Ceritasilat Novel Online

Kemelut Blambangan 10


Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Hemm, benarkah itu, Paman?"

   "Ya, kami mendengar bahwa daerah yang pertama kali diancam Blambangan adalah Kadipaten Pasuruan yang merupakan benteng pertama dan terdepan dari Kerajaan Mataram. Ah, kalau terjadi perang, yang menderita paling hebat adalah rakyat jelata. Perhubungan dan perdagangan terhenti, sandang pangan menjadi mahal dan terutama sekali, dalam keadaan keruh dan kacau itu orang-orang jahat bermunculan."

   "Harap Paman tenangkan hati. Seperti telah berulang kali aku menekankan bahwa untuk menjaga keamanan di dusun ini, harus digalang persatuan di antara seluruh penduduk. Bukan saja bergotong royong untuk mensejahterakan penduduk akan tetapi juga bergotong royong menanggulangi semua kesulitan. Kalau seluruh penduduk bersatu, kukira orang-orang jahat pun akan gentar mengganggu dusun ini. Kalau kalian semua sudah berikhtiar sekuat tenaga dan kemampuan, maka akhirnya kalian hanya tinggal berserah diri kepada Gusti Allah karena hanya Dia saja yang berkuasa melindungi siapa saja yang sejalan dngan kehendakNya."

   "Ah, terima kasih, Ni Dewi. Kami akan menaati semua pesan Ni Dewi."

   "Sekali lagi sebelum aku pergi ingin kuingatkan Paman agar Paman selalu mendahulukan kepentingan penduduk dusun Sampangan. Masihkah Paman ingat mengapa Paman harus selalu mendahulukan kepentingan dan kesejahteraan penduduk dusun ini?"

   "Saya tidak pernah melupakan semua nasihat Andika selama Andika tinggal di gua. Saya harus mendahulukan kepentingan penduduk karena saya menyadari bahwa tanpa penduduk, saya ini bukan apa-apa. penduduk yang memilih saya dan mereka memilih saya tentu dengan harapan agar saya menjadi pemimpin yang baik dan dapat menjadi pelayan yang baik, pengatur yang jujur dan tidak bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan sebagai lurah."

   "Bagus sekali, Paman. Dan ingatkah Paman mengapa sebagai orang nomor satu di dusun ini, Paman harus jujur dan bersih?"

   "Saya mash ingat, Ni Dewi. Seorang pemimpin merupakan panutan bagi penduduknya. Kalau saya sebagai orang nomor satu di dusun ini bertangan bersih, maka semua pembantu saya, para pamong dusun, juga akan meniru dan tidak berani melakukan kecurangan demi keuntungan diri pribadi. Kalau ada yang bertangan kotor, saya akan tegur dan pecat atau hukum dia! Sebaliknya kalau tangan saya sebagai pemimpin kotor, maka para pembantu saya tidak akan berani menegurnya karena tangan saya sendiri juga kotor. Dan kalau semua pamong desa bertangan bersih, kekayaan dusun tidak akan bocor diselewengkan tangan-tangan kotor para pamong, sehingga kekayaan itu dapat mensejahterakan semua penduduk."

   "Baik sekali Paman. Dan kalau semua pamong bersih sehingga kehidupan penduduk makmur, dengan sendirinya penduduk akan mentaati semua perintah pamong karena menyadari bahwa semua peraturan itu demi kebaikan dan kesejahteraan penduduk."

   "Saya mengerti sepenuhnya, Ni Dewi. Semoga saja Gusti Allah akan selalu memberi kekuatan kepada kami para pamong dusun ini agar kami dapat melawan semua godaan syaitan."

   "Bagus, Paman. memang, melawan godaan syaitan yang selalu mempergunakan segala yang serba enak dan menyenangkan sebagai umpan untuk menyeret kita ke dalam perbuatan dosa, bukanlah pekerjaan yang mudah. Hanya kepada Gusti Allah yang dapat memberi kekuatan kepada kita untuk bertahan terhadap godaan syaitan. Mengandalkan hati akal pikiran saja sukar untuk dapat bertahan karena syaitan selalu menyelinap dan ingin menguasai hati akal pikiran kita sehingga semua pandangan membela dan membenarkan perbuatan sesat kita. Gusti Allah mengasihi manusia yang berserah diri kepadaNya dengan sabar, ikhlas, dan tawakal."

   "Aduh, Ni Dewi. berkat bimbingan Andika maka kami dapat sadar dan dapat memiliki iman yang kuat. Andika sunguh bagaikan seorang dewi yang suci dan...."

   "Cukup, Paman, janagn memuji aku. Aku juga hanya seorang manusia yang bergelimang dosa, yang selalu mohon pengampunan dari Gusti Allah, yang berusaha untuk bertaubat."

   Kini banyak penduduk yang berdatangan. Agaknya berita bahwa Ni Dewi yang mereka hormati dan cintai itu hendak pergi meninggalkan mereka, tersiar dengan luas dan berbondong-bondong mereka datang ke kelurahan sehingga pekarangan itu penuh dengan manusia.

   "Lihat, Ni Dewi. Semua orang memuja dan berterima kasih kepada Andika!"

   Kata lurah Ganjar.

   Mendengar ini, Maya Dewi lalu bangkit dari kursinya dan diikuti Lurah Ganjar ia keluar dan berdiri di tepi pendopo yang lebih tinggi dari pekarangan di mana semua penduduk dusun Sampangan berkumpul. Kini semua keluarga Lurah Ganjar juga sudah keluar dari dalam rumah dan berkumpul di pendopo.

   Keharuan menyelinap dalam hati Maya Dewi. Tiba-tiba seperti kilat menyambar, terbayang olehnya pengalamannya dahulu ketika ia masih dijuluki Iblis Betina. Sekarang kalau mengingat semua itu, ia merasa heran bagaimana mungkin ia dahulu dapat bertindak demikian kejam terhadap orang lain! Padahal, orang-orang itu demikian baik terhadap dirinya seperti yang diperlihatkan penduduk Sampangan ini. Teringat ia akan kata-kata Bagus Sajiwo yang sekarang tampak betul kebenarannya.

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Kemelut Blambangan (Seri ke 05 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   Sikap baik orang lain terhadap kita hanya merupakan pantulan cermin sikap kita terhadap orang itu.

   Demikian sebaliknya. Kalau kita membenci seseorang, pasti orang itu pun akan membenci kita. Kalau kita baik, dalam arti kata yang sebenarnya, kepada seseorang, pasti orang itu pun akan baik kepada kita. Bagus Sajiwo pernah berkata kepadanya bahwa kalau kita melakukan sesuatu berarti menanam pohon yang kelak buahnya kita makan sendiri, maka harus memilih bibit pohon yang baik. Sebaliknya kalau kita mengalami sesuatu, baik maupun buruk, itu adalah buah daripada pohon yang kita tanam sendiri.

   "Para Bibi, Paman, dan saudara sekalian! Jangan memuja dan berterima kasih kepada aku, melainkan selalu pujalah dan berterima kasihlah kepada Gusti Allah. Aku mohon pamit akan meninggalkan dusun ini melanjutkan perjalanan hidupku. Selamat tinggal!"

   Setelah berkata demikian Maya Dewi berjalan keluar dari pendopo, diikuti oleh Lurah Ganjar bersama semua keluarganya.

   Setelah tiba di luar pekarangan dan hendak meninggalkan dusun Sampangan, semua penduduk mengantar Maya Dewi dan banyak di antara para wanita dusun itu menangis! Anak-anak kecil pun mengikuti sehingga peristiwa ini amat mengharukan hati Maya Dewi, memperkuat keyakinannya bahwa hanya kalau dalam hidup ini dipenuhi kasih sayang yang melahirkan tindakan baik terhadap orang lain, maka hidup terasa berbahagia sekali.

   Setelah tiba di luar gapura dusun dan melihat para penduduk masih juga mengikutinya walaupun ia sudah minta agar mereka mengantar sampai disitu saja, Maya Dewi berkata lantang.

   "Selamat tinggal!"

   Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ. Ketika semua orang mencari-cari, mereka melihat bayangan Maya Dewi sudah jauh sekali dan sebentar kemudian lenyap di sebuah tikungan. Dipimpin Lurah Ganjar, penduduk kembali ke dusun mereka dan merasa kehilangan.

   Setelah berlari cepat sampai jauh meninggalkan Dusun Sampangan Maya Dewi kini berjalan santai. Tentu saja ia tidak mau terlihat orang selagi ia berlari cepat, karena hal itu akan menarik perhatian orang. Ia melangkah dalam perjalanannya menuju ke timur karena ia mengambil keputusan untuk pergi ke Pasuruan. Ia tertarik mendengar bahwa Kadipaten Blambangan hendak menyerbu Pasuruan dari Lurah Ganjar tadi. Ia akan mengikuti jejak Bagus Sajiwo, yaitu membela Kerajaan Mataram di mana ia sudah melakukan banyak kejahatan yang merugikan Mataram. Ia hendak menebus semua kejahatannya itu dengan membela Mataram apalagi mendengar bahwa mungkin sekali Blambangan dibantu oleh Kumpeni Belanda. Kini ia mempunyai perasaan tidak suka kepada Belanda dan ia mengerti bahwa Belanda sedang berusaha untuk memperluas kekuasaannya di Nusa Jawa. Hal ini harus ditentang dan mengingat bahwa yang gigih menentang Belanda hanya Mataram, maka ia akan mendukung Mataram.

   Ketika datang perasaan kesepian mengganggunya, ia merasa lemas. Semenjak berpisah dari Bagus Sajiwo, ia merasa seolah kehilangan segala-galanya, ia merasa kesepian, tidak mempunyai siapa-siapa lagi, hidupnya kosong tanpa arti. Ingin Maya Dewi menangis kalau ia teringat akan Bagus Sajiwo dan membayangkan pemuda itu mengeluarkan kata-kata yang lembut dengan sikap yang amat ramah dan akrab kepadanya. Akan tetapi ketika ia mengingat kembali banyak ucapan pemuda itu yang berkesan dalam hatinya, ia teringat ucapan Bagus Sajiwo tentang kemilikan dan kemelekatan.

   Kita manusia ini sesungguhnya tidak memiliki apa-apa, demikian antara lain Bagus Sajiwo berkata. Segala sesuatu di alam mayapada ini adalah milik penciptanya, yaitu Gusti Allah, Sang Maha Pencipta. Keluarga kita, harta benda kita, apa saja yang ada pada kita, adalah milik Gusti Allah. Bahkan badan kita sendiri bukanlah milik kita! Bagaimana dapat dikatakan milik kita kalau sehelai rambut pun kita tidak dapat menguasainya, tidak dapat mengatur pertumbuhannya? Semua milik Gusti Allah, milik Yang Menciptakan sehingga setiap saat kalau Dia menghendaki, dapat Dia ambil, berpisah dari kita.

   Siapa yang mampu mencegah datangnya kematian, kalau Dia Yang Maha Memiliki berkenan mengambil milikNya? Kita tidak memiliki apa-apa. Kita hanya mempunyai. Punya yang sifatnya seperti pinjam. Kita hanya meminjam semua yang ada pada kita ini, termasuk badan kita. Sekali waktu yang kita pinjam itu pasti akan diambil kembali oleh Si Pemilik. Kalau kita merasa memiliki, perasaan yang palsu dan keliru, maka akan tumbuh kemelekatan. melekat pada benda, pada manusia lain, kepada apa saja yang kita anggap milik kita. Dan muncullah duka kalau kita dipisahkan dari sesuatu yang kita anggap milik kita itu.

   Demikian ucapan Bagus Sajiwo yang masih terngiang dalam sanubarinya. Ucapan-ucapan pemuda itulah yang membuat ia kuat menahan segala kedukaan.

   "Duh Gusti Allah, terjadilah segala kehendakMu seperti yang Engkau rencanakan."

   Maya Dewi berbisik kepada dirinya sendiri dan kini wajahnya cerah berseri mengembangkan senyum ketika ia melihat keindahan alam yang terbentang luas di sana, tampak dari atas bukit yang dilaluinya itu. Seluruhnya itu, termasuk dirinya, adalah milik Gusti Allah. Ia tiada berdaya, hanya dapat berserah diri sebagai landasan semua usahanya untuk hidup selaras dengan kehendakNya. Berserah diri berarti taat akan segala perintahNya. Karena semua yang dipunyainya itu hanya benda pinjaman, terutama badan ini, jiwa raga ini, maka sudah semestinya kalau ia menjaga baik-baik agar badan dan batin tetap terpelihara dengan baik, tetap dalam keadaan baik dan bersih.

   Rumah mungil itu berada di sudut kota Pasuruan. Tidak sangat besar, namun mungil dan terpelihara baik sehingga dinding, pintu dan jendelanya tampak bersih. Juga halamannya ditanami pohon-pohon buah, terutama sawo sehingga tampak teduh dan sejuk. Di samping kiri rumah itu terdapat sebuah taman kecil namun penuh tanaman bunga. Di belakang terdapat kebun yang ditanami jagung dan beberapa macam sayuran. Kebun itu cukup luas.

   Pada pagi hari itu, sepasang suami isteri pemilik rumah itu duduk di serambi depan. Sang suami berusia sekitar tiga puluh tujuh tahun, bertubuh sedang namun tegap. Wajahnya cukup tampan, dengan sepasang mata yang sinarnya lembut, hidungnya mancung dan wajah itu cerah, selalu mengembangkan senyum. Pakaiannya sederhana saja, namun bersih dan rapi. Dia duduk di atas sebuah kursi, memandang ke arah halaman dan menerawang seperti melamun.

   Sang isteri yang duduk di kursi lain berhadapan dengan meja, adalah seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Wajahnya bulat dan cantik, mulutnya menggairahkan. Biarpun usianya sudah sekitar tiga puluh lima tahun, namun tubuhnya masih ramping padat. Suami isteri itu adalah sepasang pendekar yang sakti mandraguna, terutama sang suami. Dia bernama Parmadi dan isterinya bernama Muryani.

   Suami isteri ini, seperti para satria dan pendekar yang lain, adalah orang-orang yang setia kepada Mataram dan berjasa ketika terjadi perang antara pasukan Mataram melawan pasukan Kumpeni Belanda. Juga mereka selalu menentang pengacauan yang dilakukan para telik sandi (mata-mata) Kumpeni Belanda.

   Karena jasa-jasa mereka, Sultan Agung, raja Mataram berkenan memberi hadiah kepada suami isteri ini. Karena seperti kebanyakan para satria, mereka tidak ingin terikat dengan kedudukan, maka sebagai penggantinya, Sultan Agung menghadiahkan sebidang tanah dan rumah mungil itu di Pasuruan. Suami isteri ini hidup dengan tenang dan tenteram di Pasuruan. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang berusia enam tahun. Setelah menikah selama kurang lebih tujuh tahun, barulah mereka dikaruniai anak. Anak tunggal yang mereka beri nama Joko Galing.

   Pada hari itu Parmadi dan Muryani duduk di serambi rumah mereka, makan jagung rebus yang muda dan manis sambil bercakap-cakap. Biasanya, setelah sarapan mereka lalu bekerja di ladang sayuran membantu dua orang pembantu mereka. Mereka mempunyai dua orang pembantu pria yang merawat taman dan kebun, dan seorang pembantu wanita setengah tua yang membantu Muryani melakukan pekerjaan rumah. Akan tetapi pagi ini mereka tampak santai, namun bercakap-cakap dengan serius. mereka telah mendengar berita malam tadi akan persiapan Kadipaten Blambangan untuk menyerbu Mataram dan banyak kemungkinan pasukan Blambangan akan menyerbu Pasuruan sebagai benteng pertama Kerajaan Mataram.

   "Kakangmas Parmadi, agaknya perang akan berkobar lagi, sekarang Mataram akan diserbu Blambangan. Kehidupan yang aman tenteram ini akan terguncang kekacauan perang."

   Kata Muryani.

   "Benar, Diajeng. Akan tetapi selama enam tujuh tahun ini, setelah perang melawan Belanda usai kita hidup tenteram di sini, kita tidak pernah lengah dan berhenti latihan. Kalau memang Mataram akan diserang Blambangan kita akan membela Mataram seperti dulu. Apalagi aku menduga bahwa kalau Blambangan berani menyerang Mataram, tentu kadipaten itu mengandalkan bantuan yang kuat. Mungkin Belanda berada di belakangnya. kita tidak perlu khawatir."

   "Aku tidak takut, Kakangmas, akan tetapi memang agak khawatir. Keadaan kita tidak seperti dulu lagi, sekarang kita harus menjaga keselamatan anak kita."

   "Tentu saja, akan tetapi kita tidak perlu khawatir. bukankah kita dapat mengerahkan segala kemampuan kita untuk membela Mataram? Ini berarti kita juga menjaga keselamatan anak kita. Pula, kepercayaan kita dan penyerahan diri kita kepada Gusti Allah mendasari ikhtiar kita untuk melindungi diri kita dan anak kita, Dalam penyerahan diri itu kita harus membebaskan semua pengaruh kehendak akal pikiran kita sendiri."

   "Aku mengerti, Kakangmas. Akan tetapi, bagaimana juga, hati seorang ibu pasti tidak terlepas dari kekhawatiran akan keselamatan anaknya. Karena itu, Kakangmas, menghadapi ancaman perang ni, aku mempunyai gagasan yang baik."

   "Hemm, gagasan apakah itu, Diajeng?"

   "Begini, Kakangmas. Sebelum pasukan Blambangan menyerbu Pasuruan, lebih baik kita antarkan anak kita ke perguruan Bromo Dadali di Gunung Muria. Biarpun sekarang Bapa Guru Ki Ageng Branjang sudah tua, namun kalau Joko Galing berada di sana, dia akan terlindung. Dengan adanya anak kita berlindung di sana, tentu hati kita akan menjadi lebih tenang dan tenteram sehingga kita dapat memusatkan perhatian kita untuk membela Mataram. Bagaimana pendapatmu, Kakangmas?"

   Parmadi mengangguk-angguk.

   "Ah, gagasanmu itu baik sekali, Diajeng! memang itulah agaknya jalan terbaik mengatasi persoalan ini. di sana, dibawah bimbingan Ki Ageng Branjang, Joko Galing dapat memperdalam dasar-dasar ilmu silat. Apalagi di sana terdapat banyak murid Bromo Dadali sehingga dia mendapat kesempatan bergaul. Nah, kapan kita berangkat ke sana?"

   "Secepatnya, Kakangmas."

   Pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan seekor kuda besar dengan seorang anak laki-laki di punggungnya, berjalan congklang memasuki pekarangan rumah itu. Anak laki-laki itu berusia enam tahun, akan tetapi tubuhnya tegap dan tampak kuat dan trengginas ketika dia melompat turun dari atas punggung kudanya setelah kuda itu tiba di depan serambi rumah di mana ayah ibu anak itu sudah berdiri dan tersenyum memandangnya.

   Joko Galing, anak itu, berkulit coklat bersih. Wajahnya bulat dan bentuk mulutnya manis seperti wajah dan mulut Muryani, sedangkan mata dan hidungnya mirip mata dan hidung Parmadi. Seorang anak laki-laki yang tampan dengan rambut hitam agak berombak.

   "Ayah! Ibu! aku melihat pasukan berbaris dan latihan perang-perangan di alun-alun!"

   Joko Galing berseru girang sambil menambatkan kudanya pada batang pohon sawo terdekat. Parmadi dan Muryani saling pandang dan Muryani berkata.

   "Kalau begitu kita harus cepat berangkat!"

   "Berangkat ke mana, Ibu?"

   Muryani merangkul puteranya.

   "Joko, kita akan pergi mengunjungi Eyang Gurumu."

   "Eyang Guru Resi Tejo Wening, Ibu? Apakah Ayah sudah menemukan di mana Eyang guru itu berada?"

   Tanya Joko Galing. Bocah ini sudah mengetahui bahwa guru ayahnya adalah Resi Tejo Wening yang menurut ayahnya tidak pernah muncul di dunia ramai dan ayahnya sendiri tidak tahu di mana kakek itu berada. Ada pun guru ibunya adalah Ki Ageng Branjang, ketua perguruan Bromo Dadali di gunung Muria.

   "Bukan, Joko. Kita akan mengunjungi Eyang Guru Ki Ageng Branjang."

   "Wah, ke Perguruan Bromo Dadali di gunung Muria, Ibu? Aku senang sekali, akan dapat bertemu dengan Eyang Guru Ki Ageng Branjang! Sayang sekali aku tidak dapat bertemu dengan guru Ayah, Eyang Resi Tejo Wening. Kata Ayah, beliau sudah tua sekali. Ayah, kalau Ayah tidak tahu di mana Eyang Resi itu berada, lalu bagaimana Ayah dapat menghubunginya?"

   "Eyang gurumu itu sudah tua sekali. Ketika terakhir kali aku bertemu dengan beliau, usianya sudah tujuh puluh lima tahun. Sejak itu, hampir lima belas tahun aku tidak mendengar beritanya. Kini usianya tentu sudah sembilan puluh tahun!"

   "Wah, sudah tua sekali, Ayah!"

   "Ya, kelak kalau ada waktu dan kesempatan, engkau akan kuajak mecari beliau di gunung Lawu."

   Joko Galing merasa girang sekali.

   Mereka bertiga lalu berkemas dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berangkat meninggalkan Pasuruan. Perjalanan dari pasuruan ke Gunung Muria cukup jauh, maka mereka bertiga menunggang kuda dan membawa bekal pakaian dalam buntalan yang ditaruh di atas punggung kuda masing-masing.

   Beberapa hari kemudian mereka memasuki Kadipaten Surabaya. Parmadi mengajak isteri dan anaknya untuk singgah di Kadipaten Surabaya, menhadap Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Dahulu, pangeran pekik pernah bermusuhan dengan Mataram. Akan tetapi ketika Mataram menyerbu Surabaya, setelah melalui pertempuran-pertempuran dahsyat, Surabaya dapat dikalahkan.

   Sultan Agung yang ingin mempersatukan seluruh Nusa Jawa untuk menjadi kuat menghadapi Kumpeni Belanda, tidak menghukum Pangeran Pekik, bahkan mengangkatnya menjadi Adipati Surabaya dan menikahkan Pangeran Pekik dengan Ratu Wandansari, Puteri Mataram sehingga kalau tadinya mejadi musuh, kini Pangeran Pekik menjadi keluarga Sultan Agung. Parmadi sudah mengenalnya, maka kunjungan Parmadi dan Muryani yang membawa puteranya itu diterima dengan gembira. Setelah tinggal di Kadipaten Surabaya selama dua hari dan mempergunakan kesempatan itu untuk membicarakan masalah Blambangan yang dikabarkan hendak menyerbu Mataram. Pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali, Parmadi dan anak isterinya melanjutkan perjalanan menuju Gunung Muria.

   Pada siang harinya, mereka sudah jauh meninggalkan Surabaya dan tiba di jalan yang melalui hutan lebat. setelah tiba di jalan simpang tiga, mereka membelok ke kanan, ke arah utara. Matahari telah berada di atas kepala, panasnya bukan main.

   "Kita berhenti mengaso di bawah pohon itu sebentar dan kita makan bekal makanan yang kita bawa dari Surabaya."

   Kata Muryani yang melihat betapa Joko Galing tampak kelelahan. Juga kuda mereka sudah tampak lelah.

   Mereka segera membuka bekal makanan dan makan di bawah pohon yang sejuk itu. Melihat Joko Galing makan dengan lahapnya, Muryani tertawa.

   "Nah, seharusnya begini kalau engkau makan, Joko! Makan banyak agar tubuhmu kuat dan dapat menolak datangnya penyakit. Engkau biasanya kalau makan di rumah hanya sedikit."

   Joko Galing tersenyum memandang kepada ibunya.

   "Ibu, mengapa makan di sini rasanya enak sekali? Rasanya jauh lebih enak daripada kalau makan di rumah. Padahal, makanan ini kan biasa saja, kalau makan di rumah Ibu membuat lebih banyak masakan dan disini kita makan di tempat terbuka, di bawah pohon dan hanya duduk di atas tanah bertikar rumput!"

   Biar Ayahmu yang memberi penjelasan untuk menjawab pertanyaanmu itu, Joko! "

   Kata Muryani sambil tersenyum memandang kepada suaminya.

   "Kita selesaikan dulu makan kita, nanti kuberi penjelasan."

   Kata Parmadi. Mereka melanjutkan makan dan setelah selesai, Muryani membereskan sisa bekal makanan dan membungkusnya lagi. Parmadi lalu memandang puteranya yang duduk di depannya.

   "Pengalaman merupakan pelajaran yang paling baik, Joko, karena merupakan kenyataan yang dialaminya sendiri, bukan hanya mendengarkan keteranan orang lain. Engkau tadi merasakan sendiri betapa nikmatnya makan seperti ini. Pengalaman tadi mengajarkan kenyataan kepadamu bahwa kelezatan makan hanya memegang peran kecil saja untuk membuat orang dapat menikmati makanan. Yang membuat orang dapat menikmati makanan adalah badan sehat, hati bahagia, pikiran tenteram, dan dapat menerima apa yang ada sebagai karunia Gusti Allah."

   "Masih ada lagi, Ayah." "Apa itu?"

   "Perut lapar!"

   "Ha-ha-ha, tentu saja! Keadaan di tempat terbuka, di alam bebas seperti ini membuat kita merasa bersatu dengan alam, merasa bebas dari semua ikatan dan urusan dunia yang ruwet. Hal ini menimbulkan perasaan bersyukur kepada berkat Gusti Allah yang berlimpah-limpah. Menerima segala macam keadaan apa adanya tanpa menilainya sebagai baik atau buruk, mendatangkan rasa bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah dan inilah yang membuat hati bahagia dan pikiran tenteram itu sehingga kita dapat menikmati hidup ini."

   "Wah, Kakangmas, jangan terlalu tinggi, nanti Joko malah menjadi pusung dan tidak mengerti."

   Muryani mengingatkan.

   "Bagaimana, Joko, apakah engkau mengerti?"

   Tanya Parmadi.

   Joko Galing mengangguk.

   "Menurut pengertianku, pendeknya aku tidak boleh mengeluh dan menerima apa adanya dengan bersyukur dan berterima kasih, benarkah ini, Ayah?"

   "Benar, hanya perlu ditambah sedikit, yaitu bersukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah."

   "Nah, ini yang ingin kuketahui dengan jelas, Ayah. Aku sering mendengar dari Ayah dan Ibu yang menyebut-nyebut Gusti Allah. Sesungguhnya, siapakah Gusti Allah itu, Ayah?"

   Parmadi saling pandang dengan Muryani. Karena pertanyaan ini diajukan oleh anak berusia enam tahun, walaupun mereka tahu akan kecerdasan Joko Galing, maka jawabannya harus disesuaikan pula dengan alam pikiran dan pengertian seorang anak kecil.

   "Dengar baik-baik, Joko. Yang kita sebut gusti allah itu adalah Sang Maha Pencipta, yang menciptakan dan mengadakan segala sesuatu di permukaan bumi, juga yang berada di dalam bumi dan di awing-awang. Segala tumbuh-tumbuhan, dari lumut sampai pohon beringin, segala hewan, dari semut sampai gajah, semua manusiam apa saja tidak akan ada kalau tidak diadakan oleh Gusti Allah. Juga cacing-cacing di dalam tanah, ikan-ikan dalam airm burung-burung di udara, segala sesuatu tang hidup dan yang mati, adalah ciptaan Gusti Allah, juga awan, hujan, kilat, badan, matahari, bintang, pendeknya apa saja, semua itu ada karena dibikin ada oleh Gusti Allah Yang Maha Kuasa! Sebutir pasir pun tidak akan ada kalau tidak diadakan atas kekuasaan Gusti Allah. Nah, sudah jelas, bukan?"

   Joko Galing bengong mendengar ini. Pikirannya melayang-layang mencoba untuk membayangkan kekuasaan yang demikian hebatnya.

   "Kalau begitu kekuasaan Gusti Sultan Agung juga masih kalah besar, Ayah!"

   Ayah ibunya tertawa dan Muryani merangkulnya.

   "Tentu saja! Biarpun Gusti Sultan Agung itu besar kuasanya, namun itu hanya kekuasaan seorang manusia dan beliau juga merupakan ciptaan Gusti Allah. Kekuasaan Gusti Allah tidak dapat kau bandingkan dengan apa atau siapapun juga. Kekuasaan manusia, betapapun pandai dan saktinya dia, hanya merupakan setetes air dibandingkan kekuasaan Gusti Allah tiada batasnya. Bahkan air samudera itu hanya merupakan sebagian kecil saja dari ciptaan Gusti Allah."

   Joko Galing semakin bengong, terheran-heran karena baru sekarang dia mendengar tentang kekuasaan Gusti Allah yang demikian besar, tak terbayangkan oleh akal pikirannya.

   "Hayo kita lanjutkan perjalanan kita. Joko, tidak perlu engkau pusing memikirkan semua yang telah kau dengar tadi. Kelak engkau akan mengerti sendiri."

   "Baik, Ayah."

   Mereka menunggang kuda mereka yang sudah mengaso dan makan rumput sejak tadi, lalu melanjutkan perjalanan mereka. Setelah matahari mulai condong ke barat, jalan umum yang sepi itu membawa mereka keluar dari hutan. Tiba-tiba terdengar derap kaki banyak kuda dari arah belakang. Mereka berhenti dan menengok ke belakang. Debu mengebul tinggi dan Parmadi dapat menduga bahwa yang datang itu adalah rombongan yang terdiri dari sedikitnya sepuluh orang, melihat tebalnya debu mengebul dan suara derap kaki kuda.

   "Minggir, Diajeng, Joko, ambil tempat di belakangku!"

   Kata Parmadi untuk menjaga segala kemungkinan.

   Setelah rombongan itu tiba dekat, Parmadi mendapat kenyataan bahwa mereka terdiri dari tiga belas orang. Tiga orang yang berada terdepan agaknya yang memimpin rombongan itu karena pakaian mereka berbeda dari sepuluh orang yang lain. Terutama pemuda tampan yang berada paling depan. Pemuda ini berusia sekitar dua puluh lima tahun, pakaiannya mewah dan dari pakaian dan kain kepalanya, dapat diduga bahwa dia berasal dari Nusa Bali. Ada pun yang dua orang lagi, menunggang kuda dan kini mengapit pemuda itu, berpakaian seperti bangsawan Bali pula. Yang pertama berusia sekitar empat puluh satu tahun, bertubuh tinggi kurus, bermata sipit hidungnya pesek dan mulutnya cemberut terus. Ada pun orang kedua berusia sekitar tiga puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya bopeng (bekas cacar), matanya lebar hidungnya besar dan mulutnya menyeringai terus.

   Parmadi, Muryani, dan Joko Galing berada di atas kuda mereka, bersikap tenang berhadapan dengan rombongan itu.

   "Kisanak, engkau tentu yang bernama Parmadi dari Pasuruan yang berjuluk Si seruling Gading itu, bukan?"

   Tanya pemuda tampan berpakaian bangsawan Bali itu. Dari logat bicaranya pun dapat diketahui bahwa dia adalah seorang dari Bali.

   Parmadi tidak mengenal tiga orang yang memimpin rombongan berkuda itu. Kalau rombongan ini dapat mengejar dan menusulnya, berarti mereka tahu ke arah mana dia dan anak isterinya pergi dan hal ini berarti mereka telah mencari keterangan di Pasuruan, mungkin mendapatkan keterangan dari para pelayan di rumahnya yang mengetahui bahwa dia sedang melakukan perjalanan menuju ke Gunung Muria.

   "Benar, sekali, Kisanak. Aku adalah Parmadi. Siapakah Andika dan ada keperluan apakah Andika mengejar kami?"

   "Aku bernama Tejakasmala, utusan Sang Adipati Blambangan."

   Kata pemuda itu engan nada suara yang membayangkan kebanggan terhadap dirinya sendiri sehingga terdengar congkak sekali.

   "Dan aku pembantunya, Cakrasakti senopati terkenal dari Klungkung."

   Kata orang yang tinggi kurus.

   "Aku Cakrabaya, juga senopati dari Bali."

   Kata orang yang tinggi besar bermuka bopeng.

   Parmadi merasa heran.

   "Kalian bertiga ini adalah orang-orang Bali, bagaimana dapat menjadi utusan Adipati Blambangan? Dan mengapa mengejar kami yang tidak mempunyai urusan apapun dengan Bali dan Blambangan?"

   Hemm, Parmadi. Apakah Andika tidak tahu bahwa Blambangan dan Bali tidak dapat dipisahkan? Kami adalah utusan dari Kerajaan Klungkung di Bali yang diperbantukan kepada Adipati Blambangan. Sekarang kami menjadi utusan yang berkuasa penuh dari Adipati Blambangan. Beberapa bulan yang lalu kami mencari Andika di Pasuruan, akan tetapi Andika tidak berada di rumah. Sekarang kami datang lagi di Pasuruan, akan tetapi mendapat keterangan bahwa Andika pergi menuju Gunung Muria. Karena itu kami segera mengejar dan dapat menyusul Andika di tempat ini."

   Parmadi mengangguk-angguk. Dia memang mendengar dari para pelayannya bahwa ketika dia dan anak isterinya pergi membawa Joko Galing melihat lautan, ada tiga orang berpakaian Bali datang mencarinya. Kiranya tiga orang ini, dan kini mereka membawa sepuluh orang anak buah!

   "Lalu apa keperluannya Andika bertiga diutus Adipati Blambangan untuk mencariku?"

   "Parmadi, kami diutus Sang Adipati Blambangan untuk mengundang Andika menghadap beliau di Blambangan, sekarang juga."

   
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Tejakasmala dengan suara membujuk. Melihat keadaan suami isteri yang elok dan agah ini, dalam hatinya Tejakasmala merasa kagum. Suami isteri yang tenang dan tampak berwibawa ini lebih menguntungkan dijadikan kawan daripada lawan. Pandangan Tejakasmala yang tajam dapat menegenal orang sakti mandraguna dari sikapnya.

   "Maafkan kami, Tejakasmala, kalau kami terpaksa tidak dapat memenuhi undangan itu. Selain kami tidak mempunyai persoalan dengan Kadipaten Blambangan, juga kami hendak pergi ke Muria dan tidak ada waktu luang.

   Tejakasmala mulai mengerutkan alisnya, mulai berkurang kesabarannya. Pemuda ini bukan orang jahat walaupun dia memang berwatak sombong dan suka mengagulkan diri sendiri. Dia setia kepada Bali dan menganggap diri sendiri seorang pahlawan. Akan tetapi, belum pernah dia melakukan kejahatan.

   "Parmadi, kami adalah utusan Adipati Blambangan yangtelah diberi hak dan kekuasaan untuk bertindak. Maka, sekali lagi kutegaskan bahwa Sang Adipati Blambangan memerintahkan agar Andika sekarang juga ikut bersama kami menghadap beliau di Blambangan!"

   Parmadi mengerutkan alisnya.

   "Tejakasmala, aku bukan kawula Blambangan. Adipati Blambangan tidak berhak memerintahkan aku menghadapnya di Blambangan dan aku pun tidak merasa berkewajiban untuk mentaati perintahnya."

   "Babo-babo, Parmadi! Andika menantang? Ingat, kami telah diberi kekuasaan untuk memaksamu pergi menghadap ke Blambangan!"

   "Hei, bocah lancing keparat Tejakasmala! Siapakah engkau ini, berani memaksa orang untuk mentaati kehendakmu? Kalau suamiku tidak mau, kalian mau apa?"

   Muryani dengan marah meloncat turun dari punggung kudanya.

   Tejakasmala tersenyum. Biarpun usia Muryani sudah tiga puluh lima tahun, namun masih tampak cantik dan luwes. Dia menjawab sambil tersenyum,

   "Maaf, kalau tidak mau, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan karena perintahnya, Parmadi harus dibawa menghadap, hidup atau mati."

   "Hidup atau mati? Jahanam busuk, engkaulah yang akan mati lebih dulu!"

   Wanita itu dengan gerakan cepat sejaki tekah menerjang ke depan dan kedua tangannya memukul. Hawa panas sekali menyambar ke arah Tejakasmala.

   "Hyaaaatttt!"

   Itulah Aji pukulan Bromo Latu yang mengandung tenaga sakti yang amat panas. Tejakasmala terkejut juga menghadapi serangan yang dahsyat itu. Tubuhnya mencelat ke atas untuk menghindar dari hawa pukulan yang menyambar itu.

   Terdengar kuda yang ditunggangi Tejakasmala meringkik keras yang roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika!

   "Diajeng....!"

   Parmadi hendak mencegah namun sudah tidak keburu. Dia pun segera melompat turun dan berkata kepada Joko Galing.

   "Engkau tunggu dibawah pohon sana."

   Joko Galing tidak takut melihat betapa ayah ibunya dihadapi tiga belas orang itu. Dia yakin akan

   

   kesaktian ayah ibunya maka ketika ayahnya berkata semikian, dia lalu menjalankan kudanya ke bawah pohon besar tak jauh dari situ. Dia turun, menambatkan kudanya pada batang pohon dan berdiri menonton. Dia menahan diri untuk tidak bertepuk tangan melihat betapa pukulan ibunya tadi merobohkan dan menewaskan kuda besar yang tadi ditunggangi laki-laki sombong yang mengaku bernama Tejakasmala itu.

   Tejakasmala marah bukan main, akan tetapi dia pun terkejut. Dia memang sudah mendengar keterangan dari Blambangan bahwa selain Parmadi itu sakti mandraguna, juga isterinya memiliki kesaktian. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa isteri Parmadi sedahsyat itu pukulannya!

   Karena kudanya dipukul mati, Tejakasmala marah dan dia segera menerjang ke arah Muryani dengan Aji Condromowo yang amat ganas dan dahsyat. Kedua telapak tangan pemuda itu menjadi merah membara dan hawa panas terasa sampai jauh.

   "Haiiittt....!"

   Dia menerjang sambil menghantamkan tangan yang dipenuhi Aji Condromowo itu.

   "Biar aku menyambutnya!"

   Kata Parmadi dan tubuhnya sudah berkelebat kedepan isterinya, lalu dia menggerakkan tangan menyambut pukulan tangan membara itu dengan Aji Surya Hasta.

   "Wuuutttt.... wessss....!!"

   Pukulan panas tangan Tejokasmala itu seolah bara api bertemu air dingin. Uap dan asap mengepul ketika dua tangan itu bertemu dan kedua orang itu terdorong ke belakang sampai beberapa langkah. Keduanya terkejut akan tetapi Parmadi memandang heran. Pemuda itu ternyata memiliki tenaga yang amat dahsyat sehingga ketika dia menangkis, pertahanannya hampir saja bobol! Dia bersikap hati-hati sekali dan lebih banyak menghindarkan diri mengandalkan keringanan tubuh dan gerakannya yang membuat tubuhnya seperti bayangan yang sukar diserang. Tejakasmala yang merasa penasaran menyerang terus. Dia sudah mengambil keputusan untuk membunuh suami isteri yang amat berbahaya bagi Blambangan itu.

   Juga ini sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh Bhagawan Kalasrenggi atas nama Adipati Santa Guna Alit dan para pimpinan persekutuan yang terdiri dari Blambangan, Klungkung Bali, orang-orang Madura yang memusuhi Mataram di luar tahunya Pangeran Cakraningrat yang oleh Sulan Agung telah diangkat menjadi penguasa di Madura. Selain itu, juga terdapat pula wakil Kumpeni Belanda. Mereka sudah sepakat untuk membunuh Parmadi dan isterinya yang sakti itu. Tugasnya adalah membujuk Parmadi untuk menyerah kepada Blambangan. Kalau suami isteri itu tidak mau menyerah, mereka harus dibunuh karena kelak mereka akan menjadi penghalang besar bagi Blambangan yang ingin menyerbu Pasuruan sebagai langkah pertama untuk menyerang Mataram.

   Terjadilah pertandingan yang amat seru dan menarik antara Parmadi dan Tejakasmala. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki kesaktian yang hebat. Tejakasmala adalah murid terkasih dari Bhagawan Ekabrata, seorang pertapa yang sakti mandraguna di Gunung Agung, Bali. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Parmadi, murid terkasih mendiang Ki Tejo Wening yang juga seorang pertapa yang sakti mandraguna. Gerakan kedua orang yang saling serang ini mendatangkan hawa pukulan yang menyambar-nyambar sehingga mengguncang ranting dan daun-daun pohon, bahkan orang lain dapat merasakan getaran yang melanda tanah di sekitar tempat pertempuran itu!

   Sementara itu, melihat pemimpin mereka sudah saling serang dengan Parmadi, Cakrasakti dan Candrabaya, dua orang senopati Klungkung Bali itu tidak tinggal diam. Mereka berdua lalu mencabut

   

   senjata mereka, yaitu keris yang besar panjang dan mengkilap, kemudian sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau, mereka menyerang Muryani. Wanita cantik gagah ini sama sekali tidak merasa gentar. Ia menggerakkan tangan kanan meraih ke punggungnya dan tampak sinar kilat ketika ia sudah mencabut sebatang pedang tipis yang sinarnya berkilauan ketika tertimpa sinar matahsri.

   Jarang sekali wanita ini mempergunakan senjata. Biasanya, cukup dengan kedua tangannya saja yang terisi berbagai ajian yang amat dahsyat, ia dapat mengalahkan para lawannya. Akan tetapi kini ia tahu bahwa ia menghadapi lawan-lawan tangguh. Buktinya, baru pemuda tampan itu saja sudah dapat menandingi suaminya yang selama ini jarang bertemu tanding yang setimpal. Dua orang senopati dari Bali itu sudah cepat menerjang ke arah Muryani dengan keris mereka. Murani menggerakkan pedangnya.

   "Trang! Cring!"

   Buna api berpijar ketika dua batang keris itu tertangkis pedang dan dua orang itu terkejut bukan main karena dari tangkisan itu, tahulah meeka bahwa wanita cantik ini tidak boleh dipandang rigan. Tangan mereka tergetar ketika keris mereka bertemu pedang Muryani. Karena tidak ingin gagal, Cakrasakti memberi isarat kepeda sepuluh orang anak buahnya dan mereka pun segera bergerak dan menggunakan senjata mereka untuk mengeroyok Muryani! Mereka tidak berani membantu Tejakasmala karena maklum bahwa pemuda ini dapat marah kalau dibantu. Pula, mereka juga jerih terhadap Parmadi yang gerakannya demikian dahsyat.

   Tentu saja Muryani menjadi repot. Menghadapi pengeroyokan Cakrasakti dan Candrabaya saja ia sudah kewalahan. Apalagi kini ditambah sepuluh orang jagoan Bali yang rata-rata memiliki ketangkasan dan cukup tangguh. Ia mulai terdesak dan menhadapi hujan senjata dari dua belas orang yang mengeroyoknya, ia hanya mampu memutar pedang dan menggunakan keringanan dan kecepatan gerak tubuhnya untuk melindungi dirinya agar jangan terkena sambaran senjata yang bertubi-tubi datangnya itu.

   Wanita perkasa yang tidak pernah gentar menghadapi bahaya apapun itu menjadi marah dan mulailah ia menggunakan tangan kirinya untuk menampar pengeroyok terdekat. Tangan kirinya itu tidak kalah dahsyatnya dibandingkan pedang di tangan kanannya karena Muryani menampar dengan pengerahan Aji Gelap Sewu dan tubuhnya bergerak dengan Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya ringan dan gerakannya cepat sekali. Terdengar dua orang pengeroyok menaduh dan mereka roboh terpelanting. Biarpun tangan kiri Muryani tidak menyentuh tubuh mereka, akan tetapi sambaran angin pukulannya cukup kuat untuk membuat dua orang terdekat itu roboh dan menderita luka dalam yang rasanya panas.

   Akan tetapi Muryani semakin terdesak ketika dua orang senopati dari Bali itu memperhebat serangan mereka, dibantu oleh sisa anak buahnya yang masih delapan orang itu. Tiba-tiba ketika ia berada dalam keadaan terdesak, kaki Cakrasakti yang panjang itu mencuat dan mengenai paha kiri Muryani.

   "Bukk....!"

   Tubuh Muryani terdorong dan terhuyung ke belakang. Namun ia masih dapat memutar pedangnya sehingga dapat melindungi dirinya dari kejaran dan serangan para pengeroyoknya.

   Melihat keadaan isterinya, Parmadi terkejut dan cepat dia melompat dan membantu isterinya yang terdesak. Sambaran suling gadingnya membuat empat batang kelewang (golok) para peneroyok terlempar dan orang-orangnya terdorong ke belakang. Akan tetapi Tejakasmala sudah mengejar dan menyerang Parmadi dengan dahsyat sekali sehingga terpaksa Parmadi meninggalkan isterinya untuk menghadapi serbuan Tejakasmala yang amat berbahaya itu. Dua orang ini sudah bertanding lagi dengan seru. Akan tetapi Muryani, walaupun paha kirinya terasa nyeri, kini sudah dapat memperkuat pertahanannya karena empat orang pengeroyok yang senjatanya terlempar tadi kini kebingungan mencari senjata mereka yang terlempar. Bagaimanapun juga, karena paha kiri Muryani sudah terluka dan ia pun sudah merasa lelah, kembali ia terdesak dan hanya mampu melindungi dirinya dengan putaran pedangnya. Sementara itu, Parmadi juga mulai terdesak oleh Tejakasmala karena dia tidak dapat memusatkan perhatiannya yang sebagian tertarik untuk memperhatikan keadaan isterinya.

   "Ayah ....! Ibu....! Tolong....!"

   Parmadi dan Muryani terkejut bukan main mendengar jerit putera mereka itu. Mereka cepat menengok dan melihat betapa Joko Galing ditangkap dan dipondong seorang laki-laki yang melompat ke atas kuda yang tadi ditunggangi Joko Galing, lalu membalapkan kuda melarikan diri membawa anak laki-laki itu.

   "Jahanam, lepaskan Joko!"

   Bentak Parmadi, akan tetapi dia tidak berdaya karena Tejakasmala memperhebat serangannya dan tidak memungkinkan dia melakukan pengejaran terhadap penculik anaknya.

   "Joko....!"

   Muryani juga menjerit, akan tetapi ia pun tidak dapat melepaskan diri dari kepungan para pengeroyoknya.

   Tentu saja suami isteri ini menjadi gelisah sekali memikirkan anak mereka dan hal ini membuat pertahanan mereka juga menjadi lemah. Mereka terdesak semakin hebat dan keadaan mereka menjadi gawat. BahkanMuryani telah tergores golok pada pangkal lengan kirinya, dan Parmadi juga terkena tendangan Tejakasmala. Walaupun tidak parah karena Parmadi melindungi tubuhnya dengan tenaga sakti, namun tendangan yang mengenai pinggangnya itu terasa cukup nyeri dan mengurangi kecepatan gerakannya.

   Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan suami isteri itu, tiba-tiba terdengar derap kaki banyak kuda dan muncul perajurit Pasuruan sebanyak dua losin orang! Mereka adalah pasukan penjaga perbatasan yang mendapat laporan dari seorang yang kebetulan lewat dan menyaksikan perkelahian antara suami isteri pendekar yang dikeroyok banyak orang itu. Parmadi dan Muryani merupakan pasangan yang dihormati dan dikenal baik oleh semua perajurit dan penduduk Pasuruan, maka mendengar laporan itu perwira pasukan jaga lalu membawa dua losin orang perajurit menuju ke tempat itu.

   Akan tetapi sebelum pasukan Pasuruan itu turun tangan membantu Parmadi dan Muryani, tiba- tiba tampak bayangan putih berkelebat dan sinar keemasan yang panjang menyambar ke arah Tejakasmala yang sedang mendesak Parmadi. Tejakasmala terkejut sekali, melompat ke samping untuk menghindar lalu dari samping dia menyerang dengan pukulan Aji Condromowo. Tangannya yang merah membara itu menyambar ke arah penyerangnya, akan tetapi yang diserang dengan tenangnya menyambut dengan dorongan tangan kirinya.

   "Wuuuttt.... darrrr....!"

   Tejakasmala terdorong ke belakang. Dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa orang yang menyerangnya dan yang kuat menahan serangan Aji Condromowo itu adalah seorang wanita cantik yang berpakaian sederhana serba putih! Pada saat itu Parmadi sudah menerjangnya dan merasa bahwa dia tidak akan menang kalau menghadapi Parmadi yang dibantu wanita sakti itu, Tejakasmala segera melompat kebelakang.

   Wanita pakaian putih itu kini menggerakkan tubuh dan tubuhnya seolah melayang ke dekat Muryani. Kembali sinar emas dari sehelai sabuknya berkelebat, Cakrasakti dan Candrabaya cepat menangkis dengan keris mereka.

   "Cring.... tranggg....!!"

   Dua orang senopati itu terkejut dan cepat melompat ke belakang karena keris mereka patah ketika bertemu sabuk cinde keemasan itu!

   Pada saat itu pasukan Pasuruan sudah melompat dari atas kuda dan menyerang orang-orang yang tadinya mengeroyok Muryani. Melihat ini, Tejakasmala dan dua orang pembantunya, Cakrasakti dan Candrabaya, maklum bahwa keadaan mereka kini terancam bahaya, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu melarikan diri, diikuti beberapa orang anak buah yang masih belum terluka dan sempat lari, meninggalkan teman-teman mereka yang tewas atau yang tidak mampu lari karena terluka parah. Pasukan penjaga lalu merawat teman-temanya yang terluka. Permadi dan Muryani juga tidak melakukan pengejaran terhada orang-orang Bali yang menyerang mereka tadi karena kini seluruh perhatian mereka ditujukan kepada anak mereka yang dilarikan orang. Akan tetapi mereka bingung karena tidak tahu ke arah mana anaknya dilarikan orang tadi.

   Parmadi memandang kepada isterinya yang juga tampak termenung.

   "Diajeng, aku merasa seperti mengenal orang yang melarikan Joko tadi...."

   Muryani memandang suaminya dengan alis berkerut dan sinar matanya membayangkan kegelisahan.

   "Benar, Kakangmas. aku pun mengenalnya. Biarpun tampak lebih tua daripada dulu, akan tetapi tidak salah lagi, dia adalah si jahanam Setyabrata! Ah, ke mana dia tadi melarikan anak kita?"

   Suami isteri itu memandang ke sekeliling dan tampak oleh mereka wanita berpakaian putih yang berdiri di belakang mereka, dalam jarak tiga tombak. Suami isteri itu memandang dengan mata terbelalak, lalu hampir berbareng mereka berdua berseru,

   "Maya Dewi....!!"

   Wanita berpakaian serba putih itu memang Maya Dewi. Ia sedang dalam perjalanan menuju ke Pasuruan setelah mendengar dari Lurah Ganjar bahwa mungkin sekali Blambangan akan menyerang Pasuruan yang merupakan benteng pertama kerajaan mataram. Ia akan membela Mataram, membela Pasuruan. Ketika tadi ia tiba di situ, ia melihat Tejakasmala dan kawan-kawannya mendesak Parmadi dan Muryani. Seperti kilat terbayang dalam ingatannya betapa dulu, ia menjadi musuh besar Parmadi dan Muryani. Akan tetapi sekarang ia menyadari sepenuhnya bahwa suami isteri itu adalah orang-orang gagah perkasa dan bijaksana.

   Dan ia sendiri sudah pernah bertemu dan bertanding melawan Tejakasmala yang curang dan jahat. Maka ia segera turun tangan membantu suami isteri itu. Dulu, ketika ia dan Bagus membantu ayah ibu Bagus Sajiwo, yaitu Ki Tejomanik dan Nyi Retno Susilo, yang dibela Lindu Aji dan Sulastri, menghadapi Tejakasmala bersama banyak kawannya, ia sudah merasakan betapa saktinya Tejakasmala. Hanya Bagus Sajiwo yang mampu mengalahkannya, maka melihat Tejakasmala mendesak Parmadi, ia segera turun tangan membantunya, baru ia membantu Muryani sehingga Tejakasmala dan kawan-kawannya melarikan diri karena di situ muncul pula pasukan Pasuruan.

   Melihat suami isteri itu mengenalnya Maya dewi tersenyum, merangkap kedua tangan depan dada sebagai sembah penghormatan lalu berkata dengan lembut.

   "selamat berjumpa, Parmadi dan muryani. benarkah bahwa putera Andika dilarikan Satyabrata?"

   Dengan alis berketut dan mata bersinar tajam, Permadi berkata tegas.

   "Maya Dewi, katakan ke mana Satyabrata sahabatmu itu melarikan anakku Joko Galing!"

   "Maaf, Parmadi. Bagaimana aku dapat mengatakan karena aku sama sekali bukan sahabat Satyabrata lagi."

   "Bohong....!!"

   Muryani membentak marah, matanya mengeluarkan sinar berapi.

   "Engkau adalah mata-mata Kumpeni Belanda, seperti juga dia! Kalian adalah pasangan yang amat jahat dan keji! Siapa tidak mengenal Maya Dewi Si Iblis Betina Cantik dari Banten? Siapa tidak tahu bahwa Maya Dewi itu antek penjilat sepatu Belanda dan seorang iblis betina hina dan cabul, mempermainkan banyak pemuda lalu membunuhnya? Hayo, katakan ke mana anakku dibawa kekasihmu Satyabrata itu?"

   Wajah Maya Dewi menjadi pucat dan sejenak ia memejamkan kedua matanya. merasakan betapa kata-kata itu seperti ujung keris-keris yang runcing menikami hatinya. Ia menggigit bibirnya dan setelah Muryani berhenti bicara, baru ia membuka matanya dan berkata, suaranya masih lembut.

   "Muryani, aku mengaku bahwa dulu aku menjadi wanita sesat dan semua yang kau katakan tentang diriku itu benar, akan tetapi aku telah bertaubat dan aku bukan mata-mata Belanda lagi, tidak bersahabat dengan para penjahat."

   "Bohong! Siapa tidak atahu bahwa Maya Dewi selain jahat dan kejam, juga amat curang dan licik?"

   Maya Dewi tersenyum sabar.

   "Untuk membuktikan, aku akan mencari Satyabrata dan merampas kembali anakmu, Muryani!"

   "Mampuslah!"

   Muryani sudah menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi Maya dewi cepat menghindar dengan lompatan jauh ke belakang.

   Muryani hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang suaminya. Pada saat itu, pasukan dari Pasuruan yang mendengar bahwa wanita itu adalah Maya Dewi yang terkenal jahat, menjadi marah.

   "Bunuh mata-mata Belanda!" "Bunuh perempuan jahat itu!"

   Para perajurit itu mengambil batu dan mereka menghujani Maya Dewi dengan lemparan batu-batu sebesar kepalan tangan! Kembali Maya Dewi merasa jantungnya seperti disayat-sayat. Pedih dan sakit sekali, akan tetapi ia tidak mempedulikan batu-batu itu mengenai dirinya. Tak-tuk-tak-tuk batu-batu itu mengenai tubuhnya, bahkan ada yang mengenai kepalanya. Akan tetapi ia tidak peduli karena ia sudah melindungi tubuhnya dengan kekebalan, lalu ia berkata,

   "Kalau kalian mengejar, mungkin saja Satyabrata membunuh anak kalian lebih dulu."

   Setelah berkata demikian, Maya Dewi meninggalkan tempat itu dengan langkah tenang.

   "Jangan dikejar!"

   Teriak Parmadi ketika melihat pasukan itu hendak mengejar.

   "Ia sakti dan berbahaya sekali. Kalian hanya akan bunuh diri kalau mengejar dan menyerangnya."

   Mendengar teriakan Parmadi itu, pasukan berhenti dan tidak berani mengejar sehingga bayangan Maya Dewi lenyap di tikungan.

   Parmadi mengucapkan terima kasih kepada perwira yang memimpin pasukan, kemudian mengajak isterinya menunggang kuda mereka dan melarikan ke arah utara karena seorang dari para perajurit ada yang memberitahu bahwa Joko Galing tadi dilarikan orang di atas kuda menuju ke arah utara.

   Dalam perjalanan itu, Muryani yang sudah dapat memulihkan ketenangan hatinya, berkata kepada suaminya dengan suara mengandung penasaran.

   "Kakangmas, mengapa engkau menghalangi aku mengejar iblis betina tadi? Aku tidak takut padanya!"

   Sambil memandang kepada suaminya dengan alis berkerut, ia melanjutkan.

   "Apa engkau percaya bahwa ia sudah bertaubat? Siapa mau percaya? Iblis sejahat itu, mana mungkin dapat berubah menjadi baik?"

   "Aku juga tidak percaya begitu saja, Diajeng. Akan tetapi ada beberapa hal yang membuat aku mencegah engkau mengejarnya."

   "Hemm, apakah alasan itu?"

   "Pertama, kalau memang ia sekutu Satyabrata yang melarikan anak kita, mungkin saja ia memancing agar kita mengejarnya sehingga memberi kesempatan kepada satyabrata untuk pergi dengan aman."

   "Hemm, kurasa masuk diakal pendapatmu itu, Kakangmas."

   "Dan ke dua, kalau ia benar-benar bukan sekutu Satyabrata, kata-katanya tadi mengandung kebenaran, yaitu bahwa kalau kita mengejar Satyabrata dan memaksanya menyerahkan anak kita, mungkin saja jahanam itu membunuh Joko."

   "Ah, kalau begitu, bagaimana baiknya, Kakangmas? Aduh, bagaimana kita dapat merampas kembali Joko dari tangan penjahat itu?"

   Suara Muryani mulai gemetar, wajahnya pucat.

   "Tenanglah hatimu, Diajeng dan kita serahkan saja anak kita kepada Gusti Allah, sementara kita mencoba untuk mencari jejaknya. Kita harus tetap tenang, dengan perhitungan bahwa kalau Satyabrata menculik Joko, itu berarti dia tidak ingin membunuhnya. Kalau bermaksud membunuh, tidak perlu bersusah payah membawanya lari, bukan? Nah, kita mencari jejaknya dan kalau sudah dapat kita temukan, kita mengikutinya dan mencari jalan dan kesempatan untuk merampas anak kita. Kita harus tabah dan tenang agar pikiran kita tetap jernih untuk mempertimbangkan semua tindakan yang harus kita ambil."

   Muryani mengangguk-angguk dan membiarkan suaminya yang memandu perjalanan itu. Ia lebih banyak termenung dan mengenang kembali masa silam, ketika ia masih gadis dan bertemu dengan orang yang bernama Satyabrata itu.

   Ia berusia sekitar dua puluh tahun ketika bertemu dengan Satyabrata yang ketika itu merupakan seorang pemuda yang tampan sekali, tinggi tegap dengan rambut berombak dan mata agak kebiruan. Pemuda itu menolongnya ketika ia dikeroyok tiga puluh lebih orang jahat. Tentu saja ia menganggap Satyabrata seorang pemuda yang amat baik, tampan, sakti mandraguna dan sopan. Tidak mengherankan kalau ia merasa tertarik dan jatuh cinta, apalagi ketika mengetahui bahwa Satyabrata amat mencintanya. Ia melakukan perjalanan bersama pemuda itu dan Satyabrata selalu membantu dan mati-matian membelanya menghadapi lawan-lawan tangguh. Hanya karena ia sudah lebih dulu jatuh cinta kepada Parmadi, maka ia masih ragu dan menolak rayuan Satyabrata. Ia tahu dan dapat merasakan bahwa Setyabrata sungguh mencintanya, akan tetapi hatinya condong memilih Parmadi. Akhirnya ia mengetahui bahwa Setyabrata adalah seorang utusan Kumpeni Belanda memusuhi Mataram dan pemuda itu akrab sekali dengan Maya Dewi!

   "Ah, tidak mungkin....!"

   Ia sendiri kaget mendengar ucapan yang tidak disengaja itu.

   "Apa yang tidak mungkin, Diajeng?"

   Tanya suaminya.

   "Ah, aku melamun!"

   Kata Muryani dan mereka menjalankan kuda mereka dengan santai karena kuda- kuda itu sudah mulai kelelahan.

   "Aku masih memikirkan Maya Dewi. Tidak mungkin kalau ia kini berubah dan hendak merampas dan mengembalikan anak kita. Dahulu, ia akrab sekali dengan Satyabrata, mereka adalah mata-mata Belanda dan mereka saling mencinta. Agaknya benar dugaanmu tadi bahwa ia ingin agar kita mengejarnya sehingga tidak dapat melakukan pengejaran terhadap Satyabrata."

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini