Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 15


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



Ketika wanita itu berhadapan dengan Nurseta yang sudah bangkit berdiri, mereka berdta berdiri saling berbadapan, dalam jarak kurang lebih dua meter, dan keduanya seperti terpesona. Wajah Wulansari yang tadinya berseri itu kini dibayangi keheranan dan ketidak percayaan, sebentar merah sebentar pucat, matanya terbelalak dan sampai lama ia tidak raampu mengeluarkan kata-kata, Juga Nurseta seperti orang kehilangan akal, hanya berdiri menatap wajah gadis itu, terpesona karena dalam hatinya yang penuh kerinduan itu kini penuh kagumi, matanya melihat gadis yang dicintanya itu kini bahkan lebih cantik dari pada dahulu.

   "Kakangmas Nurseta......"

   Akhirnya Wulansari mengeluh, suaranya lirih seperti rintihan.

   "Diajeng Wulansari........"

   Nurseta juga memanggil, penuh kerinduan, Hampir keduanya saling tubruk, akan tetapi Wulansari teringat bahwa ada beberapa pasang mata memandang mereka, yaitu mata para penjaga komandannya, Maka iapun membalik dan menghardik mereka.

   "Tinggalkan kami di sini dan jangan ganggu"

   Komandan itu memberi hormat, lalu diapun membentak para anak buahnya untuk pergi meninggalkan ruangan itu. Mereka itu dengan muka tunduk dan patuh meninggalkan ruangan dan keluar untuk berjaga di gardu penjagaan yang berada di luar pintu gerbang halaman istana.

   Setelah mereka semua pergi, Wulansari melangkah maju dan tanpa dapat ditahannya lagi, langsung ia menubruk dan merangkul Nurseta dan suaranya terdengar menggetar ketika ia memanggil.

   "Kakangmas........"

   Mereka berpelukan, penuh kerinduan dan sejenak Nurseta mendekap kepala, yang amat dirindukan dan disayangnya itu ke dadanya, seolah ingin memasukkan kepala itu ke dalam dadanya agar jangan terpisah lagi darinya. Kemudian, menyadari bahwa mereka berada di ruangan pendopo istana, keduanya saling melepaskan rangkulan dan Wulansari melangkah mundur dua langkah, memandang dengan mata basah dan dengan senyum manis menghias mulutnya.

   "Kakangmas Nurseta, duduklah dan ceritakan bagaimana....... bagaimana engkau dapat hidup lagi. Ah, kakangmas, melihat engkau terjungkal di tebing itu, pikiranku tidak memungkinkan bahwa engkau akan terbebas dari kematian, akan tetapi sesungguhnya, hatiku tidak pernah putus mengharapkan bahwa engkau selamat dan masih hidup"

   Mereka duduk berhadapan.

   "Mungkin cinta kita dan doamu yang mendorong Sang Hyang Wisesa mengulurkan tangan dan menyelamatkan aku, diajeng"

   "Ceritakan, kakangmas, ceritakanlah bagaimana engkau dapat menyelamatkan diri dari.... kejatuhan itu"

   Mau tidak mau Wulansari bergidik membayangkan betapa tubuh kekasihnya itu terjungkal dari atas puncak tebing yang demikian curamnya.

   Dengan ringkas namun jelas Nurseta lalu menceritakan betapa batang pohon yang tumbuh di dinding tebing itu yang menyelamatkannya dan betapa dia dapat merayap ke dalam sebuah goa tidak jauh dari situ.

   "Dan tahukah engkau siapa yang kujumpai di dalam goa yang besar itu, diajeng?"

   Tanya Nurseta sambil mengamati wajah cantik yang mendengarkan dengan penuh takjub itu, wajah yang mirip sekali dengan wajah wanita dalam goa, akan tetapi tentu saja wajah yang ini jauh lebih muda dan lebih cantik manis. Mendengar pertanyaan ini, Wulansari yang sudah keheranan itu menjadi semakin heran.

   "Engkau menjumpai orang di dalam goa itu?"

   Tanyanya, dan matanya yang lebar itu memandang tanpa berkedip.

   Nurseta mengangguk dan tersenyum, jantungnya berdebar tegang karena dia menghadapi saat yang dinanti-nantikan, yaitu pembukaan rahasia keluarga gadis ini.

   "Dan siapakah yang kujumpai itu, diajeng? Ia seorang wanita, setengah tua dan cantik jelita, seperti engkau.."

   "Ihh. Kakangmas, apa kau mau mengatakan bahwa aku sudah setengah tua?"

   Wulansari terbelalak dan mengelus pipinya sendiri.

   Nurseta tersenyum lebar.

   "Bukan begitu maksudku, diajeng. Akan tetapi wanita itu memang memiliki wajah yang cantik dan mirip sekali dengan wajahmu, tentu saja ia jauh lebih tua. Namanya.... Warsiyem.."

   Nurseta sengaja mengucapkan nama ini dengan.tegas dan dia mengamati wajah cantik itu untuk melihat reaksinya.

   Memang menarik sekali mempelajari reaksi gadis itu. Ia seperti orang tertegun, kedua alisnya berkerut dan ia seperti mengingat-ingat, melamun, akan tetapi lalu menggeleng kepala perlahan.

   "Aku seperti merasa tidak asing dengan nama itu, akan tetapi..... ah, aku tidak mengenalnya..."

   Lalu ia menyambung cepat.

   "Akan tetapi, bagaimana wanita itu dapat berada di dalam goa itu, kakangmas?"

   Nurseta sedang berpikir-pikir bagaimana caranya untuk membuka rahasia gadis itu. Mendengar pertanyaan itu, diapun sudah mendapatkan cara terbaik, harus perlahan dan tidak mendadak.

   "Wanita itu, kanjeng bibi Warsiyem, sudah berada di dalam goa itu selama sepuluh tahun ketika aku tiba disana, dan ia berada di sana sebagai tawanan seorang yang amat jahat. Ia diculik dari rumahnya, dipaksa menjadi isteri penjahat itu. Ia tidak mau menyerah sehingga diperkosa dan disiksa, akan tetapi ia tetap tidak mau menyerahkan diri dengan suka rela, maka penjahat itu menjadi marah dan ia ditahan di dalam goa di mana ia tidak akan mampu keluar karena goa itu berada di dinding tebing yang curam, sama sekali tidak ada jalan keluar"

   "Hemm, betapa jahatnya laki-laki itu, dan betapa gagah beraninya wanita itu"

   Kata Wulansari dan diam-diam Nurseta merasa girang karena memang inilah yang dikehendakinya. Sebelum membuka rahasia itu, dia ingin menanamkan kebencian dalam hati gadis ini terhadap Ki Cucut Kalasekti dan kekaguman terhadap Warsiyem.

   "Akan tetapi, kalau tidak ada jalan keluar, bagaimana engkau dapat keluar dari sana, kakangmas?"

   Wulansari agaknya tidak begitu tertarik kepada wanita dalam goa dan penculiknya, maka pertanyaannya selalu mengenai diri Nurseta.

   "Sampai empat lima tahun aku berada di sana, diajeng, sama sekali tidak berdaya untuk dapat keluar. Merayap naik tidak mungkin karena amat tinggi dan curam. Merayap turun sampai ke laut dapat dilakukan, akan tetapi setibanya di bawah, juga tidak ada jalan keluar karena akan disambut air laut dahsyat yang akan menghempaskan kami ke batu karang dan tidak ada perahu di sana. Terpaksa aku tinggal di sana sampai empat tahun lebih, bersama kanjeng bibi Warsiyem dan kami memperdalam ilmu dan memperkuat tenaga sakti. Akhirnya, pada suatu pagi, muncullah penculik jahat itu untuk menjenguk kanjeng bibi. Aku menyerangnya dan berhasil merobohkannya. Lalu kami berdua cepat merayap turun, menggunakan perahu penjahat itu selagi laut menyurut dan akhirnya kami berhasil lolos dan mendarat"

   Wulansari mendengarkan dengan hati penuh ketegangan.

   "Ah, aku girang sekali bahwa engkau selamat, kakangmas, tapi........ bagaimana engkau dapat menjadi utusan kakekku? Benarkah Eyang Adipati Satyanegara yang mengutusmu ke sini?"

   Nurseta tersenyum mendengar sebutan Eyang Adipati ini kepada Cucut Kalasekti. Dia menggeleng.

   "Aku berbohong agar para penjaga itu mau percaya kepadaku, diajeng. Akan tetapi nanti dulu, apakah engkau tidak ingin mengetahui siapa adanya kanjeng bibi Warsiyem itu, dan siapa pula penculiknya yang jahat?"

   Wulansari menggeleng kepala dengan acub.

   "Aku tidak mengenal wanita itu, dan aka tidak perduli siapa pria yang amat jahat itu...."

   "Penculik jahat itu bukan lain adalah Ki Cucut Kalasekti"

   Wulansari mengerutkan alisnya, Tidak aneh baginya berita ini. Ia sudah tahu akan watak buruk kakeknya itu terhadap wanita, walaupun ia sama sekali tidak menyangka bahwa penculik wanita dalam goa itu adalah kakeknya. Akan tetapi ia teringat betapa penculik itu dirobohkan Nurseta di dalam goa, maka kini ia memandang penuh selidik.

   "Dan engkau memukul dia roboh di dalam goa? Engkau....... engkau membunuhnya?"

   Nurseta menggeleng kepalanya.

   "Aku merobohkannya karena dia hendak membunuhku, dan dia tidak mati. Aku dan kanjeng bibi cepat meninggalkan goa itu untuk meloloskan diri"

   "Dan kau tinggalkan kakekku di sana? Ah, aku harus ke sana untuk menoIongnya"

   "Nanti dulu, diajeng. Tahukah engkau siapa adanya kanjeng bibi Warsiyem?"

   Gadis itu mengamati wajah Nurseta penuh selidik, tidak mengerti mengapa pemuda itu bertanya demikian.

   "Kanjeng Bibi Warsiyem adalah........ ibu kandungmu sendiri, diajeng"

   "Ohhhh..........."

   Seketika wajah Wulansari menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang wajah Nurseta.

   "Apa........ apa maksudmu, kakangmas Nurseta? Kalau ia ibuku,mengapa kakekku menculiknya dan........ dan....... memperkosanya katamu tadi?"

   Gadis itu benar-benar bingung sekali.

   "Ki Cucut Kalasekti bukan kakekmu, diajeng. Dia hanya mengaku aku saja sebagai eyangmu. Dia membohongimu "

   "Ohhh......."

   Untuk ke dua kalinya gadis itu menjerit kecil dan mukanya kini berubah lagi menjadi semakin pucat, lalu berubah merah sekali.

   "Apa maksudmu, kakangmas? Aku........ aku bingung sekali. Benarkah semua kata-katamu ini dapat dipercaya?"

   "Tenanglah, diajeng dan dengarkan ceritaku, cerita ibumu tentang pengalamannya yang penuh derita"

   Dengan hati-hati Nurseta lalu mengulang cerita Warsiyem yang pernah didengarnya dari wanita itu, betapa wanita itu yang ditinggal suaminya mencari pekerjaan di Singosari, dilarikan Ki Cucut Kalasekti, diperkosa dan dibujuk, kemudian karena ia selalu menolak, dilempar ke dalam goa itu. Betapa anak tunggalnya, Wulansari, disuruhnya melarikan diri bersama adiknya laki-laki menunggang perahu untuk menyusul suaminya di Singosari. Betapa kemudian setelah berhasil lolos dari goa bersama Nurseta dan berkunjung ke dusun Paguh, wanita itu bertemu dengan suaminya yang telah menjadi senopati Singosari dan yang baru saja kembali memimpin pasukan menaklukkan Bali.

   "Demikianlah, diajeng Wulansari. Ayah dan ibumu itu kini kembali ke Singosari dan mengutus aku untuk mencarimu. Aku mencari di Bendowinangun, akan tetapi di sana mendengar keterangan bahwa engkau menjadi pengawal istana di sini, maka aku mencarimu di sini. Ayahmu itu adalah seorang senopati Singosari, namanya Ki Medang......"

   "Medang Dangdi........"

   Tiba-tiba Wulansari berseru keras dan seperti orang terkejut ia bangkit berdiri, wajahnya pucat dan matanya memandang jauh.

   "Ah, kakangmas Nurseta....., sekarang teringatlah aku........ ayahku Ki Medang Dangdi, ibuku Warsiyem, dan ketika itu s.......... ibu memaksaku pergi melarikan diri, bersama Paman Sarjito...... kami naik perahu. Kemudian berganti perahu besar dengan para penumpang lainnya, dan perahu itu diserang badai dan terbalik. Kepalaku terbentur karang dan aku tidak ingat apaapa lagi....."

   Nurseta mengangguk senang.

   "Sampai,engkau diselamatkan oleh Ki Jembros dan disembuhkan oleh Eyang Panembahan Sidik Danasura, akan tetapi engkau lupa akan riwayat dirimu"

   "Ya........ ya......., dan muncullah eyang..... ah, dia itu, Ki Cucut Kalasekti yang mengaku sebagai kakekku, dan dengan penuh kasih sayang dia menggemblengku dengan ilmu-ilmu kesaktian. Dia kelihatan begitu baik kepadaku, tapi...."

   Tapi......"

   "Diajeng, dialah laki-laki yang telah merusak kehidupan ibu kandungmu"

   "Dan dia bahkan hampir membunuhmu, kakangmas. Dia jahat sekali, akan tetapi dia begitu sayang kepadaku......... ah, sungguh bingung aku, kakangmas. Aku harus pergi menemui ayah dan ibu kandungku........"

   "Memang seharusnya demikian. Mereka telah menantimu di Singosari dengan hati penuh kerinduan. Marilah, diajeng, mari kita pergi bersama ke Singosari"

   "Aku akan minta ijin dulu dari Sribaginda. Engkau tunggulah di sini, kakangmus"

   Dan gadis itu dengan wajah masih tegang lalu meninggalkan Nurseta dan masuk ke dalam istana Selama hampir empat tahun menjadi pengawal istana, Wulansari memperlihatkan kesetiaan dan semua orang di istana menghormatinya dan segan kepadanya. Bahkan Sang Prabu Jayakatwang sendiri merasa suka kepadanya, dan melihat bahwa gadis itu sama sekali tidak dapat digoda, raja yang pandai inipun tidak mau mendesak, Baginya, lebih penting tenaga dan kesetiaan Wulansari. Kalau hanya wanita, akan mudah baginya mendapatkan yang jauh lebih cantik menggairahkan dari pada gadis perkasa itu. Maka, ketika Wulansari minta ijin kepada Sang Prabu Jayakatwang untuk pulang ke Bendowinangun dan menengok kakeknya, ia tidak berani mengatakan bahwa ia akan menemui ayahnya yang menjadi senopati Singosari yang diam-diam dimusuhi oleh Raja Kediri itu, Sang Prabu dengan senang hati memberi ijin.

   Berangkatlah Wulansari dan Nurseta, bukan ke Bendowinangun melainkan langsung ke Singosari. Sebelum berangkat, Nurseta sempat bertanya kepada Wulansari.

   "Diajeng, jangan lupa, bawalah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, karena pusaka itu harus kukembalikan kepada ayahku"

   Tiba-tiba sikap Wulansari berubah kaku dan ia memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut.

   "Kakangmas, apakah yang menjadi pikiranmu hanya tombak pusaka itu saja? Jadi kedatanganmu ini bukan sengaja mencari aku melainkan mencari tombak itu?"

   "Kedua duanya, diajeng. Tombak pusaka itu amat penting bagi kami, dan harus kukembalikan kepada ayahku. Di manakah pusaka itu, diajeng Wulansari?"

   "Pusaka itu disimpan oleh eyang........ eh, oleh Ki Cucut Kalasekti"

   Gadis itu membohong. Ia sudah tahu bahwa pusaka itu oleh kakeknya diberikan kepada Sang Prabu Jayakatwang, akan tetapi iapun sudah bersumpah, seperti semua pejabat di Kediri, untuk tidak membocorkan hal itu. Setelah beberapa tahun menghambakan diri di istana itu, ia merasa suka dan timbul kesetiaannya, maka iapun tidak mau membocorkan rahasia itu. Bagaimanapun juga, bukan ia yang menyerahkan pusaka itu kepada Raja Kediri, melainkan Ki Cucut Kalasekti.

   "Ah......"

   Nurseta nampak menyesal. Dia percaya kepada keterangan Wulansari itu.

   "Kalau aku tahu begitu, tentu takkan kulepaskan dia yang sudah tidak berdaya menggeletak di dalam goa itu......"

   "Sudahlah, kakangmas. Sekarang yang terpenting adalah menemui ayah ibuku. Tentang tombak pusaka itu, kita bicarakan kelak saja"

   Karena pada saat itu tidak mungkin menjumpai Ki Cucut Kalasekti untuk minta kembali Ki Ageng Tejanirmala, terpaksa Nurseta tidak membantah lalu menemani gadis itu pergi ke Singosari.

   Tidaklah sukar bagi mereka untuk mencari rumah kediaman Senopati Medang Dangdi di kota raja Singosari. Ki Medang Dangdi melupakan seorang di antara para senopati yang terkenal, apa lagi baru saja dia pulang memimpin pasukan yang menang perang. Sungguh merupakan pertemuan yang amat mengharukan dan juga menggembirakan yang terjadi di pagi hari itu di rumah kediaman Senopati Medang Dangdi.

   Begitu bertemu. Wulansari dan ibunya saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis, Tanpa kata-kata, ibu dan anak ini sudah saling mengenal walaupun ketika berpisah dahulu, usia Wulansari baru sepuluh tahun dan kini gadis itu sudah berusia hampir dua puluh lima tahun.

   "Kanjeng ibu......."

   "Wulan......... Wulansari anakku........"

   Setelah bertangis tangisan dengan ibunya, Wulansari lalu menyembah ayahnya yang juga merangkulnya. Ayah ini memandang puterinya penuh perhatian, lalu tertawa girang.

   "Wah, wah, engkau sudah begini besar, anakku. Sudah menjadi seorang gadis dewasa dan nampak gagah perkasa. Anakmas Nurseta sudah menceritakan bahwa engkau kini memiliki kesaktian yang hebat"

   Mereka duduk di ruangan sebelah dalam. Nurseta juga diajak masuk dan suami isteri itu menganggap Nurseta seperti keluarga sendiri. Ketika mendengar bahwa puterinya kini menjadi pengawal istana di Daha, Ki Medang Dangdi mengangguk angguk.

   "Tidak ada salahnya menjadi pengawal istana Daha, apa lagi kepala pengawal istana, pangkat itu cukup terhormat. dan Kerajaan Daha juga merupakan kerajaan keluarga Singosari dan juga mengakui kekuasaan Singosari. Akan tetapi, setelah kita berkumpul, engkau harus melepaskan pekerjaanmu itu, nini, dan tinggal bersama ayah ibumu di sini"

   "Memang seharusnya begitu. Usiamu sudah cukup dewasa, nini, dan di sini....... sudah ada anakmas Nurseta, calon suamimu, Mau tunggu sampai kapan lagi? Engkau pulanglah dan kita segera mempersiapkan pernikahan kalian"

   "Aih, kanjeng ibu........."

   Wulansari memeluk ibunya dengan sikap manja. Hatinya senang sekali melihat ayah ibunya agaknya sudah tahu akan percintaannya dengan Nurseta dan agaknya menyetujuinya. Sejenak ia teringat akan Pertiwi, akan tetapi ingatannya itu tidak menggelisahkan hatinya. Kini, Pertiwi tidak merupakan saingan lagi. Bukankah gadis dusun itu telah ternoda dan sudah pasti Nurseta tidak akan mau memperisterinya setelah dia mendengar akan hal itu.

   Melihat kemanjaan Wulansari, Ki Medang Dangdi dan isterinya tersenyum penuh kebahagiaan, sedangkan Nurseta hanya termenung. Harus diakuinya bahwa cintanya terhadap Wulansari tidak pernah berubah, bahkan makin mendalam. Akan tetapi juga dia tetap memegang kesetiaannya terhadap tunangannya, Pertiwi. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia tega merusak kebahagiaan keluarga yang baru saja berkumpul ini dengan penolakannya? Maka diapun diam saja, hanya menundukkan muka,

   "Yaaa, aku sudah mendengar dari ibumu tentang anakmas Nurseta, anakku. Memang dia pantas menjadi suamimu, dia gagah perkasa, tampan dan berbudi luhur......"

   "Ah, ya, aku belum memberitahu kepadamu bahwa selain itu semua, diapun berdarah bangsawan. Ayahnya adalah seorang pangeran "

   Mendengar ini, baik Ki Medang Dangdi maupun Wulansari terkejut karena Wulansari sendiri baru sekarang mendengar akan hal itu.

   "Putera pangeran kiranya? Siapakah ayahnya itu?"

   Tanya Ki Medang Dangdi.

   Isterinya tersenyum.

   "Engkau "juga mengenalnya, kakangmas. Mendiang avahnya adalah Pangeran Panji Hardoko dari Daha,"

   'Ahhhh........"

   Ki Medang Dangdi nampak terkejut sekali.

   "Benar,"

   Kata isterinya yang tetap gembira, mengira bahwa suaminya terkejut dan gembira.

   "sayang bahwa pangeran itu telah meninggal, dan menurut cerita anakmas Nurseta, ketika masih kecil sekali oleh ayahnya dia diberikan kepada mendiang Ki Bayaraja yang dulu memberontak itu, dan dari mendiang Ki Baya lalu diserahkan kepada Ki Baka yang gagah perkasa......"

   "Nanti dulul"

   Tiba-tiba Ki Medang Dangdi berseru dan dalam suaranya terkandung kekerasan yang mengejutkan isterinya dan juga Wulansari memandang ayahnya, bahkan Nurseta mengangkat muka memandang senopati itu. Senopati itu bangkit dari kursinya dan wajahnya berubah merah sekali, nampaknya seperti orang marah sehingga mengejutkan mereka bertiga.

   "Kenapa, kangjeng rama?"

   Wulansari bertanya heran.

   "Anakmas Nurseta, tahukah kau siapa ibu kandungmu?"

   Pertanyaan ini terdengar agak kaku, tidak ramah seperti tadi sehingga Nurseta memandang heran. Dia menggeleng kepalanya.

   "Saya tidak tahu, kanjeng paman. Ayah Baka sendiri juga tidak tahu siapa ibu kandung saya, sedangkan Ki Baya dan ayah kandung saya sudah meninggal sehingga tidak ada seorangpun yang dapat memberi keterangan siapa ibu saya"

   "Akan tetapi aku tahu. Aku tahu siapa ibumu. la adalah seorang tokoh golongan sesat dari Pasundan, namanya terkenal sekali, yaitu Ni Dedeh Sawitri"

   "Ahhh........."

   Tentu saja Nurseta terkejut bagaikan disambar petir. Dia melompat berdiri dan matanya terbelalak memandang kepada Ki Medang Dangdi. Tentu saja dia terkejut mendengar bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri, wanita iblis itu yang pernah bersama Gagak Wulung nyaris membunuhnya kalau saja dia tidak ditolong oleh Panembahan Sidik Danasura. Wanita iblis yang amat jahat dan keji itu ibu kandungnya?

   "Tidak mungkin...."

   Dia berteriak, wajahnya berubah pucat lalu merah sekali. Lebih baik dia tidak mempunyai ibu kandung dari pada ibu kandung seorang wanita iblis seperti Ni Dedeh Sawitri.

   "Aku masih ingat benar akan semua peristiwa itu,"

   Kata pula Ki Medang Dangdi seperti kepada diri sendiri, matanya termenung memandang jauh.

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kami sama sama masih muda, Pangeran Pan ji Hardoko dan aku, Kami bersahabat dan aku kagum dan suka kepada bangsawan yang berbudi baik dan tidak sombong itu. Sayang, dia tergila gila kepada seorang wanita cantik, yang bukan lain adalah Ni Dedeh Sawitri, wanita muda yang cantik menarik, tokoh dari Pasundan yang agaknya memang dikirim oleh Kerajaan Pasundan untuk memata matai Singosari dan Daha. Hubungan antara mereka akrab dan mesra, bahkan Ni Dedeh Sawitri lalu menjadi seorang selir dari pangeran yang belum menikah itu. Dan hubungan itu membuahkan lahirnya seorang anak laki-laki. Akan tetapi, agaknya Ni Dedeh Sawitri merasa bosan kepada sang pangeran yang mulai sakit-sakitan, bahkan mungkin karena tugasnya selesai, pada suatu hari ia meninggalkan Pangeran Panji Hardoko dan anaknya, tanpa pamit. Hal ini, mengguncang batin pangeran yang sudah lemah itu. Dan itulah sebabnya mengapa dia menyerahkan puteranya kepada Ki Baya yang pada waktu itu juga merupakan seorang kepercayaan sang pangeran. Tak lama sesudah menyerahkan puteranya, diapun meninggal dunia. Agaknya, kepergian Ni Dedeh Sawitri yang sesungguhnya amat dicintanya itu telah menghancurkan hatinya dan membuat penyakitnya menjadi semakin parah. Nah, itulah yang kuketahui dan kalau kau ini putera mendiang Pangeran Panji Hardoko yang diberikan kepada mendiang Ki Baya, maka kaulah putera kandung Ni Dedeh Sawitri"

   "Ahh......... ahhh......"

   Nurseta tidak dapat berkata-kata, kepalanya seperti tiba tiba menjadi pening.

   "Aku adalah seorang yang biasa bersikap terus terang dan jujur, anakmas Nurseta. Oleh karena itu, setelah mengetahui bahwa kau adalah anak kandung Ni Dedeh Sawitri, terpaksa aku menyatakan bahwa hubunganmu dengan puteri kami Wulansari harus putus sampai di sini saja, karena tidak mungkin kami mengijinkan puteri kami menjadi mantu Ni Dedeh Sawitri "

   "Kanjeng rama........"

   Wulansari berseru kaget.

   "Nanti dulu "

   Kata Warsiyem yang juga terkejut sekali mendengar ucapan suaminya.

   "Andai benar dia putera Ni Dedeh Sawitri, lalu mengapa? Apa salahnya dia menjadi suami Wulansari?"

   "Hemm, engkau belum tahu siapa itu Ni Dedeh Sawitri, isteriku. Dan engkaupun belum tahu, anakku. Dengarlah kalian baik-baik, Ni Dedeh Sawitri adalah seorang wanita iblis. seorang tokoh jahat yang amat keji, kejam dan cabul. Entah berapa banyak orang yang tewas di tangannya tanpa sebab, orang-orang tidak berdosa. Dan entah berapa ratus banyaknya pria yang menjadi korban kecabulannya, banyak pula yang dibunuh kalau tidak mau menuruti kehendaknya. Ia cabul dan kotor, lebih hina dari pada seorang perempuan peiacur"

   "Ahhh......."

   Isterinya berseru.

   "Kanjeng rama........"

   Wulansari juga kembali menjerit.

   "Agaknya anakmas Nurseta sudah tahu orang macam apa adanya Ni Dedeh Sawitri, Coba jawab sejujurnya, anakmas, tidak benarkah apa yang kukatakan mengenai diri Ni Dedeh Sawitri tadi?"

   Nurseta tidak menjawab, hanya mengangguk karena memang diapun tahu orang macam apa adanya Ni Dedeh Sawitri.

   "Ah, kalau begitu, tidak mungkin anakku menjadi mantu wanita semacam itu"

   Teriak Warsiyem.

   "Wulansari, engkau tidak boleh menjadi isteri Nurseta. Aku tidak sudi berbesan dengan seorang wanita cabul, seorang tokoh sesatyang rendah budi dan tak tahu malu"

   Dipat dibayangkan betapa sakit rasa hati Nurseta. Kalau benar dia putera Ki Dedeh Sawitri, wanita iblis yang amat jahat itu, kalau memang benar demikian, salahkah dia? Namun, dia masih dapat menguasai dirinya dan berkata dengan suara mengandung kegetiran,

   "Kanjeng Paman Medang Dangdi dan kanjeng Bibi Warsiyem harap kau berdua tenang dan tidak khawatir. Memang saya akui bahwa saya mencinta diajeng Wulansari, akan tetapi aku tidak dapat menjadi suaminya, karena saya telah dijodohkan dengan seorang gadis lain. Karena itu, jangan khawatir, kau berdua tidak akan berbesan dengan ibuku, wanita yang jahat itu. Saya mohon pamit. Diajeng Wulansari, selamat tinggal dan maafkan semua kesalahanku, diajeng"

   Berkata demikian, Nurseta mengerahkan kepandaiannya dan sekali meloncat, tubuhnya berkelebat keluar dari rumah gedung itu.

   "Kakangmas Nurseta........"

   Wulansari mengeluh dan gadis inipun menutupi mukanya, menangis. Biasanya, Wulansari jarang bahkan hampir tidak pernah menangis. Semenjak menjadi murid Ki Cucut Kalasekti, hatinya telah mengeras. Akan tetapi kini ia merasa amat duka dan sengsara kehilangan pria yang dicintanya, maka tidak dapat ia menahan dirinya dan menangis.

   Ketika ayah dan ibunya merangkul dan mencoba untuk menghiburnya, tiba-tiba Wulansari menepiskan tangan mereka, meloncat berdiri dan sambil menyusut air matanya, ia memandang ayah bundanya itu dengan mata berang.

   "Kanjeng rama dan kanjeng ibu mendatangkan perasaan bahagia dalam hatiku karena pertemuan antara kita, akan tetapi juga mendatangkan perasaan duka dengan sikap menolak kakangmas Nurseta. Biarlah saya akan kembali ke Daha dan melupakan semua ini"

   Setelah berkata demikian, gadis yang merasa hancur hatinya karena perpisahannya dengan Nurseta itu juga mempergunakan ilmunya, meloncat dan berlari keluar gedung dan meninggalkan tempat itu.

   "Wulan.......

   "

   Warsiyem berseru memanggil, akan tetapi anaknya tidak menjawab dan karena tidak kuasa mengejar, wanita ini terkulai dan menangis dalam pelukan suaminya yang menghiburnya.

   "Sudahlah, diajeng. Lebih baik begitu, biar ia kembali ke Daha dan melupakan kedukaan dan kekecewaannya, Lebih baik begitu dari pada ia menjadi isteri putera Ni Dedeh Sawitri. Bagaimannpun juga, ia adalah anak kita. Kelak kalau rindu, kita dapat mencarinya di Kediri dan tentu sekali waktu ia akan kembali ke sini menengok kita"

   Warsiyem hanya terisak, akan tetapi dapat menerima hiburan suaminva. Bigaimanapun juga, ia tidak rela kalau anaknya harus menjadi mantu seorang wanita iblis seperti Ni Dedeh Sawitri yang khabarnya amat jahat dari keji, juga berwatak hina dan rendah itu.

   Nurseta berlari cepat meninggalkan Singosari. Hampir saja dia lupa diri saking hebatnya guncangan batin yang dirasakannya ketika dia mendengar bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitril Akan tetapi, dia segera dapat menguasai dirinya, dapat membuka mata dan menghadapi kenyataan dengan sewajarnya, betapapun pahit dan menyakitkan adanya kenyataan itu. Kini dia berjalan menuju ke Gunung Kelud yang sudah nampak di depannya. Dia harus menerima kenyataan. Kalau memang benar dia putera Ni Dedeh Sawitri, mengapa dia harus kecewa, mengapa dia harus berduka, atau merasa malu? Ini merupakan kenyatakan dan tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang mampu merobah kenyataan. Baik buruk hanya penilaian. Dia harus berani menghadapi kenyataan itu, tanpa menilainya.

   Dia akan menghadap Ki Baka lebih dulu, menjenguk orang tua itu yang tentu merasa gelisah sekali karena selama hampir lima tahun dia pergi tanpa berita. Setelah itu, barulah dia akan mencari Ki Cucut Kalasekti kalau perlu ke goa di tebing itu, entah dengan cara bagaimana nanti, untuk meminta kembalinya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.

   Membayangkan wajah ayah angkatnya itu, timbul perasaan rindu di hatinya. Entah bagaimana, setelah dia mendengar bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri, perasaan cintanya terhadap Ki Baka menjadi semakin mendalam. Betapa luhur budi ayah angkatnya itu. Maka Nurseta lalu cepat cepat mempergunakan kepandaiannya berlari seperti terbang mendaki Gunung Kelud, menuju ke padepokan Ki Baka.

   Akan tetapi, setibanya di pondok yang menjadi padepokan Ki Baka, Nurseta termangu-mangu memandang pondok yang kosong. Agaknya sudah lama pondok itu ditinggalkan, nampak terlantar, bahkan ladang di belakang pondokpun kini penuh dengan rumput dan semak-semak, tanda bahwa tidak dirawat sejak lama.

   Nurseta termenung. Ki Baka sudah pergi? Pindah? Ataukah sudah tidak ada lagi, sudah meninggal dunia? Alisnya berkerut membayangkan kemungkinan terakhir itu. Dia harus mencari keterangan dan dia tahu ke mana harus bertanya. Ke dusun Sintren, di rumah Pertiwi. Maka diapun cepat menuruni lereng Kelud dan menuju ke dusun Sintren.

   "Raden Nurseta......."

   Ki Purwoko menyambut kedatangan Nurseta dengan seruan kaget.

   Nurseta melihat wajah Ki Purwoko nampak tua dan sinar matanya suram, wajahnya buram tanda bahwa orang ini telah menderita tekanan batin dan berada dalam duka. Hatinya semakin tidak enak maka segera dia bertanya.

   "Paman Purwoko, saya tadi naik ke atas akan tetapi padepokan ayah Baka kosong dan....."

   "Ayah angkatmu itu telah pergi beberapa tahun yang lalu, ikut dengan Panembahan Sidik Danasura, Raden"

   Legalah rasa hati Nurseta, wajahnya berseri dan diapun ingat akan basa basi lagi.

   "Bagaimana kabarnya, Paman? Baik baik saja, bukan? Dan bagaimana dengan bibi, dan dengan diajeng Pertiwi?"

   Mendengar disebutnya nama puterinya, Ki Purwoko memejamkan kedua matanya.

   "Kami........ kami baik-baik saja, tapi........ tapi Pertiwi....... ahhhh......"

   Dia tidak dapat melanjutkan kata katanya dan matanya tetap terpejam.

   "Paman. Apa yang terjadi dengan diajeng Pertiwi? Kenapa ia........?"

   Hati Nurseta terasa tidak enak sekali. Teringatlah dia akan pertemuannya terakhir dengan tunangannya itu, di pagi hari pada saat dia akan meninggalkan Gunung Kelud. Pada waktu itu, dia berterus terang kepada Pertiwi bahwa dia tidak mencinta calon isterinya itu walaupun dia akan setia kepadanya. Terbayang kembali ketika gadis itu lari sambil menangis, maka kini melihat sikap dan mendengar kata-kata Ki Purwoko, dia merasa gelisah dan tegang sekali.

   Ki Purwoko menuding ke arah belakang rumah.

   "Ia berada di gubuk, di kebun belakang, kau temuilah ia dan bicara saja sendiri, Raden"

   Diam-diam Nurseta terkejut. Dia tahu bahwa tentu Pertiwi merasa kecewa dan berduka karena dia berterus terang dahulu titu, akan tetapi sama sekali tidak menyangka bahwa kedukaan itu akan membuat Pertiwi hidup menyendiri di dalam sebuah gubuk di kebun belakang. Maka diapun bergegas pergi ke kebun belakang, Nampak sebuah gubuk sederhana di belakang, agak jauh dari rumah Ki Purwoko, menyendiri dan terpencil. Hatinya diliputi keharuan dan diapun cepat menghampiri gubuk itu.

   "Diajeng Pertiwi......."

   Dia memanggil dari luar gubuk.

   "Aku Nurseta datang berkunjung, diajeng"

   Diri dalam gubuk terdengar oleh Nurseta suara tertahan, lalu disusul isak tertahan, dan keluarlah Pertiwi dari dalam gubuk itu, Nurseta terkejut melihat gadis itu kini menjadi kurus, dan begitu keluar dari dalam gubuk, Pertiwi lari menghampiri Nurseta lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.

   Nurseta menarik napas panjang. Dia merasa terharu sekali, kasihan kepada gadis ini. Namun, betapapun juga hatinya lega melihat gadis itu dalam keadaan sehat selamat walaupun kurus.

   "Diajeng Pertiwi, tenanglah. Mari kita bicara yang baik. Kenapa engkau menangis,? Dan mengapa pula engkau berada di gubuk ini, tidak di rumah ayahmu?"

   "Kakangmas Nurseta....... hanya kaulah yang kutunggu........ sekarang setelah kau datang, aku....... aku rela untuk mati......"

   Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis lagi tersedu sedan.

   Tentu saja Nurseta terkejut bukan main. Dia membungkuk, memegang kedua pundak gadis itu, menariknya berdiri lalu mengajak gadis itu duduk di atas bangku di depan gubuk. Bagaikan orang yang kehilangan semangat Pertiwi menurut saja. Mereka duduk di atas bangku bambu, berdampingan.

   "Nah, sekarang keringkan air matamu dan ceritakanlah, apa maksud ucapanmu tadi, diajeng,"

   Nurseta berhenti sebentar, lalu melanjutkan.

   "Apakah karena bertahun tahun ini aku tidak memberi kabar kepadamu? Percayalah, hal itu tidak kusengaja, diajeng, Aku tidak berdaya. Setelah sekarang aku dapat datang, aku pasti akan segera menemui ayahku untuk melaksanakan pernikahan kita, Akupun sedang mencarinya dan ingin bertanya kepada keluargamu di mana adanya ayahku. Ayahmu memberitahu bahwa dia pergi bersama Eyang Panembahan Sidik Danasura, maka sekarang aku akan menyusul ke sana dan akan kuminta agar pernikahan kita segera dilangsungkan"

   Nurseta bicara seperti itu karena dia ingin menebus kesalahannya yaitu menyakiti hati gadis itu ketika dia mengaku mencinta gadis lain. Akan tetapi, mendengar ucapannya itu, Pertiwi bahkan menangis semakin sedih, sampai sesenggukan.

   "Tidak, kakangmas....... tidak........, aku tidak mungkin menjadi isterimu......., tidak mungkin........"

   Nurseta mengerutkan alisnya. Gidis ini tentu merasa sakit hati sekali mendengar bahwa dia tidak mencintanya, melainkan mencinta gadis lain.

   "Diajeng Pertiwi, apakah engkau demikian sakit hati karena pengakuanku ketika aku hendak pergi dahulu itu? Maafkan kalau begitu, karena aku tidak ingin membohongimu, tidak ingin berpura pura kepada gadis yang kusayang dan kukasihani"

   "Tidak, kakangmas, bukan karena itu. Aku........ aku tidak patut menjadi isterimu, aku hanya akan menyeretmu ke lembah penghinaan, aku hanya akan mendatangkan aib. Aku......... aku telah ternoda, kakangmas Nurseta........."

   Kalimat terakhir ini seperti jerit yang keluar dari lubuk hatinya.

   "Diajeng Pertiwi. Apa........... apa maksudmu.......?"

   Pertiwi menangis sampai mengguguk, baru ia dapat menjawab setelah beberapa lamanya.

   "Aku....... aku bukan perawan lagi, kakangmas, aku....... aku telah menyerahkan diri kepada pria lain........"

   "Diajeng Pertiwi. Engkau....... engkau tidak setia kepadaku?"

   Pertiwi mengangguk sambil menangis.

   "Ya, begitulah......... karena itu aku tidak berharga menjadi isterimu, kakangmas. Karena itu aku mengasingkan diri agar lain orang tidak ada yang ternoda oleh kotoran yang menempel padaku. Engkau nikahilah saja gadis yang kaucinta itu, kakangmas, ia........ ia cantik jelita dan pantas menjadi isterimu....."

   Nurseta mengerutkan alisnya.

   "Hem, engkau cemburu lalu engkau menyerahkan diri kepada pria lain?"

   Pertiwi menangis dan tidak menjawab, tangisnya semakin mengguguk ketika Nurseta meloncat pergi meninggalkannya. Ia sengaja bersikap demikian agar Nurseta marah dan membencinya. Biarlah pemuda yang tidak mencintanya itu menikah dengan gadis yang dicintanya. la sendiri harus mengalah, ia bahkan harus menghukum diri sendiri karena bagaimanapun juga, ia ternoda bukan karena diperkosa, melainkan karena ia menyerahkan diri dengan suka rela, karena ia lemah. Ada dua hal yang mendorongnya sengaja bersikap demikian untuk membuat pemuda itu meninggalkan dirinya, pemuda yang sesungguhnya amat dicintanya. Pertama, pemuda itu tidak mencintanya, maka orang yang dicintanya itu hanya akan hidup menderita batin saja kalau sampai menikah dengannya, dan ke dua, ia akan selalu rendah diri dan tak berharga setelah ternoda kalau sampai menjadi isteri Nurseta. Ia tahu bahwa seorang pemuda seperti Nurseta akan memegang janji, setia sampai mati walaupun tidak ada cinta. Dan satu-satunya jalan hanyalah memperlihatkan sikap seperti tadi, agar Nuiseta membencinya, dan agar perjodohan di antara mereka diputuskan saja.

   Tanpa pamit lagi kepada orang tua Pertiwi, Nurseta meninggalkan Gunung Kelud dan langsung saja dia melakukan perjalanan cepat ke selatan, ke padepokan Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi Segoro Wedi.

   Pada saat pemuda itu melakukan perjalanan cepat dan sudah mendekati daerah Teluk Prigi, Panembahan Sidik Danasura dan Ki Baka sedang duduk bersantai di luar pondok, duduk bersila di atas dua buah batu datar sambil bercakap cakap. Biasanya, pada saat-saat seperti ini, di waktu menjelang senja, kesempatan bersantai itu dipergunakan oleh Sang Panembahan untuk bicara tentang kehidupan dan dari percakapan ini Ki Baka menimba kesadaran yang banyak dan mendalam. Akan tetapi pada sore hari itu, Sang Panembahan nampak gembira dan wajahnya berseriseri. Ki Baka juga merasakan kegembiraan ini. Hawa amat sejuk dan warna langit di barat nampak amatlah indahnya, penuh awan yang keperakan dibentuk oleh sinar matahari yang mulai mengendur, siap untuk tenggelam di barat.

   "Alangkah nyaman sore ini,"

   Demikian Sang Panembahan berkata.

   "Sayapun merasakan hal itu, Paman Panembahan. Rasanya nyaman dan menyenangkan sekali"

   Tak lama kemudian, dari jauh nampak bayangan Nurseta yang berlari cepat menuju ke tempat itu.

   "Raden Nurseta......."

   Ki Baka berseru gembira bukan main.

   Panembahan Sidik Danasura tersenyum pula dan pada saat mata mereka saling bertemu tahulah Ki Baka bahwa kakek tua renta itu gaknya sudah tahu bahwa pertanda ada hubungannya dengan kemunculan Nurseta ini.

   "Ayah, Eyang......... Saya menghatur salam hormati........."

   Nurseta sudah menjatuhkan diri berdiri di depan mereka dan menyembah. Bagaimanapun juga, hati pemuda ini diliputi keharuan. Kedua orang itu telah nampak tua. Panembahan Sidik Danasura memang telah berusia kurang lebih delapanpuluh tahun, sedangkan Ki Baka sendiri juga sudah tujuhpuluh tahun usianya.

   "Jagad Dewa Bathara...... kulup Nurseta, akhirnya kau datang juga. Ayahmu dan aku seringkali bertanya-tanya dalam hati, apa yang telah terjadi denganmu maka selama bertahun-tahun kau tidak pernah pulang"

   "Benar sekali ucapan Paman Panembahan, Raden. Ke mana saja kau pergi dan apa yang telah terjadi?"

   Tanya Ki Baka.

   Nurseta lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa ketika dia mencari Wulansari untuk meminta kembali tombak pusaka, dia diserang oleh Ki Cucut Kalasekti sehingga jatuh terjungkal ke bawah tebing curam dan betapa dia bertemu dengan ibu kandung Wulansari. Semua dia ceritakan dengan jelas sampai pertemuannya terakhir dengan keluarga atau ayah bunda Wulansari di mana dia mendapat keterangan bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri.

   "Jagad Dewa Bathara........"

   Ki Baka berseru dengan terkejut bukan main sedangkan Panembahan Sidik Danasura hanya mengelus jenggotnya sambil tersenyum.

   "Ni Dedeh Sawitri.......? Ah, aku hanya pernah mendengar bahwa ia menjadi selir seorang pangeran di Daha, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa kau adalah puteranya"

   "Inilah hal yang menghancurkan perasaanku dan membuat hatiku menjadi bimbang sekali, ayah....."

   Nurseta mengeluh.

   "Hemm, kulup Raden Nurseta, mengapa terluka? Mengapa bimbang? Bukan kehendakmu dilahirkan di dunia ini, dari ibu yang manapun juga"

   Tiba-tiba Panembahan Sidik Danasura berkata dan ucapan ini sungguh mengejutkan dan menyadarkan Nurseta sehingga sertamerta diapun menyembah.

   "Maafkan saya, Eyang. Saya sesat dan keliru, dan terima kasih atas peringatan Eyang"

   Dengan suara ringan karena beban batin itu telah lenyap seketika oleh ucapan sang panembahan, Nurseta melanjutkan ceritanya sampai pertemuannya dengan Pertiwi. Di sini dia menarik napas panjang,

   "Mohon nasihat Eyang dan Ayah, apa yang harus saya lakukan sekarang? Diajeng Pertiwi agaknya sudah tidak mau lagi menjadi isteri saya, dan terus terang saja, sayapun sejak dahulu tidak ada rasa cinta kepadanya. Cinta saya hanya terhadap diajeng Wulansari, akan tetapi dengan iapun agaknya tidak berjodoh, apa lagi ayah bundanya kini tidak setuju"

   Ki Baka menarik napas panjang.

   "Sekarang akupun menyadari bahwa jodoh ditentukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa, anakku. Kalau nini Pertiwi memang tidak menghendaki perjodoban itu dilanjutkan, sudahlah. Akan tetapi satu hal perlu kau ketahui, yaitu dalam peristiwa yang menimpa dirinya, jangan sekali-kali menyalahkan Nini Pertiwi "

   Nurseta mengangkat muka menatap wajah ayah angkatnya.

   "Akan tetapi, Ayah, menurut keterangan diajeng Pertiwi sendiri, ia........ ia telah....... menyerahkan dirinya kepada pria lain. Ia telah...... melanggar susila, tidak setia terhadap pertunangan kami "

   Ki Baka tersenyum.

   "Agaknya nini Pertiwi memang terlalu menyalahkan diri sendiri, atau hal itu dilakukannya agar mendapat alasan bagimu untuk memisahkan diri dan memutuskan ikatan. Sesungguhnya, ia menjadi korban kekejian seorang yang amat jahat, anakku. Apakah ia tidak menceritakan siapa yang telah........ menodainya"

   Nurseta menggeleng kepala. Tadinya dia memang sama sekali tidak ingin mengetahui, Pria mana yang telah menerima penyerahan diri tunangannya itu.

   "Dia adalah Gagak Wulung"

   "Ahh...,......"

   Nurseta terkejut bukan main, matanya terbelalak lebar dan mukanya berubah merah.

   "Apa...... apa yang sesungguhnya telah terjadi, Ayah? Bagaimana tokoh sesat yang keji itu dapat menjadi pria yang dipilih diajeng Pertiwi?"

   "Bukan dipilih, anakku. Pada pagi hari itu, setelah engkau berahgkat, Gagak Wulung mempergunakan sihir, memikat dan membawa pergi Pertiwi dan dengan ilmu hitamnya, dengan guna-guna dan pengasihan, dia berhasil membuat nini Pertiwi tidak berdaya. Kalau tidak ada aku, tentu ayah nini Pertiwi sudah dibunuh pula oleh penjahat itu"

   Ki Baka lalu menceritakan apa yang telah terjadi.

   (Lanjut ke Jilid 17)

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17

   Mendengar ini, Nurseta mengepal tinju.

   "Ayah, aku akan pergi lagi. Akan kucari Gagak Wulung sampai dapat, akan kuhancurkan dia. Dan akupun akan pergi mencari Ki Cucut Kalasekti, akan kupaksa dia menyerahkan kembali Ki Ageng Tejanirmala"

   "Nanti dulu, Raden. Harap jangan terburu nafsu dan tanyakanlah dulu kepada Eyangmu, karena segala hal yang dilakukan tergesa-gesa dan didorong oleh nafsu amarah dan dendam, sungguh tidak baik akibatnya"

   "Eyang, mohon petunjuk"

   Kata Nurseta.

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sadhu, sadhu, sadhu........."

   Panembahan Sidik Danasura yang sejak tadi diam mendengarkan saja, kini mengangkat kedua tangan ke depan daseperti berdoa.

   "Benar apa yang dikatakan ayahmu Baka, kulup. Apa yang terjadipun terjadilah, tidak ada satupun kekuatan di dunia ini yang mampu merobah apa yang telah dan sedang terjadi, sedangkan apa varg akan terjadi tidak terlepas daii pada perbuatan kita sekarang. Jangan mencoba menjadi hakim mewakili kekuasaan Sang Hyang Pamungkas, angger, Perbuatan yang didorong dendapi merupakan perbuatan jahat pula. Orang berdosa akan menerima hukumannya sendiri, entah dari mana datangnya"

   "Terima kasih. Eyang, Kalau begitu, saya tidak akan pergi dan sengaja mencari Gagak Wulung, akan tetapi saya akan pergi untuk merampas kembali tombak pusaka...."

   "Kukira belum waktunya, angger. Agaknya sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa bahwa tombak pusaka itu masih belum kembali ke tangan yang berhak. Waktunya belum tiba. Akan terjadi perubahan besar sekali di tanah air kita, pergolakam yang bukan main hebatnya. Nampaknya satu hal yang terjadi amat merugikan, namun sesungguhnya tidak,"

   Karena segala peristiwa mengandung hikmah. Yang nampak merugikan mungkin hanya merupakan jalan untuk mendatangkan keuntungan, yang nampaknya buruk menyembunyikan sesuatu yang amat baik. Bakankan jamu itu pahit sekali namun mengandung manfaat yang amat besar? Karena itu, kalau kau dapat menerima nasihatku, tunggulah di sini dan memperdalam llmu agar kelak, di saatnya yang tepat, dapat kau pergunakan untuk nusa dan bangsa"

   "Eyang, mohon tanya, apa artinva semua yang Eyang gambarkan tadi? Apa yang akan terjadi di tanah air kita?"

   Nurseta bertanya, merasa betapa tengkuknva meremang, kakek itu seperti sadar dari keadaan termenung dan dia memandang wajah pemuda itu, tersenyum.

   "Aku ini manusia biasa, tanpa kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih tidak akan mampu berbuat sesuatu. Oleh karena itu, bagimana aku berani membuka rahasiaNya? Sadhu, sadhu, sadhu"

   Setelah berkata demikian, kakek itu duduk bersila, diam tak bargerak dan kedua matanya terpejam. Melihat ini, Ki Baka lalu menyentuh lengah Nurseta dan diajaknya pemuda itu berjalan jalan di tepi laut kidul yang sedang bergelora,

   "Patuhi saja nasihat Eyangmu, Raden. Yang penting, engkau memperdalam llmu di sini agar kelak dapat kaupergunakan untuk membela nusa bangsa. Ingat, sejengkal tanah sepercik darah. Agaknya akan terjadi peristiwa hebai mengenai Singosari dan kelak harus kau pertahankan tiap jengkal tanah dengan tiap percik darah kalau perlu. Mungkin sekali pergolakan yang digambarkan oleh Paman Panembahan ada hubungannya pula dengan lenyapnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Juga, engkau baru saja pulang setelah pergi selama lima tahun. Engkau baru saja mengalami guncangan lahir batin, perlu menenteramkan batin di sini, angger. Taatilah petunjuk Eyangmu. Kalau saatnya tiba, tentu Eyangmu akan inemberi petunjuk pula. Sebagai seorang satria, tentu saja engkau tidak boleh tinggal diam, siap untuk mempertahankan setiap jengkal tanah air dengan setiap percik darahmu"

   "Baiklah, Ayah. Saya akan mentaati semua petunjuk Eyang dan Ayah"

   Kata pemuda itu dengan patuh. Bagaimanapun juga, dia memang baru saja mengalami guncangan batin yang hebat, yaitu persoalannya dengan Wulansari, kemudian dengan Pertiwi, lalu kenyataan tentang ibu kandungnya, tentang Gagak Wulung yang menodai tunangannya. Kalau menuruti nafsu, tentu dia ingin sekali menghadapi semua itu dengan kekerasan, ingin dia menghancurkan Gagak Wulung, ingin dia menjumpai Ni Dedeh Sawitri yang ternyata ibu kandungnya entah apa yang akan dilakukannya kalau ia berhadapan dengan wanita itu. Ingin dia merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Ingin pula minta keputusan Wulansari tentang cinta kasih mereka, dan ingin pula dia menjumpai Pertiwi dan minta maaf karena ternyata gadis itu tidak berdosa seperti yang semula diduganya. Akan tetapi, kalau dia menurutkan semua keinginan itu, batinnya akan semakin kacau. Dia membutuhkan ketenteraman, ketenangan dan agaknya Panembahan Sidik Danasura merasa perlu agar dia memperdalam ilmu ilmunya, mungkin. untuk menghadapi peristiwa besar yang agaknya akan terjadi di tanah airnya.

   "Maafkan"

   Saya, kanjeng rama. Bukan maksud saya hendak membantah pendapat paduka. Akan tetapi, bukankah pekerjaan menentang Kerajaan Singosari itu amat berbahaya? Hendaknya paduka ingat bahwa di sana masih terdapat orang-orang terkemuka, senopati-senopati yang digdaya seperti misalnya Senopati Nambi, Lembu Sora, Lembu Pereng, Medang Dangdi, Gajah Pagon dan yang lain-lain. Saya khawatir, kanjeng rama, bahwa usaha itu akan menemui kegagalan"

   Demikianlah Wirondaya memperingatkan"

   Ayahnya, yaitu Arya Wiraraja yang juga dikenai sebagai Banyak Wide, bupati di Sumenep, Madura. Wirondaya, putera sang bupati itu, adalah seorang pria berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan berkulit hitam manis, sepasang matanya mengandung kecerdikan seperti mata ayahnya. Adapun Sang Bupati Wiraraja memang terkenal akan kecerdikannya. Bupati ini berusia kurang lebih limapuluh lima tahun.

   Tadinya Bupati Arya Wiraraja adalah seorang yang setia kepada Kerajaan Singosari. Akan tetapi, semenjak Sang Prabu Kertanagara menjadi Raja dan melakukan peremajaan di antara para pejabat tinggi, menggantikan tenaga tua dengan tenaga muda sehingga banyak pembantu setia menjadi sakit hati, maka Arya Wiraraja juga diam-diam menaruh dendam kepada sang raja. Dia menganggap bahwa Sang Prabu Kertanagara tidak patut menjadi raja, dan dia menginginkan agar Sang Prabu Kertanagara jatuh dan kedudukannya diganti oleh orang yang selama ini dikaguminya dan dicalonkannya untuk menjadi raja baru, yaitu Sang Pangeran Wijaya. Kesempatan dia nanti-nantikan dan sekarang, dia melihat betapa Sang Prabu Kertanagara yang ambisius itu mengirim balatentaranya ke mana mana untuk menundukkan raja raja yang tidak mau menakluk kepada kekuasaan Singosari.

   Banyak hal yang tidak disetujui oleh Arya Wiraraja telah dilakukan oleh Sang Prabu Kertanagara. Pertama-tama diturunkannya pangkat dan kedudukan patih yang setia dan tua, yaitu Empu Raganata yang dilorot menjadi Jaksa di Tumapel, dan diturunkannya pula pangkat Tumenggung Wirakerti yang tua menjadi Mantri Angabaya, bahkan Pujangga Santasmerti yang bijaksana mengundurkan diri dan menjadi pertapa dari pada mengalami penurunan pangkat yang dianggap penghinaan dan melupakan budi dan jasa. Yang ke dua adalah pengiriman balatentara besar besaran ke Negeri Malayu yang disebut Pamalayu sehingga pengiriman itu sama dengan pengosongan kekuatan dalam negeri yang membahayakan keadaan dan keselamatan negeri sendiri. Ke tiga adalah penyerbuan-penyerbuan yang dilakukan sehingga makin melemahkan keadaan dalam negeri, penyerbuan ke Bali dan ke Pasundan. Bahkan Sang Prabu Kertanagara begitu sembrononya untuk menghina dan mengusir utusan dari Kulai Khan, Raja Tartar yang amat terkenal kekuatannya dari utara itu. Masih belum puas dengan ambisinya, sang prabu juga mengirim pasukan untuk menyerang ke Kalimantan.

   Pengosongan demi pengosongan dalam kerajaan dari pasukan-pasukan pilihan ini membuka kesempatan bagi Arya Wiraraja. Maka, pada pagi hari itu, dia memanggil puteranya, yaitu Wirondaya, diajak berbincang-bincang mengenai niat hatinya untuk menjatuhkan Sang Prabu Kertanagara, Namun Bupati Sumenep ini memang cerdik sekali, Biarpun di dalam Kerajaan Singosari kini kekurangan pasukan, namun dia sendiri masih tidak berani untuk melakukan peraberontakan. Tidak, dia tidak sebodoh itu. Dia tidak akan turun tangan sendiri, melainkan hendak meminjam lain tangan, yaitu Sang Prabu Jayakatwang, raja di Kediri yang dia tabu amat mendendam kepada Kerajaan Singosari, Dia sendiri juga merasa sakit hati karena diangkatnya dia menjadi Bupati Sumenep dianggapnya juga merupakan penurunan pangkat atau semacam penyingkiran agar dia berada jauh dari kerajaan.

   "Sekali lagi saya mohon kanjeng rama ingat bahwa di. Sana terdapat pula saudara-saudara saya yang amat sakti mandraguna seperti Seperti senopati Nambi, Senopati Ronggolawe......"

   "Cukup, puteraku. Mengagungkan kekuatan musuh berarti melemahkan semangat sendiri. Ketahuilah bahwa aku sama sekali tidak memusuhi kerajaan tidak niemusuhi para senopati yang menjadi rekan-rekan, bahkan anak-anakku. Yang kutentang hanyalah Sang Prabu Kertanagara yang tidak bi jaksana. Dia harus dilorot dari singasana dan sudah sepatutnya singasari diduduki orang yang lebih tepat menjadi raja, seperti misalnya Pangeran Wijaya. Bupati Arya Wiraraja mengemukakan alasan-alasan yang tepat, sehingga akhirnya Raden Wirondaya, puteranya? dapat melihat alasan itu dan membenarkan keinginan ayahnya. Diapun tidak membantah lagi ketika ayahnya mengakibatkan dia sebagai seorang utusan untuk menyerahkan sepucuk 'surat dari ayahnya yang ditujukan kepada Sang Prabu Jayakatwang di Kediri.

   Memang telah lama terdapat hubungan baik antara Bupati Sumenep ini dengan Raja Kediri. Keduanya memiliki dedam terhadap Sang Prabu Kertanagara. Apa lagi Raja Kediri ini, mengingat betapa Kerajaan Kediri yang tadinya merupakan kerajaan besar dan berkuasa, dikalahkan dan ditundukkan oleh Ken Arok raja pertama dari Singosari.

   Biarpun Raja Singosaro kemudian membiarkan keturunan raja-raja Kediri untuk melanjutkan pemerintahan mereka dan membiarkan Kerajaan Kediri tetap berdiri, namun selama itu Kerajaan Kediri menjadi negara taklukan dan hal ini dianggap amat merendahkan martabat Kediri.

   Seringkali terjadi perundingan antara Arya Wiraraja dan Sang Prabu Jayakatwang, dan tanpa sungkan lagi, Sang Prabu Jayakatwang menyatakan kebenciannya terhadap Kerajaan Singosari dan menyatakan niatnya untuk sewaktu-waktu menggempur kerajaan yang dianggap musuh besar itu. Adanya kenyataan bahwa puteranya, yaitu Raden Ardaraja, telah menjadi mantu Sang Prabu Kertanagara, tidak mengurangi kebenciannya terhadap Kerajaan Singosari. Justru pernikahan antara puteranya dan seorang puteri Singosari membuktikan kelemahannya karena dia tidak berani mencoba untuk berbesan dengan Raja Singosari.

   Setelah menerima petunjuk dan juga sepucuk surat dari ayahnya, barangkatlah Raden Wirondaya menuju ke Kediri. Kedatangannya di istana Sang Prabu Jayakatwang mendapat sanbutan meriah oleh Raja Kediri sendiri dan diapun dipersilakan masuk ke ruangan dalam dan diterima sebagai seorang tamu agung oleh Sang Prabu Jayakatwang.

   Pida saat menerima kunjungan Wirondaya sebagai putera dan utusan Arya Wiraraja, Sang Prabu Jayakatwang dihadap oleh Ki Patih Mundarang, para Senopati Jaran Guyang, Bango Dolog, Prutung, Pencok Sahang, Liking Kangkung, Kampanis dan beberapa orang senopati lain yang dipercaya. Raden Wirondaya mengenal mereka semua dan maklum bahwa mereka adalah para ponggawa yang setia dan dipercaya. Oleh karena itu, tanpa ragu lagi diapun menghaturkan sembah kepada Sang Praba Jayakatwang disusul dengan penyerahan sepucuk surat dari ayahnya kepada raja itu.

   Sang Prabu Jayakatwang menerima surat dari sahabatnya itu dengan gembira dan langsung dia membaca surat itu. Sementara itu, Wirondaya beberapa kali melirik ke arah seorang di antara penghadap Sang Prabu Jayakatwang dan beberapa kali alisnya berkerut. Ponggawa itu belum pernah dilihatnya, agaknya seorang kepercayaan yang baru, Akan tetapi ponggawa ini seorang wanita. Seorang wanita muda yang amat cantik jelita dan sikapnya gagah perkasa. Gadis itu tidak duduk bersila di depan Sang Prabu Jayakatwang seperti para senopati, juga tidak duduk di samping raja itu seperti kebiasaan para selir dan dayang, melainkan berdiri tegak di belakang Sang Prabu Jayakatwang dengan sikap gagah. Lagaknya seperti seorang pengawal pribadi, akan tetapi kalau benar pengawal kenapa seorang wanita? Diam-diam putera Arya Wiraraja ini melirik sambil memperhatikan gadis itu.

   Ia seorang gadis yang cantik manis, berkuiit kuning mulus, sepasang matanya mencorong seperti bintang, hidungnya kecil mancung. Mulutnya amat menggairahkan, dengan bibir yang merah basah tanpa pemerah, dihias lesung pipit di kanan kiri kalau mulut itu menyungging senyum, dan di atas dahi yang halus bagaikan lilin itu tumbuh sinom yang halus. Bentuk tubuh yang tertutup pakaian yang indah dan ringkas itu menambah daya tariknya. Sesosok tubuh yang padat, ranum, membayangkan kelembutan, kehangatan, namun juga kekuatan tersembunyi.

   Diam-diam Raden Wirondaya bertanya-tanya di dalam hatinya, siapa gerangan gadis ini dan apa kedudukannya di Kediri?

   

Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini