Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 22


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



Seminggu kemudian, luka-luka yang diderita Wulansari dan Lie Hok Yan telah sembuh. Mereka tidak mungkin terlalu lama tinggal di dusun itu. Terlalu dekat dengan Kalasan. Bahkan seluruh penduduk dusun itu sudah lari mengungsi. Setelah peristiwa pertempuran itu, setelah banyak perajurit Daha tewas di dusun Kalasan, mereka tidak mungkin terus tinggal di dusun itu. Pasti sekali Daha akan mengirim pasukan besar untuk membasmi penduduk dusun itu pula. Maka, Ki Lurah Sardu, ayah Sumirah, lalu menganjurkan kepada para penduduknya untuk lari mengungsi. Hanya tinggal keluarga lurah itu saja yang tinggal, karena dua orang tamu yang mereka agungkan, yaitu Wulansari dan Lie Hok Yan, penolong mereka, masih dirawat di situ. Seminggu kemudian mereka sembuh dan mereka terpaksa harus meningalkan dusun yang merupakan tempat berbahaya itu.

   Sebelum berpisah, Sumirah dan Hok Yan sempat mengadakan pertemuan berdua di bawah rumpun bambu, tak jauh dari rumah Ki Sarlan. Mereka berdua kelihatan prihatin. dan rnuram. Mereka duduk di atas batu-batu yang berada di bawah rumpun bambu itu, saling berhadapan.

   "Kenapa kita harus berpisah, Hok Yan. Aku tidak ingin berpisah darimu....."

   Kata

   gadis itu dengan sendu.

   Hok Yan memandang wajah tunangannya yang agak pucat dan rambutnya yang kusut itu. Jelas nampak bahwa gadis itu semalam kurang tidur, dan matanya agak kemerahan.

   "Akupun demikian, Milah. Kalau bisa, mulai saat inipun aku tidak mau lagi berpisah darimu. Akan tetapi, tugas mengharuskan kita berpisah sebentar. Aku akan cepat kembali ke induk pasukan membuat laporan, setelah itu aku minta berhenti dan akan kembali ke sini maksudku, mencarimu ke tempat kediamanmu yang baru. Menurut keterangan Paman Sardu, kalian akan pergi mengungsi ke dukuh Klinren, tak jauh dari Singosari, sebelah selatan kota itu. Setelah itu, kita takkan saling berpisah lagi, Milah"

   "Akan tetapi, Hok Yan, keadaan sedang tidak aman. Perang akan terus berkobar, negara dalam kacau balau ...... kejahatan terjadi di mana-mana....... ah, aku khawatir sekali,

   Hok Yan. Bagaimana kalau sampai kita tidak dapat bertemu kembali?"

   Gadis itu tidak dapat menagan air matanya yang mengalir turun dt sepanjang pipinya.

   Hok Yan menjulurkan tangannya dan memegang tangan gadis itu "Milah, percayakah engkau kepadaku? Aku cinta padamu dan aku tidak akan pernah dapat melupakanmu. Selama hayat dikandung badan, setelah selesai tugasku, pasti aku akan mencarimu"

   "Aku percaya kepadamu, Hok Yan. Akan tetapi....... demikian banyaknya bahaya menghadang di depan, dan engkau seorang perwira, tentu banyak bertemu musuh ....... ah, aku khawatir sekali, Hok Yan"

   Jari-jari tangan Hok Yan meremas jari tangan gadis itu "Milah, percayakah engkau kepada para dewa? Kalau memang para dewa menghendaki agar kita saling berjodoh dan dapat bertemu kembali, pasti kita berdua akan dilindungi dan dapat saling bertemu kembali dalam keadaan selamat"

   "Engkau benar, Hok Yan"

   Jawab Sumirah dan ia membalas remasan jari tangan pemuda itu "Aku akan selalu berdoa mohon berkah para dewa agar engkau selalu dilindungi dan kelak kita akan dapat saling berjumpa pula dalam keadaan selamat"

   "Akupun akan selalu bersembahyang. Milah"

   Hok Yan mencabut sebuah cincin dari jari manis tangan kirinya "Aku tidak mempunyai apa apa yang cukup berharga sebagai tanda mata, Milah. Biarlah cincin ini, cincin yang selalu berada di jari tanganku, kau simpan sebagai tanda mata dariku"

   Sumirah menerima cincin itu, memandang cincin emas yang ada ukiran huruf itu dengan mata bersinar "Hok Yan, apakah artinya ukiran ini? Gambar apakah itu?"

   "Itu bukan gambar, Milah. melainkan sebuah huruf yang berbunyi LIE, yaitu nama she (marga) ayahku"

   Sumirah mengangguk-angguk dan iapun melepaskan sebuah tusuk konde dari perak yang berbentuk daun semanggi"Aku juga tidak punya apa-apa kecuali tusuk sanggul ini, Hok Yan. Kau simpanlah"

   Hok Yan menerima dan mencium benda itu. Melihat ini. Sumirah juga mencium cincin pemben Han Hok Yan dan keduanya saling pandang dengan wajah berubah kemerahan. Cinta memang aneh, getarannya sedemikian kuatnya, terutama bagi mereka yang baru pertama kali mengalaminya. Melihat barang yang biasanya menjadi miliknya, dicium oleh orang yang dicintanya, jantung terasa berdebar kencang dan badan menjadi panas dingin, seakan terasa bahwa bukan benda itu melainkan dirinyalah yang dicium.

   Pada saat dua pasang mata itu saling pandang, bertaut dengan sinar penuh kasih sayang dan kemesraan, Tiba-tiba pendengaran Hok Yan yang amat tajam terlatih, menangkap adanya gerakan orang di balik serumpun semak tak jauh dari situ. Sebagai seorang pendekar yang selalu berhati-hati dan waspada, apa lagi setelah dia bertugas sebagai penyelidik atau mata-mata, Tiba-tiba Hok Yan melakukan gerakan meloncat dan dia sudah berada di balik semak belukar itu.

   Ternyata di situ berjongkok seorang pemuda yang bertubuh tinggi kurus dan bermata jalang. Pemuda itu terkejut bukan main ketika orang yang diintainya itu Tiba-tiba meloncat seperti terbang saja dan tahu tahu telah berada di sebelabnya. Diapun bangkit berdiri dengan mata terbelalak kaget, Pada saat dia bangkit berdiri. Sumirah melihat dan mengenalnya. Gadis itu lalu berlari menghampiri dan ia berseru lantang dengan suara marah.

   "Kakang Kabiso. Apa yang kau lakukan di situ? Engkau mengintai kami, ya?"

   Sumirah kini sudah tiba di sebelah Hok Yan dan ia memandang pemuda yang bernama Kabiso itu densan muka merah dan mata bersirtar marah. Kabiso adalah seorang pemuda Kalasan dan pernah pemuda ini menggodanya ian menyatakan cinta, akan tetapi ditolaknya karena selain ia tidak mencinta pemuda itu, juga ia tidak suka karena mendengar bahwa K.abiso pernah mencuri pisang dan jeruk di kebun tetangga satu dusun. Ayahnya, Ki Lurah Sardu sendiri pernah mengancam pemuda itu agar tidak mengulangi perbuatannya.

   "Memang kuakui bahwa aku mengintai kalian, Sumirah. Sungguh tidak tahu malu engkau, berpacaran dengan seorang pemuda Cina, pemuda asing ini. Tidak patut engkau seorang, gadis terhormat......"

   "Tutup mulutmu"

   Sumirah membentak dengan muka merah padam "Engkaulah yang tidak tahu malu. Ketahuilah, hei manusia tidak sopan, bahwa Lie Hok Yan ini adalah tunanganku, calon suamiku yang sah. Orang tuaku sudah menyetujui"

   Mendengar ini, Kabiso terbelalak, lalu mengerutkan alisnya dan dia tertawa mengejek "Ha ha he h he, sungguh aneh dan menggelikan sekali. Apakah engkau perawan tidak laku maka mau diperisteri seorang pemuda Cina?"

   "Kabiso"

   Sumirah membentak, tiduk lagi menyebut kakang "Apa perdulimu dengan urusan pribadadiku? Engkau tidak berhak mencampuri, juga engkau tidak berhak menghina tunanganku. Pergi kau, keparat jahanam tak bermalu, atau aku akan memberitahukan ayah agar engkau dihajar"

   "Hahaha, ayahmu sekarang bukan lurah lagi melainkan pelarian seperti aku. Memang. aku mencampuri. Aku tidak rela kau menjadi isteri Cina ini. Kalau kau berjodoh dengan seorang pemuda Jawa lainnya, biarpun engkau menolakku, aku tidak perduli dan aku rela. Akan tetapi menolak aku lalu. menikah dengan Cina ini? Aku tidak rela"

   Sumirah menjadi semakin marah.

   "Laki-laki tak tahu malu. Engkau bukan apa-apa bagi keluargaku, kau tidak berhak mengurusi diriku. Kalau kau tidak rela, habis mau apa?"

   "Aku mau bunuh Cina ini"

   Kabiso lalu mencabut sebatang golok dari pinggangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengayun senjata itu ke arah kepala HoK Yan.

   Tentu saja serangan ini tidak ada artinya bagi Hok Yan yang sejak tadi hanya mendengarkan saja tanpa mencampuri, akan tetapi diam-diam dia waspada, apa lagi ketika Kabiso mengatakan bahwa pemuda itu hendak membunuhnya. Sambaran golok itu dihindarkannya dengan miringkan tubuhnya lalu melangkah ke camping.

   "Sobat, diantara kita tidak ada permusuhan, kenapa engkau menyerangku?"

   Tanyanya, terus melangkah mundur tiga langkah menjauhi pemuda yang sedang marah itu.

   Kabiso mengamangkan goloknya kepada Hok Yan lalu berkata dengan nada suara marah.

   "Engkau manusia jahat. Karena gara-gara engkaulah maka dusun Kalasan dibasmi pasukan Kediri, dan seluruh penduduk terpaksa lari mengungsi meninggalkan dusun dan rumah. Engkau sudah membikin sengsara penduduk Kalasan dan masih begitu kurang ajar untuk memper-isteri Sumirah, puteri lurah kami"

   Sebelum Hok Yan menjawab, Sumirah yang cepat menjawab "Kabiso, engkau yang tolol dan tidak tahu urusan. Diserbunya Kalasan oleh pasukan Kediri adalah karena Puteri Gayatri ternyata bersembunyi di dusun kita. Gadis yang bernama Pusparasmi itu, yang mondok di rumah mbok Randa, ternyata adalah Puteri Gayatri. Pasukan itu hendak mencarinya. Dan Hok Yan bahkan menyelamatkan aku, menyelamatkan penduduk dengan melawan dan mengusir para penyerbu itu"

   "Tidak perduli. Dia yang melawan pasukan sehingga tentu pasukan Kediri mendendam kepada semua penduduk Kalasan. Dia harus mati di tanganku"

   Kabiso kembali menyerang, kini goloknya menyambar ke arah leher Hok Yan. Hok Yan menganggap bahwa Kabiso sudah keterlaluan. Kalau pemuda itu menyerangnya dan hendak membunuhnya karena salah paham mengira dia menjadi gara-gara dibasminya dusun Kalasan, hal itu masih dapat dimengerti. Akan tetapi, pemuda ini nekat menyerang dan mau membunuhnya bukan karena itu. Sumirah telah memberl penjelasan dan pemuda itu nekat menyerangnya. Dari sinar matanya saja dia tahu bahwa pemuda ini membencinya, bukan karena urusan penyerbuan pasukan Kediri, melainkan karena cemburu, karena iri hati. Maka, melihat golok itu menyambar ke arah lehernya, dia miringkan tubuh dan begitu golok lewat di depan mukanya, tangannya menyambar dan sebuah ketukan dengan tangan miring ke arah pergelangan tangan yang memegang golok, membuat Kabiso mengeluarkan teriakan kesakitan dan golok itupun terpental dan terlepas dari pegangannya.

   "Sobat, aku tidak ingin berkelahi denganmu. Pergilah dan jangan ganggu kami lagi"

   Kata Hok Yan, masih mencoba untuk menyabarkan penyerangnya itu. Dia tahu bahwa Kabiso adalah seorang pemuda biasa yang tidak pandai ilmu silat, maka tidak selayaknya kalau dia melayaninya, apa lagi balas menyerang.

   Akan tetapi, Kabiso bahkan menjadi semakin marah. Memang tepat dugaan Hok Yan, Pemuda ini dimabok cemburu dan iri hati.. Sudah lama dia menaruh hati kepada Sumirah puteri lurah dusun Kalasan itu, dan pernah dia menggoda Sumirah dan menyatakan cintanya, akan tetapi gadis itu menolaknya. Dan kini, melihat Sumirah bermesraan dengan seorang pemuda Cina. apa lagi tadi mendengar bahwa mereka telah bertunangan dengan resmi rasa cemburu membuat dia membenci sekali. Biarpun dia sudah kehilangan goloknya, kemarahan membuat dia nekat dan sambil mengeluarkan suara gerengan marah, dia sudah menerjang dan menyerang dengan kedua tangannya.

   Hok Yan kembali mengelak ke samping dan sekali kakinya bergerak menendang lutut lawan, Kabiso terpelanting jatuh.

   "Kabiso, engkau akan mati kalau melawan Hok Yan. Dia seorang pendekar, bukan lawanmu. Pergilah dan jangan ganggu kami"

   Sumirah berteriak marah.

   Kabiso maklum bahwa ucapan itu memang benar. Dia tidak akan mampu mengalahkan pemuda Cina itu yang demikian mudahnya membuat goloknya terlempar, dan membuat dia terpelanting keras. Setelah melempar pandang mata penuh kebencian kepada Hok Yan, dia lalu pergi dari situ setelah berlari. Sumirah menghampiri Hok Yan dan memegang tangannya dan memandang dengan kagum.

   "Terima kasih, Hok Yan. Engkau telah memaafkan dia dan bersikap mengalah"

   Katanya.

   tadi melihat jelas betapa tunangannya itu sama sekali tidak kelihatan marah, bahkan ketika menghadapi serangan Kabiso, tunangannya ini hanya mengelak dan hanya merobohkan tanpa melukai Dia tahu akan kehebatan ilmu kepandaian Hok Yan, dan kalau tadi tunangannya menghendaki, tentu Kabiso sudah roboh tak mampu bangkit kembali.

   Hok Yan menarik napas panjang. Aku kasihan kepadanya, Milah"

   Sumirah mengerutkan alisnya"Kasihan kepadanya? Setelah dia menghinamu seperti tadi itu?"

   Hok Yan menggeleng kepalanya "Dia menjadi korban kelemahannya sendiri, Milah. Dia diburu cemburu sehingga dia membenciku. Dia cinta padamu dan amat sakit rasa hatinya karena cintanya kau tolak dan melihat betapa engkau memilih aku"

   "Sudahlah, Hok Yan. Tidak perlu kita membicarakan dia. Bagaimanapun juga, salahnya sendiri. Dia harus tahu diri dan tidak memaksakan cintanya kepadaku atau wanita manapun juga. Cinta tidak mungkin bertepuk tangan sebelah"

   Hok Yan meremas tangannya dan sambil bergandeng tangan merekapun kembali ke rumah.

   Sementara itu, di sebuah rumah lain di dusun itu, dusun yang telah sepi ditinggalkan semua penghuninya, empat orang sedang bercakap-cakap. Mereka adalah Wulansari, Gayatri, Ki Jembros dan Pertiwi. Baru sekarang, setelah hendak meninggalkan dusun, melanjutkan perjalanan masing-masing dan saling berpamit, sebelum saling berpisah mereka sempat bercakap-cakap dengan serius dan panjang lebar.

   "Belum lama ini aku berjumpa dengan Raden Wijaya dan dengan Nurseta"

   Kata Ki Jembros dan mendengar ucapan itu, baik Gayatri maupun Wulansari memandang dengan wajah berseri. Pertiwi sudah mendengar akan pertemuan gurunya itu dengan mereka, maka iapun bersikap tenang dan tersenyum melihat betapa kedua pipi Wulansari berubah kemerahan dan matanya bersinar-sinar ketika mendengar disebutnya nama Nurseta. Ia maklum betapa besar cinta kasih gadis perkasa itu Kepada Nurseta dan ia merasa bersukur. Ia sudah mendengar pengakuan Nurseta yang mencinta gadis ini, dan sekarang ia melihat sendiri bahwa gadis inipun membalas cinta pemuda yang dikaguminya itu. Ia ikut merasa berbahagia.

   "Ah, bagaimana dengan kakangmas Wijaya, paman?"

   Tanya Puteri Gayatri dengan gembira "Dan apakah paman pernah melihat pula ayunda Tribuwana?"

   Ki Jembros mengangguk "Raden Wijaya dalam sehat, dan saya melihat pula Gusti Puteri Tribuwana bersama rombongan Raden Wijaya"

   "Ah, puji syukur kepada Gusti Maha Kuasa"

   Puteri Gayatri berseru dengan hati terharu akan tetapi juga girang mendengar bahwa kakaknya berada dalam keadaan selamat, bahkan telah bertemu dengan tunangannya.

   "Bagaimana pula dengan kakangmas Nurseta paman?"

   Tanya Wulansari.

   "Sebaiknya kuceritakan saja perjumpaanku dengan mereka itu"

   Kata Ki Jembros "Ketika itu, Pertiwi kutinggalkan dalam goa karena ia sedang melakukan tapa dan samadhi untuk menghimpun tenaga sakti agar ia dapat mempelajari ilmu kedigdayaan dariku. Seorang diri aku turun dari bukit itu dan di dalam hutan, aku melihat rombongan Raden Wijaya dan para senopati yang masih setia kepadanya, sedang dikepung dan diserang oleh pasukan yang dipimpin oleh Ki Cucut Kalasekti......."

   "Ahh, kakek iblis itu"

   Wulansari mengepal tinju mendengar disebutnya nama kakek itu yang pernah menjadi kakeknya, juga gurunya, akan tetapi yang ternyata adalah musuh besar ibunya itu.

   "Aku segera membantu dan pada saat itu muncul pula Nurseta yang juga membantu. Untung ada Nurseta, kalau tidak, aku sendiri tidak akan mampu menandingi Ki Cucut Kalasekti. Kami berhasil menewaskan duapuluh orang anak buah Cucut Kalasekti, akan tetapi dia sendiri dapat meloloskan diri"

   "Sayang......."

   Kata pula Wulansari.

   "Lalu ke mana sekarang kakangmas Wijaya, paman?"

   Tanya Gayatri.

   "Menurut keterangan beliau, karena tidak ada tempat yang aman, beliau hendak mengungsi ke Sumenep, ke tempat tinggal Sang Bupati Wiraraja. Dan berita terakhir yang saya dengar kini Raden Wijaya telah berada di kota raja Kediri, menghambakan diri kepada Prabu Jayakatwang di Kediri"

   "Ihhh........ Kenapa begitu?"

   Gayatri berseru dengan mata terbelalak penuh rasa penasaran "Bagaimana mungkin kakang mas Wijaya menghambakan diri kepada musuh? Sungguh keji dan memalukan......."

   "Harap puteri bersabar"

   Kata Ki Jembros "Saya merasa yakin bahwa hal itu dilakukan hanya sebagai siasat untuk menyusun kekuatan. Saya telah mendengar bahwa kini Raden Wijaya sedang membabat hutan, dan saya merasa yakin bahwa beliau sedang membangun kekuatan baru"

   "Benarkah itu, paman? Ah, mbakayu Wulan, mari kita menyusul ke sana, aku ingin mendengar sendiri dari mulut kakangmas Wijaya bahwa dia bukan seorang pengkhianat"

   "Jangan khawatir, kita akan menyelidik"

   Sendiri ke sana"

   Kata Wulansari "Paman Jembros, tahukah paman di mana adanya kakangmas Nurseta sekarang?"

   "Dia pergi mencarimu, Wulan"

   "Ahhh.......?"

   "Ketika kami bercakap-cakap dengan Raden Wijaya, Nurseta bercerita bahwa ayah angkatnya, juga gurunya yang pertama, yaitu Ki Baka, telah tewas pula ketika mereka berdua itu ikut terjun dalam pertempuran pada saat pasukan Daha datang menyerbu Singosari. Ki Baka dan Nurseta ketika itu sedang bertamu ke rumah ayahmu, Wulansari"

   "Ehhh......?"

   "Mereka datang berkunjung ke rumah Ki Medang Dangdi, ayahmu untuk meminang dirimu. Pinangan itu diterima oleh ayahmu, dan pada saat mereka bertamu itulah Singosari diserbu pasukan Daha, Nurseta dan Ki Baka ikut mengamuk, dan dalam pertempuran itu muncul pula Ki Cucut Kalasekti dan Ki Baka terkena anak panah beracun dari iblis tua itu"

   "Hemm, kembali kakek iblis itu........"

   Wulansari bergumam marah.

   "Karena lukanya, Ki Baka tewas, demikian cerita Nurseta. Sebelum tewas. Ki Baka memesan kepada Nurseta agar mencari sampai dapat tombak pusaka Ki Tejanirmala, dan agar dia mempersembahkan tombak itu kepada "Raden Wijaya. Dengan tombak pusaka itulah kiranya Raden Wijaya akan berhasil membangun kembali Kerajaan Singosari yang runtuh Nah, ketika dalam pertemuan di hutan setelah menolong rombongan Raden Wijaya itu. Nurseta menerima tugas pula dari Raden Wijaya untuk mencari dan menemukan tombak pusaka Tejanirmala itu. Dan Nurseta lalu pergi untuk mencarimu, Wulan, karena menurut dia, tombak pusaka itu berada padamu dan agaknya. telah diberikan kepada Sang Prabu Jayakatwang. Karena tombak pusaka itu maka Kediri menang perang melawan Singosari. Benarkah itu Wulan? Benarkah cerita Nurseta bahwa tombak. pusaka itu berada padamu dan kau berikan kepada Sang Prabu Jayakatwang?"

   Wulansari menundukkan mukanya yang nampak menyesal "Memang benar, paman. Seperti paman ketahui, aku telah ditipu oleh Ki Cucut Kalasekti yang menculikku dan aku diakuinya sebagai cucunya, bahkan dia mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku. Karena aku menganggap dia benar kakekku yang amat sayang kepadaku. maka ketika dia menyuruh aku mencari dan merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, aku melakukannya. Aku berhasil merampas pusaka itu dan kuserahkan kepadanya. Dia menghaturkan pusaka itu kepada Sang Prabu Jayakatwang dan sejak itu, tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala menjadi milik Raja Kediri itu"

   Wulansari nampak menyesal sekali ketika melanjutkan.

   "Sungguh aku sama sekali tidak mengira bahwa pusaka itu yang akhirnya menyebabkan runtuhnya Singosari karena diserbut oleh Kediri........"

   "Hemm, tidak benar demikian, Wulan. Kalau sebuah kerajaan besar seperti Singosari sampai runtuh,

   (Lanjut ke Jilid 24)

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24

   hal itu hanya dapat terjadi karena sudah dikehendaki oleh Sang Hyang Widhi Wasa. Dan runtuhnya Kerajaan Singosari merupakan peristiwa besar, tentu tidak dapat terjadi begitu saja tanpa banyak hal yang menyebabkannya. Diantara sebab-sebab itu mungkin karena Raja Kediri mendapatkan Ki Ageng Tejanirmala, juga karena kekeliruan mendiang Sang Prabu Kertanegara yang membiarkan negeri dalam keadaan kosong dan lemah dengan mengirim pasukan terbesar ke Pamalayu, Bali dan lain-lain. Jadi, sekarang tombak pusaka itu berada di tangan Sang Prabu Jayakatwang? Kalau begitu, akan sukar sekali tugas yang dipikul Nurseta. Tidak mudah merampas sebuah pusaka yang telah berada di tangan Sang Prabu Jayakatwang"

   Wulansari mengangkat mukanya "Jangan khawatir, paman. Aku yang akan membantu kakangmas Nurseta, dan aku yang sanggup untuk mendapatkan pusaka itu dan menyerahkannya kembali kepada kakangmas Nurseta"

   Ki Jembros memandang kepada gadis itu dengan wajah berseri "Aku percaya padamu, Wulan. Dan kalau engkau berhasil menyerahkan pusaka itu sehingga kelak dapat menjadi pusaka Raden Wijaya, sungguh aku merasa semakin berbahagia bahwa belasan tahun yang lalu aku telah menyelamatkan engkau dari gulungan ombak laut kidul"

   Demikianlah, mereka semua saling berpisah dalam suasana yang akrab dan penuh haru. Wulansari yang sudah menyamar lagi sebagai pria pergi bersama Dyah Gayatri yang berpakaian sebagai seorang gadis dusun biasa. Mereka akan pergi ke hutan di mana kabarnya Raden Wijaya sedang mendirikan sebuah tempat pemukiman baru,

   Lie Hok Yan pergi seorang diri ke utara untuk kembali ke pangkalan pasukan Mongol dan menjumpai seorang diantara panglimanya, yaitu Panglima Kau Seng yang menjadi suhengnya (kakak seperguruannya), melaporkan basil penyelidikannya kemudian minta ijin untuk keluar dari pasukan dan kembali mencari tunangannya ke dusun Klintren sebelah selatan Singosari.

   Ki Lurah Sardu, isterinya dan Sumirah lari mengungsi ke dukuh Klintren di mana dia memiliki seorang adik keponakan, di mana keluarga ini akan membuka hidup baru dan bersembunyi dari jangkauan tangan pasukan Daha yang tentu akan membalas dendam karena kegagalan mereka membasmi dusun Kalasan di mana banyak anggauta pasukan mereka tewas.

   Ki Jembros jaga melanjutkan perjalanannya dengan Pertiwi, gadis yang telah menjadi muridnya dan yang seperti juga Wulansari, selalu berpakaian seperti seorang pemuda untuk menghindarkan gangguan dalam perjalanan. Sebctulnya, Pertiwi yang merasa sudah cukup menerima gemblengan Ki Jembros, ingin pergi mencari sendiri musuh besarnya, yaitu Gagak Wulung. Akan tetapi, Ki Jembros melarangnya pergi mencari sendiri.

   "Gagak Wulung bukanlah seorang lawan yang lemah"

   Demikian kakek itu berkata "Biarpun engkau sudah mempelajari berbagai ilmu, aku masih belum rela membiarkan engkau menghadapinya sendiri. Akulah lawan bedebah itu"

   Dan Ki Jembros selalu menemani muridnya. Mereka mulai bertanya tanya dan melakukan penyelidikan di mana kiranya musuh besar itu berada. Setelah berputar-putar tanpa hasil, akhirnya mereka memutuskan untuk menyelundup ke wilayah Kerajaan Daha, karena Ki Jembros tahu bahwa Gagak Wulung adalah seorang tokoh Daha, walaupun namanya tidak pernah terkenal sebagai seorang senopati. Orang macam dia tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan dan dalam kemenangan yang dicapai oleh Daha, tentu dia ingin memetik pula buahnya.

   Biarpun Raden Wijaya berikut semua senopati yang setia kepadanya kini tinggal di Kerajaan Daha, dan nampaknya saja Raden Wijaya dan para pengikutnya menghambakan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang, namun sesungguhnya semua itu hanya merupakan siasatnya yang telah diatur bersama Bupati Wiraraja di Sumenep. Bupati Wiraraja yang ahli siasat itu tahu bahwa Sang Prabu Jayakatwang hanya membenci mendiang Sang Prabu Kertanagara, akan tetapi tidak membenci Raden Wijaya,

   Raden Wijaya tidak menyianyiakan waktunya. Dia menyebar para pembantunya untuk mencari dan memilih tempat yang baik yang akan dijadikan pangkalan mereka. Tak lama kemudian, para pembantu yang setia itu mengusulkan daerah Tarik sebagai tempat yang dicari oleh Raden Wijaya itu. Daerah Tarik terletak di tepi Sungai Brantas, karena itu mempunyai tanah yang loh jinawi ( subur). Apa lagi letaknya amat baik, dekat pelabuhan Canggu. Banyak sekali perahu hilir mudik di pelabuhan Canggu ini untuk berdagang. Tanahnya subur, dekat sungai sehingga perjalanan dapat dilakukan lancar, mudah berhubungan dengan daerah lain, bahkan dapat berhubungan dengan Madura melalui sungai. Tempat yang diidamkan oleh Raden Wijaya.

   Maka menghadaplah Raden Wijaya kepada Sang Prabu Jayakatwang. Kesukaan Sang Prabu Jayakatwang adalah berburu binatang di hutan. Maka dengan wajah yang bersungguh-sungguh, Raden Wijaya mengusulkan kepada Sribaginda raja agar memperkenankan dia untuk membuat daerah Tarik sebagai daerah hutan perburuan bagi sang raja. Raden Wijaya sendiri setiap kali Sribaginda melakukan perburuan, tentu diajaknya. Mendengar usul yang mengenai kesukaannya itu. Sang Prabu Jayakatwang segera menerima dan menyetujui usul itu.

   "Bagus sekali usulmu itu, Wijaya. Cepat laksanakan, dan jangan lupa untuk melepas beberapa pasang harimau, rusa dan banteng ke dalam hutan itu agar mereka itu berkembang biak dan menambab banyak jumlah binatang buruan di hutan itu"

   Setelah menerima ijin dari Sang Prabu Jayakatwang, Raden Wijaya lalu membawa para pembantunya menuju ke daerah Tarik, dan diapun mengirim utusan ke Sumenep untuk memberitahukan hal itu kepada Bupati Sumenep, yaitu Arya Wiraraja atau yang juga dikenal dengan sebutan Banyak Wide.

   Bupati Wiraraja girang sekali mendenga akan hal itu dan diapun cepat mengirim orang orang Madura, banyak sekali jumlahnya, untuk membantu Raden Wijaya membuka hutan itu. Setelah menentukan tempatnya dan memilih-milih, membuat gambar, Raden Wijaya lalu menyerahkan pelaksanaan pembukaan hutan itu kepada para senopatinya yang setia. Dia sendiri segera kembali ke Kediri untuk melaporkan kepada Sang Prabu Jayakatwang bahwa pekerjaan itu sudah mulai dilaksanakan. Dia kembali ke Kediri agar sang prabu tidak menaruh curiga. Namun diam-diam selalu ada utusannya yang mengadakan hubungan dengan para senopati yang mengepalai pekerjaan membabat hutan itu.

   Karena banyaknya tenaga pekerja dari Madura yang dikirim oleh Bupati Sumenep, maka, pekerjaan membongkar dan membabat hutan itu berjalan lancar sekali. Tak lama kemudian, dari utusan rahasia Raden Wijaya mendengar kabar bahwa daerah itu telah selesai dibabat dan bahwa para senopatinya mengharapkan Raden Wijaya untuk datang sendiri menyaksikan hasil pekerjaan mereka.

   Raden Wijaya memang sudah bersiap-siap. Dia lalu minta ijin kepada Raja Jayakatwang untuk memimpin sendiri pekerjaan di daerah Tarik itu.

   "Hamba akan membangun sebuah bangunan pesanggrahan untuk paduka, agar perburuan di sana dapat dilakukan siang malam tanpa gangguan dan paduka mempunyai tempat yang baik dan enak untuk melewatkan malam"

   Demikian antara lain Raden Wijaya menjanjikan. Sang Prabu Jayakatwang girang sekali dan berangkatlah Raden Wijaya bersama seluruh pengikut dan pembantunya.

   Dengan jantung berdebar penuh harapan, Raden Wijaya dan rombongannya melakukan perjalanan yang memakan waktu tidak kurang dari satu minggu itu.

   Ternyata para senopati telah mempersiapkan pesanggrahan untuk junjungan mereka. Sebuah bangunan yang amat sederhana, terbuat dari bambu, dan pagarnya dibuat dari bambu pula. Di sekeliling pesanggrahan itu terdapat kolam, Letaknya pesanggrahan itu di tengah-tengah daerah yang dibabat hutannya, yang direncanakan akan dijadikan sebuah kota. Kota ini menghadap ke sungai besar, yaitu Sungai Brantas yang mengalir dari sebelah barat, dan sungai besar ini bertemu dengan sebuah sungai kecil yang mengalir dari sebelah selatan, yaitu Kali Kencana (Kalimas).

   Begitu tiba di situ, Raden Wijaya dengan penuh semangat lalu mengadakan pemeriksaan dan berjalan mengelilingi daerah yang sudah dibabat. Dia melihat banyak pohon yang mengandung banyak buah. Dia ingin sekati melihat dan merasakan buah dari pohon itu.

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Buah pohon itu tidak enak rasanya, Raden"

   Kata Senopati Pamandana.

   "Ambilkan aku sebuah, aku ingin melihat dan merasakannya sendiri"

   Jawab Raden Wijaya,

   Segera beberapa butir buah itu diberikan kepadanya dan diapun mencicipinya. Benar saja, pahit sekali rasanya "Ihh, buah apakah ini?"

   "Namanya pohon itu pohon Wilwa atau pohon Maja, Raden"

   Para pekerja itu menerangkan.

   "Wilwa tikta (Maja pahit)"

   Kata Radent Wijaya, kemudian dia termenung seperti mengingat akan sesuatu "Majapahit...... hemm, itulah nama yang kuberikan kepada tempat ini. Para paman dan kakang senopati sekalian, harap menjadi saksi. Mulai sekarang, tempat ini kuberi nama Majapahit"

   SETELAH mendengar bahwa Raden Wijaya telah berada di daerah baru yang diberi nama Majapahit, maka berdatanganlag orang-orang dari Daha, Tumapel dan Madura untuk ikut membuka hutan dan tinggal di daerah itu. Orang-orang dari Madura berkelompok dan memilih bagian sebelah utara dari tempat ini, dan dinamakan dukuh Wirasaba. Dalam waktu sebentar saja, daerah baru yang diberi nama Majapahit itu menjadi ramai dan banyak sekali penduduknya.

   Raden Wijaya bersikap baik sekali kepada mereka yang berbondong datang ke daerah baru itu untuk menjadi penghuni di situ. Dia bersikap ramah dan penuh kekeluargaan, bahkan. membantu mereka yang kekurangan untuk dapat membangun rumah sederhana dan dia membagi-bagikan tanah garapan sehingga kehidupan para penduduk baru itu cukup terjamin. Sikap yang baik ini tentu saja segera tersiar luas dan semakin banyaklah orang-orang terusir dari daerah Singosari berdatangan dan kemudian menetap di situ, bersumpah setia kepada Raden Wijaya. yang mereka anggap sebagai junjungan baru.

   Biarpun bangunan yang menjadi tempat tinggalnya hanya merupakan pesanggrahan amat sederhana, namun melihat bahwa dia telah memiliki potensi sebagai tempat pergerakan dan penyusun kekuatan. Raden Wijaya lalu mengutus dua orang pembantunya yang setia, yaitu Banyak Kapuk dan Mahesa Wagal, pergi ke Madura dan menphadap Bupati Wiraraja di Sumenep. Dua orang utusan itu berankat.

   Dan giranglah hati Bupati Wiraraja mendengar bahwa Raden Wijaya telah mendapatkan suatu daerah baru yang amat baik sebagai tempat penghimpunan tenaga dan persiapan perang untuk menyerang Kerajaan Kediri.

   Diapun merasa setuju dengan permintaan Raden Wijaya agar Dyah Tribuwana yang ketika dia pergi ke Kediri dititipkan di Sumenep, agar ikut pula ke Majapahit bersama para utusannya. Diapun menitip pesan kepada para utusan itu bahwa untuk sementara ini, agar jangan sampai menyolok, dia tidak akan berkunjung dulu ke Majapahit. Akan tetapi, pasukannya dipersiapkan untuk membantu Raden Wijaya dan dia berpesan agar Raden Wijaya segera mempersiapkan diri, menghimpun tenaga pasukan. Dia sendiri akan mengirim utusan resmi kepada pimpinan pasukan Cina yang berada di sekitar pantai utara.

   Kedatangan kembali kedua utusan bersama Dyah Tribuwana disambut gembira oleh Raden Wijaya. Pertemuan antara dua kekasih itu tentu saja amat membahagiakan hati dan biarpun tadinya Dyah Tribuwana sejak kecil dimanja dan dilimpahi kemuliaan, berenang dalam kemewahan di dalam istana yang indah, dan kini dia melihat betapa tempat tinggal calon suaminya hanyalah sebuah pesanggrahan dari bambu yang amat sederhana bahkan miskin, namun ia berbahagia sekali. Hidup disamping orang yang dicinta selalu mendatangkan perasaan bahagia.

   Setelah menerima berita dari Bupati Wiraraja di Sumenep, makin berkobarlah semangat Raden Wijaya. Dia lalu mengumpulkan para senopatinya yang setia. Raden Wijaya mengajak para pembantunya yang setia itu untuk berbincang-bincang tentang persiapan untuk menyerang Kediri. Mengajak mereka menyusun dan merencanakan siasat kalau saatnya sudah tiba, dan bagaimana mereka harus bertindak untuk mengumpulkan perajurit, membentuk pasukan yang kuat, menerima sisa-sisa pasukan Singosari yang melarikan diri cerai berai ketika kalah perang oleh pasukan Kediri, bagaimana untuk mengumpulkan senjata, kereta dan sebagainya. Segala sesuatu mereka perbincangkan dan rencana diatur sebaiknya, bahkan sudah di rencanakan tempat-tempat yang akan mereka jadikan markas dalam gerakan mereka kalau tiba saatnya menyerbu Kediri.

   "Hanya ada satu hal yang sukar untuk didapatkan"

   Kata Raden Wijaya.

   "Yaitu kuda tunggangan yang baik bagi para senopati. Hal ini amatlah penting karena para senopati yang selalu harus memimpin pasukan, harus memiliki kuda tunggangan yang tangkas, kuat dan cepat. Akan tetapi, kuda yang kita miliki hanyalah kuda biasa yang kurang tepat untuk menjadi tunggangan para senopati"

   "Harap paduka jangan khawatir, Raden"

   Kata Ronggo Lawe dengan sikap gagah perkasa.

   "Perkenankan hamba pergi ke Madura. Disana terdapat banyak kuda yang berasal dari Bima, kuda pilihan yang baik, tinggi besar dan tangkas, bahkan sudah dilatih perang-perangan sehingga kuda-kuda itu tidak akan ketakutan apabila dibawa berperang"

   Raden Wijaya memandang dengan wajah berseri.

   "Ah, bagus sekali, Ronggo Lawe. Kalau begitu, biar kutitipkan surat untuk Paman Bupati Wiraraja, agar dia mau membantu dengan menyerahkan kuda-kuda pilihan dari Madura"

   Ronggo Lawe segera berangkat ke Madura untuk memenuhi tugas penting itu, dan para senopati lainnya juga bubaran untuk melaksanakan tugas mereka masing-masing yang sudah mereka terima dari Raden Wijaya. Ada yang menyebar para perwira untuk mengumpulkan calon-calon perajurit dan mengumpulkan para pemuda yang kini tinggal di Majapahit untuk menjadi perajurit. Ada yang melatih mereka yang menjadi perajurit baru. Ada yang memimpin mereka yang ditugaskan membuat senjata, dan lain-Iain. Kesibukan terjadi di Majapahit, daerah baru yang kelak akan menjadi pusat sebuah negara yang jaya dan besar kekuasaannya itu. Mereka bekerja keras karena mereka harus cepat-cepat bersiaga karena selain khawatir kalau sampai persiapan mereka ketahuan oleh Sang Prabu Jayakatwang, juga kalau pasukan Cina dari utara sudah bergerak, mereka harus bergerak pula dengan cepat membantu pasukan dari Cina itu. Kekhawatiran mereka memang beralasan karena pada suatu hari, tiba-tiba muncullah senopati Segara Winotan, senopati yang galak dan garang dari Kediri. Karena senopati ini memang congkak dan tinggi hati, apa lagi ketika itu dia tiba di daerah baru Majapahit sebagai utusan Sang Prabu Jayakatwang. maka sikapnyapun angkuh bukan main.

   Sikapnya itu masih angkuh ketika dia dibawa menghadap Raden Wijaya sehingga para senopati pembantu Raden Wijaya mengerutkan alis dengan hati tak senang. Akan tetapi Raden Wijaya menyambutnya dengan ramah. Sikap senopati itu dianggapnya wajar saja. Bukankah pada saat itu dia masih termasuk orang yang menghambakan diri kepada Kerajaan Kediri dan menjadi petugas Sang Prabu Jayakatwang untuk membuka hutan baru untuk berburu? Dan yang datang adaiah seorang senopati yang dipercaya, bahkan kini menjadi utusan.

   "Selamat datang, kakang Senopati Segara Winotan"

   Kata Raden Wijaya dengan sikap yang cukup hormat.

   "Angin apakah gerangan yang meniup kakang senopati berkunjung ke tengah hutan ini?"

   Segara Winotan tersenyum menyeringai senang melihat sikap pangeran itu demikian penuh hormat. Dia membusungkan dadanya dan menjawab dengan sikap dan lagak jagoan.

   "Bukan angin sembarang angin, Raden Wijaya, melainkan angin yang bertiup dari istana. Saya datang sebagai utusan resmi dari Sang Prabu Jayakatwang, junjungan kita"

   Dia sengaja menyebut "junjungan kita"

   Seperti hendak mengingatkan Raden Wijaya bahwa pangeran itupun kini menjadi "kawula"

   Kediri.

   "Ah, kiranya kakang senopati diutus oleh Paman Prabu Jayakatwang. Silakan duduk

   kakang senopati. Berita apakah yang kakang bawa dari kotaraja? Perintah apakah yang diberikan oleh Paman Prabu untukku?"

   "Berita dari kota raja baik-baik saja, Raden Pemerintah Gusti Prabu semakin kuat dan jaya tetelah Singosari ditaklukkan. Dan Gusti Prabu mengutus saya untuk menemui Raden, dengan perintah agar Raden cepat kembali ke kota raja karena beliau sudah ingin sekali mengajak Raden untuk berburu di hutan buruan yang baru ini"

   Raden Wijaya memperlihatkan muka kaget, bukan dibuat-buat karena memang dia sungguh terkejut mendengar keinginan hati Sang Prabu Jayakatwang itu.

   "Bagaimana mungkin, kakang senopati? Persiapannya belum selesai seluruhnya. Penambahan binatang buruan baru terlaksana sebagian, yang ada baru kijang, harimau dan bantengnya belum dapat. Pula, perlengkapan perburuan juga belum didapatkan semua. Aku sedang menyuruh pembantuku untuk mencarikan kuda-kuda yang baik untuk berburu Paman Prabu, juga anjing-anjing pemburu yang galak dan cekatan. Dan kalau aku kembali ke Kediri, tentu pekerjaan di sini akan terbengkalai dan tidak segera selesai"

   Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki banyak kuda dan seorang pekerja melapor kepada Raden Wijaya.

   "Ki Ronggo Lawe telah datang membawa banyak kuda yang besar, Raden "

   Raden Wijaya lalu berkata kepada Segara Winotan.

   "Nah, itulah kakang senopati. Utusanku untuk mencari kuda sudah pulang dan membawa banyak kuda yang baik untuk berburu"

   "Boleh saya melihatnya, Raden?"

   Tanya Segara Winotan yang sebetulnya ingin melihat dan menyelidiki sendiri pekerjaan yang dilakukan Raden Wijaya agar kalau ada sesuatu yang tidak beres, dia dapat melaporkan kepada Sang Prabu Jayakatwang.

   Ketika mereka berdua keluar, mereka melihat Ronggo Lawe dan beberapa orang Madura menggiring dua puluh empat ekor kuda yang besar dan tangkas. Bagi Segara Winotan. cara orang-orang Madura menggiring sekelompok kuda itu kasar sekali, baik teriakan mereka maupun tingkah laku mereka. Ketika ada seorang Madura lewat dekat di depannya sambit membunyikan cambuk yang meledak seperti di dekat telinganya, dan mendengar teriakan parau panjang, debu mengebul dan mengenai pakaiannya, senopati yang congkak itu menjadi tak senang hatinya.

   "Hemm, Raden Wijaya. Kenapa kau memperbolehkan orang-orang Madura yang tak tahu aturan dan kasar ini bekerja untuk Raden? Petani-petani Madura ini sungguh menjemukan"

   Ucapan itu dikeluarkan dengan suara lantang sehingga terdengar oleh Ronggo Lawe dan orang-orang Madura yang menggiring kuda itu.

   Ronggo Lawe adalah seorang pemuda yang pendiam akan tetapi berhati baja dan wataknya amat keras. Melihat sikap congkak dari senopati Daha itu. hati Ronggo Lawe sudah merasa tidak senang, apa lagi ketika mendengar ucapan yang nadanya menghina orang-orang Madura. Dia menghampiri tamu itu dan dengan mata mendelik diapun berkata.

   "Hemm, kurasa para petani Madura lebih baik dari pada orang-orang Daha. Kalau perlu, boleh dicoba kemampuan orang Madura"

   Berkata demikian, Ronggo Lawe sudah mengikatkan ujung kainnya ke pinggang, siap untuk bertanding.

   Melihat sikap ini dan mendengar ucapan Ronggo Lawe, terkejutlah hati Raden Wijaya. Kalau dibiarkan, sungguh berbabaya sekali, tentu akan terjadi perkelahiam dan semua rahasianya akan dapat terbuka sebelum waktunya. Dia segera melerai dan mengedipkan mata kepada Lembu Sora. Senopati yang lebih tua dan banyak pengalaman ini maklum, lalu dia menggandeng tangan Ronggo Lawe diajak pergi dari situ untuk cepat-cepat mengatur kuda-kuda yang baru tiba. Dengan muka merah Ronggo Lawe menurut saja dibawa pergi oleh Lembu Sora.

   Andaikata tidak di depan Raden Wijaya, tentu dia akan menolak dan berkeras untuk menantang Segaia Winotan.

   Semeniara itu, Segara Winotan bengong melihat lagak Ronggo Lawe. Dia tidak mengenal Ronggo Lawe yang ketika bertemu orang-orang Daha sengaja tidak menonjolkan diri seperti para senopati lain, karena maklum bahwa junjungan mereka, Raden Wijaya, sedang mengalah dan diam-diam memupuk kekuatan.

   "Raden, siapakah orang kasar itu?"

   Raden Wijaya tersenyum "Maafkan dia, kakang. Dia itu keponakan Lembn Sora dan sebagai seorang yang berasal dari Tunjung di bagian barat Madura. Dia adalah seorang dusun yang masih bodoh dan tidak tahu banyak tentang peraturan, masih lugu dan kasar sekali, akan tetapi dia amat jujur dan tidak mempunyai niat buruk di hatinya. Oleh karena itu, harap kakang senopati suka memaafkan dia dan memandang kepadaku. Harap kakang Segara Winotan suka melaporkan kepada Paman Prabu bahwa persiapan yang kulakukan disini sudah hampir selesai. Kuda sudah siap, tinggal menanti kelompok anjing pemburu dan juga jaring-jaring yang kuat untuk menangkap harimau dan binatang lain yang liar dan buas"

   "Hemm, sampai kapan kiranya persiapan ni selesai dan kapan kiranya Raden dapat menghadap Gusti Prabu?"

   "Bulan depan, dari awal sampai pertengahm bulan, kurasa sudah selesai semua dan aku akan cepat-cepat pergi menghadap Paman Prabu"

   Segara Winotan lalu dijamu makan oleh Raden Wijaya dan utusan ini melihat keramahan Raden Wijaya, percaya akan semua keterangan yang diberikan pangeran itu. Diapun kembali ke Daha untuk memberi laporan seperti yang dikehendaki Raden Wijaya. Seperginya utusan itu, Raden Wijaya mengumpulkan semua pembantunya dan mereka bersepakat untuk mempercepat persiapan perang.

   Nurseta menyelundup ke ibu kota Kedir, sepanjang perjalanannya, dia dengan hati sedih melihat bencana yang telah melanda rakyat sebagai akibat perang yang dilakukan Kediri terhadap Singosari. Bukan hanya Kerajaan Singosari yang hancur, bukan hanya keluarga Raja Kertanagara yang ditimpa malapetaka karena kalah perang. Akan tetapi, yang lebih menyedihkan lagi adalah melihat akibat perang yang diderita oleh rakyat jelata. Perang mendatangkan kekacauan yang mengerikan. Hukum tidak berlaku lagi di pedusunan kare-na perang. Apa lagi setelah mendengar bahwa Kerajaan Singosari kalah oleh Kerajaan Ke-diri. Semua pamong praja, semua pejabat pemerintah yang berkuasa di daerah dan pedu-sunan, kehilangan wibawa dan keadaan itu dipergunakan oleh gerombolan dan orang-orang jahat untuk merajalela. Pasukan keamanan tidak bergerak lagi karena takut kepada pasukan musuh.

   Terjadilah kejahatan-kejahatan, perampokan, balas dendam tanpa ada yang mengadili. Terjadilah hukum rimba di mana-mana siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar. Para penjahat yang tadinya takut karena adanya kekuasaan kerajaaan yang melindungi keamanan rakyat di dusun-dusun, kini menjadi raja-raja kecii. tidak ada yang ditakutinya lagi. Semua ini menambah penderitaan mereka yang dusunnya dilanda atau dilewati pasukan yang sedang berperang. Dalam keadaan perang semua orang seolah-olah menjadi, kejam dan tidak mengenal prikemanusiaan lagi. Setan-setan merajalela menguasai hati manusia dan segala macam tindakan yang keji dan kejampun terjadilah. Dan rakyat tidak berdaya, menderita tanpa ada yang melindungi, tanpa ada yang membela karena semua orang menyelamatkan diri dan keluarganya masing-masing. Setiap hari terjadi perampokan, pembunuhan, perkosaan dan dunia bagaikan kiamat bagi mereka yang lemah. Setan berpesta pora melalui orang-orang yang diperhambanya, orang-orang yang mengandalkan kekuatan, mengandalkan pengeroyokan, merayakan pesta-pesta biadab yang tiada prikemanusiaan sama sekali.

   Sebagai seorang yang berjiwa satria, Nurseta tidak tahan untuk berdiam diri. Di dalam perjalanannya itu, setiap kali bertemu dengan kejahatan, penindasan, perampokan, perkosaan atau pembunuhan, selalu dia turun tangan menentang yang jahat dan membela yang lemah tertindas. Tidak percuma dia, menjadi anak angkat mendiang Ki Baka dan menjadi murid tersayang mendiang Panembaban Sidik Danasura. Ilmu-ilmunya, aji kedigdayaannya, dapat dipergunakan untuk menentang kejahatan.

   Nurseta berjalan menuju ke ibu kota Kediri sambil melamun. Terbayanglah wajah Wulansari di lubuk hatinya, Wajah yang belum pernah dia lupakan, siang menjadi kenangan malam menjadi impian, Akan tetapi sekarang, wajah itu lebih jelas dari pada biasanya. Dia sedang menuju ke ibu kota Kediri, di mana Wulansari berada. Keterangan yang diperolehnya adalah bahwa Wulansari menjadi seorang pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatang dan hal ini sungguh merisaukan hatinya, Alangkah akan sukarnya bertemu dengan Wulansari. Dan andaikata dia dapat bertemu dengannya, bagaimana mungkin dia dapat membujuknya agar Wulansari mau meninggalkan Kerajaan Kediri, mau meninggalkan pekerjaannya menghambakan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang? Dan bagaimana pula akalnya agar dia dapat merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang kabarnya sudah terjatuh ke tangan Sang Prabu Jayakatwang itu?

   Bagaimana nanti sajalah, pikirnya. Yang penting, dia harus dapat bertemu dan berbicara dengan Wulansari. Dia akan memberitahu kepada gadis itu bahwa dia telah meminang Wulansari kepada ayah dan ibu kandung gadis itu dan bahwa pinangan itu telah diterima. Tiba-tiba, ketika dia melihat dua orang pria menunggang kuda mendahuluinya, diapun menyelinap kaget karena dia mengenal seorang di antara mereka. Gagak Wulung. Tidak salah lagi. Pria yang berusia kurang lebih enampuluh empat tahun itu masih nampak gagah duduk di atas punggung kuda dengan tegak, perutnya tidak gendut seperti pria-pria seusia itu, bahkan wajahnya masih tampan dan gagah. Rambutnya yang sudah berwarna dua itu bahkan menambah daya tarik kejantanannya.

   Pakaiannya masih tetap mewah dan pesolek. Tak salah lagi, pikir Nurseta, pria itu adalah Gagak Wulung dan tentu saja kini wajah Pertiwi terbayang di depan matanya. Gagak Wulung. Pria jahanam yang telah menodai Pertiwi, memaksa gadis itu menyerahkan diri dengan kekuatan sihirnya. Kasihan Pertiwi. Gagak Wulung harus menerima hukumannya atas perbuatannya yang biadab itu. Dia tidak mengenal pria ke dua yang juga menunggang kuda di samping Gagak Wulung itu. Seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti seorang resi, seorang pendeta.

   Begitu mengenal Gagak Wulung, Nurseta cepat membayanginya dari jauh. Untung kedua orang itu membiarkan kuda mereka berjalan congklang, tidak terlalu cepat sehingga Nurseta tidak harus berlari yang tentu akan mendatangkan keheranan dan kecurigaan orang lain. Akan tetapi, dua orang penunggang kuda itu, di suatu perempatan jalan, membelok ke kiri, menuju ke sebuah bukit kecil yang penuh dengan pohon-pohon, bukan terus menuju ke Kediri. Nurseta tetap membayangi dari jauh. Karena mereka menunggang kuda, maka tidak sukar baginya membayangi dari jauh tanpa mereka lihat.

   Apa yang diduga Nurseta memang benar. Pria penunggang kuda yang tampan dan gagah biarpun usianya sudah tua itu memang benar Gagak Wulung. Dan pria lebih muda yang berpakaian pendeta itu bukan lain adalah murid Ki Buyut Pranamaya yang tadinya bernama Jaka Pati, akan tetapi kini telah menjadi seorang pendeta yang menghambakan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang dan memiliki julukan Resi Mahapati. Seperti kita ketahui, Ki Buyut Pranamaya, guru Resi Mahapati ini, adalah seorang datuk sesat yang berilmu tinggi. Muridnya yang amat disayang inilah yang telah mewarisi Ilmu-ilmu dan aji-aji kesaktian kakek tua renta itu. Karena Resi Mahapati kini telah mendapatkan kedudukan tinggi sebagai seorang pendeta kerajaan di Daha, maka dia mengajak gurunya itu agar ikut meikmati kemuliaan di Kediri. Apa lagi mengingat bahwa kini Kediri telah berbasil mengalahkan dan menguasai Singosari. Dan kebetulan sekali dua orang tokoh sesat yang terkenal, yaitu Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, datang berkunjung sebagai tamu. Maka penawaran Resi Mahapati itu amat menarik hati dua orang tokoh sesat itu. Gagak Wulung sendiri biarpun belum pernah menjadi senopati Kerajaan Daha, namun dia adalah kawula Kediri dan dia pernah membantu para senopati Daha sebagai seorang mata-mata yang tangguh.

   Karena Gagak Wulung bukan seorang ponggawa Kerajaan Daha, melainkan seorang petualang, maka ketika terjadi pemberontakan Mahesa Rangkah, murid tangguh yang tertua dari Ki Buyut Pranamaya, diapun membantu pemberontak itu. Namun pemberontakan itu gagal dan Mahesa Rangkah yang ketika itu memberontak terhadap Kerajaan Singosari, kurang lebih duabelas tahun yang lalu, tewas. Semenjak itu, Gagak Wulung menganggap Ki Buyut Pranamaya sebagai atasannya dan seringkali dia membantu kakek sakti mandraguna yang jahat seperti iblis itu. Maka, tidak mengherankan kalau sekarang dia mengajak Ni Dedeh Sawitri yang menjadi rekannya, sahabat dan juga kekasihnya menghadap kakek itu. Kemudian, mendengar bahwa Jaka Pati murid Ki Buyut Pranamaya kini telah menjadi seorang pendeta istana Daha yang dipercaya dan berkedudukan tinggi, dan yang datang mengajak Ki Buyut Pranamaya untuk mengabdikan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang, Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri juga ikut untuk membonceng kemuliaan.

   Akan tetapi, Ki Buyut Pranamaya adalah seorang yang tinggi hati. Dia merasa bahwa dirinya bukan "orang biasa"

   Melainkan seorang tua yang sakti mandraguna dan tidak sepatutnya kalau dia merangkak-rangkak di depan Sang Prabu Jayakatwang untuk mohon diberi kedudukan.

   "Tidak, aku belum tahu bagaimana Sang Prabu Jayakatwang akan menerima diriku. Sebelum ada kepastian, aku tidak akan mau menghadapnya. Karena itu, muridku Mahapati, kalian pergilah dulu menghadap Sang Prabu Jayakatwang dan minta keputusannya, apakah akan suka menerima bantuan seorang tua seperti aku ataukah tidak. Aku harus disambut sebagai seorang calon pembantu yang dibutuhkan dan terbormat, bukan sebagai seorang yang datang minta-minta anugerah dan pekerjaan"

   Demikianlah kata kakek itu yang menanti di sebuah gubuk darurat di dalam sebuah hutan di Bukit Srindil, tidak jauh dari ibu kota Kediri. Mendengar ini, Gagak Wulung lalu mengajukan diri untuk menemani Mahapati menghadap Sang Prabu Jayakatwang untuk lebih meyakinkan Sribaginda akan kesaktian Ki Buyut Pranamaya dan betapa kakek itu akan dapat menjadi seorang penasibat yang amat berguna bagi kerajaan. Sebagai seorang tokoh yang seringkali membantu Kerajaan Daha, tentu dia dipercaya oleh Sang Prabu Jayakatwang.

   Tepat seperti yang sudah diduga oleh Resi Mahapati dan juga Gagak Wulung, Sang Prabu Jayakatwang dengan gembira menyatakan bahwa dia mau menerima bantuan Ki Buyut Pranamaya, apa lagi ketika mendengar bahwa kakek sakti mandragura itu adalah guru Resi Mahapati, juga guru mendiang Mahesa Rangkah yang dahulu memberontak terhadap Singosari.

   "Kalian tahu, bahwa mengabdi kepada seorang raja tidaklah mudah, harus lebih dulu memperlihatkan darma baktinya"

   Kata Sang Prabu Jayakatwang kepada Resi Mahapati yang menghadap bersama Gagak Wulung.

   "Oleh karena itu, kalau benar Ki Buyut Pranamaya hendak mengabdi kepada kami, diapun harus memperlihatkan darma baktinya dan membuat jasa"

   Resi Mahapati memberi sembah.

   "Harap paduka suka memberitahu kepada hamba agar hamba sampaikan kepada Guru, tugas apa gerangan yang paduka perintahkan, tentu akan dilaksanakan, dengan sebaiknya oleh Guru"

   Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk.

   "Memang ada tugas penting, tugas rahasia yang akan kami berikan kepadanya. Akan tetapi tidak dapat kami katakan sekarang. Biarlah dia menanti di Bukit Srindil sampai datang utusan kami untuk memberitahukan apa yang harus dia lakukan untuk kami"

   Demikianlah, Resi Mahapati dan Gagak Wulung merasa puas dan gembira, apa lagi ketika Sang Prabu Jayakatwarg mengutus nereka untuk cepat pergi mencari Ki Cucut Kalasekti atau Adipati Satyanegara di Bendowinangun.

   "Minta dia untuk datang menghadap kepadaku secepat mungkin"

   Mereka berdua lalu membalapkan kuda mereka mencari Adipati Satyanegara dan menyampaikan perintah Sang Prabu Jayakatwang kepada adipati tua yang sakti itu. Ketika itu, Sang Adipati Satyanegara atau yang dahulunya terkenal dengan nama Ki Cucut Kalasekti, sedang kebingungan dan marah. Dia telah menerima berita yang amat buruk dari Sang Prabu Jayakatwang, bahwa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala telah lenyap bersama perginya Wulansari yang mengajak minggat Sang Puteri Dyah Gayatri. Dan Sang Prabu Jayakatwang dengan berang mengutus agar dia mencari dan merampas kembali tombak pusaka itu. Dia tahu bahwa kalau dia gagal mendapatkan kembali tombak itu, tentu Raja Kediri akan marah kepadanya dan kedudukannya sebagai adipati terancam.

   Akan tetapi, kemanakah dia harus mencari Wulansari? Dia tahu bahwa gadis yang pernah menjadi muridnya itu, yang pernah disayangnya sebagai cucunya, adalah.seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa, juga amat cerdik. Tidak akan mudah menemukan jejak gadis itu. Dia sudah menyebar orang-orang untuk melakukan penye

   lidikan, namun sampai sekarang belum juga ada laporan tentang hasil baik penyelidikan itu.

   Ketika Resi Mahapati dan Gagak Wulung datang berkunjung sebagai utusan Sang Prabu Jayakatwang, dia sangat kaget, mengira bahwa tentu Raja Kediri itu akan menumpahkan kemarahan kepadanya. Akan tetapi, Resi Mahapati memberitahukan tentang keinginan Ki Buyut Pranamaya mengabdikan diri ke Kediri.

   "Mungkin guru akan dijadikan utusan Sang Prabu untuk menyampaikan tugas penting sebagai uji coba kesetiaan yang diberi kan Sang Prabu kepada Guru"

   Demikian antara lain Resi Mahapati mengemukakan pendapatnya. Mendengar ini, legalah hati Ki Cucut Kalasekti, bahkan dia seperti mendapat sinar terang. Kenapa tidak mengajak Ki Buyut Pranamaya untuk membantu dia mencari Wulansari dan merampas kembali tombak pusaka itu? Dia sudah mendengar akan kesaktian Ki Buyut Pranamaya, seorang datuk sesat yang kedudukannya setingkat dengan dia sendiri.

   Demikianlah, Resi Mahapati dan Gagak Wulung meninggalkan Bendowinangun dan kembali ke Bukit Srindil untuk menghadap Ki Buyut Pranamaya, dan dalam perjalanan ini, tanpa setahu mereka, mereka mendahului Nurseta yang segera membayangi mereka dari jauh karena Nurseta mengenal 6agak Wulung yang memang dicarinya bertalian dengan perbuatannya kepada Pertiwi.

   Adapun Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti sendiri, dengan cepat segera pergi ke ibu kota Kediri untuk menghadap Sang Prabu Jayakatwang. Sang Prabu Jayakatwang membubarkan persidangan dan menerima Ki Cucut Kalasekti berdua saja karena apa yang akan dibicarakan merupakan rahasia yang raja itu tidak ingin orang lain mendengarnya. Yaitu mengenai lenyapnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Kalau hal ini diketahui oleh para senopati dan ponggawa, tentu akan melemahkan semangat mereka karena pusaka itu dianggap sebagai wahyu kerajaan. Para senopati bahkan seluruh perajurit Daha percaya penuh akan keampuhan Tejanirmala. Bukankah setelah raja mereka menguasai pusaka itu, penyerbuan ke Singosari berhasil dengan cepat dan dengan baik sekali? Maka, kalau sampai hilangnya pusaka ini ketahuan para ponggawa, tentu akan menimbulkan kegemparan dan menjatuhkan semangat mereka,

   

Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini