Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 10


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



Gadis berpakaian hijau itu memang Wulansari adanya. Kini ia telah menjadi seorang gadis yang berkepandaian tinggi, juga wataknya berubah sama sekali. Dahulu, ketika masih menjadi murid Panembahan Sidik Danasura di teluk Prigi Segoro Wedi, ia merupakan seorang dara remaja berusia limabelas tahun yang manis sederhana, ramah dan lemah lembut tutur sapanya, juga sinar matanya yang jeli itu bersorot lembut.

   Akan tetapi, ketika tiga kali Nurseta melihatnya sebagai seorang gadis berpakaian hijau yang penuh rahasia, gadis itu memiliki sinar mata yang aneh, kadang-kadang redup dan ada kalanya mencorong, dan kalau Nurseta merobayangkan betapa gadis itu memiliki ilmu yang aneh, mengeluarkan suara mendesis yang mempunyai daya serang amat kuat, diam-diam dia bergidik. Ada firasat dalam batinnya bahwa gadis itu selama ini telah mempelajari ilmu kesaktian yang tinggi, namun yang termasuk ilmunya orang dari golongan sesat.

   Wulansari mempergunakan aji kesaktiannya untuk berlari secepat terbang dan kadang-kadang, tangan kirinya meraba tombak pendek yang terselip dengan amat erat di ikat pinggangnya, tertutup bajunya yang hijau dan lebar. Senyum simpul menghias bibirnya yang merah basah, hatinya senang bukan main. Tak disangkanya bahwa ia berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang diperebutkan orang-orang gagah seluruh negeri. Kakeknya sendiri, yang juga menjadi gurunya yang telah mengajarkan banyak aji kesaktian kepadanya, yaitu Eyang Cucut Kalasekti yang merasa tidak sanggup mencari dan merampas Ki Tejanirmala yang hilang tanpa bekas dari tangan Ki Baka yang dulu menjadi pemilik tombak pusaka itu. Dan sekarang ia, sama sekali tak pernah diduga sebelumnya, telah mampu merampas Ki Tejanirmala secara kebetulan saja.

   Sungguh kebetulan saja, karena siapa yang tahu bahwa tombak pusaka yang hilang tanpa meninggaikan jejak itu berada di tangan kakek sakti itu. Kalau saja ia tidak membayangi Nurseta selama ini, sejak pertemuan pertama di Kali Campur, di mana ia diam-diam membantu Nurseta dan membunuhi para bajak sungai, tentu ia tidak akan mengetahui bahwa tombak pusaka itu berada di tangan kakek sakti itu.

   Semenjak membantu Nurseta membasmi para bajak. Wulansari tak pernah dapat melupakan pemuda itu, seorang pemuda yang pernah menanam kesan yang menggores kaibunya ketika untuk pertama kali mereka berjumpa di pantai Laut Kidul. Tak pernah ia melupakan pemuda itu walaupun mereka telah jauh berpisah, wa-laupun ia telah mengalami kehidupan yang sama sekali baru. Dan pertemuan di Kali Campur itu membuat ia tidak tega meninggaikan Nurseta dan diam-diam ia terus membayanginya.

   Hati-nya panas terbakar cemburu ketika Nurseta berurusan dengan Jumirah, dan mendengar akan jahatnya perempuan cabul itu, iapun turun tangan membunuhnya, menggunakan kesempatan selagi terjadi keributan dan Nurseta dikepung para penehuni dusun.

   Ia terus membayangi Nurseta dan dengan heran meiihat betapa pemuda itu membantu pasukan Singosari yang bertempur melawan pasukan pemberontak pimpinan Mahesa Rangkah. Ia tahu akan pemberontakan Mahesa Rangkah terhadap Singosari, akan tetapi ia menganggap hal itu bukan urusannya. Tetapi kenapa kini Nurseta yang bukan senopati bukan perajurit, mencampuri pertempuran itu?

   Bagaimunapun juga, dara ini merasa khawatir kalau-kalau Nurseta terancam bahaya maut dalam pertempuran itu, maka iapun memaksa diri memasuki medan pertempuran dan mencari-cari Nurseta.

   Ketika dilihatnya Nurseta berhadapan dengan seorang kakek tua renta yang amat sakti, ia terkejut dan mendekati. Ia sempat mendengar akan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang menurut tuduhan Nurseta dirampas oleh kakek itu, kemudian bahkan meiihat betapa kakek itu mempergunakan tombak pusaka itu untuk menyerang Nurseta. Meiihat betapa hebatnya perkelahian mi, untuk sejenak Wulansari tertegun, bengong

   dan juga bingung.

   Baru sekarang ia melihat bahwa sesungguhnya Nurseta memiliki aji kesaktian yang amat hebat Akan tetapi, kakek itu namipaknya lebih hebat dan lebih unggul, dan Nurseta mulai terdesak dan terancam. Maka, iapun keluar dan menerjang kakek itu ketika mendapat kesempatan, bahkan dengan ajinya mendesip seperti ular, ia berhasil membuat kakek itu terkejut, lengah sehingga tombak pusaka itu dapat dirampasnya dan kini dibawanya lari.

   Wulansari kembali tersenyum. Jarang sekali ia tersenyum, karena itu senyumnya ini menunjukkan bahwa hatinya girang bukan main. Ia bukan hanya dapat membantu Nurseta, akan tetapi juga berhasil merampas Tejanirmala! Membayangkan betapa wajah gurunya atau kakeknya akan berkeriput-keriput karena kagum dan heran, Wulansari memperlebar senyumnya. Ia harus cepat pergi, pikirnya. Belum aman kalau belum sampai tempat tinggal kakeknya! Ia tahu betapa saktinya kakek tadi yang ia lupa lagi namanya dan ia merasa yakin bahwa kakek itu tentu tidak akan tinggal diam saja. Tentu akan melakukan pengejaran. Dan siapa tahu Nurseta juga tentu akan melakukan pengejaran.

   Agaknya pemuda itu juga bermaksud merampas tombak pusaka dari tangan kakek itu, Berpikir demikian, hatinya terasa bimbang. Kepada siapakah tombak pusaka itu harus diberikan? Kakeknya berulang kali mengatakan betapa kakeknya amat membutuhkan tombak pusaka itu, yang menurut kakeknya akan dapat menjamin kesejahteraan hidup mereka untuk selamanya. Akan tetapi bagaimana kalau Nurseta memintanya? Akan tegakah hatinya untuk menolak?

   Sambil terus mempergunakan ilmunya berlari cepat, Wulansari melamun. Mendadak ia terkejut ketika mendengar suara orang, lapat-lapat seperti suara dari jarak jauh, namun jelas terdengar olehnya karena suara itu diteriakkan dengan dorongan tenaga sakti.

   "Heiiiii perempuan iblis.......! Berhentilah dan serahkan kembali pusaka itu atau engkau akan mampus.......!"

   Celaka, pikir Wulansari, jantungnya berdebar kencang. Kakek iblis itu telah dapat menyusulnya. Cepat ia menengok dan nampak sebuah titik hitam meluncur datang dari jauh. Kakek itu masih jauh sekali namun suaranya sudah dapat ia dengar demikian jelasnya. Ini membukrikan bahwa kakek itu memang sakti mandraguna dan merupakan lawan yang amat tangguh. Kalau sampai ia tersusul, apakah ia akan mampu mempertahankan Tejanirmala, bahkan mungkin lebih dari itu, apakah ia akan mampu mempertahankan nyawanya?

   Maka, tanpa banyak cakap lagi Wulansari lalu mengerahkan seluruh tenaganya, lari sekuatnya. Ia maklum bahwa Kali Brantas masih agak jauh dari situ, Kalau saja ia dapat tiba di sungai itu sebelum kakek iblis iiu menyusulnya, ia akan dapat membebaskan diri dari kejaran kakek itu melalui air. Biarpun boleh jadi ia tidak akan mampu menandingi kakek itu di daratan, namun ia merasa yakin bahwa kakek itu, betapapun saktinya, takkan berdaya menghadapinya di dalam air.

   Ilmu dalam air ini merupakan andalan dari kakek atau gurunya, juga merupakan andalan darinya sekarang. Berpikir demikian, Wulansari mempercepat larinya sampai napasnya memburu dan ia terengah-engah, dan tanpa disadarinya, kedua tangannya memegang tombak pusaka Tejanirmala, seperti khawatir kalau-kalau berda berharga itu akan terlepas lagi darinya.

   Akan tetapi Wulansari tidak tahu bahwa satu di antara ilmu-ilmu kesaktian yang dikuasai oleh Ki Buyut Pranamaya adalah ilmu berlari cepat yang diberi nama Aji Garuda Nglayang. Sebetulnya ini bukan sekedar lari, melainkan lebih banyak mempergunakan lompatan-lompatan jauh. Lompatanya itu jauh dan seperti seekor burung garuda melayang saja, apa lagi kakek itu mengenakan jubah yang lebar sehingga ketika melompat itu, jubahnya berkembang seperti sayap. Dengan lompatan-lompatan jauh ini, dia dapat meluncur cepat seperti seekor kijang melompat-lompat, dan akhirnya dia dapat menyusul gadis itu.

   Tepi Kali Brantas yang berbentuk tanggul tinggi itu sudah nampak oleh Wulansari yang sudah berkeringat dan terengah-engah itu.

   Akan tetapi, sebelum ia mencapai sungai, tiba-tiba nampak bayangan hitam melayang di atas kepalanya dan tahu-tahu kakek itu sudah meluncur turun di depannya, menghadang sambil mengembangkan kedua lengannya dan jubahnya ikut berkembang, berkibar tertiup angin. Kakek itu menyeringai, mengerikan sekali. Sebagian giginya sudah ompong, dan yang masih tinggal juga

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   berwarna hitam oleh kebiasaan mengunyah sirih dan mengulum tembakau.

   "Heh-heh-heh, bocah ayu, jangan harap dapat melarikan diri dari Ki Buyut Pranamaya. Heh-heh, kembalikan tombak pusaka Tejanirmala dan kalau engkau bersikap manis kepadaku, mau melayaniku selama satu bulan, aku akan mengampuni nyawamu. Nah, bukalah bajumu itu dan keluarkan tombak pusakaku, cah ayu, heh-heh!"

   Ki Buyut Pranamaya membujuk dengan suara halus karena setelah kini dia berhadapan dengan Wulansari, hilanglah kemarahannya. Bagaimanapun juga pusaka itu sudah pasti dapat dirampasnya kembali, dan gadis itu demikian ayu sehingga tiba-tiba tim-bul rasa sayang dalam hatinya. Kakek ini sama sekali tidak mengira bahwa Wulansari telah digembleng oleh seorang datuk sakti, yaitu Cucut Kalasekti yang bukan hanya ahli dalam ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu dalam air dan ilmu sihir. Biarpun hanya sedikit, namun Wulansari pernah mendapat gemblengan ilmu sihir, bahkan sudah diberi kekuatan penolak terhadap kekuatan sihir. Maka, ketika diam-diam dia mengerahkan sihirnya untuk menaklukkan gadis itu dengan sikap manis dan kata-kata halus, diam-diam Wulansari sudah mengetahuinya dan tidak terpengaruh sama sekali oleh kekuatan sihir yang terpancar keluar dari pandang mata dan suara Ki Buyut Pranamaya itu.

   Tadi Wulansari sudah mengikat baju luarnya dengan sabuk putih sehingga tombak pusaka yang terselip di pinggangnya itu tertutup baju dan tidak nampak. Ia tahu bahwa tidak akan ada gunanya banyak cakap dengan kakek itu yang pasti akan merampas kembali pusaka itu dengan cara apapun juga. Satu-satunya jalan baginya adalah melawan dan berusaha mencapai sungai agar ia dapat melarikan diri melalui air.

   "Apakah kakek mau pusaka? Nah, terimalah ini"

   Tangan Wulansari bergerak ke balik bajunya dan begitu ia menarik kembali tangannya, nampak sinar kuning emas dari sebatang keris kecil melengkung yang telah dicabutnya dan diarahkan ke arah pertu kakek itu. Dengan tusukan yang cepat.

   "Eh...... !"

   Ki Buyut Pranamaya terkejut juga meiihat sinar emas menyarnbar ke arah perutnya. Hawa panas yang datang bersama keris itu menandakan bahwa benda di tangan gadis itu memang sebuah pusaka yang cukup ampuh dan serangan itu amat berbahaya. Iapun lalu mengelak ke kiri sambil menangkis dengan lengan kanannya, langsung berusaha mencengkeram pergelangan tangan gadis itu untuk merampas keris itu.

   Namun, Wulansari bukanlah seorang gadis lemah. Sebelum digembleng oleh Cucut Kalasekti dengan ilmu yang aneh-aneh, ia telah menjadi murid Panembahan Sidik Danasura dan telah menerima gemblengan dasar ilmu pencak silat yang tinggi selama lima tahun. Maka, kini ia telah menjadi seorang gadis remaja yang tinggi ilmunya dan tidak akan mudah dikalahkan. Meiihat betapa kakek itu berusaha mencengkeram pergelangan tangannya, Wulansari memutar pergelangan tangan itu sehingga kini keris yang menjadi sinar emas itu meluncur ke atas, membalik dan menyambut tangan kakek itu dengan tusukan.

   "Ahh.......!"

   Kembali kakek itu berseru kaget dan kagum. Terpaksa iapun menarik kembali tangannya dan meloncat ke belakang, kemudian, sebelum gadis itu sempat menyerang lagi, kakinya sudah mencuat dengan amat cepatnya, menyambar dalam sebuah tendangan kilat ke arah dada Wulansari. Gadis ini menyambut dengan tangan kiri yang menangkis sambil memajukan kaki kanan selangkah diikuti tusukan kerisnya ke arah dada lawan yang sedang menendang.

   "Dukkk....... plakkkk"

   Tendangan itu dapat ditangkis dari samping oleh tangan kiri Wulansari, akan tetapi tusukan keris itupun dapat ditangkis oleh tangan kiri kakek itu yang bergerak cepat. Keduanya melangkah mundur oleh getaran sebagai akibat benturan tenaga mereka,

   "Heh-heh, agaknya engkau mempunyai juga sedikit kepandaian, bocah ayu. Baiklah, mari kita main-main sebentar, dan nanti kau harus menyerahkan kembali tombak pusaka bersama dirimu kepadaku, heh-heh!"

   Akan tetapi, kakek itu tidak dapat tertawa terus karena tubuh Wulansari sudah berkelebat cepat dan menyerang bertubi-tubi dengan kedua tangannya. Tangan kanan menghunjamkan keris berkali-kali diseling oleh tamparan atau cengkeraman tangan kiri yang tidak kalah ampuhnya, karena tangan kiri itu telah diisi tenaga sakti sehingga setiap jari tangan yang kecil mungil itu seolah-olah kini telah berubah menjadi batang-batang baja yang kuat.

   Ki Buyut Pranamaya menangkis atau mengelak sambil membalas pula dan terjadilah perkelahian yang amat seru di antara kedua orang yang tidak seimbang usia dan pengalaman itu.

   Biarpun lawannya Seorang gadis muda, namun kakek itu harus mengakui bahwa dia tidak boleh main-main dan bahwa perkelahian itu merupakan pertandingan mati-matian karena lengah sedikit saja, dia akan celaka.

   Sebaliknya, Wulansari juga maklum bahwa selama meninggaikan perguruan, baru sekali ini ia bertemu lawan yang luar biasa tangguhnya. Kakek ini mungkin setingkat dengan eyangnya atau gurunya, yaitu Cucut Kalasekti, maka menghadapi kakek ini terasa amat berat baginya.

   "Syuuuuutt.........!"

   Sebuah tendangan kilat hampir saja mengenai pinggulnya dan Wulansari terkejut sekali. Apalagi ketika tendangan itu tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan dilanjutkan dengan serangkaian tendangan kedua kaki bertubi-tubi dalam ilmu Tendangan Cakrabairawa. Pahanya terserempet pinggir kaki kiri lawan dan iapun terguling, bukan roboh melainkan sengaja menggulingkan diri untuk mengerahkan aji kekebalannya sehingga rasa nyeri di pahanya itu menghilang ketika ia bergulingan. Karena ia bergulingan di atas tanah, maka tentu saja kakek itu tidak dapat mclanjutkan serangannya yang berupa tendangan-tendangan maut dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wulansiri untuk meloucat dan melarikan diri dengan cepat.

   "Heh heh-heh, mau lari ke mana bocah manis? Lari ke ujung duniapun akan dapat kususul, heh-heh!"

   Kakek itu semakin tertarik dan semakin suka kepada Wulansari. Seorang gadis yang hebat, pikirnya, bukan saja cantik manis akan tetapi juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup hebat sehingga tentu akan menyenangkan sekali kalau menjadi kekasihnya, juga pembantunya. Dan tentu saja, di samping daya tarik ini, ia tetap harus dapat merampas kembali tombak pusaka Ki Tejanirmala dari tangan gadis itu. Maka, iapun cepat melompat dengan langkah-langkah lebar melakukan pengejaran.

   Wulansari maklum bahwa kalau sampai ia tersusul sebelum mencapai Kali Brantas, tentu ia akan celaka. Ia tidak akan mungkin dapat mempertahankan tombak pusaka itu, bahkan keselamatannya sendiri akan terancam. Bergidik ia kalau membayangkan apa yang mungkin akan terjadi menimpa dirinya kalau sampai ia terjatuh ke tangan kakek yang mengerikan itu. Ia harus dapat mencapai Kali Brantas karena begitu ia tiba di sungai itu, ia akan selamat, pikirnya.

   Akan tetapi, Ki Buyut Pranamaya memang hebat. Ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada gadis iru, maka sebelum Wulansari dapat mencapai sungai, dia sudah berhasil menyusulnya.

   "Heh-heh, perlahan dulu, manis!"

   Tangannya menjangkau dan hampir dapat menangkap lengan Wulansari, Gadis ini cepat melompat ke samping, membalikkan tubuhnya dan menyerang lagi dengan kerisnya. Namun, sekali ini kakek itu sudah siap. Tadi dia telah mempergunakan ilmu berlari cepat yang disebut Aji Garuda Nglayang.

   Setelah dekat, diam-diam dia sudah mempersiapkan ikat kepalanya, kain ikat kepala yang berwarna hitam dan siap di tangan kirinya. Begitu gadis itu membalikkan tubuhnya dan menyerang dengan keris kecil melengkung berwarna kuning emas itu, dia cepat menyambuinya dengan kebutan kain ikat kepala hitam.

   "Wuuuttt.......!"

   Dan Wulanssri terkejut ketika tiba-tiba ada kain hitam menutup kerisnya dan ketika dicobanya menarik kerisnya kembali, keris itu telah terbungkus kain dan tidak dapat ditariknya kembali. Pada saat itu, tangan kanan Ki Buyut Pranamaya telah mencengkeram ke arah kepalanya.

   Tiba-tiba Wulansari mengeluarkan suara mendesis seperti ular dan kakek itu terkejut, Suara mendesis ini membuat dadanya terasa seperti tertusuk dan tubuhnya sejenak menjadi kaku. Kesempatan itu dipergunakan oleh Wulansari untuk meloncat jauh ke belakang, lalu lari lagi. Akan tetapi, Ki Buyut Pranamaya

   yang sakti mandraguna itu hanya sobentar saja terpengaruh suara mendesis itu. Ia sudah memulihkan. dirinya dan mengejar lagi, dengan lompatan Aji Garuda Nglayang sehingga sebentar saja kembali Wulansari sudah tersusul, babkan kakek itu mendahuluinya dan membalik, menghadang dengan kedua lengan terpentang lebar.

   Melihat bahwa ta sudah berada di dekat tepi Kali Brantas akan tetapi kakek itu sudah menghadangnya, Wulansari menjadi marah dan nekat. Ia harus mampu menerobos dan lari ke sungai yang hanya tinggal kurang lebih limapuluh meter di depan, atau ia akan celaka. Kembali ia mengeluarkan suara mendesis hebat dan tubuhnya menubruk ke depan, didahului sinar kuning emas kerisnya, sedangkan tangan kirinya mengeluarkan bau amis ketika ia mendorong sambil mengerahkan tenaga saktinya.

   Kini Ki Buyut Pranamaya sudah siap siaga. Dia maklum bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan dan kalau dia lengah, dapat celaka oleh gadis itu. Maka, dia sudah mengerahkan tenaganya, menyambut serangan gadis itu dengan Aji Margaparastra yang ampuhnya menggiriskan itu.

   "Desss.......!"

   Hawa pukulan Margaparastra menghantam ke depan. Baru terkena hantaman hawa pukulannya saja, tubuh Wulansari sudah terpelanting dan keris kecil di tangannya terlepas, Ia merasa seolah-olah seluruh tenaga di dalam tubuhnya lolos dan iapun tidak mampu bangkit kembali, kepalanya pening, dadanya sesak.

   "Ha-ha-ha, akhirnya engkau menyerah juga kepadaku, bocah ayu. Di mana kau sembu-nyikan tombak itu? Ah, tentu di dalam ikat pinggangmu. Ha-ha, biar kulepaskan sama sekali ikat pinggangmu"

   Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangan kiri ke arah pinggang Wulansari. Dan ikat pinggang itu putus dan bersama terlepasnya kain yang merosot ke bawah, tombak pusaka itupun terjatuh. Wulansari terkejut dan cepat memegang kainnya agar jangan sampai telanjang.

   Ki Buyut Pranamaya tertawa bergelak dan mengulur tangan, yang kiri untuk mengambil pusaka Tejanirmala, yang kanan untuk merenggut lepas kain yang membungkus tubuh bawah gadis itu.

   Wulansari tidak berdaya lagi, tubuhnya masih lemas dan ia belum mampu bangkit, hanya memandang dengan mata terbelalak ngeri, isak tertahan dan kedua tangan mencengkeram kainnya.

   "Heh-heh heh, ke sinilah, manis......"

   Pada saat yang amat berbahaya bagi Wulansari, tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan sebuah tangan menyambar denpan tamparan dahsyat ke arah kepala Ki Buyut Pranamaya.

   Kakek ini terkejut sekali karena merasa betapa sambaran hawa pukulan dari tangan yang menampar itu amat kuatnva. Iapun menarik kedua tangan yang tadi hendak merampas tombak pusaka dan kain, lalu memutar tubuh ke kanan sambil mengerakkan lengan kanan menangkis.

   "Desss........"

   Kakek itu semakin kaget karena tangkisan itu membuat tubuhnya terdorong ke belakang dan dia terhuyung. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia menjadi marah sekali mengenai bahwa orang yang menyerangnya tadi adalah pemuda yang pernah dilawannya dalam pertempuran. Pemuda yang bernama Nurseta yang telah mengenali penyamarannya, mengenai bahwa dia adalah Wiku Bayunirada.

   Hati Ki Buyut Pranamaya atau juga Wiku Bayunirada menjadi kecewa dan marah sekali. Kecewa karena gagal merampas kembali Tejanirmala, pada hal tadi sudah tinggal ambil saja, dan marah karena pemuda bernama Nurseta putera Ki Baka itu sungguh menjadi penghalang besar baginya.

   "Keparat, bocah setan, engkau harus mampus di tanganku baru puaslah hatiku"

   Bentaknya dan iapun sudah menyerang dengan dahsyat, mempergunakan tendangannya yang amat berbahaya, yaitu Aji Cakrabairawa. Terdangannya bertubi-tubi, susul menyusul kaki kiri dan kanan seolah-olah takkan pernah berhenti sebelum lawan roboh.

   Nurseta sudah mengenai ilmu tendangan yang ampuh ini, maka iapun mengerahkan tenaga dan mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak, menangkis dan membalas dengan pukulan-pukulan Bajradenta yang cukup ampuh. Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan ternyata Wulansari yang tadi sudah nyaris tertawan, kini sudah menerjang lagi, mengeroyok Ki Buyut Pranamaya. Gadis itu tadi cepat membereskan kainnya, merobek tepi kain untuk dijadikan ikat pinggang, menyimpan tombak pusaka Tejanirmala, kemudian memungut kerisnya. Dan dengan penuh kemarahan ia menyerang kakek itu, membantu Nurseta walaupun tubuhnya terasa sakit-sakit akibat tendangan dan pukulan kakek itu.

   Menghadapi pengeroyokan pemuda dan gadis itu, Ki Buyut Pranamaya menjadi repot juga. Dia ingin sekali dapat merampas tombak pusaka lalu melarikan diri. Namun, Wulansari yang maklum akan keinginan hati kakek titu, sudah menyembunyikan tombak pusaka dibalik kainnya, terselip diikat pinggang. Kini, gadis itu menyerang dengan nekat sehingga Ki Buyut Pranamaya menjadi repot untuk menyelamatkan diri dari pengeroyokan dua orang muda itu.

   Sebetulnya, tingkat kepandaian Ki Buyut Pranamaya masih lebih unggul karena bagaimanapun juga, dibandingkan Nurseta dan Wulansari, tentu saja dia lebih matang dan lebih banyak pengalaman. Namun, ia masih tegang karena rahasianya sebagai Wiku Bayunirada telah diketahui Nurseta dan dia merasa khawatir kalau-kalau masih ada orang sakti lain di belakang kedua orang muda ini.

   "Hyaaatt.......!!"

   Tiba-tiba Nurseta menyerangnya dengan pukulan Aji Jagad Pralaya yang amat dahsyat itu, dibarengi suara mendesis Wulansari yang juga menyerang dengan tangan kiri dan keris di tangan kanannya. Meiihat hebatnya gelombang serangan ini, kakek itu mengeluarkan suara melengking marah dan kecewa, lalu tubuhnya melayang ke samping, bukan hanya untuk mengelak, melainkan juga untuk melarikan diri, menggunakan Aji Garuda Nglayang sehingga sebentar saja tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon.

   Nurseta hendak mengejar, akan tetapi terdengar gadis itu mengeluh dan terhuyung. Nurseta terkejut, tidak jadi mengejar dan cepat dia meloncat ke dekat gadis itu dan memegang lengannya sehingga Wulansari tidak jadi roboh. Gadis itu pucat sekali dan terkulai lemas, lalu jatuh pingsan dalam rangkulan Nurseta.

   Nurseta memondong tubuh Wulansaii, dibawa dekat sungai dan merebahkannya di atus rumput tebal. Ketika dia memeriksa, dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu menderita luka membiru pada pundak kiri, juga kain yang agak tersingkap memperlihatkan paha yang menghitam dan agaknya gadis itu menderita guncangan karena hawa pukulan sakti. Nurseta menempelkan telapak tangan kirinya pada pundak dan punggung gadis itu diurutnya dengan tangan kanan sambil mengerahkan hawa sakti untuk mengusir hawa pukulan yang masih mengeram di dalam tubuh Wulansari.

   Tak lama kemudian gadis itu mengeluh dan membuka matanya. Ketika ia melihat Nurseta menempelkan telapak tangan di pundak dan punggung, tiba-tiba ia bangkit duduk dan mendorong kedua lengan pemuda itu.

   "Wulansari ......."

   Nurseta memanggil dengan lembut, khawatir kalau-kalau gadis itu akan melarikan diri lagi. Akan tetapi sekali ini, Wulansari masih pening dan lemah, sehingga ia tidak dapat melarikan diri, dan pula, agaknya ia juga tidak ingin pergi meninggaikan pemuda yang telah menyelamatkannya dari ancaman malapetaka di tangan kakek yang sakti mandraguna tadi.

   "Wulan ........ apakah kau masih ingat kepadaku?"

   Nurseta bertanya dengan lembut, khawatir kalau-kalau gadis itu memang benar telah lupa kepadanya.

   "Kakang........kakang Nurseta......."

   Akhirnya gadis itu berbisik, setengah mengeluh dan nampak ia menggigit bibir bawahnya menahan rasa nyeri.

   Bukan main girangnya hati Nurseta mendengar gadis itu menyebut namanya, akan tetapi kegirangannya berubah kekhawatiran meiihat gadis itu menahan nyeri.

   "Ah, kau terluka, Wulan......"

   Wulansari mengangguk.

   "Aku ......aku terkena pukulannya yang ampuh, dan juga pahaku terkena tendangan ......."

   "Biarkan aku membantumu untuk menyembuhkan luka-lukamu, Wulan. Menurut pemeriksaanku tadi, masih ada hawa pukulan beracun yang mengeram di dalam tubuhmu Biarkan aku mengobatimu."

   Kini Wulansari tidak menolak ketika pemuda itu duduk bersila di belakangnya dan menempelkan telapak tangan di punggung dan pundaknya. Ada hawa yang hangat keluar dari kedua telapak tangan itu, memasuki tubuhnya dan mendatangkan rasa yang nyaman. Kurang lebih seperempat jam kemudian, lenyaplah rasa nyeri di dada dan pundaknya.

   "Sudah cukup, kakang, nyerinya sudah hilang"

   Katanya lembut dan Nurseta lalu menghentikan pengobatannya. Akan tetapi ketika dia mengajak Wulansari bangkit berdiri, gadis itu hampir terguling roboh kalau tidak dipegang lengannya dengan cepat oleh pemuda itu.

   "Kenapa, diajeng .......?"

   "Paha kananku, nyeri sekali......"

   "Biarkan aku memeriksanya........"

   "Ihh! Jangan kakang ......."

   Wulansari yang sudah terduduk kembali itu menarik kakinya dari jangkauan tangan Nurseta.

   "Kenapa, Wulan?"

   "Aku", aku malu........"

   Nurseta menahan senyumnya dan berkata dengan sungguh-sungguh.

   "Wulansari, dalam hal seperti ini, kurasa tidak perlu kita malu-malu lagi. Aku khawatir kalau ada tulang yang patah atau otot yang rusak"

   Wulansari mengangguk. Mukanya yang biasanya dingin dan aneh itu kini menjadi kemerahan dan ia lalu menyingkap kainnya perlahan-lahan, memperlihatkan bagian paha yang kehitaman. Tadi, ketika gadis itu pingsan, Nurseta sudah memeriksanya sebentar, akan tetapi dia tidak berani mencoba untuk mengobatinya karena gadis itu masih pingsan, Memeriksa dan menyentuh bagian tubuh yang biasanya tertutup itu selagi pemilik paha itu pingsan, dianggapnya tidak sopan. Kini, meiihat paha tersingkap putih mulus, Nurseta menekan perasaannya dan mengusir bayangan yang mendatangkan rangsangan, lalu memeriksa paha yang terkena tendangan itu.

   "Untung kau memiliki kekebalan yang kuat, diajeng. Pahamu hanya memar saja, tidak ada tulang retak atau otot rusak. Maafkan, aku akan mengurutnya sebentar."

   Nurseta lalu mempergunakan jari-jari tangannya untuk mengurut, sebentar saja, lalu menutupkan kembali kain yang tersingkap. Wulansari merasa girang dan berterima kasih sekali karena pahanya juga kini tidak begitu nyeri lagi.

   Mereka duduk di atas rumput tebal, berhadapan dan sejenak mereka hanya saling pandang tanpa kata-kata sampai akhirnya Wulansari menundukkan mukanya yang menjadi merah. Ia merasa serba salah tingkah dan malu, juga Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar keras, dan kedua tangannya yang tadi dengan mantap dan tetap mengurut paha, kini malah gemetar. Terasa benar dalam hatinya betapa dia amat mencinta gadis ini.

   "Wulansari, bolehkah aku bertanya?"

   Akhirnya Nurseta berkata lembut setelah menenteramkan jantungnya yang berdebar.

   Wulansari mengangkat muka. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut dan akhirnya Wulansari mengangguk dan menundukkan muka. Tak kuat ia bertemu pandang berlama-lama karena sepasang mata pemuda itu demikian tajam dan jelas sekali menyatakan isi hatinya! "Boleh saja, kakangmas"

   Jawabnya lirih.

   "Ketika kau muncul membantu aku membasmi bajak sungai, kemudian kau muncul lagi dan menewaskan Jumirah, isteri Lembu Petak itu......."

   "Bajak-bajak itu jahat sekali, membunuh petani yang tidak berdosa dan mengancam keselamatanmu. kakangmas, dan peremuan itu tak tahu malu, cabul dan jahat, maka aku terpaksa membunuh mereka semua!"

   Wulansari memotong, seolah khawatir kalau Nurseta akan menyalahkannya.

   "Bukan itu maksudku, Wulan. Akan tetapi, mengapa kau lalu pergi begitu saja dan tidak mau bicara denganku? Aku khawatir sekali......"

   "Mengapa khawatir, kakangmas? Apa yang kau khawatirkan?"

   "Aku khawatir kalau-kalau kau tidak sudi lagi berkenalan denganku, atau mungkin kau sudah lupa kepadaku, pada hal aku......."

   "Padahal bagaimana, kakang?"

   "Aku....... aku selama ini....... amat merindukanmu, diajeng. Aku girang bukan main ketika melihat kau muncul, baik yang pertama kali itu atau yang ke dua kali, akan tetapi kau pergi begitu saja........"

   Wulansari mengangkat mukanya, memandang. Kini perasaan malu-malu dapat diatasinya dan pandang matanya bahkan penuh dengan selidik, seolah dara ini ingin menjenguk isi hati Nurseta.

   "Engkau......... kau amat merindukan aku, kakang? Benarkah itu.......?"

   "Tentu saja benar, diajeng. Aku tidak biasa berbobong dan pula, untuk apa aku harus berbohong kepadamu?"

   "Tapi...... kenapa kau amat rindu kepadaku, kakangmas? Kita baru satu kali saja bertemu, di padepokan Eyang Panembahan Sidik Danasura, di Teluk Prigi Segoro Wedi......."

   Kembali Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar. Dia harus berani menyatakan terus terang. Perasaan cintanya terhadap Wulansari itu demikian jelas dan sering membuatnya tidak dapat tidur, sering menggetarkan hatinya, dan terutama sekali terasa ketika ayah angkatnya, Ki Baka, menjodohkannya dengan Pertiwi. Dan kini, Wulansari bertanya kenapa ia selama ini amat rindu kepada gadis itu.

   Beberapa kali Nurseta menelan ludah untuk nenenangkan hatinya, dan iapun memegang tangan Wulansari sambil berkata.

   "Wulansari, pertemuan pertama itu, biarpun baru satu kali, namun telah meyakinkan hatiku bahwa aku....... aku amat cinta

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
kepadamu diajeng. Setelah kami berpisah, aku tidak pernah dapat melupakanmu dan aku merasa amat rindu kepadamu. Diajeng Wulansari, aku cinta padamu......."

   Tangan yang dipegangnya itu mendadak saja gemetar, akan tetapi Wulansari tidak menarik tangannya yang digenggam, melainkan kini mengangkat mukanya memandang wajah Nurseta. Pemuda inipun memandangnva, dua pasang mata bertemu dan Nurseta melihat betapa dua buah mata yang jeli dan bening seperti bintang itu menjadi basah dan perlahan-lahan, beberapa butir air mata seperti mutiara menitik keluar dari pelupuk mata dan menggelinding di sepanjang pipi yang kemerahan.

   "Diajeng........ kau....... kau menangis? Maafkan kalau aku menyinggung perasaan hatimu, diajeng........"

   Nurseta hendak melepaskan tangan gadis itu, akan tetapi Wulansari bahkan menggerakkan tangan kirinya dan memegang tangan pemuda itu. Empat tangan mereka menjadi satu, saling genggam.

   "Kakangmas........ aku ....... aku menangis karena merasa berbahagia......."

   "Diajeng Wulansari.......!"

   "Kakangmas Nurseta.......I"

   Seperti dsgerakkan oleh sesuatu yang gaib, keduanya saling rangkul dan Nurseta mendekap kepala itu ke dadanya, kuat- kuat seolah-olah ia ingin memasukkan kepala itu ke dalam dadanya agar tidak terpisah darinya lagi. Kemudian ia menunduk, mendekatkan mukanya dan Wulansari, terdorong oleh naluri kewanitaannya, menyambut. Entah siapa yang memulai karena keduanya selamanva belum pernah mengalami hal seperti itu, akan tetapi tahu-tahu keduanya telah saling cium dengan menumpahkan seluruh kemesraan dari dalam dua hati yang saling merindukan.

   Kini mereka duduk di atas batu yang panjang, berdampingan, dan lengan kanan Nurseta merangkul pundak Wulansari sedangkan lengan kiri gadis itu melingkar di pinggang Nurseta. Sampai lama keduanya berdiam diri, Wulansari menyandarkan kepalanya di bahu dan dada kekasihnya.

   Angin semilir menyambut senja mempermainkan rambut halus Wulansari. Nurseta mengelus rambut di kepala itu. Rambutmu indab sekali, diajeng........"

   "Benarkah........?"

   Nurseta menunduk dan mencium kepala itu.

   "Diajeng, setelah kau dibawa pergi oleh kakek itu, yang menurut Eyang Panembahan namanya Cucut Kalasekti, lalu apa yang terjadi denganmu? Siapakah kakek yang sakti mandraguna itu sebenarnya, diajeng? Benarkah kau cucunya? Dan dari siapa pula kau mempelajari ilmu-ilmu yang hebat dan aneh itu?"

   Dihujani pertanyaan itu, Wulansari tersenyum, menoleh dan menggunakan telunjuk tangannya menyentuh bibir Nurseta, sikapnya manja dan mesra sekali.

   "Wah, banyak benar pertanyaanmu, kakangmas. Eyang Cucut Kalasekti itu memang eyangku, juga guruku. Akan tetapi... ah, kita sekarang harus berpisah, kakangmas. Aku khawatir kalau kakek jahat tadi datang kembali ke sini bersama teman-temannya, kita bisa celaka. Aku harus pergi sekarang"

   Gadis itu'tiba-tiba bangkit berdiri. Nurseta memegang tangannya.

   "Nanti dulu, diajeng. Kita baru saja bertemu, baru saja hati kita saling bertemu dan masih banyak yang harus kita bicarakan"

   "Untuk saat ini, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, kakangmas. Cukuplah kalau aku mengetahui bahwa kau mencintaku, dan ketahuilah bahwa akupun mencintamu, sejak dulu. Mulai saat ini, aku telah menjadi milikmu dan aku bersumpah takkan sudi disentuh pria lain Kalau semua urusanmu telah beres, kuharap kau suka berkunjung ke Blambangan, menjumpai Eyang Kalasekti dan meminangku. Maukah kau, kakangmas? Maukah?"

   Dengan sikap manja Wulansari mengguncang-guncang tangan pemuda itu yang dipegangnya.

   "Tentu saja aku mau, diajeng, akan tetapi aku belum ingin berpisah darimu. Aku tidak ingin berpisah lagi, diajeng......."

   Akan tetapi Wulansari meronta dan melepaskan diri dari rangkulan kekasihnya.

   "Cukup sudah, kakangmas. Kita masing-masing mengetahui bahwa kita saling mencinta! Aku harus pergi sekarang, sampai jumpa, kakang"

   Gadis itupun lari ke sungai dan meloncat dari tebing yang cukup tinggi itu. Tubuhnya meluncur ke bawah ketika Nurseta mengejarnya ke tepi sungai.

   "Cuppp......."

   Tubuh itu bagaikan sebatang anak panah memasuki air tanpa menimbulkan banyak percikan air, dan tak lama kemudian nampak ia tersembul di tengah sungai.

   "

   Wulansari.......!"

   Nurseta memanggil dan gadis itu membalikkan badan, lalu melambaikan tangan kepadanya. sambil tersenyum manis sekali.

   "Wulansari, apakah kau membawa tombak pusaka Tejanirmala?"

   Baru sekarang pemuda itu teringat akan tombak pusaka yang tadi dirampas oleh Wulansari dari tangan Ki Buyut Pranamaya atau Wiku Bayunirada.

   Gadis itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan di tangan itu terdapat tombak pusaka Tejanirmala yang ditanyakan Nurseta.

   "Diajeng, tombak itu adalah pusaka milik ayah angkatku, harap kau serahkan kepadaku agar dapat kukembalikan kepada ayah"

   Wulansari menggeleng kepalanya.

   "Kakangma, ketahuilah bahwa satu di antara tugasku adalah mencari dan membawa pusaka ini ke Blambangan. Aku akan membawanya kesana, menyerahkannya kepada eyang. Kelak kalau kau datang meminangku, kau boleh minta kembali dari eyang dan aku akan membantumu, kakang. Nah, selamat tinggal, kakangmas Nurseta. Aku cinta padamu dan akan selalu menantimu ........!"

   Sebelum Nurseta sempat membantah atau menjawab, gadis itu sudah lenyap, menyelam ke dalam air. Nurseta berdiri mematung di tepi sungai itu, mengharapkan gadis itu muncul kembali karena dia masih ingin bicara. Akan tetapi, tidak nampak gadis itu muncul sehingga akhirnya, terpaksa dia berlari kembali ke tempat pertempuran membantu pasukan Singosari yang masih bertempur melawan pasukan pemberontak.

   Pasukan pemberontak yang dipimpin Mahesa Rangkah ternyata dapat digiring kembali. ke pusat sarang mereka setelah di mana-mana mereka bertemu dengan pasukan Singosari dan dipukul mundur. Akhirnya, semua sisa pasukan pemberontak berkumpul di dalam sarang mereka dan diserbu oleh pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Senopati Ronggolawe yang dibantu oleh beberapa orang senopati lainnya.

   Pertempuran menjadi berat sebelah, apa lagi setelah Mahesa Rangkah ditinggalkan Ki Buyut Pranamaya yang amat diandalkan oleh muridnya itu. Setelah gurunya pergi, terpaksa Mahesa Rangkah melawan mati-matian, dibantu. oleh para tokoh sesat dan anak buahnya. Perang mati-matian dilakukan oleh Mahesa Rangkah yang sudah hampir putus asa itu, perlawanan yang sia-sia belaka.

   Ternyata kemudian akan kepalsuan para tokoh sesat yang tadinya hendak membantu gerakan pemberontakan. Mahesa Rangkah. Setelah meiihat bahwa Ki Buyut Pranamaya melarikan diri dan melihat betapa pasukan pemberontak kewalahan menghadapi pasukan Singosari, apa lagi setelah mereka sendiri berhadapan dengan para senopati Singosari yang amat tangguh, dibantu pula oleh orang-orang gagah seperti Ki Jembros, Ki Padasgunung dan Ki Pragalbo, apa lagi di sana terdapat Nurseta yang amat sakti, para tokoh sesat itu satu demi satu lalu lenyap melarikan diri selagi masih ada kesempatan.

   Memang banyak di antara mereka yang tidak sempat melarikan diri dan tewas di tangan para senopati Singosari, akan tetapi para tokoh sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dapat menyusup di antara pasukan pemberontak dan menghilang Di antara mereka yang berhasil menyelamatkan diri termasuk tiga orang pimpinan Clurit Lemah Abang, yaitu Soradipo, Sorawani, dan Sorakayun, kemudian Ki Sardnlo tokoh Banyuwangi adik seperguruan Ki Baya itu, Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri yang berhasil lolos pula.

   Setelah dilinggalkan oleh para pembantunya yang diandalkan itu, Mahesa Rangkah yang sudah putus asa ditinggalkan gurunya, kini menjadi semakin lemah dan repot. Namun, ia tidak meninggaikan pasukannya dan mengamuk terus dengan nekat sampai akhirnya tewaslah pemimpin pemberontak ini dalam pengeroyokan para senopati Singosari.

   Pasukannyapun dibasmi hancur dan berakhirlah sudah pemberontakan Mahesa Rangkah terhadap Singosari.

   Pemberontakan Mahesa Rangkah yang terjadi dalam tahun 1280 itu dapat dihancurkan tanpa banyak kesukaran oleh. Kerajaan Singosari, dan sekali ini, Kerajaan Daha di Kediri terlepas dari kaitan. Untung bahwa para jagoan Kediri sudah mendapat perintah untuk cepat meninggaikan Mahesa Rangkah sehingga Kediri tidak terlibat oleh pemberontakan yang gagal itu.

   Karena jasa-jasanya terhadap Singosari dalam penghancuran gerakan pemberontakan Mahesa Rangkah, para orang gagah seperti Ki Jembros, Padasgunung, Pragalbo. dan terutama sekali Nurseta, oleh Senopari Ronggolawe diperkenalkan kepada para senopati Singosari. Dan dalam kesempatan inilah Nurseta berkenalan dengan Raden Wijaya, putera mantu dari Sang Prabu Kertanegara.

   Nama pemuda ini mulai dikenal di kalangan para senopati Singosari, bahkan Raden Wijaya sendiri berkenan menghadiahkan sebatang keris kepada Nurseta, keris yang tidak begitu panjang, berbentuk naga, pangkal keris berbentuk kepala

   naga, dan mata keris itu lidahnya yang terjulur keluar. Nurseta menerimanya dengan girang.

   Setelah para orang gagah dijamu makan dalam sebuah pesta kemenangan oleh para senopati, merekapun lalu bubar. Nurseta sendiri meninggaikan tempat itu untuk kembali ke padepokan Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi, pantai laut selatan. Ayah angkatnya"

   Ki Baka, tentu berada di sana pula untuk berobat seperti yang pernah mereka rundingkan.

   Dugaan Nurseta ternyata tepat. Ketika dia. tiba di padepokan Sang Panembahan Sidik Danasura, ternyata Ki Baka memang berada di tempat itu. Hatinya menjadi girang sekali, terutama ketika meiihat betapa ayah angkatnya itu telah sembuh sama sekali akibat pukulan beracun Margaparastra. Dengan wajah berseri Nurseta memberi hormat dengan sembah kepada Ki Baka dan Panembahan Sidik Danasura yang duduk bersila di dalam padepokan itu.

   "Gembira sekali hatiku meiihat kau sudah tiba di sini dalam keadaan selamat, Raden Nurseta. Dan berkat pertolongan Paman Panembahan luka di dalam tubuhku sudah sembuh sama sekali dan aku memang sengaja menantimu di sini"

   "Heh-heh, melihat kau kembali dalam keadaan selamat, kami dapat menduga bahwa tentu tugas yang kau laksanakan itu telah berhasii dengan baik. Raden Nurseta, ceritakanlah tentang usaha menenteramkan keadaan dan mengatasi pemberontakan Mahesa Rangkah itu, angger"

   Berkerut alis Nurseta mendengar betapa Ki Baka dan Panembahan Sidik Danasura menyebutnya "Raden"

   Ia cepat menghaturkan sembah dan berkata dengan lembut, namun mengandung teguran.

   "Bapak dan Eyang Panembahan, mengapa kalian berdua menyebut Raden kepada saya? Biasanya Eyang berdua menyebut nama saya begitu saja, kenapa sekarang harus ditambah embel-embel Raden? Sungguh tidak enak kata itu memasuki telinga. Saya mohon agar Bapak dan Eyang tidak menyebut seperti itu"

   Kedua orang tua itu saling pandang lalu tertawa.

   "Ha-ha-ha, Raden Nurseta. Sebutan-sebutan itu hanyalah untuk memenuhi tata-susila saja! Kenapa kau menyebut Ki Baka ini dengan sebutan bapak? Karena ia bapak angkatmu. Kenapa pula kau menyebut aku Eyang Guru? Karena aku gurumu dan sepatutnya menjadi eyangmu. Dan kenapa pula kami berdua menyebutmu Raden? Karena kau adalah putera mendiang Raden Panji Hardoko, seorang pangeran dari Kediri. Siapa yang menyimpang dari tata-susila ini, dianggap tidak tahu aturan dan kami tentu saja bukan orang-orang yang tidak tahu aturan."

   Kakek itu tertawa halus dan Nurseta merasa terpukul. Kenapa ia harus meributkan urusan panggilan saja? Dan apa yang dikemukakan gurunya itu memang tepat. Urusan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab si pemanggil, mengapa ia yang dipanggil barus meributkannya?

   "Maafkan saya, Eyang, dan terima kasih atas wejangan yang menyadarkan saya."

   Nurseta lalu menceritakan semua pengalamannya, tentang pertempuran antara pasukan Singosari yang dipimpin oleh Senopati Ronggolawe dan Raden Wijaya, dan betapa akhirnya Mahesa Rangkah tewas dan pasukan pemberontak itu dapat dihancurkan.

   "Dan saya telah dapat bertemu dengan kakek iblis yang telah merampas Ki Ageng Tejanirmala dan melukaimu, ayah"

   Wajah Ki Baka berseri.

   "Wiku Bayunirada?"

   Nurseta menggeleng kepalanya.

   "Namanya adalah Ki Buyut Pranamaya, Dialah yang telah merampas tombak pusaka kita"

   "Tapi.....yang merampas dan memukul adalah Wiku Bayunirada, yang kedua kakinya hanya berjari empat"

   Nurseta mengangguk.

   "Memang betul ia, ayah. Ki Buyut Pranamaya adalah guru Mahesa Rangkah dan pendukung pemberontakan itu. Tadinya sayapun tidak mengira bahwa dia adalah juga Wiku Bayunirada karena bentuk wajahnya berbeda sekali dengan yang ayah ceritakan tentang perampas pusaka itu. Akan tetapi ketika ia mendesak saya dengan tendangan-tendangan maut, nampaklah oleh saya bahwa kedua kakinya kehilangan ibu jarinya, dan tahulah saya bahwa dia adalah Wiku Bayunirada. Agaknya Ki Buyut Pranamaya pandai menyamar dan ketika dia merampas pusaka itu, dia menyamar dengan nama Wiku Bayunirada agar jangan dikenal orang lain."

   "Jagad Dewa Bathara.......1 Kiranya Ki Buyut Pranamaya pula yang mempunyai ulah merampas Tejanirmala dan menggerakkan pemberontakan? Sungguh tidak tahu diri, dalam usia tua menghadapi kematian tidak mencari jalan terang namanya.........."

   Panembahan Sidik Danasura mengelus jenggotnya dan meng-geleng-geleng kepala.

   "Lalu bagaimana, Raden? Berhasilkah kau merampas kembali pusaka itu?"

   "Saya telah mengenalnya dan kami berkelahi, ayah. Ia memang sakti mandraguna sehingga saya terdesak, terutama oleh tendangan-tendangannya yang ampuh.........

   "

   "Itulah tendangan sakti yang bernama Ajii cakrabairawa"

   Kata Panembahan Sidik Danasura,

   "Ketika saya sedang terdesak hebat, tiba-tiba muncul seorang penolong dan ia bukan lain adalah diajeng Wulansari......."

   "Jagat Dewa Barbara....... ! Nini Wulansari.......?"' Panembahan itu berseru, wajahnya berseri gembira dan sepasang mata yang lembut Itu bersinar-sinar.

   "Siapakah Wulansari?"

   Ki Baka bertanya kepada anak angkatnya karena ia belum mengenalnya.

   "Diajeng Wulansari pernah menjadi murid Eyang Panembahan. Ia pergi dengan tiba-tiba, dibawa pulang kakeknva ke Blambangan dan secara tiba-tiba pula ia muncul dan bantuannya mengeroyok Ki Buyut Pranamaya menyelamatkan saya. Kemudian, dalam perkelahian selanjutnya, Diajeng Wulansari berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan ia membawanya pergi karena menurut keterangannya, eyangnya amat membutuhkan tombak pusaka itu dan ia memang diutus eyangnya untuk mencari pusaka itu."

   "Ahh.......! Kenapa kau tidak merampasnya, Raden Nurseta?"

   Ki Baka menegur.

   Tentu saja Nurseta merasa malu untuk men-ceritakan keadaan yang sebenarnya, betapa dia dan Wulansari telah saling jatuh cinta dan tentu saa ia tidak tega untuk merampas tombak pusaka itu dengan kekerasan dari tangan kekasihnya itu.

   "Tidak mungkin, ayah. la telah meloncat ke Kali Brantas dan menghilang."

   Nurseta tidak merasa berbohong ketika mengatakan ini.

   Ki Baka terbelalak.

   "Apa? Ia terjun ke dalam Kali Brantas dan menghilang? Apakah ia tewas ataukah........ia siluman air?"

   Terdengar Panembahan Sidik Danasura tertawa lembut.

   "Ha-ha, kiranya ia telah mewarisi ilmu di dalam air dari Cucut Kalasekti"

   Kembali Ki Baka terkejut dan memandang kakek itu.

   "Cucut Kalasekti, datuk sesat yang sakti mandraguna dari Blambangan itu?"

   Panembahan itu mengangguk.

   "Ketahuilah, Ki Baka. Ki Jembros menyelamatkan Wulansari dari bahaya tenggelam dan membawanya ke sini untuk diobati. Kemudian, selama lima tahun, sejak berusia sepuluh tahun, Wulansari belajar di sini. Ketika Ki Jembros datang hendak mengambilnya, kebetulan Raden Nurseta juga berada di sini, muncullah Cucut Kalasekti yang membawa pergi Wulansari karena dia mengaku bahwa gadis itu adalah cucunya. Nah, demikianlah. Kini, Wulansari muncul dan telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan pandai bermain dalam air sehingga ia mampu melarikan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala."

   Mendengar keterangan itu, Ki Baka menarik napas panjang. Sunguh celaka, pikirnya. Tombak pusaka itu tadinya terampas oleh Ki Buvut Pranamaya yang menyamar dengan naraa Wiku Bayunirada. Setelah Nurseta berhasil menemukan kakek. itu, tombak pusaka kini terjatuh ke tangan cucu seorang datuk sesat lain yang juga amat sakti mandraguna, yaitu Cucut Kalasekti.

   "Aih, sungguh berbahaya. Ketika Ki Ageng Tejanirmala terjatuh ke tangan Ki Buyut Pranamaya, pusaka itu dipergunakan untuk menghimpun kekuatan memberontak. Pusaka dapat dirampas dan pemberontakan gagal. Akan tetapi, kini pusaka berada di tangan seorang datuk lain seperti Cucut Kalasekti, tentu akan disalahgunakan lagi! Sungguh, dunia tidak akan menjadi aman sebelum pusaka itu dapat kembali ke tangan kita dan kita serahkan kepada kekuasaan yang bijaksana"

   Melihat wajah yanq penuh keprihatinan dari ayah angkatnya Nurseta diam-diam merasa bersalah. Seolah-olah dia yang telah melepaskan pusaka itu ke tangan Wulansari.

   "ayah, saya berjanji akan mencari pusaka Ki Ageng Tejanirmala sampai dapat. Saya akan pergi ke Blambangan."

   Ki Baka mengangguk-angguk.

   "Memang sudah menjadi tugasmu untuk mendapatkan kembali pusaka lambang ketenteraman dan perdamaian itu, Raden. Akan tetapi, sebelum kau pergi, marilah ikut bersarmku lebih dulu, kembali ke lereng Kelud."

   Ki Baka dan Nurseta lalu berpamit dari Panembahan Sidik Danasura dan Ki Baka menghaturkan terima kasih atas pertolongan kakek sakti itu yang telah menyembuhkannya dari ancaman maut karena luka pukulan Aji Margaparastra. Juga Narseta mohon doa restu dari gurunya itu yang memberkahi mereka dengan doa dan puja.

   "Akan tetapi, ayah. Sesungeuhnya saya.....saya belum mempunyai niat untuk mengikatkan diri dengan pernikahan."

   Untuk kesekian kalinya Nurseta menyatakan keberatan ketika Ki Baka menyatakan maksud hatinya untuk melamarkan Pertiwi, gadis dusun yang bermata lebar, manis dan lembut itu, setelah mereka tiba di padepokan Ki Baka di dekat puncak Gunung Kelud.

   Mereka duduk berhadapan di atas tikar, duduk bersila dan kini Ki Baka menatap wajah putera angkatnya dengan penuh selidik.

   "Raden Nurseta, kau sudah kuanggap sebagai anakku sendiri dan satu-satunya keinginan di hatiku adalah melihat kau menikah dan aku dapat menimang cucuku. Sudah digariskan oleh Sang Hyang Wisesa bahwa dalam kehidupan hanya ada tiga perkara yang terpenting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia. Suatu saat, kau pasti akan menikah dengan seorang wanita dan aku tidak menginginkan kau menikah dengan wanita yang keliru. Pertiwi adalah seorang gadis yang amat baik, lahir batin dan hal ini sudah kuketahui benar Raden. Coba katakan, apakah Pertiwi mempunyai kekurangan dan cacat-cela, dan apakah la tidak pantas untuk menjadi isterimu?"

   Nurseta merasa terharu mendengar ini. Ia tahu betapa besar kasih sayang Ki Baka kepadanya dan dia membayangkan Pertiwi sebagai seorang gadis yang memang amat baik. Akan tetapi, wajah Wulansari terbayang di depan matanya, mengusir bayangan wajah Pertiwi dan ia merasa amat berat untuk mene-rima usul ayah angkatnya itu.

   "Ayah, memang saya tahu bahwa Pertiwi adalah seorang gadis yang amat baik, akan tetapi........ sungguh menyesal bahwa saya tidak....... tidak mencintanya"

   Ki Baka mengerutkan alisnya.

   "Hemmm, witing tresno jalaran soko kulino (cinta tumbuh dari pergaulan), Raden. Kalau kau sudah bergaul dengan Pertiwi, dalam waktu beberapa minggu saja, aku yakin kau akan jatuh cinta"

   Nurseta merasa terdesak dan tiba-tiba ia merasa kasihan kepada ayah angkatnya. Perlu apa berbohong? Bukankah ayah angkatnya ini adalah seorang yang amat bijaksana? Lebih baik berterus terang, bahkan dia dapat mengharapkan bantuan ayah angkatnya untuk mempertimbangkan keadaannya. Ia menenangkan atinya yang berguncang, lalu berkata dengan suara yang tenang pula.

   "Maaf, ayah. Sesungguhnya, sudah ada gadis yang saya cinta dengan sepenuh hati saya."

   "Benarkah? Dan siapa gadis itu, kalau aku boleh mengetahuinya?"

   Nurseta menggigit bibirnya. Dalam pertanyaan itu sudah terkandung kepahitan dari kekecewaan. Akan tetapi ia tidak boleh kepalang tanggung, membuat pengakuan setengah- setencah saja.

   "Ayah, gadis itu bukan lain adalah Wulansari."

   "Ee-lha-dha-lah......! Sudah kukhawatirkan hal itu yang telah terjadi! Anakku, angger Raden Nurseta, sekali ini terpaksa aku mengatakan bahwa kau telah membuat kekeliruan"

   Nurseta mengangkat muka memandang wajah ayah angkatnya itu dengan heran dan serkejut.

   "Bapak, kekeliruan apakah yang telah saya lakukan?"

   "Pilihanmu itulah yang keliru! Anakku. memilih seorang calon isteri harus mempertimbangkan beberapa hal, sedikitnya dua hat terpenting tak boleh dilewatkan. Pertama adalah keadaan gadis itu sendiri dan ke dua. adalah keadaan orang tuanya. Gadis itu tidak diketahui asal usulnya, dan mendengar ceritanya bahwa ia membawa pergi Ki Ageng Tejanirmala, sudah mendatangkan keraguan apakah ia seorang gadis baik-baik. Kemudian kalau kita meiihat keadaan orang tuanya, lebih meragukan lagi. Ia adalah cucu dari Cucut Kalasekti, dan tahukah kau siapa Cucut Kalasekti itu? Seorang datuk sesat yang terkenal amat jahatnya, menjadi raja sekalian penjahat di daerah Blambangan! Kalau kakeknya seperti itu, mana mungkin mengharapkan cucunya adalah seorang yang baik-baik dan boleh dipercaya? Tidak, angger, terus terang saja, aku tidak setuju dengan pilihanmu itu, tidak setuju kalau kau memilih Wulansari sebagai calon isterimu."

   "WAJAH NURSETA sebentar merah sebentar pucat. Terjadi perang di dalam batinnya. Da ingin menolak semua tuduhan dan pertimbangan ayah angkatnya, akan tetapi dia tidak tega. Ayah angkatnya telah demikian baiknya memeliharanya sejak kecil, mengasihinya seperti anak sendiri. Dan diapun tidak merasa heran kalau ayah angkatnya itu meragukan kebaikan Wulansari, karena memang dia sendiri belum yakin benar akan kebaikan gadis itu, belum ada bukti buktinya sehingga sukar baginya untuk membela Wulansari. Wulansari kini telah menjadi seorang gadis yang sakti mandraguna, makin cantik menarik, dan kalau dia mau berterus terang, Wulansari juga kini menjadi seorang gadis yang berbati keras dan ganas, tidak ragu untuk membunuhi orang begitu saja seperti yang pernah ia lakukan terhadap para bajak sungai dan terhadap Jumirah. Sebaliknya, ayah angkatya sudah tahu benar akan watak Pertiwi?

   "Bagaimana, angger? Dapatkah kata-kataku tadi kau terima, ataukah kau masih dapat menunjukkan bahwa pendapatku tentang Wulansari tadi salah dan hendak membela gadis itu?"

   Dia menggeleng kepala.

   "Tidak, ayah. Terus terang saja, saya sendiri juga masih ingin menyelidiki keadaannya yang sesungguhnya kalau saya mencari pusaka kita itu di Blambangan"

   "Wah, sudah jelas, bukan? Pertiwi jauh lebih baik dan lebih meyakinkan untuk menjadi seorang isteri yang baik"

   "Akan tetapi........ bagaimana kalau ia tidak suka kepada saya, ayah? Tidak seperti Wulansari yang mencinta saya"

   Ki Baka tertawa.

   "Hahahi, Pertiwi amat mengagumimu dan cinta kepadamu, Raden. Hal ini kuketahui benar semenjak ia bertemu denganmu. Karena itu, jangan kau khawatir dan sekarang juga kita berkunjung kepada orang tuanya dan mengajukan pinangan"

   Nurseta tidak dapat mengelak lagi, tidak berani membantah. Ki Baka telab melimpahkan kebaikan kepadanya dan belum pernah dia membalas orang tua ini. Kalau sekarang dia menolak, tentu Ki Baka akan menjadi berduka sekali dan hal itu dianggapnya tidak semestinya. Biarlah, dia akan membalas segala kebaikan Ki Baka dengan mentaati permintaannya ini.

   Nurseta tidak berani membantah dan dia hanya lkut saja ketika Ki Baka mengajaknya berkunjung ke dusun itu, ke rumah Ki Purwoko, ayah Pertiwi yang tinggat di dusun Sintren, di lereng Gunung Kelud. Kedatangan mereka tentu saja disamhut penuh pmghormatan oleh Ki Purwoko, isterinya dan puterinya dan mereka dijamu seperti dua orang tamu kehormatan.

   Ketika pinangan diajukan, tentu saja keluarga itu menyambutnya dengan penuh kebanggaan dan kegembiraan, dan Pertiwi, tanpa ditanya dua kali, sudah lari sambil membuang kerling ke arah Nurseta dan tersenyum manis, bersembunyi ke dapur rumah! Ketika ia dibujuk lbunya untuk meugeluarkan hidangan dan minuman, ia telah berganti pakaian baru dan bersisir rapi, dan dengan sikap malu-malu, namun menambah keayuannya, ia menghidangkan makanan dan minuman itu kepada dua orang tamunya.

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   

Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini