Sejengkal Tanah Percik Darah 2
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Marilah, kaki, kita pergi dari sini"
Bisik kakek itu sambil menarik lengan Ki Baka, diajak pergi dari dalam sanggar pamujan yang telah menjadi gelanggang yuda itu. Biarpur kepalanya pening dan tubuhnya lelah, Ki Baka membuat gerakan menolak terhadap ajakan kakek yang tidak dikenalnya itu.
"Aku tidak takut mati"
Kakek itu tertawa tanpa membuka mulut. tertawa di dalam mulutnya dan matanya bersinar-sinar walaupun mukanya masih seperti mayat.
"Tidak takut mati bukan berarti bunuh diri, karena bunuh diri berarti takut hidup? Kalau tidak takut mati kenapa takut hidup?"
Biarpun pening, Ki Baka tercengang mendengar ucapan itu. Dia mencoba untuk membelalakkan mata memandang kakek itu, akan tetapi pandang matanya kabur dan dia menurut saja ketika kakek itu menarik lengannya dan diajak pergi dari situ dengan langkah satu-satu, sama sekali tidak tergesa-gesa. Bahkan terdengar pula dia rengeng-rengeng (bersenandung) dengan tembangnya, menuntun Ki Baka pada lengannya seperti orang menuntun seekor domba.
Ki Sardulo, Gagak Wulung, Ni Dedeh Sawitri dan tiga orang ketua Clurit Lemah Abang
yang tadinya mengatur pernapasan, tiba-tiba sadar ketika melihat Ki Baka digandeng pergi seorang kakek tua renta bermuka mayat yang tadi muncul setelah menembang. Tentu saja mereka terkejut sekali .
"He! Berhenti!"
Bentak Ki Sardulo.
"Siapa andika? Mau kaubawa ke mana Baka?"
Gagak Wulung juga membentak meloncat mengejar.
"Ki Baka itu harus diserahkan kepadaku"
Ni Dedeh Sawitri juga berseru. Tiga orang Madura, ketua Clurit Lemah Abang juga ikut melakukan pengejaran.
Kakek itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya melindungi Ki Baka dan menghadapi enam orang itu.
"Kalian ini bocah-bocah tak tahu diri! Hayo pergi semua dan jangan ganggu aku"
Akan tetapi enam orang jagoan itu tidak mengenal kakek ini, maka mereka memandang rendah. Mereka harus membunuh kakek ini, baru menangkap Ki Baka dan memaksanya menyerahkan tombak pusaka.
Seperti dikomando saja, enam orang itu lalu menerjang kakek itu. Tiga batang clurit menyambar, sebatang suling hitam meluncur, kuku berbisa Ni Dedeh Sawitri juga mencakar dan pukulan beracun Hasta Jingga dari tangan Gagak Wulung menghantam pula. Kakek itu kembali tertawa tanpa menggerakkan mulutnya dan kedua tangannya mendorong ke depan seperti hendak menolak semua serangan yang ditujukan kepadanya itu.
Enam orang itu tiba-tiba merasa seolah-olah ada angin badai menyambut mereka. Mereka mengerahkan tenaga untuk melawan. Namun semua tenaga mereka itu membalik dan merekapun seperti daun-daun jati yang kering dan patah dari tangkainya, melayang-layang dan terhuyung-huyung ke belakang. kemudian roboh karena merasa kaki mereka seperti kehilangan tenaga sama sekali. Dapat dibayangkan betapa kagetnya enam orang sakti itu dan mereka hanya dapat memandang kakek yang masih terus melangkah satu-satu sambil menggandeng lengan Ki Baka, meninggalkan mereka yang kini tidak lagi berani bergerak, dan juga belum mampu bergerak mengejar.
Baru setelah lama kakek dan Ki Baka itu lenyap ditelan kegelapan malam menjelang fajar, mereka bangkit dan menyumpah-nyumpah. kemudian mereka berenam, ditambah dengan anak buah mereka yang jumlahnya semua tak kurang dari tigapuluh orang, mulai mencari di rumah Ki Baka. Mereka merobohkan rumah itu, mengobrak-abrik segala yang ada, bahkan ada yang mencangkuli tanah disekitar tempat di mana rumah itu tadi berdiri. Usaha mereka dilanjutkan sampai matahari naik tinggi. Tempat itu porak poranda, rumah itu sudah roboh dan hancur, dan tampaknya menjadi seperti tegalan yang baru saja dicangkul dan diluku untuk segera ditanam.
Akhirnya, setelah gagal menemukan benda yang mereka cari, yaitu tombak pusaka Tejanirmala, merekapun pergi berpencaran meninggalkan ujung dusun yang sunyi itu. Biarpun dia berada dalam keadaan setengah sadar, namun Ki Baka masih dapat melihat betapa kakek yang menolongnya itu sekali dorong saja dapat membuat enam orang tokoh sesat itu mundur terhuyung dan tidak berani mengejar mereka ketika kakek itu menggandeng dan menariknya pergi meninggalkan para datuk golongan hitam itu.
Dalam keadaan setengah pingsan karena luka-luka yang dideritanya, kini terasa semakin nyeri, bahkan menyesakkan dada, Ki Baka merasakan bahwa dia diajak memasuki sebuah hutan tak jauh dari pondoknya, kemudian kakek tua renta yang mukanya seperti mayat itu berhenti.
"E-ladalah Aku sudah pikun, hal yang teramat penting kulupakan, kaki, mereka itu orang-orang yang nekat dan takkan berhenti mencari sebelum menemukan Tejanirmala. Sungguh berbahaya kalau meninggalkan mereka itu di sana, sebaiknya kalau kau bawa serta"
Ketika berhenti, Ki Baka sudah duduk sersila kembali dan mengatur pernapasan untuk melawan rasa nyeri yang menghentak-hentak dalam tubuhnya.
"Sudah kusimpan baik-bak"
Berkata Ki Baka.
"Ah, andika tidak mengenal betul siapakah mereka. Di manapun kau sembunyikan, tentu akan dapat mereka temukan, kecuali kalau kau bawa serta. Katakan di mana letak pusaka itu, aku akan mengambilnya agar pusaka itu berada terus tanganmu"
Ki Baka masih pening, namun dia dapat menangkap kebenaran ucapan itu, maka tanpa sadar bahwa dia melanggar keputusan hatinya sendiri untuk tidak membuka rahasia penyimpanan pusaka itu kepada siapapun juga selain pada Nurseta, kini dia berkata lirih.
"Di puncak pohon aren kembar di kebun belakang pondok......"
"Tunggu, akan keselamatkan pusaka itu dan aku serahkan kepadamu!"
Sekali berkelebat kakek itupun lenyap dari depan Ki Baka yang agak merasa heran menyaksikan kesaktian penolongnya itu. Dia melanjutkan usahanya mengumpulkan hawa murni untuk melawan rasa nyeri akibat luka-lukanya yang beracun.
Tombak itu disimpan oleh Ki Baka diantara tangkai daun aren, setelah dia lepaskan gagangnya terlebih dahulu, tidak akan ada yang menyangkanya bahwa pusaka itu disimpan disana, hanya kepada Nurseta saja, rahasia itu dia berikan.
Dengan kesaktiannya yang tinggi, kakek renta itu dapat menemukan tombak pusaka Ageng Tejanirmala, terselip di puncak diantara dua batang pohon aren, biarpun jauh dari situ dia melihat kawanan gerombolan liar itu masih sibuk mencari-cari, mencangkuli kebun bahkan merobohkan pondok tempat tinggal Ki Baka. Di dalam hatinya, kakek itu mentertawakan mereka dan bagaikan setan saja dia sudah berkelebat lenyap dan kembali ke dalam hutan di mana dia meninggalkan Ki Baka.
Ki Baka membuka matanya ketika dia mendengar suara kakek itu tertawa kecil. Dibukanya matanya dan diangkatnya kepalanya memandang.
Seorang kakek yang wajahnya sangat mengerikan, pucat seperti mayat kering keriput, dan biarpun ada suara ketawa kecil keluar dari mulutnya, namun mulut itu sendi tak bergerak sama sekali.
Dia mengingat-ingat namun tidak pernah dia melihat atau mendengar akan tokoh sakti seperti kakek ini.
"Heh-heh, sudah kudapatkan, Apakah ini pusakanya?"
Berkata kakek sambil mencabut keluar sebuah tombak yang warnanya putih seperti perak dan menyerahkannya kepada Ki Baya.
Ki Baka menerimanya. Sekali pandang saja ia mengenal pusaka itu dan diapun mengangguk, lalu meletakkan pusaka tanpa gagang itu ke atas batu di sebelahnya.
"Berat sekali, kanjeng paman. Paduka telah menyelamatkan nyawa saya, bahkan sudah menyelamatkan pula Ki Tejanirmala. Saya hanya dapat menghaturkan terima kasih dengan sembah dan semoga Hyang Maha Agung saja yang akan membalas budi paduka itu dengan berkah yang berlimpahan. Selain itu, saya mohon bertanya, Siapakah gerangan paduka vang sakti mandraguna ini?"
Kembali muka mayat itu tertawa tanpa mengbuka mulut.
"Heh-heh-heh, tentang namaku, mudah Ki Baka, akan tetapi yang lebih penting sekarang adalah memeriksa luka lukamu dan mengobatinya. Biarkan aku memeriksa tubuhmu, kaki"
Kakek itu memeriksa dan memang Ki Baka menderita luka-luka yang cukup parah dan berbahaya. Selain tubuhnya memar-memar, juga luka-luka yang mengeluarkan darah. Namun, kulit daging itu tidaklah sehebat dua luka yang deritanya sebagai akibat pukulan bekas tangan Hasta Jingga dari Gagak Wulung dan goresan kuku Sarpakenaka dari Ni Dedeh Sawitri, luka inilah yang dapat mencabut nyawa Ki Baka kalau tidak cepat diobatinya.
"Hong Wilaheng........! Pukulan tangan merah dan kuku ular ini berbahaya sekali, kaki harus dilenyapkan hawanya yang beracun dalam tubuhmu sekarang juga, kalau terlambat sehari saja, nyawamu tidak akan tertolong lagi, kaki"
Mendengar ini, Ki Baka bersikap tenang saja. Dia seorang laki-Jaki sejati, seorang jantan yang tidak gentar mendengar ancaman kematian sebagai akibat dari perjuangan menentang gerombolan jahat. Akan tetapi diapun maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek sakti yang agaknya akan mampu mengobatinya, maka diapun memberi hormat dengan sembah.
"Tiada lain saya hanya menyerahkan kepada paduka, kanjeng paman, kalau paduka berkenan mengobati dan menyembuhkan saya tentu usaha saya tidak akan berhenti sampai di sini saja"
"Heh-heh-heh, engkau seorang satrya yang berhati baja, kaki Baka. Baiklah, aku akan mencoba untuk mengusir hawa beracun dari tubuhmu, akan tetapi untuk itu aku harus menyerangmu dan hawa seranganku itu akan mengusir hawa beracun kedua pukulan jahat itu"
'Silakan, paman,"
Kata Ki Baka dengan tabah.
Kakek itu kini menyilangkan kedua lengannya, dengan tangan terbuka, kedua lengan itu bergetar dan perlahan-lahan dia berjalan mengitari Ki Baka, berhenti di belakang pendekar itu. Kemudian dia memukulkan kedua telapak tangannya ke arah punggung Ki Baka sambil mengeluarkan suara melengking.
"Huuuuhhh........!"
Kedua tangan kakek itu menghantam punggung dan Ki Baka seketika merasa seolah-olah tubuhnya disambar petir, dimasuki hawa panas yang membuatnya hampir tidak tahan lagi. Pandangan matanya berkunang dan biarpun ia sudah memejamkan kedua mata, namun tetap saja bumi seakan berputaran, Dia hanya mendengar suara kekeh kakek itu dan perlahan-lahan, hawa panas yang menyusup ke dalam tubuhnya itu makin berkurang dan akhirnya lenyap.
"Heh-heh-heh, bekas pukulan Hasta Jingga dan kuku Sarpakenaka itu telah lenyap, kaki, nyawamu telah diselamatkan"
Ki Baka melihat ke arah bekas pukulan dua orang lawan tangguh tadi dan hatinya girang karena memang benar bahwa bekas tangan merah itu sudah lenyap dan ketika meraba ke arah bekas goresan kuku Sarpakenaka, bekasnya juga telah lenyap dan gatal-gatal dan nyeri dari kedua pukulan racun itupun tak terasa lagi. Dengan girang diapun menyembah ke arah kakek itu.
"Kembali paduka telah menolong saya, kanjeng paman. Sungguh besar budi yang paduka limpahkan kepada saya"
"Heh-heh, tidak ada budi dan dendam di dunia ini, kulup, budi dan dendam hanya permainan perasaan orang-orang tolol...."
Ki Baka kagum dan tentu saja dia mengerti dan mengangguk-angguk.
"........ yang ada hanyalah jual-beli, untung rugi....... heh-heh-heh!"
Ki Baka terkejut bukan main, terbelalak memandang kepada kakek itu.
"Apa....... apa maksud kanjeng paman?"
Kakek itu mengambil tombak pusaka Ageng Tejanirmala dari atas batu, mengamatinya dan menciumnya penuh kagum, lalu menyelipkan tombak itu diikat pinggang dibalik jubahnya.
"Maksudku? Sudah jelas. Tombak pusaka ini untuk aku, heh-heh!"
Kakek itu lalu membalikkan tubuhnva hendak pergi.
"Hei...... nanti dulu......!"
Ki Baka membentak diapun meloncat untuk mengejar, akan tetapi dia mengeluh dan terguling roboh ke atas tanah, karena begitu dia mengerahkan tenaga dan meloncat. Perutnya seperti dicengkeram dari sebelah dalam, membuat napasnya sesak dan perutnya nyeri bukan main. Kakek itu berhenti melangkah, berbalik dan mentertawakan Ki Baka. Lalu bicara tanpa menggerakkan bibirnya.
"Ha-ha-heh-heh-heh, Ki Baka. Racun pukulan Hasta Jingga dan kuku Sarpakenaka memang telah lenyap, digantikan oleh hawa racun pukulanku. Engkau tidak akan mati oleh itu, asal saja engkau tidak mengerahkan tenaga dalammu. Jadilah orang biasa saja, berhenti dan jangan lagi memikirkan Tejanirmala yang sudah berada di tanganku, heh-heh!"
Bukan main kagetnya hati Ki Baka mendengar ini. Wajahnya pucat sekali. Dia telah tertipu. Kakek yang memang telah menyelamatkannya, ternyata adalah seorang yang ingin merampas tombak pusaka dengan cara yang licik..
"Siapakah engkau sebenarnya......?"
Tanyanya, sepasang matanya mencoba untuk memandang penuh selidik, seolah hendak mengungkap rahasia di balik wajahnya yang seperti mayat.
"Aku.......? Heh-heh, aku adalah Sang Wiku Bayunirada"
Setelah berkata demikian, kemudian dia membalikkan tubuh hendak pergi.
Ki Baka sekali lagi mengerahkan tenaga untuk mengejar dan merampas kembali pusaka itu, akan tetapi makin keras dia mengerahkan tenaga, semakin keras pula dia terbanting dan menjadi setengah pingsan. Lapat-lapat dia mendengar suara ketawa kakek itu.
"Heh-heh, pukulanku itu kunamakan Mirga-parastra, kalau tadi kukerahkan semua ajiku, tentu engkau sudah mampus. Akan tetapi, aku membatasi tenagaku dan hanya membuat engkau menjadi seorang tapadaksa. Ha ha ha, engkau akan hidup sampai hari tua, asal saja kau tidak mengerahkan tenaga saktimu. Engkau sekarang menjadi orang biasa, tidak usah lagi mencari aku untuk merampas kembali Ageng Tejanirmala yang sudah berada di tanganku......"
Suara itu makin sayup dan akhirnya menghilang bersama orangnya.
Ki Baka duduk bersila, termenung. Dia memang hidup, akan tetapi berada di bawah tekanan Aji Marga-parastra (Jalan Maut) sehingga dia tak berdaya, menjadi manusia lemah, dan tombak pusaka itu tetap berada tangan seorang yang amat sakti. Kalau saja kakek itu seorang baik-baik, hatinya tidak akan sekhawatir ini. Akan tetapi kakek yang mengaku bernama Wiku Bayunirada itu, dia menyangsikan kebaikannya, penuh rahasia dan caranya mendapatkan tombak pusaka itupun bukan suatu cara yang jantan. Lemaslah Ki Baka dan diapun terkulai pingsan.
"Hayo, mengaku saja, dimana bocah keparat itu! Atau engkau juga ingin mampus seperti yang lain?"
Bentak Gagak Wulung, disusul dengan sabetan ranting kayu yang sudah berlumuran darah itu ke punggung kakek dusun.
"Tar-tar-tarrr.....!"
Kakek dusun itu menggeliat dan mengaduh, punggungnya yang telanjang dan kurus seperti tulang yang terbungkus kulit itu berdarah.
"Ampun, gusti....... hamba.....tidak tahu........!"
Keluhnya.
Mendengar keluhan ini, Gagak Wulung menjadi semakin marah. sekali dia mencambuk, dengan pengerahan tenaga, sehingga membuat kakek itu terkulai lemas dan tak dapat bergerak lagi, tewas karena tulang punggungnya retak-retak. Sekali tendang, mayat kakek itu terlempar ke tumpukan mayat-mayat yang jumlahnya sudah belasan orang, mayat para penduduk dusun Kelinting.
Kalau para datuk sesat yang lain sudah meninggalkan dusun itu ketika gagal menemukan tombak pusaka, ada dua orang diantara mereka yang belum pergi. Mereka adalah Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri. Kedua orang ini memang saling tertarik satu sama lain.
Setelah semua teman-temannya pergi, mereka berdiri saling pandang. Gagak Wulung yang mata keranjang itu tentu saja sejak tadi sudah terpikat, sebaliknya Ni Dedeh Sawitri juga memandang pria itu dengan sinar mata tertarik, karena selain gagah dan tampan, juga datuk dari Kediri itu memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga sempat mendebarkan jantungnya dan membangkitkan gairahnya.
"Hei, Gagak Wulung, kenapa engkau tidak pergi pula, minggat dari sini dan menggigit telunjukmu karena kegagalan ini?"
Ni Dedeh Sawitri tersenyum mengejek.
"Aih, Ni Dedeh Sawitri, engkau tentu mengenal aku. Selagi ada mata yang begini indah mengerling tajam, mulut yang begitu indah tersenyum manis, bagaimana aku mampu bergerak pergi? Engkau telah mempesona hatiki, Ni Dedeh. bagaimana kalau kita menjadi sahabat dan saling menyenangkan?"
"Ih, urusan gagal engkau hanya ingin bersenang diri saja"
Ni Dedeh berkata sambil mencibirkan bibirnya yang merah basah, yang membuat Gagak Wulung Menjadi gemas. Kalau tidak ingat bahwa Ni Dedeh Sawitri amat berbahaya, tentu telah disergapnya tubuh itu dan digigitnya bibirnya yang mencibir itu.
"Lalu, apakah kita harus murung terus menerus? Kakek keparat itu saktinya bukan main, dan pula, apa gunanya Ki Baka tanpa tombak pusakanya? Biarlah dia bersama kekek iblis itu mampus dimakan setan"
Gagak Wulung menyumpah "Akan tetapi, Ni Dedeh. Jangan mengira bahwa Gagak Wulung orang bodoh. Masih banyak jalan bagiku untuk mendapatkan tombak pusaka itu"
"Wah, benarkah? Bagaimana caranya?"
Ni Dedeh Sawitri tertarik sekali dan otomatis kakinya melangkah mendekat.
Gagak Wulung menggerakkan kedua tangannya bertolak pinggang, dengan sikap kemenangan dan jual mahal.
"Wah enaknya!, Engkau yang enak dan senang kalau kuberitahu, dan aku hanya menjadikan kau menjadi seorang saingan yang sangat berat "
"Ah, jangan begitu, Gagak Wulung. Bukankah kau tadi mengatakan bahwa kita dapat menjadi sahabat? Beritahulah sayang yang tampan, yang ganteng....."
Gagak Wulung tertawa. Dia seorang perayu wanita dan kini ada wanita mencoba merayunya "Aku tidak butuh rayuan, melainkan membutuhkan bukti jika engkau memang benar ingin bersahabat denganku"
Sepasang alis yang indah bentuknya berkerut.
"Bukti yang bagaimana?"
"Mulutmu itu! Bibirmu yang manis, biarkan aku mencium bibirmu sebagai tanda persahabatan"
Ni Dedeh Sawitri tersenyum, jantungnya berdebar. Baru kali ini dijumpai seorang pria yang selain berkepandaian tinggi, tampan juga ahli merayu dan jantan. Sengaja ia tersenyum agak lebar memperlihatkan deretan gigi dan ujung lidah menjilat bibirnya yang atas.
"Boleh, akupun ingin merasakan bagaimana ciuman seorang yang terkenal sebagai seorang penakluk wanita datuk dari Daha ini!"
Gagak Wulung girang bukan main, lalu melangkah maju menghampiri. Dia seorang datuk sesat, seorang jagoan yang tinggi ilmunya, maka tentu saja dia bukanlah orang yang sembrono.
Ketika dia merangkul dan mendekap, dia sudah melindungi dirinya dan siap turun tangan kalau wanita cantik namun berbahaya itu mempunyai niat buruk terhadap dirinya. Akan tetapi tidak, Ni Dedeh Sawitri mengalihkan mukanya yang cantik, membuka sedikit mulutnya, bibirnya siap dan matanya dipejamkan. Gagak Wulung agak gemetar, lalu menunduk dan mencium mulut itu dengan bibirnya. mengecupnya dengan sepenuh perasaannya, dengan mesra sedangkan kedua tangannya merangkul, telapak tangannya di punggung dan pundak wanita itu.
Ni Dedeh Sawitri menerimanya dengan mulut panas dan membalas ciuman itu tidak kalah hangat dan mesranya, tangannya juga meiangkul pinggang pria itu.
Pada saat kedua mulut saling mengecup, Ni Dedeh Sawitri menggerakkan kukunya pada pinggang. Gagak Wulung merasakan ini dan otomatis telapak tangannya menekan pundak wanita itu. Sebagai seorang berilmu tinggi, Ni Dedehpun merasakan hal ini dan keduanya lalu melangkah mundur sambil saling pandang Muka mereka merah, oleh gairah api nafsu yang timbul dari ciuman itu, sebagian pula ole kecurigaan akan apa yang masing-masing rasakan tadi.
Ni Dedeh Sawitri menyentuh pundaknya yang ditekan, dan Gagak Wulung meraba pinggangnya yang tadi seperti digurat.
Ni Dedeh Sawitri tersenyum.
"Hebat! Ciumanmu memang ciuman maut dan hatiku sudah berkobar oleh ciumanmu. Akan tetapi nyawamu terancam maut, Gagak Wulung.
"Sekarang buka rahasiamu itu, katakan cara bagaimana untuk mendapatkan tombak pusaka itu atau akan kubiarkan kau mampus!"
Ancaman wanita cantik ini disambut senyum mengejek oleh Gagak Wulung.
"Kalau begitu, biarlah kita sama-sama mati, Ni Dedeh Sawitri. Dan percayalah, mati bersama denganmu sungguh nikmat, sampai matipun kita akan bergandeng tangan dan sama-sama memasuki neraka kalau perlu. Kaukira aku tidak tahu bahwa Sarpakenaka beracun itu tadi telah menggores pinggangku? Dan tengoklah pundakmu, buka baju itu dan kau akan lihat"
Ni Dedeh Sawitri cepat menyingkap baju yang menutupi pundak dan iapun melihat tanda tapak di situ.
"Hasta Jingga""
Serunya ngeri dan marah.
"Tentu saja! Engkau terluka Hasta Jingga yang beracun, dan akupun terluka Sarpakenaka
beracun. Keduanya sama mematikan"
"Ah, engkau memang cerdik, Gagak Wulung. Kita sama-sama cerdik, dan agaknya memang kita sudah saling berjodoh. Nah, marilah, kau obati lukaku dulu"
"Hmm, dan lukaku?''
"Akan kuobati pula"
"Tidak perlu susah-susah, Ni Dedeh Sawitri. Jika kau mau menerima cintaku, kalau kau mau melayaniku dan menyerahkan diri kepadaku, dengan sendirinya bekas pukulan itu akan lenyap. Hebat ilmuku, ya"
Mendengar ini, Ni Dedeh terbelalak lalu tertawa, rongga mulutnya yang kemerahan itu tampak menggairahkan bagi Gagak Wulung. Hi-hi-hi-hi, Gagak Wulung. Sungguh aneh, sungguh banyak persamaan diantara kita, racun di tubuhmu karena Sarpakenaka itupun akan lenyap kalau engkau sudah sebadan denganku! Ha, tentu engkau mempergunakan Hasta Jingga itu untuk melukai wanita yang mau melayanimu dan karena pengobatannya hanya melalui hubungan badan, terpaksa ia akan melayanimu dengan sukarela!"
"Dan demikian pula dengan engkau, kau sudah menjatuhkan pilihan kepada seorang pria. Hanya heranku, pria mana di dunia ini ya tidak mau dengan suka rela menggaulimu tanpa kaupergunakan Sarpakenaka?"
Keduanya tertawa dan Gagak Wulung menjelaskan rencananya.
"Engkau tahu, Ni Dedeh Sawitri, bahwa Ki Baka mempunyai seorang putera"
"Ah, aku tidak pernah mendengar akan hal itu!"
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, aku yakin bahwa tombak pusaka tentulah diberikan kepada puteranya. Kini tinggal mencari puteranya itu untuk dapat menemukan dan merampas tombak pusaka Tejanirmala"
Wajah yang cantik itu berseri.
"Siapa nama puteranya dan di mana dia?"
"Inilah yang aku tidak tahu. Aku tidak tahu siapa namanya, dan tidak tahu pula dimana kini dia berada"
Wanita itu cemberut.
"Hemm, jangan main gila kau, Gagak Wulung. Kalau tidak tau apa artinya semua rencanamu itu?"
"Nah, di sini tandanya engkau belum mengenal benar siapa kekasih barumu ini! memang aku tidak tahu siapa namanya dan tetapi disini ada penduduk dusun yang tentu tahu, diamana dia berada. Marilah kita tanyai mereka!"
Gagak Wulung bangkit dan menyambar tangan Ni Dedeh Sawitri, diajaknya memasuki dusun itu. Ni Dedeh Sawitri sudah tersenyum kembali dan diam-diam ia merasa semakin suka kepada pria ini. Seiain dapat menjadi seorang kekasih yang amat menyenangkan karena kepandaian bermain cinta, juga pria ini memiliki kedigdayaan dan amat cerdik pula, dapat menjadi sekutu yang amat menguntungkan.
Dan hasil dari rencana kedua orang ini merupakan malapetaka bagi penghuni dusun Klinting. Sudah belasan orang menjadi mayat yang bertumpuk dan berserakan ketika dipaksa mengaku.
Mereka mengumpulkan seluruh penduduk dengan kekerasan, tua muda, laki-laki, perempuan, dari bayi sampai kakek nenek jompo, semua disuruh keluar rumah dan dikumpulkan di lapangan terbuka itu.
Tadinya tentu saja ada beberapa orang laki-laki yang tidak mau mentaati perintah itu. Sekali menggerakkan tangan, sepasang manusia iblis itu membunuh dua orang laki-laki muda yang tidak taat itu dan semua penduduk dusun itu menjadi ketakutan dan tidak ada lagi yang berani membantah.
Seorang demi seorang ditanyai dan karena mereka tidak mengaku, mereka disiksa dan dibunuh. Kakek yang terakhir dibunuh oleh Gagak Wulung itu membuat semua orang semakin ketakutan. Namun, mereka adalah orang-orang dusun yang baik. Mereka maklum bahwa dua orang ini jahat dan mereka mencari Raden Nurseta tentu mempunyai niat buruk oleh karena itu ketika mereka ditanyai tentang putera Ki Baka, mereka tidak mau memberi tahu.
Ni Dedeh Sawitri mengerutkan alisnya, dengan jengkel dan ia menahan tangan Gagak Wulung yang hendak menyeret laki-laki berikutnya untuk ditanyai dan disiksa atau dibunuh kalau perlu. Dia memandang temannya dan Ni Dedeh Sawitri tersenyum, menunju ke arah seorang gdis cilik yang berjongkok dengan tubuh gemetar di sudut, diantara ayah dan ibunya yang juga sama takutnya.
"Kau coba perawan itu dengan cara lain"
Bisik Ni Dedeh Sawitri.
Gagak Wulung yang cerdik segera mengerti akan maksud kawannya. Dia tersenyum dan melangkah maju dan sekali sambar, dia sudah menjambak rambut gadis cilik itu. Gadis itu menjerit, gelungnya terlepas dan bagaikan seekor kelinci yang digantung pada telinganya siap untuk disembelih, ia diangkat oleh Gagak Wulung.
Seorang gadis cilik yang usianya baru duabelas tahun.
"Siapa bapak dan ibunya? Maju ke sini"
Bertanya Ni Dedeh Sawitri.
Ayah dan ibu anak itu dengan tubuh gemetar dan muka pucat, merangkak maju dan mata ibu itu terbelalak kearah puterinya yang masih tergantung pada rambutnya yang dipegang Gagak Wulung.
"Nah, sekarang kalian katakan, siapa nama anak Ki Baka itu dan di mana dia berada. Jika kalian tidak mau mengaku, perawan kecil ini akan diperkosa di depan kalian! sampai mampus!"
"Ohhh....... tidak.......!"
Pria yang menjadi ayah anak itu memekik dengan muka pucat.
"Jangan........ oh, jangan........"
Teriak ibunya dan menjerit sambil menangis lalu bergulingan di tanah untuk meraih anaknya, akan tetapi sebuah tendangan dari Ni Dedeh Sawitri membuatnya terjungkal.
"Kalau kalian tidak ingin anak kalian diperkosa sampai mati, katakan, siapa nama putera Ki Baka dan di mana dia bersembunyi!"
Bentak wanita kejam itu.
"Aku ....... kami......... tidak tahu......."
Ayah dan ibu gadis itu menggeleng kepalanya keras-k eras.
"Hemm, Gagak Wulung, hayo, tunggu apa lagi? Perkosa anak itu agar mereka melihatnya!"
"Brett brett-brettt!"
Beberapa kali tangan kiri Gagak Wulung merenggut dan mencabik-cabik, pakaian yang tadinya menutupi tubuh anak perempuan itupun robek-robek dan tanggal semua dari tubuhnya. la kini telanjang bulat metonta-ronta, masih tergantung pada rambutnya. Melihat tubuh gadis yang belum mekar benar itu, Gagak Wulung tersenyum senyum dan tangan kirinya kini meraba-raba secara kurang ajar sekali.
"Jangan........! Ah, nama putera Ki Baka adalah Raden Nurseta.........'"tiba-tiba ibu anak itu menjerit.
Gagak Wulung tersenyum, jari-jari tangannya mencubit payudara anak itu yang mulai membukit.
"Aih, seperti buah mangga ya ranum!"
Ni Dedeh Sawitri membentak Iagi, dimana dia sekarang? Di mana adanya Nurseta itu sekarang?"
"Itu........ saya........ saya tidak tahu ......."
Ibu anak menangis menggugu "Ah, ampunkan kaml, ampunkan anak saya..."
Mendengar itu, Gagak Wulung lalu berlutut dan merebahkan anak perempuan itu atas tanah terJentang dan dia membuat gerakan seolah-olah hendak melepaskan pakaianya sendiri. Melihat ini, tiba tiba ayah anak itu berteriak.
"Jangan-.....! Raden Nurseta sebulan yang lalu pergi ke Goa Kantong Bolong di pantai Segara Kidul"
Mendengar ini, Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri saling pandang dan tersenyum. Gagak Wulung tersenyum bangga lalu melepaskan gadis cilik itu bangkit berdiri setelah mengelus perut gadis itu, mengebutkan bajunya dan berkata.
"Hemm, sayang....... ia mulus dan ranum....... !"
"Huh......."
Ni Dedeh Sawitri mendengus, tangan kirinya bergerak ke arah tubuh telanjang yang masih terlentang itu.
"Crattt......!"
Tidak nampak gerakan tangannya saking cepatnya, akan tetapi tahu-tahu perut gadis itu tergurat kuku, robek panjang dan ia berkelojotan sebentar, lalu tewas dengan tubuh membiru.
"Ha-ha-ha, engkau cemburu ya..........?"
Gagak Wulung tertawa.
"Siapa cemburu!"
Bentak Ni Dedeh Sawitri.
Ayah dan ibu anak itupun menjerit, menubruk mayat puteri mereka.
Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri tidak perduli, mereka bergandengan tangan dan Gagak Wulung berkata "Mari kita saling mengobati, baru pergi mencari Nurseta"
Ditariknya tangan wanita itu memasuki sebuah rumah yang dianggap paling besar di dusun itu. Mereka menemukan kamar tidur dan segera mereka masuk ke dalamnya, melempar diri ke atas pembaringan dan dua orang hamba nafsu ini tenggelam dalam buaian api nafsu yang membara.
Tak seorangpun diantara penghuni dusun berani mendekati rumah itu, mereka sibuk mengurus mayat-mayat yang berserakan, membawanya ke tanah kuburan untuk menguburkannya secara baik-baik. Bahkan setelah selesai penguburan mayat-mayat itu, sampai hari menjadi malam, mereka masih berkumpul di tempat kuburan, tidak ada yang berani memasuki dusun mereka.
Dua orang hamba nafsu itu puas sekali. Belum pernah selama hidup mereka menemukan seorang kekasih yang dapat mendatangkan kenikmatan dan kepuasan seperti pada hari itu. Tentu saja mereka menjadi saling melekat dan saling membutuhkan, bukan hanya sebagal kekasih yang dapat memuaskan, namuri juga sebagai rekan, sebagai sekutu yang menguntungkan. Setelah bermain puas menyalurkan nafsunya, keduanya merasa lelah sekali, akan tetapi juga ternyata bahwa tanda keracunan benar telah lenyap dari tubuh mereka. Hal ini membuat mereka semakin akrab dan saling percaya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah meninggalkan dusun Kelinting tanpa ada seorangpun penghuni dusun yang mengetahuinya.
Bunyi menggelegar berkali-kali mengguncangkan dinding terjal bukit karang di tepi laut selatan, setiap kali ombak yang semakin besar menuju pantai tertahan oleh dinding karang itu. Air laut pecah berhamburan, bagian terkecil menjadi uap membubung ke ata membasahi daun-daun dan semak-semak yan masih sempat tumbuh di dinding itu. Jauh dibawah sana, nampak air laut berbuiir mengeluarkan suara mendesis-desis, kemerasak seperti air mendidih, buih-buih putih diayun ombak dan bermain-main dengan gembiranya sampai alun yang kuat mendorongnya dan menghancurkannya ke tepi dinding karang. Buih itu hancur berantakan, namun selalu berkumpul kembali di atas permukaan air yan tenang sejenak sehabis gempuran dahsyat pada batu karang. Mereka menanti datangnya ombak yang bergulung datang dari tengah, semakin ke tepi semakin meninggi, untuk kemudian dengan kekuatan terkumpul dahsyat menghantam batu karang yang menjadi dinding terjal bukit karang itu.
Betapa besar, dahsyat, dan kuasanya alam! betapa indahnya, betapa perkasanya. Pemuda yang duduk bersila di mulut Goa itu, di tengah dinding terjal bukit karang, aman dari jangkauan ombak karena terlampau tinggi bagi ombak untuk mencapai Goa
Pemuda itu sejak matahari teibit, duduk bersila di Goa Kantong Bolong itu. Seperti pesona dia memandangi matahari terbit, samudera membiru, lalu permainan alun dan ombak. Penuh kagum dia memandangnya dan tiada bosannya dia mengamati semua itu semenjak dia bertapa di situ sebulan lebih yang lalu. Pemuda itu adalah Nurseta, putera Ki Baka yang kini berusia enambelas tahun.
Nurseta memiliki tubuh yang sedang saja, namun tegap dan kekar karena sejak kecil dia bekerja berat di sawah dan di samping itu, sejak kecil dia digembleng oleh Ki Baka, melatih diri dengan olah raga, pencak silat, melakukan tapa brata, samadhi dan memperkuat tenaga luar dan dalam dari tubuhnya. Wajahnya, halus tampan, namun pakaiannya sederhana sekali. Pagi hari itu, dia hanya mengenakan celana hitam sampai di bawah lutut dan berselimut sarung kasar sederhana.
Dipandang sepintas, dia mirip seorang pemuda tani biasa. Namun, kalau orang memperhatikan sinar matanya yang kadang-kadang mencorong, senyumnya dan bayangan pada wajahnya yang ramah dan penuh kehalusan, gerak geriknya, maka akan terdapat kesan bahwa pemuda ini bukanlah pemuda biasa, melainkan seorang yang "berisi".
Namun, pada saat seperti itu, seperti pada pagi-pagi yang lalu, Nurseta mengalami hal baru, bukan ulangan dan pada saat itu dia merasa benar bahwa dirinya itu bukan apa-apa, hanya menjadi bagian kecil dan tidak ada artinya bagi alam maya pada ini. Tiada bedanya antara dirinya dengan air yang pecah berhamburan itu atau dengan segumpal awan yang melayang-layang di angkasa itu atau bahkan dengan seekor diantara burung-burung camar yang terbang di atas permukaan air laut itu. Dia bukan apa-apa, sebagian kecil saja dari hasil karya cipta yang Maha Agung ini. Kalau pada saat itu dia terjun ke bawah, lenyap ditelan air bergelombang, hal ini tidak akan mengubah segalanya. Segalanya masih akan berlangsung seperti apa adanya dan diapun akan hilang begitu saja. Bukankah semua manusia itu akhirnya juga akan lenyap direnggut maut? Tidak perduli apakah dia itu laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, raja atau jembel, berpendidikan atau tidak.
Seperti tokoh-tokoh wayang itu. Baik raksasanya yang jahat maupun rajanya yang berkuasa, pada akhirnya akan mengalami hal yang sama, yaitu masuk kotak yang ditutup oleh Ki Dalang dan habislah.
Alam sungguh indah dan agung, kalau dipandang oleh mereka yang mampu membuka mampu membuka dengan waspada, tanpa prasangka, tanpa pendapat, tanpa penilaian, tanpa pamrih.
Nurseta terseret kembali oleh pikirannya. Ia terkenang masa kecilnya. Dia tidak ingat lagi bagaimana wajah ibunya, namun dia masih ingat betapa dia ditimang-timang, dikeloni, masih terasa olehnya akan kasih sayang itu. Bukan diingat melainkan terasa batinnya menjadi hangat. Diapun teringat akan ayahnya, Ki Baka yang ditinggalnya sebulan yang lalu.
"Kulup, angger Nurseta"
Demikian kata ayahnya pada suatu pagi, sebulan yang lalu.
"Ketahuilah bahwa sempurnanya ilmu melalui pelaksanaan. Tanpa pelaksanaan, segala ilmu yang dipelajari takkan ada manfaatnya dari untuk memperdalam ilmu, haruslah disertai latihan dan tapa brata merupakan latihan terbaik. Tapa brata memperkuat batin dan membangkitkan tenaga dalam di tubuhmu. Oleh karena itu, kulup. Hari ini juga, pergilah engkau ke Goa Kantong Bolong di tepi Segara Kidul dan bertapalah di sana sampai aku datang menyusulmu"
Teringat akan ayahnya akan muncul, perasaa rindu di hati pemuda itu. Ayahnya seorang yang amat menyayangnya. Terkenang dia akan sikap ayahnya apabila dia bertanya tentang ibunya "la sudah tiada, angger dan tidak ada gunanya membicarakan mendiang ibumu, yang hanya akan mendatangkan kedukaan dan kehilangan belaka"
Demikian ayahnya selalu mengelak.
Ayahnya memiliki ilmu kepandaian yang tingai dan biarpun dia telah digembleng sejak kecil, namun baru separuh saja ilmu-ilmu ayahnya dapat dikuasainya. Terutama sekali dalam penggunaan ilmu mengerahkan tenaga dalam seperti Aji Sari Patala, dia masih jauh, belum sekuat ayahnya sehingga kalau dia memainkan silat Aji Bajradenta. Biarpun gerakannya lebih lincah dan cepat dibandingkan ayahnya, namun dia kalah tenaga. Inilah agaknya yang mendorong ayahnya untuk mendesak agar dia bertapa di dalam Goa itu.
Selama satu bulan menyepi di tempat itu. Ia selalu bersamadhi, menghimpun tenaga murni dan berlatih pernapasan, hanya tidur atau mata sudah tidak kuat bertahan, hanya makan atau minum kalau perut sudah menuntut. Minum air sumber di atas bukit, makan sayur dan buah atau ketela, bukan makan mencari kelezatan, melainkan makan atau minum sebagai pemenuhan tuntutan perut belaka.
Jalan naik atau turun antara puncak bukit yang menjadi tepi tebing curam ke Goa Kantong Bolong, merupakan jalan yang amat sukar. Bukan jalan manusia karena dia harus bergantungan pada akar-akar dan batu-batu.
Sangat berbahaya bagi manusia biasa karena sekali injakan kaki atau pegangan tangan terlepas, tubuh akan terjatuh meluncur ke bawah setinggi seratus tombak lebih dan akan hancur lumat diterima batu-batu karang yang runcing dan tajam di bawah sana, atau diterima ombak besar dan badan akan dihempaskan ke dinding karang sampai remuk.
Karena sukarnya jalan yang ditempuh untuk mencapai Goa itu, maka hampir tidak pernah ada orang yang berani mencari Goa itu, karena di situpun tidak ada sesuatu yang menguntungkan mereka.
Akan tetapi, pada pagi hari itu, tanpa sepengetahuan Nurseta yang sedang duduk bersila menikmati keindah dan keagungan alam yang terbentang luas di depannya, nampak dua orang menuruni tebi curam itu dengan cekatan, bagaikan dua ekor kera saja. Hal ini menunjukkan bahwa kedua orang itu sudah pasti bukan orang sembarangan, melainkan orang-orang yang telah memilki ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatnya.
Maka, dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Nurseta ketika tiba-tiba saja ada seorang laki laki dan seorang wanita meloncat dari atas dan berdiri di depannya.
Diapun cepat bangkit berdiri dan memandang pada mereka penuh perhatian. Biarpun masih muda dan kurang pengalaman, namun Nurseta memiiiki kecerdikan dan diapun dapat menduga bahwa dua orang ini tentu orang-orang sakti, makanya mereka dapat datang ke Goa itu, juga pandang mata mereka mengeluarkan sinar yang keras dan tajam.
Yang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih, tampan pesolek, dan seorang wanita yang usianya tigapuluhan tahun, namun memiliki kecantikanan luar biasa, juga pakaian dan dandanannya pesolek dan rapi. Keduanya tersenyum memandangnya, seperti orang yang girang menemukan orang yang mereka cari. Nurseta tidak menyukai sinar mata mereka yang mengandung kekerasan.
"Maaf"
Kata Nurseta yang sejak. kecil sudah diajar kesopanan oleh Ki Baka.
"Siapakah paman dan bibi, dari mana dan ada keperluan apa berkunjung di Goa yang sunyi ini?.
Sepasang mata wanita itu memandang penuh kagum. Bukan main pemuda remaja ini, pikirnya dan gairahnya telah membuat sepasang pipinya berubah merah dan air liurnya membasahi rongga mulut seperti seorang hamil muda melihat mangga yang ranum. Akan tetapi pada saat itu ia masih teringat akan kebutuhannya, maka ia lalu bertanya dengan suara halus dan nadanya manis memikat.
"Apakah namamu Nurseta?"
Nurseta mengangguk membenarkan, tanpa menjawab karena pandang mata wanita itu, dengan senyumnya yang manis, membuatnya terpesona seolah-olah dia tidak sedang berhadapan dengan manusia biasa, melainkan dengan seorang dewi. Inikah Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul seperti yang pernah didengarnya dalam dongeng? Akan tetapi pakaiannya tidak seperti pakaian ratu, walaupun kecantikannya memang luar biasa.
"Dan engkau putera Ki Baka?"
Tiba-tiba terdengar suara laki-laki itu bertanya dengan suara membentak seperti orang marah. Memang, di dalam suara Gagak Wulung itu tersembunyi kemarahan karena dia cemburu oleh lihat sikap Ni Dedeh Sawitri yang jelas nampak kagum dan tertarik kepada pemuda remaja ini.
Nurseta kini memandang Kepada penanya itu. Seorang laki laki yang tampan dan gagah seperti juga wanita itu, pesolek dan elok, namun ada sesuatu pada pandang matanya yang membuat dia waspada dan berhati-hati. Ada kekerasan tersembunyi di balik ketampanan itu. Dan diapun merasa heran bagaimana dua orang ini dapat menduga siapa dia dan putera siapa. Nursetapun mengangguk.
"Benar, aku bernama Nurseta, putera Baka di dusun Kelinting"
Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri saling pandang. Diam-diam mereka agak gentar juga mengingat bahwa pemuda ini, biarpun masih remaja, adalah putera Ki Baka yang sakti mandraguna. Mereka tidak meragukan bahwa tentu pemuda yang sedang bertapa dalam Goa seperti ini telah menerima gemblengan ayahnya dan memiliki aji kesaktian yang tak boleh dipandang ringan. Maka, melalui pandang mata, mereka tahu bahwa mereka harus menjalankan siasat pertama seperti yang telah mereka rencanakan sebelum mendaki tebing tadi, yakni hendak membujuk remaja itu secara halus.
"Kaki Bagus Nurseta"
Kata wanita itu dengan suara halus penuh daya pikat.
"Aku ada adalah Ni Dedeh Sawitri, seorang sababat baik dari Ki Baka, dan dia ini adalah Gagak Wulung juga sahabat baik ayahmu. Kami berdua datang ke sini karena diutus oleh ayahmu"
Sambil berbicara, wanita ini telah mengerahkan ilmunya, yaitu Asmoro Limut yang dapat membuat hati orang tiba-tiba merasa suka dan tunduk bepadanya, suka memenuhi semua permintaannya. Daya yang kuat itu memancar melalui sinar matanya, juga melalui senyumnya yang manis.
Nurseta merasakan pengaruh ini dan dia melihat betapa wanita ini sungguh ramah dan baik hati sekali di samping kecantikannya yang luar biasa, dan seketika diapun menaruh kepercayaan kepada wanita ini.
"Tidak mungkin seorang wanita secantik itu, seramah dan sehalus itu mempunyai niat buruk"
Pikirnya.
"Untuk urusan apakah ayahku mengutus paman dan bibi datang ke sini?"
Tanyanya.
"Kami diutus oleh ayahmu untuk minta agar engkau menyerahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada kami karena pusaka itu amat diperlukan ayahmu sekarang ini"
Kata Ni Dedeh Sawitri sambil mengerahkan aji kesaktiannya memperkuat daya penakluk melalui Aji Asmoro Limut.
Nurseta memandang heran dan terbelalak. Seketika pengaruh itu lenyap dan dia menyadari bahwa kedua orang ini telah membohonginya. Tidak mungkin ayahnya mengutus mereka untuk meminta tombak pusaka itu, karena tombak itu berada pada ayahnya.
"Akan tetapi....... aku tidak membawa tombak pusaka itu. Tombak itu tidak pernah terpisah dari ayahku!"
Katanya dengan terus terang karena dia memang merasa heran sekali.
"Ah, mana mungkin? Ayahmu sendiri yang mengutus kami, harap engkau tidak berbohong orang muda!"
Kata Ni Dedeh Sawitri penasaran.
Nurseta mengerutkan alisnva.
"Aku tidak mengatakan kalian berbohong. Tetapi kalau andika berdua tidak percaya, silakan menggeledah Goa yang tidak berapa besar ini"
Dan dua orang itu lalu mencari-cari seluruh sudut dalam Goa, dan memang mereka tidak menemukan apa-apa kecuali beberap potong pakaian pemuda itu, batu-batu yang disusun untuk membakar ubi dan selebihnya tidak ada apa-apa didalam Goa itu.
"Ah, apakah Ki Baka telah menjadi linglung karena luka-lukanya yang parah itu"
Berkata Gagak Wulung dengan sengaja, karena dia sudah putus asa melihat tempat tinggal pemuda itu, dan dia tidak dapat menemukan tombak pusaka yang diperebutkan itu.
Nurseta terkejut bukan main, sambil memandang wajah Gagak Wulung. Ia berkata "Paman, apakah ayahku sedang terluka parah? Apa yang terjadi atasnya?"
Kembali Gagak Wulung saling pandang dengan Ni Dedeh Sawitri dan mereka melanjutkan siasat yang sudah mereka rencanakan.
"Kaki Nurseta, ayahmu memang terluka parah. Segerombolan orang jahat datang hendak merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan ayahmu dikeroyok sampai terluka parah. Untung ayahmu tidak tewas karena kebetulan kami yang menjadi sahabat-sahabatnya datang berkunjung dan kami berhasil mengusir mereka. Karena ayahmu mengkhawatirkan tombak pusaka itu, maka dia minta agar kami suka berkunjung ke sini dan meminta tombak itu dan mengantarkan kepada ayahmu"
Tentu saja Nurseta terkejut bukan main mendengar bahwa ayahnya terluka parah.
"Tombak pusaka itu tidak pernah diberikan kepadaku, Kalau sampai ayah berkata demikian, tentu karena dia terluka parah sehingga ayah lupa. Tetapi dimanakah ayahku sekarang?"
"Dia berada di atas tebing ini, kami yang mengawalnya dan karena luka-lukanya, dia tidak dapat turun ke tebing ini"
"Kalau begitu, aku harus melihat ayah"
Nurseta tidak memperdulikan kedua orang tamunya dan dengan cekatan, seperti seekor monyet saja, dia meloncat dan merayap naik keatas Goa, terus memanjat melalui tebing terjal, dengan berpegang pada akar-akar atau celah-celah batu karang.
Melihat pemuda itu benar-benar tidak membawa tombak pusaka, kedua orang itupun cepat menyusulnya dan karena mereka berduapun memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak sukar nagi mereka untuk memanjat naik. Hanya beberapa detik saja selisihnya ketika kedua orang itu telah meloncat ke tepi tebing. Mereka melihat Nurseta mencari-cari ayahnya dengan pandang matanya.
"Di mana ayahku?"
Tanya Nurseta kepada kedua orang itu.
Kedua iblis itu tertawa, mereka tidak lagi mempergunakan siasat berbohong seperti tadi. Gagak Wulung sudah bersiap mempergunakan kekerasan untuk menangkap pemuda remaja itu dan menyiksanya agar suka menunjukkan di mana ayahnya menyimpan tombak pusaka Tejanirmala. Akan tetapi, Ni Dedeh Sawitri memberi isyarat dengan matanya kepada kawannya itu, lalu ia mendekati Nurseta.
"Bocah bagus, ketahuilah bahwa ayahmu telah kami tawan. Nyawanya berada di tangan Kami dan kami akan menukar nyawa ayahmu itu dengan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Nah, karena kau seorang putra yang berbakti, tentu kau mau menukar keselamatan ayahmu dengan tombak pusaka itu. Sekarang berikan tombak pusaka itu kepada kami dan kami akan membebaskan ayahmu"
"Tombak itu ada pada ayah, bukan padaku!"
Nurseta berkata, gelisah membayangkan bahwa ayahnya berada dalam cengkeraman kedua iblis ini.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan tetapi kau pasti tahu di mana disimpannya tombak itu oleh ayahmu. Nah. tunjukkan kepada kami tempat penyimpanannya untuk ditukarkan dengan nyawa ayahmu"
Nurseta bukan seorang pemuda yang bodoh, tadi, di dalam Goa, dua orang ini mengatakan bahwa mereka utusan ayahnya yang katanya berada di atas tebing, akan tetapi ternyata ucapan mereka itu hanyalah bohong belaka. Siapa dapat menjamin bahwa perkataan mereka yang telah menawan ayahnya ini bukan merupakan suatu kebohongan yang lain lagi? Lagi pula, dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang yang gagah perkasa dan pantang mundur dalam membela kebenaran. Untuk mempertahankan sebuah pusaka seperti Ki Ageng Tejanirmala, tentu ayahnya suka mempertaruhkan nyawanya sebab pusaka seperti itu akan ternoda dan dapat mendatangkan malapetaka kalau terjatuh ke dalam tangan orang orang sesat dan dia dapat menduga bahwa kedua orang ini bukanlah orang
(Lanjut ke Jilid 03)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
baik-baik.
"Tombak pasaka Ki Ageng Tejanirmala adalah milik ayahku dan hanya beliau yang tahu di mana pusaka itu disimpan, Aku tidak mau pergi bersama kalian, aku hendak kembali bertapa dalam Goa Kantong Bolong"
Setelah berkata demikian, dia hendak menuruni lagi tebing yang curam itu. Akan tetapi, dua orang itu meloncat dan menghadang di depannya
"Kau harus ikut dengan kami"
Bentak Gagak Wulung marah.
"Aku tidak mau"
Jawab Nurseta, yang sudah siap menghadapi kekerasan yang agaknya hendak dipergunakan kedua orang itu.
"Hemm, kau berani membantah perintah kami? Kalau begitu, akan kuseret kau dengan paksa!"
Bentak Gagak Wulung dan diapun sudah menerkam bagaikan seekor harimau menubruk seekor kijang muda. Namun, kijang muda ini bukan sembarangan kijang, dan dengan sigapnya Nurseta mengelak dan melempar tubuh ke samping memindahkan kaki dengan gerakan cepat sehingga tubrukan itupun hanya mengenai tempat kosong belaka.
Namun pada saat yang sama, dari belakangnya ada angin dahsyat menyambar, Nurseta membalik sambil menangkis lengan wanita yang telah menyerang dari belakang untuk mengcengkeram pundaknya itu. Gerakan Nurseta memang gesit, begitu kakinya diputar tubuhnya membalik dan tangannya sudah menangkis.
"Dukkk!"
Wanita itu mengeluarkan teriak tertahan, karena tangkisan pemuda itu yang memutar lengannya ternyata mengandung tenaga yang kuat sekali, sehingga lengannya terpental. Sebaliknya, Nurseta juga merasakan getaran kuat pada lengannya. Maklumlah Nurseta bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang memang tangguh. Oleh karena itu, diapun segera membalas serangan mereka dengan mempergunakan kakinya menendang kearah perut Gagak Wulung dari arah samping.
Yang ditendang dapat menghindarkan diri dengan lompatan kecil, kini Ni Dedeh Sawitri sudah menyerang kembali, bahkan ia mempergunakan Aji Sarpakenaka karena ia ingin menangkap pemuda ini yang ternyata memiliki kepandaian yang cukup tangguh.
Nurseta terkejut. Kuku jari itu runcing dan tajam, juga mengeluarkan bau yang amis, tahulah dia bahwa kuku itu mengandung aji pukulan beracun yang jahat. Ayahnya sudah pernah memberitahu akan adanya aji-aji yang jahat dan beracun, dipergunakan oleh orang-orang dari golongan sesat. Maka, diapun tidak berani sembarangan menangkis, melainkan hanya mengelak. Tahu-tahu kini Gagak Wulung sudah menyerangnya kembali, gerakan Gagak Wulung ini lincah dan gesit, seperti seekor monyet saja dan tahu-tahu tangannya sudah menusuk kearah pelipis Nurseta, sedang tangan kedua sudah mencengkeram lambung. Bukan main cepat dan berbahaya.
Nurseta cepat menekuk lututnya sehingga seragnan ke pelipisnya lewat di atas kepalanya, menangkis cengkeraman ke arah lambung sambil mengerahan tenaganya.
"Dukkk!!"
Kembali Nurseta terkejut karena lengannya terpental, tanda bahwa tenaga Gagak Wulung inipun kuat sekali dan mungkin dia hanya mampu mengimbanginya. Padahal dia dikeroyok oleh dua orang dan kini dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena kedua orang lawannya sudah menghantamnya dari kanan kiri secara bertubi-tubi. Melihat betapa warna telapak tangan Gagak Wulung berubah menjadi merah, Nurseta semakin waspada. Dia sudah mendengar akan pukulan beracun yang membuat kedua tangan mejadi merah dan mengeluarkan hawa panas, maklum bahwa dua orang lawannya ini merupakan tokoh-tokoh sesat yang pandai mempergunakan aji kesaktian yang kotor beracun, Nurseta bersikap hati-hati dan diapun mengeluarkan semua kepandaiannya.
Namun, dia karena ia masih muda dan kurang pengalaman dalam perkelahian, dan kini dia harus menghadapi pengeroyokan oleh dua orang yang selain pandai dan sudah memiliki pengalaman yang banyak. Segala gerak tipu kecurangan mereka miliki sehingga belum sampai duapulub jurus mereka berkelahi, sebuah goresan kuku dengan Aji Sarpakenaka telah mengenai pangkal tangan kiri Nurseta, sedangkan tamparan Hasta Jingga oleh Gagak Wulung juga mengenai paha kanannya. Nurseta merasa betapa kaki kanan yang terkana tamparan itu panas dan terasa lumpuh, sedangkan tangan kirinya juga terasa nyeri dan gatal-gatal. Nurseta maklum bahwa dia telah terkena pukulan beracun di dua tempat.
"Kalian manusia jahat! Jangan harap aku menyerah sebelum nyawa meninggalkan badan!"
Bentaknya dan diapun mengamuk. Namun, dengan luka-luka itu, tentu saja gerakannya menjadi lamban dan kaku.
"Gagak, jangan bunuh dia! Kita masih memerlukannya"
"Huh, pastilah untuk kau ambil sari perjakanya"
Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi dengan suara yang lembut sekali, tetapi kata-kata yang dinyanyikan terdengar sangat jelas bagi ketiga orang yang sedang terlibat dalam perkelahian itu.
Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri terkejut bukan main mendengar suar tembang itu. Mereka mengira bahwa yang muncul adalah kakek yang pernah menyelamatkan dan membawa pergi Ki Baka, tentu saja mereka gentar dan takut dan siap untuk melarikan diri, karena mereka sudah maklum akan kehebatan aji kesaktian kakek penolong Ki Baka itu. Apa lagi ketika mereka melihat dari jauh kakek itu juga mengenakan pakaian serba putih, seperti pakaian kakek penolong Ki Baka.
Keduanya menahan diri dan tidak lagi menyerang Nurseta melainkan memandang kearah kakek yang sedang bertembang itu. Hal ini melegakan hati Nurseta, karena pada saat yang genting karena dia terluka oleh pukulan yang sangat beracun oleh kedua orang pengeroyoknya.
Setelah orang yang bertembang itu tiba di depan mereka, barulah Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri mendapat kenyataan bahwa mereka salah kira. Kakek ini sama sekali bukanlah kakek yang pernah menolong dan membawa pergi Ki Baka. Kakek ini sangat berbeda. Kalau kakek yang menolong Ki Baka itu mukanya pucat seperti mayat dan penuh keriput dan tak pernah nampak mulutnya bergerak walaupun sedang tertawa atau bicara, sebaliknya kakek ini wajahnya seperti wajah seorang anak muda saja, kulit mukanya belum berkeriput dan masih kemerahan walaupun rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua.
Mulutnya penuh dengan senyum, sepasang matanya mengeluarkan sinar lembut dan ramah, pakaiannya sangat sederhana hanya terbuat dari kain kasar berwarna putih. Yang mirip diantara kedua kakek itu adalah pakaian dan ikat rambutnya sajalah, kedua-duanya memakai kain berwarna putih. Usia merekapun agaknya sebaya walaupun kakek ini wajahnya tetap segar seperti wajah orang muda saja layaknya.
Melihat kenyataan bahwa kakek ini bukanlah kakek yang mereka takuti itu, timbul pula keberanian Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri. Tentu saja tidak semua kakek memiliki kesaktian seperti kekek penolong Ki Baka.
"Heh, orang tua, mau apa kau ke sini, pergilah, kami tidak ada urusan dengan kakek-kakek!"
Gagak Wulung membentak.
"Pergi dan jangan mencampuri urusan kami..!!"
Ni Dedeh Sawitri juga membentak marah.
Kakek itu tersenyum lebar, katanya "Heh-heh-heh, kulit memang tidak menentukan isi buah durian, kulitnya buruk akan tetapi isinya manis, sebaliknya mundu halus kuning isinya asam"
Tentu saja ucapan ini mengandung makna bahwa dua orang yang tampan dan cantik itu ternyata hanya elok pada lahirnya saja, akan tetapi wataknya sungguh tidak sesuai, begitu bertemu mengeluarkan kata-kata kasar dan mengusirnya.
"Sudahlah, perlu apa melayani tua bangka yang suah pikun"
Kata Ni Dedeh Sawitri.
"Hayo kita tawan dia!"
Dan iapun sudah menyerbu Nurseta yang berdiri sambil melepas lelah. Tubuhnya terasa nyeri semua, terutama bekas goresan kuku Sarpakenaka dan tamparan Hasta Jingga. Kepalanya sudah pening dan kedua kakinya gemetar. Namun, melihat wanita itu sudah menyerangnya lagi, dia masih sempat mengelak dan kini Gagak Wulung juga sudah maju menyerangnya.
"Heh-heh, dua orang yang memiliki aji kesaktian hitam mengeroyok seorang pemuda remaja. Sungguh tidak adil dan aku akan menonton kalian memetik buah pahit dari tanaman yang kalian tanam sendiri. Heh, orang muda, jangan takut dan lawanlah mereka"
Katanya.
Tanpa diperintah sekalipun, Nurseta memang bertekad untuk mempertahankan nyawanya segigih mungkin, sampai titik darah terakhir! Dia teringat selalu akan satu diantara wejangan ayahnya, yang pernah berkata begini:
"Kulup, anakku Nurseta, ingatlah selain bahwa Hyang Maha Agung telah menganugerahi kita manusia dengan tubuh sempurna dan tanah untuk mempertahankan kehidupan kita. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaganya, menjaga tanah dan tubuh kita. Ingatlah kulup, bahwa tanah atau tanah air, harus dijaga dan dibela, kalau perlu dengan taruhan nyawa, karena di tanah air inilah terdapat sejarah semenjak nenek moyang kita, dimana mereka dikuburkan, dimana kita dilahirkan, dimana kita mencari makan, sandang dan papan, dimana kita berbangsa dan berkebudayaan. Sejengkalpun tanah harus kita pertahankan, karena itu milik kita, hak kita sebagai anak bangsa. Dan tubuh kitapun harus dipertahankan sebaik mungkin, karena seperti juga tanah, tubuh merupakan anugerah Hyang Maha Agung, yang hanya dititipkan saja kepada kita, untuk kehidupan dan kebahagian hidup kita. Kalau tubuh kita sakit, kita harus mengobati. kalau terancam, kita harus menyelamatkannya.
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo