Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 20


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



Wulansari mengajak Gayatri melarikan diri ke utara, menyusuri sepanjang Sungai Brantas, lalu mempergunakan perahu terus mengikuti aliran sungai yang makin ke utara semakin membesar itu. Setelah melakukan perjalanan dengan perahu berhari-hari lamanya, ketika perahu membelok ke timur, Wulansari mengajak Gayatri melanjutkan perjalanan dengan kaki, terus ke utara sampai jauh meninggalkan tapal batas Kediri dan memasuki tapal batas Tuban. Dengan menyamar sebagai seorang pria dengan nama Bambang Wulandoro dan adiknya perempuan yang diberi nama Pusparasmi. Mereka tinggal mondok di rumah seorang janda tua di dusun Kalasan.

   Dengan simpanan barang perhiasan mereka, kedua orang ini mampu hidup serba cukup di dusun itu. Janda tua itu sama sekali tidak tahu bahwa Bambang Wulandoro sesungguhnya seorang wanita cantik. Juga sama sekali tidak pernah menduga bahwa Pusparasmi adalah Sang Puteri Dyah Gayatri.

   Merasa aman dalam persembunyian mereka, Wulansari kadang-kadang mengajak Puteri Gayatri untuk berburu binatang di hutan seperti yang mereka lakukan pada hari itu. Tentu saja tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala telah disembunyikan oleh Wulansari. Tidak mau ia menyimpan pusaka itu sembarangan. Ia menyembunyikan pusaka itu di dalam pohon. beringin, di puncaknya, diikatkan pada batang pohon itu dengan erat. Takkan ada seorangpun menduga pusaka itu disimpan di sana, dan tidak kelihatan dari bawah. Juga tidak ada babaya ketahuan orang karena tidak ada penduduk dusun berani memanjat pohon beringin yang tua dan besar itu. Bukan takut karena tingginya melainkan takut karena sudah menjadi kebiasaan dan kepercayaan umum mereka menganggap pohon beringin, apa lagi yang besar dan tua, sebagai pohon keramat.

   Demikianlah, pada hari itu Wulansari dan Gayatri memburu binatang. Wulansari yang memiliki kesaktian itu hanya mempergunakan senjata sebatang bambu runcing, bambu kuning yang kecil dan kuat. Dan dengan lontaran bambu runcing ini ia sudah berhasil merobohkan seekor kijang muda. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia hendak menjamah kijang itu, melihat sesuatu pada leher binatang itu sehingga ia menarik kembali tangannya dan mengeluarkan seruan kaget. Teguran Gayatri, yang menyebutnya "mbakayu Wulan"

   Membuat ia semakin kaget dan cepat ia menangkap lengan puteri itu dan berbisik.

   "Awas, jangan sebut aku mbakayu, ada orang di sini........"

   Ketika puteri itu memandang semakin heran, Wulansari atau Bambang Wulandoro menudingkan telunjuknya ke arah leher kijang. Puteri Gayatri atau Pusparasmi memandang dan iapun terbelalak. Pada leher kijang itu nampak menancap sebatang besi yang bentuknya segi tiga runcing, dan benda itu menancap di leher kijang sampai masuk semua, yang nampak hanya sedikit gagangnya dan ronce benang merah terjurai di leher binatang itu.

   "Adikku Puspa, engkau berdiamlah di sini dan jangan bergerak. Ada orang lain di sini dan biarkan aku menghadapinya"

   Kata Bambang Wulandoro kepada adiknya.

   Pusparasmi maklum bahwa sekali ini ia harus bersandiwara, maka iapun menjawab.

   "Baklah, kakang Wulandoro"

   Bambang Wulandoro siap menghadapi segala kemungkinan. Dia berdiri dengan kaki terpentang lebar, kepalanya bergerak ke kanan kiri, matanya melirik ke sekeliling dan sikapnya waspada. Tak lama kemudian, terdengar suara orang, suara yang agaknya terkejut dan terheran.

   Dengan gerakan cepat, Bambang Wulandoro membalikkan tubuhnya, siap menghadapi segala kemungkinan, sedangkan Pusparasmi juga memutar tubuhnya. Kedua orang gadis ini terkejut dan memandang terheran-heran kepada pemuda yang berdiri di depan mereka. Seorang pemuda yang aneh bentuk pakaiannya. Baju lengan panjang dan celana itu berwarna biru tua, kakinya dari lutut ke bawah dibelit kain tebal kuning dan kakinya bersepatu. Rambutnya panjang digelung dan diikat ke atas. Wajah pemuda itu tampan, hanya sepasang matanya sipit dan kulit mukanya kekuningan walaupun gelap karena banyak tertimpa sinar matahari. Tubuhnya tinggi tegap. Mata yang sipit itu bersinar tajam, nampak tabah, apa lagi karena dilindungi sepasang alis yang hitam tebal. Akan tetapi mulut itu tersenyum ramah dan aneh.

   Sebagai seorang puteri raja, Pusparasmi pernah melihat utusan dari Negara Cina, maka begitu melihat pemuda di depannya ini, iapun dapat menduga bahwa pemuda itu seorang Cina. Akan tetapi, Bambang Wulandoro belum pernah melihat bangsa itu, maka diapun memandang heran.

   Sejenak, tiga orang itu saling pandang dan pemuda Cina itu lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. Dia tersenyum dan ketika dia mengeluarkan suara, ternyata dia dapat berbahasa daerah, walaupun logatnya aneh dan pelo, namun cukup dapat dimengerti.

   "Maafkan saya. Ini....."

   Kijang ini punya saya karena saya menjatuhkannya dengan senjata piauw (senjata rahasia). Nah, itu masih nampak piauw saya di lehernya"

   Pemuda itu memang seorang pemuda Cina dan dia bukan lain adalah Lie Hok Yan, pendekar yang menjadi sute dari Kau Seng, seorang di antara tiga orang panglima yang memimpin dua ratus ribu orang perajurit dari Tiongkok yang diutus oleh Kaisar Kubilai Khan untuk berlayar ke Jawa dan untuk menyerang Raja Kertanagara yang telah berani menghina utusan kaisar, yaitu Panglima Meng Ki.

   Kaisar Kubilai Khan mengutus tiga orang panglimanya, yaitu She Pei, Kau Seng, dan Ji Kauw Mosu, memimpin duaratus ribu orang perajurit berlayar ke selatan menuju Kerajaan Singosari. Di antara para perwira muda terdapat banyak pula orang Han, dan satu di antaranya adalah Lie Hok Yan. seorang pendekar yang masih terhitung sute (adik seperguruan) dari Panglima Kau Seng.

   Ketika kapal-kapal dalam suatu armada besar itu berlayar ke selatan, mereka diserang angin ribut. Namun mereka telah siap menghadapi itu dan mereka membawa banyak ahli pelayaran sehingga pelayaran itu dapat lancar menuju selatan walaupun sebagian besar para perajurit yang biasanya hanya bergerak di darat, menjadi mabuk. Berhari-harian mereka itu bertiduran saja, tidak mau makan.

   Akhirnya, setelah armada sampai di Pulau Biliton, armada itu dipecah. Ji Kauw Mosu berangkat lebih dulu dengan limaratus orang perajurit dalam sepuluh buah kapal, sedangkan yang lainnya melalui Karimun Jawa menuju ke Tuban. Setelah tiba di Tuban, separuh dari balatentara mereka mendarat, sedangkan yang separuh lagi melanjutkan pelayaran mereka ke arah timur di bawah pimpinan Panglima She Pei, menuju ke Sungai Sedayu menyusul pasukan yang berangkat lebih dulu dipimpin Ji Kauw Mosu. Mereka mendarat di muara Sungai Sedayu.

   Sebelum melakukan gerakan penyerbuan ke arah selatan, Panglima She Pai lebih dulu menyebar para mata-mata untuk menyelundup dan mengamati keadaan. Dan mereka yang diselundupkan menjadi mata-mata adalah orang-orang muda yang selain memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, juga yang sudah dipersiapkan untuk pekerjaan ini maka mereka itu rata-rata sudah mahir berbahasa daerah. Di antara mereka itu terdapat Lie Hok Yan. Dan pada hari itu tibalah dia di daerah Kalasan, sebuah dusun di tapal batas Tuban, dan karena perutnya terasa lapar dan dia berada di hutan, maka ketika melihat berkelebatya seekor kijang yang lari tak jauh dari situ, dia cepat menyerangnya dengan senjata rahasia piauw.

   Sambitannya tepat mengenai leher kijang dan dia melihat betapa kijang itu roboh dalam semak belukar. Maka, diapun cepat mencari kijang itu dan bertemu dengan seorang pemuda tampan bersama seorang gadis vang amat cantiknya. Maka, setelah memberi hormat, Lie Hok Yan lalu mengatakan bahwa kijang itu miliknya karena dia telah membunuhnya dengan senjata piauw yang masih menancap di leher binatang itu.

   Akan tetapi pemuda tampan itu mengerutkan alisnya dan suaranya terdengar ketus ketika dia berkata.

   "Apa kau bilang? Bukan engkau yang merobohkan kijang ini, melainkan aku. Lihat bambu runcing itu. Aku yang melontarkan bambu runcing dan kijang ini mati karena adanya ditembusi bambu runcingku Engkau enak saja mengaku-aku. Ini adalah hasil buruanku"

   Lie Hok Yan memandang ke arah bangkai kijang itu dan matanya yang sipit agak dilebarkan. Sama sekali tidak disangkanya bahwa memang ada bambu kuning yang runcing menembus dada kijang itu dan tidak perlu diperdebatkan senjata mana yang lebih ampuh dan lebih pantas membunuh binatang itu. Piauwnya hanya kecil saja, terbenam di leher kijang itu tidak lebih dari sejengkal. Akan tetapi bambu runcing itu menembus dari dada sampai ke punggung. Tadi, pandang matanya terpesona oleh gadis cantik jelita yang berdiri sambil tersenyum di situ maka dia kurang memperhatikan kijang yang menggeletak mati di antara semak-semak.

   "Ah, binatang ini sungguh sial, mati di bawah serangan dua senjata. Tak dapat kusangkal, sobat. Tombak bambumu lebih mutlak membunuh binatang ini. Akan tetapi kalau diteliti, jelas bahwa senjataku yang lebih dulu mengenai tubuh kijang ini, setelah itu barulah senjatamu yang mengenainya"

   "Wah, enak saja kau bicara"

   Tiba-tiba Pusparasmi berseru dengan sikap galak. Ia maju dan bertolak pinggang, memandang kepada pemuda itu dengan mata bersinar-sinar.

   "Apa buktinya bahwa senjatamu yang lebih dulu mengenainya? Yang jelas, senjata kakakku yang telah merobohkannya"

   Hok Yan memandang dan dia terpesona sampai lama tidak mampu dia menjawabnya Sudah banyak dia melihat wanita cantik, akan tetapi selama hidupnya baru ini dia bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik jelita dan manisnya. Kulit wajah sampai leher, pundak dan kedua lengannya begitu putih mulus tanpa cacat sedikitpun. Wajah itu demikian manis dan cantik, rambutnya panjang terurai ke belakang dan anak rambut yang halus melingkar-lingkar di dahi. Sepasang mata yang seperti bintang dan biarpun ia sedang marah, namun kalau bicara matanya menari-nari dan bibirnya bergerak-gerak penuh tantangan untuk dicumbu. Wajah yang seperti dalam dongeng saja. Semenjak kapalnya berlabuh di pantai Tuban dan dia mendarat bersama pasukan, kemudian dia ditugaskan sebagai mata-mata mencari berita, banyak sudah dia melihat wanita Jawa, akan tetapi belum permah yang seperti ini. Seketika jantung dalam dada Hok Yan seperti berhenti berdenyut dan dia terpesona, hanya memandang tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.

   "Hei, kenapa kau bengong saja? Hayo jawab pertanyaan adikku"

   Bambang Wulandoro membentak, juga diam-diam geli melihat tingkah pemuda asing itu. Sebagai seorang wanita, tentu saja ia dapat menduga bahwa pemuda asing ini terpesona oleh kecantikan Dyah Gayatri dan iapun tidak merasa heran. Pemuda mana yang tidak akan terpesona melihat kecantikan sang puteri itu?

   Dibentak seperti itu, Hok Yan tersipu dan mukanya yang berkulit putih kekuningan itu berubah kemerahan.

   "Eh....... ahh........ begini... Bukan maksud saya hendak mencari keributan. Kalau memang kalian menghendaki kijang ini, silakan. Akan tetapi saya merasa lapar sekali, kalau boleh saya mendapatkan sebuah kakinya saja, kaki belakang berikut pahanya, atau boleh juga kaki depan, sudah cukuplah......"

   "Sudah, tidak perlu banyak cakap. Jawab pertanyaanku tadi. Apa buktinya bahwa senjatamu yang lebih, dulu mengenainya?"

   Pusparasmi mendesak.

   "Begini....... ah, mudah saja. Lihat, bambu runcing itu menusuk dari dada tembus ke punggung. Hal ini tidak mungkin terjadi kalau kijang itu sedang berlari, tentu yang terkena tombak bambu itu bagian sisi, menembus ke sisi yang lain atau kalau tombak itu meluncur dengan lengkungan, maka yang tertusuk adalah punggungnya yang menembus ke dada bukan dari dada menembus ke punggung. Maka, jelas bahwa tentu kijang itu terlebih dahulu terkena senjata piauwku dan saking kaget dan nyeri, mungkin juga sekarat, dia melompat ke atas dan tubuhnya miring sehingga tepat dadanya disambar tombak bambu itu. Dengan demikian, maka senjata rahasiaku yang lebih dulu mengenai tubuhnya"

   Bambang Wulandoro mengerutkan alisnya dan dia memandang bangkai kijang itu penuh perhatian. Diam-diam dia harus mengakui kebenaran alasan yang dikemukakan pemuda asing itu, dan dia menjadi penasaran sekali.

   "Hemm, sobat. Apakah dengan demikian engkau hendak mengatakan bahwa lontaran bambu runcingku masih kalah hebat dibandingkan sambitan senjata rahasiamu itu?"

   Pemuda itu menggeleng kepala dan tersenyum.

   "Ah, tidak....... maksudku bukan begitu ......."

   Akan tetapi Bambang Wulandoro sudah mencabut bambu rucingnya dari tubuh kijang.

   "Ambil senjata rahasiamu itu dan kita boleh buktikan, sambitan siapa yang lebih jitu"

   Tantang Bambang Wulandoro.

   Lie Hok Yan teringat akan tugasnya. Dia tahu betapa tidak baiknya kalau mencari permusuhan selagi dia menjalankan tugas penting itu. Apa lagi dengan pemuda tampan itu adalah kakak dari gadis yang seperti bidadari itu? Tidak, dia sama sekali tidak ingin mencari permusuhan. Akan tetapi, sebagai seorang pemdekar, dia sudah merasa amat tertarik melihat betapa bambu runcing itu tepat mengenai dada kijang dan menembus ke punggung. Juga ketika pemuda tampan itu tadi mencabut bambunya, pemuda itu tidak mempergunakan tenaga kasar dan diam-diam diapun terkejut, menduga bahwa orang ini tentu bukan orang sembarangan Dia merasa tertarik dan ingin sekali melihat sendiri betapa hebatnya orang itu melontarkan tombak bambunya. Maka, diapun mencabut piauw yang masih menancap di leher kijang.

   "Biar kubuatkan sasarannya"

   Tiba-tiba Pusparasmi berseru dan ia sudah berlari kecil menuju ke sebuah pohon besar.

   Di batang pohon besar itu ia menempelkan sebatang daun sirih, lalu ia menghampiri lagi mereka.

   Bambang Wulandoro mengangguk.

   "Dari sini, jaraknya cukup dan daun itupun cukup kecil. Hendak kulihat sampai di mana kejituan sambitanmu dengan senjata rahasia itu. Nah, sambitlah daun yang menempel di batang pohon itu"

   Sebetulnya, dalam keadaan biasa, Hok Yan bukan seorang pemuda yang suka menyombongkan kepandaianya. Dia sudah mempelajari penggunaan piauw secara mahir sekali dan belum pernah dia sengaja mempertontonkan kepandaiannya ini di depan orang lain. Akan tetapi sekali ini, selain untuk menyambut tantangan pemuda tampan itu, juga dia secara tiba-tiba saja ingin memamerkan kepandaiannya di depan gadis jelita seperti bidadari itu.

   "Baiklah, lihat piauwku"

   Dengan gerakan tiba-tiba dan sangat cepat, tangannya bergerak dan nampak sinar merah meluncur cepat ke arah pohon, dan tahu-tahu senjata piauw itu telah menancap di pohon tepat di tengah daun sirih, menembus daun dan menancap dalam. Tinggal sisa sedikit gagang piauw yang berada, di luar kulit batang pohon.

   "Hebat......"

   Pusparasmi berseru dan bertepuk tangan memuji. Gadis ini memang memiliki watak yang terbuka dan langsung saja ia memuji karena ia merasa kagum sekali. Melihat gadis seperti bidadari itu bertepuk tangan memuji, Hok Yan merasa seolah-olah, kepala dan dadanya menggelembung besar seperti balon karet ditiup.

   Bambang Wulandoro mengangguk-angguk, Diam-diam diapun kagum, bukan hanya oleh ketepatan bidikan pemuda itu, melainkan terutama sekali oleh kecepatannya menggerakkan senjata rahasia itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau kalah.

   "Basus, sekarang lihat kejituan bambu rancingku"

   Kata Bambang Wulandoro dan diapun membidikkan bambu runcing di tangannya, dipegangnya seperti memegang tombak dengan tangan di atas pundak, kemudian tiba-tiba dia melontarkan tombak itu dari belakang pundak ke depan. Sinar kuning berkelebat ketika bambu kuning yang ujungnya runcing itu meluncur bagaikan kilat ke arah pohon.

   "Cappp......."

   Gagang tombak bambu itu bergoyang-goyang dan tergetar dan bambu menancap pada batang pohon, persis di tengah daun sirih dan kini senjata rahasia piauw tadi lenyap tertekan oleh ujung bambu ke dalam batang pohon, lenyap berikut ronce merahnya.

   Kembali Pusparasmi bertepuk tangan memuji.

   "Engkau hebat, kakang Wulandoro"

   Soraknya.

   Lie Hok Yan juga mengangguk-angguk dengan penuh kagum. Pemuda Jawa yang amat tampan ini sungguh memiiiki ilmu kepandaian vang hebat.

   Bambang Wulaudoro yang merasa menang karema bambu runcing itu tepat mengenai senjata lawan sehingga senjata rahasia yang Kecil itu lenyap ke dalam batang pohon, sogera ia menghadapi Hok Yan dan bertanya.

   "Nah, bukankah bambu runcingku lebih menang dibadingkan senjatamu itu?"

   Tadinya Lie Hok Yan tidak ingin bersitegang, akan tetapi nada suara yang mengandung ketinggian hati dan kemenangnn itu sempat membuat hati mudanya penasaran. Ia memberi hormat dan berkata dengan lembut.

   "Sobat. Memang ilmu melontarkan tombak bambu itu sungguh hebat. Akan tetapi terlalu lambat. Dibandingkan dengan piauwku, maka tombakmu itu jauh kalah cepat penggunaannya. Kalau engkau sedang menarik tombak itu ke belakang pundak, piauwku sudah meluncur mengenai sasaran. Itulah kelebihan senjataku"

   Bambang Wulandoro menjadi marah mendengar pemuda asing ini belum juga mau mengakui keunggulannya.

   "Begitukah? Engkau masih merasa lebih hebat dariku? Kalau begitu, sobat asing, majulah dan mari kita coba-coba mengadu kepandaian"

   Berkata demikian, Bambang Wulandoro memasang kuda-kuda dan siap berdiri di depan pemuda asing itu. Hok Yan cepat menggerak-gerakan tangan Kanan menolak "Sobat, aku datang ke sini bukan untuk mencari permusuhan tanpa sebab. Kalau engkau hendak mengambil kijang itu, silakan, dan kalau engkau tidak mau memberi bagian sedikit kepadaku juga tidak mengapalah. Akan tetapi aku tidak ingin bermusuhan, tidak ingin berkelahi"

   Bambang Wulandoro menurunkan kedua angannya dan berdiri tegak.

   "Hemm, siapa yang mengajak bermusuhan dan siapa yang mengajak berkelahi? Aku hanya ingin menguji kepandaianmu. Kalau engkau memang memiliki kepandaian tinggi dan lantas menjadi sahabat, aku akan memberi bagian daging kijang. Sebaliknya kalau engkau hanya seorang pembual dan pengganggu saja, engkau boleh pergi tanpa bagian daging kijang. Nah, sekali lagi aku tantang kau untuk mengadu ilmu kepandaian? Majulah, kecuali kalau kau takut. Aku tidak akan. memaksa orang yang takut"

   Sepasang mata yang sipit itu berkilat. Kelemahan seorang pendekar tersentuh, dan hal ini memang disengaja oleh Bambang Wulandoro yang cerdik. Pendekar manapun di dunia ini akan bangkit kalau disebut pengecut atau penakut. Demikian pula Hok Yan. Alisnya yang tebal berkerut dan diapun memandang kepada Bambang Wulandoro dengan pandang mata tajam,

   "Takut? Aku .......takut? Sobat, apakah kau hanya akan menguji kepandaian? Tidak ada dendam kebencian sebagai musuh? Yakinkah hatimu? Kalau benar demikian, dengan senang hati aku akan melayanimu bertanding. Akan tetapi kalau dalam hatimu ada dendam kebencian, aku akan mundur karena aku tidak ingin berkelahi, tidak ingin mencari musuh"

   Bambang Wulandoro mulai merasa suka kepada pemuda asing ini. Seorang pemuda yang pandai menyembunyikan kepandaian dibalik sikap yang rendah hati.

   "Aku yakin, sobat, Marilah, aku ingin sekali mengenai ilmu silatmu"

   Katanya dan kembali ia memasang kuda-kuda.

   Lie Hok Yan merangkap kedua tangan depan dada, kepalan kanan digenggam menempel pada telapak tangan kiri yang dibuka, lalu. tiba-tiba kedua kakinya dipentang lebar, kedua lutut ditekuk, tangan kanan diacungkan keatas, yang kiri ke bawah, lalu kedua lengan itu perlahan-lahan bergerak ke kanan kiri, terentang seperti sikap seekor burung hendak terbang.

   Sepasang mata yang indah dari Bambang Wulandoro bersinar, wajahnya berseri dan diapun sudah menerjang ke depan sambil berseru.

   "Lihat seranganku. Aiiittt ........

   "

   Tangan kanannya menyambar, dengan jari tangan terbuka menempiling ke arah pelipis kiri kepala lawan.

   Melihat tamparan yang datang dengan dihului sambaran angin pukulan yang dahsyat itu, Hok Yan terkejut dan cepat dia mengelak dan melangkah mundur. Namun, lawannya tidak memberi kesempatan, susulan tangan kiri yang terbuka menghantam ke arah dadanya.

   Sekali ini, untuk mengukur tenaga lawan. Hok Yan menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

   "Dukk"

   Dua buah lengan beradu dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang sampai tiga langkah. Dua orang muda itu terkejut dan saling pandang, kini kekaguman terpancar dari pandang mata mereka. Akan tetap di samping kekaguman mereka atas kekuatan lawan, bukan kekuatan tenaga otot melainkan tenaga dalam yang terasa sekali dalam adu lengan tadi, ada pula perasaan penasaran mengganjal di hati Bambang Wulandoro.

   "Lihat serangan"

   Bentaknya lagi dan kini dia menyerang setelah menggosok-gosok kedua telapak tangan. Serangannya cepat dan ketika Hek Yan mengelak, dia terkejut bukan main, karena ada hawa panas menyambar bersam apukulan itu, Dia tidak tahu bahwa Bambang Wulandoro telah mempergunakan aji kesaktiam Segoro Umub, yaitu ilmu pukulan yang mengandung hawa panas. Tahulah Hok Yan bahwa lawannya benar amat tangguh dan memiliki ilmu yang membuat pukulannya mengandung hawa yang panas, seorang lawan yang telah memiliki sinkang (tenaga sakti) yang ampuh. Maka, diapun mengeluarkan ilmu silatnya yang membuat tubuhnya bergerak cepat, berloncatan. ke sana-sini menghindarkan setiap sambar tangan lawan sambil kadang-kadang membalas dengan pukulan yang tidak kalah hebatnya.

   Setelah lewat tiga puluh jurus, tiba-tiba Bambang Wulandoro mengeluarkan teriakan, melengking dan tangan kirinya menyambar dahsyat bukan main, Itulah Aji Gelap Sewu yang amat berbahaya, yang terpaksa dikeluarkan olehnya karena dia merasa kewalahan untuk dapat mengalahkan lawan yang memiliki gerakan gesit laksana monyet itu.

   Tamparan yang dahsyat itu tidak mungkin dapat dielakkan, maka Hok Yan lalu menangkis sambil miringkan tubuhnya.

   "Desss......."

   Dia mampu menangkis sehingga terhindar dari tamparan maut, akan tetapi kekuatan Aji Gelap Sewu sedemikian hebatnya sehingga Hok Yan terhuyung ke belakang dan nyaris terbanting jatuh kalau dia tidak lekas berjungkir balik membuat poksay (salto) sampai tiga kali ke belakang.

   Begitu dia berdiri, pemuda ini cepat membungkuk dan memberi hormat.

   "Hebat.........Sungguh engkau hebat sekali, sobat"

   Akan tetapi Bambang Wulandoro masih belum puas. Dia tidak ingin melukai lawan, dan melihat kegesitan lawan, dia percaya bahwa lawan akan mampu menghindarkan diri dari ancaman maut. Dia hanya ingin melihat lawannya itu terjatuh, karena sebelum hal ini terjadi, dia belum dapat dikatakan menang. Maka, diapun meloncat dengan gesitnya ke depan lawan, lalu menyerang lagi sambil membentak.

   "Kita lanjutkan. Lihat seranganku"

   Kembali dia menyerang dengan pukulan Gelap Sewu yang ampuh. Melihat ini, sambil meloncat ke samping untuk menghindarkan diri, Hok Yan merasa penasaran sekali. Mengapa orang ini mendesak terus, pikirnya. Bukankah katanya hanya ingin menguji kepandaian? Karena merasa penasaran, diapun mengeluarkan semua kepandaiannya dan seperti tadi mengandalkan kecepatan gerakannya berloncatan ke sana-sini sambil balas menyerang.

   Kembali terjadi pertandingan yang amat seru dan demikian cepat gerakan mereka berdua sehingga Pusparasmi yang sejak tadi menonton merasa pening dan pandang matanya kabur. Kembali belasan jurus lewat dengan cepatnya.

   "Heiiitt........"

   Tiba-tiba Bambang Wulandoro berteriak dan menyerang dengan gerakan menyamping, tangannya menampar ke arah dada lawan. Hok Yan terkejut sekali dan dia miringkan tubuh sambil tangannya mencengkeram ke arah leher lawan.

   "Bukkk"

   Pundak Hok Yan terkena tamparan sakti.

   "Brettt"

   Baju yang menutupi tubuh atas Bambang Wulandoro kena dicengkeram dan terenggut robek di bagian dada.

   Hok Yan terpelanting, dan ketika dia roboh terlentang, dia melihat dada itu dan dia pun mengeluarkan seruan sambil bergulingan menjauhkan dirinya. Dia duduk membelakangi lawan, kedua tangan memegangi kepala yang terasa pening,

   Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Wulansari ketika bajunya tercengkeram robek sehingga dadanya nampak telanjang. Ia tadi melihat lawannya terbelalak lalu bergulingan menjauh. Dengan muka merah sekali dan hati panas karena marah ia menutupi dadanya dengan tangan kiri, lalu melangkah maju dengan kemarahan meluap.

   "Kau........ kau........ kurang ajar......"

   Bentaknya.

   Hok Yan tidak bergerak.

   "Maaf, aku tidak tahu....... maaf........ saya tidak sengaja....."

   Wulansari yang sudah marah sekali itu masih teringat akan keadaan dirinya yang kelihatan buah dadanya itu, maka ia menahan kemarahannya, lalu mempergunakan sisa baju itu untuk membalut bagian dadanya. Bajunya menjadi tidak karuan, kedua lengannya kini telanjang, akan tetapi setidaknya, dadanya tertutup rapat. Melihat betapa Hok Yan masih duduk membelakanginya, ia maju dan bermaksud memukul lagi karena dianggapnya pemuda asing itu telah menghinanya.

   Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan-teriakan dan muncullah belasan orang perajurit Daha yang berpakaian seragam. Mereka dipimpin oleh seorang perwira tinggi besar seperti raksasa.

   "Tangkap mata-mata musuh"

   Demikian mereka berteriak-teriak dan mengepung tiga orang muda itu. Ketika perwira itu melihat Pusparasmi, dia terbelalak dan menudingkan goloknya.

   "Wah, itu Sang Puteri Dyah Gayatri yang melarikan diri dari istana. Dan ini........ bukankah dia ini Wulansari yang menyamar sebagai pria?"

   Dia lalu memberi isarat kepada anak buahnya.

   "Tangkap mereka"

   Melihat ini, Wulansari mengurungkan niatnya menghantam pemuda asing tadi dan ia alu menerjang dan menyerang si raksasa yang cepat memutar goloknya. Dia segera dibantu oleh anak buahnya dan kini Wulansari dikeroyok oleh belasan orang. Dua orang anggauta pasukan kecil itu kini menghampiri Dyah Gayatri dengan sikap mengancam. Mereka menyeringai menakutkan.

   "Haha, puteri cantik. Menyerah saja kami tawan dan bawa kembali ke istana Daha"

   Kata seorang dari mereka. Keduanya sudah maju untuk menubruk sang puteri yang cantik itu. Tentu saja mereka tidak berani mengganggu, akan tetapi baru dapat memegang saja mereka sudah akan merasa puas dan senang.

   "Plak. Plakk"

   Dua buah tamparan membuat mereka terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali. Kiranya sebelum mereka tadi "berhasil menyentuh tubuh Gayatri, Hok Yan sudah meloncat dan mengirim pukulan ke arah mereka. Pukulan cepat yang tidak tersangka-sangka dan membuat mereka berdua terpelanting untuk tidak bangun kembali karena mereka roboh pingsan. Dan kini Hok Yan sudah terjun ke dalam medan perkelahian, membantu Wulansari yang masih dikeroyok oleh belasan orang.

   Gadis perkasa itu juga sudah merobohkan tiga orang pengeroyok, akan tetapi raksasa yang memimpin pasukan itu ternyata kuat juga. Goloknya menyambar nyambar sehingga membuat Wulansari harus waspada dan berloncatan ke sana-sini.

   Melihat itu, Hok Yan sudah menerjang raksasa itu dengan tendangan kilatnya dari samping. Raksasa itu menggunakan lengan kirinya menangkis tendangan.

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Desss......"

   Tubuh raksasa itu terdorong ke belakang dan dia menjadi geram bukan main melihat pemuda asing itu membantu Wulansari. Maka, dengan golok diputar-putar, dia sudah menyerang Hok Yan dengan ganas. Akan tetapi, sekali ini dia berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kegesitan melebihi seekor kera. Tubuh Hok Yan berubah menjadl bayangan biru yang berkelebatan diantara sinar goloknya, bahkan setelah lewat belasan jurus, tangan kiri Hok Yan berhasil enampar pundaknya.

   Perwira tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan meringis kesakitan, akan tetapi ternyata tubuhnya juga memiliki kekuatan dan kekebalan. Tamparan itu hanya membuat dia meringis dan merasa nyeri sebentar, lalu dia membalik dan menyerang lagi membabi buta.

   Sementara itu, setelah kini perwira raksasa itu dihadapi Hok Yan dan ia hanya dikeroyok oleh para perajurit, Wulansari mengamuk bagaikan seekor harimau betina terluka. Dua pasang kaki dan tangannya merupakan senjata-senjata ampuh dan setiap kali kaki atau tangannya menyambar, tentu disusul robohnya seorang pengeroyok, didahului teriakannya.

   Hok Yan maklum bahwa sebelum perwira raksasa itu dikalahkannya, tentu para perajurit itu akan terus mengeroyok dengan nekat. Maka, sambil terus mempergunakan kecepatan gerak badannya untuk menghindarkan diri dari semua serangan golok lawan, diapun mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk membalas. Dua kali lagi tangannya yang menampar mengenai tubuh lawan, disusul sebuah tendangan yang tepat mengenai perut lawan dan akhirnya robohlah perwira yang kuat itu, Wulansari juga sudah merobohkan enam orang lagi.

   Melihat robohnya pemimpin mereka, sisa para perajurit menjadi panik dan mereka lalu menolong teman-teman yang terluka atau pingsan, dan bersama-sama melarikan diri. Si tinggi besar itupun terpaksa melarikan diri dengan kaki terpincang-pincang.

   Wulansari dan Hok Yan berdiri saling berpandangan, Melihat betapa gadis yang menyamar pria itu kini tidak karuan lagi pakaiannya, baju lengan panjang itu kini dibelitkan dada, Hok Yan menundukkan mukanya, Gara-gara dialah gadis itu terbuka rahasia penyamarannya dan dia merasa menyesal, juga kasihan dan kagum. Tak disangkanya bahwa pemuda tampan yang gagah perkasa itu malah hanya seorang gadis. Seorang gadis perkasa yang bukan main.

   "Nona, maafkan saya, Sungguh mati saya tadi tidak sengaja hendak menghinamu, tidak sengaja hendak merobek pakaianmu. Saya mengira bahwa engkau seorang pemuda tulen. Maafkan saya, dan saya siap menanti hukuman kalau nona merasa terhina"

   Wulansari tersenyum. Memang tadi ia marah sekali karena nafsu amarah membisikkan bahwa pemuda asing di depannya ini telah menghinanya, menelanjangi dadanya. Akan tetapi kini, setelah melihat betapa pemuda asing itu mati-matian membelanya, bahkan mengalahkan perwira raksasa tadi, dan kini melihat pemuda itu minta maaf dan menyatakan penyesalannya, iapun menyadari bahwa pemuda asing itu sama sekali tidak bermaksud menghinanya.

   "Sobat, sebetulnya, siapakah kau dan dari mana? Apa maksud tujuan kalian berada di sini"

   Tadi Hok Yan mendengar ucapan para prajurit dan dia tadi terkejut bukan main mendengar bahwa gadis yang cantik seperti bidadari itu ternyata adalah Sanig Puteri Dyah Gayatri. Sebagai mata-mata, dia tentu saja sudah mempelajari keadaan keluarga Sang Prabu Kertanegara, dan tahu bahwa Sang Dyah Gayatri adalah seorang di antara puteri raja yang akan diserang oleh pasukannya. Dan kini sang puteri ituberada di sini. Dari hasil penyelidikannya, diapun mendengar bahwa Raja Kertanegara telah tewas dalam perang ketika Kerajaan Singosari diserbu oleh Raja Daha. Dia mendengar bahwa kini keadaan menjadi kacau. Singosari yang akan diserang pasukannya telah terjatuh ke tangan Raja Jayakatwang dari Daha atau Kediri. Dan puteri itu adalah seorang pelarian. Juga wanita cantik yang menyamar? sebagai pria ini jelas yang membantu pelarian Sang Puteri, maka mudah dia menduganya bahwa tentu wanita perkasa ini seorang dari Singosari, sedangkan pasukan yang menyerang tadi adalah pasukan dari Kerajaan Daha yang menang perang. Keadaan ini jelas bagi Hok Yan, maka diapun menjawab tanpa ragu lagi.

   "Nona, terus terang saja, saya bernama Lie Hok Yan dan saya adalah seorang perwira muda dari pasukan yang datang dari Negara Cina, utusan dari kaisar kami yang mulia Kubilai Khan. Saya bertugas untuk melakukan penyelidikan ke pedalaman ibu kota Kerajaan Singosari.

   Wulansari terkejut bukan main mendengar ini dan pandangannya terhadap pemuda asing itu berubah seketika. Kiranya seorang perwira muda dari Negeri Cina yang kabarnya amat besar dan kuat itu. Pantas memiliki ilmu kepandaian yang demikian tinggi.

   "Ah, kiranya begitukah? Mari kita pergi ke tempat aman karena pasukan tadi tentu akan datang lagi membawa bala bantuan yang lebih besar. Sebaiknya kita mencari tempat aman baru bicara"

   Berkata demikian, Wulansari menggandeng tangan Dyah Gayatri dan pergi meninggalkan tempat itu. Hok Yan mengikutinya dari belakang. Mereka keluar dari hutan itu, melewati bukit dan memasuki sebuah hutan lain yang berada di puncak sebuah bukit lain sehingga dari tempat itu mereka akan dapat melihat kalau ada pasukan yang melakukan pengejaran.

   "Nah, sekarang kita bicara. Kau tadi tentu mendengar bahwa gadis ini adalah Sang Puteri Dyah Gayatri dari Kerajaan Singosari yang kini telah diduduki Kerajaan Daha. Dan aku adalah seorang bekas panglima pasukan. pengawal Raja Daha yang minggat dari istama karena tidak suka melihat kelakuan Raja Jayakatwang yang tidak senonoh. Ceritakan, apa maksud kaisarmu mengirim pasukan ke sini?"

   "Tadinya, pasukan kami bertugas menyerang Singosari sebagai hukuman atas tindakan Sang Prabu Kertanegara terhadap utusan kaisar kami Akan tetapi menurut hasil penyelidikanku. Sang Prabu Kertanegara telah tewas dan Kerajaan Singosari telah jatuh ke tangan Raja Kediri. Aku sendiri bingung memikirkan perubahan ini dan tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh atasanku kalau sudah menerima pelaporanku"

   Tiba tiba Dyah Gayatri mendapat pikiran yang amat baik.

   "Sobat karena pasukanmu sudah tiba di sini, kenapa tidak membantu saja kepada Raden Wijaya untuk menyerang Kerajaan Daha yang jahat itu?"

   Tentu saja Hok Yan bingung mendengar ini, karena dia sama sekali tidak berwenang untuk memutuskan apa yang harus dilakukan pasukannya. Tugasnya hanya menyelidik, maka dia merasa kebetulan sekali berjumpa dengan dua orang ini dan mengharapkan keterangan lebih banyak dari mereka untuk dilaporkan kepada atasannya.

   "Usulanmu itu akan saya sampaikan kepada atasan saya, Puteri. Akan tetapi saya harus mengetahui lebih dahulu, siapakah Raden Wijaya itu dan mengapa pula kau mengusulkan agar kami membantunya menghadapi Raja Kediri"

   (Lanjut ke Jilid 22)

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22

   Wulansari lalu memberi keterangan.

   "Selama berbulan tinggal bersembunyi di sini, kami telah mendengar banyak. Ketahuilah, bahwa Raden Wijaya adalah mantu dari mendiang "Sang Prabu Kertanegara, dan sang puteri ini adalah tunaagannya. Raja Daha amat jahat dan tidak mengenal budi. Singosari yang telah berbuat baik kepada Daha, kini malah diserangnya dan didudukinya selagi Kerajaan Singosari kosong dan lemah. Harapan rakyat tingyal kepada Riden Wijaya"

   Hok Yan mengangguk-angguk mengerti. Sebagian dari apa yang diceritakan itu telah didengarnya pula dalam penyelidikan.

   "Akan tetapi, di mana sekarang adanya Raden Wijaya?"

   Tanyanya.

   "Menurut apa yang kami dengar dari rakyat yang masih setia kepada Singosari, Raden Wijaya tadinya melarikan diri ke Madura, kemudian atas bantuan Bupati Sumenep, yaitu Arya Wiraraja, Raden Wijaya menghadap Raja Daha yang menerima dengan baik. Kini, kabarnya Raden Wijaya bertugas membuka sebuah hutan besar untuk dijadikan perkampungan besar dan tempat itu diberi nama Majapahit. Kamipun akan menyusul ke sana, akan tetapi harus berhati-hati karena kalau bertemu dengan pasukan Daha, tentu mereka itu akan berusaha mati-matian untuk menangkap kami"

   Hok Yan girang sekali mendengar keterangan yang cukup berharga itu. Terserah kepada atasannya apa yang akan mereka lakukan, akan tetapi dia telah melakukan tugasnya dengan amat baik dan berhasil mengumpulkan keterangan-keterangan yang berharga.

   Tiba-tiba Hok Yan bangkit berdiri dan memandang ke arah selatan.

   "Lihat, di sana ada kebakaran"

   Wulansari cepat meloncat berdiri, juga Gayatri.

   "Celaka"

   Serunya kaget.

   "Dusun Kalasan terbakar? Aku harus cepat ke sana menolong penduduk"

   "Kalasan? Dusun Kalasan, tempat siapa?"

   Hok Yan bertanya.

   "Kami tinggal di sana. Kami harus cepat pulang. Mari, puteri. Kau aku gendong saja"

   Kata Wulansari dan tanpa menanti jawaban, ia telah memondong tubuh Dyah Gayatri lalu mempergunakan kesaktiannya untuk belari cepat menuruni bukit ke arah dusun yang terbakar itu.

   Hok Yan memandang kagum "Bukan main wanita itu, dan bukan main cantiknya puteri itu"

   Pikirpya. Hatinya ikut merasa khawatri akan keselamatan mereka. Bukankah baru saja mereka itu hampir celaka di tangan pasukan Daha? Siapa tahu kebakaran di bawah sana pada suatu dusun itu ada hubungannya dengan pasukan Daha dan kalau benar demikian, berarti dua orang wanita itu menuju ke tempat yang amat berbahaya. Maka, Hok Yan terus membayangi Wulansari yang berlari cepat sambil memondong tubuh puteri itu.

   Setelah mereka tiba di iuar dusun, api nampak berkobar semakin besar. Agaknya ada beberapa buah rumah yang terbakar, dan terdengarlah jerit-jerit wanita.

   Ketika melihat bahwa agaknya dusun itu diserang sekelompok orang, Wulansari mengkhawatirkan keselamatan Dyah Gayatri. Maka ia menurunkan puteri itu.

   "Harap puteri bersembunyi di sini dulu, di balik semak-semak belukar itu. Aku akan melihat apa yang terjadi di dalam dusun"

   Katanya.

   Puteri Gayatri maklum bahwa ia hanya akan menjadi beban dan ia akan dapat terancam bahaya, maka iapun mengangguk dan dengan tenang ia lalu mencari tempat persembunyian di luar dusun itu. Kini, dengan gerakan yang amat gesit dan cepat karena sudah tidak memondong tubuh sang puteri, Wulansari meloncat dan berlari ke dalam dusun. Hok Yan merasa kagum dan diapun berkelebat menyusul masuk dusun dari mana terdengar keributan itu.

   Ketika Wulansari memasuki dusun, ia segera menuju ke rumah janda tua yang merelea pondoki. Dapat dibayangkan betapa besar rasa kaget dan kemarahannya ketika ia melihat janda tua itu telah menggeletak menjadi mayat berlumuran darah di depan rumahnya, dan rumah itupun berkobar dimakan api.

   "Keparat jahanam........."

   Bentaknya dan iapun cepat lari ke arah rumah lain di mana nampak ribut-ribut dan ia melihat beberapa orang perajurit Daha sedang memukuli orang-orang dusun itu.

   "Hayo katakan di mana mereka"

   Terdengar bentakan seorang perajurit.

   "katakan di mana Puteri Dyah Gayatri dan Wulansari"

   Wulansari menjadi marah sekali. Kiranya benar seperti dugaannya, ada pasukan Daha yang mencarinya, dan melihat banyaknya perajurit yang mengamuk di dusun itu, ia tahu bahwa tentu pasukan yang tadi dihajarnya di hutan, telah mendapat balabantuan dan sedang mencari ia dan Puteri Dyah Gayatri dan karena gagal mereka mengamuk dan membakari rumah dusun, menyiksa penduduk dusun Kalasan.

   "Jahanam busuk, inilah Wulansari. Jangan kalian menyiksa orang dusun yang tidak berdosa"

   Teriaknya dan iapun menerjang ke depan. Sekali ia bergerak menyerang dua orang perajurit yang sedang memukuli beberapa orang dusun itu terpelanting dan tidak dapat bangkit lagi. Perajurit ke tiga berteriak-teriak ketika melihat Wulansari dan sebentar saja di situ sudah berdatangan puluhan orang perajurit Daha yang mempergunakan tombak atau pedang mengeroyok gadis perkasa yang tadinya menjadi panglima pasukan pengawal Prabu Jayakatwang itu.

   Sementara itu, Hok Yan juga lari memasuki dusun. Tiba-tiba ia mendengar jerit wanita yang menyayat hati dari sebuah rumah yang cukup besar. Rumah itu tidak terbakar. Maka, mendengar ada wanita menjerit di dalam Hok Yan menduga bahwa tentu ada orang jahat di dalam rumah itu. Diapun melompai masuk dari di pintu ruangan depan dia melihat seorang pria setengah tua dan seorang wanita setengah tua menggeletak di atas lantai sambil mengaduh-aduh. Mereka terluka oleh bacokan pedang. Ketika Hok Yan berlutut hendak menolong mereka, pria setengah tua itu berkata lemah "Tolonglah Sumirah.... tolong Sumirah......"

   Hok Yan melihat pria itu menudingkan telunjuknya yang gemetar kearah sebuah kamar yang daun pintunya tertutup. Diapun meloncat dan sekali terjang daun pintu itu jebol dan apa yang dilihatnya di dalam kamar itu membuat sepasang matanya yang sipit itu berkilat dan alisnya yang tebal hitam berkerut. Seorang laki-laki yang berkulit hitam, dengan muka bopeng penuh brewok, bertubuh tinggi besar, sedang menggeluti seorang gadis yang mempertahankan diri mati-matian.

   Tangan laki-laki itu yang kiri membungkam mulut si gadis, tangan kanannya merenggut dan merobek kain yang menutupi tubuhnya. Kain itu sudah robek-robek dan hanya tinggal sedikit yang menempel di tubuhnya, tidak cukup untuk menyembunyikan tubuhnya yang berkulit putih kuning mulus menggairahkan. Namun, gadis yang jelas kalah jauh tenaganya itu, yang tidak berdaya, berusaha mempertahankan diri, meronta dan mencakar.

   Ketika mendengar daun pintu roboh, pria tinggi besar itu cepat membalik. Dia sendiri sudah menanggalkan pakaian luar, tinggal sebuah celana hitam sebatas lutut saja. Dadanya berbulu dan kekar, tanda bahwa dia memiliki tenaga yang besar.

   "Jahanam. Siapa kau berani menggangguku?"

   Bentaknya dan dia mendorong gadis itu ke atas pembaringan di mana gadis itu terbanting dan merintih-rintih ketakutan, berusaha menutupi ketelanjangannya secepat mungkin dengan kain-kain yang sudah compang-camping.

   "Manusia busuk"

   Hok Yan hanya memaki dengan marah.

   Pria itu adalah seorang perwira Daha yang jagoan. Namanya Tonggeng Cemeng dan dia terkenal sebagai seorang perwira yang galak, juga sebagai seorang jagoan yang kejam dan jarang ada yang mampu menandingi kekuatan tubuhnya yang dahsyat. Akan tetapi dia memiliki kelemahan, yaitu mudah sekal tergila-gila wanita cantik dan kalau sudah melihat seorang wanita yang menarik hatinya dia lupa diri. Dia tidak perduli lagi apakah wanita itu isteri orang atau anak perawan orang, tidak perduli di mana saja dan kapan saja, dia harus dapat menggauli wanita itu, baik dengan suka rela atau kalau perlu dia tidak segan untuk memperkosanya. Tonggeng Cemeng bertemu dengan pasukan yang baru saja dihajar oleh Wulansari dan Hok Yan. Dia menjadi marah dan dia mengerahkan pasukannya yang berjumlah limapuluh orang lebih untuk mencari Wulansari dan Dyah Gayatri. Ketika tidak berhasil menemukan dua orang wanita itu dan pemuda asing di hutan, dia membawa pasukannya memasuki dusun Kalasan dan di sini dia menyiksa penduduk untuk mengaku di mana adanya Wulansari dan Dyah Gayatri.

   Para penduduk dusun yang ketakutan, biarpun mereka masih setia kepada Singosari, namun karena. disiksa dan dipaksa, mereka menceritakan bahwa dua orang yang dicari itu, kalau benar memang mereka, berada di rumah seorang janda tua. Rumah janda tua ini diserbu, dan janda itu disiksa sampai mati ketika dua orang buruan itu tidak ditemukan, bahkan rumah itu lalu dibakar. Dan mulailah para perajurit mencari dan memasuki semua rumah, menggeledah dan seperti biasa, perajurit-perajurit yang dipimpin oleh perwira yang jahat, maka tentu saja mereka mencontoh sikap pemimpin mereka. Terjadilah pemukulan, siksaan, perkosaan dan perampasan barang berharga. Tonggeng Cemeng sendiri memasuki rumah lurah dusun itu dan ketika dia menemukan seorang gadis yang amat manis, yaitu Sumirah puteri kepala dusun Kalasan, dia segera menangkapnya. Dia merasa tertarik sekali dan timbul birahinya melihat gadis manis berusia delapanbelas tahun itu.

   Diseretnya gadis itu, lalu dipondongnya masuk kamar. Tentu saja lurah dan isterinya berusaha untuk mencegah dan menolong puteri mereka, akan tetapi mereka roboh oleh bacokan pedang, kemudian Jumlah dipondong masuk kamar. Gadis itu meronta dan berhasil menjerit-jerit sebelum mulutnya dibungkam. Jeritan inilah yang menarik datangnya Hok Yan ke dalam kamar itu.

   Melihat munculnya seorang pemuda berkulit kuning bermata sipit, seorang pemuda asing di kamar itu, membuat keinginannya gagal, padahal gadis itu sudah hampir menyerah, tentu saja Tonggeng Cemeng menjadi marah bukan main. Pemuda asing itu tidak memegang senjata, maka diapun memandang rendah dan sekali mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang marah, dia sudah menubruk ke depan, kedua lengan yang panjang besar penuh otot melingkar-lingkar itu mencengkeram dari kanan kiri. Saking marahnya, dia ingin menangkap pemuda asing itu untuk dipatah-patahkan seluruh tulangnya, dan kepalanya dibanting hancur ke lantai.

   "Wuuuuttt......."

   Serangannya yang kuat dan cepat itu ternyata tidak mengenai sasaran, dan kedua tangannya hanya menangkap angin.

   Tonggeng Cemeng menjadi semakin marah. Pemuda asing itu ternyata mampu menghindarkan serangannya tadi dengan tenang melangkah mundur dua langkah. Diapun menerjang lagi, kini lebih hebat, dengan kedua tangan menyambar dengan cengkeraman tangan kiri yang membayangi tonjokan kepalan kanannya ke arah muka Hok Yan.

   Melihat gerakan itu, maklumlah Hok Yan bahwa si kasar ini hanya memiliki tenaga raksasa saja di samping kecepatannya, namun tidak memiliki dasar ilmu silat yang tinggi.

   Karena kedua lengan lawan itu terangkat ke atas, diapun menyambut dengan terjangan ke depan, dengan kecepatan kilat kedua tangannya mendahului sehingga ketika kedua lengan lawan turun untuk menyerangnya, jari-jari tangannya telah lebih dulu menyambut dan mengenai lengan dekat siku.

   "Tukkkk "

   Tonggeng Cemeng mengeluarkan gerengan aneh dan kedua lengannya terasa lumpuh seketika. Dia terbelalak, dan menggerak-gerakkan kedua lengan sampai akibat totokan jari tangan Hok Yan tadi lenyap. Untung baginya bahwa Hok Yan tidak menyerangnya selagi dia lumpuh selama beberapa puluh detik itu. Kini, Tonggeng Cemeng tidak mampu lagi menahan kemarahannya yang memuncak. Dia menyambar tombaknya yang tadi diletakkan di atas meja bersama pedangnva ketika dia hendak memperkosa Sumirah dan dengan tombak di tangan, dia menyerang. Tombak itu meluncur dengan cepatnya ke arah perut Hok Yan.

   Ketika pemuda yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari Siauw-lim-pai ini mengelak dengan cekatan ke arah kiri, tombak yang meluncur lewat itu sudah ditarik kembali dan kini tombak meluncur ke arah lehernya.

   "Hemm......."

   Hok Yan kembali mengelak dan miringkan tubuhnya. Kiranya di muka burik brewok itu pandai juga memainkan tombak pikirnya. Begitu tombak lewat di samping pundaknya, kedua tangannya diputar dan kedua tangan yang jarinya terbuka, bagaikan dua batang golok, dimiringkan menghantam ke arah tombak itu.

   "Krekkk"

   Gagang tombak itu patah dan kembali mata Tonggeng Cemeng terbelalak. Barulah dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh. Disambarnya pedang yang berada di atas meja dan kini dia menyerang dengan pedangnya.

   Karena marah, gerakan Tonggeng Cemeng membabi-buta dan pedangnya diputar cepat, mengeluarkan suara berdesing dan gulungan sinar pedang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Hok Yan.

   Pemuda ini cepat mengelak ke sana-sini. Dia tahu betapa besar bahayanya seorang lawan yang sudah nekat dan marah seperti itu. Gerakan seorang yang sedang marah sukar diduga, kacau balau akan tetapi justeru malah berbahaya sekali karena tidak menurut ilmu silat yang semestinya sehingga gerakannya sukar diduga perkembangannya. Namun, dia berhati-hati sekali dan hanya mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatannya untuk selalu menghindar.

   Sementara itu, Sumirah yang mendekam di atas pembaringannya, pucat ketakutan dan seluruh tubuhnya menggigil. Untuk menutupi ketelanjangannya, ia meraih sehelai kain miliknya yang tergantung di tepi pembaringan dan merasa lega bahwa dirinya kini telah tertutup kembali, walaupun hanya dengan sehelai kain. Ia memandang ke arah perkelahian itu dan diam-diam tentu saja ia mengharapkan kemenangan bagi pemuda asing yang telah menyelamatkannya dari malapetaka tadi.

   Dengan penuh nafsu membunuh, Tonggeng Cemeng mendesak terus lawan yang sejak tadi hanya mengelak itu. Karena lawan tidak pernah dapat membalas dan selalu mengelak mundur, maka Tonggeng. Cemeng beranggapan bahwa lawannya jerih terhadap pedangnya. Hal ini membuat dia semakin buas. Ingin dia segera membunuh lawan ini agar dia dapat melanjutkan keasyikan yang tadi terganggu. Alangkah akan senangnya kalau sampai gangguan ini dapat dihalau dan dia dapat memetik upahnya.

   "Mampuslah"

   Bentaknya dan pedangnya membacok dari atas ke bawah. Karena di belakangnya terdapat meja, Hok Yan tidak dapat mundur lagi dan tubuhnya cepat menyelinap ke samping.

   "Wuuuttt, crokkl"

   Meja itupun pecah menjadi dua potong ketika terbabat pedang.

   Melihat meja roboh, Hok Yan menyambar sepotong kaki meja yang patah. Hanya sebatang kayu yang panjangnya tidak lebih dari satu meter, namun lumayan untuk dijadikan senjata menghadapi pedang yang digerakkan dengan membabi-buta itu. Tonggeng Cemeng kembali mengeluarkan bentakan dan menyerang dengan bacokan ke arah kepala lawan.

   Hok Yan menggeser tubuh ke samping dan menyodorkan sepotong kayu kaki meja itu.

   "Crokkk "

   Sepotong kayu itu terbabat dan karena Hok Yan sengaja menyodorkan dari samping menyerong, maka kini di tangannya tinggal sepotong kayu yang panjangnya lima puluh senti dan ujungnya yang terpotong pedang itu runcing seperti mata tombak. Sebelum Tonggeng Cemeng tahu apa yang terjadi, tiba tiba saja "tombak"

   Pendek itu sudah meluncur dan mengenai dadanya.

   "Cepppp "

   Tonggeng Cemeng terbelalak, pedang di tangannya terlepas dan dia merasa betapa dadanya nyeri dan perih sekali. Dia menunduk dan melihat betapa dadanya telah ditembusi sepotong kayu kaki meja. Dia mengeluarkan gerengan hendak menubruk ke depan, akan tetapi kakinya terkulai dan diapun roboh terjengkang.

   Melihat gadis itu menegigil di atas pembaringan, Lie Hok Yan cepat menghampiri dan menjulurkan tanganya.

   "Marilah, nona. Turunlah dan tolong orang tuamu.............."

   Tadinya Sumirah masih ketakutan walaupun melihat raksasa hitam itu roboh. Ia tidak tahu siapa penolongnya dan pamrih apa yang tersembunyi di balik pertolongan itu. Jangan-jangan penolongnya mempunvai niat busuk yang sama, maka ketika penolong itu mendekati pembaringan dan menjulurkan tangan, tentu saja ia ketakutan. Akan tetapi, ketika mendengar ucapan Hok Yan dengan suara yang aneh dan kaku akan tetapi cukup dapat dimengertinya itu, ia merasa terkejut dan gelisah,

   "Ayah..."

   Ibu...... mereka........ kenapa dan di mana........

   "

   "Marilah, nona. Turunlah. Mereka terluka di depan....."

   Mendengar ini, Sumirah tanpa ragu-ragu lagi lalu memegang tangan Hok Yan yang membantu turun dan sambil mengikatkan ujung kainnya di atas dada. Sumirah lalu melangkahi tubuh Tonggeng Cemeng yang menghalang di depan, lalu berlari keluar.

   'Ayah, Ibu......."

   Gadis itu menubruk dan menangisi mereka.

   Ayahnya sudah bangkit duduk. Lukanya hanya di pundak, cukup parah akan tetapi tidak berbahaya. Ibu Sumirah terluka pada pahanya dan dengan bantuan Sumirah mereka lalu membalut luka masing-masing, kemudian dengan singkat Sumirah menceritakan betapa raksasa jahat tadi telah dirobohkan oleh pemuda asing dan mungkin sekarang telah tewas di kamarnya.

   Ia bergidik ketika ayah dan ibunya mengajak ia menjenguk ke dalam kamarnya, Dan memang benar. Tonggeng Cemeng telah tewas dengan dada terpanggang kayu kaki meja. Matanya masih mendelik menyeramkan.

   "Cepat, kita harus mengumpulkan semua barang berharga yang dapat kita bawa. Kita harus melarikan diri dari tempat ini"

   Kata Ki Sardu, kepala dusun Kalasan itu.

   "Akan tetapi, kita lari ke mana?"

   Tanya isterinya.

   "Dengar, di luar masih ramai orang mengamuk"

   "Kalian bersembunyi di kamar besar, biar aku melihat keadaan di luar"

   Kata Ki Sardu.

   Ketika dia berindap keluar, dia melihat perkelahian yang amat hebat. Dua orang muda dikeroyok oleh puluban orang perajurit Daha dan dia terbelalak kagum. Dua orang muda itu adalah pemuda yang dikenalnya sebagai Bambang Wulandoro, yang dicari-cari oleh para, perajurit Daha, dan yang seorang lagi adalah seorang pemuda asing yang tadi telah menyelamatkan anaknya. Dan dua orang muda itu mengamuk seperti banteng terluka. Sudah banyak perajurit Daha yang roboh terluka atau tewas. Sepak terjang pemuda yang dikenalnya sebagai Bambang Wulandoro itu menggiriskan. Dengan hanya sebatang keris kecil melengkung kuning emas, pemuda tampan itu mengamuk. Dan setiap kali ia menerjang, banyak pengeroyoknya mundur dan gentar.

   Juga pemuda asing berpakaian biru itu mengamuk dengan sebatang pedang rampasan di tangannya, Gerakan pemuda asing ini cepat bukan main, seperti seekor burung walet beterbangan menyambar-nyambar ke sana-sini.

   Tiba-tiba terdengar darap kaki kuda dan ada dua belas orang berkuda tiba di tempat itu. Mereka berloncatan turun dan segera terjun ke dalam pertempuran. Mereka itu adalah beberapa orang perwira Daha bersama para perajurit pengikut mereka. Dan begitu mereka terjun ke dalam pertempuran, Wulansari terkejut mengenai bahwa dua orang diantara mereka adalah senopati-senopati Daha yang terkena. Yaitu Baru Kuntul dan Banggo Ijo. juga dua orang senopati ini segera mengenalnya walaupun ia menyamar sebagai pria.

   Akan tetapi, munculnya dua orang senopati Daha ini masih belum begitu mengejutkan hati Wulansari seperti ketika ia melihat pula orang ketiga yang tak disangkanya muncul pula di situ. Dia seorang pria yang usianya enampuluh tahun, berubuh tinggi kurus, rambutnya riap-riapan dan sudah bercampur banyak uban, pakaiannya serba hitam dengan sabuk sutera putih.

   Ketika ia menjadi panglima pengawal di istana Daha, pernah satu kali ia melihat pria ini dibawa mengbadap Sang Prabu Jayakatwang dan diterima penghambaan dirinya. Nama orang ini Ki Sardulo, seorang tokoh besar dari Banyuwangi Kakek inilah yang segera melangkah lebar menghadapi Wulansari dan berteriak agar para perajurit yang mengeroyok gadis perkasa ini mundur. Kemudian sambil mengelus kumisnya yang seperti kumis tikus, parang dan tipis panjang, dia menyeringai, lalu ketika dia bicara, terdengar suaranya mendesis seperti suara ular atau seperti suara orang sakit gigi.

   "Hemm....... ssssshh, kau yang bernama ......... ssssshh, Wulansari pengawal pribadi istana Daha yang melarikan diri? Ha, lebih baik kau menyerah ....... sayang wajahmu yang jelita itu kalau sampai terluka, sayang tubuhmu yang denok kalau sampai rusak........ ssss, menyerahlah kepadaku, hemmmm....... kubawa menghadap Sang Prabu di Daha"

   

Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini