Ceritasilat Novel Online

Pecut Sakti Bajrakirana 9


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Adalah wajar dan alami kalau seorang pemuda seperti Priyadi yang sudah berusia dua puluh enam tahun mulai terusik oleh nafsu berahi yang timbul dari dalam dirinya. Selama menjadi murid Jatikusumo, dia dapat bertahan terhadap godaan nafsu berahi, terutama sekali karena tidak mendapatkan peluang. Akan tetapi setelah bertemu dengan Sekarsih yang menyeretnya ke dalam pemuasan nafsu berahi, maka nafsu itu membakar dirinya sehingga berkobar-kobar, mendatangkan gairah nafsu yang menuntut pemuasan.

   Seperti juga segala macam nafsu daya rendah lainnya, maka nafsu berahi merupakan anugerah dari Tuhan yang sepatutnya kita syukuri, karena tanpa adanya nafsu berahi ini, bagaimana mungkin manusia akan dapat berkembang biak? Nafsu berahi mempunyai tugas yang teramat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia di permukaan bumi. Dan Tuhan telah demikian Maha Kasih dan Maha Murah sehingga nafsu berahi mengandung kenikmatan bagi manusia sehingga manusia suka melakukan hubungan badan sebagai pelampiasan nafsu berahi. Namun, di samping tugasnya yang suci dan tujuannya yang baik, sebagai peserta dalam kehidupan manusia yang amat berguna bagi perkembangan manusia, di lain pihak seperti juga semua nafsu, memiliki sifat merusak yang amat hebat. Seperti juga dengan nafsu daya rendah lainnya, nafsu berahi dapat menyeret manusia ke dalam perbuatan yang penuh kemaksiatan dan kejahatan. Hal ini terjadi kalau manusia tidak dapat menguasai nafsu berahinya dan Sebaliknya nafsu berahi yang menguasainya sehingga manusia menjadi budak nafsu berahi. Kalau sudah begini keadaannya, manusia dapat saja diseret oleh nafsu berahi untuk melakukan perbuatan sesat sehingga terjadilah perjinaan, pelacuran dan pemerkosaan. Tidak ada lagi pantangan bagi nafsu berahi yang sudah mendesak dan menuntut pemuasan dan manusia yang telah menjadi budaknya telah kehilangan kesadarannya, kehilangan pertimbangannya! Kalau sudah begitu, nafsu tidak lagi menjadi peserta atau pembantu yang baik, melainkan menjadi musuh yang paling jahat dan paling berbahaya bagi manusia.

   Satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya hal ini kalau kita mampu mengendalikan nafsu sehingga tidak menjadi liar melainkan jinak dan menjadi pelayan kita yang baik. Akan tetapi sayangnya, mengendalikan nafsu ini lebih mudah dibicarakan dari pada dilaksanakan, Hati akal pikiran kita sejak kita kecil sudah dikuasai nafsu sehingga kita hampir tidak mungkin menggunakan hati akal pikiran untuk menundukkan dan mengen"dalikan nafsu.

   Lalu bagaimana baiknya? Apa yang dapat kita manusia yang lemah ini lakukan untuk dapat mengembalikan nafsu ke tugasnya yang semula, yaitu menjadi peserta dan nelayan kita? Siapa yang akan mampu mengendalikan nafsu yang liar dan kuat itu? Tiada lain yang dapat menundukkan nafsu kecuali kekuasaan Tuban Sang Maha pencipta, Tuhan yang menciptakan nafsu, maka Tuhan sajalah yang akan mampu menundukkannya. Oleh karena itu, bagi kita manusia, jalan satu-satunya hanyalah berserah diri kepada Tuhan secara total, lahir batin dan sepenuhnya, mohon bimbingan Tuhan karena hanya dengan bimbingan Tuhan sajalah maka kita akan dapat mengendalikan nafsu, atau dengan kekuasaan Tuhan, nafsu dalam diri kita tidak akan menjadi liar lagi.

   Priyadi tidak dapat mengusir bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan itu, bahkan makin diusahakan untuk mengusirnya bayangan-bayangan itu menjadi semakin jelas sehingga gairahnya terbakar, berkobar-kobar dan timbul keinginan besar sekali dalam dirinya untuk mengulang semua pengalaman yang nikmat bersama Sekarsih itu.

   Karena pikirannya melayang-layang itulah dia tidak memperdulikan lagi ke mana kakinya melangkah. Niatnya semula hendak pulang ke perkampungan Jatikusumo di daerah Pacitan, akan tetapi tanpa disadari lagi kakinya melangkah menuju ke timur!

   Ketika dia tiba di tepi sungai yang mengalir ke timur, dia menyusuri sungai itu seperti orang yang sedang mimpi, tidak menyadari bahwa dia menyimpang jauh dari tujuannya hendak pulang ke perkampungan Jatikusumo! Tiba-tiba dia mendengar suara tawa merdu dan kecipak air, suara wanita-wanita sedang bersenda-gurau, tertawa dan menjerit kecil. Priyadi tertarik dan cepat dia menyelinap di antara pohon-pohon, mendekati tepi sungai dari mana suara itu datang dan bersembunyi di balik semak-semak sambil mengintai, Jantungnya berdebar aneh ketika dia melihat lima orang gadis sedang mandi di sungai. Gadis-gadis itu mengenakan kain sebatas dada dan mereka bergembira sekali, saling memercikkan air dan mereka tertawa-tawa, menjerit-jerit kalau muka mereka terpercik air. Di tepi sungai terdapat keranjang-keranjang berisi pakaian yang habis dicuci.

   

   Dahulu sebelum bertemu dengan Sekarsih. menghadapi penglihatan seperti ini dia tentu akan membuang muka dan menyingkir karena dianggapnya tidak sopan untuk mengintai wanita yang sedang mandi. Akan tetapi sekarang, sungguh aneh dan dia sendiri tidak menyadari akan perubahan pada dirinya ini dia merasa tertarik sekali dan jantungnya berdebar penuh gairah dan ketegangan ketika dia melihat tubuh-tubuh wanita muda itu. Setiap kali mereka bangkit berdiri, tampak kain yang basah itu mencetak dada mereka sehingga seolah mereka tidak mengenakan pakaian. Pandang mata Priyadi segera melekat pada seorang di antara mereka yang paling manis dan berkulit putih mulus. Dalam pandangannya, gadis itu tampak demikian cantik Jelitanya sehingga dia merasa tertarik sekali. Muncul bayangan dalam benaknya betapa akan senangnya merangkul dan mencumbu gadis itu. Bayangan ini seolah minyak yang disiramkan kepada api gairah berahinya sehingga berulang kali dia menelan ludah dan lehernya menjadi basah oleh keringat. Dari percakapan mereka yang bersenda gurau itu dia mendengar bahwa nama gadis yang menarik perhatiannya itu bernama Sumarni.

   

   Bagaikan seorang anak kecil yang mendapatkan sebuah mainan baru, Priyadi terus mengintai para gadis dusun itu selesai mandi dan menukar kain mereka yang basah kuyup dengan kain yang baru, lalu mencuci kain yang basah itu, kemudian sambil tertawa-tawa riang mereka naik ke daratan dan sambil menjinjing keranjang pakaian mereka pergi meninggalkan sungai.

   

   Priyadi diam-diam membayangi mereka, terutama gadis bernama Sumarni tadi. Dapat dibayangkan betapa senang hatinya ketika melihat bahwa Sumarni berpisah dari kawan-kawannya dan menuju ke sebuah dusun yang sudah tampak dari situ. Sumarni melenggang seorang diri, tidak tahu bahwa dia diamati orang dari belakang. Lenggangnya yang santai dan wajar itu sungguh menarik hati Priyadi dan menimbulkan gairah. Pemuda itu membayangkan dia bermesraan dengan Sumarni seperti ketika dia bermesraan dengan Sekarsih dan bayangan ini memacu berahinya. Dia mempercepat langkahnya dan sebentar saja dia sudah menyusul Sumarni, mendahuluinya lalu memutar tubuh menghadangnya.

   

   Gadis dusun bermata bening itu terbelalak ketika melihat seorang pemuda tampan, berpakaian bukan seperti pemuda dusun, menghadang perjalanannya. Saking heran, terkejut, takut dan malu ia hanya berdiri terbelalak menatap wajah yang tampan itu.

   

   Priyadi tersenyum dan wajahnya tampak semakin tampan.

   "Nimas, jangan kaget atau takut, aku ingin bercakap-cakap denganmu."

   Katanya dengan lembut sehingga lenyap rasa takut dari hati Sumarni terganti rasa heran dan malu. Karena maklum bahwa dia berhadapan dengan orang kota, mungkin bangsawan, iapun hormat.

   

   "Denmas......mau......apakah menghadang perjalanan saya.....?"

   

   "Namamu Sumarni, bukan? Nama yang indah, seindah orangnya"

   

   Sumarni terbelalak heran.

   "Bagaimana denmas dapat mengetahuinya?"

   

   Priyadi tersenyum lebar.

   "Tentu saja aku tahu, Sumarni. Aku adalah dewa menjaga sungai, seringkali aku melihat engkau mandi di sungai."

   

   "Ahhh......!"

   Gadis itu terkejut dan terbelalak.

   

   Orang sedusunnya adalah orang yang percaya akan tahyul, maka kini dia memandang "dewa"

   Itu dengan sinar mata takjub dan takut.

   "Denmas...... main-main......!"

   Ia masih membantah.

   

   Priyadi tersenyum, menghampiri sebatang pohon sebesar paha orang dan sekali dia mengayun tangan ke arah batang pohon itu, terdengar suara keras dan batang pohon itu tumbang!

   

   "Kau percaya sekarang, cah ayu?"

   

   Sumarni memandang terbelalak dan sekarang ia tidak ragu-ragn lagi. Pria tampan dan halus di depannya ini memang benar dewa penjaga sungai!

   

   "Ampunkan saya...... kalau saya membuat kesalahan di sungai......"

   Ia melepaskan keranjang pakaiannya dan menyembah.

   

   "Jangan engkau takut. Sumarni. Aku tidak marah kepadamu, sebaliknya, aku suka sekali kepadamu. Sumarni, aku menginginkan engkau untuk menjadi isteriku."

   Priyadi melangkah maju mendekat.

   

   Sumarni memandang dengan mata terbelalak dan kedua pipi berubah kemerahan. Ia terkejut, heran, akan tetapi juga girang dan bangga. Seorang pria muda, tampan dan gagah seperti seorang bangsawan, bahkan ternyata dia seorang dewa sungai, jatuh cinta kepadanya dan ingin mempersuntingnya sebagai isteri. Akan tetapi ada juga rasa takut dan malu teraduk dalam hatinya. Sambil menundukkan mukanya yang kemerahan iapun menjawab lirih.

   "Pukulun.....!"

   

   Mendengar sebutan untuk para dewa ini. Priyadi tertawa.

   "Sumarni wong manis, jangan sebut aku demikian. Aku lebih senang kalau engkau menyebut aku denmas atau kakangmas."

   

   "........denmas ...... kalau begitu......saya persilakan denmas bicara saja dengan orang tuaku..."

   

   "Untuk meminangmu! Tentu saja, nimas Sumarni. Aku akan segera mengajukan pinangan kepada orang tuamu, akan tetapi aku ingin melepas rinduku kepadamu dulu."

   Setelah berkata demikian tiba-tiba dengan gerakan lembut Priyadi merangkul gadis itu.

   

   Sumarni tersipu, seluruh tubuhnya gemetar, akan tetapi ia tidak menolak, jantungnya berdebar kencang membuat tenggorokannya seperti tersumbat. Apa lagi ketika Priyadi menciumnya, hampir pingsan ia dibuatnya, akan tetapi ada rasa bangga dan senang di sudut hatinya Karena itu, ketika Priyadi mengangkat dan memondong tubuhnya, iapun hanya memejamkan kedua matanya.

   

   "Marilah, manis.....!"

   Priyadi memondong tubuh gadis itu dan membawanya ke dalam hutan yang berada di tepi sungai.

   

   Gadis dusun yang lugu itu terlena oleh rayuan Priyadi. Yang merayunya adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, bukan pemuda dusun biasa melainkan seorang dewa! Apa lagi berulang kali Priyadi menjanjikan akan mengajukan pinangan kepada orang tuanya, maka gadis itupun jatuh dan menurut saja, pasrah saja apa yang dilakukan pe"muda itu terhadap dirinya.

   

   Priyadi tenggelam semakin dalam dicengkeram oleh nafsunya sendiri. Nafsu tidak pernah merasa cukup, tidak pernah kenyang. Makin dituruti, ia menjadi semakin lapar. Priyadi sudah mulai mabok dan lupa diri, lupa akan pelajaran tentang kebenaran yang dia terima dari perguruan Jatikusumo. Dia membiarkan dirinya terseret oleh nafsu berahi, bahkan dia menyeret pula erang lain untuk menjadi korban. Sumarni gadis dusun yang lugu itu jatuh oleh rayuannya dan menyerahkan diri dan kehormatannya begitu saja. Gadis itu terlalu percaya kepada "dewa"nya. Bagi seorang gadis dusun seperti ia. Ia percaya bahwa mustahil seorang pemuda bangsawan yang ganteng seperti Priyadi, seorang dewa pula akan menipunya.

   

   "Kakangmas, engkau belum memperkenalkan namamu kepadaku," bisik Sumarni lirih sambil menyandarkan kepalanya yang rambutnya terurai lepas itu ke atas dada Priyadi. Priyadi yang memeluk Sutmrni di atas pangkuannya menjawab dengan suara sungguh-sungguh.

   

   "Sumarni, namaku adalah Permadi. Sekarang engkau pulanglah lebih dulu. manis."

   

   "Akan tetapi bukankah engkau akan pergi ke rumah orang tuaku bersamaku, kakangmas? Untuk meminangku?"

   

   "Tentu saja aku akan menghadap orang tuamu untuk meminangmu. Akan tetapi aku harus berganti pakaian yang pantas dulu. Sebaiknya engkau pulang lebih dulu. Sudah terlalu lama engkau pergi ke sungai. Tunggulah aku, sore nanti pasti aku datang menghadap orang tuamu untuk melamarmu."

   

   "Benarkah itu, kakangmas?"

   Tanya Sumarni manja.

   

   Priyadi menciumnya, lalu melepaskannya dari atas pangkuannya.

   "Tentu saja benar, wong ayu. Aku amat mencintamu dan aku ingin engkau menjadi isteriku. Nah, pulanglah agar orang tuamu tidak merasa khawatir. Nantikan aku sampai sore nanti."

   

   "Baik, kakangmas. Aku akan menantimu."

   

   Dengan langkah gontai dan tubuh lelah Sumarni membawa keranjang pakaiannya berjalan pulang, diikuti oleh pandang mata Priyadi. Ia tidak tahu betapa pemuda itu memandangnya dengan senyum kepuasan di bibirnya. Setelah Sumarni pergi, Priyadi lalu memutar tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

   

   Sore hari itu Sumarni menanti-nanti dengan hati gembira dan penuh harapan. Akan tetapi kegembiraannya makin menipis dan harapannya berubah menjadi kegelisahan setelah yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Malam itu gadis dusun yang lugu ini menangis di dalam kamarnya.

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   Penantiannya diulang sampai berhari hari berikutnya dan kalau malam ia menangis, menyesali nasibnya. Akan tetapi ia tidak berani menceritakan apa yang telah dialaminya itu kepada ayah bundanya. Tentu ayah bundanya akan marah bukan main kalau mendengar bahwa ia telah menyerahkan diri dan kehormatannya begitu saja kepada seorang pemuda yang baru saja dikenalnya. Sumarni masih berusaha untuk bersembahyang di tepi sungai, mengharapkan kemunculan dewa penjaga sungai. Namun semua itu sia-sia belaka. Yang dinanti-nanti, diharap-harapkan tidak kunjung muncul. Setelah lewat beberapa hari barulah Sumarni kehilangan harapannya dan timbullah perasaan duka dan penyesalan yang mendalam.

   

   Sesal kemudian tidak ada gunanya, bahkan hanya mendatangkan duka. Kejadian seperti yang dialami Sumarni itu terjadi di mana-mana sejak jaman dahulu sampai sekarang. Suatu peringatan yang harus diperhatikan oleh tiap orang wanita muda, terutama gadis-gadis, Kebanyakan dari mereka itu terlampau mudah terbujuk rayu, terlampau percaya kepada janji-janji muluk yang keluar dari mulut pria. Dengan mudahnya mereka minum secawan anggur yang disodorkan oleh pria kepadanya, menikmati anggur manis yang terasa nikmat. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa seteguk dua teguk anggur semanis madu itu mengandung racun yang akan merusakkan kehidupannya. Memang tidak dapat disangkal bahwa banyak pria yang bertanggung jawab, menikahi gadis yang telah dipersuntingnya sebelum menikah.

   Akan tetapi betapa lebih banyak lagi yang ingkar janji, habis manis sepah dibuang, seperti halnya Priyadi yang hanya ingin memiliki tubuh Sumarni untuk dinikmatinya, bukan untuk dicinta dan dijadikan isterinya. Kalau hubungan yang sepenuhnya didorong oleh nafsu berahi itu tidak membuahkan hasil, masih mending. Akan tetapi bagaimana kalau sampai hubungan itu membuat si gadis menjadi hamil? Dan laki-laki itu pergi begitu saja tanpa pamit, tanpa tanggung jawab? Si gadislah yang akan menanggung segala resikonya. Malu dan nama buruk sebagai wanita murahan.

   Priyadi berlari cepat dan baru dia berhenti berlari setelah tiba jauh dari tempat di mana dia berpisah dari Sumarni. Mulutnya menyungging senyuman, senyum kepuasan. Ada juga terasa sedikit penyesalan dalam hatinya, perasaan yang timbul dari kesadaran bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan yapg tidak baik dan bersalah. Akan tetapi perasaan ini hanya tipis saja, dan segera lenyap tertutup oleh bayangan kemesraan yang dinikmatinya bersama Sumarni. Kepuasan memenuhi hatinya, kepuasan yang berujung kerinduan untuk mengulang kemesraan itu, untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Bukan hanya dari Sumarni atau Sekarsih, melainkan dari siapa saja, asalkan ia seorang wanita yang muda dan cantik jelita!

   

   Dia tahu bahwa dia pulang terlambat beberapa hari dibandingkan kedua kakak seperguruannya, maka teringat ini dia segera mempercepat langkahnya menuju ke daerah Pacitan untuk pulang ke perkampungan perguruan Jatikusumo.

   

   Setelah senja barulah dia memasuki perkampungan Jatikusumo dan menghadap gurunya, Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua Jatikusumo. Pertapa yang berusia enam puluh tujuh tahun dan bertubuh sedang bersikap lembut ini sedang duduk dan di situ menghadap pula Maheso Seto dan Rahmi Di. Melibat kedatangan Priyadi, Maheso Seto mengerutkan alisnya dan Rahmini cemberut kepadanya. Priyadi lalu menghadap gurunya dan menghaturkan sembah.

   

   "Engkau baru pulang, Priyadi? Ke mana sajakah engkau pergi? Mengapa tidak berbarengan dengan kedua orang kakakmu?"

   Sang Bhagawan Sindusakti menegurnya dengan halus.

   

   "Maafkan saya, Bapa Guru. Saya memang meninggalkan Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini karena saya mengejar wanita jahat yang membikin kerusuhan di rumah Paman Bargowo."

   

   "Hemm, begitukah? Dan bagaimana kesudahannya?"

   Tanya Bhagawan Sindusakti.

   

   Sejak menjadi murid Bhagawan Sindusakti, Priyadi belum pernah sekalipun membohongi gurunya. Akan tetapi sekarang, bagaimana dia dapat menceritakan semua pengalamannya dengan Sekarsih? Tidak ada lain jalan baginya kecuali berbohong. Satu perbuatan tidak benar biasanya memang disusul oleh perbuatan tidak benar selanjutnya. Satu kebohongan mau tidak mau disusul oleh kebohongan lain.

   

   "Sayang sekali ia menghilang, Bapa Guru. Saya sudah mencari-carinya sampai dua hari namun tetap tidak dapat saya temukan. Barulah saya pulang."

   

   "Priyadi,"

   Kata Bhagawan Sindusakti dan kini suaranya terdengar tegas.

   "Engkau telah membuat kesalahan yang besar sekali!"

   

   Priyadi terkejut. Segera terlintas di benaknya peristiwa yang dialaminya dengan Sekarsih, kemudian dengan Sumarni. Apakah gurunya mengetahui akan hal itu? Akan tetapi tidak mungkin!

   

   "A...... apakah maksud Bapa Guru? Kesalahan apa yang saya lakukan? Saya tidak merasa melakukan kesalahan apapun."

   

   "Engkau berani menyangkal kesalahanmu, Adi Priyadi?"

   Kata Rahmini dengan ketus.

   

   
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau saja tidak ada kami, bukankah engkau telah menghancurkan nama dan kehormatan perguruan kita Jatikusumo?"

   

   "Adi Priyadi, engkau telah lancang memancing perkelahian dalam pesta Paman Bargowo dan engkau telah dikalahkan oleh Ki Klabangkolo. Kalau tidak ada kami berdua yang membalas kekalahanmu itu dengan mengalahkan Ki Klabangkolo, bukankah nama besar Jatikusumo akan jatuh di depan banyak pendekar? Engkau harus mengukur kemampuanmu sendiri dulu sebelum bertindak, Adi Priyadi! Lebih baik mulai sekarang engkau berlatih lebih tekun agar kemampuanmu meningkat sehingga lain kali tidak akan membikin malu Jatikusumo!"

   

   "Apa yang dikatakan kakangmu benar, Priyadi. Jangan suka melagak di depan umum kalau engkau tidak yakin akan dapat mengatasi keadaan. Kalau engkau sampai dikalahkan orang jahat di depan umum, hal itu memang menjatuhkan nama besar Jatikusumo!"

   Bhagawan Sindusakti juga menegur.

   

   Ditegur oleh dua orang kakak seperguruannya dan oleh gurunya, Priyadi hanya menundukkan mukanya. Akan tetapi dia merasa malu dan terpukul. Dia tahu bahwa Maheso Seto dan Rahmini, keduanya merasa iri kepadanya karena biasanya Bhagawan Sindusakti amat sayang kepadanya. Karena itu, mendapat kesempatan baik, kedua orang suami isteri itu memburukkan dirinya di depan guru mereka. Hemm, gerutunya dalam hati. Kalianpun kalau tidak maju bersama mengeroyok Ki Klabangkolo juga tidak akan dapat menandinginya. Akan tetapi mulutnya tidak mengatakan sesuatu.

   

   Malam itu Priyadi tidak dapat tidur. Bermacam-macam bayangan bermain di benaknya. Bayangan tentang kemesraannya yang dia nikmati dari hubungannya dengan Sekarsih, kemudian dengan Sumarni yang menyenangkan. Akan tetapi diseling bayangan ketika dia ditegur kedua orang kakak seperguruan dan juga gurunya yang membuat hatinya merasa penasaran dan tidak senang. Akhirnya dia membuka pintu kamarnya dan keluar dari dalam kamar, terus keluar dari rumah. Hawa dingin dan sinar bulan menyambutnya di luar ramah. Dia menggigil. Bukan main dinginnya, malam mi, pikirnya. Akan tetapi suasananya menyenangkan karena sinar bulan purnama.

   Dia lalu berjalan-jalan menuju ke belakang pondok. Banyak pondok berdiri di belakang rumah besar tempat kediaman gurunya. Pondok-pondok ini adalah tempat tinggal para murid Jatikusumo. Suasananya sepi sekali. Agaknya para murid sudah tidur. Memang lebih enak berdiam di dalam rumah daripada di luar yang amat dingin itu. Di belakang perkampungan Jatikusumo terdapat sebuah bukit dan seperti juga semua murid Jatikusumo, dia tahu bahwa di bukit itu terdapat sebuah sumur tua yang kering. Sumur ini dianggap keramat, oleh Bhagawan Sindusakti, dan dia, melarang para murid untuk mendekati sumur itu.

   

   "Sumur itu telah dikutuk oleh eyang guru kalian, karena itu kalian jangan mendekatinya dan jangan mengganggunya. Sumur itu dapat mendatangkan malapetaka kepada siapa yang mendekatinya."

   Demikian pesan Bhagawan Sindusakti. Oleh karena itu, para murid Jatikusumo tidak ada yang berani mendekati dan menganggap sumur itu sebagai tempat tinggal iblis yang jahat. Apa lagi setiap malam Jumat Bhagawan Sindusakti menyuruh para murid melemparkan nasi kuning dan ingkung ayam yang di bungkus rapi ke dalam sumur, katanya untuk memberi hidangan kepada yang "mbaurekso"

   Sumur itu. Semua murid menganggap sumur itu tempat yang keramat dan menyeramkan.

   

   Akan tetapi pada malam hari yang terang dan dingin itu, seperti ada sesuatu yang mendorong Priyadi untuk mendaki bukit dan pergi ke sumur tua itu. Dia merasa penasaran dan juga berduka karena ditegur oleh kedua orang kakak seper"guruannya dan oleh gurunya, merasa rendah diri. Ingin dia memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di antara mereka semua agar dia jangan diperhina lagi, jangan dipandang rendah lagi.

   

   Setelah tiba di tepi sumur tua, Priyadi duduk di atas batu besar yang terdapat di dekat sumur dan dia duduk bersila sambil termenung dengan prihatin. Iiba-tiba dia mendengar suara seperti gerengan yang keluar dari dalam sumur kering yang tua itu. Tentu saja dia terkejut sekali dan bulu tengkuknya meremang, Pantasnya itu suara iblis dari dalam sumur, pikirnya. Akan tetapi kemurungannya mendatangkan keberanian yang nekat. Dia tidak melarikan diri melainkan mendengarkan lebih teliti, mencurahkan segenap perhatiannya terhadap suara itu.

   

   "Heemmmm......hemmmm.....hemmmm.....!"

   

   Suara itu berbunyi lagi, suara yang gemetar, menggigil seperti orang yang kedinginan. Priyadi turun dari atas batu, berdiri dekat sumur, menghadapinya dan siap untuk membela diri kalau ada iblis keluar dari sumur dan menyerangnya.

   

   Sementara itu, kedaa telinganya mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara itu terdengar lagi dan alangkah herannya ketika suara gerengan itu disusul kata-kata yang menggigil kedinginan.

   

   "Hemmm........ hemm........aduh dinginnya....... hemm......kejam sekali si Limut Manik.......! Heemmmm..... mati aku........ mati kedinginan......!"

   

   Priyadi merasa betapa tengkuknya menjadi tebal dan dingin. Akan tetapi ditekannya rasa takutnya dan dia lalu menjenguk ke dalam sumur. Gelap di dalam sumur karena sinar bulan masih berada di timur sehingga hanya menerangi permukaan sumur itu. Dia mempertajam pandangannya, akan tetapi tidak melihat ada gerakan dalam sumur. Dengan jantung berdebar dia lalu mengerahkan tenaga lalu berseru ke dalam sumur.

   

   "Siapakah yang berada dalam sumur? Seorang manusiakah yang mengeluarkan kata-kata tadi?"

   Hening sejenak dan terdengar gaung suaranya yang membalik setelah menyentuh dasar sumur, terdengar mengerikan seperti suara dari alam lain. Akan tetapi Priyadi telah dapat menenangkan batinnya dan dia bertekad untuk menyelidiki. Agaknya sumur ini mengandung rahasia pikirnya. Siapa tahu di dalam sumur benar-benar ada orangnya.

   Tiba-tiba terdengar suara dari dalam sumur.

   "Siapa di atas? Engkaukah itu, Limut Manik? Jangan siksa aku lebih lama lagi. Turunlah dan bunuh saja aku, dari pada kau siksa begini, aku sudah tidak tahan lagi!"

   Jantung Priyadi berdebar penuh ketegangan. Tak salah lagi. Di bawah sana ada orangnya! Orang yang ada hubungannya dengan mendiang eyang gurunya, Resi Limut Manik. Orang itu menyebut nama eyang gurunya begitu saja, tentu mempunyai hubungan yang dekat sekali!

   "Tunggu, aku akan turun!"

   Teriaknya dengan nekat dan dia lalu berlari cepat kembali ke pondok untuk mengambil gulungan tali yang cukup panjang. Lalu diikatkannya ujung tali itu ke sebatang pohon yang tumbuh dekat sumur, kemudian dengan penuh keberanian dia lalu turun ke dalam sumur melalui tali itu! Kakinya menyentuh dasar sumur yang kering, akan tetapi gelap. Ketika dia meraba-raba, dia mendapat kenyataan bahwa sumur itu menembus ke sebuah terowongan yang cukup besar.

   "Ah, engkau benar-benar sudah turun ke dalam sumur? Cepat ke sinilah!"

   Terdengar suara itu. suara yang menggigil.

   "Aku kedinginan dan hampir mati, tak dapat bergerak lagi....."

   Priyadi sambil meraba-raba lalu melangkah ke arah suara dari sebelah dalam terowongan.

   Tiba-tiba, setelah melangkah agak lama dan jauh, dia melihat sebuah ruangan yang remang-remang, agaknya mendapat penerangan dari atas. Dia memasuki ruangan itu dan karena matanya sudah terbiasa, dia dapat melihat seorang kakek tua renta duduk di atas batu. Keadaan kakek itu menyedihkan sekali. Dia bertelanjang bulat, hanya mengenakan cawat dari kain yang sudah lusuh, tubuhnya kurus kering seperti jerangkong, akan tetapi sepasang matanya demikian tajam seperti mata harimau yang mencorong dalam kegelapan.

   "Limut Manik, aku kedinginan tidak mampu turun dari sini, akan tetapi aku masih dapat membunuhmu!"

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba dua buah lengan yang tinggal tulang terbungkus kulit itu didorongkan ke depan, ke arah Priyadi dan ada hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar disertai suara bercuitan! Priyadi terkejut bukan main, mengenal pukulan jarak jauh yang ampuh sekali, maka diapun cepat-cepat memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya dengan Aji Gelap Musti.

   Priyadi terlempar bagaikan daun kering tertiup angin dan tubuh belakangnya menghantam dinding terowongan dengan kuat sekali. Untung dia telah mengerahkan aji kekebalannya sehingga punggungnya tidak remuk. Akan tetapi dia merasa dadanya sesak.

   "Ha-ha-ha-ha! Aku masih kuat, bukan? Engkaupun tidak mampu menahan pukulanku, padahal aku sudah sekarat, ha-ha-ha!"

   Jerangkong hidup itu tertawa-tawa dengan riangnya.

   Priyadi merangkak bangkit.

   "Maaf, saya bukan Eyang Resi Limut Manik. Eyang Resi Limut Manik telah meninggal dunia."

   Kata Priyadi, tidak berani mendekat lagi.

   "Hah? Siapa andika?"

   Tanya kakek itu dan agaknya dia baru melihat jelas bahwa orang yang datang itu bukan Resi Limut Manik seperti yang disangkanya semula.

   "Andika masih amat muda. Siapa andika?"

   Jerangkong itu bertanya dengan suara menggigil dan tubuhnya juga menggigil kedinginan. Memang hawa di dalam situ teramat dinginnya sehingga Priyadi juga merasakannya. Timbul rasa kasihan dalam hatinya. Dia mengenakan baju rangkap ketika keluar dari pondokannya tadi karena hawa amat dingin.

   "Nama saya Priyadi, saya murid perguruan Jatikusumo, eyang."

   "Hemmm, Siapa gurumu? Siapa ketua Jatikusumo sekarang?"

   "Guru saya adalah Sang Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua Jatikusumo."

   "Hemmm..... Sindusakti? Dan engkau muridnya? Memalukan sekali, Jatikusumo hanya sebegitu saja tenaganya!"

   Tiba-tiba Priyadi mendapat sebuah pikiran yang baik sekali, dia membuka baju luarnya dan menghampiri kakek itu.

   "Eyang, mari pakailah baju saya ini agar tidak terlalu dingin."

   Dia sendiri menyelimutkan baju itu di atas kedua pundak kakek itu.

   "Hemm, engkau boleh juga. Akan tetapi, kaki tanganku kedinginan sampai sukar digerakkan, agaknya darahku sudah membeku........."

   Kata kakek itu sambil menggigil. Tanpa diminta Priyadi segera memijati kaki tangan kakek itu dan mengurut-urut agar jalan darahnya normal kembali. Setelah kakek itu dapat menggerakkan kaki tangannya, tiba-tiba sekali tangan kiri kakek itu, yang hanya tinggal tulang dan kulit, telah mencengkeram tengkuk Priyadi. Kuku-kuku yang tajam runcing menusuk kulit tengkuknya.

   "Namamu Priyadi? Hayo cepat bawa aku naik dan keluar dari sumur ini. Awas, sekali saja engkau membuat gerakan mencurigakan dan tidak menaati perintahku, sekali cengkeram lehermu akan patah dan engkau akan mati konyol!"

   Priyadi dapat merasakan betapa kuatnya tangan yang mencengkeram tengkuk itu. Akan tetapi dia masih bersikap tenang dan dia berkata.

   "Eyang ini sungguh aneh. Eyang seorang yang maha sakti, kalau hendak keluar dari sumur apa sih sukarnya, Mengapa harus menyuruh aku?"

   "Bodoh! Kedua kakiku sudah lumpuh, dibikin lumpuh oleh si jahanam Limut Manik! Kalau kedua kakiku tidak lumpuh, apakah engkau kira aku betah tinggal di neraka ini sampai puluhan tabun lamanya? Hayo, jangan banyak cakap. Gendong aku di punggungmu dan bawa aku keluar dari sini!"

   Berkata demikian, kakek itu memperkuat cengkeramannya pada tengkuk sehingga Priyadi meringis kesakitan. Agaknya aji kekebalannya tidak mempan terhadap tangan kakek yang seperti jerangkong itu.

   "Baiklah, eyang, akan tetapi jangan cekik saya keras-keras. Kalau kesakitan, bagaimana saya dapat menggendongmu?"

   Ternyata kedua kaki kakek itu tergantung lemas tidak dapat digerakkan, akan tetapi sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang ke atas punggung Priyadi dan tangan ktn tetap mencekik tengkuk, sedangkan tangan kanan memegang pundak.

   Priyadi merasa betapa ringannya tubuh kakek itu, seringan tubuh kanak-kanak saja. Akan tetapi, sungguh luar biasa, betapa kuat tenaganya ketika memukulnya tadi. Dan kakek ini tentu seorang yang amat jahat! Pikiran ini tiba-tiba saja timbul dalam benaknya. Selain wataknya yang jahat dapat dirasakannya ketika kakek itu memaksanya membawa keluar dari situ, juga kenyataan bahwa eyang gurunya melumpuhkan kakinya dan memenjarakannya di sumur tua tentu karena orang ini jahat sekali. Akan tetapi, biarpun jahat, dia amat sakti mandraguna. Dan hal ini menguntungkan dirinya kalau saja kakek itu mau menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya. Mendadak dia mendapat pikiran yang dianggapnya amat baik. Setelah tiba di dasar sumur, dia berhenti dan berkata.

   "Eyang, aku tidak mau membawamu naik!"

   Cengkeraman pada tengkuknya menguat.

   "Keparat, mengapa tidak mau?"

   Bentak kakek itu.

   "Sama saja eyang mau bunuh saya di sini atau di atas. Aku yakin bahwa kalau kita sudah sampai ke atas sumur, eyang akan membunuhku juga."

   "Ha-ha-ha, engkau pandai membaca pikiran orang. Memang tadinya aku berpikir begitu. Akan tetapi sekarang tidak. Kalau engkau mau membawaku keluar dari semua ini, aku tidak akan membunuhmu!"

   "Bersumpahlah dulu, eyang!"

   Priyadi berani menuntut karena dia yakin bahwa kakek itu membutuhkan dia, maka tentu tidak akan membunuhnya.

   "Jahanam berani engkau tidak percaya kepadaku? Ingat, aku ini jelek-jelek adalah uwa eyang gurumu. Limut Manik adalah adik seperguruanku, tahu?"

   "Biar tenang hatiku, eyang. Bersumpahlah dulu."

   "Hemm, baiklah. Aku bersumpah tidak akan membunuhmu setelah engkau membawa aku keluar dari sumur ini."

   "Masih ada lagi, eyang. Aku minta agar setelah eyang kubawa keluar dari sumur, eyang akan mengangkat aku sebagai murid."

   "Apa? Engkau sudah mempelajari semua aji dari Jatikusumo? Apa lagi yang dapat kuajarkan?"

   "Aji pukulan yang eyang pergunakan tadi, aku ingin eyang mengajarkannya kepadaku setelah aku membawa eyang keluar dari sini."

   "Gila! Aji pukulan Margapati yang kulatih selama puluhan tahun kuajarkan kepadamu? Enak saja!"

   "Dengan Aji Margapati ini, aku ingin menjadi pendekar nomor satu di dunia! Dan aku dapat menjadi pembantu eyang yang setia, pembantu dan murid yang akan mengangkat nama eyang tinggi-tinggi!"

   "Tidak, aku tidak akan mengajarkan Aji Margapati kepada siapapun juga. Kepadamu pun tidak."

   Kata kakek itu dengan kukuh.

   "Kalau begitu aku tidak mau membawamu, naik dan keluar dari neraka ini!"

   Kata Priyadi sama kukuhnya.

   Cengkeraman tangan di tengkuknya itu menguat.

   "Kau akan kubunuh!"

   "Biarlah aku mati bersamamu di neraka ini, eyang. Kalau eyang mau berjanji dengan sumpah bahwa eyang akan mengajarkan Aji Margapati kepadaku, baru aku akan membawa eyang naik."

   Hening sejenak dan tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-ha! Engkau penuh keberanian! Engkau juga licik. Engkau seperti aku, di luarnya tampak bodoh akan tetapi sebetulnya mengandung kecerdikan luar biasa. Baiklah, aku akan mengajarkan Margapati kepadamu, Priyadi," "Bersumpahlah dulu, eyang agar kalau eyang nanti melanggar sumpah dan membunuhku, biar aku mati, akan tetapi Eyang akan dikejar-kejar sumpah sendiri sehingga hidupmu tidak akan tenteram."

   "Sialan! baiklah. Aku bersumpah akan mengajarkan Margapati kepadamu setelah engkau membawaku keluar dari sini."

   "Nah, begitu baru baik, eyang. Kita sama-sama untung. Apa eyang berpikir akan dapat hidup sendiri di luar sana? Eyang lumpuh, dan tidak mempunyai apa-apa. Siapa yang akan merawat dan melayanimu. Akan tetapi kalau eyang mengangkatku sebagai murid, aku akan mencarikan tempat tinggal yang tersembunyi bagi eyang, aku yang akan mencarikan makanan dan minuman untuk eyang, dan mencarikan pakaian untuk melindungi tubuh eyang dari bawa dingin."

   "Heh-heh-ha-ha, untung engkau mengingatkan aku akan hal itu, Priyadi. Kalau aku sudah terburu - buru membunuhmu, tentu aku akan rugi besar, Hayo kita naik!"

   "Pegang pundakku kuat-kuat, eyang!"

   Kata Priyadi, lalu dia memegang tali itu dan merayap naik dengan cepat. Beban tubuh kakek itu seperti tidak terasa olehnya. Dengan waktu cepat dia sudah tiba di atas sumur tua. Tiba - tiba kakek itu membuat gerakan dan tubuhnya sudah meloncat turun dari atas punggung Priyadi.

   Di bawah sinar bulan yang cukup terang Priyadi kini dapat melihat kakek itu dengan jelas. Keadaan kakek itu memang mengerikan. Tubuh yang seperti jerangkong itu saja sudah mengerikan. Wajahnya seperti tengkorak hidup, akan tetapi sepasang matanya mencorong. Kini Priyadi dapat melihat dia "berdiri", bukan berdiri di atas kedua kaki seperti biasa, melainkan bersimpuh. Kedua kakinya ditekuk tidak berdaya. Agaknya dia lumpuh dari paha ke bawah. Akan tetapi ketika dia mendekati Priyadi, tubuhnya mencelat seperti seekor katak saja, ringan dan cepat. Kiranya kakek ini dapat leluasa bergerak dengan berloncatan, akan tetapi tentu saja kemampuan itu tidak cukup untuk membuat dia dapat keluar dari dalam sumur yang cukup dalam itu.

   "Priyadi, aku harus tinggal di mana? Jangan sampai terlihat orang lain, aku tidak ingin menjadi perhatian orang sebelum dapat berpakaian dan muncul secara wajar di depan orang banyak."

   Kata kakek itu, agak bingung.

   "Nah, jelaslah bahwa eyang membutuhkan aku, bukan? Jangan khawatir, eyang. Mari kita pergi ke balik bukit. Di sana terdapat banyak guha dan tempat itu jarang didatangi orang. Eyang dapat tinggal di sebuah di antara guha-guba itu untuk sementara waktu. Apakah eyang minta digendong lagi?"

   "Tidak perlu. Setelah berada di sini, aku dapat bergerak sendiri. Apa kau kira akan dapat berlari lebih cepat daripada aku? Hayo tunjukkan ke mana kita akan menuju!"

   Priyadi menunjuk ke puncak bukit.

   "Kita akan melalui puncak bukit itu. lalu turun ke balik puncak "

   "Bagus. Mari kita berlumba, siapa yang dapat sampai ke puncak itu lebih dulu!"

   Tentu saja Priyadi memandang rendah kepada kakek itu. Sesakti-saktinya, kakek yang kedua kakinya sudah lumpuh itu mana mampu berlari cepat? "Engkau akan kalah, eyang. Aku sudah mempelajari Aji Harina Legawa dan dapat berlari cepat seperti seekor kijang."

   "Ha-ha-ha. Aji Harina Legawa? Aku menguasai aji kecepatan yang jauh lebih dari itu. Kusebut aji itu Aji Tunggang Maruto. Hayo kita berlumba. Berangkatlah engkau lebih dulu, nanti kususul!"

   Priyadi tidak percaya akan tetapi juga merasa girang. Kalau benar kata kakek itu, berarti dia akan dapat mempelajari banyak ilmu yang hebat-hebat dari kakek ini! Maka dia mengerahkan tenaganya, menggunakan Aji Harina Legawa dan tubuhnya sudah melesat bagaikan kijang melompat ke depan dan dia berlari cepat ke arah puncak bukit.

   Akan tetapi ketika dia berada di puncak bukit dengan napas agak terengah karena dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, dia melihat kakek lumpuh itu sudah berdiri atau duduk di atas sebuah batu sambil tertawa tawa.

   "Ha-ha-ha, larimu lambat sekali, Priyadi!"

   Priyadi yang cerdik langsuog saja menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu sambil menyembah.

   "Saya yang bodoh mohon banyak petunjuk dari eyang yang sakti mandraguna."

   "Ha-ha-ha, jangan khawatir, bocah bagus. Dalam waktu yang tidak lama engkau akan menjagoi di seluruh nusantara!"

   Mereka lalu menuruni puncak dan menuju ke balik bukit itu. Priyadi membawa kakek itu ke daerah yang berbatu-batu dan benar saja di dinding bukit itu terdapat banyak guha. Mereka memilih sebuah guha terbesar dan di situlah kakek itu tinggal untuk sementara waktu. Priyadi lain mengumpulkan rumput dan jerami kering untuk dijadikan tilam di lantai guha, membersihkan guha itu dan menjelang subuh dia berpamit,

   "Eyang, sekarang saya mohon diri lebih dulu, karena kalau saya tidak pulang, tentu bapak guru dan para saudara seperguruan akan mencari saya dan mencurigai saya. Siang nanti saya akan mencari kesempatan untuk berkunjung kesini membawa makanan dan minuman untuk eyang, juga akan saya bawakan seperangkat pakaian untuk eyang. Sebelum saya pergi, bolehkah saya mengetahui nama eyang?"

   "Heh-heh-heh, anak baik. Aku girang tidak membunuhmu. Ternyata engkau memang amat berguna bagiku. Ketahuilah, aku masih terhitung kakak seperguruan mendiang Resi Limut Manik, adapun nama julukanku dahulu adalah Resi Ekomolo. Nama besarku terkenal di seluruh Mataram, bahkan di Mataram aku dijuluki orang Alap-alap Mataram. Nah, pergilah dan cepat kembali membawa makanan yang enak-enak. Di neraka itu, aku hanya makan jamur-jamur mentah dan lumut lumut dan hanya setiap malam Jumat gurumu mengirimkan makanan yang pantas. Aku ingin sekali makan daging sapi atau daging kambing."

   Priyadi meninggalkan tempat itu, menyeberangi puncak bukit dan sebelum ayam berkokok dia sudah kembali ke dalam kamar di pondoknya. Dia bekerja di ladang bersama para murid lain seperti biasa dan setelah dia memperoleh kesempatan, dia membawa makanan dan juga seperangkat pakaiannya sendiri untuk diberikan kepada Resi Ekomolo.

   Resi Ekomolo gembira sekali. Pakaian bersih segera dikenakan di tubuhnya dan diapun makan minum dengan lahapnya. Setelah kenyang, diapun memandang kepada pemuda itu dan berkata.

   "Aku suka padamu, Priyadi. Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku yang hebut kepadamu Mulai sekarang engkau harus mempelajari dan melatih ilmu-ilmu yang kuajarkan dengan baik."

   "Terima kasih, eyang. Akan tetapi saya harus mencari waktu yang luang. Sebaiknya setiap malam, kalau semua orang sudah tidur, saya datang ke sini dan belajar ilmu dari eyang. Kalau tidak demikian, tentu akan ada orang yang mengetahuinya."

   "Baik, memang aku tidak ingin ada orang mengetahuinya. Engkau adalah murid Jatikusumo dan kulihat engkau sudah mempelajari ilmu-ilmu aliran Jatikusumo dengan baik. Karena ilmu-ilmu yang kurangkai juga berdasarkan aliran Jatikusumo, maka aku yakin dalam waktu cepat engkau akan dapat menguasainya. Kalau engkau sudah mewarisi ilmu-ilmu yang kuajarkan, engkau harus menjadi ketua Jatikusumo, karena tidak akan ada orang di Jatikusumo yang akan mampu menandingimu. Bahkan gurumu sendiri Bhagawan Sindusakti tidak akan dapat mengalahkanmu!"

   "Akan tetapi, eyang!"

   Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Seru Priyadi dengan mata terbelalak karena terkejut mendengar kata-kata Itu. Bagaimana mungkin saya akan mampu mengalahkan Bapa Guru?"

   "Ha-ha-ha. engkau masih meragukan kemampuanku? Dengar! Dahulu, di antara perguruan kami, tingkat kepandaianku yang paling tinggi! Sampai kemudian guru kami menurunkan dua pu"saka berikut ilmunya kepada Resi Limut Manik sehingga terpaksa aku kalah olehnya. Resi Limut Manik dapat mengalahkan aku berkat dua ilmu yang dirahasiakan guru kami dan kemudian diturunkan kepada Resi Limut Manik. Kalau tidak oleh kedua ilmu itu, tidak ada yang mampu menandingiku!"

   "Dua pusaka dan ilmunya itu, apa saja, eyang?"

   "Ada dua buah pusaka yang oleh Bapa Guru diberikan kepada Resi Limut Manik berikut ilmunya. Yang pertama adalah Pedang Kartika Sakti berikut ilmu pedangnya dan yang kedua adalah Pecut Bajrakirana berikut ilmu pecutnya. Ilmu-ilmu dan pusaka itu merupakan pusaka dan ilmu rahasia, maka tentu Resi Limut Manik tidak akan memberikan kepada para muridnya dan gurumu tentu juga tidak memiliki pusaka dan menguasai ilmunya. Akan tetapi tentang ilmu pedang Kartiko Sakti, engkau tidak perlu khawatir karena aku telah merangkai ilmu Margapati yang mampu mengalahkan lima pedang Kartika Sakti. Hanya yang kukhawatirkau Pecut Sakti Bajrakirana itu! Pecut itu hebat sekali, demikian pula ilmu pecutnya dan agaknya akan sukar sekali dapat mengalahkan ilmu itu. Karena itu, engkau harus menyelidiki di mana adanya dua pusaka berikut ilmu-ilmunya yang tertulis dalam kitab. Kalau engkau mampu menguasai kedua ilmu itu, bukan saja semua murid Jatikusumo tidak mampu menandingimu, bahkan seluruh pendekar di nusantara tidak ada yang akan mampu mengalahkanmu!"

   Priyadi teringat akan Cerita Maheso Seto dan Rahmmi tentang kedua macam pusaka dan ilmu-ilmunya itu. Setelah Sang Resi Limut Manik meninggal dunia dua macam pusaka dan ilmunya itu telah terjatuh ke tangan dua orang cucu muridnya, yaitu Puteri Wandansari dan seorang pemuda bernama Sutejo! Pedang dan ilmu pedang Kartika Sakti telah dikuasai oleh Puteri Wandansari, adik seperguruannya sendiri, sedangkan pecut sakti Bajrakirana berikut kitabnya telah dikuasai Sutejo! Akan tetapi hal ini tidak diceritakannya kepada Resi Ekomolo dan disimpannya sendiri sebagai rahasia hatinya. Kalau disampaikan sekarang, hal itu tentu akan meresahkan sang resi dan jangan-jangan akan mengubah niatnya untuk mewariskan ilmu-ilmunya kepadanya. Karena itu diapun menyembah dan menjawab.

   "Baik, eyang. Semua pesan eyang akan saya perhatikan dan junjung tinggi. Setelah menerima ilmu-ilmu dari eyang, saya akan berusaha untuk mencari dan mendapatkan dua pusaka dan ilmunya itu."

   "Mulai malam nanti, datanglah ke sini. Aku akan mulai mengajarkan ilmu-ilmu simpananku kepadamu. Akan tetapi pesanku yang tidak boleh kau langgar, yaitu sebelum aku menyatakan ilmu-ilmumu sudah sempurna dan tamat belajar, engkau tidak boleh sekali-kali mempergunakan ilmu itu untuk bertanding dengan orang lain sehingga ilmu itu akan diketahui orang "

   "Baiklah, eyang saya berjanji akan melaksanakan perintah eyang."

   Demikianlah, mulai malam hari itu Priyadi digembleng oleh Resi Ekomolo dan karena memang dia telah menguasai dasar ilmu silat aliran, Jatikusumo sedangkan ilmu-ilmu yang dirangkai oleh kakek itu juga berdasarkan aliran Jatikusumo, maka dia dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan dengan mudah. Memang pada dasarnya pemuda ini juga memiliki bakat yang amat baik. Dia menerima ilmu-ilmu yang langka, seperti ilmu keringanan dan kecepatan tubuh Tunggang Maruto yang membuat dia dapat bergerak seperti angin cepatnya, Aji Pukulan Margopati yang hebat bukan kepalang karena angin pukulannya saja sudah cukup untuk membunuh lawan. Selain itu, yang membuat Priyadi girang bukan main adalah ketika kakek itu mengajarkaa dia Aji Pengasihan Mimi Muntuno dan Aji Penyirepan Begonondo! Juga dia diberi Aji Jerit Nogo, yaitu semacam ilmu pekik yang dapat membuat lawan runtuh semangatnya dan juga membuat semua serangan sihir menjadi punah.

   Setiap malam Priyadi mendatangi guha itu dan berlatih dengan tekun, juga di waktu siang, apa bila terdapat kesempatan menyendiri di kamarnya, dia berlatih dengan rajin sekali.

   Bhagawan Sindusakti dihadap keempat orang muridnya, yaitu Maheso Seto, Rahmini, Priyadi dan Cangak,Awu. Bhagawan Sindusakti yang sudah tua, berusia hampir tujuh puluh tahun itu sudah mulai lemah dan sakit-sakitan. Menyadari akan hal ini, dia lalu memanggil semua muridnya, yaitu murid kepala yang semua berjumlah lima orang bersama Puteri Wandansari. Karena sang puteri tidak berada di situ dan sudah pulang ke Mataram, maka dia hanya memanggil empat orang muridnya itu. Mereka berkumpul di ruangan depan yang luas. Bhagawan Sindusakti duduk bersila di atas sebuah dipan dan empat orang muridnya duduk bersimpuh di atas lantai.

   "Murid-muridku, sekarang kukira sudah tiba saatnya bagi kita untuk membicarakan soal perguruan kita Jatikusumo. Aku sudah mulai tua dan lemah, tidak bersemangat lagi untuk bekerja keras pada hal untuk memajukan perguruan, kita membutuhkan semangat muda yang bernyala-nyala. Akan tetapi sebelum kedudukan ketua kuserahkan kepada kalian murid-muridku, terutama sekali tentu saja kepada Maheso Seto sebagai murid kepala yang pertama, aku ingin membicarakan tentang pusaka-pusaka Jatikusumo yang kini telah lepas dari tangan mendiang eyang guru kalian Resi Limut Manik. Kalian sudah yakinkah, Maheso Seto, Rahmini dan Cangak Awu, bahwa pusaka Pedang Kartika Sakti dan kitab pelajaran ilmu pedang Kartika Sakti berada di tangan Puteri Wandanuri, dan kitab pelajaran ilmu pecut Bajrakirana berada di tangan murid mendiang Adi Bhagawan Sidik Paningal yang bernama Sutejo?"

   "Kami bertiga mendengar sendiri pengakuan mereka berdua. Bapa Guru. Pedang dan kitab Kartika Sakti berada di tangan diajeng Wandansari dan kitab Bajrakirana berada di tangan Sutejo murid mendiang Paman Bhagawan Sidik Paningal itu. Sedangkan Pecut Sakti Bajrakirana menurut keterangan mereka berdua di tangan Paman Bhagawan Jaladara."

   "Hemm, aku masih merasa heran dan aneh sekali mendengar betapa Adi Bhagawan Jaladara mengeroyok dan membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik"

   Kata Bhagawan Sindusakti sambil mengelus jenggotnya yang putih.

   "Akan tetapi, kedua pusaka dan kitabnya itu seharusnya berada di sini, karena dua benda berharga itu merupakan pusaka perguruan Jatikusumo. Karena itu kalian berempat mempunyai kewajiban untuk mendapatkan kembali benda-benda itu agar perguruan Jatikusumo tidak kehilangan pusakanya. Untuk mendapatkan kembali Pedang Kartika Sakti dan kitabnya, kurasa tidaklah sukar karena kedua benda itu berada di tangan Puteri Wandansari, adik seperguruan kalian sendiri. Kalian dapat membujuknya untuk mengembalikannya ke sini. Adapun tentang Pecut Bajrakirana, kalian temuilah paman kalian Bhagawan Jaladara dan katakan bahwa aku yang minta agar dia menyerahkan pecut pusaka itu kepada perguruan kita, sedangkan kitab pelajaran Pecut Bajrakirana dapat kalian minta dari tangan Sutejo. Kalau dia tidak mau menyerahkannya, kalian boleh menggunakan kekerasan, karena dia sebagai murid aliran Jatikusumo berarti telah menentang perguruan sendiri."

   "Ketika itu, saya dan diajeng Rahmini juga sudah ingin merampas kedua kitab dan pedang Kartika Sakti dari tangan Sutejo dan diajeng Wandansari dengan kekerasan, akan tetapi Adi Cangak Awu mencegah dan mengatakan bahwa tidak baik ribut dengan saudara seperguruan sendiri dan menyarankan agar kami melapor kepada Bapa Guru."

   "Hemm, memang benar pendapat Cangak Awu. Akan tetapi kalau mereka tidak mau menyerahkan pusaka dan kitab yang sudah menjadi hak perguruan Jatikusumo itu, terpaksa kita harus mempergunakan kekerasan! Nah, sekarang selagi kita berkumpul, kalau sekiranya ada sesuatu yang hendak kalian tanyakan, maka katakanlah?"

   "Saya hendak bertanya, Bapa Guru untuk membujuk diajeng Wandansari mengembalikan pedang dan kitabnya, tentu saja merupakan hal yang mudah dilakukan. Apa lagi kalau kami katakan bahwa Bapa Guru yang memerintahkan, tentu ia akan menurut dan menyerahkan pusaka itu. Untuk mengambil kembali kitab Bajrakirana dari tangan Sutejo juga bukan hal yang sukar karena kalau pemuda itu tidak mau menyerahkan, dan kami menggunakan kekerasan, tentu dia tidak dapat menolak lagi dan tidak akan mampu melawan kami. Akan tetapi bagaimana kalau Paman Bhagawan Jaladara menolak untuk memberikan pecut Bajrakirana kepada kami? Kami tidak berani me lawannya dan tentu akan kalah."

   Kata Mahesa Seto.

   Kata-kata bantahan sudah berada di ujung lidah Priyadi. Hampir saja dia mengatakan bahwa dia sanggup untuk menandingi dan menang melawan paman guru mereka, Bhagawan Jaladara. Akan tetapi segera dia teringat akan pesan Resi Ekomolo, maka dia menahan diri dan diam saja sambil menundukkan mukanya.

   "Hemm, kalau pamanmu Bhagawan Jaladara menolak untuk menyerahkan pecut Bajrakirana, biar aku sendiri yang akan menghadapinya."

   Kata Bhagawan Sindusakti.

   "Akan tetapi aku sungguh tidak mengerti dan masih merasa heran sekali mendengar bahwa mendiang Bapa Guru Limut Manik menyerahkan kitab-kitab pelajaran pecut Bajrakirana dan pedang Kartika Sakti kepada Sutejo dan Wandansari. Pada hal Bapa Guru pernah bercerita bahwa kedua ilmu simpanan dari aliran Jatikusumo itu tidak akan diturunkan kepada siapapun Juga. karena kedua ilmu itulah yang sanggup menundukkan iblis itu."

   Priyadi terkejut dan teringat akan gurunya yang masih menjadi rahasia.

   "Bapa Guru, siapa yang Bapa Guru maksudkan dengan iblis yang hanya dapat ditundukkan oleh kedua ilmu pusaka itu?"

   Tanyanya.

   Bhagawan Sindusakti tampak terkejut, dan dia merasa bahwa dia telah kelepasan bicara.

   "Ah, tidak..... dia adalah seorang jahat yang sakti mandraguna, akan tetapi telah ditundukkan oleh mendiang eyang guru kalian,"

   Jawabnya mengelak.

   Akan tetapi Priyadi tidak merasa puas. Dia yakin bahwa apa yang disinggung gurunya itu mengenai diri Resi Ekomolo, maka diapun mengejar dengan hati-hati agar jangan membocorkan rahasianya.

   "Bapa guru, saya telah mengenal saudara-saudara seperguruan Bapa guru, yaitu mendiang Paman Bhagawan Sidik Paningal dan Paman Bhagawan Jaladara. Akan tetapi saya tidak mengenal siapa saudara seperguruan mendiang Eyang Resi Limut Manik. Jatikusumo adalah sebuah perguruan besar, kiranya tidak mungkin kalau yang mewarisi hanya mendiang Eyang Guru seorang. Saya kira perlu sekali bagi saya untuk mengenal siapa adanya para paman eyang guru agar kelak kalau bertemu dengan murid-murid dan keturunan mereka tidak akan menjadi asing. Bapa Guru."

   Bhagawan Sindusakti menghela napas dan sampai beberapa lamanya tidak dapat menjawab.

   "Apa yang dikatakan Kakang Priyadi itu ada benarnya, Bapa Guru. Saya sendiri juga ingin sekali mengetahui siapa adanya para paman eyang guru saya."

   Kata Cangak Awu, raksasa muda itu.

   "Kami berdua juga ingin sekali mendengar riwayatnya, Bapa Guru.' kata Muheso seto dan isterinya, Rahmini mengangguk menyetujui.

   Beberapa kali Bhagawan Sindusakti menghela napas panjang.

   "Hemm, agaknya riwayat itu memang sudah semestinya kalian ketahui agar dapat kalian jadikan contoh. Baiklah, akan kuceritakan semuanya mengapa kedua pusaka itu tidak diajarkan kepada para murid, dan mengapa pula Pecut Sakti Bajrakirana menjadi pusaka lambang kebenaran Jatikusumo"

   Kembali Bhagawan Sindusakti berhenti sampai lama dan beberapa kali menghela napas panjang. Sementara itu, empat orang muridnya menunggu dau mendengarkan dengan penuh perhatian.

   Dengan suaranva yang lembut dia lalu bercerita, Beginilah ceritanya.

   Resi Jatikusumo pendiri dari perguruan Jatikusumo, memiliki dua orang murid kepala, yaitu Resi Limut Manik dan Resi Ekomolo. Biarpun Resi Ekomolo merupakan murid tertua dan memiliki ilmu kepandaian tertinggi, namun Maha Resi Jatikusumo tidak begitu menyukainya karena wataknya yang keras dan juga akhir-akhir ini menunjukkan bahwa dia seorang yang masih menjadi hamba nafsu-nafsunya sendiri. Oleh karena itu, diam-diam Resi Jatikusumo memberikan dua buah pusaka berikut ilmunya kepada Resi Limut Manik. Dua buah pusaka itu pertama adalah Pecut Bajrakirana berikut ilmunya dan Pedang Kartika Sakti berikut ilmunya. Bahkan Pecut Sakti Bajrakirana dijadikan lambang kebesaran perguruan Jatikusumo dan Resi Jatikusumo mengumumkan kepada semua muridnya bahwa barang siapa memegang dan memiliki pecut itu, maka berarti dia memiliki kekuasaan penuh di Jatikusumo dan harus, ditaati semua murid lain!

   Sebagai pemilik Pecut Sakti Bajrakirana dan Pedang Kartika Sakti Sang Resi Limut Manik menggantikan kedudukan sebagai ketua perguruan Jatikusumo setelah Resi Jatikusuma meninggal dunia. Resi Ekomolo yang menjadi murid tertua, tentu saja merasa tidak senang, iri hati dan marah sekali, Akan tetapi karena hal itu sudah menjadi peraturan yang dipesankan guru mereka, dia tidak dapat menentangnya, Akan tetapi, setelah gurunya meninggal dunia, Resi Ekomolo semakin menjadi liar. Dia semakin dalam terperosok ke dalam cengkeraman nafsu-nafsunya sehingga dia melakukan segala macam perbuatan sesat. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak ada yang dapat menghalangi perbuatannya. Merampas harta benda orang, merampas isteri atau anak gadis orang, babkan memperkosa wanita menjadi kebiasaannya sehingga namanya tersohor sebagai seorang penjabat yang amat kejam, mudah saja membunuhi orang yang tidak berdosa.

   

Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini