa kedua tangannya masih saling berpegangan dengan kedua tangan pemuda itu.
Akan tetapi merasa betapa kedua tangan pemuda itu menggenggam kedua tangannya erat-erat, ia tidak tega untuk merenggutkannya.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring, membentak penuh teguran.
"Hemm, sungguh bagus, ya? Marsi, berani engkau melakukan pelanggaran disini?"
Marsi terkejut dan menoleh ke kiri. Disana telah berdiri tiga orang wanita, dua orang lebih muda dari padanya dan seorang, yang menegurnya tadi, berusia dua puluh dua tahun, lebih tua daripadanya.
"Mbakyu Kasmi, aku... kami.... tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas! Aku hanya menolong dia yang kudapatkan roboh pingsan disini!"
Marsi membantah.
"Hemm, tidak melakukan hal yang tidak pantas, ya? Lalu, mengapa berpegang-pegangan tangan semesra itu?"
Bentak Kasmi seorang anggauta Melati Puspa pula yang rambutnya juga dihias ronce-ronce kembang melati seperti dua kawannya yang lain.
Marsi dan Jayeng agaknya baru menyadari bahwa mereka berdua masih saling berpegangan tangan, maka dengan muka berubah merah mereka lalu melepaskan genggaman masing-masing. Mereka lalu bangkit berdiri dan Marsi berkata kepada Kasmi dengan suara sungguh-sungguh.
"Mbakayu Kasmi, aku berani bersumpah bahwa tidak terjadi apa-apa yang kurang patut antara kakang Jayeng ini dan aku. harap mbakayu dan teman-teman tidak salah sangka....!"
Marsi menghentikan ucapannya melihat betapa tiga orang rekannya itu memandang kepadanya dengan mulut berjebi.
"Kau boleh bantah apa saja di depan Ni Dewi!"
Kata Lasmi singkat.
Wajah Marsi menjadi pucat. Yang dimaksudkan dengan Ni Dewi itu adalah pemimpin mereka yang memakai nama Melati Puspa akan tetapi yang minta kepada semua anggautanya agar ia disebut Ni Dewi.
Marsi ketakutan. Melati Puspa adalah seorang pimpinan yang keras dan tegas sekali. Tidak mau dibantah dan akan memberi hukuman yang keras kepada angauta-anggauta yang berani melakukan pelanggaran.
Pernah ada seorang anggauta yang melakukan pelanggaran, tertangkap basah ketika melakukan hubungan perjinahan dengan seorang laki-laki dari luar. Laki-laki itu dapat melarikan diri dan anggauta yang melanggar larangan itu, dihukum pancung daun telinga kirinya! Marsi bergidik ngeri.
Melihat betapa Marsi pucat ketakutan, Jayeng lalu berkata dengan gagah.
"Ni Marsi, jangan takut! Aku akan menjadi saksi dan membelamu. kalau andika dipersalahkan. Andika tidak melakukan kesalahan apapun, hanya menolong aku yang terkapar pingsan disini. Kalau menolong orang pingsan dianggap bersalah, yang menganggapnya itu sungguh tak berprikemanusiaan!"
Mendengar ucapan ini, Kasmi menjadi marah. Sekali tangan kanannya bergerak, ia sudah mencabut sebatang pedang tipis pendek dari pinggangnya dan ia menodongkan senjata runcing itu ke dada Jayeng.
"Engkau laki-laki tak tahu diri! Sudah berani melanggar wilayah kami dan membikin kerusuhan, masih berlagak dan banyak bicara lagi! Hayo ikut kami menghadap pimpinan kami! Engkau juga, Marsi."
Jayeng dan Marsi lalu digiring oleh tiga orang anggauta Melati Puspa itu menuju ke perkampungan Melati Puspa yang berada tidak jauh dari situ, letaknya di lereng sebelah barat Gunung Liman.
Perkumpulan Melati Puspa merupakan perkumpulan yang aneh karena anggautanya yang berjumlah kurang lebih lima puluh orang itu semua wanita!
Wanita! muda berusia antara sembila belas sampai dua puluh lima tahun. Agaknya para anggauta Melati Puspa itu memang dipilih karena diantara mereka tidak ada yang buruk rupa. Paling tidak memiliki wajah manis dan tubuh padat menarik, dan lebih banyak yang cantik. Mereka tinggal disebuah perkampungan khusus di lereng Gunung Liman dan tinggal di pondok-pondok dalam perkampungan itu. Hanya ada sekitar dua puluh pondok yang ditinggali lima puluh orang lebih anggauta.
Di tengah perkampungan terdapat sebuah pondok mungil yang menjadi tempat tinggal pemimpin mereka yang mereka sebut sebagai Ni Dewi dan yang dikenal dengan Melati Puspa.
Dua tahun yang lalu, perkumpulan Melati Puspa ini belum mempunyai nama, merupakan sebuah gerombolan yang terdiri dari beberapa orang laki-laki dan puluhan orang wanita.
Yang memimpin adalah seorang laki-laki yang bernama Suro dan terkenal sebagai seorang perampok, maka dijuluki orang Suro Gentho. Puluhan orang wanita yang menjadi anggauta adalah para wanita yang telah tersia-sia dan terlantar hidupnya. Ada janda yang ditinggal minggat suaminya. Ada wanita yang dibuat sakit hati oleh pria dan ada pula yang memang pada dasarnya liar.
Suro Gentho memimpin mereka, mengajarkan aji kanuragan sehingga gerombolan tanpa nama itu ditakuti orang dan seringkali membuat kerusuhan dan merampok para penduduk pedusunan di sekitar Gunung Liman. Pada suatu hari, dua tahun yang lalu, lewatlah seorang wanita. Karena wanita itu berpakaian indah dan memakai perhiasan mahal harganya, ia menjadi sasaran gerombolan.
Akan tetapi wanita itu ternyata sakti mandraguna, dengan mudahnya ia membunuh Suro Gentho dan belasan orang anak buahnya. Sebagian anggauta lagi segera menjatuhkan diri dan menaluk. Wanita itu mengampuni mereka dan mulailah ia menjadi pemimpin para wanita itu, bahkan mendirikan perkumpulan yang diberi nama Melati Puspa, sama dengan namanya sendiri seperti diperkenalkan kepada para wanita.
Semua anggauta gerombolan pria telah terbunuh dalam perkelahian keroyokan itu. Akan tetapi, pemimpin wanita itu selain sakti mandraguna, juga amat keras dan tertib! Ia tidak menerima anggauta laki-laki dan melarang keras para anggauta Melati Puspa melakukan kejahatan. Bahkan mereka digembleng agar menjadi wanita-wanita pendekar yang selalu menentang kejahatan dan menolong mereka yang tertindas. Ia melatih mereka dengan ilmu silat yang membuat para anggautanya menjadi tangguh. Akan tetapi iapun melarang keras para anggautanya yang terdiri dari wanita-wanita muda agar tidak bermain gila dengan laki-laki.
Mereka tidak dilarang untuk menikah, akan tetapi setelah mereka harus keluar dari perkumpulan Melati Puspa! Yang dilarang adalah hubungan gelap atau perjinahan.
Nama Melati Puspa menjadi terkenal dan banyak gadis-gadis di daerah Pegunungan Liman tertarik dan masuk menjadi anggautanya sehingga kini jumlah para anggauta ada lima puluh orang lebih! Dalam waktu dua tahun saja, apa yang tadinya merupakan gerombolan ganas dan jahat, di bawah pimpinan Melati Puspa, menjadi perkumpulan wanita pendekar yang disegani!
Marsi dan Jayeng digiring oleh Kasmi dan dua orang rekannya memasuki perkampungan Melati Puspa.
Melihat ada seorang laki-laki menjadi tawanan, berjalan disamping Marsi yang menundukkan mukanya, para anggauta Melati Puspa menjadi tertarik dan semua keluar untuk menonton. Mereka dapat menduga apa yang terjadi dan mereka saling berbisik dan tersenyum-senyum.
Akhirnya kedua orang tawanan itu diajak memasuki pondok mungil di tengah perkampungan setelah melapor kepada penjaga, lalu disuruh menunggu di ruangan depan. Kasmi dan dua orang rekannya mengajak Marsi dan Jayeng menunggu dalam ruangan itu. Mereka berlima duduk di atas bangku panjang.
Jayeng dan Marsi duduk di bangku sebelah kiri dan Kasmi bersama dua orang rekannya duduk di bangku sebelah kanan. Mereka menghadap ke sebelah kursi kosong, kursi dari rotan yang ditilami kain merah muda yang bersih.
Jayeng melihat kesekelilingnya dan ia merasa heran. Ruangan itu tidak berapa besar, namun terhias indah. Meja dan bangku-bangkunya terawat, bersih mengkilap, lantainya bertilamkan tikar anyaman yang halus. Ada pot-pot bunga di ruangan itu dan di dinding juga terdapat lukisan-lukisan yang indah. Keharuman melati semerbak dalam ruangan itu. Tadipun dia melihat betapa semua wanita yang berada dalam perkampungan memakai bunga melati pada rambut mereka!
Tak lama kemudian, pintu sebelah dalam yang tertutup tirai kain sutera hijau itu tersingkap dan muncullah seorang wanita berpakaian sutera putih yang bersih.
Jayeng menjadi bengong memandang wanita yang baru muncul itu. Bidadarikah ia? Dewi dari kahyangan? Wanita itu masih muda, paling banyak dua puluh tahun usianya dan cantik jelita bukan kepalang! Ayu manis merak ati, menggairahkan dari rambut di kepala sampai kakinya yang memakai sandal dan tampak putih mulus. Terutama sekali mata itu! Tajam dan jernih bersinar-sinar, terkadang mencorong mendatangkan kesan galak! Dan mulutnya! Sepasang bibir yang merah membasah, segar bagaikan buah masak, menggairahkan. Entah mana yang lebih menarik, sepasang matanya atau sepasang bibirnya! Rambutnya yang hitam itu disanggul ke atas dan sebagian ujungnya dibiarkan terurai ke pundak.
Ronce-ronce bunga melati menghias rambutnya dan diantara bunga melati itu tampak hiasan rambut dari emas berbentuk burung camar dengan mata dari batu mirah indah. Kulit tubuh yang tampak pada leher, wajah dan lengannya putih mulus, membayangkan kelembutan. Namun, sifat lembut itu berpadu dengan sifat keras dari sinar matanya yang terkadang mencorong dan adanya sebatang pedang yang tergantung di punggungnya. Bahkan sarung dan gagang pedang itupun diukir bentuk kembang melati. Segalanya serba melati diperkampungan ini, pikir Jayeng heran.
Wanita yang menjadi pemimpin Melati Puspa itu duduk di atas kursi bertilamkan sutera merah muda, lalu memandang kepada lima orang yang duduk didepannya. Ketika pandang matanya menyapu kehadiran Marsi yang menundukkan muka dan Jayeng, sepasang alisnya ' berkerut, lalu terdengar suaranya yang merdu dan lantang.
"Hemm, mau apa kalian minta menghadap?"
Kasmi segera menjawab, suaranya gagah tegas seperti perajurit menghadapi atasannya.
"Kami bertiga hendak melaporkan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh Marsi, Ni Dewi."
Kembali sipasang mata itu menyambarkan sinarnya ke arah Marsi dan Jayeng. Pandang mata itu sedemikian tajamnya sehingga Jayeng terpaksa menunduk, menghindarkan pertemuan pandang yang membuat dia salah tingkah dan gugup.
"Laporkan apa yang telah terjadi dengan sebenarnya dan sejujurnya, jangan dikurangi atau ditambah. Jangan menyembunyikan atau melepaskan fitnah. Nah, mulailah!"
Kasmi lalu melapor.
"Ni Dewi, ketika kami bertiga mengadakan perondaan di bawah lereng, kami menemukan Marsi dan laki-laki ini sedang saling berpegangan tangan dengan sikap mesra. Kami menegur Marsi melakukan pelanggaran dan menuduh ia bergaul dan berhubungan dengan laki-laki ini, akan tetapi Marsi menyangkal dan laki-laki ini juga membelanya. Karena itu, kami membawa mereka menghadap Ni Dewi untuk diadili."
Kini Ni Dewi Melati Puspa memandang kepada Marsi dengan sinar mata tajam penuh selidik.
"Marsi, benarkah apa yang dituduhkan kepadamu itu?"
Marsi sudah ketakutan. Ia menangis akan tetapi tidak berani bersuara, hanya air matanya saja berlinang yang segera diusapnya sebelum ia menjawab.
"Ampun, Ni Dewi. Sesungguhnya, tuduhan itu sama sekali tidak benar. Saya menyangkal karena memang tidak ada hubungan yang tidak patut antara saya dan laki-laki ini."
"Hemm, lalu apa artinya saling berpegang tangan itu dan mengapa pula engkau berduaan dengan dia disana?"
Tanya Ni Dewi dengan suara lantang.
"Ampun, Ni Dewi. Sesungguhnya, saya menemukan dia telentang pingsan disana. Karena ingin menaati perintah Ni Dewi, saya segera menolongnya dan menyadarkannya. Kemudian, mungkin karena bersyukur, dia memegang kedua tangan saya dan pada saat itu Mbakayu Kasmi dan dua orang adik ini muncul dan menyangka yang bukan-bukan."
Ni Dewi Melati Puspa menatap wajah Marsi penuh selidik. Ia menduga bahwa gadis itu tidak berbohong, dan wajah laki-laki itupun merupakan wajah pemuda dusun yang kasar namun jujur dan terbuka.
"Hei kamu!!"
Bentaknya nyaring dan Jayeng tersentak kaget, lalu mengangkat muka memandang. Dua sinar mata mencorong itu seperti menembus dan menjenguk ke dalam dadanya!
"Apa.... sa.... saya....?"
Tanyanya gagap.
"Ya, kamu! Apa yang kau lakukan disana bersama Marsi? Engkau hendak berjina dengannya maka engkau memegangi kedua tangannya, bukan?"
"Ah, tidak.....eh, bukan-bukan! Saya.... saya ketakutan, kelelahan dan kelaparan sehingga roboh pingsan disana dan .... adik ini menolong saya. Saya hanya hendak menyatakan terima kasih saya kepadanya. Sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas! Saya mau bersumpah. Adik ini.... Marsi, ia sama sekali tidak bersalah, sama sekali tidak melanggar peraturan. Kalau mau hukum, hukumlah saya karena yang bersalah adalah saya, sudah berani melanggar wilayah kalian, akan tetapi hal itu saya lakukan tidak sengaja."
Ni Dewi mengangguk-angguk. Benar dugaannya, pemuda ini jujur dan terbuka, juga memiliki sifat gagah, berani minta dihukum agar Marsi dibebaskan. Ini saja sudah merupakan tanda bahwa pemuda ini agaknya memang mencinta atau setidaknya menyukai Marsi.
Jelas tidak ada terjadi perjinaan disini, dan kalau mereka berdua saling mencinta apa salahnya? Hal itu bisa diputuska nanti. Sekarang ia mulai tertarik mendengar pemuda itu berlari ketakutan sampai melanggar wilayah Melati Puspa dan jatuh pingsan. Padahal, menurut penilaiannya, pemuda ini bukan seorang penakut bahkan memiliki watak gagah seperti yang diperlihatkannya ketika membela Marsi.
"Siapa namamu dan apa yang terjadi sehingga engkau memasuki wilayah kami. Ceritakan sejelasnya. Kalau berani bohong, bukan tidak mungkin aku akan menghukum mati padamu!"
Ni Dewi Melati Puspa berkata, suaranya tetap merdu namun mengandung ancaman yang membuat bulu tengkuk Jayeng meremang dan terasa dingin.
"Saya tidak akan berbohong. Saya bernama Jayeng, tinggal di sebuah dusun di kaki bukit Wilis. Pekerjaan saya adalah berburu binatang hutan. Usia saya dua puluh lima tahun, tinggal bersama ayah ibu di rumah...."
"Cukup semua itu! Ceritakan apa yang terjadi padamu!"
Ketua perkumpulan Melati Puspa Itu memotong tidak sabar mendengar pemuda itu bercerita tentang dirinya secara terperinci.
Namun, setidaknya dari cerita itu ia tahu bahwa Jayeng pemuda dusun seperti yang diduganya, juga pemberani karena pekerjaannya sebagai pemburu, dan belum beristeri karena tinggal hanya dengan ayah dan ibunya.
"Kemarin.... eh, kemarin dulu, saya berburu binatang dalam hutan-hutan pegunungan Wilis, namun gagal dan tidak memperoleh seekorpun binatang buruan. Saya lalu mendaki Bukit Keluwung yang termasuk sebuah bukit di pegunungan Wilis. Hari telah senja ketika saya tiba di puncak dan saya melihat seorang wanita cantik seperti bidadari berpakaian putih, akan tetapi ia mengamuk seperti iblis betina. Ia membakar pondok dan mengamuk, dengan kebutannya ia menumbangkan pohon-pohon dan menghancurkan batu-batu. Ia mengamuk sambil menangis seperti gila atau seperti iblis betina. Saya merasa ngeri dan melarikan diri. Akan tetapi celaka, agaknya ia mengetahui dan mengejar, mengancam hendak membunuhku. Kebutannya sudah meledak-ledak dibelakang saya. Saya ketakutan sekali dan berlari seperti dikejar setan. Untung cuaca mulai gelap dan akhirnya saya dapat bersembunyi di dalam sebuah jurang. Iblis betina itu mengamuk dengan kebutannya dan melewati atas jurang, lalu suara ledakan kebutannya terdengar menuju turun ke selatan. Maka saya lalu keluar dari jurang dan melarikan diri ke utara. Saya seolah mendengar terus ledakan-ledakan itu dan saya lari terus siang malam, hanya berhenti kalau sudah tidak kuat, makan buah atau daun dan tanpa saya sadari, saya tiba di dalam wilayah ini dalam keadaan ketakutan, kelelahan dan kelaparan. Saya lalu terguling roboh dan tidak ingat apa-apa lagi. Ketika saya sadar, ternyata di dekat saya ada seorang wanita. Saya ketakutan, mengira ia iblis betina yang mengejar saya. Akan tetapi wanita itu, adik Marsi ini, menahan saya dan mengatakan bahwa saya tidak perlu takut. Kalau ada iblis betina mengamuk, ia akan melindungi saya. Setelah saya yakin bahwa ia adalah seorang penolong, maka saya amat berterima kasih kepada adik Marsi ini. Siapa kira, karena memegangi tangannya saking terharu dan berterima kasih, ia malah dituduh berbuat yang tidak pantas dan akan dihukum. Gusti puteri..."
"Hussh! Jangan sebut aku gusti puteri, sebut aku Ni Dewi!"
Wanita pemimpin Melati Puspa itu membentak nyaring.
Jayeng terkejut dan menyembah.
"Maaf, Ni Dewi, akan tetapi Marsi ini tidak bersalah. Hukumlah saya karena saya yang bersalah."
Ketua Melati Puspa itu mengerutkan alisnya. Urusan Marsi tidak menarik perhatiannya lagi. Ia amat tertarik oleh cerita tentang iblis betina yang mengamuk dan membakar pondok di puncak Bukit Keluwung. Siapakah wanita berpakaian putih seperti ia yang disebut iblis betina oleh Jayeng itu? Dan senjatanya sebuah kebutan! Belum pernah ia mendengar tentang seorang datuk wanita yang bersenjata kebutan. Ia sungguh tertarik dan ingin menyelidiki.
"Jayeng...!"
Ni Dewi berseru, mengejutkan yang dipanggil.
"Ya.... ya..., Dewi."
Kata Jayeng.
"Jawab dengan jujur! Selain berterima kasih kepada Marsi, apakah engkau suka kepadanya?"
Jayeng gelagapan. Tentu saja dia suka dan kagum kepada gadis hitam manis yang telah menolongnya itu. Akan tetapi ditanya secara terbuka seperti itu, dia merasa malu juga.
"Jawab! Apakah engkau gagu?"
Ni Dewi membentak.
"Ya... ya... saya... suka..."
Akhirnya dia menjawab gugup dan terdengar suara tawa tertahan dari Kasmi dan dua orang rekannya sehingga terdengar cekikikan.
"Dan engkau Marsi! Apakah engkau suka kepada Jayeng?"
Tanya pula Ni Dewi, kini ditujukan kepada Marsi.
Marsi sudah mengenal ketuanya yang berwatak keras dan menghargai kejujuran. Setelah tadi mendengar jawaban Jayeng bahwa pemuda itu suka kepadanya, hatinya sudah merasa girang sekali. Maka tanpa malu-malu iapun menjawab.
"Saya suka, Ni Dewi."
Kembali terdengar suara cekikian.
"Nah, kalau begitu, dengar baik-baik. Kalian, Jayeng dan Marsi, akan dihukum dan hukumannya adalah: Kalian harus segera menikah dan karena menjadi isteri orang, maka Marsi harus keluar dari Melati Puspa!"
Setelah berkata demikian, Ni Dewi bangkit dari tempat duduknya.
"Terima kasih, Ni Dewi!"
Marsi menyembah, diturut oleh Jayeng, akan tetapi Ni Dewi Melati Puspa sudah meninggalkan ruangan itu, membuka tirai pintu dan masuk ke dalam.
Jayeng memandang Marsi dengan mata terbelalak penuh rasa girang.
"Marsi, engkau akan menjadi biniku dan ikut pulang bersamaku ke dusun Magel. Wah, bapak ibu tentu senang menyambut mantunya. Mereka sudah ingin sekali menggendong cucu mereka!"
Saking gembiranya Jayeng lalu merangkul Marsi.
Marsi cemberut dan menolak rangkulan itu sambil memberi isarat dengan matanya ke arah tiga orang rekannya.
Jayeng menoleh dan melihat tiga orang wanita itu, dia bangkit dan memberi hormat sambil membungkuk.
"Terima kasih kepada andika bertiga yang sudah menangkap kami sehingga kami berdua dapat berjodoh. Terima kasih dan saya mendoakan semoga andika bertiga segera dapat memperoleh jodoh masing-masing.
Kasmi yang tadinya terkekeh-kekeh bersama dua orang rekannya, kini berhenti tertawa dan wajah mereka berubah kemerahan, lalu mereka keluar dari ruangan,
"Mari kita pulang, Marsi "
"Pulang?"
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata "Pulang?"
Kata ini terdengar aneh di telinga gadis itu.
Ia sudah yatim piatu dan sejak remaja ia telah terseret masuk menjadi anggauta gerombolan liar yang dipimpin oleh mendiang Suro Gentho, sampai akhirnya ia menjadi anggauta Melati Puspa yang dipimpin Ni Dewi Melati Puspa.
"Ya, pulang ke rumahku, rumah bapak ibu, di dusun Magel. Mari kita berangkat sekarang!"
Kata Jayeng yang agaknya memperoleh tenaga baru dan sudah melupakan kelelahannya.
"Sebentar, kakang Jayeng, aku akan mengambil barang-barang milikku dulu. Kau tunggulah sebentar diluar pondok Ni Dewi ini."
"Kenapa aku tidak ikut engkau mengambil barang-barangmu?"
"Ah, jangan kakang. Aku tinggal bersama para wanita lain. Mereka tentu marah kalau aku membawamu kesana. Tunggu saja sebentar'"
Marsi lalu berlari, gerakannya gesit sekali sehingga Jayeng memandang kagum dan bangga. Calon isterinya itu kelak tentu dapat dia ajak berburu. Ia begitu tangkas, begitu padat dan indah bentuk tubuhnya, begitu manis wajahnya. Hitam-hitam manis, seperti buah manggis, biar kulitnya hitam akan tetapi manis sekali!
Tak lama kemudian Marsi sudah muncul kembali. Alangkah girang dan bangga hati Jayeng ketika melihat bahwa calon isterinya itu tidak hanya membawa semua pakaian dan sedikit perhiasannya, akan tetapi lebih menyenangkan hatinya lagi, gadis itu membawa pula sebungkus nasi dengan lauk-pauknya untuk dia!
"Nih, nasi dan lauknya untukmu, kakang. Bukankah engkau tadi kelaparan? Makanlah dulu disini, baru kita berangkat."
"Kita cepat tinggalkan tempat ini, Marsi. Aku makan nanti saja kalau sudah keluar dari sini. Aku... aku malu kalau makan disini. Hayo kita cepat pergi, Marsi."
Marsi tersenyum dan mengangguk, lalu keduanya pergi keluar dari perkampungan Melati Puspa. Setelah tiba di sebuah lereng dimana terdapat sebuah sumber air yang mancur keluar dari celah-celah batu, airnya dingin dan jernih sekali, Jayeng lalu mengajak Marsi berhenti. Kini tanpa malu-malu dia membuka buntalan nasi dan lauknya dan mengajak Marsi makan.
"Makanlah semua, kang. Aku tadi sudah sarapan."
Kata Marsi dan wanita ini tersenyum manis melihat calon suaminya makan dengan lahapnya.
Setelah makan nasi dan minum air jernih, mereka duduk disitu. Baru terasa oleh Jayeng betapa lelah kedua kakinya. Dia memandang calon isterinya, dari rambut sampai ke kaki, seperti sedang memeriksa sebuah benda yang amat berharga.
"Ih, apa sih yang kaulihat sejak tadi, kang? Kau bikin aku merasa risi dan malu saja!"
"Eh, tidak. Aku... aku melihat engkau tidak lagi memakai hiasan rambut berupa ronce kembang melati seperti tadi. Kenapa? Engkau pantas sekali memakai hiasan kembang itu."
"Aku tidak berani, kang. Di wilayah ini, yang memakai hiasan kembang melati pada rambutnya hanya para anggauta Melati Puspa. Sedangkan aku sekarang bukan lagi anggauta Melati Puspa."
Kedua orang itu lalu bercakap-cakap, menceritakan keadaan dan riwayat masing-masing sehingga mereka saling mengetahui keadaan calon jodoh mereka dan menjadi lebih akrab.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan, bergandengan tangan, menyongsong masa depan yang tampaknya begitu gemilang! Seperti jutaan calon pasangan hidup yang lain di dunia ini, mereka sama sekali tidak melihat dan tidak menduga bahwa masa depan yang tampak begitu gemilang itu menyembunyikan banyak sekali awar mendung yang kelak akan mengganggi dan membuat suram kehidupan mereka
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo