Banjir Darah Di Borobudur 9
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
Bukan main girangnya Sang Prabu Samaratungga dan permaisurinya menyaksikan hasil yang diperoleh utusan-utusan Sriwijaya.
Sorak-sorai sebagai sambutan atas kegagahan kedua orang utusan Sriwijaya tadi masih riuh ketika Sang Sakai Pikatan berdiri dari tempat duduk, mengampiri meja itu dengan langkah seorang bambang yang lemah lembut dan tenang. Berbeda dengan kedua orang utusan tadi ia tidak menyembah ke arah panggung, hanya membungkuk sedikit sebagai tanda penghormatan, kemudian ia menghampiri gendewa itu. Para penonton diam kembali, kini memperhatikan ksatria yang tampan dan halus itu.
Orang yang begitu lemah lembut, mana dapat menarik gendewa pusaka Dewandanu?"terdengar orang berkata.
Puteri Pramodawardani juga mendengar ucapan itu dan ia menjadi gelisah. Ketengannya dapat dilihat jelas karena ia duduk sambil membungkukkan tubuh depan, memandang denagn kedua mata tak berkedip. Sang Prabu Samaratungga dan permaisurinya sebagai orang tua dara jelita itu, tentu saja melihat keadaan puterinya ini, maka mereka saling pandang denagn penuh pengertian, kemudian mereka menundukkan pandangan mata ke bawah panggung pula.
Sang Rakai Pikatan menunduk dan mencium gendewa itu, bibirnay bergerak dan tersenyum. Kemudian dengan gerakan tenang dan lemah lembut ia mengambil gendewa itu dengan tanagn kiri, mengangkatnya ke tas kepalanya, memegang tali gendewa denagn tanagn kanan di belakang terpentang lebar, tubuhnya agak cendong ke belakang dengan pundak kanan merendah, muka mengadah memandang angkasa, mukanya yang tampan tersenym manis, kemudian tanagn kanannay menarik tali gendewa denagn amat mudahnya, seakan-akan busur itu hanya terbuah dari pada lidi aren dan tali gendewanya dari kulit pohon pisang. Busur itu melengkung sampai menjadi bulat dan ketika tali gendewa dilepaskan, terdengar bunyi"sing!!"karena tali gendewa itu menggetar keras. Biarpun gendewa itu tidak dipasangi anak panah, akan tetapi getaran tali gendawa mendatangkan sinar seakan-akan ada anak panah yang melesat ke cakrawala!
Bukan main hebatnya sambutan penonton atas hasil gemilang ini. Gegap-gempita bunyi tepuk tangan dan sorak-sorai, jauh mengalahkan sambutan-sambutan yang tadi.
Sang Prabu Samaratungga dan permaisurinya menahan napas karena merekapun tertegun melihat kesaktian anak muda itu, dan ketika melihat betapa puterinya itu telah berdiri dari tempat duduknya dengan kedua tangan saling peluk, meremas-remas jari!
"Pramodawardani ""!"terdengar permaisuri menegur dengan bisikan. Pramodawardani baru sadar ketika mendengar teguran ini, ia menengok ke arah kedua orang tuanya, kemudian duduk kembali dan menundukkan mukanya yang kemerahan.
Akan tetapi, pada saat itu, terjaid kegemparan baru di kalangan penonton. Dua orang telah melompat masuk dalam kalangan, seorang dari utara dan seorang dari selatan. Orang yang masuk dari utara adalah seorang pemuda tampan dan gagah, sama tampan, sama halus dan sama gagah jika dibandingkan dengan Sang Rakai Pikatan. Pemuda ini lagsung menuju ke tempat ketiga calon yang berhasil itu duduk lalu menjatuhkan diri bersila dan menyembah ke tas panggung dengan penuh khidmat.
Ketika Pramodawardani memandang, kedua matanya terbelalak. Ia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Raden Indrayana, pemuda"kurang ajar"yang dulu berani membuka tirainya ketika ia bersama Ayahnya menjunjung pembukaan Candi Lokesywara! Juga Sang Prabu Samaratungga mengerutkan alisnya. Sungguhpun pemuda itu cukup gagh dan tampan, akan tetapi ia hanya keturunan seorang wiku dan pernah melakukan pelanggaran. Namun, apakah hendak dikata, setiap orang boleh saja mengikuti sayembara. Yang lebih mengejutkan hati Sang Prabu adalah kedua yang masuk ke dalam kalangan selatan.
Orang ini adalah seorang pertapa tua yang amat menyeramkan. Kulit mukanya hitam gelap dan mukanya menunjukkan bahwa ia adalah seorang Hindu. Keningnya tinggi, matanya amat dalam, dipayungi oleh sepasang alis yang panjang dan tebal. Hidungnya panjang, mulutnya tipis. Telinganya oanjang dan lebar, dan kepalanya terikat oleh pengikat kepala yang berwaarna putih dilibatkan beberapa kali di atas kepalanya. Jenggotnya pendek dan kasar sekali bagaikan duk. Sang Prabu Samaratungga tidak tahu siapakah orang ini dan apa perlunya masuk ke dalam lapangan sayembara, maka ia lalu memberi isyarat kepada penjaga di bawah pinggang.
Penjaga itu segera maju dan menghampiri pertapa itu, lalu bertanya,"Hai, sang panembahan, engkau seorang pertapa tua mempunyai keperluan apakah memasuki lapangan ini?"
Pertapa itu tertawa begelak, suara ketawanya tinggi dan nyaring sekali sehingga menyeramkan semua pendengarnya. Lalu ia mendorong penjaga itu dengan tangan kiranya. Aneh sekali, biarpun tangannya tidak menyentuh dada penjaga yang berdiri sekira satu tombak jauhnya, penjaga itu terlempar ke belakang an bergulingan beberapa kali di atas tanah!
Kemudian pertapa itu lalu menjura ke arah panggung dan berkata :
"Sang Prabu Samaratungga, perkenankanlah saya memperkenalkan diri sebagai calon mantu Kerajaan Syailendra! Saya adalah seorang raja pula, seorang calon raja besar yang akan dapat mengangkat tinggi derajat Kerajaan Syailendra. Saya adalah Sang Maha Raja Siddha Kalagana, raja besar dari Kerajaan Durgaloka! Saya mendengar tentang sayembara pemilihan mantu, maka saya satang untuk memasuki sayembara. Mana gendewa itu, hendak saya tarik sampai patah. Ha, ha, ha!"
Akan tetapi, ketika ia menegok, ia melihat Indrayana sedang menghampiri gendewa itu, maka ia berdiri saja menonton sambil tersenyum mengejek. Seperti Rakai Pikatan tadi, Indrayana dengan mudahnya dapat menarik gendewa itu sampai bulat, lalu menaruh kembali gendewa itu di atas meja, mengundurkan diri dan duduk di belakang kedua orang utusan dari Sriwijaya.
Ketika semua orang bersorak gemuruh memuji Indarayana. Sang Rakai memandang ke arah Inrayana denagn muka pucat dan kening berkerut. Apakah maksud Indrayana dengan mengikuti sayembara ini, pikirnya tak senang. Bukankah Indrayana sudah melarikan diri dengan Candra Dewi dan sudah mengawini gadis itu?
Akan tetapi alagkah heran dan terkejutnya ketika kebetulan Indrayana juga memandangnya dengan sinar mata yang amat mengejutkan, karena sinar mata Indrayana mengandung kebencian besar! Ia tahu bahwa Indrayana mempunyai perasaan yang sama, bahkan merasa marah dan penasaran. Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, setelah Indrayana menyerahkan surat pinangan Sang Rakai Pikatan kepada Panembahan Bayumurti, pemuda yang patah hati ini lalu pulang ke Syalendra, selanjutnya tinggal bersama Ayahnya dan hidup sebagai seorang pertapa. Penghidupannya sudah aman dan luka hatinya sudah mulai sembuh. Akan tetapi ketika ia ikut menonton sayembara yang diadakan Sang Prabu Samaratungga, hendak melihat siap arangnya yang keluar sebagai pemenang dan menjadi calon suami Pramodawardani, tiba-tiba ia melihat Sang Rakai Pikatan memasuki sayembara!
Bukan main marahnya Raden Pancapana ini ikut pula memasuki sayembara."Keparat!"makainya di dalam hati."Baru saja mengambil Candra Dewi merampas kekasihku dari tanganku, sekarang ia sudah meninggalkannya untuk mencoba mendapatkan Pramodawardani! aku harus menghalang-halangi kesesatannya ini untuk menolong Candra Dewi!"
Demikianlah, tanpa banyak pikir lagi, ia lalu masuk ke dalam kalangan sayembara dan ikut menarik gendewa itu hingga berhasil baik.
Melihat betapa Indrayana musuh besarnya dahulu berhasil menarik gendewa, Siddha Kalagana lalu melangkah lebar menuju ke meja gendewa itu, tanpa banyak peradatan lagi ia menyambar gendewa dengan tangan kiri, tangan kanan menyahut talinya dan ditariknya gendewa ini sekuat tenaga. Akan tetapi ia merasa terkejut sekali karena gendewa itu benar-benar ampuh dan kuat sekali, sehingga jangankan untuk melengkungkannya, menggerakkannya saja ia tak mampu! Memang sesungguhnya Siddha Kalagana tidak memiliki kedigdayaan yang timbul dari latihan-latihan oleh raga, akan tetapi ia hanay memiliki aji kesaktian yang timbul dari mantera dan segala ilmu hitam yang aneh-aneh. Ia lalu berkemak-kemik membaca mantera, dari kedua tangannay mengepul uap hitam dan ketika ia menarik aya mukjizat yang melawan dan menolak tenaga hitam yang keluar dari tangan Siddha Kalagana. Terjadilah pergulatan antara tenaga hitam dan daya mujizat, dan akhirnya terpaksa gendewa pusaka itu harus mengakui keunggulan tenaga luar biasa yang keluar dari kedua tangan pendeta itu.
"Krak!"maka patahlah gendewa itu pada tengahnya, karena biarpun gendewa itu telah melengkung dan membulat, Siddha Kalagana masih saja membekuknya terus denagn tenaga yang makin lama makin ganas!
Ramanda prabu, hamba juga hendak menerangkan syarat hamba sendiri.
"
Kemudian Sang Puteri membisikkan sesuatu kepada Ayahnay dan wajah Sang Maha Raja Samaratungga berseri-seri. Ia memandang kepada puterinya dengan kagum sekali, kemudian sambil tersenyum girang ia berdiri lagi dan mengangkat tanagn memberi tanda agar semua orang berdiam. Kemudian terdengarlah kata-katanya yang lantang dan berpengaruh.
"Dengarlah, hai rakyatku di Syailendra! Dan terutama sekali kalian yang mengikuti sayembara ini! Selain syarat-syarat yang kuajukan tadi, puteriku sendiripun mempunyai prasetia dan hanya mau menerima peminang yang dapat membangun sebuah candi Buddha yang besarnay segunung anakan! Untuk bangunan itu telah tersedia tanah suci milik puteri mahkota sendiri yaitu Desa Teru di Tepusan. Nah, sekian adanya syarat-syarat sayembara dan rakyat menjadi saksi utama siapa yang akan sanggup mengerjakan semua syarat dan mengadakan bukti-bukti yang diminta, berhak menjadi suami dari pada anakku. Puteri Pramodawarani!"
Bukan main hebatnya sambutan rakyat atas syarat baru dari sang puteri ini. Berarti bahwa agama baru dari sang puteri ini. Berarti bahwa agama mereka akan tetap terjunjung tinggi, siapapun yang akan memenangkan sayembara itu akan memperisteri Sang Puteri Mahkota!
Sang Rakai Pikatan tertegun sebentar, kemudian ia mengangguk-angguk, di dalam hati ia memuji kebijaksanaan gurunya, yaitu Sang Panembahan Bayumurti yang pernah menyatakan bahwa tanah Jawa akan makmur dan persatuan dapat tercapai kalau Mataram sudah bangkit kembali dan jalannya hanya bersatu engan Kerajaan Syailendra.
Setelah itu, pertemuan di alun-alunpun dibubarkan. Para pengikut sayembara yang lulus dalam ujian pertama itu dipersilakan untuk melakukan tugas dan pelaksanaan syarat-syarat selajutnya, sedangkan Sang Prabu beserta keluarga lalu kembali ke dalam keraton.
Sepasang senapati dari Sriwijaya, yaitu Kalinggajaya dan Kalinggapati, menjelajah seluruh Bukit Papak, mengelilinginya, masuk keluar hutan dan mendekati puncaknay sampai sehari, mereka berdua tidak menemukan sesuatu.
Menjaelang senjakala, kedua senopati itu mengaso dan duduk di bawah sebatang pohon randu alas yang amat besar.
"Dimas Kalinggapati,"kata Kalinggajaya kepada adiknya,"telah sehari penuh kita berputar di gunung ini, akan tetapi iblis yang kita singkirkan itu tak juga muncul. Aku merasa ragu-ragu apakah benar-benar ada iblis yang menganggu manusia tinggal di bukit ini?"
"Sesungguhnya, kangmas Kalinggajaya,"jawab Kalinggapati,"sungguhpun alas dan ggunung ini cukup angker adan liar, akan tetapi akupun tidak melihat sesuatu. Menurut cerita pendduduk di dekat gunung yang kutanyai sebelum kita berangkat, memang dahulu sering sekali terjadi penculikan atas diri gadis-gadis kampung yang dilakukan oleh seorang liar yang amat sakti. Boleh ajadi dahulu memang ada seorang sakti yang jahat tinggal di sini, akan tetapi siapa tahu kalau-kalau dia sudah mati."
Baru saja Kalinggajaya mendorong tubuh adiknya dan bersama-sama mengelundung dari tempat dudduknya sampai beberapa tombak jauhnya. Kalinggapati hendak menegur karena heran, akan tetapi alagkah terkejutnya ketika ia melihat kepala seekor ular amat besar dan panjang bergantung dari cabang pohon randu alas itu! Kalau saja Kalinggajaya tidak berlaku cepat, tentu tubuh Kalinggapati telah kena disambar oleh ular itu!
"Binatang keparat!"seru Kalinggapati dengan amat marah dan senapati ini mencabut pedangnya, siap menyergap maju menyerang ular besar itu.
Nanti dulu, dimas. Kaulihat, bukankah ular ini aneh sekali? Seperti bukan ular biasa? "
Seru kalinggajaya kepada adiknya yang segera memandang dengan penuh perhatian.
Memang ilar itu amat mengerikan. Besar tubuhnay seperti gelugu ( batang pohon kelapa ). Kulitnya mengkilap berwarna kelabu ( abu-abu ) kehitam-hitaman. Kepalanya lebar dan gepeng, akan tetapi mulutnya dapat terbuka lebar. Di antara kedua matanya yang kecil bergerak-gerak itu terdapat daging jadi yang bentuknya meruncing seperti tanduk. Dari mulutnya mendesis-desis itu nampak mengempul uap kehitaman. Inilah yang membuat Kalinggajaya menjadi heran dan sangsi, timbul kekhawatirannya dan mencegah adiknya berlaku gegabah.
"Awas, dimas, agaknya ia berbisa. Lebih baik menggunakan anak panah!"
Sambil berkata demikian Kalinggajaya mengambil busur dan anak panah, sedemikian Kalinggapati. Kedua orang senapati setengah tua itu mementang busur dan ketika tali gendewa dilepas, melesatlah dua batang anak panah bagaikan kiliat menyambar, tepat menuju kea rah kedua mata binatang itu. Akan tetapi ular itu benar-benar hebat. Agaknya ua maklum bahwa kedua matanya takkan dapat menahan dua batang anak panah itu, maka cepat sekali kepalanya ditundukkan dan ia menerima datangnya kedua batang anak panah itu dengan kepalanya yang berbentuk daging! Dan ".. alangkah kaget dan herannya kedua orang senapati Sriwijaya itu ketika melihat anak panah mereka mengenai kepala ular dan meleset tanpa melukainya sedikitpun juga.
"Dia kebal!!"
Seru Kalinggapati dengan kedua mata heran.
Ular itu menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, kemudian meluncur makin panjang dan agaknya hendak mengayun tubuhnya kea rah kedua orang penyerangnya.
"Lekas pergunakan panah putih!"
Kata Kalinggajaya kepada adiknya. Kedua orang senapati ini memang memiliki anak-anak panah yang ujungnya terbuat daripada logam putih yang amat keras dan jangankan tubuh orang atau binatang kebal, bahkan besi dan bajapun akan dapat tertembus oleh anak panah ini.
Kedua orang senapati Sriwijaya ini telah memasang anak panah putih mereka pada busur masing-masing dan ular itu ketika melihat cahaya yang keluar dari ujung anak-anak panah itu agaknya tahu akan keampuhan senjata ini, karena kepalanya bergerak-gerak ke kanan kiri seolah-olah merasa gelisah.
Gendewa dipentang dan agaknya sebentar lagi tubuh ular itu akan termakan oleh dua batang anak panah itu, akan tetapi tiba-tiba kedua orang senapati itu memekik keras lalu roboh terguling. Busur dan anak panah terlepas dari pegangan dan di punggung mereka menancap lembing-lembing yang dilepas dari arah belakang! Mereka roboh mandi darah dan tak bernyawa lagi, dengan kulit berubah hitam karena lembing-lembing itu ternyata mengandung bias ular yang amat jahat!
Masih terdengar gema suara jeritan kedua orang senapati yang tewas itu ketika dari balik semak-semak melompat keluar dua orang laki-laki yang berkapa gundul dan bertubuh jangkung kurus. Usia mereka ini kurang lebih empat puluh tahun dan keadaan mereka memang amat luar biasa sehungga siapapun juga yang bertemu dengan mereka, terutama di waktu malam hari tentu akan mengira bahwa mereka adalah iblis-iblis dan bukan manusia. Selain kepala mereka yang gundul dan klimis, juga mereka tidak ebrkumis atau berjenggot sehingga muka mereka seperti muka bayi yang baru dicukur rambutnya. Wajah mereka hamper sama, seperti pinang dibelah dua, hanya kulit muka mereka saja yang berbeda, seorang agak putih karena kulit mukanya penuh panu dan orang kedua agak kehitam-hitaman. Sepasang mata bundar menonjol hamper keluar dari rongga mata, hidung pesek hampir rata dengan tulang pipi sedangkan mulut mereka berbibir tipis dan lebar sekali. Mereka hanya mengenakan sebuah celana panjang hitam, adapun tubuh bagian atas telanjang sama sekali.
Inilah kedua saudara kembar yang menjadi iblis dari Gunung Papak. Mereka ini dahulunya adalah periwa-perwira gagah perkasa dari Mataram du zaman pemerintahan Prabu Sanjaya, dan telah diusir dari kerajaan oleh karena mereka seringkali melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan. Mereka melarikan diri dan akhirnya bertapa di atas Gunung Papak sambil memperdalam ilmu-ilmu dan kesaktian. Gunung itu memang terkenal angker dan seram, mungkin agaknya mereka telah dimasuki oleh roh-roh yang sesat jalan karena belum lama mereka berada di atas gunung itu, mereka telah berobah seperti orang-orang yang miring otaknya. Akan tetapi, mereka ini sungguh-sungguh amat sakti dan semua binatang ular yang berada du gunung itu seakan-akan menjadi balatentara mereka!
Ketika Kerajaan Syailendra makin luas daerahnya sehingga Gunung Papan inipun termasuk wilAyah Syailendra, Sang Raja Samaratungga telah beberapa kali berusaha mengusir atau membasmi kedua saudara kembar yang bernama Sarpajati dan Sarpawuyung. Akan tetapi ternyata kedua orang ini amat sakti dan pandai sekali menyembunyikan diri sehingga selama itu usaha Sang Prabu Samaratungga tak berhasil. Oleh karena kedua orang manusia iblis ini sering kali mengganggu keamanan, merampok bahan makanan dan menculik orang, maka Sang Prabu memasukkan kedua orang penjahat ini ke dalam sayembara pemilihan mantu itu.
Demikianlah sedikit keteangan tentang Sarpanjati dan Sarpawuyung yang berhasil menewaskan kedua senapati Sriwijaya yang bertugas mengalahkan mereka itu. Dengan cara yang amat curang kedua orang manusia iblis ini menyerang Kalinggapati dan Kalinggajaya dengan lembing berbisa dari belakang pada saat kedua orang senapati itu tengah membidikkan panah putih kea rah ular besar itu.
"Ha, ha, ha! Hi, hi, hi!"
Sarpawuyung tertawa-tawa sambil menari-nari memutari dua tubuh yang menggeletak di atas tanah, kemudian mencabut lembingnya yang menancap pada punggung Kalinggajaya."Hanya sebegini saja macamnya orang-orang yang menjadi utusan Samaratungga untuk menumpas kita! Ha, ha, ha!"
Sarpajati juga mencabut lembingnya yang menancap di punggung Kalinggapati, lalu berkata dengan suara bersungguh-sungguh."Adi Wuyung, jangan engkau gegabah! Aku telah mendengar bahwa yang memenangkan sayembara di Syailendra adalah seorang ksatria Syailendra dan Raja Mataram sendiri, akan tetapi aku tidak takut menghadapi kedua orang yang masih muda-muda itu. Yang membikin hatiku gentar adalah orang kelima, yaitu Sang Begawan Siddha Kalagana! Ah, aku merasa bulu kudukku meremang kalau mengingat kepada penyembah Batari Durga itu!"
"Ah, kakang Jati,"
Menyela Sarpawuyung,"apa sih yang harus ditakutkan? Sampai dimana kedigdayaan penyembah Batari Durga? Biarlah dia dating, akan kuhancurkan tubuhnya dengan lembingku ini. Ha, ha, ha!"
Sarpawuyung mengangkat lembingnya yang berlepotan darah itu sambil tertawa lagi.
"Jangan sembrono adi Wuyung. Siddha Kalagana benar-beanr sakti dan ia telah menghabiskan jantung segar banyak anak-anak kecil. Ilmunya tinggi dan ia kebal terhadap segala macam racun. Daripada kita mendapat bencana, lebih baik bersembunyi dan mengerahkan barisan ular untuk menjaga keselamatan kita. Siapa saja yang memasuki hutan ini akan berhadapan dengan barisan ular kita lebih dahulu sebelum bertemu dengan kita!"
Kembali Sarpawuyung tertawa bergelak."Sesukamulah, kakang Jati, akan tetapi aku tidak takut sama sekali!"
Tiba-tiba Sarpajati menundukkan kepalanya yang gundul seakan-akan mendengar sesauatu."Sst, ada orang dating! Adi Wuyung, lekas kita bersembunyi dan kita kerahkan barisan ular!"
Kemudian ia menengok kearah ular besar yang masih bergantungan di cabang pohon randu alas itu dan berkata,"Hai Nagaluwuk, waspadalah kau berjaga disini!"
Bagaikan dua bayangan setan, sekali melompat ke dalam semak belukar lenyaplah kedua orang itu.
Pendengaran Sarpajati memang tajam. Benar saja, tak lama setelah mereka menghilang, nampaklah bayangan orang berjalan dalam kesuraman senja. Bayangan ini bukan lain adalah Raden Pancapana atau Sang Rakai Pikatan sendiri, yang menjalankan tugasnya mencari pengganggu keamanan yang berada di puncak Gunung Papak dan menewaskan mereka.
Sang Rakai Pikatan berjalan perlahan dan sungguhpun ia sedang berjalan mencari blis pengganggu di gunung itu, akan tetapi pikirannya melayang jauh dari situ, dan di depan matanya terbayang wajah Raden Indrayana yang dijumpainya di alun-alun tempat diadakannya sayembara menarik gendewa tadi pagi. Ia masih merasa amat penasaran. Bagaimana Indrayana dapat melakukan hal itu! Apakah benar-benar Indrayana yang dikenalnya sebagai pemuda gagah dan berbudi ini telah meninggalkan Candra Dewi untuk mencoba menenangkan sayembara agar menjadi suami sang puteri mahkota? Tadi ketika hendak meninggalkan alun-alun, ia sengaja mendekat dan memanggil Indrayana untuk ditanya, akan tetapi Indrayana tidak menjawab sama sekali, bahkan setelah melontarkan pandang mata yang marah lalu meninggalkannya! Ia tidak tahu bahwa pada saat itu ia menaiki Gunung Papak dari selatan, Indrayana juga naik ke atas Gunung itu dari sebelah timur!
Senjakala telah membuat keadaan di dalam hutan itu agak gelap, namun sepasang mata Pancapana yang tajam penglihatannya itu masih dapat melihat bahwa yang menggeletak di bawah pohon randu hutan itu adalah tubuh dua orang yang telah tewas. Ia cepat berlari menghampiri dan alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa yang menggeletak dan tewas di situ adalah sepasang senapati Sriwijaya yang mengikuti sayembara!
Sang Rakai Pikatan cepat menghampiri dan berjongkok untuk memeriksa keadaan kedua orang itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar angina serangan dari atas mengarah kepalanya. Pemuda perkasa ini cepat melompat ke samping dan meluncurlah kepala ular Nagaluwuk di dekat tubuhnya! Nagaluwuk ini adalah seekor ular besar yang tadinya menjagoi dan merupakan raja hutan di atas puncak Gunung Papak. Bahkan macan dan badak sendiri mengakui keunggulanya dan tidak berani jalan di dekatnya, akan tetapi ia telah ditaklukkan oleh saudara kembar Sarpajati dan Sarpawuyung sehingga menjadi pembantunya.
Melihat bahwa yang menyerangnya adalah seekor ular yang besar sekali, Sang Rakai Pikatan menjadi marah dan cepat ia mencabut pedangnya. Nagaluwuk melihat serangannya tidak berhasil cepat mengubah ayunan kepalanya dan kini ia menyambar lagi ke arah pemuda itu. Sang Rakai Pikatan cepat miringkan tubuhnya mengelak, dan ketika kepala ular itu menyambar lewat, ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Secepat kilat pedangnya bergerak membacok dan"taK!!"
Pedangnya seakan-akan membentur batu dan membal kembali.
"Keparat!"
Seru Rakai Pikatan yang tidak menjadi gentar, sebaliknya malah merasa marah dan penasaran sekali. Ia memandang penuh oerhatian dan maklum bahwa kekebalan ular itu terletak pada sisik ular itu. Sisik itu tebal, kuat dan licin. Lagi pula bertumpuk-tumpuk sehingga amat kuatnya.
Kembali kepala ular itu menyambar dengan mulut terbuka lebar. Terdengar desis keras dan dari mulutnya tersemburlah uap hitam yang berbau amat amis. Rakai Pikatan mengumpulkan hawa di dalam dada, menahan napas lalu meniup ke arah uap hitam yang menyerangnya itu sambil mengelak dari terkaman kepala ular. Uap hitam itu menjadi buyar dan kembali terdorong oleh tiupan Rakai Pikatan yang kuat. Kemudian, sebelum kepala ular itu berbalik kembali, sesigap rusa melompat, Rakai Pikatan menubruk maju dan masuk di bawah sisik, terus mengarah kulit dan melukai bagian leher ular itu.
Ketika pedang dicabut, tersemburlah darah ular itu. Kepala ular mendesis-desis makin hebat sehingga tempat itu penuh dengan uap hitam. Terpaksa Rakai Pikatan menahan napasnya dan tidak berani menyedot napas karena hawa di sekitar tempat itu telah mengandung raun. Saking sakitnya karena luka di lehernya, Nagaluwuk melepaskan libatan ekornya pada cabang pohon sebelah atas dan dilibatkannya kembali ekor itu pada cabang yang rendah. Kini kepalanya sampai menyentuh tanah dan ia menggeliat-geliatkan lehernya yang kesakitan. Gerakannya demikian buas dan cepat sehingga sukarlah Rakai Pikatan untuk menyerang lagi. Dalam penderitaanya karena luka itu, Nagaluwuk masih saja dapat menyerang bertubi-tubi yang dielakkan oleh Rakai Pikatan yang mengandalkan kegesitan tubuhnya.
Pemuda perkasa itu maklum bahwa kalau dilanjutkan pertempuran ini, ia akan menderita rugi, karena selain tidak mendapat kesempatan membalas serangan lawannya juga tak mungkin ia menahan terus pernapasannya. Tiba-tiba ia mendapat akal. Ketika ular itu menyerangnya lagi, ia bukan mengelak ke samping, melainkan menggenjot tubuhnya ke atas dan sekali saja pedangnya terayun, cabang pohon dimana ekor ular itu melilit, terbabat putus dan runtuhlah cabang itu berikut tubuh Nagaluwuk.
Kini ular itu telah berada di atas tanah dan tentu saja daya serangannya tak sehebat kalau ia menggantungkan diri dari pohon. Rakai Pikatan tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi dan beberapa kali ia melompat-lompat ke kanan kiri dan belakang ular sambil mengirim tusukan-tusukan maut. Beberapa tusukan lagi kea rah perut hingga binatang itu dan ular yang besar itu berhenti menyerang, menggelepar di atas tanah, menggeliat-geliat menanti datangnya ajal.
Rakai Pikatan meninggalkan tempat itu dan duduk mengaso di bawah pohon, agak jauh dari situ agar jangan sampai kena mengisap hawa beracun. Ia menyeka pelupuhnya dan membersihkan pedangnya dengan rumput alang-alang, kemudian memasukkan pedang pusaka itu di dalam sarun pedang kembali.
Baru saja pedangnya disarungkan, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam di depan mukanya dan kalau saja ia tidak cepat mengelak, tentu pukulan yang dilakukan oleh bayangan itu akan mengenai dadanya! Rakai Pikatan bangun dan memandang.
"Dimas Indrayana!!"
Serunya terkejut, heran, dan marah.
Memang penyerang itu adalah Indrayana sendiri. Pada saat Rakai Pikatan mendaki Bukit Papak dari selatan, pemuda inipun mendaki bukit dari sebelah timur. Ia hendak mencari pula pengganggu yang tinggal di Gunung Papak dan melenyapkannya sebagai yang diisyaratkan oleh sayembara itu. Sesungguhnya, Indrayana mengikuti sayembara hanya dengans atu maksud dan tujuan yaitu menghalang-halangi Rakai Pikatan! Ia tidak ingin memperisteri Sang Puteri Pramodawardani, ia tidak mungkin dapat mencintai seorang wanita lain lagi setelah hatinya terpatah oleh Candra Dewi yang dijadikan permaisuri oleh Rakai Pikatan karena Raja Mataram ini merampas Candra Dewi dari tangannya, akan tetapi karena mengira bahwa Rakai Pikatan telah meninggalkan atau menyia-nyiakan Candra Dewi, kemarahannya memuncak. Celakalah orang yang mendatangkan sengsara kepada gadis yang dicintainya itu!
Ketika INdrayana mendaki bukit itu, sebelum tiba di puncak, tiba-tiba ia mendengar suara berkerosokan seperti daun-daun kering diinjak banyak kaki. Ia cepat bersiap dan alangkah kagetnya ketika ternyata bahwa suara itu ditimbulkan oleh banyak sekali ular-ular kecil yang meluncur berlenggak-lenggok di atas tanah menuju ke arahnya seakan-akan barisan yang bersiap menyerang musuh!
Indrayana yang gagah dan tidak mengenal takut itu menjadi ngeri juga melihat betapa banyaknya ular-ular welang, dumung, sawah dan ular air berlenggak-lenggok menjijikkan. Ia tidak mau melayani ular-ular ini dan hendak mengambil jalan memutar. Akan tetapi, baru saja ia membalikkan tubuh ternyata dari belakang, kanan dan kiri telah penuh dengan ular. Bahkan ketika ia mendengar suara dari atas pohon-pohon juga dating ular-ular yang merayap turun. Ia telah terkurung oleh ratusan ekor ular!
"Hm, ini tentu perbuatan siluman gunung ini!"
Bisik Indrayana."Baiklah, kalau kau menghendakibalamu menjadi bangkai, aku takkan mundur setapak!"
Pemuda yang gagah berani ini lalu mencabut keris dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya melepaskan ikatan kepala yang dipegang ujungnya. Setelah ular-ular itu merayap dekat dan mulai menyerangnya dengan mendesis-desis dan membuka mulut mereka yang lebar, Indrayana mulai bergerak. Ikat kepala di tangannya diputar sedemikian rupa dan ternyata kain pengikat kepala yang lembek ini setelah berada di tangannya, merupakan sebuah senjata yang amat dahsyat. Ujung kain itu ketika dipukul-pukulkan mengelaurkan bunyi bagaikan pecut dan setiap kali kepala ekor terkena ujung kain itu, pecahlah kepala ekor ular itu dengan otak berserakan! Namun ujung kian itu sendiri tetap bersih dan tidak terkena darah ular. Ular-ular yang agak besar dirobohkannya dengan keris pusakanya yang ampuh. Tak usah sampai tembus, baru tergurat sedikit saja oleh ujung keris di tangan Indrayana, ular-ular itu bergelimpangan dan tidak berkelojotan lagi!
Betapapun hebatnya amukan Indrayana sehingga sebentar saja puluhan bangkai ular bertumpang tindih, namun ular itu merupakan lawan yang tidak mengenal arti mundur atau takut. Matia satu dating dua, roboh dua dating empat sehingga lama-kelamaan Indrayana merasa ngeri dan jijik. Tempat itu telah berbau amis karena arah ular-ular yang dibunuhnya. Untuk pergi dari situ juga tak mungkin, karena kemana saja ia melompat, ia selalu terkurung dan sama sekali tak ada jalan keluar.
Dengan gemas Indrayana lalu mencari akal. Ketika melihat batu hitam yang besar di dekat tempat itu, ia lalu melompat ke atas batu itu sambil membawa daun-daun kering. Ular-ular yang masih mengurung lalu berlenggak-lenggok mengurung batu besar itu dan sudah ada beberapa belas ekor ular yang merambat menaiki batu untuk menyerangnya. Indrayana terpaksa mempergunakan kain ikat kepalanya disabetkan ke kanan kiri dan ular-ular itu terbanting ke bawah kembali. Indrayana menggunakan kerisnya digurat-guratkan kepada batu hitam. Berpijarlah bunga api ketika keris yang ampuh itu ujungnya diguratkan pada batu hitam yang keras. Sebentar saja terbakarlah daun-daun kering yang dibawanya tadi. Dengan daun-daun terbakar ini, Indrayana lalu menyebarkan api pada daun-daun kering yang banyak terdapat di bawah batu, maka sebentar saja menjalarlah api membakar daun-daun kering dibawah pohon.
Akal Indrayana ini baik sekali, karena begitu menghadapi api, ular-ular itu menjadi ketakutan dan larilah binatang-binatang itu berserabutan! Indrayana mentertawakan binatang-binatang itu dan melanjutkan perjalanannya, karena ia aingin"mendahului"
Rakai Pikatan membasmi penggangggu di gunung itu agar sang puteri mahkota jangan sampai terjatuh ke dalam tangan Rakai Pikatan sehingga merusak kebahagiaan Candra Dewi.
Tiba-tiba ia mendengar suara keras dan ketika ia berlari menghampiri, ia melihat Raja Mataram itu tengah berjuang mati-matian melawan seekor ular yang luar biasa besarnya! Sungguh baik sekali bahwa kedua orang muad itu mendaki bukit dari dua jurusan, karena kalau saja tidak demikian halnya, maka mereka yang naik ke bukit itu tentu akan menghadapi ular besar itu dan dikeroyok pula oleh ratusan ular kecil! Kalau terjadi demikian, maka hal itu akan berbahaya sekali. Agaknya tak mungkin menghadapi Nagaluwuk jika masih dikeroyok pula oleh ratusan ular itu. Tanpa disengaja, Indrayana dan Pancapana telah ebkerja sama, menghilangkan perintang yang berupa anak buah Sarpajati dan Sarpawuyung, sepasang manusia iblis di Gunung Papak itu!
Akan tetapi, ketika Indrayana menyaksikan betapa Rakai Pikatan telah berhasil menewaskan ular besar dan kini duduk mengaso di bawah pohon, ia tak dapat menahan kesabarannya lagi dan kebencianmeluap. Terbayanglah wajah Candra Dewi yang menangis sedih karena ditinggalkan oleh suami yang mengikuti sayembara hendak memperebutkan puteri Syailendra. Tanpa banyak cakap pula, ia lalu melompat dan menerjang Rakai Pikatan yang sedang duduk. Sungguhpun ia tidak memberi tahu lebih dulu namun sebagai seorang ksatria ia menyerang dari depan dengan terang-terangan, memukul dada Raja Mataram yang masih muda itu.
Demikianlah setelah melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah Indrayana, Rakai Pikatan lalu menegur pemuda itu dan kini mereka berdiri berhadapan, saling menatap muka masing-masing dengan pandangan bernyala.
"Indrayana, apakah artinya ini? Mengapa kau menyerangku dengan tiba-tiba tanpa alas an?"
Indayana tersenyum sindir."Sang Prabu Pikatan, sungguhpun aku menyerangmu, akan tetapi aku menyerang dari depan! Majulah kau dan mari kita sama lihat, siapa lebih unggul dan lebih digdaya!"
"Indrayana, apakah kau sudah gila!"
Bentak Sang Rakai Pikatan marah.
Merahlah muka Indrayana mendengar makian ini. Ia membusungkan dadanya dan menjawab."Sang Prabu Pikatan! Baru sekarang terbukti kebenaran kata-kata orang bijaksana bahwa kedudukan tinggi itu bercahaya gemilang sehingga dapat membutakan mata hati orang! Kau yang dahulu kuanggap orang semulia-mulianya dan sebaik-baiknya, setelah mendapat kedudukan tinggi dan mulia, ternyata juga menjadi buta dan bukan aku yang gila, melainkan kau sendiri, gila perempuan!"
Bukan main marahnya Sang Rakai Pikatan mendengar ini."Indrayana! Tak patut kau mengeluarkan kata-kata sekeji ini! Agaknya kau marah kepadaku karena Candra Dewi."
"Jangan sebut-sebut namanya dalam persoalan ini! Sudahlah, kalau benar-benar kau laki-laki dan gagah, mari kita tentukan di tempat ini. Kita berdiri sebagai saingan dalam memperebutkan Sang Puteri Mahkota Syailendra. Kalau kau sanggup menyempal bahu Indrayana, barulah kau akan dapat memboyong puteri itu. Kalau tidak, kau harus mati dan puteri mahkota adalah hak Indrayana!"
"Keparat!"
Seru Sang Rakai Pikatan dengan mata bernyala."Sebelum pecah dadaku, jangan harap kau akan dapat menjadi suami Pramodawardani dan merusak kebahagiaan isterimu sendiri!"
Kata-kata terakhir ini tidak terdengar lagi oleh Indrayana yang sudah merasa marah sekali. Ia melompat maju memukul dengan tangan kanannya, akan tetapi Rakai Pikatan dengan sigapnya menangkis dan balas menyerang. Bukan main hebatnya pertandingan ini. Keduanya sama tampan, sama gagah, sama sakti mandraguna dan pernah mendapat gemblengan yang sama pula dari guru mereka, yakni Sang Begawan Ekalaya di Gunung Muria. Pukul-memukul, tendang-menendang, hempas-menghempas, membuat bumi yang terpijak oleh mereka seakan-akan tergetar karena hebatnya perjuangan kedua orang ksatria itu. Tangan mereka sama ampuh, gerakan mereka sama gesit dan tubuh mereka sama kebal pula. Pada suatu saat ketika Indrayana lengah, sebuah pukulan hebat dari Sang Rakai Pikatan dengan jitu mengenai dadanya, membuat ia terlempar sampai dua tombak lebih dan duduk dengan kepala pening beberapa saat lamanya. Akan tetapi, ia segera bangkit kembali, membuat serangan balasan dengan hebatnya sehingga berhasil mengirimkan pukulan yang mengenai leher Sang Rakai Pikatan sehingga Raja Mataram ini terhuyung-huyung ke belakang dengan pandangan mata nanar untuk seketika.
Hm, tanganmu keras sekali Indrayana!"
Sang Rakai Pikatan memuji bekas sahabatnya ini dengan kagum.
"Babo, babo!"
Sumbar Indrayana."Kerahkan seluruh kekuatanmu Sang PRabu! Kalau kau masih penasaran, cabutlah pedangmu dan mari kau hadapi ksatria Syailendra ini!"
"Aduh, sumbarmu seakan-akan kau telah menggulingkan Gunung Mahameru! Jangan kau kira aku gentar menghadapimu. Akan tetapi, bukan watak ksatria untuk bertempur dalam gelap gulita, mempergunakan keadaan yang gelap untuk mencari kemenangan. Orang yang bertempur secara liar di dalam gelap hanya orang buas yang tidak mengenal tata kesusilaan. Kalau kau tidak mau kuanggap orang liar, kita tunda dahulu pertempuran ini dan kita lanjutkan besok pagi."
Memang pada saat itu malam telah tiba dan keadaan mulai menjadi gelap. Sebentar lagi tentu di dalam hutan itu gelap pekat tak kelihatan sesuatu. Indrayana menghela napas menjawab.
"Sesukamulah! Diteruskan sekarang atau besok pagi bagiku sama saja. Pendeknya, kali ini kita harus mengadu tenaga sampai salah seorang di antara kita roboh tak bernyawa pula. Nah sampai besok pagi Sang Prabu!"
"Indrauana""
Rakai PIkatan memanggil dengan suara halus, akan tetapi pemuda ini telah melompat dan menghilang di balik semak-semak. Sang Prabu Pikatan menarik napas panjang karena ia memang amat lelah, ia lalu duduk menyandarkan tubuh di bawah pohon. Tak lama kemudian iapun tertidu nyenyak.
Sementara itu, Indrayana yang tidak pergi jauh dari situ juga telah tertidur di atas pohon waringin. Pemuda inipun merasa lelah sekali. Belum pernah ia menemui tandingan sekuat Sang Rakai Pikatan dan dalam perkelahian tadi ia telah mengerahkan tenaganya sehingga merasa penat dan sakit-sakit tulang dan urat tubuhnya.
Menjelang tengah malam, dua pasang mata yang seperti mata harimau, yang dapat menembus kegelapan, mengintai Rakai Pikatan yang sedang tidur pulas di bawah pohon. Mereka adalah sepasa manusia iblis di Gunung Papak, yaitu Sarpajati dan Sarpawuyung. Ketika mereka sampai di tempat itu, mereka terkejut sekali melihat Nagaluwuk telah tewas. Mereka tidak mengetahui tentang pertempuran antara ular besar itu dan Rakai Pikatan, karena mereka menyembuyikan diri di dalam gua dan tidak berani keluar sebelum tengah malam tiba. Kini mereka mengintai Sang Rakai Pikatan yang sedang tidur.
"Kakang Jati, agaknya raja sinatria inilah yang telah membunuh Nagaluwuk. Keparat benar! Mari kita bunuh dia, membalas sakit hati Nagaluwuk!"
"Sst, nanti dulu, Wuyung. Jangan kita bertindak sembrono. Ketahuilah bahwa ksatria yang sedang tidur itu bukan sembarang orang yang mudah dilawan begitu saja. Aku sekarang ingat bahwa dia adalah Sang Prabu Pikatan, raja muda dari Mataram yang terkenal. Tadinya kukira ia seorang biasa saja, akan tetapi setelah ia berhasil menewaskan Nagaluwuk, dan melihat teja yang bercahaya dari kepalanya, ternyata ia tidak boleh dibuat gegabah. Lebih baik kita menguasainya dengan aji panyirepan lebih dulu agar ia tak berdaya."
Kedua kakak beradik ini lalu duduk bersila di atas tanah, menyilangkan kedua lengan di depan dada dan mengheningkan cipta lalu mengerahkan aji japa mantera mereka melakukan panyirepan. Bukan main hebatnya aji ini karena semua binatang di hutan itu yang tidur di atas tanah, semua lalu jatuh pulas! Tetapi, alangkah heran dan terkejut hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa Sang Rakai Pikatan belum juga terpengaruh oleh aji mereka. Seorang manusia yang terkena aji panyirepan ini, dapat ditentukan dari suara mendengkur dalam tidurnya. Biarpun tadinya orang itu tidak mendengkur dan tidak biasa mendengkur dalam tidurnya, akan tetapi apabila telah terkena pengaruh aji panyirepan ini, pasti akan terdengar dengkurnya, tanda bahwa tidurnya nyenyak sekali dan juga tidak sewajarnya! Akan tetapi, ditunggu-tunggu sampai lama, ternyata Sang Rakai Pikatan masih saja tidur dengan napas perlahan dan halus, sama sekali tidak terdengar dengkurnya.
Hal ini tak usah diherankan apabila diingat bahwa Rakai Pikatan adalah seorang pemuda yang telah bertahun-tahun mendapat gemblengan dari Sang Panembahan Bayumurti yang sakti, bahkan kemudian ia mendapat bimbingan dari Sang Begawan Ekalaya yang suci dan berilmu tinggi. Tidak sembarang ilmu hitam akan dapat mempengaruhi pemuda yang telah menjadi raja di Mataram ini.
Sepasang manusia iblis kembar itu menjadi penasaran sealo dan dengan sekuat tenaga mereka
(Lanjut ke Jilid 10 - Tamat)
Banjir Darah di Borobudur (Cerita Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10 (Tamat)
mengerahkan aji kesaktiannya dan pengaruh aji tenung mereka itu menyebarkan hikmat yang membuat daun-daun pohon seakan-akan ikut tertidur juga! Biarpun demikian mereka masih harus menggunakan waktu hampir setengah malam sebelum mereka mendengar suara dengkur perlahan dan halus keluar dari dada Sang Rakai Pikatan. Menjelang fajar, barulah Raja Mataram itu tunduk dan terkena hikmat aji kesaktian Sarpajati dan Sarpawuyung.
"Kurang ajar, hampir habis tenagaku!"
Kata Sarpawuyung sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Pengerahan tenaga batin yang dipaksakan aitu benar-benar melelahkan kedua orang itu sehingga mereka tidak berdiri dari tempat duduk mereka dan mengaso sampai fajar menyingsing. Setelah tenaga mereka terkumpul dan hari mulai terang, barulah mereka berdiri dan memandang ke arah Sang Rakai Pikatan yang duduk bersandar di batang pohon dan masih tidur mendengkur perlahan.
Keadaan di dalam hutan ini aneh sekali, karena biarpun matahari telah mulai mengusir halimun pagi, namun tidak terdengar suara ayam hutan atau binatang lain. Semua penghuni hutan masih tertidur lelap karena pengaruh sirep dan sihir kedua orang itu.
"Kakang Jati, biarkan aku yang membunuh Raja Mataram ini!"
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Sarpawuyung smbil melangkah maju dan mencabut lembingnya. Juga Sarpajati mencabut lembing dan kedua orang itu telah siap untuk menancapkan lembing mereka di dada Sang Rakai Pikatan. Akan tetapi, tiba-tiba pada saat Sarpawuyung telah mengangkat lembingnya, dari atas pohon melayang turun sebatang anak panah tahu-tahu menancap di depan kedua orang yang hendak membunuh Raja Mataram itu!
Sarpajati dan Sarpawuyung terkejut sekali. Mereka mendongak dan pada saat itu juga melayanglah turun sesosok tubuh yang gerakannya egsit sekali dan tahu-tahu Indrayana telah berdiri di depan Sang Rakai Pikatan, menghadapi raja itu dan sekali ia mengebutkan ikat kepalanya kea rah muka raja muda itu, terbangunlah Sang Raja Pikatan dari tidurnya!
"Jahanam!"
Seru Sarpawuyung dengan amat marah."Kami berurusan dengan Raja Mataram, kau siapakah berani mengganggu kami?"
"Iblis jahat dengarlah baik-baik! Aku adalah Raden Indrayana, ksatria Syailendra yang tidak membiarkan iblis-iblis seperti kalian berlaku curang!"
"Hm, dia inilah yang menjadi pengikut sayembara pula!"
Seru Sarpajati."Adi Wuyung, hayo kita sirnakan manusia sombong ini!"
Sarpajati dan Sarpawuyung lalu menggeram dan kedua orang ini menyerang dengan hebat sekali, lembing mereka yang ujungnya hitam dan berbisa itu menyambar-nyambar kea rah tubuh Indrayana. Indrayana harus menggunakan kegesitannya untuk menghindarkan diri daripada bahaya maut itu. Ia maklum akan keampuhan lembing itu dan ternyata bahwa gerakan kedua orang itu amat gesit. Diam-diam Indrayana yang tidak tahu bahwa lawannya adalah bekas perwira-perwira Mataram, merasa heran sekali bagaimana orang-orang liar ini memiliki gerakan ilmu berkelahi yang cukup tinggi dan indah. Ia mengerahkan kelincahan dan tenaga, menghadapi dua lembing yang berbahaya itu dengan kerisnya. Berkali-kali ia mencoba untuk mematahkan senjata lembing lawan dengan kerisnya yang ampuh, akan tetapi ternyata bahwa lembing kedua orang kembar itupun terbuat daripada logam hitam yang kuat sekali.
Oleh karena kedua orang lawannya itu memiliki kepandaian tinggi, maka Indrayana yang dikeroyok dua lambat laun mulai terdesak. Hanya berkat kegesitannya yang luar biasa saja pemuda ini masih dapat meluputkan diri mempergunakan kekebalannya untuk menahan serangan lembing, akan tetapi bisa yang amat kuat dan berbahaya di ujung lembing itu akan dapat menimbulkan bencana juga. Indrayana maklum sepenuhnya akan bahaya ini, maka ia selalu menghindarkan diri dari tusukan senjata lawan sehingga tubuhnya berkelebatan di antara sinar senjata lawan.
Sementara itu, setelah tadi dikebut oleh ikat kepala Indrayana, Rakai Pikatan menjadi sadar dari pengaruh aji panyirepan dia ia mulai membuka mata dan menggerakkan tubuhnya yang terasa kaku dan lemah karena pengaruh aji ilmu hitam itu. Sang Pikatan maklum bahwa ia tentu terkena hikmat ilmu hitam, maka cepat-cepat ia bangun duduk dan bersila, mengumpulkan napas dan bersamadhi sebentar, mengatur jalannya pernapasan untuk membersihkan hawa yang menghikmatinya selama ia tertidur tadi. Kemudian, ia membuka matanya dan melihat betapa Indrayana terdesak hebat oleh kedua orang gundul yang amat sakti itu, ia cepat melompat berdiri. Rakai Pikatan dapat menduga bahwa ia tentu telah kena pengaruh ilmu hitam kedua orang itu dan bahwa Indrayanalah yang telah menolongnya.
"Dimas Indrayana, jangan khawatir, aku datang membantumu!"
Setelah berkata demikian, Raja Mataram ini mencabut pedangnya dan melompat ke dalam gelanggang pertempuran. Kini pertempuran menjadi makin seru. Rakai Pikatan dilawan oleh Sarpajati sedangkan Indrayana menghadapi Sarpawuyung.
Tiba-tiba saja Sarpajati menahan pedang Rakai Pikatan dengan lembingnya, lalu bertanya sambil memandang tajam."Kau Raja Mataram yang berjuluk Rakai Pikatan. Melihat wajahmu, kau serupa benar dengan mendiang Sang Prabu Sanjaya. Ada hubungan apakah kau dengan raja tua itu?"
"Sang Prabu Sanjaya adalah ramandaku. Apa perlumu menyebut nama mendiang ramanda prabu?"
Mendengar jawaban ini, Sarpajati tertawa tergelak dan mukanya nampak makin buas."Ha, ha, ha! Kebetulan sekali! Kalau begitu, kau tentulah Pangeranpati Pancapana! Ha, akan tercapailah hasrat hatiku membalas dendam. Ketahuilah, Sang Prabu Pikatan! Aku dan adikku ini dahulu adalah perwira-perwira Kerajaan Mataram yang telah banyak membuat jasa terhadap kerajaan. Akan tetapi, Ayahmu yang tidak mengenal budi itu telah mengusir kami. Sekarang, karena Ayahmu telah meninggal dunia, kaulah yang menjadi penggantinya dan harus membayar hutang orang tuamu!"
"Sudah sepantasnya mendiang ramanda prabu mengusir kalian kaerna kalian adalah orang"orang yang jahat."
"Keparat, rasakan pembalasanku!"
Setelah membentak demikian, Sarpajati lalu menyerang dengan murka dan nekat. Akan tetapi, Sang Rakai Pikatan dapat menahan dengan pedangnya dan mereka segera bertempur dengan seru sekali.
Kini, setelah menghadapi Sarpawuyung seorang saja, Indrayana tidak merasa berat, bahkan gerakan kerisnya sellau mengancam jiwa lawannya. Sarpawuyung selalu mundur dan amat terdesak oleh keris Indrayana yang bagaikan telah berubah menjadi puluhan buah itu. Sarpawuyung maklum bahwa ia takkan dapat menang, maka diam-diam ia membaca manteranya dan ketika ia menyemburkan hawa dari mulutnya, maka segumpal uap hijau menyerang kea rah muka Indrayana! Pemuda ini maklum akan bahaya dan dapat menduga bahwa uap hijau itu bukanlah sembarang uap, akan tetapi uap yang terjadi karena ilmu hitam dan yang mengandung bisa berbahaya atau pengaruh yang kuat, maka ia lalu menahan napas untuk menjaga diri, kemudian ia mengebutkan ikat kepalanya yang selain ampuh juga digerakkan dengan tenaga luar biasa.
Sarpawuyung hendak mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri, akan tetapi Indrayana cepat melompat mengejarnya.
Keparat keji, jangan lari!"
Teriaknya sambil menyerang dengan kerisnya. Ketika Sarpawuyung menangkis dengan lembingnya, Indrayana cepat menarik kembali kerinsya dan mengirim sebuah tendangan dengan kaki kirinya ke arah lawannya. Sarpawuyung terkejut sekali karena ia tidak menyangka akan serangan yang cepat sekali datangnya ini. Ia lalu menyabetkan lembingnya ke arah kaki Indrayana yang menendang dengan maksud melukai kaki itu, karena sekali saja ujung lembingnya dapat melukai kulit tubuh lawan, berarti ia akan memperoleh kemenangan.
Namun, Indrayana tidak dapat di jatuhkan begitu saja. Pemuda ini semenjak kecilnya memang telah mempelajari berbagai ilmu pukulan yang tinggi dan memiliki gerakan yang melebihi seekor raja kera gesitnya. Ia sengaja memperlambat gerakannya dan ketika ujung lembing lawan sudah dekat sekali dengan kakinya, secepat kilat ia menarik kembali kaki itu dan berbareng pada saat itu juga kerisnya bekerja. Keris itu di ditusukkan kedepan dan """cap!"uluhati Sarwapayung ternyata tidak dapat menahan serangan keris Indrayana sehingga keris itu menancap sambil ke gagangnya, Indrayana mencabut kembali kerisnya sambil melompat ke belakang, sebelum roboh Sarwapayung telah melontarkan lembingnya ke depan dan kalau saja Indrayana berada di depannya, maka agaknya akan sukar bagi pemuda itu untuk mengelak. Sarwapayung roboh mandi darah dan tak dapat berkutik lagi.
Ketika Indrayana memandang ke arah Rakai Pikatan ternyata Raja Mataram itu masih bertempur ramai melawan Sarjapati yang ternyata juga hebat ekali kepandaiannya. Semenjak tadi, memang ilmu pedang Rakai Pikatan lebih unggul dan dapat menekan lembing lawannya, akan tetapi seperti juga Indrayana, Rakai Pikatan, maklum akan kejamnya lembing berbisa itu, maka selalu bertempur dengan hati-hati jangan sampai terluka sedikitpun juga.
Sarjapati merasa kewalahan menghadapi Sang Prabu Pikatan, dan telah beberapa kali ia mencari jalan untuk melarikan diri. Lebih-lebih setelah ia melihat betapa adiknya telah tewas dalam tangan Indrayana, semangatnya telah terbang dan keberaniannay lenyap sama sekali. Ia lalu membaca mantera an ketika ia memekik nyaring, dalam pandang mata Rakai Pikatan lawannya itu lenyap berobah menjadi asap! Akan tetapi Raja Mataram itu cepat mempergunakan aji kesaktian yang ia pelajari dari Bagawan Ekalaya untuk melawan ilmu hitam. Tiga kali ia menggosok matanya sambil membaca mantera dan nampaklah lagi olehnya Sarjapati yang sedang melarikan diri.
"Jahanam, jangan kau lari!"serunya sambil mengejar.
Bukan main terkejutnya Sarjapati ketika melihat lawannya dapat mengejarnya, maka terpaksa ia melawan lagi dengan nekad dan mati-matian. Seperti juga adiknya ia mengeluarkan uap hijau dari mulutnya, namun tetap saja lawannya yang gagah itu apat menghindar diri. Gerakan pedang Rakai Pikatan diperce[at sehingga mendatangkan angin dan sinar pedangnya berkilat-kilat menyambar. Uap hijau ketika terkena sambaran cahaya pedangnya, menjadi buyar pula.
Akhirnya, engan sebuah bacokan hebat, leher Sarjapati hampir putus oleh pedang Rakai Pikatan! Tewaslah dua orang manusia iblis yang telah lama merupakan gangguan bagi rakyat Syailendra itu, binasa di dalam tangan Indrayana an Rakai Pikatan.
Kini kedua orang muda itu berdiri lagi berhdapan, saling pandang engan senjata di tangan! Matahari telah naik tinggi dan wajah mereka berkilat karena peluh mereka membasahi jidat dan leher. Pertempuran melawan dua orang kembar tadi benar-benar membutuhkan pengarahan tenaga yang tidak sedikit. Apakah dua orang jago muda ini hendak melajutkan pertempuran mereka malam tadi?
"Bagaimana Indrayana? Masih hendak kaulanjutkan jugakah kekurangajaranmu terhadap aku. Kalau kau memang membenciku, mengapa pula kau tadi menolongku dari ancaman kedua siluman ini? Sungguh kau orang aneh, Indrayana!"
Mengapa tidak kuteruskan? Kaukira aku takut kepadamu? "
Jawab Indrayana dengan keris menggigil di tangannya.
"
Menolongmu tidak ada hubungannya dengan pertempuran kita. Sudah menjadi watak seorang ksatria untuk menolong siapa saja yang terancam bahaya karena kecurangan orang jahat."
Sang Prabu Pikatan tersenyum menyindir."Pandai kau berbicara, Indrayana. Apakah kau sendiri juga tidak berlaku curang? Ketika kau membawa suratku dan menjadi utusanku, kau masih menjadi seorang kawula yang bertugas. Akan tetapi kau telah berlaku curang dan khianat. Kau telah melarikan Candra Dewi yang kupinang. Dan sekarang kau hendak menghalangi aku memboyong Pramodawardani? Apakah semua puteri hendak kauborong? Apakah kau tega untuk menyakiti hati Candra Dewi yang telah menjadi isterimu?"
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo