Ceritasilat Novel Online

Pecut Sakti Bajrakirana 6


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Iring-iringan pengantin itu menarik perhatian orang, terutama anak-anak banyak yang mengikutinya ketika melewati dusun itu. Rombongan itu adalah rombongan pengantin wanita yang sedang diboyong ke tempat tinggal calon suaminya. Di depan rombongan berjalan lima orang laki-laki tinggi besar dan gagah sekali dengan golok tergantung di pinggang. Mereka adalah pengawal-pengawal yang menjaga keselamatan rombongan yang terdiri dari dua puluh orang lebih itu. Serombongan penabuh gamelan berjalan di belakang sambil menabuh gamelan sehingga iring-iringan itu berjalan meriah. Selebihnya adalah sanak keluarga pengantin wanita dan para penjemput yang diutus pengantin pria untuk menjemput dan memboyong pengantin wanita. Kalau ada pengantin wanita dari dusun diboyong orang, hal itu berarti bahwa pengantin prianya tentu seorang bangsawan atau hartawan.

   Pengantin wanitanya duduk di dalam sebuah joli yang dipikul empat orang. Biarpun ada suara gamelan, akan tetapi lapat-lapat terdengar tangis sedih keluar dari dalam tandu (Joli). Hal inipun bukan suara aneh karena sebagian besar pengantin wanita menangis pada saat diboyong, menangis karena harus meninggalkan ayah bundanya, menangis karena gelisah menghadapi kehidupan baru yang tidak dikenal sebelumnya, atau menangis karena ini merupakan suatu kepantasan. Bahkan menjadi pergujingan orang kalau pengantin wanita tidak menangis! Karena itulah, suara tangis itu tidak diperhatikan orang.

   Ketika rombongan keluar dari dusun, berpapasan dengan seorang dara yang bepakaian ringkas dan yang membawa pedang di punggungnya. Dara yang cantik jelita, bermata tajam dan mulutnya berbibir menggairahkan. Ia adalah Retno Susilo yang baru saja meninggalkan tempat pertapaan gurunya, Nyi Rukmo Petak, setelah ia memperdalam ilmunya. Selama seratus hari ia melatih diri dengan dan ilmu baru yang merupakan, ilmu simpanan gurunya, yaitu Aji Gelap Sewu dan Aji Wiso Sarpo yang mengandung hawa beracun. Setelah menguasai dua macam ilmu baru ini ia lalu meninggalkan gurunya, akan tetapi ia mendapatkan sebuah tugas.

   "Retno, sekali ini aku minta balas jasa darimu. Sudah banyak aku mengajarkan ilmu dan sekarang aku minta agar engkau membantuku membalaskan sakit hatiku kepada seseorang. Dengan kepandaianmu yang sekarang, aku percaya engkau akan mampu membunuh orang yang amat kubenci itu."

   Retno Susilo mengerutkan alisnya. Sungguh tugas yang amat berat. Membunuh seseorang! "Mengapa orang itu harus dibunuh Nyi Dewi? Dan siapakah dia?"

   "Tidak perlu engkau tahu mengapa aku ingin agar engkau membunuhnya. Namanya Harjodento dan dia, adalah ketua dari perguruan silat Nogo Dento yang berpusat di Lembah Bengawan Solo di daerah Ngawi. Kalau engkau dapat, sekalian bunuh isterinya yang bernama Padmosari. Atau kalau tidak dapat kedua-keduanya, bunuh seorang di antara mereka sudah cukuplah bagiku. Inilah tugas yang kuberikan kepadamu, Retno dan harus kau lakukan demi untuk membalas budi yang selama ini kulimpahkan kepadamu."

   Berat sekali rasa hati Retno Susilo menerima tugas ini. Ia harus membunuh orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya, bahkan tidak diketahui mengapa ia harus membunuh mereka, apa dosa mereka. Permusuhan gurunya dengan merekapun tidak ia ketahui. Akan tetapi karena gurunya menyebut-nyebut tentang tadi, Iapun tidak kuasa untuk membantah atau menolak.

   "Baik, Nyi, Dewi, akan kulaksanakan tugas itu."

   "Akan tetapi berhati-hatilah! Dia memiliki banyak murid dan anak buah. Biarpun demikian, dia seorang yang gagah dan kalau engkau menantangnya untuk bertanding satu lawan satu, dia pasti tidak akan mau melakukan pengeroyokan."

   Demikianlah, Retno Susilo meninggalkan gurunya dan pada hari itu, ia berpapasan dengan rombongan pengantin wanita yang sedang diboyong menuju ke rumah calon suaminya di dusun lain. Kalau orang-orang lain mendengar tangis pengantin wanita menganggapnya sebagai hal biasa saja. Retno Susilo mengerutkan alisnya ketika mendengar tangis itu. Ia dapat menangkap kesedihan dan ketakutan yang mendalam terkandung dalam tangis itu dan hatinya tertarik sekali. Di sana ada seorang wanita yang berada dalam kegelisahan dan kedukaan, yang membutuhkan uluran tangan untuk menolongnya. Ia tidak mungkin tinggal diam saja! Maka, setelah rombongan itu lewat, Retno Susilo lalu berbalik dan cepat ia mengejar, lalu mendahului rombongan itu dan setelah tiba di depan, ia membalikkan tubuh dan menghadang di tengah jalan.

   "Berhenti!"

   Serunya kepada lima orang pengawal yang bersenjata golok dan tampak seram menakutkan itu. Tentu saja lima orang pengawal dan semua anggauta rombongan itu memandang dengan heran dan segera terdengar decak-decak kekaguman di antara para anggauta rombongan pria setelah melihat dara yang menghentikan mereka itu. Kecantikkan luar biasa yang jarang mereka lihat. Bagaimana mereka berlima dapat bersikap galak terhadap seorang dara yang demikian ayu? Mereka terdiri dari pria yang berusia antara tiga puluh dan empat puluh tahun dan seorang di antara mereka yang berkumis melintang dan menjadi pemimpin diantara mereka, segera melangkah maju. Sambil memasang aksi tersenyum segaya mungkin, diapun berkata sambil melahap wajah ayu itu dengan pandang matanya.

   "Nimas ayu, siapakah andika dan mengapa pula andika menghentikan perjalanan kami?"

   Pertanyaan itu terdengar lembut dan sama sekali tidak galak! Karena orang bersikap lunak dan ramah, Retno Susilo menjadi tidak enak hati juga. Iapun tersenyum. Hanya sedetik, akan tetapi cukup membuat jantung hati si kumis melintang itu jungkir balik!

   "Siapa adanya aku tidaklah penting dan aku sengaja menghentikan rombongan ini karena ingin bicara dengan mempelai wanita yang berada di di dalam joli."

   Setelah berkata demikian, ia menyusup ke dalam rombongan itu menghampiri joli yang dipikul empat orang itu.

   "Turunkan joli ini!"

   Kata Retno Susilo kepada empat orang itu. Karena terpesona oleh kecantikan dara itu, empat orang pemikul joli juga tidak mampu menolak permintaan itu dan mereka, lalu perlahan-lahan menurunkan joli di mana terdapat pengantin wanita yang masih menangis. Kini tangisnya makin jelas terdengar karena para penabuh gamelan menghentikan tabuhan mereka dan semua orang memandang kepada Retno Susilo yang membuka tirai joli.

   Retno Susilo melihat seorang gadis remaja duduk di dalam joli dan ketika tirai dibuka, gadis itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Air matanya bercucuran menuruni kedua pipinya. Gadis itu masih amat muda, paling banyak lima belas tahun usianya, berdandan seperti seorang pengantin. Cadar yang menutupi mukanya telah ia singkapkan dan wajah yang manis itu tampak ketakutan dan berduka sekali. Ia memandang Retno Susilo dengan Sepasang mata merah dan ketakutan seperti mata seekor kelinci yang ditangkap.

   "Jangan takut, adik yang manis. Engkau menjadi pengantin, mengapa menangis di sepanjang Jalan? Mengapa engkau tidak bergembira seperti kebiasaan pengantin lain. dan menangis sedih?"

   Ditanya demikian, gadis remaja yang masih kekanak-kanakan itu makin mengguguk dalam tangisnya dan ia tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Retno Susilo memegang pundaknya dan menghibur.

   "Jangan takut, katakanlah saja kalau engkau tidak suka menjadi pengantin. Aku akan menolongmu."

   "Saya...... saya dipaksa ..... saya tidak suka."

   Akhirnya gadis itu berkata.

   "Siapa yang memaksamu? Orang tuamu?"

   Gadis itu menggeleng kepala dan menahan isaknya sehingga pundaknya bergoyang-goyang.

   "Tidak, ayah dan ibu malah dipaksa dan mereka ketakutan."

   "Tenanglah, adik yang manis Ceritakan yang jelas, siapa namamu dan mengapa engkau dipaksa menikah? Siapa yang memaksamu?"

   Pada saat itu, lima orang tukang pukul sudah mendekati Retno Susilo. Si kumis melintang mengerutkan alis dan merasa tak senang juga melihat kelancangan Retno Susilo yang bertanya-tanya kepada mempelai wanita. Mereka adalah pengawal-pengawal yang dikirim oleh mempelai pria untuk menjemput mempelai wanita dan keamanan di perjalanan merupakan tanggung jawab mereka.

   "Heii, nimas ayu, apa yang kaulakukan ini!"

   Bentaknya sambil mendekati Retno Susilo.

   "Engkau tidak boleh membuka tirai joli dan mengajak mempelai wanita bercakap-cakap!"

   Retno Susilo memutar tubuh dan menghadapinya.

   "Hemm, siapa yang tidak memperbolehkan?"

   "Kami berlima bertugas menjadi pengawal dan menjaga keamanan, kami yang melarang!"

   Kata si kumis melintang garang.

   Retno Susilo mengedipkan kepalanya dan membusungkan dadanya.

   "Kalau aku tetap mengajaknya bicara kalian mau apa? Ia dipaksa menikah, dan aku malah akan membebaskannya, memulangkannya ke desanya dan siapapun juga tidak boleh memaksanya menikah!"

   Lima orang pengawal itu terkejut mendengar ini dan biarpun yang bicara itu adalah seorang dara yang sangat cantik, tetap saja mereka menjadi marah sekali.

   "Bocah perempuan lancang! Berani andika mengacau dan menentang kami?"

   "Mengapa tidak berani? Ditambah seratus orang lagi macam kalian, aku tidak akan undur selangkahpun!"

   "Babo-babo, bocah kurang ajar, andika tidak takut dihajar! Kawan-kawan, kita tangkap dia!"

   Perintah si kumis melintang dan dia sendiri mendahului kawan-kawannya untuk menubruk ke arah Retno Susilo sambil mengembangkan kedua lengan untuk menangkap dara jelita itu. Empat orang kawannya juga cepat bergerak dan seperti berebut hendak berlumba untuk menangkap dan merangkul dara yang menggemaskan namun juga menarik hati itu.

   "Bressss.......!"

   Lima orang itu saling bertubrukan karena ketika mereka menubruk ke arah satu sasaran, sasaran iiu tiba tiba seperti menghilang, demikian cepatnya Retno Susilo bergerak menghindar sehingga mereka saling bertubrukan. Ketika mereka memutar tubuh sambil menggosok-gosok bagian muka yang berbenturan, mereka melihat Retno Susilo sudah berdiri sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada sambil tersenyum memandang mereka. Lima orang itu menjadi penasaran dan mereka berlumba lagi untuk meraih tubuh dara itu, ada yang menyambar lengan, ada yang menangkap pundak dan ada yang menubruk seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor domba gemuk.

   Akan tetapi yang disergap sudah melompat ke atas dan ketika tiba di atas tubuh Retno Susilo berjungkir balik. Lima orang itu menengadah dan saat itu, kedua tangan dara perkasa itu bergerak cepat sekali, membagi tamparan kepada wajah-wajah yang menengadah itu.

   "Plak-plak-plak-plak-plak!"

   Lima orang itu masing-masing terkena tamparan pada muka mereka, hanya sekali saja setiap orang akan tetapi yang sekali itu sudah cukup untuk membuat mereka terpelanting roboh dan ketika mereka merangkak bangun, pipi mereka bengkak!

   Bukan main marahnya lima orang pengawal itu. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah terkenal di daerah itu. selama bertahun-tahun tidak ada orang berani menentang mereka, dan kalau ada yang berani, tentu akan mereka hajar babak belur. Akan tetapi sekali ini mereka ditampari sampai terpelanting jatuh oleh seorang dara di depan banyak orang lagi. Sungguh suatu peristiwa yang membuat mereka merasa malu dan terhina, sekaligus menghancurkan nama mereka sebagai jagoan-jagoan yang ditakuti orang-orang. Tanpa dikomando, lima orang itu sudah mencabut golok masing-masing. Retno susilo tidak tampak sebagai seorang gadis ayu yang memikat hati lagi, melainkan tampak sebagai seorang musuh yang harus dibunuh!

   "Bocah keparat!"

   Si kumis melintang memaki dan bersama empat orang kawannya dia mengepung Retno Susilo, kemudian mereka menyerang dengan golok mereka. Semua orang yang menonton merasa ngeri karena mereka membayangkan betapa tubuh gadis cantik jelita yang mulus itu akan menjadi korban bacokan lima batang golok yang berkilauan saking tajamnya itu.

   Akan tetapi Retno Susilo sudah siap siaga. Ia mengelak mempergunakan kecepatan gerakannya. Bagaikan seekor burung sikatan saja tubuhnya berkelebatan di antara sinar lima batang golok dan kedua tangannya seperti ular mematuk. Untuk kecepatan gerakan tubuhnya ia mengerahkan Aji Kluwung Sakti, dan tangannya diisi Aji Gelap Sewu ketika membagi-bagi pukulan.

   "Des-des-des-des-dess!"

   Lima kali tangannya menyambar dengan Aji Gelap Sewu, akan tetapi tentu saja ia membatasi tenaganya karena tidak ingin membunuh orang. Akan tetapi pukulan itu sungguh hebat. Lima orang itu sempoyongan seperti orang mabuk sebelum mereka terkulai dan roboh seperti sehelai kain basah dengan mati menjadi juling dan bumi rasanya terputar-putar!

   "Bagaimana? Apakah kalian masih ingin melarangku?"

   Retno Susilo bertanya kepada si kumis melintang.

   "Ampuh..... tobat.....kami menyerah kepada raden ajeng....."

   Si kumis melintang berkata terengah-engah dan menyembah-nyembah, diikuti empat orang temannya. Mereka benar-benar sudah takluk karena maklum bahwa dara itu adalah seorang yang sakti mandraguna. Baru tangannya saja sudah seampuh itu, apa lagi kalau gadis itu mencabut pedang yang tergantung di punggungnya! Retno Susilo menghampiri joli di mana gadis cilik ini bersembunyi dengan wajah ketakutan.

   "Jangan takut. Keluarlah engkau, adik kecil,"

   Setelah menuntun gadis remaja itu keluar dari joli, ia lalu memandang ke sekeliling, ke arah rombongan orang-orang yang mengantar pengantin.

   "Siapa di antara kalian yang menjadi keluarga pengantin wanita ini?"

   Seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan menjawab.

   "Saya adalah pamannya, den ajeng."

   "Bagus, sekarang aku serahkan adik ini kepadamu. Engkau harus membawanya pulang ke dusunnya dan menyerahkannya kembali kepada orang tuanya."

   Laki-laki itu menjadi pucat dan tubuhnya gemetar.

   "Ampun, den ajeng. Akan tetapi saya.... saya tidak berani..... saya tentu akan dibunuh Raden Prabowo....."

   "Hemm, siapa Raden Prabowo itu?"

   "Dia pengantin pria yang memboyong Sartumi

   "Jangan takut. Aku akan menggantikan menjadi pengantin wanita. Bawalah dia pulang dan kalau ada apa apa, akulah yang menanggung! Sartumi namamu, adik? Lepaskan hiasan kepalamu berikut cadar itu, akan kupakai!"

   Retno susilo membantu pengantin wanita itu melepaskan hiasan kepala dan kemudian menyuruh ia cepat pergi bersama pamannya untuk kembali pulang ke rumah orang tuanya. Setelah itu Retno Susilo memasuki joli, memasang hiasan kepala berikut cadarnya dan berkata kepada empat orang pemikul.

   "Hayo cepat pikul aku dan semua rombongan bergerak menuju ke rumah Raden Prabowo! Bunyikan gamelan dan kalian lima orang pengawal, berjalanlah seperti biasa di sebelah depan. Jangan takut, aku seoranglah yang akan bertanggung jawab atas semua peristiwa ini!"

   Lima orang pengawal yang sudah kehilangan nyali itu sambil menundukkan kepala berjalan di depan dan rombongan itupun bergerak maju melanjutkan perjalanan. Gamelanpun ditabuh dan tampaknya seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Tentu saja di dalam hati, semua anggauta rombongan merasa tegang dan jantung mereka berdebar gelisah karena mereka tahu tentu akan terjadi hal-hal hebat setelah mereka tiba di rumah Raden Prabowo! Sementara itu Sartumi gadis remaja yang dipaksa menjadi pengantin itu, telah dibawa pergi pamannya pulang ke rumah orang tuanya.

   Raden Prabowo adalah seorang laki-laki hartawan yang tinggal di dusun Sintren. Dia amat terkenal, ditakuti dan disegani orang sedusun, bahkan oleh para penghuni dusun-dusun di sekitarnya karena dia kaya raya dan karena dia adik dari kepala dusun Sintren, mempunyai banyak tukang pukul, dan suka "menolong"

   Penduduk dusun-dusun itu dengan uang pinjaman yang disertai bunga tinggi. Tidak ada orang yang berani menentangnya. Dia minta disebut "raden"

   Walaupun dia sama sekali tidak mempunyai keturunan darah bangsawan. Raden Prabowo adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus dengan muka kemerahan, berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dia sudah beristeri dan bahkan memiliki selir sebanyak empat orang. Namun dia masih selalu haus akan wanita muda dan seringkali dia mengganggu para wanita cantik di dusun-dusun itu, baik yang masih perawan maupun yang sudah menjadi isteri orang. Dan wanita maupun yang ditaksirnya, harus didapatkannya, baik secara halus maupun kasar. Karena itulah, banyak keluarga yang mempunyai anggauta keluarga wanita cantik, pergi mengungsi dan pindah ke lain dusun. Akan tetapi kebanyakan dari mereka menyerah kepada nasib, bahkan ada yang senang kalau anak perempuannya dikehendaki Raden Prabowo karena dengan demikian maka mudah bagi mereka untuk mendapatkan uang dari hartawan itu.

   Sartumi, gadis remaja dusun Sintren itupun menarik perhatian Raden Prabowo dan dia menghendaki agar gadis yang baru berusia Lima belas tahun itu menjadi selirnya yang nomer lima! Dengan jalan mengancam dan sekaligus membujuk dengan banyak uang kepada orang tua Sartumi, akhirnya dia berhasil mendapatkan gadis itu dan pada hari itu, dia merayakan pernikahannya dengan Sartumi. Dia mengutus lima orang di antara para jagoannya untuk pergi ke dusun tempat tinggal Sartumi dan memboyong gadis itu ke rumahnya di mana dia telah menanti sebagai seorang pengantin pria dan di situ telah berkumpul pula banyak tamu. Gamelan telah dibunyikan sejak pagi tadi.

   "Pengantin datang! Pengantin datang! Anak-anak berteriak-teriak dengan gembira dan mereka berlari-larian menyambut iring-iringan pengantin yang datang menuju ke rumah besar yang sudah dirias dengan meriah itu.

   Semua orang menyambut kedatangan rombongan itu dengan pandang mata mereka. Mereka melihat dengan jelas betapa semua anggauta rombongan itu tampak seperti orang bingung dan tegang, bahkan lima orang pengawal yang biasanya tampak gagah itu kini kelihatan seperti orang-orang yang ketakutan. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang dapat menduga apa yang telah terjadi. Para anggauta rombongan berhenti dipendopo, dan atas isarat dari orang yang menyambut dan mengatur rombongan, empat orang pemikul joli disuruh masuk dah terus memikul joli itu membawanya ke ruangan tengah. Ruangan ini letaknya sangat tinggi sehingga tampak jelas oleh para tamu yang telah duduk di seputar ruangan yang disediakan untuk pertemuan dua orang pengantin itu.

   Pengantin pria muncul, dengan berpakaian serba indah Raden Prabowo yang bertubuh tinggi kurus dan berwajah cukup tampan itu sambil tersenyum lebar melangkah maju menyambut joli itu. Empat orang pemikul joli segera menurunkan joli itu di tengah ruangan dan. disaksikan oleh ratusan pasang mata para tamu Raden Prabowo menghampiri joli dan menyingkap tirai joli. Joli kini terbuka dan semua orang melihat pengantin wanita yang duduk di dalam joli dengan muka tertutup cadar dan hiasan kepala.

   Sambil tersenyum gembira Raden Prabowo mengulurkan tangan untuk membantu pengantin wanita keluar dari joli. Akan tetapi pengantin wanita tidak menerima uluran tangan itu dan melangkah sendiri keluar dari joli. Setelah pengantin wanita berdiri di luar joli, baru terasalah oleh Raden Prabowo kelainan yang ada pada diri pengantin wanita, Wanita ini bukan Sartumi! Tubuhnya lebih tinggi dan lebih langsing, lebih matang dari pada tubuh Sartumi yang masih remaja!

   "Eh, andika bukan Sartumi.....!"

   Kata Raden Prabowo sambil melangkah maju dan tanganaya menyambar cadar untuk dibukanya. Akan tetapi Retno Susilo mundur melangkah dan sambaran tangan pada cadar itu luput. Dengan perlahan Retno Susilo membuka sendiri cadar yang menutupi mukanya sehingga kini wajahnya tampak jelas.

   Raden Prabowo terbelalak sebentar, akan tetapi kemudian sepasang matanya mengeluarkan sinar berseri gembira karena dia melihat bahwa wanita ini jauh lebih cantik jelita daripada Sartumi!

   "Andika ...... bukan Sartumi.... akan tetapi tidak mengapa......aku senang menerima andika sebagai selirku yang ke lima......!"

   Hatinya senang sekali walaupun dia terheran-heran.

   "Siapa nama andika dan dari mana andika datang, diajeng?"

   Retno Susilo melepaskan hiasan kepalanya dan membantingnya ke atas lantai sehingga benda itu hancur berantakan. Kini tampaklah Retno Susilo yang aseli, dengan rambutnya yang hitam panjang, matanya yang bersinar tajam seperti bintang kejora dan mulutnya yang tersenyum manis penuh daya tarik. Akan tetapi tampak pula pedang yang tergantung di punggungnya, yang mendatangkan kesan gagah perkasa. Semua tamu memandang kepadanya dengan terheran-heran akan tetapi juga terkagum-kagum oleh kecantikannya. Retno Susilo menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Raden Prabowo dan terdengar suaranya lantang.

   "Apakah engkau yang bernama Raden Prabowo?"

   Semua orang terkejut dan heran mendengar "pengantin wanita"

   Yang tampak marah itu membanting hiasan kepala lalu bertanya seperti itu kepada pengantin pria. Sementara itu lima orang pengawal tadi sudah berbisik-bisik kepada para jagoan pengikut Raden Prabowo yang jumlahnya ada belasan orang. Para jagoan itu terkejut mendengar laporan lima orang kawannya tentang Retno Susilo yang kini menyamar sebagai pengantin wanita. Mendengar bahwa wanita itu telah membebaskan Sartumi dan telah memukul roboh lima orang pengawal, mereka menjadi marah dan kini belasan orang tukang pukul itu sudah mendekat dan mengepung Retno Susilo untuk melindungi Raden Prabowo.

   Raden Prabowo yang masih kegirangan dan merasa gembira mendapatkan seorang dara yang demikian cantik jelita seperti bidadari, masih dapat tersenyum dan memasang gaya.

   "Benar sekali, diajeng. Akulah yang bernama Raden Prabowo dan akulah yang akan menjadi suamimu!"

   "Keparat jahanam! Engkau telah mempergunakan kekayaanmu untuk memaksa gadis remaja bernama Sartumi untuk menjadi selirmu! Aku sengaja membebaskan Sartumi dan datang ke sini Untuk mengakhiri perbuatanmu yang sewenang-wenang!"

   Baru terkejutlah hati Raden Prabowo melihat sikap dan mendengar bentakan Retno Susilo itu. akan tetapi dia juga menjadi marah sekali. Dengan alis berkerut dan mata terbelalak dia memandang kepada dara itu karena merasa dia dihina di depan para tamu yang banyak. Apa lagi dia melihat belasan orang tukang pukulnya sudah mengepung tempat itu hatinya menjadi besar dan tabah.

   "Hei, perempuan asing! Siapakah namamu dan berani sekali engkau menghinaku!"

   "Aku adalah Retno Susilo dan aku sengaja datang ke sini untuk memberi hajaran kepadamu, kalau engkau tidak menghentikan kesewenang-wenanganmu, merampas wanita untuk dijadikan selir, aku tentu akan membunuhmu!"

   Raden Prabowo bukan seorang yang lemah. Dia pernah mempelajari ilmu kanuragan.

   "Kurang ajar ! Engkaulah yang akan kutangkap dan kuberi pelajaran! Hyaaaaattt.....!"

   Tiba-tiba Prabowo menubruk ke depan, maksudnya untuk meringkus tubuh yang bahenol itu. Akan tetapi dia menubruk angin karena Retno Susilo telah mengelak ke kiri dan dari kiri kakinya mencuat dalam sebuah tendangan "Bukkk......!"

   Perut Prabowo terkena tendangan yang keras, Tubuhnya terjengkang dan dia terbanting keras. Perutnya menjadi mulas karena tendangan itu dan pinggulnya menghantam lantai, membuat dia mengaduh-aduh, tangan kiri memegangi perut, tangan kanan mengelus pinggul.

   "Aduh..... aduhhh..... tangkap ia.....!"

   Ia mengaduh sambil memerintahkan para tukang pukulnya untuk mengeroyok Retno Susilo.

   Akan tetapi, empat orang tukang pukul yang lebih dulu maju, disambut tamparan-tamparan kedua tangan Retno Susilo dan empat orang itu berpelantingan ke kanan kiri sehingga para tukang pukul yang lain menjadi gentar dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat! Pada saat itu, sebelum para tukang pukul menggunakan senjata untuk mengeroyok, terdengar suara nyaring berseru.

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   "Biarkan aku yang akan menangkapnya!"

   Seorang laki-laki tinggi kurus yang tadi duduk di bagian tamu kehormatan, sudah melompat dan berdiri di depan Retno Susilo. Gadis itu memandangnya dan segera mengenal laki-laki berusia empat puiuh lima tahun, bertubuh tinggi kurus itu.

   "Hemmm, kiranya andika berada di sini, Mahesa Meta! Pantas saja Prabowo berani berbuat sewenang-wenang, kiranya, andika adalah kawannya!"

   Retno Susilo berkata mengejek. Ia masih mengenal baik perampok yang pernah memusuhi perkumpulan Sardulo Cemeng yang dipimpin ayahnya itu. Perampok ini pernah dikalahkan Sutejo dan tidak dibunuh, dilepas dan diampuni.

   "Retno Susilo! Tadinya aku hampir tidak mengenalmu, akan tetapi setelah engkau memperkenalkan namamu, teringatlah aku bahwa engkau adalah gadis kurang ajar puteri Ki Mundingsosro! Bagus sekali, sekarang tibalah saatnya aku membalas dendam. Akan tetapi aku tidak akan membunuhmu, melainkan menangkapmu untuk kuserahkan kepada anakmas Prabowo agar mempermainkanmu sepuasnya sebelum engkau dibunuh!"

   Merah wajah Retno Susilo mendengar ucapan yang amat menghinanya itu. Telunjuk kirinya menuding ke arah muka Mahesa Meta dan ia membentak.

   "Keparat Mahesa Meta! Lupakah engkau ketika dulu diampuni oleh Kakang Sutejo? Kiranya engkau masih saja mengumbar nafsu kejahatanmu dan sekarang aku tidak akan mengampuni mu lagi!"

   Mahesa Meta maklum bahwa Retno Susilo adalah seorang dara perkasa yang pernah mengalahkan kawannya ketika dia mengadu ilmu dengan pihak Sardulo Cemeng. Akan tetapi dia menganggap bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak akan mampu menandinginya, maka dia memandang rendah. Sama sekali dia tidak mengira bahwa dahulupun sebelum ia diberi ilmu simpanan oleh Nyi Rukmo Petak, tingkat ilmu kepandaian Retno Susilo sudah tidak akan tertandingi olehnya. Apa lagi sekarang setelah Retno Susilo mempelajari dua ilmu baru yang amat ampuh!

   "Bocah sombong, rasakan pembalasanku sekarang!"

   Bentak Mahesa Meta.

   Retno Susilo memandang sambil tersenyum mengejek."Sebagai seorang manusia yang curang dan licik, engkau tentu akan mempergunakan pengeroyokan. Akan tetapi, aku tidak takut menghadapi pengeroyokanmu!"

   Ucapan itu memanaskan hati Mahesa Meta. Dia merupakan tamu kehormatan Prabowo yang pernah menerima pelajaran beberapa macam ilmu silat darinya. Para tamu juga sudah tahu bahwa dia merupakan tamu kehormatan karena tempat duduknya di sebelah kanan tempat duduk pengantin. Dan kini dia menerima, ucapan yang di anggapnya amat memandang rendah dan menghinanya dari seorang wanita muda, seorang gadis yang baru menjelang dewasa Saking marahnya dia melolos rantai baja yang dibelit kan di pinggang sebagai sabuk. Lupa dia akan niatnya tadi untuk menangkap dara itu dan diserahkan kepada Prabowo. Dengan sabuk rantai baja di tangan, tentu saja niatnya hanya satu, ialah merobohkan gadis itu, mungkin membunuhnya! Sambil memutar-mutar rantai bajanya, dia melangkah maju menghampiri Retno Susilo.

   Para tamu yang merasa tidak setuju, diam-diam lalu meninggalkan tempat itu, tidak tega melihat dara perkasa yang berani menentang Prabowo itu celaka di tangan para tukang pukul. Mereka tidak senang dengan tindakan yang dilakukan Prabowo, akan tetapi mereka adalah orang-orang dusun yang tidak berani menentang. Akan tetapi mereka yang menjadi teman-teman Prabowo menonton dengan senang hendak melihat bagaimana tamu Prabowo yang dihormati itu menundukkan gadis yang mereka anggap terlalu kurang ajar itu.

   "Wirrrr....... syuuuuttt.... ! Rantai baja itu menyambar ke arah kepala Retno Susilo. Akan tetapi dara itu dengan lincahnya mengelak dengan menekuk lututnya sehingga kepalanya merendah. Rantai baja meluncur lewat di atas kepalanya dan sekali tangan kanannya bergerak, dara itu telah mencabut sebatang pedang. Sinar kehijauan menyilaukan mata ketika Pedang Pusaka Nogo Wilis tercabut dan sinar hijau itu meluncur ke arah dada Mahesa Meta. Orang ini terkejut bukan main dan cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang itu, kemudian dia memutar rantai bajanya menyerang lagi. Sekali ini Retno Susilo tidak mengelak melainkan menggerakkan pedangnya menangkis.

   "Trangggg.......!"

   Bunga api berpijar ketika, pedang bertemu rantai baja dan alangkah terkejut hati Mahesa Meta melihat betapa ujung rantai bajanya putus! Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau marah dan rantainya diputar menjadi segulungan sinar menerjang ke arah dara itu.

   Retno Susilo juga memainkan pedangnya dan karena ia mengandalkan kecepatan geraknya dengan Aji Kluwung Sakti, maka gerakannya cepat seperti kilat dan membingungkan Mahesa Meta yang hanya melihat bayangan berkelebat di seputar dirinya! Terpaksa dia memutar rantai bajanya untuk melindungi dirinya karena dia tidak tahu dari arah mana lawan akan menyerang dengan pedang pusakanya yang ampuh.

   Prabowo menjadi tidak sabar melihat betapa Mahesa Meta tidak mampu mendesak gadis itu. Dia masih meringis kesakitan. Pinggulnya sudah tidak nyeri lagi, akan tetapi perutnya yang tertendang masih mulas. Agaknya isi perutnya terguncang ! Sambil melogis memegangi perutnya dengan mendongkol dia lalu memberi aba-aba kepada para tukang pukulnya untuk maju mengeroyok dara perkasa itu. Prabowo adalah seorang yang cerdik dan licik. Dia tahu bahwa dara perkasa itu adalah seorang yang amat tangguh dan akan sukarlah menangkapnya dalam keadaan hidup-hidup dan tidak terluka seperti yang dikehendakinya. Dia ingin mendapatkan gadis itu dalam keadaan hidup Untuk membalas penghinaan yang telah diterimanya!

   "Pergunakan jaring!"

   
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Perintahnya.

   "Tangkap ia hidup-hidup!"

   Para tukang pukul itu mengerti akan maksud majikan mereka maka beberapa orang lain berlari-larian mengambil jaring yang biasa mereka pakai menjala ikan di sungai. Tak lama kemudian belasan orang sudah mengepung Retno Susilo dan mereka membawa jaring-jaring ikan. Dengan jaring-jaring itulah mereka menyerang Retno susilo.

   Dara itu terkejut sekali. Serangan Mahesa Meta sudah berbahaya dan ia harus berhati-hati memainkan pedangnya untuk menghalau serangan itu. Ia sudah mulai dapat mendesak lawan dan menanti saat baik untuk menggunakan Aji pamungkasnya, yaitu Aji Gelap Sewu atau kalau perlu ia dapat menggunakan Aji Wiso Sarpo untuk membunuh lawan itu. Akan tetapi, belasan orang yang mengeroyoknya itu menggunakan jaring yang membuat ia repot sekali. Sehelai jaring menyelimuti tubuhnya. Akan tetapi ia sempat menggerakkan pedangnya dan jaring itu robek semua membuat ia terbebas kembali. Akan tetapi jaring kedua, ketiga dan seterusnya datang seperti hujan dan iapun tertutup jaring-jaring itu. Ia meronta-ronta, berusaha menggerakkan pedangnya, akan tetapi tali-tali jaring itu membuat ia tidak dapat bergerak leluasa dan sebelum ia mampu membebaskan dirinya, belasan tangan telah meringkusnya dan ia segera diikat kaki tangannya sehingga tidak mampu bergerak lagi!

   "Ha-ha-ha, bocah sombong! Engkau seperti seekor ikan emas terjaring, tinggal memanggang dan memakan saja!"

   Prabowo yang melihat hasil baik ini melupakan nyeri di perutnya dan dia tertawa-tawa, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengangkat Retno Susilo yang sudah dibelenggu kaki tangannya itu ke dalam kamarnya. Dara itu ditelentangkan di atas pembaringan dalam kamar pengantin dan kaki tangannya diikat kuat-kuat sehingga tidak mampu bergerak. Pedangnya dirampas oleh Mahesa Meta dengan hati girang karena dia mendapatkan sebuah senjata pusaka yang ampuh.

   Pesta pora dilanjutkan oleh Prabowo dengan para tamu yang tinggal sedikit itu, tinggal teman-temannya sendiri dan mereka yang cocok dengan perbuatan sesat, sebanyak kurang lebih lima puluh orang. Mereka mabok-mabokan sampai tengah malam baru bubaran.

   Akan tetapi setelah semua orang berpamit dan pergi meninggalkan tempat pesta, bahkan para niyogo juga sudah mengangkati alat tabuhan mereka dan meninggalkan tempat itu. Mahesa Meta yang menemani Prabowo makan minum melihat seorang laki-laki tua masih duduk minum tuak seorang diri. Laki-laki itu sudah tua, lebih dari lima puluh tahun usianya, wajahnya penuh brewok seperti muka singa, pakaiannya longgar seperti pakaian seorang pertapa. Kedua orang itu, dan juga para tukang pukul yang masih berjaga di situ, merasa heran melihat orang ini. Tak seorangpun mengenalnya dan agaknya tadi dia menyelinap di antara para tamu untuk menikmati hidangan. Seorang tamu yang tidak diundang dan menggunakan kesempatan itu untuk, makan minum sepuasnya! Bahkan sekarangpun setelah semua tamu pergi, orang itu masih minum minum seorang diri. Melihat cara dia minum tuak, sungguh luar biasa. Dia minum terus menerus tanpa menjadi mabuk. Matanya yang lebar itu bersinar-sinar gembira, mulut yang tertutup kumis dan jenggot itu hanya tampak giginya ketika dia menyeringai. Sepintas dia melihat ke arah mereka yang sedang memandangnya dan dia mengangguk-angguk lalu berkata seorang diri.

   "Bagus, bagus! Tuak yang baik, makanan yang enak, hari ini aku mendapat rejeki bagus, ha-ha-ha-ha!"

   Prabowo mengerutkan alisnya dan ketika Mahesa Meta memandang kepadanya, dia mengangguk dan berkata.

   "Kakang Mahesa Meta, minta dia meninggalkan tempat ini!"

   ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

   HAL 32 DAN 33 HILANG

   ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

   sekali dan setiap sambaran rantai baja selain dapat dielakkannya dengan cepat. Meja dan kursi di sekitar tempat itulah yang menjadi korban pengamukan rantai baja Mahesa Meta sehingga hancur dan terlempar berserakan.

   Karena orang itu hanya mengelak terus, Mahesa Meta membuat kesalahan dengan mengira bahwa orang itu jerih terhadapnya. Maka dia menyerang terus dengan ganasnya dan suatu saat rantai bajanya menyambar dari depan ke arah dada orang itu. Sekali ini, kakek itu tidak mengelak melainkan menerima ujung rantai baja itu dengan tangan kanannya.

   "Wuuuutttt.....plakk!"

   Ujung rantai baja itu dapat ditangkapnya dan tiba-tiba saja orang itu menggerakkan tangan kanannya dan melepaskan ujung rantai baja. Senjata itu menyambar ke depan dan tak dapat dihindarkan lagi ujung rantai baja itu mengenai muka Mahesa Meta dengan keras sekali karena ketika melemparkannya, orang itu mengerahkan tenaga dalam yang amat kuat.

   "Wuuuttt.....desss.....!"

   Muka Mahesa Meta. dihantam ujung rantai bajanya sendiri dan demikian kerasnya hantaman itu sehingga kepalanya seketika retak dan Mahesa Meta tak sempat mengeluarkan jeritan, tubuhnya terjengkang dan dia tewas seketika dengan muka hancur dan kepala retak!

   Melihat ini, Prabowo menjadi terkejut sekali. Dia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya tangannya saja yang memberi isarat menuding-nuding ke arah kakek itu, mengerahkan semua tukang pukulnya untuk mengeroyok. Para tukang pukul itu dengan golok di tangan sudah maju mengepung dan tanpa dikomando lagi mereka yang berjumlah lima belas orang itu menyerang dari semua jurusan dengan golok mereka.

   Orang itu tertawa mengejek dan menyambut dengan gerakan kaki tangannya. Para pengeroyok itu seperti diserang badai. Mereka berpelantingan terkena tendangan atau tamparan sehingga dalam waktu singkat mereka telah roboh semua dan saking takutnya mereka tidak berani bangkit lagi. Orang itupun tidak memperdulikan mereka dan dia melangkah di antara tubuh-tubuh para tukang pukul yang bergelimpangan, menghampiri mayat Mahesa Meta, membungkuk dan mengambil Pedang Nogo Wilis milik Retno Susilo yang tadi dirampas perampok tunggal dari Gunung Kelud itu, kemudian menyelipkan pedang itu di ikat pinggangnya dan dia masuk ke dalam rumah besar. Dia tidak memperdulikan Prabowo yang melarikan diri tunggang langgang ke dalam rumah dan bersembunyi ketakutan.

   Dimasukinya kamar pengantin itu dan dilihatnya Retno Susilo yang telentang diatas pembaringan dengan kedua kaki tangan terikat.

   "Hemm, engkau terlalu berharga untuk terjatuh ke tangan jahanam-jahanam busuk itu!"

   Katanya dan tangan kirinya meraih lalu dipondongnya tubuh Retno Susilo, dipanggulnya di pundak kiri dan dirangkul dengan lengan kiri lalu dia membawa tubuh gadis itu keluar dari rumah dengan langkah lebar. Ditinggalkannya rumah itu dan tidak ada seorangpun berani menghalanginya, Para penduduk dusun itupun hanya berani melihat dari jauh saja ketika kakek yang memanggul tubuh Retno Susilo itu keluar dari dusun dengan langkah lebar dan gerakan kaki cepat sekali.

   Sejak dibawa pergi dari rumah Prabowo, Retno Susilo dalam keadaan sadar bahwa ia dibawa pergi seorang kakek yang pakaiannya seperti seorang pertapa dan mukanya menyeramkan seperti muka seekor singa jantan. Ia diam saja karena maklum bahwa baru saja ia terlepas dari ancaman bahaya yang mengerikan di tangan Prabowo yang telah menawannya. Ia tidak tahu apa yang dikehendaki kakek singa itu yang memanggulnya dan setelah keluar dari dusun lalu berlari dengan cepat sekali. Diam diam ia mengerahkan tenaga dan mencoba untuk membebaskan diri dari ikatan tangannya, namun tidak berbasil. Ternyata ikatan itu kuat sekali.

   Ketika kakek itu membawanya ke dalam sebuah hutan yang lebat di lereng sebuah bukit, ia mulai merasa khawatir. Kalau memang kakek ini bermaksud untuk menolongnya, mengapa ia dibiarkan terikat saja dan tidak dibebaskan?

   "Paman yang baik, harap suka lepaskan aku."

   Kata Retno Susilo dengan suara lembut. Ia belum tahu orang macam apakah kakek yang menolongnya.

   "Heh-heh-heh-heh......"

   Kakek ini hanya terkekeh dan tidak menjawab, membawanya masuk lebih dalam ke hutan yang lebat itu. Karena kakek itu tidak menjawab, hanya terkekeh saja, Retno Susilo merasa semakin khawatir. Jangan-jangan kakek yang membawanya pergi itu seorang yang tidak waras! Akan tetapi jelas bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika ia dipanggul keluar rumah tadi ia melihat Mahesa Meta sudah menggeletak menjadi mayat dan belasan orang tukang pukul masih mengaduh dan merintih, tubuh mereka berserakan. Tentu kakek itu yang telah merobohkan mereka lalu membawanya pergi. Ia menanti sampai beberapa lama, akan tetapi kakek itu tetap diam saja.

   "Paman yang baik, aku hendak dibawa ke manakah?"

   Tanyanya lagi.

   Kembali kakek Itu terkekeh dan tidak menjawab. Tentu saja hati Retno Susilo menjadi semakin tegang dan gelisah. Jangan-jangan ia seperti terlepas dari mulut harimau terjatuh ke mulut srigala!

   "Paman, tolonglah lepaskan ikatan kaki tanganku, aku akan berterima kasih sekali."

   Kembali ia membujuk dengan suara lembut.

   "Heh-heh belum waktunya, ha-ha-ha, belum saatnya......"

   Biarpun kakek itu menolaknya, namun setidaknya dia sudah menjawab dan ini sedikit banyak melegakan hati Retno Susilo. Makin besar dugaannya bahwa kakek ini tidak waras atau miring otaknva. Ia harus dapat mengajaknya bercakap-cakap dan membujuknya agar suka melepaskan, ikatan tangan kakinya. Karena ia dipanggul dengan kepala di depan ia dapat melihat bahwa pedang pusakanya terselip di pinggang kakek itu padahal ini menggirangkan hatinya. Kalau saja ia dapat terlepas dari ikatan dan dapat menguasai pedang itu. Ia memutar otak mencari akal. Setiap orang tentu memiliki kelemahan, pikirnya. Kakek ini yang agaknya tidak waras adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mungkin ia lemah terhadap pujian, pikirnya.

   "Paman, andika memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sakti mandraguna. Paman pasti seorang tokoh besar dalam dunia ini, dengan nama yang amat terkenal, dihormati kawan disegani lawan. Siapakah gerangan nama besar paman?

   "Ha-ha-ha! Dugaanmu benar sekali, anak manis. Aku adalah Ki Klabangkolo yang menguasai sebagai bahurekso Pegunungan Ijen!"

   Retno Susilo merasa senang bahwa perkiraannya tidak meleset. Kakek ini seorang yang gila hormat dan gila sanjungan!

   "Ah, Paman Klabangkolo, aku merasa girang dan bangga sekali mendapat pertolongan dari seorang yang gagah perkasa dan sakti mandraguna, juga amat terkenal seperti paman! Lepaskan tali pengikat kaki tanganku paman, agar aku dapat menghaturkan terima kasih dan sembah kepadamu."

   Retno membujuk.

   "Hemm, melepaskanmu dan membiarkan engkau melarikan diri dariku? Tidak, belum saatnya aku melepaskanmu dari ikatan, anak manis!"

   Kakek itu melangkah terus dengan cepatnya dan kembali Retno merasa gelisah. Biarpun gila hormat dan gila sanjungan, ternyata kakek ini cerdik dan tidak mudah dibujuk.

   "Paman Klabangkolo, engkau hendak membawaku ke manakah?"

   "Ha-ha, diam sajalah, sebentar engkau akan mengetahuinya sendiri. Diam saja dan menurut sajalah, engkau pasti akan senangi"

   Kata kakek itu Retno melihat bahwa mereka tiba di depan sebuah guha yang besar di tengah hutan belantara itu.

   "Nah, inilah tempat tinggalku. Bagus, bukan?"

   Kakek itu menurunkan tubuh Retno dari panggulan dan merebahkannya dengan lembut ke dalam guha di mana lantainya bertilamkan rumput kering dan tikar pandan. Retno yang rebah telentang memandang dengan mata terbelalak ketika kakek itu mencabut Pedang Nogo Wilis yang diselipkan di pinggangnya lalu mengangkat pedang itu ke atas seolah hendak dibacokkan kepadanya. Pedang itu menyambar turun.

   "Wuuuttt.....cappp!"

   Pedang itu tidak membacok Retno, melainkan menancap di atas lantai sampai amblas ke gagangnya!

   "Ha-ha-ha, katakan, engkau senang tinggal di sini bersamaku bukan? Katakan!"

   Kakek itu menghardik.

   Retno Susilo menjadi makin panik. Kakek itu jelas gila dan kalau ia tidak menyenangkan hatinya dengan jawaban-jawabannya, bukan tidak mungkin ia akan dibunuhnya begitu saja!

   "Senang, paman, senang! Akan tetapi mengapa paman tidak melepaskan ikatan kaki tanganku? "Apa yang akan paman lakukan terhadap diriku?"

   Apa yang akan, kau lakukan? Ha-ha-ha, engkau seorang wanita yang amat cantik dan gagah berani. Dan sudah belasan tahun aku hidup menyendiri di tempat ini setelah aku pergi dari Pegunungan Ijen karena kehilangan isteriku. Engkaulah yang pantas menjadi penggantinya, menjadi isteriku. Engkau yang mau menjadi isteriku, bukan? Mau?"

   Sekali ini Retno tidak menjawab. Wajahnya berubah pucat. Ia seorang dara perkasa yang tidak takut menghadapi kematian, Akan tetapi ia menghadapi keadaan yang lebih mengerikan dari pada kematian! Ia akan diperisteri kakek ini yang tentu tidak segan menggunakan kekerasan. Ia akan diperkosa! Karena itu, ia hanya memandang kakek itu dengan mata terbelalak dan tidak dapat menjawab.

   "Ha-ha-ha, setelah engkau menjadi isterku malam ini, barulah ikatan kaki tanganmu akan kulepaskan. Setelah menjadi isteriku, engkau tentu tidak akan melarikan diri lagi. Kita harus merayakan pernikahan kita dengan pesta. Ya, aku akan menangkap seekor kijang muda. Kita berpesta makan daging kijang muda, kemudian kita menikah, ha-ha-ha! Iinggallah di sini dulu, sayang, aku akan pergi menangkap kijang muda dan mencari buah-buahan untukmu!"

   Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah keluar dari guha sambil tertawa terkekeh-kekeh, agaknya dia girang sekali.

   Setelah kakek itu pergi, Retno berusaha melepaskan diri dari ikatan. Ia mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi ia tidak berhasil. Ikatan itu terlampau kuat. Sampai nyeri semua rasa kulit pergelangan tangan dan kakinya ketika ia meronta-ronta. Tali yang kuat itu menggigiti kulitnya. Terdengar langkah kaki memasuki guha. Jantung Retno berdegup penuh ketegangan dan ketakutan. Kakek itu kembali dan ia akan diperkosa! Tidak dapat ia membayangkannya dan ia memejamkan matanya yang mulai basah dengan air mata. Ingin ia menjerit dan menangis, akan tetapi keinginan ini ditahannya, ia tidak akan memperlihatkan kelemahannya kepada kakek gila itu! Ia memang tidak berdaya. Ia merasa lebih baik mati dibunuh dari pada diperkosa. Akan tetapi ia tidak berdaya. Kalau sampai ia di perkosa, ia akan tetap bertahan hidup untuk dapat membalas kakek itu. Ia harus dapat membunuh kakek itu sebelum ia membunuh diri sendiri!

   Ia mendengar langkah kaki itu berhenti di dekatnya, lalu mendengar gerakan orang itu berjongkok. Jantungnya berdebar. Hampir ia pingsan saking merasa ngeri dan takut. Ketika ada jari-jari tangan menyentuh kakinya, ia demikian terkejut seperti dipagut ular sehingga ia terjingkat. Akan tetapi apa ini? Jari-jari tangan itu mulai melepaskan ikatan kakinya! Bagus! Kalau begitu ia akan dapat melawan. Ia akan melawan mati-matian, mempertahankan diri sampai mati kalau mau diperkosa. Ia membuka matanya dan ia terbelalak memandang keheran-heranan kepada wajah itu.

   Wajah itu tampan dan gagah sekali. Wajah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh enam tahun. Wajah tampan itu tersenyum. Tubuhnya sedang dan tegap. Sebatang keris terselip dipinggangnya. Jari-jari tangan itu demikian kuatnya ketika melepaskan ikatan kakinya, kemudian ikatan tangannya.

   "Tenanglah, nimas. Aku datang untuk membebaskanmu. Kebetulan sekali kakek jahat itu pergi."

   Kata pemuda itu, suaranya lembut dan sopan.

   Jantung dalam dada Retno berdebar saking gembiranya.

   "Harap cepat sedikit. Kalau dia datang kembali......."

   "Kalau dia datang kembali, kita hadapi bersama. Aku telah melihat tadi akan kegagahanmu. kurasa kalau kita berdua maju bersama, kita tidak usah takut menghadapi kakek gila itu."

   Tak lama kemudian Retno bebas. Digosok-gosoknya kedua pergelangan kaki dan tangannya, kemudian dicabutnya Pedang Nogo Wilis yang tertancap di atas lantai. Ia bangkit berdiri dan sudah siap. Dipandangnya pemuda yang berdiri di depannya itu penuh perhatian.

   "Ki Sanak, terima kasih kuucapkan kepadamu atas pertolonganmu ini. Bolehkah aku bertanya, andika dan bagaimana andika dapat datang ke tempat ini dan menolongku?"

   "Ha-ha-ha-ha-ha! Manis, aku datang membawa seekor kijang muda untukmu, ha-ha ha!"

   Suara lantang ini membuat pemuda itu tidak jadi menjawab pertanyaan Retno. Dia lalu menyambar lengan tangan dara itu dan ditariknya, diajak keluar.

   "Mari kita keluar, menghadapinya di luar yang lebih luas."

   Mereka berdua berloncatan keluar. Ternyata Ki Klabangkolo belum tampak dan ternyata suaranya tadi diteriakkan dari jauh. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebat ilmu kepandaian orang itu, dapat melontarkan suara dari jauh dengan dorongan tenaga saktinya. Retno Susilo sudah siap dengan Pedang Nogo Wilis di tangannya sedangkan pemuda itu masih berdiri tenang namun sepasang matanya mencorong dan memandang ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan karena dia tidak tahu dari arah mana pemilik suara tadi akan muncul.

   Akhirnya muncullah orang yang ditunggu-tunggu itu. Kemunculannya mengejutkan. Ki Klabangkolo tahu-tahu terjun ke depan mereka dalam jarak sepuluh meter sambil tertawa-tawa. Akan tetapi suara tawanya tiba-tiba terhenti ketika dia melihat Retno Susilo sudah berdiri di depan guha dengan pedang di tangan dan sepasang mata dara itu bersinar-sinar penuh kebencian memandangnya. Akan terapi ketika Ki Klabangkolo menoleh dan memandang ke arah pemuda itu, maklumlah apa yang terjadi, Calon korbannya itu tentu ditolong dan dibebaskan oleh pemuda itu! Mukanya berubah bengis. Matanya mencorong seperti mengeluarkan api dan tiba-tiba dia mengangkat bangkai kijang yang tadi dipanggulnya dan melontarkannya ke arah pemuda itu. Bangkai kijaag itu cukup berat dan dilontarkan dengan tenaga yang dahsyat, maka tentu saja lontaran itu merupaka serangan yang amat berbahaya.

   Namun, pemuda itu ternyata cekatan sekali. Dengan gerakan ringan dan cepat, mudah saja dia menghindarkan diri dengan elakan sehiugga bangkai kijang itu meluncur lewat dan melayang sampai jauh. Melihat betapa lontarannya tidak mengenai sasaran. Ki Klabangkolo semakin marah. Dia mengeluarkan gerengan-gerengan seperti seekor harimau marah, memandang kepada Retno dan pemuda itu bergantian, kemudian tiba-tiba dia menubruk ke arah Retno Susilo dengan kedua lengan dikembangkan. Tubrukannya itu cepat sekali datangnya dan mendatangkan angin yang menyambar. Retno meloncat ke samping untuk mengelak dan dari samping pedangnya, menyam"bar ke arah leher Ki Klabangkolo. Kakek itu menggerakan tangan kirinya dan ujung lengan bajunya yang lebar itu menangkis pedang.

   "Wuuuitt.....tranggg....!"

   Retno terkejut bukan main karena ia merasa betapa pedangnya seolah bertemu dengan benda keras dan pedang itu terpental. Akan tetapi ia masih dapat mempertahankan sehingga pedangnya tidak terlepas dari pegangan tangannya. Ki Klabangkolo menggunakan kesempatan itu untuk menubruk lagi ke samping.

   "Plakk!"

   Tangannya terbentur dengan sebuah tangan lain yang kuat sehingga dia terdorong ke belakang. Ketika dilihatnya bahwa pemuda tampan itu yang menangkis tangannya, dia menjadi semakin marah. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan kini dia menerjang kepada pemuda itu dengan tamparan tangan yang mengandung hawa panas! Pemuda itu maklum akan datangnya serangan yang berbahaya sekali, maka dia juga menggunakan kegesitannya antuk mengelak sehingga tamparan itu hanya mengenai tempat kosong. Ketika kakek itu memutar tubuh dan mengejar, menerjang lagi kepada pemuda itu, Retno sudah menyerangnya dengan tusukan pedangnya dari belakang.

   "Ting.....!"

   Kakek itu cepat memutar tubuhnya mengelak dari tusukan pedang dan kini menyerang Retno dan mendesak dara itu dengan cengkeraman-cengkeraman kedua tangannya. Kembali pemuda itu yang membantu Retno dengan pukulan tangan dari belakang. Pukulan tangan pemuda itu juga mengandung tenaga sakti yang kuat sehingga Ki Klabangkolo terpaksa membalik lagi dan menangkis. Akan tetapi pemuda itu kini telah mencabut kerisnya dan menggunakan senjata itu untuk menyerang, membantu Retno Susilo yang juga menggunakan Pedang Nogo Wilis untuk menyerang. Dalam keadaan bertangan kosong kakek itu dikeroyok dua dan dihujani serangan pedang dan keris. Akan tetapi Ki Klabangkolo memang tangguh sekali. Hanya dengan kedua ujung lengan baju dia mampu menangkis kedua senjata dua orang pengeroyok itu. Akan tetapi dia terdesak dan kurang leluasa untuk membalas.

   Tiba-tiba dia melengking nyaring dan menubruk ke arah pemuda itu sambil melancarkan pukulan yang amat dahsyat dengan tangan kanannya. Pemuda itu terkejut dan melompat ke kiri. Ki Klabangkolo tak dapat menahan tangannya yang memukul dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Tangan itu terus meluncur ke depan dan mengenai sebatang pohon yang tadi berada di belakang pemuda itu.

   "Dess.....braaakkk.,...!"

   Pohon sebesar paha orang itu terkena pukulan tangannya langsung patah dan tumbang! Melihat ini, Ki Klabangkolo menyambar batang pohon itu dan mempergunakannya sebagai senjata untuk menyerang kedua pengeroyoknya! Tentu saja Retno dan pemuda itu menjadi kalang kabut diserang batang pohon berikut cabang dan daun daunnya itu. Mereka berlompatan ke sana sini untuk menghindarkan diri dari serangan itu. Retno berlaku cerdik. Ia mulai menggerakkan pedangnya untuk membacok! cabang-cabang pohon yang menyambar nyambar. Terdengar bunyi "crak-crok"

   Ketika Pedang Nogo Wilis membabati cabang-cabang pohon itu sehingga terbabat putus semua. Setelah tinggal cabangnya yang dipegang kakek itu, iapun mulai membabati cabang pohon itu.

   Pedang Nogo Wilis adalah sebatang pedang yang ampuh dtn tajam bukan main. Begitu bertemu dengan pedang itu, batang pohon yang dijadikan senjata Ki Klabangkolo terbabat putus. Sementara itu, pemuda yang memegang keris itupun menyerang Ki Klabangkolo dengan tusukan-tusukan maut, diseling dengan tamparan tangan kirinya yang amat kuat. Kembali Ki Klabangkolo terdesak hebat.

   "Wuuuttt.....plakk!"

   Tangan kiri pemuda itu berhasil menampar pundak kiri Ki Klabangkolo. Kakek itu terhuyung akan tetapi masih sempat memutar batang pohon yang tinggal pendek untuk melindungi tubuhnya. Pada saat itu, pedang berkelebat membacok ke arah batang pohon yang kini menjadi tongkat yang panjangnya tinggal satu setengah meter lagi.

   "Crakkk......!"

   Kembali batang pohon itu terpotong dan pada saat itu kaki kanan Retno mencuat dengan amat cepatnya ke arah perut Ki Klabangkolo.

   "Wuuuut...... desss......!!"

   Ki Klabangkolo terpental ke belakang. Akan tetapi ternyata dia kebal dan tidak roboh, hanya terhuyung dan agaknya dia kini menyadari bahwa dia tidak akan mampu menandingi dua orang. Pengeroyok yang tangguh itu, maka sambil mengeluarkan Suara teriakan yang mirip tawa juga mirip tangis, dia lalu melarikan diri meninggalkan tempat itu dengan cepat seperti terbang menuruni lereng.

   Pemuda itu dan Retno Susilo tidak mengejar, Mereka terengah-engah dan mandi keringat. Kakek itu sungguh tangguh bukan main. Setelah mengeluarkan semua kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga, barulah mereka dapat mengusir kakek itu.

   "Berbahaya sekali....! Dia sungguh digdaya!"

   Kata pemuda itu sambil mengusap keringatnya.

   "Hemm, dia sungguh tangguh dan berbahaya, akan tetapi juga amat jahat!"

   "Akan tetapi, dia seperti seorang yang tidak waras pikirannya. Seperti orang gila"

   Kata pemuda itu.

   Retno Susilo menatap wajah yang tampan itu dan ia berkata.

   "Ki Sanak, engkau tadi belum menjawab pertanyaanku. Siapakan andika ini dan bagaimana dapat datang ke sini dan menolongnya?"

   

Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini