Sejengkal Tanah Percik Darah 11
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Ketika mereka meninggalkan dusun Sintren. Nurseta berkata kepada Ki Baka, suaranya lembut namun mengandung ketegasan.
"Ayah, saya sudah memenuhi keinginan hati ayah, akan tetapi harap ikatan jodoh ini tidak dilangsungkan pernikahan dengan tergesagesa. Saya masih mempunyai janji dan tugas, yaitu saya akan mencari Ki Ageng Tejanirmala sampai berhasil membawa pulang pusaka itu. barulah saya akan mau melangsungkan pernikahan. Sebelum itu, harap ayah maafkan, saya belum bersedia untuk melakukannya"
Ki Baka memandang anak angkatnya, Diam-diam ada juga kekhawatiran di dalam hatinya. 'Kau hendak pergi ke Blambangan, Raden? Dan dapatkah kupercaya bahwa kau tidak akan terpikat oleh wanita lain dan melupakan ikatan perjodohan dengan puteri Ki Purwoko di lereng Kelud?"
Nurseta mengerutkan alisnya.
"Sejak kecil saya menerima gemblengen dan petunjuk dari ayah bahwa bagi seorang satria, kehormatan lebih berharga dari pada nyawa. Saya sudah berjanji dan hanya
(Lanjut ke Jilid 12)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
kematian yang dapat membuat saya ingkar janji terhadap keluarga calon isteri saya di dusun Sintren"
"Bagus! Tenanglah kini naitku, Raden. Kapan kau hendak berangkat?"
"Secepatnya lebih baik, ayah. Hari ini juga saya akan berangkat"
Setelah tiba di pondok Ki Baka. Nurseta lalu mengemasi pakaian bekalnya untuk perjalanan yang jauh itu, lalu, pamit dan mohon doa restu dari Ki Baka yang melepas kepergiannya dengan hati lapang. Bagaimanapun juga, dia merasa yakin bahwai anak angkatnya itu tidak akan ingkar janji terhadap ikatan jodoh itu,
Rumah itu besar dan angker, seperti sebuah istana tua yang menyendiri, berdiri bagaikan seorang raksasa bertapa di tempat sunyi itu, di lembah Kali Setail sebelah utara Rumah besar kuno itu tidak mempunyai tetangga karena tempat itu jauh dari pedusunan, dan dukuh yang paling dekat adalah dukuh Benculuk, masih jauh di sebelah utaranya, terpisah oleh daerah yang liar berhutan dan berawarawa.
Bagi orang yang belum mengenal daerah ini tentu akan merasa ngeri melihat rumah besar yang nampak sunyi tak berpenghuni itu, akan mengira bahwa rumah itu tentulah rumah setara atau rumah orang jaman dahulu yang kini sudah tidak dipergunakan lagi dan menjadi tempat tinggal iblis dan setan penjaga hutan bukit dan sungai. Akan tetapi bagi mereka yang mengenal daerah ini, rumah besar itu lebih mengerikan lagi. Bahkan mereka, orang-orang sekitar daerah Blambangan dan Banyuwangi, tidak ada yang berani memasuki daerah lembah Kali Setail di mana terdapat rumah Itu. Semua orang tahu belaka, atau pernah mendengar bahwa rumah besar itu adalah tempat tinggal Ki CuCut Kalasekti, seorang kakek yang selain sakti mandraguna, juga berwatak aneh dan dapat berbuat luar biasa kejamnya terhadap siapapun juga. Ki Cucut Kalasekti terkenal sebagai datuk sesat yang ditakuti penjahatpenjahat biasa, seperti perampok, bajak sungai, maling dan sebagainya, merasa ngeri untuk bertemu dengan datuk ini! Salahsalah, sekali tampar atau sekali tendang saja nyawa mereka akan melayang kalau kakek itu sedang marah.
Memang ada yang kadang kadang mernasuki daerah itu dan berkunjung ke rumah besar, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yang sudah mempunyai hubungan, misalnya mereka yang datang untuk memenuhi pesanan keperluan seharihari dari para pembantu rumah besar itu. Dan mereka ini tidak pernah diganggu, bahkan tidak pernah bertemu muka dengan Ki Cucut Kalasekti. Yang mereka kenal hanyalah dua orang wanita tua yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah besar itu, dan mereka mengenal pula seorang gadis cantik jelita yang bernama Wulansari, cucu Ki Cucut Kalasekti yang kadang-kadang menemui mereka kalau mereka datang mengantarkan telur, daging, sayursayur dan sebagainya lagi.
Memang, rumah besar menyeramkan itu adalah tempat tinggal Ki Cucut Kalasekti. Sudah puluhan tahun dia bertapa seperti menyembunyikan diri di rumah besar itu, tanpa teman seorangpun. Hanya kadang-kadang saja dia keluar dan setiap kali dia keluar rumah, sudah pasti terjadi sesuatu yang mengerikan dan hebat di sekitar daerah Blambangan atau Banyuwangi. Tidak ada perbuatan jahat yang bagaimanapun dipantang oleh datuk ini. Benda apapun yang dikehendakinya, wanita manapun yang disukainya, milik orang atau bukan, bahkan barang milik seorang adipati sekalipun, atau wanita isteri orang, pasti takkan terlepas dari tangannya. Dan setiap kali ada yang berani mencoba menghalanginya, tentu orang itu akan tewas secara mengerikan.
Akan tetapi, terjadi perubahan semenjak kurang lebih lima tahun yang lalu dalam kehidupan Ki Cucut Kalasekti. Pada suatu hari, dia pulang bersama seorang gadis remaja, yaitu Wulansari dan gadis yang diaku sebagai cucunya itu tinggal bersamanya di rumah besar itu. Atas permintaan Wulansari pula maka Ki Cucut Kalasekti lalu mempergunakan dua orang wanita pembantu, dan semenjak itu, rumah itu nampak lebih bersih, dan ada beberapa orang langganan mengantarkan barangbarang kebutuhan mereka. Anehnya, biarpun tinggal di rumah terasing, temyata Ki Cucut Kalasekti memiliki banyak uang sehingga Wulansari tak pernah kekurangan uang untuk membeli segala keperluan rumah tangga itu.
Tentii akan mengherankan hati orang lain kalau melihat betapa sikap Ki Cucut Kalasekti terhadap gadis itu. Biasanya, orang sakti ini amat keras dan tidak pernah mau mengalah, juga sombong dan kasar. Namun, terhadap Wulansari, cucunya, dia bersikap manis dan sabar sekali, bahkan dengan teliti dia mulai menggembleng gadis itu dengan ilmuilmunya vang aneh dan menggiriskan. Karena sikap yang amat baik ini, Wulansari juga merasa suka kepada kakeknya yang baik kepadanya itu, apa lagi karena eyangnya itu mengajarkan ilmuilmu yang hebat kepadanya. Untuk ilmu bermain di dalam air, Ki Cucut Kalasekti membawa gadis itu ke Teluk Pangpang dan di tempat yang sunyi itu, di antara gulungan ombak Selat Bali yang kadang-kadang menggelora dan sebesar bukit, gadis itu digembleng dengan ilmu bermain di dalam air laut seperti seekor ikan saia !
Di bagian depan kisah ini telah diceritakan betapa Ki Cucut Kalasekti membawa lari Wulansari dari Teluk Prigi Segoro Wedi secara paksa, dan tak seorangpun dapat menghalanginya, bahkan Panembahan Sidik Danasura juga tidak berdaya karena dia melarikan Wulansari melalui lautan. Setelah berhasil melarikan Wulansari, kakek itu langsung mengajak Wulansari menuju ke timur, daerah Blambangan.
Mulamula Wulansari memang ketakutan dan tidak percaya kepada Ki Cucut Kalasekti, akan tetapi kakek itu mernbujuk dengan kata-kata halus dan sikap yang ramah dan baik sehingga akhirnya gadis itu percaya bahwa kakek itu memang eyangnya dan bersikap amat baik kepadanya.
"Eyang, aku tidak ingat lagi bahwa engkau adalah eyangku, juga aku tidak ingat lagi siapa adanya orang tuaku. Bagaimanakah aku sampai dapat berada di tempat yang jauh itu, mendapat kecelakaan, perahu yang kutumpangi terbalik dan aku hampir saja tewas kalau tidak ditolong oleh Ki Jembros dan Eyang Panembahan Sidik Danasura? Dan mengapa baru sekarang eyang datang mencariku? Mengapa pula eyang datang dan melarikan aku, tidak terang terangan saja minta kepada Eyang Panembahan yang tentu akan mengijinkan aku ikut pergi bersama eyangku sendiri?"
Hujan pertanyaan dari Wulansari ini disambut dengan tertawa bergelak oleh Ki Cicut Kalasekti. Mereka sedang berhenti melepaskan lelah di daratan, di tepi laut dan membuat api unggun di pantai itu. Kakek itu dengan kesaktiannya telah dapat membunuh beberapa ekor burung camar dengan sambitan batu dan memanggacg dagibg burung di api unggun.
"Wah, haha ha, pertanyaanmu seperti hujan datangnya! Ketahuilah, cucuku yang manis. Engkau adalah seoraog anak yatimpiatu, ayah ibumu tewas ketika mereka membantu gerakan perjuangan Ki Baya rrsetawan Singosari. Ayahlbumu tewas oleh para senopati di Singosaro, ingat hal ini baik-baik. Semua senopati Singosari adalah musuhmusuhmu. Engkau sendiri dilarikan seorang musuh dari Singosari, entah siapa. Dan mungkin engkau dilarikan dengan perahu di lautan sehingga engkau tibi di tempat ketika perahu itu terguling dan engkau diselamatkan Ki Jembros dan Panembahan Sidik Danasura. Ketika itu, aku sedang bertapa dan tidak mendengar tentang nasib ayah ibumu dan nasibmu. Ayahmu adalah mantuku, ibumu adalah anakku. Ketika aku menghentikan tapaku, baru aku mendengar bahwa beberapa tahun yang lalu orang tuamu tewas dan engkau dilarikan orang. Aku lalu mulai mencarimu dan akhirnya aku mendengar bahwa engkau berada di padepokan Panembahan Sidik Danasura. Aku mengenal siapa dia, dan karena dia amat sakti apa lagi di sana masih ada Ki Jembros, maka aku terpalsa melarikanmu, cucuku"
"Tapi, Eyang Panembahan adalah seorang yang berhati mulia. Kalau eyang datang menemuinya dan menerangkan duduknya perkara, tentu dengan senang hati beliau akan mengembalikan kepadamu"
"Hohohohaha ! Engkau lupa bahwa kita adalah musuhmusuh Kerajaan Singosan, ayah ibumu tewas di tangan para senopati Singosari. Tahukah engkau siapa Panembahan Sidik Danasura dan siapa pula Ki Jembros? Mereka adalah tokohtokoh yang setia kepada Singosari dan kalau mereka melihat aku, tentu mereka akan berusaha membunuhku yang dianggap musuh besar!"
Demikianlah, Wulansari lalu mengikuti kakeknya menuju ke rumah besar yang menyeramkan itu. Ia amat disayang oleh Ki Cucut Kalasekti, maka iapun menganggap bahwa kakeknya itu seorang yang amat baik dan iapun berlatih ilmu kedigdayaan dengan amat tekun. Cerita kakeknya tentang ayah ibunya yang terbunuh oleh para senopati Singosari membuat gadis ini menjadi bingung dan hal ini merubah wataknya menjadi dingin dan ganas. Apa lagi karena kakeknya selalu membangkitkan dendam sakit hati terhadap Singosari yang dianggapnya pembunuh kedua orang tuanya.
Dalam keadaan seperti itulah Nurseta menjumpai gadis itu, ketika Wulansari menerima tugas dari kakeknya untuk menyeltdiki, tidak mencampuri, pemberontakan Mahesa Rangkah, dan kalau mungkin untuk mencari dan merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejenirmala.
Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati Wulansari ketika ia mendapat kenyataan bahwa Nurseta, pemuda yang selalu dikenang dan dirindukannya itu, mencinta dirinya! Dan lebih gembira lagi karena ia berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala seperti dipesan guru atau juga kakeknya. Setelah berpisah meninggalkan Nurseta yang telah menjadi kekasihnya, gadis ini lalu melakukan perjalanan secepatnya pulang ke Blambangan.
Tentu saja kedatangannya disambut gembira oleh ki Cucut Kalasekti. Ketika kakek ini menerima tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, dia mengamati tombak itu dan setelah merasa yakin bahwa tombak itu adalah tombak pusaka aseli, dia mencium tombak itu, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan diapun menari-nari saking girangnya.
"Bagus, bagus sekali! Engkau memang hebat, Wulansari cucuku yang manis! Banyak tokoh sakti memperebutkan pusaka ini tanpa hasil, dan kini engkau cucuku yang manis mampu menguasainya! Hahaha, sekarang kita akan menjadi orang-orang mulia, menjadi orang-orang yang kaya raya. Hahaha!"
Melihat kakeknya menari-nari seperti anak kecil itu, Wulansari terbelalak keheranan. Kakeknya adalah seorang yang amat sakti, berusia sudah tua dan seorang ahli tapa, akan tetapi sekarang menari-nari seperti anak kecil diberi kembang gula atau seorang yang kesurupan setan. Kalau orang lain yang melihat kakek itu, tentu akan menjadi seram. Kakek itu mukanya kebiruan, bentuk mukanya seperti seekor ikan dengan moncong meruncing, dan tubuhnya demikian dekil dan penuh keriput sehingga kelihatannya seperti bersisik. Jubahnya adalah jubah pertapaan berwarna kuning. Dan kini dia menari-nari berlenggak-lenggok girang sekali.
"Eyang, apa yang eyang maksudkan? Bagaimana tombak pusaka ini akan dapat membuat kita menjadi orang mulia dan kaya raya?"
Kakek itu masih tertawa-tawa, akan tetapi tidak menari-nari lagi ketika menjawab sambil menyimpan tombak pusaka itu ke balik jubahnya.
"Tombak pusaka ini kalau kubawa ke Kediri dan kupersembahkan kepada Sang Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Dhaha, tentu akan ditukar dengan harta yang amat banyak bahkan kedudukan yang tinggi, sedikitnya adipati atau bupati yang menguasai suatu daerah, hahaha!"
"Akan tetapi, eyang. Aku merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala ini untukmu, bukan untuk raja di Kediri!"
"Benar, dan akulah yang akan mendapat untung besar, termasuk juga engkau. Apa artinya kedudukan tinggi, kemuliaan dan harta benda bagiku, kalau bukan untukmu, cucuku? Engkau akan menjadi seorang puteri bangsawan, cucu seorang adipati, kaya raya dan dhormati, hahaha. Dan engkau kelak hanya pantas berjodoh dengan seorang pangeran atau raja, atau adipati!"
"Akan tetapi, eyang. Tombak pusaka itu hanya kupinjam saja, dan sepatutnya dikembalikan kepada pemiliknya"
Tawa itu segera lenyap dan wajah yang menyeramkan itu kini berubah kemerahan, sepasang mata yang besar seperti mata ikan itu mendelik "Apa? Pinjam saja? Dikembalikan? Apa maksudmu?"
"Begini, eyang. Tombak pusaka itu milik ayah dari kakangmas Nurseta yang dirampas oleh Ki Buyut Pranamaya, yaitu guru dari Mahesa Rangkah yang memberontak terhadap Singosari. Di dalam pertempuran, kakangmas Nurseta berebutan pusaka itu dengan Ki Buyut Pranamaya. Aku membantu kakangmas Nurseta dan aku berhasil merampas tombak pusaka ini dan kubawa lari, eyang. Aku hanya pinjam saja dan pusaka ini harus dikembalikan kepada kakangmas Nurseta"
Kalau dia datang ke sini"
"Dia akan datang ke sini?"
Kakek itu memandang ke luar dan nampaknya khawatir.
"Siapa sebetulnya Nurseta itu?"
"Eyang pernah berjumpa dengan dia, ketika eyang hendak melarikan aku dari Teluk Prigi Setoro Wedi dahulu itu.
"
"Ah, bocah nekat itu?"
"Benar, eyang. Dia adalah murid Eyang Panembahan Sidik Danasura"
"Mau apa dia datang ke sini?"
Setelah hidup bersarna kakeknya, Wulansari tak pernah menyembunyikan rahasia hatinya maka kinipun dengan jujur ia berkata.
"Dia datang untuk meminang aku, eyang. Kami sudah saling mencinta"
"Pouahh........!"
Kakek itu meludah.
"Saling mencinta? Enak sajal Engkau adalah seorang calon puteri adipati. Tidak mungkin sembarang orang saja meminangmu!"
"Tapi, eyang......."
"Sudahlah, Wulansari. Urusan itu kita selesaikan kelak saja kalau dia sudah datang"
Kata Ki Cucut Kalasekti dengan cerdik, karena dia tahu akan kekerasan hati cucunya itu.
"Sekarang, yang terpenting kita harus segera pergi ke Kediri, mengbadap Sang Prabu di Dhaha. Bawalah bekal pakaianmu yang terbaik, kita berangkat sekarang juga"
Mendengar ucapan kakeknya yang agaknya tidak berkeras menolak Nurseta, Wulansari tidak membantah. Dia harus dapat dibujuk agar suka menerima kakangmas Nurseta, pikirnya, dan untuk itu, kakeknya harus ditaati perintahnya, disenangkan hatinya Ia lalu pergi berkemas dan pada hari itu juga, berangkatlah kakek dan cucunya itu menuju ke pantai karena Ki Cucut Kalasekti lebih suka melakukan perjalanan dengan perahu, melalui sepanjang pantai laut selatan. Tidak sembarang orang berani melakukan perjalanan dengan perahu seperti ini karena laut selatan terkenal dengan ombaknya yang dahsyat Namun, kakek dan cucu itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan semakin besar ombak mengalun dan mempermainkan perahu mereka, keduanya merasa semakin gembira. Dengan cekatan sekali, mereka memainkan dayung dan menguasai perahu itu sepenuhnya, meluncur di atas ombak yang kadang-kadang setinggi bukit itu! Permainan itu sungguh berbahaya sekali, bercanda dengan maut. Para nelayan, betapapun pandainya dan penuh pengalaman, tidak akan berani menentang maut seperti ini. Perahu mereka tentu akan dihempaskan ke batu karang oleh ombak yang dahsyat dan akan hancur berkeping-keping bersama tubuh mereka. Namun, Ki Cucut Kalasekti dan Wulansari memiliki tenaga sakti yang kuat sehingga mereka dengan mudahnya dapat menguasai petahu sehingga tetap berada di atas air. Sedikit saja dayung mereka menyentuh permukaan air, perahu mereka itu sudah meloncat ke atas dengan ringannya, mengatasi lidah-lidah ombak. Mereka berdua menuju ke barat, ke arah pantai Kerajaan Dhaha atau Kediri.
"Kakangmas Nurseta.........I"
"Eh, engkaukah itu diajeng Pertiwi........?"
"Nurseta yang turun dari padepokan Ki Baka ketika hari masih pagi sekali, melihat gadis itu muncul dalam keremangan pagi buta dan tahulah dia bahwa gadis itu agaknya memang menghadangnya di situ sejak masih gelap tadi. Dengan langkah perlahan dan sikap malu-malu Pertiwi mendekat. Kaku dan canggung rasanya menghadadapi pemuda ini yang biasanya dianggapnya sebagai seorang pemuda bangsawan, yang disebutnya raden, dan kini ia menghadapinya sebagai seorang tunangan, seorang calon suami. Dikuat-kuatkan hatinya untuk menghadang di situ, sejak ayam belum berkokok tadi, betapapun canggung dan malunya, karena di sudut hatinya, ia merasa amat berat ditinggalkan pemuda calon suaminya ini yang sejak dahulu telah dipandangnya dan dikenangnya dengan hati penuh kagum.
"Kakangmas Nurseta, aku mendengar....., kakangmas hendak........ hendak pergi jauh sekali?"
"Hemm, bagaimana gadis ini dapat mendengar bahwa dia hendak pergi?"
Nurseta maklum bahwa tentulah ayah angkatnya, Ki Baka yang memberitahukan. Siapa lagi kalau bukan ayah angkatnya yang tahu akan niatnya untuk pergi jauh ke Blambangan?
"Benar, diajeng Pertiwi. Aku hendak pergi jauh ke timur, ke Blambangan"
"Ahh........I Tentu amat jauh sekali dan ........ amat lama sekali, kakangmas........"
"Ya, jauh dan mungkin lama, diajeng. Akan tetapi aku melaksanakan tugas yang amat penting, dan aku tidak akan pulang sebelum. tugas itu selesai, diajeng Pertiwi"
Gadis itu menundukkan mukanya, menahan keharuan dan Kedukaan hatinya, bahkan menahan air matanya "Aku tahu....... aku mengerti"
Ia mengangguk-angguk.
"dan aku........aku akan menantimu dengan setia, kakangmas Nurseta"
Tersentuh rasa bati Nurseta. Pemuda ini memang memiliki perasaan yang amat peka.
Gadis ini seorang gadis pegunungan yang polos, jujur dan gadis seperti ini memiliki cinta kasih dan kesetiaan yang tiada bandingnya. Sungguh kasihan kalau dia harus menipu seorang sadis seperti Pertiwi. Sebaiknyalah kalau dia berterus terang terhadap gadis ini, dari pada kelak menyakiti hatinya. Lebih baik pahit sekarang namun jujur. Pahit di muka menjadi jamu, sebaliknya pahit di belakang kelak akan menjadi penyakit, pikirnya dengan hati tetap.
"Tentu saja, diajeng Pertiwi. Kita sudah bertunangan, sudah teutu engkau akan setia kepadaku dan akupun akan setia kepadamu. Setelah selesai tugasku, sudah pasti aku akan kembali dan melangsungkan pernikahan kita. Akan tetapi, ada suatu pengakuan yang kuharap engkau akan dapat menerimanya dengan hati lapang, diajeng. Siapkah engkau menerima, pengakuanku, betapapun pahitnya hal itu bagimu?"
Pagi hari yang remang-remang itu tidala mampu menyembunyikan kilatan sepasang mata yang jernih itu ketika Pertiwi mengangkat muka, membelalakkan matanya mengamati wajah pria yang telah meruntuhkan hatinya. Ada sesuatu dalam kata kata dan sikap calon suaminya itu yang membuat hatinya merasa tegang dan tidak nyaman.
"Pengakuan apakah itu, kakangmas? Jangan meragu, katakanlah. Aku telah menjadi milikmu lahir batin, apapun yang kau kehendaki, bahkan selembar nyawa inipun kalau kau minta akan kuserahkan dengan hati dan tangan terbuka penuh kerelaan"
Nurseta memejamkan matanya. Bukan main gadis ini, polos dan murni! Bagaimana mungkin dia akan menipunya? Tidak, dia harus berterus terang karena gadis seperti ini berhak penuh untuk mengetahui segalanya. Dia harus mengbadapi kepolosan dan kemurnian gadis ini dengan kejujuran pula.
"Diajeng Pertiwi, ketahuilah bahwa perjodohan kita terlaksana karena kehendak ayahku, karena aku harus mentaati kehendak beliau. Sesungguhnya, diajeng, walaupun aku merasa kagum, suka dan hormat kepadamu, namun terus terang saja aku.......... tidak cinta padamu, diajeng, karena sudah ada gadis lain yang menempati hatiku"
Nurseta berhenti sebentar, melihat betapa leher gadis itu terkulai dan mukanya menunduk dalam sehingga dia tidak dapat melihat bagaimana keadaan wajah gadis itu. Maka disambungnya cepat.
"Maafkan aku, aku harus berterus terang padamu, aku tidak ingin menipumu dan aku ingin jujur. Engkau berhak mengetahui keadaan hatiku, diajeng. Maafkan aku......"
Sampai lama mereka berdiam diri. Pertiwi masih menundukkan mukanya dan kini nampak oleh Nurseta betapa ada air mata menetes, namun gadis itu tetap bertahan, tidak terisak. Agaknya gadis itu menerima tusukan batin yang dipertahankan sekuat mungkin. Kemudian, akhirnya ia menganggkat mukanya dan terkejutlah Nurseta. Muka itu demikian pucat! Walaupun cuaca masih remang-remang, namun dia melihat perubahan yang besar itu, dan sepasang mata yang basah itu nampak demikian sayu.
"Kakangmas Nurseta, pernahkah engkau melihat sebuah kelenting (tempat air) air jatuh dan pecah berkeping-keping? Seperti itulah perasaanku, hancur luluh tak mungkin utuh lagi, hanya bukan air yang mengalir keluar melainkan darah. Akan tetapi biarlah. Hanya aku ingin tahu, kalau memang demikian, kenapa engkau mau ketika Paman Baka mengajakmu meminang aku?"
"Sudah kukatakan tadi, diajeng, aku menerima kehendak Ayah Baka karena hendak membalas budi kebaikan beliau. Akan tetapi, aku telah menerimamu sebagai calon isteri, telah meminangmu dengan sah. Oleh karena itu, bagaimanapun juga, aku akan setia dan akan menetapi janji, kelak kalau sudah selesai urusanku, aku pasti akan kembali dan melangsungkan pernikahan kita"
Sepasang mata itu terbelalak.
"Pernikahan ........ tanpa........ tanpa........ cinta........?"
Kembali Nurseta merasa terharu.
"Apa boleh buat, diajeng. Agaknya Sang Hyang Tunggal sudah menghendaki demikian......."
Tiba-tiba Pertiwi mengangkat kedua tangan ke atas, memegangi kepalanya dan iapun menjerit.
"Tidaaaak....... tidaaaak.......!"
Dan iapun lari pergi dari situ.
Nurseta yang merasa iba dan terharu sekali, menggerakkan kaki hendak mengejar, namun ditahannya. Tidak ada gunanya, pikirnya, bagaimanapun juga, dia tidak boleh menghibur gadis itu dengan kepura-puraan. Biarlah, kenyataan pahit itu akan menjadi obat bagi Pertiwi. Dan diapun melanjutkan perjalanannya turun dari Pegunungan Kelud.
Pertiwi berlari terus sampai kakinya tersangkut rumput alang-alang (ilalang) yang tebal dan iapun terjerembab, jatuh terduduk di atas rumput ilalang. Dan di sini ia menangis tersedu-sedu, membiarkan semua perasaannya hanyut melalui air mata. Kecewa dan duka menghunjam-hunjam ulu hatinya dan tangisnya menjadi sesenggukan. Teringat ia betapa nasib buruk menantinya. Menikah dengan pria yang dipuja dan dicintanya, akan tetapi pria itu tidak mencintanya! Teringat ia akan bujukan ibunya, ibu tiri yang baru dua tahun dinikahi ayahnya, seorang janda tanpa anak dari dusun tetangga, Ibu tirinya membujuknya agar suka menjadi isteri putera lurah di dusun asal ibunya, Untuk apa menjadi isteri putera Ki Baka, demikian kata ibunya. Biarpun katanya bangsawan akan tetapi hidupnya miskin, untuk makan saja sukar ! Sebaliknya, kalau menjadi isteri anak lurah yang kaya raya itu, tentu akan hidup mulia dan serba kecukupan. Dan tentu saja ia menolak bujukan ibunya, karena ia tidak mencinta putera lurah itu. Ia hanya mencinta Nurseta, akan tetapi sekarang? Nurseta telah meminangnya dan ia merasa seperti diayun di surgaloka, di taman sorga yang indah dan membahagiakan. Hanya untuk mengalami kehancuran di pagi buta ini! Nurseta tidak mencintanya! Nurseta mencinta gadis lain. Nurseta hanya memperisteri ia karena hendak membalas budi Ki Baka. Ah, semua kenyataan itu menghantamnya bertubi-tubi, seolah-olah ada yang meneriakkannya berulang kali.
Gadis yang sedang tenggelam dalam duka ini sama sekali tidak tahu bahwa ada sepasang mata mengamatinya dari balik semak-semak Sepasang mata yang tajam dan bersinar-sinar penuh gairah dari sebuah muka yang tampan. Dan pemilik mata itu, seorang pria berusia hampir lima puluh tahun yang tampan dan berpakaian mewah, tersenyum-senyum.
"Ki Ageng Tejanirmala........! Ya Jagad Dewa Bathara.......! Ha haha, benar ini Ki Tejanirmala. Sembah sujud dan terima kasihku kepada Sang Hyang Wisesa !"
Sang Prabu Jayakatwang, raja di Kediri itu berulang kali mengucap syukur dan menjunjung tinggi tombak pusaka itu di atas ubun-ubun kepalanya, tertawa-tawa dan tersenyum penuh kepuasan ketika dia menerima persembahan Ki Cucut Kalasekti yang datang menghadap kepadanya bersama Wulansari, cucunya.
"Hahaha, Ki Cucut Kalasekti! Pusaka ini memang benar Ki Ageng Tejanirmala dan kau menyerahkan pusaka ini kepadaku?"
"Benar sekali, Sribaginda. Hamba sengaja datang dari Blambangan untuk menghaturkan pusaka ini kepada paduka, agar dengan pengaruh pusaka Ki Ageng Tejanirmala ini paduka dapat menaklukkan dan memerintah dunia dengan bijaksana"
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk angguk, akan tetapi alisnya berkerut dan matanya menyambar dengan penuh kecerdikan.
"Paman Cucut Kalasekti, kami telah mendengar bahwa kau adalah seorang sakti dari Blambangan akan tetapi mengapa kau menyerahkan pusaka ini kepada kami yang menjadi raja di Dhaha?"
Sambil berkata demikian, sepasang mata yang cerdik dari Sang Prabu Jayakatwang mengamati wajah kakek itu penuh selidik.
"Ampunkan hamba, gusti. Sesungguhnya, tidak ada pamrih Iain dalam hati hamba selain ingin menghambakan diri dan berbakti kepada paduka yang hamba anggap satu-satunya junjungan yang paling bijaksana dan tepat untuk memerintah dunia"
Kembali Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang berpengalaman, diapun maklum bahwa dengan kata-kata "ingin mengabdi dan berbakti", kakek ini mengharapkan kedudukan sebagai imbalan jasanya. Hal ini baik sekali, pikirnya. Selain memang sudah sepatutnya kalau pusaka sehebat Ki Ageng Tejanirmala itu ditukar dengan kedudukan dan kemuliaan, juga dia sudah mendengar bahwa Ki Cucut Kalasekti merupakan seorang jagoan yang sakti mandraguna dan tenaganya tentu saja amat berguna bagi Kediri.
"Baiklah, Paman Cucut Kalasekti, kami berterima kasih sekali kepada kau. Pusaka Ki Ageng Tejanirmala kami terima dan kami akan mengangkat kau menjadi seorang adipati, akan tetapi dengan satu syarat"
Bukan main girangnya rasa hati Ki Cucut Kalasekti mendengar bahwa dia akan diangkat menjadi seorang adipati, akan tetapi perasaan orang ini disimpannya dengan baik. dan wajahnya nampak biasa saja ketika dia berkata dengan sembab.
"Harap paduka jelaskan, apakah syarat itu, pasti hamba akan sanggup memenuhinya"
"Syarat itu juga merupakan kewajiban, Paman Adipati!"
Kata Sang Prabu Jayakatwang.
"Pertama. tentang Ki Tejanirmala yang kini berada di tangan kami, harap dirahasiakan dari siapapun juga. Dan ke dua, setelah kau menjadi adipati, tentu saja kami mengharapkan kesetiaan dan bantuanmu apa bila Kerajaan Kediri membutuhkannya sewaktu-waktu"
Ki Cucut Kalasekti segera menyembab.
"Tentu saja, gusti. Hamba akan memegang teguh kedua syarat itu, dan hamba bersumpah setia"
"Bagus! Nah, Paman Adipati, mulai sekarang kau menjadi Adipati Satyanegara di Bendowinangun. Akan tetapi, siapakah gadis yang ikut menghadap bersamamu ini, Paman Adipati?"
Saking girangnya menerima pangkat adipati, ingin rasanya Ki Cucut Kalasekti bersorak dan tertawa. Akan tetapi ditahannya semua keriangan itu dan diapun memperkenalkan.
"Ia adalah cucu hamba bernama Wulansari, gusti, dan sesungguhnya, ialah yang berhasil memperoleh pusaka Ki Tejanirmala"
"Ee, lhadhalah! Sudah cantik jelita dan manis, masih sakti mandraguna lagi!"
Sang Prabu Jayakatwang memuji. Raja ini sebagai seorang pria normal tentu saja tertarik akan kecantikan Wulansari, akan tetapi dia bukan sekedar pria mata keranjang, melainkan lebih lagi, yaitu memiliki kecerdikan. Kalau saja dia bisa mendapatkan gadis ini, sebagai selirnya berarti dia memiliki seorang pengawal pribadi yang amat boleh diandalkan untuk menjaga keselamatannya.
"Kalau kau ingin menghambakan diri di dalam istana, kami akan menerimamu dengan gembira sekali, Nini Walansari"
Katanya.
Wulansari menghaturkan sembah.
"Ampunkan hamba, gusti. Akan tetapi hamba lebih suka membantu kakek hamba yang baru saja menduduki jabatan baru"
"Haha, seorang cucu yang manis dan berbakti. Baikiah, hal itu dapat dibicarakan kelak"
Sang Prabu Jayakatwang lalu mengeluarkan perintah agar semua yang menyaksikan pemberian pusaka Ki Tejanirmala itu merahasiakan hal ini, dan juga mengumumkan pengangkatkan Ki Cucut Kalasekti menjadi Adipati Satyanegara di Bendowinangun, daerah dekat Kali Cempur di sebelah selatan.
Ssng Prabu Jayakatwang memang seorang yang amat cerdik. Dia tidak dapat dibandingkan dengan orang-orang ambisius seperti Mahesa Rangkah yang didukung gurunya, Ki Buyut Pranamaya, yang begitu memperoleh tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala lalu cepat berusaha melakukan pemberontakan. Tidak, Sang Prabu Jayakatwang penuh perhitungan, tidak sembrono seperti itu. Walaupun dia percaya akan keampuhan Ki Tejanirmala, namun dia tetap waspada. Biarpun sejak dahulu ada dendam dalam hatinya untuk membangun kembali kejayaan Kediri, untuk menundukkan Singosari dan semua daerah, namun dia tahu bahwa hal itu tidaklah mudah dan sekali gagal berarti kehancuran Kediri dan keluarganya. Biarpun Tejanirmala telah berada di tangannya, namun dia harus memupuk kekuatan, dia harus bersabar dan menanti tibanya saat yang paling tepat untuk bergerak.
Ki Cucut Kalasekti dan Wulansari kembali ke gedung tua mereka di Blambangan untuk berkemas dan bersiap-siap pindah ke tempat kediaman mereka yang baru, yaitu sebagai adipati di Bendowinangun. Rumah kadipaten di Bendowinangun juga sedang diperbaiki dan dibangun, untuk menjadi tempat tinggal baru bagi adipati baru itu. Kini, kakek dan cucu itu kembali ke Blambangan untuk berkemas. Semenjak meninggalkan istana kerajaan Kediri, Ki Cucut Kalasekti nampak gembira sekali, sebaliknya Wulansari tidak kelihatan gembira. Ia bahkan merasa tidak senang harus meninggalkan rumah lama di Blambangan, di dekat Kali Setail itu karena tempat yang sunyi itu amat disenanginya. Selelah nanti pindah, ia akan tinggal di sebuah istana kadipaten dan di tempat ramai, dikelilingi hamba sahaya dan banyak pembantu.
Ada satu hal yang membuat Wulansari menjadi semakin tidak senang dan wajahnya cemberut saja, yaitu ketika kakeknya menyatakan bahwa ia patut menjadi selir Sang Prabu Jayakatwang. Bahkan pagi hari ini, ketika mereka berkemas, kakeknya mengulang lagi keinginan hatinya.
"Kau tahu, Wulan, Sang Prabu Jayakatwang jatuh hati kepadamu!"
"Ihh! Eyang ini ada-ada sajal"
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Wulansari cemberut.
"Aku tidak percaya!"
"Sungguh, cucuku. Betapa sinar mata beliau itu penuh gairah ketika memandang kepadamu"
Wulansari mencibirkan bibirnya yang merah membasah.
"Huh, setiap orang laki-lakipun
memandang kepadaku seperti itu, eyang. Apa anehnya itu?"
"Hahaha, memang benar, karena engkau seorang gadis yang arrat menggairahkan, cantik jelita, manis dan memiliki bentuk tubuh yang hebat. Akan tetapi, pandang mata para laki-laki itu tidak masuk hitungun, cucuku. Tidak demikian dengan pandang mata yang keluar dari sepasang mata Sribaginda Rija!"
"Ah, sudahlah, Eyang Aku tidak ingin mendengar lagi, dan aku tidik perduli apakah Sribaginda suka kepadaku atau tidak. Aku tetap tidak percaya, mungkin Eyang hanya mengada-ada saja!"
"Hushh, siapa mengada-ada, Terus terang saja, sebelum kita berangkat, ada utusan pribadi Sribaginda rnenemui aku dan menyampaikan pesan bahwa apa bila kita setuju, Sribaginda akan suka sekali menarikmu ke dalam keputren istana untuk menjadi seorang garwaselir beliau......"
"Apa? Aku tidak sudi menjadi selir!"
Teliak Wulansari"
"Jangan bodoh, cucuku! Menjadi selir lebih tinggi derajatnya dari pada menjadi isteri Adipati sekalipun. Lebih lagi, kalau engkau menjadi selir raja, dengan kemudaanmu, kecantikanmu dan dengan ilmu yang akan kuajarkan kepadamu, tentu raja akan tergila-gila dan bukan tidak mungkin dari selir terkasih engkau diangkat menjadi permaisuri! Wah, kalau sudah begitu, dunia berada di telapak kakimu, cucuku, dan aku akan ikut terangkat tinggi keatas, hahaha!"
"Sudah, sudah, Eyang, aku tidak mau dengar lagi! Ah, aku akan keluar mencaii hawa segar!"
Gadis itu lalu meloncat keluar dari dalam rumah besar itu dan lari ke tempat yang menjadi kesukaannya, yaitu di tebing yang curam sekali. Jauh di bawah sana nampak air laut. Dari tempat setinggi itu, air laut di bawah nampak tenang saja, padahal air laut di bawah itu bergelora terus, menghantam dinding karang di bawah. Tempat ini amat indah, juga amat sunyi dan sering sekali Wulansari pergi ke tempat ini, seorang diri untuk melamun atau untuk berlatih pencak silat. Hawanya sejuk. angin laut bersilir lembut, kadang-kadang amat kuatnya, dan udara sedemikian jernihnya sehingga langit selalu nampak cerah. Terutama sekali di waktu pagi hari, matahari nampak muncul dari permukaan laut di sebelah timur dan di waktu senja matahari tenggelam di balik bukit sebelah barat.
Kini Wulansari tidak dapat menikmati keindahan pemandangan alam di atas tebing itu dan ia duduk melamun, di dekat tebing. Orang lain akan merasa ngeri duduk di dekat tebing yang curam itu, karena sekali orang tergelincir jatuh ke bawah, kecuali kalau dia mempunyai sayap dan dapat terbang seperti burung, tubuhnya tentu akan hancur lebur menimpa batu-batu karabg di bawah sana, lalu diterima ombak yang ganas. Akan tetapi Wulansari adalah seorang gadis yang sakti dan amat tabah. Ia duduk melamun, kadang-kadang menjenguk ke bawah.
Sudah berkali-kali kakeknya memperingatkan agar ia jangan bermain-main di tebing itu. Terlalu berbahaya tempat itu, pesan eyangnya. Namun, semakin dilarang, semakin tertarik hatinya dan akhirnya ia seperti jatuh cinta pada tempat itu. Dan kakeknya akhirnya mendiamkannya saja karena maklum bahwa cucu itupun dapat melindungi diri sendiri dengan baiknya.
Tiba-tiba Wulansari membalikkan mukanya, memandang ke arah belakang karena pendengarannya yang tajam dan perasaannya yang peka seperti memberitahu bahwa ada orang datang menghampirinya. Dan benar saja, ia melihat seorang pria muda mendaki tebing itu dan begitu meiihat bentuk tubuh pria itu, ia meloncat berdiri dan menyongsong kedatangannya.
"Kakangmas Nurseta.......!"
Teriaknya dengan penuh keriangan, berlari menghampiri sambil merentangkan kedua lengannya.
"Diajeng Wulansari........!"
Mereka berpelukan, Wulansari merangkul dengan eratnya, seolah-olah hendak melekatkan lubuhnya dengan tubuh pemuda itu agar lidak sampai berpisah lagi.
"Kakang....... kakangmas Nurseta........, betapa rinduku kepadamu, kakangmas........!"
Katanya lagi dan entah siapa yang rnendabului, akan tetapi mereka sudah saling rangkul, saling cium, melepasban seluruh kerinduan hati mereka.
Akhirnya Nurseta yang dapat menenangkan diri dan dengan lembut dia merangkul pundak gadis itu dan berkata.
"Diajeng, mari kita duduk vang baik di sana dan bicara dengan tenang"
Wulansari mengangguk, dan dapat menenangkan hatinya, lalu sambil bergandeng tangan mereka menuju ke tepi tebing di mana terdapat beberapa buah batu yang halus dan enak untuk menjadi tempat duduk.
Di atas sebuah batu panjang, mereka duduk berdampingan dan Wulansari dengan sikap manja dan rnencina , menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu. Nurseta merangkulnya dan mengusap-usap rambut kepala yane hitam halus dan panjang itu.
"Kakangmas Nurseta, sungguh aku merasa berbahagia sekali bahwa engkau datang begini cepat, tepat pada saat aku amat men butuhkanmu. Enckau tentu datang untuk melamarku, bukan?"
Pertanyaan ini menusuk perasaan Nurseta. Kaiau saja dia dapat membenarkan dan mengangguk. Akan tetapi tidak, dia menggeleng dan menarik napas panjang.
"Sayang sekali tidak, diajeng. Aku datang untuk minta kembali tombak pusaka Ki Ageng Teianirmala darimu"
Melihat gadis itu tersentak kaget, Nurseta melanjutkan.
"Aku telah bertanya-tanya dan mendapatkan di mana tempat tinggal eyangmu. Ki Cucut Kalasekti dan tadi aku melihat engkau berlari keluar dari rumah besar itu. Aku lalu mengikutimu dan menemuimu di sini. Untung sekali engkau keluar dari rumah itu sehingga aku tidak perlu menemui eyangmu......"
"Tapi..........tapi engkau sudah berjanji untuk datang melamarku! Mari kita temui eyang dan kau pinang aku untuk menjadi isterimu, kakangmas!"
"Nurseta menggeleng dan tersenyum pahit.
"Tidak, diajeng, aku datang untuk minta kembali tombak pusaka......."
"Persetan dengan tombak pusaka itu!"
Teriak Wulansari marah.
"Tombak pusaka itu uruan kecil, yang terpenting adalah perjodohan kita, kakangmas!"
"Aku sudah siap menghadapi ini"
Pikir Nurseta, Memang, di dalam perjalanannya, dia sudah membayangkan betapa dia harus berani menghadapi Wulansari dan berani pula mengadakan pengakuan seperti yang telah dilakukan di depan Pertiwi, hanya sekali ini, pengakuannya berbeda dan terbalik!
"Maaf, diajeng, terpaksa harus kukatakan bahwa aku tidak dapat melamarmu"
"Kenapa? Kenapa? Bukankah engkau cinta padaku, kakangmas?"
"Benar, diajeng......"
"Nah, engkau cinta padaku dan aku mencintaimu, apa lagi? Mengapa engkau tidak dapat melamarku?"
Desak gadis itu, penuh penasaran membayang di pandang matanya yang tajam menyelidik.
"Memang, aku cinta padamu, diajeng dan tidak ada wanita lain di dunia ini kecuali engkau yang kucinta. Akan tetapi, aku tidak mungkin dapat berjodoh denganmu karena aku telah dijodohkan dengan wanita lain"
"Ahhhh........"
Gadis itu menjerit.
"Engkau cinta padaku akan tetapi engkau dijodohkan dengan gadis lain? Kenapa engkau mau?"
Nurseta menundukkan mukanya.
"Karena itu kehendak ayah angkatku, dan aku tidak dapat menolak, aku harus berbakti kepadanya, membalas budi kebaikannya"
"Gila I Engkau gila, kakangmas Nurseta ! Akupun hendak dijodohkan dengan orang lain, bukan orang sembarangan. Aku telah dilamar oleh Sang Prabu Jayakatwang sendiri, Raja Dhaha! Dengar baik-baik, Sang Prabu Jayakatwang melamarku untuk menjadi selirnya dan aku menolak keras, karena aku cinta padamu, karena aku mengharapkan lamaranmu untuk menjadi isterimu. Dan kini engkau datang hanya untuk mengatakan bahwa engkau tidak dapat berjodoh denganku karena engkau telah berjodoh dengan gadis lain."
Di dalam suara gadis itu terkandung kemarahan besar.
"Terserah pendapatmu, diajeng. Agaknya memang Hyang Maha Tunggal telah menentukan bahwa kita tidak saling berjodoh"
"Mustahil! Ini bukan kehendak Hyang Maha Tunggal, melainkan kehendakmu! Kakangmas Nurseta, bersikaplah jantan, katakan terus terang apakah engkau mencinta gadis yang lain itu seperti engkau mencinta aku seperti katamu tadi?"
Nurseta menggeleng kepalanya dengan pasti.
"Tidak, diajeng, aku tidak cinta padanya"
"Engkau tidak cinta padanya namun akan menjadi suaminya, dan engkau cinta padaku akan tetapi tidak dapat menjadi jodohku. Adakah yang lebih gila dari ini? Kakangmas Nurseta, siapakah nama gadis itu dan di mana ia tinggal?"
Di dalam pertanyaan itu terkandung ancaman yang membuat hati Nurseta merasa ngeri.
"Engkau tidak perlu tahu, diajeng, tidak ada gunanya bagimu. Aku datang untuk minta kembali tombak pusaka Ki ageng Tejanirmala, harap kau suka memberikan kepadaku"
"Tidak! Tidak akan kuberikan, kecuali kalau engkau membatalkan perjodohanmu dengan gadis itu kemudian menikah dengan aku !"
"Tidak mungkin, diajeng!"
Keduanya telah berdiri dan saling berhadapan, dan Wulansari mengepal kedua tangannya, matanya berlinang air mata akan tetapi mengeluarkan sinar yang ganas penuh kemarahan.
"Sekali lagi, kakangmas Nurseta, demi cinta kita, maukah engkau membatalkan perjodohanmu dengan gadis itu lalu menikah dengan aku?"
"Tidak! Tidak mungkin......."
"Nurseta! Engkau menghaucurkan kebahagiaanku, engkau mematahkan semua harapanku! Kalau begitu, dari pada engkau terjatuh ke tangan wanita lain, lebih baik aku melihat engkau mati!"
Setelah berkata demikian secara Tiba-tiba sekali Wulansari sudah menerjang dengan serangan kilat yang amat dahsyat ! Nurseta terkejut bukan main melihat pukulan yang datang bagaikan halilintar menyambar itu. Itulah Aji Gelap Sewu, suatu ilmu pukulan yang dipelajari dengan tekun oleh Wulansari dari Ki Cucut Kalasekti. Nurseta cepat meloncat ke samping, jauh, untuk menghindarkan diri dari hantaman tangan yang mengandung Aji Gelap Sewu itu. Wulansari yang melihat betapa serangannya luput, cepat membalik dan bergerak hendak mengejar dan menyerang lagi.
"Diajeng Wulansari, jangan.......!"
Nurseta mengeluh dan mengangkat kedua tangannya. Namun, gadis yang sudah marah sekali karena kecewa dan duka itu, tidak perduli dan sudah menerjang lagi dengan pukulan seperti tadi, hanya lebih dahsyat karena ia mengerahkan seluruh tenaganya. Agaknya ia memang ingin membunuh pria yang dicintanya akan tetapi hendak meninggalkannya untuk menikah dengan gadis lain itu.
"Ihhhhb.......!"
Wulansari mengeluarkan lengkingan nyaring ketika menyerang. Melihat betapa serangan itu sekali ini demikian dah syatnya sehingga amat membahayakan dirinya kalau dielakkan saja, terpaksa Nurseta mengerahkan tenaganya, yaitu tenaga Sari Patala, dan kedua kakinya memasang kuda-kuda dengan Aji Wandiro Kingkin, seolah-olah kedua kakinya itu tumbuh akar dan kedua lengannya menangkis datangnya pukulan kedua tangan gadis itu.
"Dukkkk!"
Hebat bukan main pertemuan antara dua pasang lengan itu dan akibatnya, tubuh Wulansari terdorong mundur dan ia terhuyung.
"Diajeng Wulansari........I"
Nurseta melangkah menghampiri untuk menolong kalau-kalau gadis itu menderita luka. Akan tetapi, Wulansari hanya terdorong karena kalah kuat tenaganya, ia tidak terluka, bahkan menjadi semakin marah. Melihat Nurseta menghampirinya, Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara mendesis seperti ular atau seperti suara air laut mendidih. Mendengar suara ini, Nurseta terkejut karena merasa betapa tubuhnya seolah-olah menjadi kaku. Dan pada saat itu, Wulansari sudah menyerang lagi.
Pukulan-pukulannya datang bergelombang seperti ombak samudera.
Nurseta masih ingat untuk mengerahkan Aji Jagad Pralaya.
"Hyaaaat I"
Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan seketika tubuhnya dapat bergerak lagi, lalu dia berloncatan ke belakang sambil mengelak. Namun, serangan Wulansari datang bertubi-tubi, susul menyusul seperti ombak lautan kidul yang sedang marah. Memang itulah Aji Pukulan Segoro Umub (Lautan Mendidih) yang amat ganas dan buas. Datangnya serangan itu bertubi dan bersambung-sambung, amat cepatnya tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas.
Namun, Nurseta memiliki tingkat yang lebih tinggi dan tentu dia akan mampu membalas serangan gadis itu kalau dia mau. Akan tetapi tidak, dia tidak sampai hati untuk membalas dan hanya mengelak atau menangkis saja. Kalau menangkispun, dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya, hanya cukup untuk menahan dan mengimbangi pukulan lawan.
Ketika semua serangannya gagal, Wulansari menjadi semakin marah. Saking jengkelnya air mata menetes-netes di atas kedua pipinya, akan tetapi ia tidak mengeluarkan suara tangisan, melainkan menyerang terus, makin lama semakin dahsyat.
"Diajeng, tenanglah, aku bukan musuhmu, aku cinta padamu, diajeng Wulansari.......!"
Berkali kali Nurseta memperingatkan. Akan tetapi, diingatkan tentang cinta pemuda itu kepadanya, cinta yang tidak di Ianjutkan dengan perjodohan, hati Wulansari terasa semakin sakit dan iapun menyerang terus tanpa menjawab. Ia mendesak terus dan mereka berdua berkelahi di dekat tebing yang amat curam itu.
Tiba-tiba muncul Ki Cucut Kalasekti! Melihat cucunya berkelahi melawan seorang pemuda, kakek itu mengerutkan aiisnya. Dia segera mengenal pemuda yang dahulu pernah menyerangnya ketika dia melarikan Wulansari dan teringatlah dia betapa Wulansari mengaku
saling mencinta dengan pemuda ini. Dan sekarang, mereka berkelahi! Diapun terkejut melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak membalas, mengalah dan hanya mengelak dan menangkis. Hal ini menunjukan bahwa pemuda itu memang memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada cucunya. Pemuda ini cukup sakti dan berbahaya pikirnya.
Diam-diam kakek ini meraba baju yang menempel ketat di dadanya, baju yang seperti sisik ikan. Ternyata ada tujuh buah "sisik"
Lepas dari baju itu dan berada di tangannya, terselip di antara jari-jari tangan kanan. Sisik itu sebesar kuku ibu jari kaki, tipis dan melengkung terbuat dari baja putih dan ternyata benda ini ketika masih menempel di baju menjadi perisai yang membuat tubuh menjadi kebal, kini jetelah dilepas dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh dan beracun! Kemudian, kakek itu meloncat ke depan, menyerang Nurseta sambil membentak dengan suara mendesis parau.
Nurseta yang sedang didesak oleh Wulansari, terkejut sekali ketika Tiba-tiba diserang oleh kakek yang dikenalnya sebagai Ki Cucut Kalasekti. Kembali dia merasa tubuhnya kaku begitu mendengar suara mendesis seperti yang dilakukan Wulansari tadi, akan tetapi sekali ini lebib kuat lagi pengaruhnya. Dan pukulan kedua tangan kakek itu sudah datang menyambar dengan dahsyatnya!
"Hyaaaaatttt....!"
Cepat Nurseta mengerahkan Aji Jagad Pralaya untuk menyelamatkan diri. Hawa pukulan yang luar biasa keluar dari kedua tangannya. Wulansari terdorong roboh, juga Ki Cucut Kalasekti terhuyung ke belakang, tidak kuat menghadapi hawa pukulan Jagad Pralaya yang luar biasa ampuhnya itu. Akan tetapi, dari tangan Kanan kakek itu sudah menyambar tujuh buah benda yang mengeluarkan sinar berkilauan. Enam di antara tujuh buah benda yang ternyata adalah sisik beracun tadi, menyeleweng oleh hawa pukulan Jagad Pralaya dan tidak mengenai sasaran, akan tetapi sebuah di antaranya masih dapat mengenai pundak kanan Nurseta.
"Auhh........!"
Nuraseta berseru kaget dan kesakitan, tubuhnya terjengkang dan karena dia berdiri di tepi tebing, maka ketika tubuhnya terjengkang ke belakang, otomatis diapun terjatuh ke bawah tebing yang amat curam itu!
"Kakangmas Nurseta.......I Ah, kakangmas .......!"
Wulansari menjerit-jerit dan Ki Cucut
Kalasekti terpaksa harus merangkul dan memeganginya erat-erat agar gadis itu jangan sampai ikut meloncat ke bawah tebing. Wulansari menjerit-jerit memanggil nama Nurseta, menangis sesenggukan seperti anak kecil. Hal ini mengejutkan hati Ki Cucut Kalasekti karena belum pernah gadis yang berhati baja ini menangis seperti ini!
"Tenanglah, Wulan! Engkau tadi menyerangnya mati-matian, akan tetapi setelah dia terjatuh ke tebing, kenapa engkau menangis seperti ini?"
"Eyang, kau telah membunuhnya! Aku......aku menyerangnya karena kecewa dan marah, bukan untuk membunuhnya. Engkau........ membunuhnya, eyang. Dia terjatuh ke sana........
ah, kakangmas Nurseta,......"
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya, lalu menggaruk-garuk belakang telinga.
"Sungguh bingung aku. Engkau tadi menyerangnya mati-matian, hal itu aku tahu benar. Kemudian aku membantumu dan dia terkena sambitan Sisik Nogo, andai tidak terjatuhpun dia akan mati oleh racun senjata rahasiaku itu. Sekarang dia sudah tewas, apa perlunya kau menangis? Dan pula, mengapa tadi engkau menyerangnya mati-matian?"
Wulansari sudah dapat menguasai hatinya. Ia duduk terkulai di atas tanah, air matanya masih bercucuran akan tetapi tidak terisak lagi.
"Eyang, engkau menghancurkan kebahagiaanku, engkau membunuh orang yang kucinta. Tadi dia datang untuk minta kembali Tejanirmala, aku mengingatkan dia akan cinta antara kami dan menuntut agar dia melamarku. Tapi dia....... dia bilang tidak dapat melamarku, karena dia telah dijodohkan dengan gadis lain dan dia setuju untuk berbakti kepada Ki Baka, ayah angkatnya itu. Ah, keparat! Akan kucari dan kubunuh gadis itu!"
Wulansari mengepal tinju dan matanya mengeluarkan sinar ganas.
Diam-diam Ki Cucut Kalasekti merasa girang sekali. Dengan kematian pemuda itu, maka hilanglah gangguan besar di kemudian hari, dan ada harapan cucunya akan menerima pinangan Sang Prabu Jayakatwang! "Sudahlah, cucuku. Mari kita pulang. Tiada gunanya memikirkan lagi orang yang sudah tiadaDan tentang gadis lain itu, apa sukarnya kelak kaucari dan kau bunuh, kalau memang hatimu masih penasaran?"
"Tapi...... mungkin dia masih hidup......"
Gadis itu berkata sambil memandang ke tepi tebing.
"Ah, tidak mungkin ! Hanya burung bersayap saja yang akan mampu menyelamatkan diri kalau tergelincir ke bawah sana"
Mereka lalu menjenguk ke bawah dan tidak nampak sesuatu kecuali air laut dan batu-batu karang yang dari atas nampak kecil-kecil. Wulansari bergidik. Tak dapat disangsikan lagi, Nurseta pasti sudah tewas jauh di bawah sana, tubuhnya hancur dan lenyap dihempaskan ke batu-batu karang oleh ombak laut selatan yang ganas.
"Kakangmas Nurseta......."
Ia berbisik dan menurut saja ketika lengannya ditarik oleh kakeknya, diajak pulang ke rumah kuno yang besar itu. Mereka melanjutkan pekerjaan mereka berkemas dan setelah selesai merekapun boyongan ke tempat tinggal baru mereka, yaitu di Bendowinangun, di mana Ki Cucut Kalasekti menjadi adipati, dengan julukan Adipati Satyanegara !
Tidak salah pendapat Ki Cucut Kalasekt bahwa hanya burung bersayap saja yang mampu menyelamatkan diri kalau tergelincir ke bawah tebing yang curam itu. Ini adalah pendapat manusia, menurut perhitungan dan kekuasaan manusia. Akan tetapi, ada kekuasaan rahasia yang tertinggi, yang merupakan rahasia bagi kita manusia, yang mengatur mati hidupnya seseorang. Kekuasaan tertinggi yang penuh rahasia ini begitu sering terjadi di depan mata kita. Bencana besar terjadi, kecelakaan yang mengerikan di mana manusia-manusia dewasa yang kuat dan berakal budi menjadi korban dan tewas, akan tetapi ada anak bayi yang lemah tak berdaya malah selamat. Siapakah yang mengatur semua ini kalau bukan kekuasaan yang tertinggi?
Inilah yang membuat Nurseta waspada sehingga ketika tubuhnya melewati sebatang pohon yang tumbuh melintang dan yang KEBETULAN sekali searah dengan kejatuhannya, tangan kanan kiri meraih dan mencengkeram, dan....... dahan pohon itu cukup kuat untuk
menahan Iuncuran tubuhnya!
Biarpun kini luka di pundaknya ditambah lagi rasa nyeri pada kedua pangkal lengannya ketika pegangan kepada dahan pohon itu menahan Iuncuran tubuhnya sehingga dia tersentak kuat-kuat, Nurseta masih dapat merayap ke dalam pohon itu, duduk di atas dahan terbesar, terengah-engah dan perlahan-lahan diapun dapat memulihkan keadaan tubuhnya. Dengan menghirup udara segar secara
(Lanjut ke Jilid 13)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
mendalam, dia dapat memulihkan tenaganya dan dapat menyalurkan hawa sakti dalam tubuhnya untuk melawan rasa panas dan nyeri pada pundak kanannya. Dia melihat ke atas. Puncak tebing dari mana dia terjatuh tadi amat tinggi, bahkan pohon itupun dari atas hanya akan nampak seperti semak-semak rumput kecil saja. Ketika menjenguk ke bawah, nampak gelombang besar menghempaskan lidah-lidah ombak ke batu karang ! Masih setinggi pohon kelapa dari pohon itu ke bawah ! Dan andaikata dapat merayap ke bawah, hal yang kiranya tidak mungkin atau amat sukar dan berbahaya, dia hanya akan diterima air laut yang ganas dan tentu akan menghancurkan tubuhnya pada batu-batu karang. Turun tak mungkin, naik lebih tidak mungkin lagi! Hemm, apa bedanya terbanting hancur di bawah sana dan tertahan di pohon ini untuk kemudian tidak ada jalan keluar dan mati pula? Tidak, tidak mungkin, pikirnya. Tidak mungkin Tuhan Yang Maha Kuasa menyelamatkannya dari ancaman maut hanya untuk dibiarkan mati perlahan-lahan di pohon itu ! Semua peristiwa sudah dikehendaki Tuhan dan pasti ada hikmahnya ! Dia merasa yakin akan hal ini dan mulailah pemuda yang tak pernah mengenal putus asa ini mencari-cari sekitar pohon itu dengan pandang matanya.
Ketika pandang matanya bertemu sebuah lubang goa tak jauh dari pohon itu, dia tidak merasa heran. Dia sudah yakin bahwa Tuhan menghendaki dia hidup, dan goa itu agaknya sudah siap untuk menampung dirinya, di mana dia dapat menyelamatkan diri. Betapapun juga, dia seorang manusia biasa dan melihat goa besar itu, jantungnya berdebar tegang. Mampukah dia merayap ke goa yang jauhnya masih kurang lebih sepuluh meter dari pohon itu? Dia harus bisa! Kalau saja dia tidak terluka, pekerjaan itu tentu saja amat mudah baginya. Jangankan hanya merayap melalui permukaan dinding tebing yang kasar dan banyak terdapat bagian yang menonjol sehingga dapat dijadikan pegangan dan injakan sejauh sepuluh meter, biar merayap turun sampai ke dasar tebing yang setinggi pohon kelapa itu dia tentu dapat, kalau dalam keadaan biasa dan tidak terluka. Namun, luka di pundak kanannya terasa nyeri dan kini membengkak I
Nurseta mengumpulkan kekuatannya dan diapun mulai merayap meninggalkan pohon itu, bergantungan di dinding tebing yang kasar, setapak demi setapak menuju ke lubang goa yang menganga. Akhirnya, berhasil juga dia mencapai mulut goa yang lebarnya tidak kurang dari tiga meter itu, dan kini dia berdiri di mulut goa. Ternyata goa itu dalam sekali dan dari luar nampak kegelapan di sebelah dalam.
Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo