Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 17


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 17



"Wuuuuttt....... desss....."

   Sebuah ruyung besi menghantam punggung Ki Baka dari belakang. Ki Baka mengeluh dan muntah darah, tombaknya menyambar ke belakang, menembusi perut lawan yang menghantamkan ruyung.

   Akan tetapi Ki Baka sendiri terhuyung-huyung karena hantaman ruyung tadi membuat dia terluka dalam dadanya dan pandang matanya berkunang. Dia maklum bahwa keadaannya terancam maut, maka diapun memekik dengan suara dahsyat.

   "Sejengkal tanah sepercik darah"

   Tombaknya kembali menyambut para pengepung dan demikian kuatnya dia menusukkan tombaknya sehingga tombak itu menembus perut seorang pengeroyok, tembus ke punggung dan memasuki perut orang ke dua. Akan tetapi, dia mendapat kesulitan untuk mencabut tombak yang menembus tubuh dua orang lawan itu dan pada saat itu, tangan kiri Ki Cucut Kalasekti menyambar ganas.

   "Desss......."

   Dada Ki Baka kena hantaman tangan terbuka dari Ki Cucut Kalasekti. Ki Baka mengeluh lirih dan tubuhnya terjengkang ke belakang dalam keadaan pingsan.

   Sementara itu, Nurseta yang mengkhawatirkan keadaan ayah angkatnya, berhasil membobolkan kepungan dengan terjangannya yang dahsyat sehingga ketika dia menerjang maju itu enam orang perajurit musuh terjengkang dan yang lain merasa jerih dan mundur. Kesempatan iui dipergunakan oleh Nurseta untuk melompat keluar dari kepungan. Pada saat itu dia melihat ayah angkatnya terjengkang oleh pukulan Ki Cucut Kalasekti yang tertawa-tawa bergelak melihat robohnya lawan.

   Nurseta melompat ke arah Ki Cucut Kalasekti, mulutnya mengeluarkan teriakan melengking nyaring yang membuat banyak perajurit seperti lumpuh seketika dan banyak pula yang terguling roboh.

   "Hyaaaaatttt........"

   Angin dahsyat menyambar ke arah Ki Cucut Kalasekti yang terkejut sekali, Kakek ini mencoba untuk menangkis dengan pengerahan tenaganya sambil membacokkan pedangnya.

   "Bressss"

   Pedang itu terpental lepas dari tangannya dan tubuh kakek itu sendiri juga terdorong sampai beberapa meter jauhnya kemudian roboh telentang. Hebat sekali pukulan itu, karena pukulan yang dilakukan Nurseta itu adalah Aji Jagad Pralaya. Kalau bukan Ki Cucut Kalasekti, tentu sudah remuk isi dadanya.

   Nurseta cepat menyambar tubuh ayah angkatnya, dipanggulnya tubuh itu dan diapun melarikan diri. Ki Cucut Kalasekti bangkit duduk, tidak berani mengejar dan dia memandang ke arah dadanya, bergidik ngeri. Bajunya Sisik Nogo telah pecah. Pada hal, baju itu tidak dapat ditembus senjata tajam yang bagaimanapun ampuhnya.

   Demikianlah, ketika dia sedang melarikan tubuh ayah angkatnya yang terluka parah dan pingsan, di dalam perjalanan itu Nurseta melihat Puspawati atau Puteri Tribuwana yang dihadang Yuyu Rumpung yang akan menangkapnya dan Nurseta menyelamatkan puteri itu yang melarikan diri setelah terlepas dari tangan Yuyu Rumpung. Karena dia sendiri ingin menyelamatkan ayah angkatnya, maka Nurseta tidak dapat mencari lagi puteri itu dan diapun cepat melarikan diri keluar dan ibu kota Singosari yang sedang dilanda kemelut perang itu dan berhasil keluar dari pintu gerbang menuju ke sebuah bukit yang sunyi.

   Maklum akan bahaya yang mengancam Singosari, Raden Wijaya yang mendapatkan tugas mengepalai pasukan untuk menanggulangi penyerbuan pasukan Kediri yang kuat, menyerahkan para pembantunya, yaitu para senopati yang setia kepadanya. Mereka itu antara lain adalah Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahesa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengen, Wirota Wirogati, Pamandana dan banyak lagi. Mereka semua dengan semangat tinggi memimpin pasukan Singosari menuju ke Mameling di mana menurut para penduduk yang lari mengungsi, kini telah diduduki oleh pasukan Kediri. Yang menjadi pembantu utama atau juga wakilnya adalah Raden Ardaraja, mantu dari Sang Prabu Kertanagara. Raden Ardaraja ini adalah putera dari Sang Prabu Jayakatwang dari Kediri. Akan tetapi, di hadapan ayah mertuanya, Raden Ardaraja telah bersumpah untuk setia kepada Singosari dan akan menentang ayahnya sendiri yang dianggapnya memberontak dan tidak mengenal budi itu. Raden Wijaya juga sudah percaya sepenuhnya kepada saudara iparnya ini.

   Begitu tiba di Mameling, Raden Wijaya dan Raden Ardaraja, dibantu oleh para senopati Singosari, segera mengerahkan pasukan menggempur balatentara musuh. Terjadilah perang tanding yang seru dan matimatian antara pasukan Singosari dan pasukan Kediri. Akan tetapi segera ternyata bahwa pasukan Kediri yang berada di Mameling itu tidaklah berapa besar. Dengan mudah saja pasukan Singosari dapat mematahkan perlawanan pasukan Kediri dan mereka melarikan diri keluar dari Mameling.

   Raden Wijaya merasa penasaran. Dia membagi pasukannya menjadi dua, dan mengadakan perundingan kilat dengan Raden Ardaraja dan para senopatinya.

   "Musuh sudah dapat dipukul mundur. Kita harus terus melakukan pengejaran dan memasuki daerah Kediri. Kalau perlu kita terus menggempur Kediri, menghukum para pemberontak itu. Kakangmas Ardaraja, kita membagi pasukan menjadi dua, kakangmas memimpin sebagian menyerbu dari sayap kanan, yang sebagian lagi menyerbu dari kiri dan kupimpin sendiri bersama para pembantuku"

   Raden Ardaraja menyetujui dan demikianlah, pasukan Singosari dibagi dua dan mereka melakukan pengejaran terhadap tentara Kediri yang mengundarkan diri. Juga para senopati dibagi dua. Kebo Kapetengeo, Wirota Wiragati dan Pamandana membantu Raden Ardaraja memimpin pasukan melakukan pengejaran dari sayap kanan, sedangkan para senopati lainnya membantu Raden Wijaya.

   Akan tetapi, pada sore harinya, tiga orang senopati yang membantu Riden Ardaraja itu berlari-lari kembali menjumpai Raden Wijaya dalam keadaan luka-luka di tubuh mereka.

   "Ah, kakang senopati sekalian mengapa mundur dan luka-luka? Apakah bertemu dengan musuh yang lebih kuat?"

   Tanya Raden Wijaya terkejut.

   "Celaka, Raden. Agaknya Raden Ardaraja telah berkhianat. Dia membawa pasukan menyeberang dan memihak pasukan Kediri"

   "Apa? Sungguh keparat"

   Raden Wijaya berseru marah.

   "Hamba bertiga tidak setuju dan menolak keinginannya itu. Akibatnya, kami dikeroyok dan terpaksa melarikan diri untuk memberi laporan"

   Ruden Wijaya termenung. Di dalam batinnya, dia tidak dapat terlalu menyalahkan Ardaraja. Bagaimanapun juga, yang memberontak adalah ayahnya sendiri. Ardaraja berdiri Diantara dua api. Diantara ayah kandung dan ayah mertua. Agaknya akhirnya dia memilih berpihak kepada ayahnya sendiri dan membawa pasukan itu untuk berpihak kepada Kerajaan Kediri.

   "Kumpulkan sisa pasukan dan hitung ada berapa banyaknya"

   Ketika pasukan dikumpulkan, ternyata hanya ada enam ratus orang lebih saja. Berat, pikir Raden Wijaya. Kalau Ardaraja memihak Kediri, maka kekuatan pasukannya terlalu lemah untuk dapat mengimbangi pihak musuh yang jauh lebih besar dan banyak. Juga hatinya kesal mendengar akan pengkhianatan Ardaraja. Pada saat itu dia mendengar berita yang amat mengejutkan lagi, yaitu bahwa Singosari telah diserang dan diduduki pasukan Kediri yang menyerbu dari selatan. Mendengar ini, Raden Wijaya lalu membawa pasukannya kembali ke Singosari, melakukan perjalanan secepatnya untuk menyelamatkan Singosari.

   Namun terlambat. Singosari telah diduduki musuh. Dengan semangat kepahlawanan yang berkobar, dengan nekat, Raden Wijaya memimpin para senopati dan sisa pasukannya untuk menyerbu ke dalam pura Singosari yang sudah diduduki tentara Kediri. Namun, pihak musuh terlalu banyak sehingga selalu usaha Raden Wijaya untuk merebut kembali Singosari itu gagal. Karena pasukannya hanya tinggal sedikit, maka dia hanya mampu mengadakan serangan serangan kecil di waktu malam, yang hanya merupakan gangguan kecil saja bagi pasukan Kediri yang sudah menguasai Singosari sepenuhnya. Dan setiap hari terjadilah hal hal mengerikan seperti lajim terjadi di waktu perang. Yang menang lalu mempergunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Perampokan, penyiksaan, perkosaan, penculikan dan pembunuhan terjadi setiap hari.

   Keluarga Sang Prabu Kertanagara mengalami kehancuran. Sang Prabu Kertanagara sendiri tewas dalam pertempuran. Banyak selirnya yang ikut pula berbela sungkawa dan berbela pati membunuh diri. Banyak pula yang ditawan oleh pasukan musuh yang menawan mereka dan membawa mereka ke Kediri. Diantara para tawanan ini termasuk pula Sang Puteri Gayatri atau Pusparasmi yang menjadi tawanan agung dan dibawa ke Kediri. Seperti kita ketahui, dua orang puteri istana itu, Puteri Tribuwana atau Puspawati dan adiknya, Puteri Gayatri atau Pusparasmi, lolos dari istana untuk melarikan diri ketika Singosari diserbu musuh. Akan tetapi mereka berdua berpisah di tengah jalan yang penuh sesak dengan para pengungsi yang melarikan diri. Puteri Gayatri bertemu dengan perajurit musuh, dikenal dan ditawan. Adapun Sang Puteri Tribuwana, hampir saja tertangkap oleh Yuyu Rumpung, seorang perajurit Kediri yang jahat. Untung ia bertemu dengan Nurseta yang berhasil menyelamatkannya dan puteri ini terus menyelinap dan bersembunyi Diantara para pengungsi.

   Raden Wijaya dan para pengikutnya yang setia, Diantaranya adalah para Senopati Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahesa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengan, Wirota Wirogati, Pamandana dan beberapa orang lagi, dengan gigih mengadakan serangan-serangan gerilya di waktu malam untuk mengacaukan pihak musuh yang sudah men duduki Singosari.

   Pada malam hari itu, Raden Wijaya dan para pengikutnya seperti biasa menyusup masuk ke dalam pura Singosari dan mengadakan kekacauan dan pembakaran di sanasini. Pihak musuh membunyikan tanda bahaya dan terjadilah pertempuran kecil-kecilan. Ketika Raden Wijaya sedang mengintai dari tempat gelap, di bawah sinar api kebakaran rumah yang dilakukan para pejuang ini, nampaklah olehnya sesosok bayangan orang melarikan diri menyusup nyusup antara rumah ke rumah yang sudah kosong ditinggalkan penghuninya yang lari mengungsi. Karena Raden Wijaya khawatir bahwa orang itu adalah perajurit musuh atau mata-mata yang akan membahayakan kelompoknya kalau sampai diketahui tempat persembunyian mereka, diapun melompat dengan gerakan tangkas, dan di lain saat dia sudah menangkap orang itu pada pundak dan lengannya.

   Akan tetapi, orang itu mengeluarkan jerit tertahan dan pundaknya lunak dan lembut. Seorang wanita. Dan ketika sinar api menjilat wajah mereka berdua, mereka saling pandang.

   "Diajeng Tribuwana........"

   "Kakangmas Wijaya......"

   Gadis bangsawan itu menangis di dada tunangannya.

   "Tenanglah, diajeng dan mari kita cepat keluar dari sini"

   Raden Wijaya lalu memberi isarat kepada para pengikutnya untuk lolos keluar dari Singosari sambil menggandeng tangan puteri itu. Baru setelah mereka berada jauh di tempat aman, keduanya bertangisan dan Tribuwana Dewi menceritakan betapa ia ketika melarikan diri terpisah dari adiknya, Puteri Gayatri dan ia terpaksa bersembunyi di rumah rakyat agar jangan sampai tertawan. Karena keadaan semakin mendesak dan rumah rumah rakyat setiap hari diserbu dan digeledah, akhirnya malam itu ia berusaha untuk menyelinap keluar dari pura Singosari dan kebetulan sekali bertemu dengah tunangannya. Ia mendengar dari rakyat yang masih setia kepadanya bahwa adiknya, Puteri Gayatri, telah tertawan musuh dan diboyong ke Kediri.

   Dalam serbuan serbuan yang dilakukan Oleh Raden Wijaya, jatuh pula korban-korban sehingga pasukannya makin lama menjadi semakin lemah dan kecil jumiahnya. Akhirnya, para senopati membujuk sang pangeran itu untuk mundur saja dan meninggalkan Singosari yang kini sudah dikuasai oleh pasukan Kediri.

   "Kalau paduka tidak cepat-cepat pergi mengungsi ke tempat yang aman, lambat laun tentu kita akan terkepung pasukan musuh dan hamba sekalian kiranya tidak akan dapat bertahan menghadapi musuh yang terlalu banyak dan tidak kuat melindungi paduka berdua"

   Kata Lembu Sora kepada Raden Wijaya. Para senopati memang menjadi lebih khawatir setelah Raden Wijaya menemukan Puteri tribuwana karena bagaimanapun juga, sang puteri itu lebih membutuhkan perlindungan yang ketat.

   "Akan tetapi, ke manakah aku harus pergi, kakang Lembu Sora? Di manakah ada tempat yang aman untukku yang kini menjadi pelarian?"

   Tanya Raden Wijaya.

   "Maaf, Raden. Agaknya paduka lupa bahwa paduka masih mempunyai seorang kerabat jauh yang dapat dipercaya dan juga bijaksana dan setia kepada Singosari, yaitu Kanjeng Paman Bupati di Sumenep, Madura"

   "Ah, Kanjeng Paman Arya Wiraraja? Engkau benar, kakang. Hanya beliau saja yang kiranya dapat kumintai perlindungan. Baik kita pergi ke sana"

   Raden Wijaya bersama para senopati setia yang menjadi pengikutnya, membawa sisa pasukan yang hanya tinggal beberapa ratus orang itu meninggalkan Singosari menuju ke utara. Mereka bermaksud untuk pergi ke Terung, untuk menemui Akuwu Agraja di Terung yang tentu akan suka membantu mereka dengan tenaga-tenaga muda yang menjadi pasukan.

   Rombongan ini melakukan perjalanan dengan hati-hati agar gerakan mereka tidak diketahui musuh, maka perjalanan banyak dilakukan pada malam hari, Akan tetapi ketika mereka tiba di dusun Rulawan, pada waktu fajar mereka diketahui oleh pasukan Kediri yang segera menyerang mereka. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah yang memaksa Raden Wijaya dan rombongannya untuk melarikan diri ke Kembangsari.

   Namun di tempat ini mereka juga disergap musuh. Jalan satu-satunya hanyalah menyeberang sungai yang pada saat itu airnya penuh mendekati banjir.

   Terjadilah penyeberangan yang dipaksakan dan dalam penyeberangan ini sisa pasukan Raden Wijaya benar-benar hancur. Banyak sekali Diantara mereka yang hanyut tenggelam, banyak pula yang tertawan musuh. Namun, Raden Wijaya, Puteri Tribuwana dan para pengikutnya, berjumlah hanya dua belas orang, berhasil menyeberang dan lolos dari pengejaran pasukan Kediri. Mereka terus melarikan diri ke dusun Kudadu dalam keadaan letih, lapar dan kehilangan semangat. Untung bahwa mereka telah berhasil terlepas dari jangkauan musuh, karena dalam keadaan seperti itu, kalau ada musub menyerbu, mereka sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk melakukan perlawanan.

   Dalam keadaan seperti itu, Raden Wijaya melihat kenyataan betapa setianya para senopati yang mengikutinya, hal yang membuatnya terharu sekali dan diam-diam dia mencatat jasa mereka, perasaan letih, lapar dan lesu itu segera terobati ketika penduduk dusun Kudadu menyambut pangeran mereka dengan ramah dan penuh kehormatan dan kasih sayang. Ketua dusun itu memimpin penduduknya untuk menanak nasi dan menyediakan lauk pauknya, menghidangkan makanan dan minuman seadanya kepada rombongan pelarian dari Singosan itu. Bahkan kepala dusun memesan kepada para penghuni dusun agar merahasiakan kedatangan Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana, menyembunyikan mereka agar jangan sampai terdengar musuh akan kehadiran mereka di usun itu. Kemudian, setelah melepas lelah di dusun itu, kepala dusun sendiri mengantar rombongan Raden Wijaya melanjutkan perjalanan, sampai ke Rembang, semua jasa dari penduduk Kudadu inipun dicatat oleh Raden Wijaya yang merasa berterima kasih sekali. Pangeran yang bijaksana ini tidak pernah melupakan jasa yang sekecil kecilnya dari mereka yang telah menolongnya ketika dia menderita kesengsaraan sebagai pelarian itu. Apa lagi sikap kepala dusun Kudadu amat menggugah rasa sukur dan terima kasihnya. Kelak, setelah Raden Wijaya menjadi raja, seluruh daerah Kudadu diberikan kepada kepala dusun dan dinyatakan sebagai daerah merdeka, bebas dari pembayaran pajak dan dapat diwariskan kepada anak keturunan selama-lamanya.

   Ketika terjadi pertempuran selama penyeberangan sungai, seorang diantara pengikut Raden Wijaya terluka cukup parah. Dia adalah Senopati Gajah Pagon yang terluka oleh senjata musuh di pahanya, Biarpun pahanya terluka parah dan jalannya terpincang-pincang, namun Gajah Pagon tidak mengeluh sedikitpun juga. Jalannya terpincang-pincang dan mukanya agak pucat. Ketika rombongan itu beristirahat karena selain Gajah Pagon merasa kakinya nyeri dan tubuhnya panas, juga sang puteri merasa lelah sekali, Raden Wijaya yang duduk dilingkari para senopati yang setia itu menyatakan perasaan khawatirnya.

   "Kita sedang pergi mengungsi ke Sumenep, Madura. Kita belum tabu bagaimana nami sikap Kanjeng Paman Bupati Wiraraja. Baik sekali kalah beliau menerima kedatanganku dengan senang hati. Kalau tidak? Tentu aku akan merasa malu sekali"

   "Raden, kiranya tidak ada alasan bagi beliau untuk menolak kedatangan paduka. Bukankah selama ini beliau seorang ponggawa yang amat setia dan bijaksana?''

   Demikian para senopati itu membesarkan hatinya dan perjalanan yang amat melelahkan itupun dilanjutkan. Para senopati bergiliran memikul tandu yang diduduki Puteri Tribuwana.

   Ketika mereka tiba di sebuah hutan, Tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon besar berlompatan sekitar duapuluh orang yang dipimpin oleh seorang kakek yang usianya sudah tujuhpuluh lima tahun, mukanya membiru, mulutnya meruncing seperti muka ikan. Inilah Adipati Bendowinangun, yaitu Adipati Satyanegara atau yang lebih terkenal dengan julukannya, Ki Cucut Kalasekti.

   TENTU saja rombongan Raden Wijaya yang sudah lelah itu terkejut melihat kakek yang memimpin duapuluh orang itu menghadang di depan mereka. Dari pakaian para perajurit itu saja mereka mengenal bahwa para penghadang itu adalah orang-orang Kediri.

   "Hahahaha, akhirnya dapat juga kukepung pelarian dari Singosari. Raden Wijaya, Sang Puteri Tribuwana dan para senopati yang sudah kelelahan. Kalian lebih baik menyerah agar dengan baik-baik kalian kugiring ke Kediri untuk kuhadapkan kepada Sribaginda"

   Kata Ki Cucut Kalasekti dengan lagaknya yang congkak.

   Raden Wijaya belum mengenal kakek itu. Dia tahu bahwa para senopatinya sedang lelah, maka kalau dapat dia hendak menghindarkan pertempuran. Sambil menggandeng tangan tunangannya, diapun melangkah maju dan dengan sikap tenang berwibawa, Raden Wijaya bertanya.

   "Siapakah kau, kakek tua? Kami idak pernah mengenal kau sebagai senopati Kediri, dan mengapa pula kau menghadang perjalanan kami?"

   "Hahaha, Sang Pangeran Raden Wijaya. Aku bukan sekedar seorang senopati, melainkan aku seorang adipati, yaitu Adipati Satyanegara dari Bendowinangun. Sebagai seorang ponggawa Kediri, tentu saja aku membantu Kediri dan aku ditugaskan untuk menangkap rombonganmu. Menyerahlah saja demi keselamatan kalian, dari pada kami harus mempergunakan kekerasan"

   Melihat sikap congkak ini, Medang Dangdi melangkah maju. Tentu saja senopati ini marah sekali mendengar bahwa yang berada di depannya adalah orang yang pernah hampir menghancurkan kehidupan isterinya, yaitu, Warsiyem. Ketika dia mengembara ke Singosari, datuk sesat itu telah menculik Warsiyem, memperkosanya dan bahkan menawannya ke dalam goa di tebing, tempat yang seperti neraka di mana Warsiyem merana sampai bertahun-tahun. Akhirnya, Warsiyem dapat bertemu dengan Nurseta, dapat bersama pemuda itu menyelamatkan diri keluar dari goa dan lolos dari cengkeraman manusia iblis Ki Cucut Kalasekti itu, dan bertemu lalu berkumpul kembali dengan dia.

   "Babo-babo, keparat laknat manusia iblis Cucut Kalasekti"

   Bentaknya marah, mukanya merah dan dia sudah menghunus kerisnya.

   "Bukalah mata dan telingamu baik-baik. Kami para senopati Singosari akan melindungi junjungan kami sampai titik darah terakhir. Kami pantang menyerah sebelum nyawa meninggalkan badan. Kebetulan sekali, saat ini aku berkesempatan untuk membalaskan sakit hati yang telah kau timpakan kepada ibunya Wulansari"

   Mendengar ini, Ki Cucut Kalasekti mengamati laki-laki yang gagah perkasa itu penuh perhatian. Terkejut juga dia mendengar disebutnya ibunya Wulansari. Akan tetapi, dia menutupi kekagetannya dengan tawanya yang congkak.

   "Ha-ha-ha, kiranya engkau ini yang bernama Medang Dangdi? Bagus, kalau begitu memang kalian sudah bosan hidup"

   Berkata demikian, kakek ini memberi isarat kepada para perajuritnya untuk mengepung dan menyerang. Dia melihat betapa semua senopati Singosari telah mengeluarkan senjata, maka dia maklum bahwa tidak mungkin mereka itu akan sudi menyerah.

   Terjadilah pertempuran mati-matian yang amat seru. Andaikata di situ tidak ada Ki Cucut Kalasekti, tentu para senopati Singosari akan sanggup menandingi pengeroyokan duapuluh orang perajurit Kediri itu, bahkan dengan mudah akan mengalahkan mereka. Akan tetapi di pihak Kediri terdapat kakek sakti Cucut Kalasekti. Dia mengamuk dengan ilmu-ilmunya yang dahsyat. Pukulan dengan Aji Gelap Sewu, juga Aji Segoro Umub terlalu kuat bagi para senopati itu sehingga mereka terdesak. hebat, dan beberapa orang senopati bahkan telah menderita luka-luka, biarpun mereka semua, termasuk Raden Wijaya, masih terus membela diri dan melindungi Sang Putri Tribuwana.

   Keadaan para senopati Singosari kini terdesak hebat dan agaknya tak lama kemudian mereka itu akan roboh satu demi satu. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali.

   "Ki Cucut Kalasekti, keparat jahanam yang selalu mengumbar nafsu kejahatan di mana-mana"

   Dan muncullah seorang kakek berusia hampir enampuluh tahun, berpakaian serba hitam dengan baju terbuka di bagian dada memperlihatkan dada yang berbulu, mukanya brewok, matanya lebar dan tajam mencorong. kurus akan tetapi tulang-tulangnya besar kokoh kuat, perutnya gendut. Dia adalah Ki Jembros seorang tokoh besar yang gagah perkasa, terkenal sebagai seorang gagah yang setia kepada Singosari walaupun dia tidak pernah menjadi senopati. Terkenal pula sebagai seorang penentang kejahatan.

   Di samping Ki Jembros nampak seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Nurseta. Seperti kita ketahui, Nurseta bersama ayah angkatnya, yaitu Ki Baka, ikut mengamuk mempertahankan Singosari ketika pasukan Kediri menyerbu. Namun, Ki Baka terluka parah oleh pukulan Ki Cucut Kalasekti sehingga Nurseta menyelamatkannya dan membawanya lari. Dalam pelarian ini, Nurseta, sempat menyelamatkan Sang puteri Tribuwana dari tangan Yuyu Rumpung. Dia kehilangan sang puteri yang telah melarikan diri menyusup diantara para pengungsi. Melihat keadaan ayah angkatnya yang payah, Nurseta lalu melarikan Ki Baka keluar dari pura, membawanya ke dalam hutan. Dengan segala daya upayanya, dicobanya untuk mengobati ayah angkatnya, namun sia-sia. Pukulan Ki Cucut Kalasekti itu terlalu hebat, mengandung hawa beracun dan akhirnya Ki Baka yang usianya sudah tujuhpuluh lima tahun itupun meninggal dunia dalam rangkulan Nurseta.

   Kematian Ki Baka diterima sewajarnya oleh Nurseta. Dia tidak mendendam kepada Ki Cucut Kalasekti, karena dia maklum bahwa Ki Baka tewas sebagai seorang pejuang, gugur sebagai kesuma bangsa seperti yang selal diharapkan oleh kakek yang gagah perkasa dan berjiwa pahlawan itu. Namun, kematian itu memperbesar semangatnya untuk membela Singosari yang sudah jatuh. Dia masih teringat akan pesan mendiang Panembahan Sidik Danasura bahwa kelak yang menjadi raja penerus di Nusantara adalah Raden Wijaya. Oleh karena itu, kini timbul semangatnya untuk mengabdikan diri atau membantu perjuangan Raden Wijaya. Dia mengubur jenazah ayah angkatnya, kemudian diapun melakukan penyelidikan di mana adanya Raden Wijaya yang hendak dibantunya itu. Ketika mendengar betapa pasukan Raden Wijaya dihancurkan musuh dan kini pangeran itu melarikan diri bersama pengikutnya, dia merasa prihatin sekali dan cepat-cepat dia melakukan pengejaran.

   Demikianlah maka pada saat rombongan Raden Wijaya terancam malapetaka ketika diserang oleh Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti bersama pasukannya, dia muncul dan segera membentak nyaring.

   "Ki Cucut Kalasekti, akulah lawanmu"

   Berkata demikian, Nurseta sudah menerjang kakek itu. Melihat munculnya Nurseta, Ki Jembros menjadi girang bukan main. Dia tentu saja mengenal Nurseta yang dia tahu telah digembleng oleh mendiang Panembahan Sidik Danasura, dan kalau tadi dia nekat membant Raden Wijaya menghadapi Ki Cucut Kalasekti, adalah terdorong oleh kesetiaannya. Dia maklum bahwa dia sama sekali tidak akan mampu menandingi kakek dari Blambangan yang amat sakti itu.

   "Bagus engkau datang, Nurseta"

   Seru Ki Jembros.

   "Hadapi cucut busuk itu, aku akan menghajar anak buahnya"

   Dan diapun membantu para senopati, mengamuk dengan hebat. Kakek brewokan ini memiliki aji kekebalan yang disebut Aji Trenggiling Wesi. Kalau tubuhnya sudah bergulungan ke arah musuh, biar dihujani senjata bagaimanapun juga, tidak ada bacokan yang mampu menembus kekebalannya. Kemudian, Aji Hastobairowo, yaitu pukulan kedua tangannya yang ampuh, selalu merobohkan setiap orang pengeroyok yang, terkena pukulan ampuh itu.

   Bangkitlah semangat para senopati melihat munculnya dua orang gagah perkasa ini dan merekapun menghajar anak buah Ki Cucut Kalasekti sehingga dalam waktu singkat saja, duapuluh orang anak buah Ki Cucut Kalasekti sudah roboh semua.

   Sementara itu, perkelahian antara Ki Cucut Kalasekti dan Nurseta berlangsung amat hebatnya. Nurseta yang maklum betapa saktinya kakek yang menjadi lawannya, tidak mau membuang banyak waktu dengan ilmu-ilmu yang lain. Dia segera mengerahkan aji pukulan Jagad Pralaya yang dipelajarinya dari mendiang Panembahan Sidik Danasura. Memang kakek sakti itu sudah memesan kepadanya agar dia tidak sembarangan mengeluarkan aji pukulan ampuh ini kalau tidak amat terpaksa. Namun Nurseta maklum bahwa menghadapi Ki Cucut Kalasekti, kiranya hanya aji kesaktian ini sajalah yang akan mampu menahannya.

   Kenyataannya memang demikian. Begitu menghadapi aji pukulan ini, Ki Cucut Kalasekti beberapa kali terdorong mundur sampai terhuyung. Tidak kuat dia menahan aji pukulan dahsyat yang mengandung hawa panas itu. Namun, dia memang amat pandai. Karena tidak; mungkin melawan aji pukulan pemuda itu dengan mengadu tenaga, diapun mempergunakan kelincahannya, selalu menghindarkan diri dari sambaran pukulan itu dan membalas dari samping atau dari belakang, mengandalkan kelincahan gerakannya. Maka, terpaksa Nurseta mengeluarkan Aji Brajadenta yang dipelajarinya dari mendiang Ki Baka, yang memiliki gerakan lebih cepat, namun aji pukulan ini, biarpun cukup hebat, tldaklah sedahsyat Jagad Pralaya (Dunia Kiamat).

   Melihat betapa duapuluh orang anak buahnya sudah roboh, hati Ki Cucut Kalasekti menjadi semakin gentar. Apa lagi kini Ki Jembros dan para senopati Singosari, yang rata-rata merupakan ksatria-ksatria yang gagah perkasa, sudah maju dan siap mengeroyoknya. Dia dapat celaka di tangan mereka, pikirnya, maka tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular dan dari mulutnya menyambar uap hitam. Semua senopati terkejut, tidak berani maju dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ki Cucut Kalasekti untuk meloncat jaurr dan melarikan diri.

   Ki Jembros dan Nurseta segera menghaturkan sembah kepada Raden Wijaya yang merasa girang sekali bahwa keselamatan dia serombongannya telah diselamatkan oleh dua orang gagah perkasa ini. Dari mereka dia memperoleh keterangan bahwa mereka itu muncul secara kebetulan saja.

   "Kakangmas, ki sanak inilah yang telah menyelamatkan saya dari cengkeraman penjahat yang hendak menangkap saya ketika lari mengungsi, seperti pernah saya ceritakan padamu"

   Kata Puteri Tribuwana.

   Raden Wijaya berseru girang.

   "Ah, kiranya kau pula yang telah menyelamatkan sang puteri, Nurseta. Akan tetapi, benarkah ketika itu engkau memanggul seorang kakek yang terluka?"

   "Benar sekali, Raden. Yang hamba panggul itu adalah mendiang Ki Baka, ayah angkat hamba yang terluka parah oleh pukulan Ki Cucut Kalasekti pula, yang kemudian menyebabkan kematiannya.

   "Jagad Dewa Bathara........"

   Tiba-tiba Ki Jembros berseru lantang.

   "Jadi Kakang Baka telah tewas........?"

   "Benar sekali, paman"

   Kata Nurseta.

   Raden Wijaya lalu mengajak semua pengikutnya untuk mencari tempat yang bersih dan sunyi untuk berunding, agar tidak sampai percakapan mereka terdengar oleh para anak buah Ki Cucut Kalasekti yang diantaranya ada yang belum tewas dan hanya terluka.

   Setelah memasuki sebuah hutan kecil, merekapun bercakap-cakap dengan leluasa. Tentu saja mereka membicarakan keadaan Singosari yang sudah terjatuh ke tangan orang-orang Kediri. Nurseta juga menceritakan keadaan Singosari seperti yang dilihatnya. Demikian pula Ki Jembros. Mendengar akan keadaan Singosari yang sudah sepenuhnya dikuasai musuh, Raden Wijaya merasa berduka sekali.

   "Sungguh tidak kusangka sama sekali bahwa Paman Prabu Jayakatwang dari Kediri sampai hati menyerbu Singosari, pada hal Kerajaan Singosari telah memperlakukannya dengan baik-baik. Juga amat mengherankan bagaimana dia sampai berhasil"

   Pangeran Wijaya termenung sedih.

   "Inilah akibat dari kelalaian yang telah dilakukan oleh Sang Prabu, Raden. Pasukan yang kuat dikirim ke Melayu, dan kekuatan pasukan anyak berkurang karena telah dipergunakan untuk menggempur Bali dan daerah lain. Dalam keadaan kosong dan kekuatan pasukan kecil, maka Raja Kediri lalu menyerbu dan pasukan mereka jauh lebih besar dan lebih kuat"

   Kata Lembu Sora dengan penuh penyesalan.

   Mendengar ayah mertuanya dipersalahkan, hati Raden Wijaya merasa tidak enak kepada tunangannya, yaitu Puteri Tribuwana, maka diapun cepat berkata.

   "Maksud dari Ramanda Prabu memang baik, meluaskan wilayah dan menjalin hubungan baik dengan negara lain di seberang, Akan tetapi sungguh mengherankan bagaimana Kediri dapat menghimpun kekuatan demikian cepatnya, dan kuat pula. Sekarang, yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita akan mampu menjatuhkan kekuatan Kediri yang telah menguasai Singosari"

   "Bagaimana mungkin hal itu dapat dilakukan tanpa memiliki pasukan yang kuat, Raden?"

   Kata Lembu Sora.

   "Nanti setelah paduka menapatkan tempat yang aman, yaitu di Madura, barulah perlahan-lahan paduka menghimpun pula kekuatan pasukan untuk menggempur dan melakukan pembalasan, merebut kembali Singosari dan menjatuhkan Kediri"

   Raden Wijaya menganggukangguk dan semua senopati menyetujui pendapat Lembu Sora itu. Melihat betapa Nurseta seolah-olah hendak bicara akan tetapi selalu ditahannya, Raden Wijaya lalu berkata.

   "Nurseta, walaupun kau bukan senopati Singosari, namun sudah berkali-kali kau membuat jasa besar. Dahulu membantu penumpasan Mahesa Rangkah yang memberontak, sekarang juga engkau telah menyelamatkan kami. Bagaimana menurut pendapa melihat keadaan sekarang ini?"

   Memang tadinya Nurseta hendak mengemukakan sesuatu akan tetapi ragu-ragu karena dia tidak berani lancang bicara. Dia bukan seorang ponggawa Singosari dan bukan bawahan Raden Wijaya. Kini, mendengar uluran tangan Raden Wijaya, dia menjadi berani dan menyembah.

   "Mohon maaf, Raden. Agaknya hamba dapat menduga apa yang menyebabkan Raja Kediri sampai berhasil menundukkan Singosari"

   Para senopati dan Raden Wijaya memandang dengan penuh perhatian.

   "Benarkah, Nurseta? Lalu apa yang menyebabkannya?"

   "Karena Kediri memiliki tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"

   Semua orang terkejut, dan Raden Wijaya berseru.

   "Tejanirmala? Kami sudah mendengar tentang pusaka itu? Apakah itu merupakan pusaka yang mengandung wahyu kerajaan?"

   "Mungkin saja, Raden. Pusaka itu peninggalan Sang Prabu Sanjaya di Kerajaan Mataram, lebih dari limaratus tahun yang lalu. Tadinya, pusaka Ki Ageng Tejanirmala menjadi milik mendiang Ki Baka, ayah angkat hamba"

   "Eh? Lalu bagaimana sampai dapat terjatuh ke tangan Raja Kediri?"

   Raden Wijaya bertanya dengan penuh perhatian karena hatinya merasa tertarik sekali.

   Nurseta melirik ke arah Ki Medang Dangdi, ayah Wulansari. Ki Medang Dangdi balas memandang. Senopati ini sejak tadi hanya mendengarkan saja, dan diam-diam dia amat kagum kepada pemuda yang pernah ditolaknya menjadi suami puterinya itu. Diapun merasa ikut berduka mendengar betapa Ki Baka, kakek perkasa yang baru saja bertamu di rumahnya, telah gugur dalam membela Singosari yang diserbu musuh.

   "Pusaka itu terampas oleh Wiku Bayunirada dari tangan ayah angkat hamba, kemudian diperebutkan oleh banyak orang. Akhirnya pusaka itu dapat terampas dari tangan Wiku Bayunirada dan terjatuh ke tangan...... diajeng Wulansari......"

   Kembali Nurseta melirik ke arah Ki Medang Dangdi karena merasa tidak enak harus menyebut nama gadis itu.

   Melihat sikap pemuda ini, Ki Medang' Dangdi menganggukangguk perlahan seolaholeh memberi isarat kepada Nurseta agar jangan ragu-ragu menceritakan tentang puterinya itu.

   "Wulansari? Siapakah ia?"

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya Raden Wijaya, makin tertarik.

   Melihat keraguan Nurseta, Ki Medang Dangdi lalu berkata.

   "Raden, Wulansari adalah anak perempuan hamba yang sejak kecil berpisah dari hamba dan kemudian menjadi murid Ki Cucut Kalasekti. Anakmas Nurseta, lanjutkanlah ceritamu dan jangan ragu-ragu"

   Raden Wijaya menjadi semakin tertarik.

   "Puterimu, Paman Medang Dangdi? Wah, sungguh menarik. Nurseta, lanjutkan ceritamu"

   "Pusaka Ki Ageng Tejanirmala itu terjatuh ke tangan diajeng Wulansari dan hamba melakukan pengejaran ke daerah Kediri. Ternyata. pusaka itu oleh diajeng Wulansari telah diserahkan kepada gurunya, yaitu Ki Cucut Kalasekti"

   "Hemm, sungguh aneh. Bagaimana puterimu? sampai dapat menjadi murid seorang sakti yang jahat seperti Ki Cucut Kalasekti itu, paman?"

   Kata Raden Wijaya kepada Ki Medang Dangdi. Senopati ini segera menyembah, hatinya terasa perih karena dia teringat akan semua peristiwa yang menimpa isterinya dan puterinya. Kinipun, dia teringat kepada isterinya berpisah pula darinya ketika terjadi penyerbuan pasukan Kediri di Singosari.

   Dia mengikuti Raden Wijaya dan entah bagaimana dengan isterinya yang ketika itu dia ditinggalkan di rumah.

   "Raden, anak perempuan hamba itu berpisah dari hamba sejak kecil dan kemudian ia diambil murid olah Ki Cucut Kalasekti"

   Hanya itulah yang dia katakan dan Raden Wijaya yang bijaksana itu dapat mengerti bahwa tentu ada suatu rahasia yang agaknya hendak disimpan oleh Ki Medang Dangdi, maka diapun tidak mendesak lebih jauh. Raden Wijaya adalah seorang yang bijaksana dan menghormati rahasia pribadi semua orang. Dia mengangguk, lalu bertanya kepada Nurseta.

   "Lalu bagaimana lanjutan ceritamu, Nurseta"

   "Pusaka Ki Tejanirmala yang terjatuh ke tangan Ki Cucut Kalasakti itu lalu diserahkan kepada Sang Prabu Jayakatwang dari Kediri dengan imbalan kedudukan adipati di Bendowinangun bagi Ki Cucut Kalasekti"

   "Ah, pantas saja dia kini membela Kediri"

   Kata Raden Wijaya.

   "Dan pantas saja keadaan Kediri demikian kuatnya. Ki Tejanirmala telah berada di sana"

   Ucapannya ini mengandung penyesalan besar sehingga Ki Medang Dangdi menundukkan mukanya, merasa terpukul karena bagaimanapun juga, puterinyalah yang menjadi gara-gara sehingga pusaka itu terjatuh ke tangan Raja Kediri.

   "Habis, bagaimana baiknya sekarang? Pusaka itu telah berada di Kediri, apakah tidak ada harapan lagi bagi kita untuk merebut kembali Singosari?"

   Pertanyaan ini diajukan kepada semua yang hadir. Para senopati juga terdiam, masih terkesan oleh cerita Nurseta tadi. Tak mereka sangka bahwa pusaka yang dikabarkan amat ampuh itu kini telah menjadi pusaka Kerajaan Kediri. Mungkin pusaka itulah yang membuat Kediri menjadi jaya.

   Melihat kekecewaan dan kedukaan membayang di wajah Raden Wijaya, Nurseta segera menyembah.

   "Raden, ketika ayah angkat hamba hendak meninggal dunia, beliau berpesan kepada hamba bahwa hamba harus mencari dan merampas kembali pusaka Ki Ageng Tejanirmala itu, kemudian kalau sudah hamba dapatkan, hamba harus menyerahkannya kepada paduka, Raden"

   Mendengar ini, teibelalak mata Raden Wijaya dan dia memandang kepada Nurseta dengan wajah berseri.

   "Jagad Dewa Bhathara............. Begitu mulia hati mendiang Paman Baka, demikian setia. Nurseta, sebelumnya kami mengucap banyak terima kasih atas kemurahan hati mendiang ayah angkatmu, dan terima kasih kepadamu yang hendak merampas kembali Ki Ageng Tejanirmala. Apakah yang kau perlukan untuk tugas itu? Apakah engkau membutuhkan teman? Boleh kaupilih diantara para senopatiku"

   Para senopati itu dengan penuh gairah siap untuk membantu. Akan tetapi Nurseta menggeleng kepala.

   "Raden, satu-satunya jalan untuk dapat merampas kembali pusaka itu hanyalah bahwa hamba harus menyusup ke dalam pura Kerajaan Kediri. Hal ini dapat hamba lakukan karena hamba tidak dikenal. Sebaliknya, tidak mungkin kalau seorang diantara senopati Singosari yang menyusup ke sana, tentu akan dikenal dan ditangkap. Biarlah hamba akan lakukan hal itu seorang diri saja, sebagai tugas yang diberikan oleh mendiang ayah angkat hamba, dan juga sebagai tugas dari paduka"

   "Baiklah, Nurseta. Mulai saat ini juga engkau kutugaskan untuk mencari dan merampas pusaka itu, dan kelak kalau berhasil, engkau boleh minta apa saja dariku Sebagai imbalan, tentu akan kupenuhi permintaanmu itu"

   Para senopati saling pandang dan mengerutkan alisnya. Janji yang diberikan Raden Wijaya itu terlalu muluk dan kalau orang yang menerima janji itu seorang yang rakus dan tamak, tentu akan dapat menimbulkan hal-hal yang menggegerkan kelak. Bayangkan saja, akan dipenuhi permintaan apa saja dari pangeran itu.

   Nurseta menyembah, lalu minta diri dan meninggalkan tempat itu untuk mulai melaksanakan tugasnya yang sulit dan berat. Namun, Nurseta akan melaksanakan tugas ini dengan sepenuh batinya. Bagi dia, bukan hanya mencari dan merampas kembali Ki Ageng Tejanirmala saja inti dari perjalanan dan tugasnya itu, melainkan juga berarti mencari dan berusaha menguasai kembali hati Wulansari.

   Rombongan Raden Wijaya juga melanjutkan perjalanan, diiringkan oleh para Senopatinya, sedangkan Ki Jembros sudah pula memisahkan diri karena ksatria ini tidak pernah mau terlibat langsung sebagai seorang ponggawa. Dia ingin bebas, walaupun dia selalu siap membela Raden Wijaya.

   Kepala dusun Pandakan bernama Ki Macan Kuping. Ketika rombongan Raden Wijaya tiba di Pandakan, mereka disambut dengan penuh keramahan dan kehormatan oleh Macan Kuping dan seluruh penduduk dusun Pandakan. Mereka dipersilakan duduk di ruangan rumah kepala dusun dan dijamu hidangan nasi putih dengan lauk pauknya, dan kelapa muda. Kembali Raden Wijaya merasa terharu dan berterima kasih atas sambutan yang amat baik dari penduduk dusun Pandakan ini.

   Ketika rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke Madura. Gajah Pagon terpaksa ditinggalkan di dusun Pandakan itu. Luka di kakinya terlalu parah dan dia perlu beristirahat dan berobat. Karena Ki Macan Kuping maklum bahwa kalau Gajah Pagon yang merupakan seorang senopati Singosari itu sampai kedapatan pasukan Kediri, tentu orang-orang di seluruh Pandakan akan celaka. Maka dia lalu menyembunyikan Gajah Pagon di tengah-tengah kebun yang penuh ilalang, dan diamdiam dia dirawat oleh penduduk Pandakan.

   Perjalanan Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana sungguh merupakan perjalanan yang amat sukar. Terutama sekali bagi sang putri, sungguh perjalanan itu amat sengsara dan melelahkan. Untung bagi mereka bahwa para pengikut Raden Wijaya adalah orang-orang gagah yang amat setia kepada junjungan mereka. Mereka semua berusaha sedapat mungkin untuk membuat perjalanan itu tidak terlalu melelahkan bagi sang puteri.

   Akhirnya, tibalah rombongan ini di daerah Sumenep setelah melakukan penyeberangan yang bukan tidak mengandung bahaya di tengah lautan atau selat yang lebar itu. Setelah tiba di daerah Sumenep, di pesisir mereka berhenti dan Raden Wijaya lalu mengutus Lembu Sora untuk melakukan penyelidikan ke Sumenep, melihat apakah Arya Wiraraja berada di kabupaten. Tentu saja Riden Wijaya dan para senopatinya sama sekali tidak pernah mimpi bahwa sesungguhnya penyerbuan pasukan dari Kediri yang menduduki Singosari itu adalah akibat dari bujukan Arya Wiraraja.

   Lembu Sora segera melakukan penyelidikan dan dia melihat bahwa Sang Bupati itu sedang dihadap para ponggawanya di pendapa kabupaten. Lembu Sora segera melaporkan hal ini kepada Raden

   (Lanjut ke Jilid 19)

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19

   Wijaya. Rombongan itu lalu cepat memasuki kota Sumenep dan menuju ke Kabupaten.

   Ketika itu, Arya Wiraraja, juga disebut Banyak Wide, Bupati Sumenep, Madura, sedang dihadap para ponggawa dan pembantunya. Mereka tentu saja membicarakan peristiwa yang menggegerkan Singosari, yaitu penyerbuan pasukan Kediri yang menduduki Singosari dan betapa Sang Prabu Kertanagara telah gugur. Di depan para ponggawanya yang sama sekali tidak tahu akan peranan yang dipegang bupati itu dalam peristiwa pengkhianatan Raja Kediri, Arya Wiraraja memperlihatkan sikap duka mendengar tewasnya Sang Prabu Kertanagara dan khawatir akan nasib keluarga raja itu. Akan tetapi, para ponggawanya juga tidak mengemukakan pendapat mereka, karena mereka tahu bahwa atasan mereka itu tidak ingin melibatkan diri dengan perang itu.

   Selagi mereka berbincang-bincang, tiba-tiba mereka melihat rombongan Raden Wijaya berjalan di alun-alun depan pendapa, menghampiri pendapa itu. Melihat ini, tentu saja mereka semua terkejut. Arya Wiraraja lalu membubarkan semua ponggawanya yang juga menjadi bingung melihat munculnya pangeran dari Singosari yang tidak mereka sangka-sangka itu, sedangkan Bupati Arya Wiraraja juga tergesa-gesa meninggalkan balairung, pulang ke dalam rumah gedungnya tanpa menemui atau menyambut kedatangan rombongan itu.

   Melihat ini, dan menemukan pendapa itu telah kosong, dan mendengar keterangan perajurit penjaga bahwa Sang Bupati telah pulang sedangkan para ponggawa juga pergi setelah persidangan Itu dibubarkan tiba-tiba, tentu saja hati Raden Wijaya merasa tidak enak sekali.

   "Nah, terjadilah seperti apa yang kukhawatirkan"

   Katanya menarik napas panjang.

   "Jagad Dewa Bathara........ betapa malunya hati ini menerima kenyataan yang amat pahit ini. Jauh lebih baik kalau kita tinggal di Singosari dan gugur sebagai kesuma bangsa dari pada menjadi pelarian yang terhina dinegeri orang ......."

   Para senopati juga merasa terpukul dan mereka merasa kasihan mendengar keluh kesah junjungan mereka.

   Selagi Raden Wijaya dan para pengikutnya kebingungan dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya, tiba-tiba saja mereka melihat Arya Wiraraja datang tergopoh-gopoh diiringkan seluruh keluarganya, dengan pakaian kebesaran dan membawa hidangan persembahan sirih dan juga kereta dan kuda, menyambut Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana. Arya Wiraraja memberi hormat, demikian pula keluarganya, dan mengadakan penyambutan yang amat ramah dan penuh hormat, seolah-olah Raden Wijaya masih seorang pangeran dan junjungan dari Singosari, bukan seorang pelarian yang kalah perang

   Tentu saja peristiwa ini melegakan hati Raden Wijaya. Kiranya tadi Arya Wiraraja membubarkan persidangan dan tergesa-gesa meninggalkan pendopo bukan untuk menghindarinya, melainkan untuk berkemas-kemas mengadakan penyambutan yang layak untuk menghormatinya.

   Memang demikianlah apa yang dialami kemudian. Keluarga bupati itu menyambut penuh kehormatan, mempersilakan Raden Wijaya menunggang kuda dan puteri Tribuwana menunggang kereta, dan keluarga itu sendiri berjalan kaki mengiringkan di belakang. Setibanya di dalam gedung tamu-tamu agung itu mendapat pesalin pakaian bersih, bermandikan air bunga, dan memperoleh kamar-kamar yang terbesar, dijamu makan minum yang mewah.

   Raden Wijaya bersukur bukan main. Setelah membicarakan peristiwa kejatuhan Singosari di tangan Raja Kediri, Bupati Wiraraja lalu berkata dengan sikap hormat.

   "Dengan hati yang penuh duka dan penyesalan, namun tidak berdaya, kami telah mendengar tentang peristiwa itu, Raden. Lalu, apakah rencana paduka selanjutnya?"

   "Kanjeng paman, kalau sekiranya kanjeng paman mengijinkan, untuk sementara ini saya ingin tinggal dulu di sini, menghimpun kekuatan untuk kelak melakukan pembalasan atas pengkhianatan Paman Jayakatwang"

   Jawab Raden Wijaya sambil mengepal tinju.

   Arya Wiraraja menarik napas panjang.

   "Memang cita-cita itu baik sekali, Sang Pangeran. Tentu saja paduka dapat tinggal di sini dan anggaplah ini sebagai rumah paduka sendiri. Akan tetapi tentang pembalasan itu, sebaiknya paduka berhati-hati dan tidak tergesa-gesa, semua harus diatur bagaimana baiknya karena pada waktu ini, kekuatan pasukan Daha amatlah besarnya"

   Demikianlah, Raden Wijaya dan para pengikutnya tinggal di Sumenep dengan aman walaupun hati mereka selalu ingin mencari kesempatan untuk membalas atas kekalahan Singosari yang amat menyakitkan hati itu.

   Wulansari menerima sebuah tugas baru, yaitu menemani dan menjaga keselamatan seorang tawanan, yaitu Sang Puteri Gayatri atau Pusparasmi, Puteri yang ditawan ini adalah adik dari Puteri Tribuwana, puteri dari mendiang Sang Prabu Kertanagara yang sudah ditunangkan dengan Raden Wijaya. Ada pun Sang Puteri Tribuwana yang tadinya berlari dari istana bersama Puteri Gayatri kemudian mereka terpisah, telah ditemukan oleh Raden Wijaya. Puteri Gayatri ditangkap, ditawan dibawa ke istana Daha atau Kediri. Biarpun ia seorang tawanan, namun ia diperlakukan dengan hormat karena ia adalah puteri Raja Singosari. Bahkan seorang diantara saudaranya, seorang puteri yang lahir dari selir, telah menjadi mantu Raja Jayakatwang dari Daha atau Kediri itu.

   Berbeda dengan Puteri Tribuwana yang berwatak halus dan Iembut, Puteri Gayatri atau juga disebut Pusparasmi ini, yang baru berusia tujuhbelas tahun, adalah seorang gadis remaja yang kenes, galak dan pemberani. Kecantikan dan daya tariknya juga berbeda dari kakaknya. Kalau Puteri Tribuwana seorang gadis yang berkulit kuning langsat, wajahnya cantik dan bulat seperti bulan purnama, wataknya halus lembut dan tenang, sebaliknya Puteri Gayatri ini berkulit hitam manis, wajahnya cantik manis dengan dagu meruncing. Wataknya agak keras, pemberani dan pandai bicara, manja, jenaka dan periang sehingga nampak kegenit-genitan. Namun, seperti juga para puteri istana lainnya, masih jelas nampak darah kebangsawanannya, nampak pada bulu mata yang lentik itu, sinar mata yang tajam, lekukan dagu dan bibir.

   Biarpun hatinya merasa amat berduka mendengar bahwa ayahnya telah tewas, keluarganya hancur berantakan, banyak diantara puteri yang tewas atau menjadi korban kebiadaban para perajurit Daha, dan ia sendiri kehilangan kakaknya tercinta, yaitu Puteri Tribuwana, namun Puteri Gayatri tidak mau menangis lagi setelah tiba di istana Daha la memperlihatkan sikap angkuh, bukan seperti seorang puteri tawanan dan ia bahkan tidak pernah mau menjawab kalau ditanya oleh Raja Daha dan keluarganya. Bahkan puteri Singosari yang menjadi mantu Sang Prabu Jayakatwang, yaitu kakaknya sendiri berlainan ibu, tidak mampu menundukkan hati Puteri Gayatri, yang juga menganggap kakaknya ini sebagai keluarga pengkhianat dan musuh besarnya.

   Keluarga Sang Prabu Jayakatwang kewalahan menghadapi sikap puteri yang galak ini, dan akhirnya Wulansari yang menerima tugas untuk menemaninya dan juga menjaga keselamatannya, bukan hanya dari ancaman luar, melainkan menjaga agar puteri yang berani itu tidak sampai nekat membunuh diri. Memang benar bahwa puteri itu tidak kelihatan berduka sehingga tidak ada alasan untuk dikhawatirkan membunuh diri, akan tetapi sejak ditawan, sudah dua hari lamanya setibanya di istana Daha, Puteri Gayatri tidak mau makan atau minum sehingga wajahnya mulai pucat. Dikhawatirkan kalau sang puteri akan berpuasa sampai mati.

   Ketika pertama kali Wulansari menerima tugas ini, di dalam hati ia merasa penasaran. Ia adalah seorang wanita digdaya, biasanya ia diserahi tugas menjadi pengawal pribadi Sang Prabu jayakatwang dengan kesaktiannya, ia menjamin keamanan dan keselamatan raja, ia selalu waspada dan ia merasa dirinya besar dan berkedudukan tinggi. Betapa tidak? Sang Prabu Jayakatwang, Raja Daha, telah begitu mempercayainya sehingga ia menjadi orang nomor dua di dalam istana. Tidak ada rahasia raja yang tidak diketahuinya, bahkan benda-benda pusaka dapat diambilnya setiap saat. Semua orang dalam istana segan dan takut kepadanya, apa lagi ketika mereka mengetahui bahwa pengawal pribadi ini bukan seperti wanita biasa. Tidak mau tunduk dan tidak suka menjadi selir Sang Prabu Jayakatwang. Hal ini saja membuat para selir dan puteri istana tunduk dan segan kepadanya.

   Kini, ia harus menjaga dan menemani seorang puteri tawanan, seorang gadis remaja yang kelihatannya manja. Ketika pertama kali ia memasuki kamar tawanan itu, sebuah kamar yang indah, membawa menampan (baki) terisi hidangan makanan dan minuman, ia melihat sang puteri sedang duduk bersila di atas pembaringan. Wajahnya penuh nestapa, akan tetapi begitu mendengar langkahnya, wajah itu menjadi keras kembali dan sepasang mata yang mencorong seperti mata kucing di dalam kegelapan malam, menatapnya. Mereka berdua saling pandang, dua pasang mata bertemu dan keduanya merasa tertarik dan kagum.

   Sepasang mata Wulansari yang tajam itu memandang dan mengamati penuh perhatian selagi ia melangkah masuk dengan baki penuh hidangan itu. Ia melihat seorang gadis remaja yang usianya kurang lebih tujuhbelas tahun, bertubuh langsing dengan pinggang kecil, tubuh yang lekuk-lengkungnya mulai menjadi, seperti setangkai bunga yang mulai mekar dari kuncupnya. Gadis remaja itu berkulit hitam manis, mulus tanpa cacat, wajahnya yang bulat telur itu manis sekali dan setiap anggauta badannya seolah-olah memiliki daya tarik yang luar biasa. Sepasang matanya itu. Sepasang bintang cemerlang, bening dan jeli, bentuknya indah meruncing ke tepi dan agak berjungkit sedikit. dengan sepasang alis yang kecil panjang menghias dahi yang landai dengan sinom (anak rambut) yang merumbai dari atas, bulu mata yang panjang melengkung sehingga bayangannya menimpa pipi, hidung kecil mancung dengan cuping tipis yang dapat bergerak kembang kempis, mulut yang amat manis setiap kali bergerak, dengan lesung pipit di kanan kiri. Seorang gadis hitam manis yang amat cantik jelita.

   Sebaliknya, Puteri Gayati juga memandang kagum. Ia seolah melihat seorang Srikandi di depannya. Wanita itu usianya tentu ada dua puluh lima tahun, seorang wanita yang sudah matang. Berkulit putih kuning, wajahnya manis namun membayangkan ketabahan dan keberanian yang menantang. Matanya seperti mata harimau mencorong dan hidup, bibirnya merah basah bukan oleh gincu, ada lesung pipit di pipi kiri dan tahi lalat di pipi kanan. Sepasang mata yang kadang-kadang menakutkan karena amat tajam itu dapat berubah menjadi redup. Tubuhnya penuh lekuk lengkung yang tentu akan menggairahkan setiap orang pria. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia bukan pelayan, bukan pula puteri, melainkan pakaian yang ringkas sederhana namun gagah, seperti pakaian seorang perajurit perwira. Diam-diam Puteri Gayatri merasa heran sekali dan karena ia yakin bahwa wanita ini bukan keluarga raja, maka iapun bsrtanya.

   "Siapakah kau?"

   Wulansari adalah seorang wanita yang keras hati dan ia tidak pernah mau merendahkan diri, apa lagi kalau merendahkan diri itu untuk menjilat atau bermuka-muka. Ia memang biasa bersikap sopan kepada siapa saja, akan tetapi tidak mau sembarangan merendahkan diri. Bagaimanapun juga, ia telah diberi tahu bahwa gadis tawanan ini adalah seorang puteri, puteri Singosari yang kabarnya sudah dihancurkan dan sudah terjatuh ke tangan pasukan Kediri. Diam-diam ia merasa kasihan kepada gadis ini, dan karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang istana Singosari, maka iapun bersikap sopan.

   "Saya bernama Wulansari dan ditugaskan oleh Sribaginda untuk menemani dan menjaga keselamatanmu"

   Berkata demikian, Wulansari menurunkan baki itu dan meletakkannya ke atas meja dekat pembaringan. Kekerasan masih belum meninggalkan hati Puteri Gayatri, maka sambil cemberut iapun membalikkan tubuhnya dan duduk membelakangi Wulansari.

   "Aku, Sang Dyah Gayatri dari Singosari bukan seorang yang sudi menerima kebaikan musuh Raja Daha telah berkhianat, dan sekarang hendak menjamu aku yang dijadikan tawanan? Lebih baik aku mati kelaparan"

   Wulansari mengamati puteri itu dari belakang. Ia tersenyum kagum. Puteri ini masih remaja, bahkan masih kekanak-kanakan, akan tetapi tubuhnya itu sudah mulai mekar menggairahkan, dan sikapnya memang anggun dan berwibawa, juga sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut pada wajahnya dan sikapnya, bahkan sebaliknya, sikapnya menantang dan tidak takut mati.

   Dengan hati-hati Wulansari lalu duduk di atas bangku setelah menarik bangku itu dekat pembaringan di mana sang puteri duduk membelakanginya.

   "Saya mendengar bahwa seorang puteri sejati berjiwa ksatria dan luhur budinya. Kau adalah seorang puteri raja, tentu memiliki pula jiwa ksatria dan budi luhur. Akan tetapi mengapa kau mudah sekali putus asa?"

   Mendengar teguran ini, Puteri Giyatri cepat membalik lagi dan kini kedua kakinya turun tergantung di tepi pembaringan, matanya mengamati wajah Wulansari dan sikapnya menantang.

   "Mulutmu lancang sekali. Siapa yang mudah putus asa? Aku tidak putus asa.

   "Aku bukan pengecut. Aku tidak putus asal Kau....... lancang mulut dan berani menghina aku?"

   "Kau tidak mau makan, lebih baik mati kelaparan dari pada makan, bukankah itu sama halnya dengan membunuh din? Dan orang yang membunuh diri berati seorang pengecut yang putus asa. Saya yakin kau bukan orang. seperti itu"

   Wulansari tersenyum girang. Pancingannya mengena dan ia tidak khawatir lagi gadis remaja ini akan bunuh diri.

   "Saya juga tidak percaya bahwa kau pengecut atau penakut. Akan tetapi, kalau sekarang saya beritahukan bahwa makanan dan minuman ini mengandung racun untuk membunuhmu, apakah kau berani memakan dan meminumnya?. Sama-sama kita lihat saja nanti"

   

Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini