Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 14


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



Juga Warsiyem pernah diajaknya merayap turun, dan wanita inipun melihat betapa tidak mungkinnya untuk turun ke air laut yang mungkin mengandung banyak ikan hiu itu. Demikianlah, mereka berdua selalu mencari kesempatan untuk dapat keluar dari tempat itu. Akan tetapi mereka tidak mau tenggelam dalam harapan, karena maklum bahwa makin besar harapan dan makin besar keinginan untuk keluar dari situ, akan semakin parah pula kekecewaan dan kedukaan kalau eing nan itu tidak terlaksana.

   Dan pada suatu hari, tanpa mereka sangka-sangka, datanglah kesempatan itu. Pagi itu, Nurseta dan Warsiyem seaang duduk di ruangan sebelah dalam di mana terdapat bagian terbuka, melakukan samadhi karena mereka berdua dapat menghirup hawa segar dan menikmati sinar matahari pagi yang mulai masak menyerong ke dalam goa itu. Mereka sudah mandi pagi dan keduanya nampak segar dan sehat. Kini Warsiyem sudah jauh berbeda dibandingkan empat tahun yang lalu. Biarpun usianya sudah mendekati limapuluh tahun. Wajahnya nampak cantik manis, dengan kulit yang bersih dan belum berkerut. Rambutnya juga bersih dan ada sedikit uban menghias diatas telinga, nampak karena rambut itu digelung ke atas secara sederhana. Pikaiannya memang penuh tambalan, namun bersih karena setiap hari ia berganti pakaian.

   Nurseta juga mengalami perubahan. Dia bukan seorang pemuda yang mentah lagi, melainkan seorang pemuda yang mulai matang, sudah dewasa benar dengan usianya yang duapuluh lima tahun. Kumisnya berbentuk indah, godegnya menebal dan ada sedikit jenggot di dagunya. Sinar matanya kini mencorong dan penuh wibawa. Di pinggangnya terselip sebatang keris yang bergagang indah. Itulah keris Hat Nogo, hadiah dari Riden Wijaya setelah pemberontakan Mihesa Rangkah, empat tahun yang lalu, dihancurkan.

   Keduanya tekun bersamadhi dan di dinding goa itu terdapat dua batang tombak Bambu Runcing yang mereka sering pergunakan untuk berlatih ilmu Bambu Runcing. Warsiyem kini juga memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu bela diri karena bimbingan Nurseta yang dianggap anak mantu atau anaknya sendiri. Juga di atas tanah di bagian yang terbuka itu kini bertambah beberapa macam pohon buah yang terjadi karena ada bibit pohon yang terbawa oleh burung dan terjatuh ke tempat itu.

   Tiba-tiba terdengar suara yang mengandung gema panjang.

   "Yeeemmm........ Siyeeem ......... Warsiyem........ Manisku, aku datang mengunjungimu, hahahaha"

   Dua orang yang sedang bersila dengan anteng itu tersentak kaget. Wajah Warsiyem berubah pucat dan ia berbisik.

   "Itu dia........ Si keparat Cucut Kalasekti. Akan kubunuh dia"

   Wanita itu sudah meloncat dan menyambar sebatang tombak bambu runcingnya. Akan tetapi Nurseta juga meloncat dan sudah menangkap lengan wanita itu.

   "Kanjeng bibi"

   Bisiknya.

   "Jangan tergesa-gesa. Ingat betapa saktinya dia. Bibi bukanlah lawannya, biar saya yang menghadapinya. Kalau perlu nanti, kanjeng bibi boleh membantu"

   Mendengar ucapan ini, Warsiyem mengangguk, maklum bahwa ucapan pemuda itu memang tepat. Biarpun ia sudah memperoleh kemajuan, namun agaknya masih jauh untuk dapat mengimbangi kesaktian Cucut Kalasekti. Kalau ia tergesa-gesa menyerang dengan sembrono, lalu ia gagal bahkan ia yang terluka, hal itu berarti sia-sia belaka.

   Nurseta sudah mempersiapkan diri, mengikat rambutnya dan ujung kainnya, mempersiapkan keris di pinggang, lalu menyambar sebatang bambu Runcing ryang biasa dia pakai berlatih. Kemudian, diapun berindap indap keluar, diikuti dari belakang oleh Warsiyem yang juga sudah memegang bambu Runcing dan siap untuk menyerang.

   "Siyem, Warsiyem.......... Hahaha, masih hidupkah engkau? Sudah lima tahun aku tidak datang berkunjung, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih tetap cantik manis, dan apakah engkau kini tidak akan menyambutku dengan senyumanmu? Ha ha ha"

   Suara Cucut Kalasekli makin dekat dan ketika Nurseta tiba di dalam goa, tiba tiba saja sosok bayangan Cucut Kalasekti muncul dari depan goa. Kakek itu, seingat Nurseta, masih sama seperti dulu, empat tahun yang lalu ketika menyerangnya di atas tebing. Mukanya masih membiru seperti muka ikan dengan mulut yang Runcing seperti moncong ikan, jubahnya kuning dengan baju dalam seperti sisik ikan. Akan tetapi kini jubah itu berbeda, biarpun warnanja masih kuning akan tetapi terbuat dari kain yang mewah, juga kedua lengannya terhias emas permata. Kakek ini sekarang berpakaian mewah seperti seorang bangsawan.

   Karena sepasang mita kakek itu mencari Warsiyem, agaknya dia tidak perduli atau tidak melihat Nurseta. Melihat Warsiyem berdiri di sudut, dia terbelalak dan tertawa lagi.

   "Hahaha, engkau makin tua makin cantik saja. Ah marilah manis. Aku datang untuk menjemputmu, mengajakmu hidup mulia di atas sana. Tahukah engkau bahwa aku sekarang telah menjadi seorang adipati. Ha ha ha, inilah Sang Adipati Satyanegara, adipati di Bendowinangun"

   "Keparat jahanam. Manusia busuk kau, Cucut Kalasekti. Lebih baik mati saja bagiku dari pada ikut bersamamu"

   Kata Warsiyem sambil mempersiapkan bambu runcingnya.

   Tiba tiba saja kakek itu menjadi marah.

   "Hemm, manusia tak tahu diri. Aku datang dengan hati menyayang, dengan maksud baik, akan tetapi engkau memaki aku. Aku, seorang adipati, disembah sembah orang sekadipaten, dan engkau ini perempuan hina berani memaki aku? Engkau cepat berlutut menyembah, ikut dengan sukarela bersamaku, atau kubunuh sekarang juga"

   "Manusia iblis. Sampai matipun aku tidak sudi tunduk kepadamu, sejak dahulu, sekarang mau pun kapan saja"

   "Bedebah"

   Cucut Kalasekti marah sekali dan dia melepas dua buah sisik dari baju dalamnya.

   "Kalau begitu mampuslah kau"

   Tangan kirinya bergerak dan dua sinar meluncur ke arah wanita itu. Akan tetapi, Nurseta sudah menggerakkan bambu runcingnya ke arah sinar sinar yang meluncur itu.

   "Tringgg. Tranggg........"

   Dua sinar itu terpukul dan membalik, yang sebuah runtuh ke atas tanah, yang sebuah lagi menyambar ke arah pemiliknya.

   "Ehhh........?"

   Cucut Kalasekti terkejut dan cepat mengelak sehingga sisik yang ke dua itu meluncur keluar goa dan lenyap. Kini barulah Cucut Kalasekti menoleh dan memandang penuh perhatian kepada Nurseta, dan dia terbelalak.

   "Siapakah kau? Warsiyem, engkau telah menyembunyikan seorang laki-laki, ya? Jahanam, setelah kutinggal beberapa tahun saja, engkau telah mendapatkan gantinya, seorang gendak, seorang kekasih muda, ya? Dasar perempuan tak tahu malu, tidak setia dan menyeleweng"

   Nurseta menggeleng geleng kepalanya. Kakek itu sungguh tak tahu diri. Dia melarikan Warsiyem, memaksa dan memperkosanya, membiarkan wanita itu bertahun-tahun lamanya berada di neraka itu, dan kini masih menuduhnya tidak setia dan menyeleweng. Sungguh sukar diikuti jalan pikiran seorang datuk sesat seperti Cucut Kalasekti itu. Dan agaknya kakek itu lupa kepadanya.

   "Ki Cucut Kalasekti, jangan menyangka yang bukan bukan. Karena pikiranmu isinya kotor, maka kau menyangka yang kotor-kotor saja. Lihatlah baik-baik siapakah aku?"

   Melihat sikap tenang pemuda itu, dan suaranya yang lembut berwibawa, Ki Cucut Kalasekti mengamati wajah yang tampan gagah itu "Hemm. kau tidak kukenal. Orang muda, siapakah kau, dan kalau kau bukan gendak Warsiyem, bagaimana kau dapat berada di tempat ini?"

   Akhirnya dia bertanya menekan kemarahannya karena dia kini ingin sekali tahu bagaimana ada seorang pemuda dapat berada di tempar iiu, padahal menurut keyakinannya, tak mungkin ada orang lain mampu datang ke goa itu.

   "Ki Cucut Kalasekti, sudah dua kali selama hidup kita saling bertemu. Pertama kali di tepi Laut Selatan, sembilan tahun yang lalu ketika kau menculik diajeng Wulansari. Kedua kalinya, empat lima tahun yang lalu di puncak tebing ini, ketika kau menjatuhkan aku dengan senjata rahasia Sisik Nogo"

   Tiba tiba kakek itu mengeluarkan suara erengan seperti seekor srigala kelaparan.

   "Aaaughhh, kiranya engkau, si bedebah. Jadi engkau belum mampus dan dapat berada di sini, ketika terjatuh dari atas tebing itu?"

   Nurseta tersenyum "Tuhan Maha Kuasa, Ki Cucut, dan kalau Tuhan belum menghendaki, biar ada seribu orang seperti tidak akan dapat membunuhku"

   "Siapa bilang. Sekarang juga aku akan membunuhmu, kemudian membunuh perempuan tak tabu diri itu"

   Tiba tiba kakek itu mengeluarkan suara mendesis seperti ular-ular yang banyak sekali tiba-tiba datang menyerang. Suaara mendesis itu hebat sekali, dapat membuat tubuh lawan terasa kaku dan lumpuh. Warsiyem mengeluh karena Tiba-tiba saja tubuhnya terasa kaku dan kaki tangannya tidak dapat digerakkan. Ia teringat akan cara menghimpun tenaga sakti seperti yang dilatihnya atas petunjuk Nurseta, maka cepat ia mengatur pernapasan dan memusatkan perhatian, menghimpun kekuatan yang disalurkan ke arah kaki tangannya dan iapun merasa betapa pengaruh suara mendesis itu segera lenyap.

   Nurseta sendiri pada waktu itu telah memiliki tingkat yang tinggi sehingga suara mendesis ini hanya sempat mengejutkannya saja, akan tetapi dapat dilawannya dengan pengerahan tenaga sakti, sehingga dia tidak terpengaruh sama sekali. Karena itu, maka ketika Cucut Kalasekti menerjangnya dengan pukuulan Aji Gelap Sewu, dia dapat mengelak dengan mudah.

   Ki Cucut Kalasekti kaget, heran dan penasaran bukan main. Aji kesaktiannya melalui suara mendesis itu bukan hanya tidak dapat mempengaruhi pemuda ini sama sekali, bahkan nampaknya Warsiyem juga mampu menolaknya.

   Kalau saja aji itu mempengaruhi Nurseta sedikit saja, disusul pukulannya Gelap Sewu tentu pemuda itu takkan mampu mengelak dan sekali pukul saja sudah roboh binasa. Dengan marah dan penasaran, diapun menyusulkan pukulan demi pukulan yang amat ampuh.

   Nurseta maklum akan kesaktian lawan, maka diapun tidak membiarkan dirinya diserang terus menerus tanpa melawan. Dia memutar tombak Bambu Runcing ke bawah lengan kanan, dan mengangkat tangan kirinya ke atas untuk menangkis sebuah pukulan sambil mengerahkan tenaga saktinya.

   "Dukkk"

   Dua tenaga raksasa yang dahsyat bertemu melalui dua buah lengan itu dan agaknya seluruh goa ikut tergetar. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terguncang hebat dan mereka melangkah mundur dua langkah kebelakang. Makin terkejut rasa hati Ki Cucut Kalasekti. Bocah ini memiliki tenaga sakti yang hebat, yang dapat mengimbangi tenaganya sendiri. Tanpa membuang waktu lagi, dia lalu menerjang lagi, melompat ke depan dan kini kaki tangannya menyerang bagaikan gelombang lautan yang sedang mengamuk. Itulah ilmu pukulan yang disebut Aji Segoro Umub, demikian dahsyatnya dan bertubi-tubi, sementara mulutnya mengeluarkan suara mendesis seolah-olah lautan mendidib sedang menyerang lawan.

   "Dukkk"

   Dua tenaga raksasa yang dahsyat bertemu melalui dua buah lengan itu dan agaknya seluruh goa ikut bergetar. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terguncang hebat dan mereka melangkah mundur dua langkah ke belakang.

   Nurseta melihat hebatnya serangan ini, cepat diapun menggerakkan tombak bambu Runcing di tangannya. Dia selama empat tahun ini setiap hari melatih ilmu mempermainkan bambu Runcing itu, dan telah memiliki kemahiran dan menguasai ilmu itu sepenuhnya. Karena bambu itu ringan dan mengandung keuletan dan kekuatan tertentu yang tidak terdapat pada logam, memiliki kelenturan bahkan ketajaman yang hidup, ditambah lagi digerakkan dengan tenaga sakti yang kini sudah mencapai tingkat tinggi, maka bambu Runcing itu merupakan senjata yang amat ampuh dan begitu bambu digerakkan, lenyaplah bentuk bambu itu dan yang nampak hanya gulungan sinar kehijauan yang mengeluarkan bunyi mendengung.

   Kagetlah hati Ki Cucut Kalasekti melihat betapa ujung bambu yang Runcing tajam itu menyambut kedua tangannya, menusuk ke arah lelapak tangan dan juga ke arah jalan darah di pergelangan dan siku lengan. Gerakan bambu Runcing itu selain cepat. juga dia melihat seolah-olah ujung yang Runcing itu berubah menjadi banyak sekali, menusuk bertubi-tubi kearah kedua lengannya. Kedua lengan tangan yang tadinya menyerang, kini berbalik mengambil posisi membela diri, menangkisi tusukan-tusukan itu. Sebentar saja, kakek itu terdesak hebat dan hanya mampu menangkis sambil melangkah mundur dan berputar pular di ruangan mulut goa itu.

   "Dukk. Plakkk"

   Sambil mengerahkan tenaga, Ki Cucut Kalasekti menangkis dengan kedua tangannya, namun dia tidak berhasil mematahkan bambu atau menolaknya terpental, hanya keduanya kembali tergetar oleh pertemuan dua tenaga dahsyat. Cucut Kalasekti melompat ke belakang dan tangan kanannya bergerak mencabut senjatanya yang hampir tidak pernah dicabutnya, yaitu sebatang keris yang bentuknya melengkung dan berlapis emas, presis seperti keris yang pernah dilihat Nurseta ketika dipergunakan Wulansari, hanya keris milik kakek ini lebih besar. Cucut Kalasekti hampir tidak pernah mempergunakan senjata ini, karena biasanya, hanya dengan kedua tangan dan kakinya, sudah cukuplah baginya untuk mengalahkan lawan. Bahkan jarang dia membawa keris itu. Setelah dia menjadi seorang adipati, barulah keris itu tak pernah berpisah dari badannya, bukan untuk melindungi diri, melainkan untuk penambah wibawa sebagai seorang adipati. Apa akan kata orang kalau seorang adipati tidak memiliki pusaka, tidak berkeris? Kini, menghadapi bambu Runcing yang dimainkan secara hebat oleh Nurseta, Cucut Kalasekti tidak merasa ragu atau rikuh untuk mencabut pusakanya itu.

   "Babo babo. Nurseta. Pusakaku akan merobek dadamu"

   Bentaknya dan diam diam kakek ini mengerahkan kekuatan batinnya untuk mempergunakan ilnu sihirnya menguasai lawan. Diapun mengeluarkan lagi suara mendesis tadi, akan tetapi kini lebih kuat dari pada tadi sehingga kembali Warsiyem yang berdiri di sudut seketika gemetar dan cepat wanita ini duduk bersila menghimpun tenaga sakti untuk melawan pengaruh suara mendesis itu. Nurseta sendiri terkejut bukan karena suara mendesis yang dapat ditahannya, akan tetapi dia melihat betapa kakek itu kini nampak menggiriskan, seolah-olah ada cahaya mencorong menerangi mukanya yang mirip ikan. Pemuda ini maklum bahwa lawan mempergunakan ilmu hitam, maka diapun mempergunakan telapak tangan kiri mengusap kedua matanya tiga kali dan keadaan kakek itu menjadi biasa kembali dalam pandang matanya. Akan tetapi pada saat itu, sinar keris meluncur ke arak dadanya.

   "Cring trang trangg......Tiga kali Nurseta menggerakkan bambu runcngnya menangkis tusukan keris bertubi-tubi itu dan dia segera balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang lebih hebat dari pada tadi. Serang menyerang teriadi dan keduanya bergerak amat cepat, menimbulkan debu di dalam goa. Warsiyem yang nonton perkelahian itu, diam-diam merasa bersukur bahwa Nurseta berada di situ Anda kata tidak, tentu ia sendiri tidak mungkin akan mampu mengalahkan Ci cut Kalasekti dan tentu ia akan mengalami penghinaan lagi, atau mungkin juga sekali ini dibunuh oleh kakek iblis itu.

   Menyaksikan perkelahian hebat itu, iapun maklum bahwa kalau ia ikut terjun, hal itu tidak akan membantu Nurseta, bahkan mungkin mengacaukan permainan Bambu Runcing pemuda itu. Untuk membantu dengan sambitan batu, juga selain tidak ada gunanya karena kakek itu memiliki kekebalan juga tidak mudah melihar betapa kedua orang itu berkelahi dengan cepat sehingga tubuh mereka berkelebatan, sukar diikuti dengan pandang mata biasa.

   Tiba tiba, serangkaian serangan keris yang dibantu dengan tamparan tamparan maut dari Aji Gelap Sewu, membuat Nurseta terpaksa terdesak mundur sampai mepet dinding goa. Tiba-tiba sinar keris meluncur, mencuat dengan cepat dan dahsyatnya. Dalam detik terakhir. Nurseta masih sempat melempar tubuh kesamping dan ujung keris itu menyentuh dinding goa. Nampak api berpijar dan dinding itu retak. Namun Nurseta sudah menghindarkan diri dan kini bambu di tangannya membalas dengan tusukan tusukan yang beruntun kearah tenggorokan, dada dan lambung lawan. Hebat bukan main pertandingan itu. Masing-masing memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi sehingga sukar dapat terkena senjata lawan, sama cekatan dan juga sama-sama memiliki tenaga sakti yang kuat. Hampir satu jam mereka berkelahi, namun belum juga ada tanda tanda siapa yang akan kalah dan siapa akan keluar sebagi pemenang. Biarpun usianya sudah tujuhpuluh tahun lebih, ternyata Ki Cucut Kalasekti masih kuat dan memiliki daya tahan luar biasa, tidak kehabisan tenaga dan napas. Diam diam Nurseta harus mengakui bahwa kakek yang menjadi lawannya itu memang hebat. Kiranya setingkat dengan kedigdayaan Ki Buyut Pranamaya dan agaknya hanyalah Panembahan Sidik Danasura saja yang akan dapat mengatasinya. Namun diam-diam diapun merasa girang bahwa dengan pertapaannya selama empat tahun di dalam goa itu, kini dia telah mampu mengimbangi kesaktian Ki Cucut Kalasekti, dan permainan bambu runcingnya tidak pernah mengendur.

   Kembali Cucut Kalasekti mengeluarkan bentakan hebat seperti gerengan harimau, kerisnya meluncur ke depan, menyilaukan mata menghunjam ke arah mata Nurseta. Pemuda itu maklum bahwa mengelak amat berbahaya, karena keris itu tentu akan merobah arah dan mengejar, maka diapun memutar tongkat bambunya, menangkis dari samping, menyambut keris itu dengan pukulan.

   "Cappp"

   Keris itu menancap pada bambu dan tembus, terjepit. Ki Cucut Kalasekti menarik keris untuk mencabutnya, namun Nurseta sudah mengerahkan tenaga dalam sehingga bambu itu menjepit keris dengan kuatnya, tidak mau melepaskannya lagi.

   Melihat ini, Ki Cucut Kalasekti lalu menggunakan tangan kiri menangkap bambu Runcing itu. Terjadi tarik menarik dan kakek itu menyeringai buas. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa memang Nurseta mempergunakan akal untuk menahan keris Melihat betapa kakek itu menggunakan kedua tangannya, secepat kilat tangan kiri Nurseta melepaskan bambu runcingnya dan melayang, menampar dengan Aji Jagad Pralaya, pukulan maut yang amat ampuh dan dahsyat yang di pelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura.

   Ki Cucut Kalasekti melihat datangnya pukulan, tidak dapat menangkis dan cepat dia mengelak dengan memiringkan kepalanya. Karena itu, pukulan tidak tepat mengenai kepala, melainkan meleset dan mengenai pundak dekat leher.

   "Desss........"

   Hebat bukan main pukulan itu. Tubuh Ki Cucut Kalasekti terpelanting dan diapun roboh terkulai tak mampu bergerak lagi, entah mati ataukah pingsan. Melihat ini, Warsiyem meloncat menghampiri dan mengangkat bambu runcingnya, siap untuk menusuk dada atau lambung kakek itu dengan bambu runcingnya.

   "Jangan, kanjeng bibi"

   Nurseta menangkap lengan itu dan mencegah dengan suara lembut namun tegas.

   "Membunuh lawan yang sudah tidak berdaya lagi adalah perbuatan kejam"

   Sejenak wanita itu memandang kepada tubuh kakek yang sudah tak bergerak lagi itu, tangannya masih memegang bambu runcingnya dengan kiat, lalu ia menandang wajah Nurseta, nampak keraguan pada pandang matanya karena ptda saat itu terjadi perang di dalam batinnya antara membunuh Ki Cucut Kalasekti atau memenuhi permintaan Nurseta.

   "Kanjeng bibi, ingat, sejahat-jahatnya dia, bagaimanapun juga, dialah yang mendidik diajeng Wulansari dengan penuh kasih sayang"

   Ucapan ini mengingatkan Warsiyem dan ia terisak, lalu mengangguk dan tangannya yang tadi menegang, kini mengendur "Baiklah. Mari sekarang kita mempergunakan kesempatan ini untuk pergi dari sini. Dia tentu datang dengan perahu dan sekarang saatnya air laut surut"

   Kata wanita itu.

   Mendengar ini, Nurseta menjadi gembira sekali. Dengan penuh semangat mereka lalu meloncat ke mulut goa, dan tak lama kemudian keduanya sudah merayap turun. Benar saja, di bawah terdapat sebuah perahu yang tadi dipakai Ki Cucut Kalasekti menyeberang ke tempat itu, terikat dengan tali pada batu karang, dan air laut memang sedang surut dan tenang.

   "Cepat, Nurseta. Air surut tidak lama, sebentar lagi kalau pasang, kita tidak mungkin dapat pergi dari sini"

   Kata Warsiyem.

   Nurseta tidak menjawab melainkan cepat meloncat ke bawah, membantu wanita itu mendarat di batu karang, melepaskan perahu dan mereka segera naik perahu yang didayungnya ke tengah menjauhi batu karang. Tak lama kemudian, nampaklah daratan jauh di depan sana dan bagaikan mendapat semangat baru, Nurseta dan Warsiyem segera mendayung perahu itu sekuat tenaga. Perahu meluncur cepat di permukaan laut yang sedang tenang itu, dan pohon kelapa di pantai sana seperti melambai-lambai menyambut kedatangan kedua orang itu. Tanpa mereka rasakan, air mata membasahi mata mereka, bahkan mengalir turun ke atas pipi ketika perahu itu akhirnya mendarat di pantai yang landai. Mereka berloncatan ke atas pasir, meninggalkan perahu yang hanyut ke tengah kembali dibawa ombak, dan tiba-tiba Warsiyem merangkul leher Nurseta sambil menangis sesenggukan di atas dada pemuda itu, menangis seperti anak kecil.

   Nurseta maklum apa yang dirasakan wanita itu. Dia sendiri yang baru empat tahun lebih berada di goa yang tidak ada jalan keluarnya itu, merasa terharu dan gembira sekali dapat berada di pantai datar kembali, seolah-olah ada perasaan bahwa dia baru saja bangkit dari kubur. Apa lagi wanita ini yang sudah berada di tempat itu selama belasan tahun.

   Setelah keharuannya mereda, Warsiyem melepaskan rangkulannya, menghapus air matanya dan memandang kepada pemuda itu., Kini wajahnya berseri cerah, penuh semangat, matanya yang masih indah itu bersinar sinar dan mulutnya mengandung senyum penuh harapan.

   "Nurseta, anakku, sekarang cepatlah antar aku kepada anakku Wulansari"

   "Baik, kanjeng bibi. Mudah mudahan ia masih berada di sana"

   Dia menunjuk ke arah, tebing tinggi itu dan mereka berdua memandang ke sana. Tebing itu agak jauh dari situ dan dari situ saja kelihatan amat tinggi. Nurseta bergidik. Memang tidak ada jalan menuju ke goa itu, kecuali dari laut bebas, dari laut itu jarang sekali tenang, selalu penuh dengan ombak bergemuruh dan perahu tentu akan hancur dihempaskan pada batu karang kalau berani mendekat ke tebing itu. Goa itu tidak nampak dari situ, tertutup oleh sudut tebing. Sejenak dia teringat kepada Ki Cucut Kalasekti yang masih rebah di dalam goa, akan tetapi bayangan ini segera diusirnya. Kakek itu jahat seperti iblis, lebih baik bagi kehidupan manusia di dunia ramai kalau kakek itu berada selamanya di tempat terasing itu sampai mati.

   Mereka lalu meninggalkan pantai dan mendaki bukit batu karang menuju ke puncak tebing. Sejenak mereka berdiri di tepi puncak tebing di mana Nurseta terjatuh empat tahun yang lalu.

   "Di sinilah saya bercakap cakap dengan diajeng Wulansari ketika Ki Cucut Kalasekti muncul dan menyerang saya dengan Sisik Nogo"

   Kata Nurseta yang menjenguk ke bawah tebing. Bukan main tingginya. Pohon yang menyelamatkannya itu tidak nampak dari situ, apa lagi goa itu.

   "Di mana ia tinggal? Apakah di istana kuno milik kakek iblis itu?"

   Warsiyem teringat akan rumah besar kuno di mana ia dahuiu dibawa oleh Cucut Kalasekti ketika ia dilarikan dari dusunnya. Selama beberapa bulan ia dikeram di dalam istana tua itu, diperkosa dan dibujuk, Karena ia tetap menolak untuk menyerahkan diri dengan sukarela, akhirnya ia dibawa ke dalam goa itu dan ditinggalkan. Karena selama berbulan di situ ia tidak pernah keluar dari rumah tua, maka iapun tidak tahu di mana letak rumah itu. Padahal dari puncak tebing itu tidak jauh lagi.

   Nurseta mengajak wanita itu menuruni puncak tebing menuju ke gedung tua itu. Akan tetapi, ketika mereka tiba di sana, gedung tua itu telah kosong dan tidak terawat sama sekali, menjadi rumah yang menyeramkan dan angker, rumah tua yang penuh dengan kenangan pahit sekali bagi Warsiyem. Karena tidak dapat menemukan puterinya di gedung itu, Warsiyem lalu mengajak Nurseta untuk mencari anaknya di dusun asalnya di daerah Blambangan. Nurseta menyetujui dan merekapun segera meninggalkan rumah tua itu menuju ke timur, ke dusun Paguh, dusun yang menjadi tempat asal Warsiyem, isteri Medang Dangdi yang kini telah menjadi seorang senopati kenamaan di Singosari.

   Penduduk dusun Paguh tidak mengenai lagi Warsiyem yang sudah meninggalkan dusun itu selama belasan tahun. Dulu ketika ia dibawa pergi Ki Cucut Kalasekti, usianya masih muda, baru tigapuluhan tahun dan cantik jelita. Kini, walaupun masih ada sisa kecantikannya, ia adalah seorang nenek setengah tua hampir limapuluh tahun usianya. Dan kedatangannva di dusun itu disambut oleh suatu peristiwa yang amat hebat, yang mengguncangkan perasaan wanita itu dan hampir saja menghilangkan nyawanya.

   Seperti telah diceritakan, pasukan Singosari menyerbu ke Bali, dan pasukan itu dipimpin oleh tiga orang senopati, yaitu Senopati Nambi yang dibantu oleh Senopati Medang Dangdi dan Mahesa Wagal. Penyerbuan itu, tepat seperti telah diperhitungkan oleh Sang Prabu Kertanegara, berhasil dengan baik. Pasukan Bali ditundukkan, rajanya dibawa pulang ke Singosari sebagai tawanan, dan pasukan Singosari pulang dengan gembira membawa kemenangan. Ketika pasukan Singosari dalam perjalanan pulang inilah Medang Dangdi minta perkenan dari Senopati Nambi untuk singgah di dusun Paguh, desa tempat asalnya. Pernah dia menyuruh orang untuk memboyong puteri dan anak perempuannya, akan tetapi suruhan itu gagal mendapatkan isteri dan puterinya.

   Menurut pesuruh itu, isteri dan puterinya tidak lagi tinggal di dusun Paguh dan tidak ada seorangpun penduduk dusun itu tahu ke mana perginya mereka Selama belasan tahun ini, sudah beberapa kali dia mengirim utusan dan selalu gagal. Oleh karena itu, setelah kini pasukan yeng dipimpinnya berhasil menundukkan Bali, dalam perjalanan pulang, Senopati Medang Dangdi berkesempatan untuk singgah di dusunnya dan mencari tahu sendiri tentang isteri dan puterinya.

   Ketika dia memasuki dusunnya, banyak orang sudah lupa kepadanya. Dahulu, Ki Medang Dangdi hanya terkenal sebagai seorang laki-laki gagah, akan tetapi tetap saja dia seorang penghuni dusun yang sederhana. Kini, dia berpakaian senopati, seperti seorang bangsawan yang gagah perkasa, menunggang seekor kuda yang besar, diiringkan beberapa orang perajurit pula. Medang Dangdi langsung saja pergi menjenguk rumahnya dan benar saja, rumahnya sudah kosong bahkan sudah hampir ambruk karena tidak diurus. Dari situ dia lalu pergi ke rumah kepala dusun.

   Melihat seorang senopati datang ke kelurahan, tentu saja kepala dusun menyambut tergopoh-gopoh dan dengan hormat sekali mempersilakan tamunya masuk. Akan tetapi, ketika Medang Dangdi memperkenalkan diri kepada lurah tua itu siapa dirinya, Pak Lurah ini tertegun sejenak, kemudian menjabat tangan Medang Dangdi dengan penuh. kegembiraan dan keharuan. Akan tetapi, ketika dia ditanya tentang isteri dan puteri senopati itu, wajah ki lurah menjadi keruh sekali. Semua penghuni tua di dusun itu tahu belaka bahwa isteri Medang Dangdi telah dilarikan oleh Ki Cucut Kalasekti. Akan tetapi siapakah orangnya berani menceritakan hal ini kepada para suruhan Medang Dangdi? Mereka takut sekaii kepada Ki Cucut Kalasekti yan,g jahat seperti iblis, maka mereka merasa lebih aman untuk mengatakan bahwa mereka tidak tahu ke mana perginya ibu dan anak itu. Kini, setelah Medang Dangdi sendiri muncul, tetap saja tak seorangpun akan berani menyebut nama Ki Cucut Kalasekti sebagai penculik Warsiyem, dan ketika ditanya oleh senopati itu, ki lurah menjadi bingung.

   "Kakang lurah, mengapa kakang menjadi ragu-ragu? Katakanlah, apa yang telah terjadi dan ke mana perginya isteriku dan juga anakku? Kakang lurah tentu masih ingat bukan kepada isteriku yang bernama Warsiyem dan anakku yang bernama Wulansari? Di mana mereka?"

   Ki lurah menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, dia tidak berani menyebut nama Ki Cucut Kalasekti yang kabarnya sakti seperti iblis dan akan tahu belaka kalau namanya disebut-sebut dan dikhianati. Akan tetapi, karena kini Medang Dangdi sendiri yang hadir, bahkan telah menjadi senopati, diapun tidak mungkin berbohong mengatakan tidak tahu. Mustahil dia yang menjadi lurah di dusun itu tidak tahu apa yang telab terjadi dengan penghuni dusunnya. Maka dia menarik napas panjang sekali lagi untuk menenteramkan hatinya yang gelisah.

   "Sesungguhnya, para penghuni tidak berani mengaku terus terang karena mereka merasa sungkan kepada kau. Sesungguhnya, semua orang juga mengetahui bahwa isteri kau...... telah....... telah pergi bersama seorang laki-laki asing yang tidak kami kenal"

   "Apa........??"

   Medang Dangdi terbelalak, mukanya berubah merah dan dia tidak mau percaya bahwa isterinya akan melakukan hal itu. Isterinya yang tercinta, yang mencintanya, isterinya yang setia.

   "Maaf, Ki Senopati...... terpaksa saya berterus terang. Malam itu ia pergi bersama seorang pria, kami tidak mengenai siapa pria itu......"

   "Dan Wulansari?"

   Medang Dangdi memotong"

   "Isterimu menyuruh adiknya untuk membawa nini Wulansari ke barat, menyusul kau ke Singosari. Apakah ia belum tiba di sana?"

   Medang Dangdi tidak menjawab, hanya menggeleng kepala, masih belum percaya akan peristiwa yang telah terjadi. Akan tetapi, yang menceritakan ini adalah ki Lurah dusun itu. Jadi ternyata isterinya telah menyeleweng tidak setia kepadanya. Akan tetapi Wulansari? Di mana ia? Kenapa kalau diajak nenyusul ke Singosari, tidak sampai ke sana?

   "Siapakah laki-laki yang mengajak pergi isteriku?"

   Akhirnya dia bertanya kepada lurah itu. Yang ditanya menunduk dan menggeleng kepala.

   "Sudah kukatakan tadi, tidak ada seorangpun di antara kami mengetahui siapa dia, seorang asing yang tidak kami kenal......"

   Tiba tiba seorang laki-laki berlari lari memasuki pekarangan ke uranan dan dari jauh dia sudah berteriak.

   "Bapak Lurah.........."

   "Bapak Lurah........., perempuan itu datang....... la sudah datang, bersama seorang pemuda...."

   Orang itu terengah-engah karena tadi berlari-lari, seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih dan ketika tiba di pendopo kelurahan, dia melihat Ki Lurah sedang duduk berhadapan dengan seorang bangsawan.

   "Bukankah kau ini Adi Santiko?"

   Medang Dangdi memandang orang itu dan bertanya.

   Santiko balas memandane, lalu terbelalak.

   "Wah........ Kakang Medang Dangdi. Wah, kang........ ia....... isterimu itu, mbakayu Warsiyem, juga datang, baru saja"

   Mendengar ini, bagaikan seekor kijang, Medang Dangdi sudah melompat keluar tanpa pamit dan diapun berlari cepat menuju ke rumahnya. Ketika tiba di depan rumahnya yang sudah bobrok, benar saja, dia melihat seorang wanita dan seorang pemuda. Wanita itu masih cantik, dan biarpun sudah belasan tahun dia tidak pernah bertemu dengan wanita itu, dia tidak lupa bahwa wanita itu adalah Warsiyem, isterinya. Seketika terdengar kembali keterangan Ki Lurah, tentang isterinya yang pergi bersama laki-laki lain. Isterinya telah menyeleweng dengan laki-laki lain, dan kini isterinya kembali, juga dengan seorang laki-laki, seorang pemuda yang tampan sekali. Hatinya seperti dibakar rasanya dan kemarahan teiah membuat wajahnya menjadi merah seperti udang direbus.

   "Warsiyem......."

   Teriaknya, suaranya mengguntur, mengejutkan Warsiyem dan Nurseta yang baru saja tiba di situ dan berdiri di depan rumah yang sudah rusak dan tidak terawat itu. Warsiyem sedang merasa terharu sekali melihat keadaan rumahnya. Lenyaplah semua kegembiraannya, keharuan menyesak di dada. Ia kehilangan suami, kehilangan anak, kehilangan kehormatan dan kini rumahnya juga nampak rusak dan hampir ambruk. Karena ia sedang terharu dan melamun, bentakan itu tentu saja mengejutkan hatinya. Ia membalikkan tubuhnya dan......wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak dan ia mengembangkan kedua lengannya.

   "Kakangmas Medang Dangdi........ Suamiku........"

   Ia berlari menghampiri, hendak memeluk akan tetapi Medang Dangdi mengelak sehingga tubuh wanita itu terhuyung, lalu membalik lagi dan iapun menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki suaminya. Ia menangis sesenggukan, sampai sesak napasnya ketika menangis. Suaranya terputus putus dan tidak jelas.

   "Kakangmas........ Medang.......Dangdi......., ampunkan aku, kakangmas....... ahhhh, kakangmas suamiku ........ demi semua Dewata, mengapa diriku harus menderita seperti ini................"

   "Jangan mengotorkan nama Dewata dengan mulutmu yang palsu"

   Tiba-tiba Medang Dangdi membentak dan kakinya menendang. Tubuh wanita itu terjengkang sampai dua meter jauhnya.

   "Perempuan hina, perempuan rendah dan lacur. Suami pergi mencari pekerjaan, bermain gila dengan laki-laki lain"

   Warsiyem terbelalak, lalu merangkak menghampiri.

   "Kakangmas......... Harap mendengar

   kan dulu keteranganku........"

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dengar apa lagi? Engkau pergi bersama seorang laki-laki, dan engkau menyuruh adikmu membawa pergi Wulansari untuk menyusulku. Engkau perempuan tak tahu malu, keparat"

   Kini Medang Dangdi yang melihat Warsiyem bangkit berdiri melayangkan tangannya menghantam ke arah kepala isterinya. Hantaman itu keras sekali dan kalau mengenai kepala, tentu Warsiyem akan tewas seketika karena memang niat hati yang sudah diracun cemburu dan kemarahan itu hendak membunuh isteri yang dianggapnya tidak setia dan menyeleweng.

   "Dukkk........"

   Karena pernah mempelajari ilmu bela diri dengan tekun, otomatis Warsiyem mengangkat lengan menangkis, dan akibat tangkisan itu, kepalanya luput dari hantaman, akan tetapi saking kerasnya suaminya menghantam, ia terhuyung ke belakang. Medang Dangdi semakin marah.

   "Bagus. Engkau sudah mempelajari pula ilmu dari laki laki yang membawamu pergi, ya? Untuk melawan aku sekarang? Baik, keluarkan kepandaianmu dan mari kita mengadu nyawa untuk menebus aib ini"

   "Kakangmas........ aduhh, kakangmas........ dengarlah dulu.......... ampunkan aku dan dengarkan penjelasanku......"

   Akan tetapi ratap tangis Warsiyem tidak diperdulikan suami yang sudah diracuni cemburu dan dendam itu. Dia sudah meloncat dekat dan kini mengirim pukulan yang lebih hebat lagi. Melihat ini, agaknya Warsiyem yang merasa berduka sekali melihat sikap suaminya, tidak mau menangkis lagi dan dengan air mata bercucuran ia menengadah, memberikan kepalanya untuk dihantam biar ia mati dan terbebas dari pada penderitaan yang tak kunjung henti itu.

   "Dukkk........"

   Sekali ini, pertemuan antara kedua lengan itu membuat Medang Dangdi yang terdorong ke belakang, bahkan terhuyung hampir roboh. Dia mengangkat muka memandang kepada Nurseta dengan marah sekali, lalu telunjuknya menuding.

   "Jagad Dewa Bathara. Kiranya engkau ini biang keladinya. Engkau pula barangkali laki-laki yang membawanya, ataukah engkau menjadi gendaknya yang baru? Bagus. Kalau engkau memang mencinta wanita yang lebih tua darimu itu, engkau harus berani mempertaruhkan nyawamu untuknya"

   Berkata demikian, Medang Dangdi sudah mencabut kerisnya dan melangkah maju menghampiri Nurseta.

   "Paman Medang Dangdi, apakah kau lupa kepadaku? Memang baru sekali kita saling bertemu dan diperkenalkan, mungkin kau lupa kepadaku? Akan tetapi, apakah kau juga lupa kepada pusaka ini?" 'Nurseta mengeluarkan pusakanya, keris Kilat Nogo pemberian Raden Wijaya. Ketika dia membantu pasukan Singosari menghancurkan pemberontakan Mahesa Rangkah, dia diperkenalkan oleh Senopati Ronggo Lawe kepada Raden Wijaya dan dalam kesempatan ini, diapun diperkenal kepada para senopati Singosari termasuk Medang Dangdi.

   Medang Dangdi tadinya memandang dengan alis berkerut, akan tetapi ketika melihat pusaka Kilat Nogo, dia tentu saja mengenal pusaka milik Raden Wijaya itu dan diapun teringat akan pemuda gagah perkasa yang pernah dihadiahi keris itu oleh sang pangeran.

   "Kau........ kau pemuda itu......."

   "Aku Nurseta, paman"

   "Ah, benar. Anakmas Nurseta"

   Katanya kemudian kembali alisnya berkerut.

   "Akan tetapi......."

   Dia menoleh kepada Warsiyem yang masih menangis.

   "apa artinya ini? Mengapa kau bersama perempuan ini..........?"

   "Tenanglah paman. Untung bahwa paman belum membunuh isteri paman, karena kalau hal itu sampai terjadi, paman akan menyesal selama hidup paman, karena paman akan menjadi seorang pengecut yang rendah budi dan sama sekali tidak adil"

   "Apa............ Apa maksudmu, orang muda?"

   Medang Dangdi yang sudah menyimpan kerisnya itu kini kembali menjadi merah mukanya.

   "Mari kita duduk yang baik dan biar aku yang akan menceritakan semua penderitaan yang telah dialami oleh kanjeng bibi Warsiyem, isteri paman yang bernasib malang ini. Mari kita duduk, paman"

   Mereka bertiga duduk, biarpun Medang Dangdi masih ragu-ragu dan memandang penuh curiga. Warsiyem duduk pula mendekat, akan tetapi masih menundukkan muka dan menangis terisakisak. Nurseta lalu mulai bercerita. Mula-mula dia bercerita tentang dirinya sendiri yang terjungkal ke bawah tebing curam oleh ulah Ki Cucut Kalasekti yang menyerangnya dengan Sisik Nogo. Kemudian betapa dia selamat dapat mencapai goa di mana dia bertemu dengan Warsiyem yang ditawan oleh Ki Cucut Kalasekti di tempat terasing itu, kemudian betapa sampai empat tahun lebih dia bersama wanita itu tinggal di dalam goa dan berlatih ilmu bela diri. Dan akhirnya betapa dia dan Warsiyem berhasil keluar da. goa ketika Ki Cucut Kalasekti datang berkunjung dan dia berhasil merobohkan kakek iblis itu.

   "Dan aku mendengar pengalaman kanjeng bibi Warsiyem darinya sendiri, paman. Ketika paman pergi, tak lama kemudian, Ki Cucut Kalasekti kebetulan lewat di dusun Paguh dan melihat kanjeng bibi. Ki Cucut Kalasekti lalu memaksa kanjeng bibi ikut. Kanjeng bibi tak berdaya karena siapa berani melawannya? Laripun tiada gunanya. Karena itu, untuk menyelamatkan puteri paman, diajeng Wulansari, kanjeng bibi lalu mengutus adiknya untuk membawa puterinya menyusul paman ke Singosari. Kemudian, kanjeng bibi dibawa dengan paksa oleh Ki Cucut Kalasekti. Kanjeng bibi diancam, dipaksa, diperkosa, dibujuk. Namun kanjeng bibi tetap tidak mau menyerah, sehingga akhirnya karena kecewa dan marah Ki Cucut Kalasekti lalu membawanya ke dalam goa di tebing itu. Nah, demikianlah, paman. Kanjeng bibi Warsiyem telah mengalami penghinaan, perkosaan, dan siksaan lahir batin, namun ia tetap tidak mau menyerah kepada Ki Cucut Kalasekti. Hanya karena teringat kepada paman dan puterinya maka ia tidak membunuh diri. Dan sekarang, setelah Sang Hyang Wisesa mempertemukan kalian berdua, paman bahkan menuduhnya secara keji tanpa bukti"

   Selagi Nurseta bercerita, tangis Warsiyem makin menjadi-jadi sampai ia sesenggukan seperti anak kecil, Wajah Medang Dangdi berubah pucat sekali dan kini dia menoleh kepada isterinya, lalu ditubruknya isterinya itu dengan air mata bercucuran.

   "Aduhhh........isteriku...... diajeng, maafkan aku........maafkan aku yang terburu nafsu mendengar diajeng pergi bersama seorang pria. Ah, betapa bodoh dan gilanya aku menuduh diajeng yang bukan-bukan........ maafkan aku.."

   Dia merangkul isterinya. Warsiyem merintih lirih dalam tangisnya, tak dapat berkata-kata dan terkulai dalam pelukan suaminya. Sejenak mereka saling berangkulan dan Nurseta merasa betapa kedua matanya panas karena dia merasa terharu sekali.

   "Tidak......... Tidak......."

   Tiba-tiba Warsiyem meronta, melepaskan diri dari pelukan suaminya, lalu meloncat ke belakang, wajahnya pucat sekali, air matanya masih bercucuran di sepanjang kedua pipinya.

   "Tidak, aku tidak berharga lagi untuk menjadi isterimu, kakangmas Medang........ aku telah ternoda, aku telah menjadi permainan Ki Cucut Kalasekti, diperkosa puluhan kali. Aku tidak layak menjadi isterimu, tidak ada gunanya lagi aku hidup. Kau carilah anak kita, carilah Wulansari, tanya kepada anakmas Nurseta......."

   Tiba-tiba saja wanita yang nekat itu menggerakkan bambu Runcing, mengarahkan ujung bambu yang Runcing itu ke arah perutnya sendiri.

   "Warsiyem........."

   Medang Dangdi berteriak akan tetapi tidak mampu melakukan sesuatu. Dia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Nurseta telah merampas bambu Runcing dari tangan wanita itu, yang berlutut sambil menangis dan mengeluh.

   "Biarkan aku mati ahh, biarkan aku mati......."

   "Kanjeng bibi, ingatlah"

   Nurseta berkata dengan suaranya yang halus namun meresap ke dalam hati wanita itu.

   "Kalau suami dan anakmu memang orang orang yang bijaksana, dalam pandang mata mereka kanjeng bibi sama sekali tidak hina, tidak kotor, tidak rendah. Mereka berdua masih membutuhkan kasih sayangmu kanjeng bibi"

   MENDENGAR ucapan ini, berhentilah tangis Warsiyem dan ia menengadah, memandang ke arah suaminya, wajahnya pucat, sepasang matanya memandang penuh harap, mukanya basah air mata dan bibirnya bergetar ketika terdengar ia bertanya lirih.

   "Be....... benarkah itu........?"

   Medang Dangdi menubruk dan merangkul isterinya, diciuminya wajah yang basah air mata itu.

   "Benar sekali, isteriku. Kakek iblis itu boleh jadi merampas tubuhmu, memiliki tubuhmu, mengotori tubuhmu. Akan tetapi siapapun tidak dapat merampas hatimu, tidak dapat memiliki cintamu, tidak dapat mengotori hatimu yang hanya mencinta aku dan anak kita seorang. Engkau tidak hina dalam pandanganku, diajeng, bahkan aku menghormatimu, aku mengagumi pengorbananmu. Engkau isteriku, hatimu tidak ternoda. Noda badan dapat dicuci bersih, dan hatimu tetap milikku, cintamu hanya untuk aku dan anak kita"

   Wajah itu kini agak mlerah dan gepasang mata itu agak berseri.

   "Kakangmas Medang..... benar....... benarkah itu? Bukan hanya sekedar hiburan belaka? Kelak engkau........ tidak akan menghinaku dengan peristiwa itu?"

   Suaminya menatapnya sambil tersenyum walaupun matanya masih basah dan menggeleng kepalanya.

   "Tidak, isteriku. Semua itu terjadi bukan atas kehendakmu. Engkau telah menderita lahir batin selama belasan tahun, sekarang saatnya engkau hidup berbahagia dengan aku, dengan kami, aku dan anakmu"

   "Wulan........... Wulansari, dimanakah ia?"

   Warsiyem nampak gelisah dan menoleh ke kanan kiri, seperti mencari-cari dan mengharapkan akan dapat menemukan puterinya di situ.

   Medang Dangdi memandang kepada Nurseta.

   "Bukankah tadi anakmas ini bercerita bahwa puteri kita itu ikut dengan Cucut Kalasekti?"

   "Benar, kanjeng paman. Kami, yaitu kanjeng bibi dan aku, telah mencari ke rumah gedung tua tempat tinggal Ki Cucut Kalasekti, namun rumah itu kosong dan agaknya sudah lama tidak terawat. Kami lalu ke sini dan melihat rumah kanjeng bibi juga kosong dan tidak terawat"

   "Ah, Nurseta, sekarang aku teringat. Bukankah iblis tua itu ketika tiba di dalam goa mengatakan bahwa dia kini telah menjadi adipati bernama Adipati Satyanegara, adipati di Bendowinangun?"

   Tiba-tiba Warsiyem berseru.

   Nurseta mengangguk.

   "Benar, sayapun ingat sekarang, kita harus melakukan penyelidikan ke Bendowinangun"

   Ki Medang Dangdi mengerutkan alisnya.

   "Bendowinangun adalah kadipaten wilayah Kerajaan Dhaha. Aku sebagai seorang senopati Singosari, sungguh merasa kurang enak kalau harus melakukan penyelidikan ke sana. Dan pula, aku harus ikut dengan pasukan yang kembali ke Singosari setelah berhasil menaklukkan Bali. Diajeng Warsiyem, marilah engkau ikut bersamaku palang ke Singosari, nanti setelah menghadap Sribaginda, aku akan minta ijin untuk pergi mencari anak kita ke Bendowinangun"

   Isterinya mengangguk.

   "Kalau begitu, biarlah Nurseta yang pergi mencari Wulan ke Bendowinangun"

   "Ah, bagaimana kita berani merepotkan anakmas Nurseta?"

   Medang Dangdi berkata sungkan.

   "Kakangmas Medang, ketahuilah bahwa anakmas Nurseta ini bukanlah orang lain. Dia dan Wulan saling mencinta, dia adalah calon mantu kita"

   "Ah, begitukah?"

   Wajah Ki Medang Dangdi berseri.

   "Aku girang sekali. Kalau begitu, bolehkah kami berharap anakmas Nurseta akan mencari Wulansari ke Bendowinangun"

   Nurseta dalam hatinya membantah bahwa dia dapat menjadi jodoh Wulansari, akan tetapi dia tidak mau mengecewakan dan membuyarkan harapan suami isteri yang baru saja saling bertemu dan dalam kebahagiaan itu. Bagaimanapun juga, dia sudah memberitahukan dengan terus terang kepada yang berkepentingan, yaitu Wulansari sendiri bahwa biarpun dia dan gadis itu saling mencinta, namun tidak mungkin menjadi suami isteri karena dia telah bertunangan dengan seorang gadis lain.

   "Baiklah, kanjeng paman dan bibi, saya akan pergi ke Bendowinangun mencari diajeng Wulansari dan akan saya beritahukan tentang keadaan dirinya yang sebenarnya, siapa sesungguhnya ayah dan ibu kandungnya, dan tentang Ki Cucut Kalasekti yang sama sekali bukan kakeknya, melainkan musuh yang mencelakakan ibunya"

   Dalam hati dia menambahkan bahwa selain mencari Wulansari, diapun ingin meminta kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.

   Ki Medang Dangdi memberi isarat kepada pasukan kecil yang mengawalnya untuk mendekat, lalu minta seekor kuda yang baik untuk isterinya. Kemudian, setelah berpamit, dia dan isterinya berpisah dari Nurseta yang menolak ketika akan diberi seekor kuda. Nurseta melanjutkan perjalanan untuk mencari Wulansari dan tombak pusaka, sedangkan Medang Dangdi membawa isterinya bergabung dengan induk pasukan kembali ke Singosari.

   Ketika empat lima tahun yang lalu Wulansari melihat Nurseta terjungkal ke dalam jurang, ia menjadi putus asa, berduka, akan tetapi juga sakit hati kepada wanita yang menjadi tunangan Nurseta. Bersama kakeknya, ia pergi ke Pegunungan Kelud mencari calon isteri Nurseta dan setelah melakukan penyelidikan, bertanya kepada para penghuni dusun di daerah Pegunungan Kelud, akhirnya ia

   (Lanjut ke Jilid 16)

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16

   mendengar bahwa calon isteri Nurseta itu bernama Pertiwi, seorang gadis manis yang tinggal di dusun Sintren. Ia lalu pergi ke dusun itu, dibayangi oleh Ki Cucut Kalasekti yang merasa khawatir kalau-kalau cucunya akan menghadapi bahaya. Seperti kita ketahui, setelah bertemu dengan Pertiwi dan mendengar bahwa gadis dusun itu telah ternoda oleh Gagak Wulung, Wulansari tidak jadi membunuh Pertiwi, bahkan mentertawakan dan memberitahukan bahwa Nurseta telah mati. Kemudian, ia lari meninggalkan Pertiwi sambil menangis.

   Melihat keadaan muridnya itu, Ki Cucut Kalasekti menggeleng-geleng kepala dengan heran sekali. Gadis yang diaku cucunya dan menjadi muridnya itu tidak jadi membunuh tunangan Nurseta, bahkan lari pergi sambil menangis. Dia yang sudah berusia tujuhpuluh lima tahun, tetap saja merasa bingung melihat sikap wanita, dan tidak dapat menyelami perasaan mereka. Diapun lalu mengejar Wulansari dan mereka pulang ke Bendowinangun.

   Berulang kali Ki Cucut Kalasekti membujuk Wulansari untuk suka menerima kehendak hati Sang Prabu Jayakatwang agar gadis itu mau menjadi selirnya merangkap puteri pengawal dalam istana. Namun Wulansari selalu menolak sehingga diam-diam Ki Cucut Kalasekti mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa kalau gadis itu tetap menolak, dia akan mengambilnya menjadi isterinya sendiri. Kini, setelah dewasa, Wulansari mirip sekali dengan wanita yang membuatnya tergila gila, yaitu Warsiyem, ibu kandung gadis itu.

   Wulansari sendiri nampak murung semenjak melihat Nurseta terjungkal ke bawah tebing. Ia merasa seolaholah hidupnya kosong dan tidak mempunyai harapan. Teringatlah ia akan tombak pusaka Ki Tejanirmala. Tombak pusaka itulah yang menjadi gara-gara, pikirnya. Kalau saja tidak ada pusaka yang dipej rebutkan itu, tentu ia tidak berhadapan dengan Nurseta sebagai musuh yang memperebutkan pusaka. Dan kini tombak pusaka itu oleh kakeknya telah diberikan kepada Sang Prabu Jayakatwang dengan ditukar kedudukan adipati. Hatinya mulai tertarik. Mengapa untuk tombak seperti itu saja Sang Prabu Jayakatwang sampai mau menukarnya dengan sebuah kadipaten berikut kedudukan adipati? Apa sih khasiatnya tombak itu? Hatinya mulai diganggu penasaran dan iapun mulai tertarik, ingin hidup di sebuah kota raja seperti Daha, di mana terdadat banyak satria yang perkasa. Ia ingin menghibur hatinya yang berduka itu dan hidup di kota raja. Maka, iapun menerima bujukan kakeknya, akan tetapi hanya mau menjadi pengawal dalam istana, bukan menjadi selir.

   "Aku suka menjadi pengawal dalam istana atau pengawal pribadi Sang Prabu, akan tetapi aku tidak mau menjadi selir siapapun juga. Kalau ada yang berani mengganggu dan menyentuhku, siapapun dia, akan kubunuh"

   Karena kesanggupan Wulansari, menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, Ki Cucut Kalasekti merasa girang sekali. Hal itu jauh lebih menguntungkan dirinya dari pada kalau dia harus memaksa gadis itu menjadi mangsa nafsunya, karena dia khawatir kalau-kalau gadis itu akan bersikap seperti lbunya, tidak mau menyerahkan diri secara suka rela dan hal ini amat mengecewakan dan menyakitkan hatinya, Dia lalu mengantarkan gadis itu menghadap Sang Prabu Jayakatwang yang merasa girang sekali karena gadis itu mau menjadi pengawal dalam istana atau juga pengawal pribadinya. Biarpun gadis itu tidak bersedia menjadi selirnya, namun sedikitnya dia akan selalu berdekatan dan merasa terlindung oleh seorang gadis yang cantik dan sakti, dan siapa tahu, lambat laun gadis itu akhirnya akan menyerahkan diri juga menjadi selirnya seperti yang diam-diam diberitahukan oleh Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti itu.

   Demikianlah, mulai saat itu, Wulansari tinggal di dalam istana, sebagai seorang penjaga keamanan pribadi raja dan juga kepala pengawal bagian dalam kraton.

   Setelah gadis yang selama ini diakui cucu dan juga diambil murid itu pergi meninggalkannya, barulah Ki Cucut Kalasekti merasa kesepian. Maka diapun teringat kepada Warsiyem, ibu kandung gadis itu dan pergilah dia ke Blambangan, ke tebing curam di tepi pantai dan mengunjungi goa tempat dia menawan wanita itu dengan perahu, lalu memanjat ke atas. Seperti kita ketahui, dia dirobohkan oleh Nurseta dan kunjungannya itu bahkan membuka kesempatan kepada Nurseta dan Warsiyem untuk meninggalkan tempat itu.

   Setelah berpisah dari Ki Medang Dangdi dan Warsiyem, Nurseta melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat menuju ke Kadipaten Bendowinangun, di dekat Kali Campur. Dia akan mencari Wulansari dan menceritakan tentang rahasia gadis itu, tentang ayah dan ibu kandungnya, tentang Ki Cucut Kalasekti yang sebenarnya adalah musuh besarnya. Dan tentu saja, dia mengharapkan gadis itu akan mengembalikan tombak pusaka Ki Tejanirmala. Setelah tombak pusaka itu dapat berada di tangannya kembali, barulah dia akan pergi ke Pegunungan Kelud mengunjungi ayah angkatnya, Ki Baka.

   Tentu saja setelah dia tiba di Kadipaten Bendowinangun, dia mendapatkan gedung kadipaten itu kosong, banya ada para abdi dalem dan pasukan pengawal saja. Dari keterangan yang diperolehnya, ternyata bahwa gadis yang dicarinya, Wulansari, kini telah menjadi seorang pengawal pribadi di kraton Sang Prabu Jayakatwang. Dan dia memperoleh keterangan pula bahwa Sang Adipati Satyanegara, yaitu nama baru bagi Ki Cucut Kalasekti, telah beberapa hari lamanya meninggalkan kadipaten, tanpa seorangpun mengetahui ke mana perginya, Nurseta diam-diam mengharapkan kakek itu tidak akan dapat keluar lagi dari goa di tebing curam itu.

   Nurseta segera menuju ke Kerajaan Daha di Kediri. Tentu saja dia mengalami kesulitan untuk dapat berjumpa dengan Wulansari yang menjadi kepala penjaga keamanan di kraton, bahkan menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, Kepala pasukan di luar kraton mencurigainya dan Nurseta telah dikepung oleh para penjaga itu, dan komandan mereka mengamati pemuda yang menanyakan dan mencari Wulansari itu dengan penuh selidik.

   "Siapakah kau dan ada keperluan apakah kau mencari Raden Roro Wulansari, kepala penjaga istana?"

   Hardik komandan yang berkumis melintang seperti kumis Gatotkaca itu.

   Nurseta bersikap tenang saja.

   "Namaku Nurseta, harap dilaporkan kepada.........Raden Roro Wulansari bahwa Nurseta datang dan ingin bertemu, tentu ia akan mengenal siapa aku dan akan keluar menemuiku"

   Akan tetapi komandan itu takut kalau dia dipersalahkan, maka diapun bertanya dengan nada menyelidik.

   "Ki sanak, tidak begitu mudah untuk menjumpai beliau. Kami akan melaporkan, akan tetapi katakan dulu apa keperluanmu datang hendak menghadap beliau?"

   Nurseta maklum bahwa dia tidak dipercaya, bahkan dicurigai, maka dia lalu teringat akan Ki Cucut Kalasekti yang menjadi adipati, dan diapun menjawab tegas.

   "Aku adalah utusan dari Sang Adipati Satyanegara, kakek dari Raden Roro Wulansari, dan aku datang membawa pesan penting dari Sang Adipati untuk cucunya itu"

   Tepat sekali dugaannya. Begitu mendengar bahwa dia utusan Sang Adipati Satyanegara yang semua orang mengenal sebagai kakek dari Wulansari, komandan itu merobah sikapnya, menjadi ramah sekali.

   "Ah, kiranya kau utusan dari Kadipaten Bendowinangun? Mengapa tidak dari tadi kau katakan demikian? Duduklah, ki sanak, kami akan memberi laporan ke dalam istana,"

   Nurseta dipersilakan duduk di ruangan tunggu, di luar istana itu. Sambil tersenyum lega pemuda ini lalu duduk di situ, menanti dengan hati agak tegang. Ingin sekali dia melihat bagaimana sikap Wulansari kalau berhadapan dengan dia. Tentu, seperti juga Ki Cucut Kalasekti, gadis itu sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia masih hidup.

   Tidak terlalu lama Nurseta menunggu. Komandan itu datang dengan sikap hormat membongkok-bongkok, mengiringkan seorang wanita yang berpakaian serba hijau, ringkas, pakaian seorang perwira yang gagah. Rambutnya yang hitam panjang itu digelung dan dihias dengan hiasan rambut terbuat dari pada emas permata, juga lengannya terhias gelang-gelang yang bertaburan intan. Wajahnya yang cantik itu berseri dan mengandung wibawa yang membuat seorang pria tidak akan berani sembarangan saja bersikap kurang ajar terhadap wanita cantik ini.

   

Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini