Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 24


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 24



"Nurseta.......aku ibumu, nak. Kau anakku........, aduh dewa....., ampuni hamba........ kau anakku......., wajahmu itu....... ah, sama benar dengan wajahnya, ayahmu. Nurseta anakku. tahukah engkau betapa rinduku kepadamu? Setelah aku meninggalkan engkau dan ayahmu....... ah, aku

   lelah dikutuk untuk perbuatan itu, aku rindu kepada kalian. Aku kembali ke Kediri, akan tetapi ayahmu telah meninggal dan kau.......kau lenyap. Tak seorangpun tahu dt mana kau berada, bahkan tidak ada yang tahu tahwa Pangeran Panji Hardoko mempunyai seorang putera. Aku menjadi seperti gila"

   Aduh, anakku........ anakku....... aku menjadi gila dan makin tersesat......"

   "Hemm, kau perempuan keji, iblis betina, jangan mencoba merayuku. Kalau kau ibuku, mengapa kau berusahu membunuhku? Kau........ perempuan tak bermalu....... muak aku melihatmu........"

   Seluruh perasaan dendam dan bencinya kepada wanita. yang menjadi ibu kandungnya itu tercurah keluar dari dalam hati Nurseta. Lenyaplah semua kebijaksanaannya, terbakar oleh apa dendam dan sakit hati.

   Ni Dedeh Sawitri menjerit. Bagaikan di tikam keris berkarat rasa jantungnya dan ia pun terkulai, lalu menangis tersedu-sedu, sesenggukan sampai sesak napasnya.

   "Ampunkan aku........duhh dewa...... anakku....... ampunkan ibumu........ Panperan Panji Hardoko...... ampunkan aku....... duh Nurseta, ampunkan ibumu ini, anakku....... ia Merintih-rintih dan membentur-benturkan dahinya di atas lantai. Nurseta diam saja terlentang dan tidak menoleh, akan tetapi kedua matanya basah, berlinang air mata mengingat betapa yang merintih-rintih itu adalah rintihan ibu kandungnya. Terbayang di dalam benaknya betapa wanita ini dahulu merintih rintih seperti itu ketika melahirkan dia di dalam dunia ini. Ingin dia merangkul, ingin dia menyembah dan minta ampun. Akan tetapi, diberatkannya hatinya. Wanita ini memang ibu kandungnya, akan tetapi terlalu jahat, terlalu kejam.

   Melihat keadaan ibu dan anak itu, Ki Jembros merasa kasihan pula. Dia yang mewakili Nurseta menjawab.

   "Ni Dedeh Sawitri, mintalah ampun kepada Sang Hyang Widhi, kepada Yang Maha Kuasa. Bertauhatlah dan mohon ampun kepadaNya"

   Ni Dedeh Sawitri bangkit berlutut, merangkap kedua tangan, menyembah-nyembah dari membentur-benturkan dahinya ke lantai.

   "Duh para dewa......., duh Hyang Widhi...... ampunilah hamba....... ya Tuhan, ampuni hambaMu ini uhhuhuuuu, ampun.... ampun...... ampun....."

   La meratap-ratap dan air matanya bercucuran, rambutnya terlepas dari sanggul dan awut-awutan, wajahnya pucat dan layu, tubuhnya mengigil.

   "Ni Dedeh Sawitri, apa gunanya semua itu? Kau telah membantu sehingga puteramu. anak kandungmu tertawan dan setiap saatnya? nyawanya terancam maut......."

   Kata Ki Jembros mengingatkan.

   Tiba tiba Ni Dedeh Sawitri meloncat berseru.

   "Tidak? Tidak ada yang boleh roembunuh anakku. Dia tidak boleb diganggu"

   Dan bagai orang gila, ia lalu melepaskan belenggu dari kaki dan tangan Nurseta. Pemuda ini begitu terbebas, lalu membereskan pakaiannya yang hampir ditelanjangi wanita itu tadi, dan dia meloncat ke dekat Ki Jembros dan membebaskannya dari ikatan kaki tangannya.

   Pada saat itu, daun pintu terbuka dari luar dan enam orang murid Ki Buyut Pranamaya berloncatan masuk. Mereka tadi di luar mendengar suara ribut-ribut dalam kamar itu. Tadinya mereka sambil menahan tawa hendak menglntai, hendak melihat apa yang sedang dilakukan Ni Dedeh Sawitri terhadap tawanannya, dan mereka mengharapkan penglihatan yang menggairahkan dan mengobarkan nafsu berahi mereka. Akan tetapi, ternyata yang mereka dengar adalah tangis Ni Dedeh Sawitri, maka mereka segera mendorong daun pintu dan berloncatan masuk. Akan tetapi, mereka hanya mengantar nyawa, karena begitu mereka masuk, Ni Dedeh Sawitri sudah menyambut mereka dengan serangan kuku-kuku jari tangannya yang ampuh dan mengandung bisa itu. Empat orang roboh dan tewas seketika dengan muka menghitam, dan dua orang lainnya yang hendak melarikan diri, roboh oleh tendangan Ki Jembros yang sudah bebas. Nurseta sendiri hanya bengong saja melihat sepak terjang wanita yang sebetulnya ibu kandungnya akan tetapi selama ini menjadi musuhnya itu.

   "Ni Dedeh, bawa kami kepada Gagak Wulung. Kami harus menolong Pertiwi yang tadi dibawanya lari"

   Kata Ki Jembros yang teringat akan muridnya.

   Ni Dedeh Sawitri memandang kepada Nurseta yang juga sedang menatapnya, dan dua pusang mata bertemu dan bertaut untuk beberapa detik lamanya. Melihat betapa pandang mata pemuda itu kepadanya kini mulai bebas duri kebencian yang mendalam, Ni Dedeh Sawitri merasa demikian berbahagia sehingga iapun meloncat ke pintu kamar sambil berseru dengan suara ringan dan gembira, Mari kalian ikuti aku"

   Tanpa banyak cakap Ki Jembros dan Nurseta mengikuti wanita itu yang keluar dari rumah melalui pintu belakang. Karena pada saat itu, dua orang kakek gakti Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya sedang bercakap-cakap di ruangan depan, mereka tidak tahu bahwa dua orang tawanan telah lolos dan enam orang murid Ki Buyut Pranamaya telah tewas.

   Ni Dedeh Sawitri dapat menduga ke mana Gagak Wulung membawa pergi gadis tadi. Tentu ke dalam hutan dan iapun tahu di mana terdapat lapangan rumpu yang tebal dan mengasyikkan. Kesanalah ia berlari, diikuti oleh Nurseta dan Ki Jembros.

   Setelah mereka tiba di tengah hutan, di tempat yang ditumbuhi rumput tebal, tiba-tiba Ni Dedeh Sawitri berhenti berlari dan ia tidak bicara, hanya menudingkan telunjuk kanannya ke depan.

   Ki Jembros dan Nurseta memandang dan mereka terbelalak, Gagak Wulung dan Pertiwi, keduanya dalam keadaan terlanjang bulat, rebah dalam keadaan mandi darah dan tak bernyawa lagi.

   "Pertiwi........"

   Ki Jembros meraung dan diapun meloncat ke depan, dan di lain saat dia menubruk mayat Pertiwi sambil menangis menggerung gerung. Nurseta terbelalak, termangu dan terharu. Sebagai seorang pria, dia dapat merasakan apa yang dirasakan kakek itu. Ki Jembros bukan sekedar kehilangan seorang murid, melainkan lebih dari pada itu. jauh lebih dari pada itu. Dia kehilangan seorang yang amat dikasihi, seorang yang amat dicintanya.

   "Pertiwi...... aduh, jagad dewa bathara....... Pertiwi........"

   Ki Jembros merangkul dan memangku mayat yang kepalanya pecah itu. Tiba-tiba dia menurunkan kembali mayat itu dan seperti orang yang mendadak menjadi gila, dia berteriak kepada mayat Gagak Wulung.

   "Gagak Wulung, jahanam keparat kau. Terkutuk kau, semoga nyawamu disiksa di neraka yang paling rendah. Dan diapun mengayun tangannya dua kali. Terdengar bunyi keras dan kepala mayat Gagak Wulung menjadi remuk. Setelah melampiaskan kedukaan dan kearahannya dengan menghancurkan kepala mayat Gagak Wulung, kembali Ki Jembros merangkul mayat Pertiwi dan sambil menangis dia mengenakan pakaian laki-laki yang tadi ditinggalkan dari tubuh Pertiwi kepada mayat gadis itu lagi.

   Nurseta berdiri seperti berubah menjadi arca. Dia teringat akan nasib Pertiwi dan diamddiam dia merasa terharu dan iba. Buruk sekali nasib gadis manis itu. Gadis itu jatuh cinta kepadanya, namun dia tidak dapat membalas cinta Pertiwi karena dia telah lebih dulu jatuh cinta kepada Wulansari. Kemudian, Pertiwi dalam keadaan putus harapan dan patah hati, bertemu dengan Gagak Wulung dan gadis itu menyerahkan diri di bawah pengaruh sihir Gagak Wulung. Gadis itu menjadi sakit hati dan setelah bertemu Ki Jembros, ia mempelajari ilmu dan berusaha membalas dendan. Akan tetapi, kembali ia dikalahkan, bahkan diperkosa kembali. Dan dia dapat membayangkan apa yang telah terjadi, melihat keadaan mayat Gagak Wulung yang amat mengerikan tadi.

   Mulutnya penuh darah dengan lidah putus, dan alat kelaminnya remuk. Melihat betapa tangan kanan Pertiwi penuh darah, diapun dapat membayangkan betapa gadis itu tentu telah bersiasat, berpura-pura menyerah dan melayani jahanam itu, kemudian membunuhnya dengan meremas alat kelaminnya. Dan pada saat sekarat itu, Gagak Wulung sempat memukul pecah kepala Pertiwi. Gadis yang malang sekali. Padahal, Ki Jembros jelas amat mencinta gadis itu.

   Tiba-tiba Nurseta yang melamun itu dikejutkan oleh teriakan Ni Dedeh Sawitri.

   "Nurseta. Ki Jembros. Cepat kalian lari, biar aku yang menahan dua ekor monyet tua itu"

   Ki Jembros dan Nurseta cepat memutar tubuh dan mereka masih sempat melihat Ni Dedeh Sawitri meloncat dan menyerang dua orang kakek sakti yang datang ke tempat itu. Bagaikan seekor singa betina melindungi anaknya, Ni Dedeh Sawitri menggunakan pukulan mautnya, yaitu dengan Aji Sarpakenaka mencakar ke arah muka Ki Cucut Kalasekti yang berada di depan, Namun, tentu saja kakek sakti itu dengan mudah dapat mengelak bahkan rnembalas dengan tamparan tangan Gelap Sewu yang ampuh Dengan kelincahan tubuhnya, Ni Dedeh Sawitri mengelak, meloncat ke kanan dan karena Ki Buyut Pranamaya kini berada dekat dengannya, iapun membalik dan kedua tangannya mencengkeram, yang kiri ke arah perut kakek itu, yang kanan ke arah lehernya. Sementara itu, kakinya masih menyambar ke kiri untuk menjaga kalau Ki Cucut Kalasekti menyerangnya dari samping. Juga Ki Buyut Pranamaya dengan mudah mengelak dengan melangkah mundur, dan pada saat itu, Ki Cucut Kalasekti sudah menangkis tendangan kaki wanita itu. Tangkisan yang kuat membuat tubuh Ni Dedeh Sawitri terputar dan terhuyung. Saat itu, tendangan kaki Ki Buyut Pranamaya yang terkenal hebat itu, dengan Aji Cakrabairawa, telah menyambar.

   "Desss......"

   Tubuh wanita itu terpelanting keras dan iapun roboh tak bergerak lagi.

   Biasanya, sejak dia tahu bahwa Ni Dedeh Sawitri adalah ibu kandungnya, Nurseta merasa berduka dan bahkan amat membenci wanita itu, lebih benci dari pada sebelum dia tahu bahwa ia ibunya. Akan tetapi, kini, melihat wanita itu roboh dan tak berkutik lagi, agaknya tewas, tiba-tiba dia menjadi beringas. Dari dalam perutnya keluar suara melengking nyaring yang mengejutkan dua orang kakek sakti, dan tubuh Nurseta sudah menerjang ke depan dengan hebatnya, Dahsyat sekali serangan Nurseta yang dia tujukan kepada Ki Buyut Pranamaya yang telah membunuh ibu kandungnya. Dia telah menggunakan Aji Pukulan Jagad Pralaya yang amat dahsyat itu, pemberian gurunya, Panembahan Sidik Danasura. Melihat datangnya pukulan yang seperti halilintar itu, Ki Buyut Pranamaya terkejut dan cepat menangkis.

   "Desss......."

   Biarpun Ki Buyut Pranamaya telah mempergunakan seluruh tenaganya, namun pertemuan antara kedua tangan yang sama-sama mengandung tenaga ampuh itu membuat kakek itu terpental ke belakang dan terhuyung-huyung. Gentarlah Ki Buyut Pranamaya. Dia meloncat jauh ke belakang.

   "Ki Cucut, mari kita pergi"

   Katanya, menyembunyikan perasaan nyeri di dadanya akibat gempuran tenaga ampuh dari lawannya yang muda tadi.

   Ki Cucut Kalasekti juga agak gentar menghadapi Nurseta. Walaupun dia sama sekali tidak takut karena di situ ada Ki Buyut Pranamaya, akan tetapi kalau rekannya itu pergi dan dia harus seorang diri saja menghadapi Nurseta, berbahaya juga. Pula, tugasnya adalah merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan menyelidiki Majapahit. Biarpun dia membenci Nurseta, akan tetapi pemuda itu tidak cukup penting. Maka, mendengar ajakan Ki Buyut Pranamaya, diapun cepat meloncat jauh dan melarikan diri bersama rekannya itu.

   Nurseta dan Ki Jembros juga tidak melakukan pengejaran karena mereka segera menghampiri dua orang wanita yang telah roboh itu. Ki Jembros kembali berlutut dekat mayat Pertiwi, sedangkon Nurseta kini berlutut dekat tubuh ibu kandungnya yang sudah tidak mampu bergerak lagi. Dia memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa biarpun Ni Dedeh Sawitri masih bernapas, namun napasnya sesak dan dari ujung bibirnya mengalir darah segar. Ia telah terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya.

   "Nurseta, mari kita cepat membawa mereka pergi dari sini. Kalau dua jahanam tua itu kembali membawa bala bantuan, sukar bagi kita untuk melindungi mereka ini. Aku....... aku harus mengubur jenazih Pertiwi di tempat yang layak......"

   Suaranya terdengar penuh duka dan kakek perkasa ini lalu mengangkat dan memondong tubuh Pertiwi yang sudah menjadi mayat.

   Nurseta juga memondong tubuh Ni Dedeh Sawitri dan merekapun meninggalkan tempat itu. Menurut petunjuk Ki Jembros, mereka mendaki sebuah bukit yang nampak subur dan menurut pendapat Ki Jembros, merupakan tempat yang amat baik untuk mengubur jenazah. Setelah tiba di lereng bukit itu, di tempat terbuka yang penuh rumput, Ki Jembros berhenti.

   Dengan hati hati mereka menurunkan tubuh yang mereka pondong. Ni Dedeh Sawitri bernapas satu-satu. Tendangan Cakrabirawa dari Ki Buyut Pranamaya yang ampuh tadi telah membuat beberapa tulang iganya remuk dan isi dadanya terguncang hebat. Setelah memeriksa dengan seksama, Nurseta terkejut dan berduka melihat keadaan dada ibunya. Diapun menempelkan tangannya ke tempat yang tertendang itu, di sebelah kanan ulu hati agak ke bawah, lalu mengerahkan tenaga saktinya untuk membantu ibunya mengatasi lukanya.

   Ni Dedeh Sawitri mengeluarkan suara keluhan lirih dan membuka matanya.

   "Anakku........ kau anakku......"

   Bisiknya dengan suara lirih dan terputus-putus.

   "Tenanglah dan biarkan aku mencoba untuk mengobati"

   Kata Narseta.

   Ni Dedeh Sawitri tersenyum. Wajahnya yang pucat itu nampak cerah dan cantik, matanya bersinar-sinar. Jelas terbayang kebahagiaan di wajahnya, walaupun wajah itu nampak juga menahan rasa nyeri yang hebat. Lalu ia menggeleng kepalanya.

   (Lanjut ke Jilid 26)

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 26

   "Percuma....... tendangan itu hebat....... aku....... aku merasa..... takkan kuat lagi...."

   Tiba tiba wanita itu tumpah dan banyak darah keluar dari mulutnya. Nurseta terkejut dan maklum bahvva memang apa yang dikatakan wanita itu benar. Lukanya amat parah dan tidak mungkin dapat disembuhkan lagi. Nurseta menelan ludah untuk menekan keharuan hatinya.

   "Kau....... telah mengorbankan nyawa untukku......."

   Ni Dedeh Sawitri kembali tersenyum dam nampak jelas oleh Narseta betapa cantik ibu kandungnya ini. Usianya sudah kurang lebih lima puluh tahun, akan tetapi wajah itu belum dimakan keriput, masih halus dan garis-garisnya amat sempurna.. Ketika tersenyum nampak deretan giginya yang masih rapi dan putih bersih. Tidak mengherankan kalau banyak pria tergila-gila kepada wanita ini, pikirnya. Ada rasa bangga menyelinap di hatinya, akan tetapi juga perasaan kecewa mengingat betapa ibunya telah tersesat yang terkenal kejam dan juga cabul.

   "Aku girang, aku bahagia...... setidaknya aku dapat melukukan sesuatu untuk anakku. Nurseta........ ah, maukah....... maukah kau memenuhi permintaanku yang terakhir? Anakku........ ah, anakku........ kalau kau tidak sudi mengaku ibu kepadaku, setidaknya..... maukah engkau memenuhi permintaan...... permohonan...... seorang wanita yang mendekati kematiannya?"

   Nurseta mengangguk, tidak bersuara karena ia tahu bahwa keharuan dan kedukaan hatinya akan membuat suaranya gemetar mengandung isak.

   "Pertama...... maukah kau....... memaafkan semua kesalahanku, nak? Kau........ kau ampunkan aku""

   Nurseta merangkap kedua tangannyu "Semoga para dewata mengampuni semua kesalahanmu..."

   Bisiknya.

   "Tapi kau? Biar semua dewata mengampuniku, kalau kau anakku tidak mau memaafkan aku, masih mendendam dan membenciku, tidak ada artinya........ aku hanya..... butuh pengampunanmu......"

   Nurseta mengangguk.

   "Aku sudah melupakan semua kesalahanmu......"

   "Kau maafkan dan tidak membenciku lagi?"

   Tanya wanita itu penuh harap dan agaknya ada kekuatan baru datang padanya sehingga ia dapat bicara dengan lancar.

   "Aku tidak membencimu lagi"

   Kata Nurseta dengan suara sungguh-sungguh karena ucapan itu keluar dari lubuk hatinya.

   "Ah ....... terima kasih ....... kau anakku.......satu. permintaan lagi, kalau........ aku mati........ bakarlah jenazahku dan bawa abuku ke Kediri........ kuburkan ibu di dekat makam ayahmu....... Pangeran Panji Hardoko ...... Maukah kau melaksakan itu?"

   Kembali Nurseta mengangguk dan dia menggigit bibirnya, hatinya seperti diremas rasanya. Wanita ini ibunya. Dan ibunya minta abunya dikubur dekat makam ayahnya.

   "Akan aku laksanakan"

   Katanyu tegas.

   Ni Dedeh Sawitri menggerakkan kedua tangannya dan merangkul leher Nurseta. Dengan tenaga lemah dia menarik leher puteranya itu. Merasakan hal ini, Nurseta mendekatkan diri karena wanita itu agaknya tiba-tiba kehilangan, suaranya dan hanya berbisik-bisik. Dia mendekatkan telinganya.

   "Anakku....... maukah........ maukah kau........?"

   Senyum dan pandang mata itu amat mengharukan dan sikapnya seperti seorang wanita yang dengan penuh kasih sayang dan kemesraan membutuhkan cumbu rayu seorang pria yang dicintanya.

   "Apakah itu________?"

   Nurseta bertanya.

   "Maukah....... maukah kau........ menyebut....... ibu kepadaku.......?"

   Suara itu hanya Bisik-bisik dan napas itu makin lemah.

   Nurseta menatap wajah itu dan tak terasa lagi kedua matanya menjadi basah. Rangkulan kedua lengan ibunya pada lehernya makin melemah sehingga dia harus menopang tubuh ibunya dengan kedua lengannya yang memeluk, lalu dia berkata, suaranya penuh perasaan sayang dan iba.

   "Ibu........ ibu......."

   Wajah itu berseri, mata itu berkilat. mulut itu tersenyum lebar akan tetapi tenaga pada kedua lengan yang merangkul itu hilang, tubuhhnya terkulai dalam pelukan Nurseta.

   "Ibu...Ibuuu" "

   Kini panggilan Nurseta bukan untuk memenuhi permintaan ibunya, melainkan teriakan yang keluar sebagai jeritan hati melihat wanita itu meninggalkan dunia ini dengan wajah penuh senyum kepuasan, penuh kebahagiaan.

   "Ibuuuu......."

   Nurseta mendekap dan menyembunyikan mukanya di dada wanita itu"

   Membasahi dada itu dengan cucuran air matanya,

   "Tenangkan hatimu, Narsetai"

   Terdengar suara Ki Jembros.

   "Bagaimanapun juga, ia mati dalam keadaan bahagia, diantar tangis puteranya yang tercinta"

   Setelah berkata demikian Ki Jembros memandang kepada jenazah Pertiwi dengan sedih. Ada sesuatu yang dirasakannya ikut mati dalam hatinya melihat Pertiwi yang kini tidak bernyawa lagi itu

   Dua orang pria yang kehilangan orang yang dicintanya itu kini bekerja. Ki Jembros menggali sebuah lubang kuburan yang dalam untuk mengubur jerazah Pertiwi, sedangkan Nurseta, melaksanakan pesan terakhir ibu kandungnya, yaitu mengumpulkan kayu bakar yang amat banvak untuk memperabukan jenazah itu.

   Pada keesokan harinya, dua orang laki-laki perkasa itu menuruni bukit itu dengan wajah lesu. Nurseta membawa abu jenazah ibunya yang dibungkus dengan kain, sedangkan Ki Jembros membawa hati yang merasa sunyi melengang. Seolah-olah semangatnya ikut dimakamkan di kuburan Pertiwi, sebuah kuburan sederhana yang ditandai dengan sebuah batu persegi tiga.

   Setelah tiba di kaki bukit, keduanya berhenti dan saling pandang Mereka dapat mengetahui isi hati masing-masing. Nurseta amat terharu melihat Ki Jembros. Malam tadi, setelah mengubur jenazah Pertiwi, Ki Jembros menangis di depan makam. Ketika Nurseta mendekatinya duduk pula bersama di situ sambil menanti terbakar habisnya jenazah Ni Dedeh Sawitri, Ki Jembros mengusap air matanya dan berkata kepada Nurseta.

   "Nurseta, dapatkah kau merasakan betapa nyerinya hati yang merasa kehilangan dan kesepian?"

   Tanpa menjawab Nurseta mengangguk. Nurseta merasa iba sekali. Dia tahu apa yang berkecamuk dalam hati dan pikiran orang tua itu. Baru saja Ki Jembros kehilangan Pertiwi, satu-satunya orang yang dia anggap sebagai miliknya, entah itu sebagai murid, sebagai kawan, atau sebagai wanita yang dicintainya. Dan Ki Jembros yang gagah perkasa itu merasa kehilangan, merasa kosong hidupnya, kesepian dan merana.

   Tiba-tiba Ki Jembros berkata dengan sungguh-sungguh "Nah, Nurseta. Di sini kita berpisah. kau hendak melanjutkan perjalanan ke mana?"

   "Aku hendak melanjutkan perjalanan memenuhi tugasku, paman. Yaitu ke dalam ibu kota Kediri. Pertama, aku akan menguburkan abu jenazah ibuku ini di dekat makam ayah. Kemudian, aku akan menyelidiki tentang Wulansari dan tombak pesaka Tejanirmala"

   "Baiklah, memang tombak pusaka itu penting sekali. Kurasa Wulansari sudah mengantarkan Puteri Dyah Gayatri ke Majapahit dan ukupun akan ke sana. Kalau aku bertemu dengannya, akan kuberitahu bahwa kau mecarinya dan berada di Kediri"

   "Baiklah, paman. Kita berpisah di sini dan selamat jalan"

   "Selamat berpisah, Raden. Berhati-hatilah"

   "Di Kediri banyak musuh yang pandai"

   Kata Ki Jembros.

   "Paman menyebut Raden pula?"

   "Tentu saja, Kau putera pangeran, bukan?'' Ki Jembros tertawa dan merekapun berpisah.

   Para pimpinan pasukan dari Cina yang dikirim Kubilai Khan mengadakan perundingan. Mereka telah mendengar laporan yang dibawa oleh Lie Hok Yan dan beberapa orang perwira yang bertugas mata-mata. Musuh mereka yang menurut perintah kaisar mereka harus mereka tumpas adalah Prabu Kertanegara dari Kerajaan Singosari. Akan tetapi kini Prabu Kertanegara telah tewas, Kerajaan Singosari telah jatuh ke tangan seorang raja lain yaitu Raja Jayakatwang dari Kediri. Padahal tidak ada perintah dari kaisar mereka untuk menyerang raja ini.

   "Bagaimanapun juga, tidak bijaksana kalau kita kembali dengan tangan kosong"

   Kata Pangima Kau Seng kepada dua orang rekannya, satu Pauglima She Pei dan Panglima Ji Kauw Mosu, dihadiri pula oleh para perwira yang membantu mereka, termasuk Lie Hok Yan.

   "Perintah Sribaginda Kaisar adalah untuk menghukum Kerajaan Singosari. Walaupun kini Kerajaan Singosari sudah terjatuh ke tangan raja lain, namun kalau dia sebagai penguasa baru tidak mau tunduk kepada kaisar kita, sepantasnya kita serang dan kita menundukkannya agar dia mengakui kebesaran kaisar kita"

   "Akan tetapi kita belum mengetahui bagaimana sikap Prabu Jayakatwang dari Kediri yang telah menaklukkan Singosari itu"

   Kata Ji Kauw Mosu hati-hati.

   "Benar, kita harus melihat dahulu bagaimana sikapnya. Kalau memang dia mau mengakui kebesaran Sribaginda Kaisar dan mengirimkan upeti dan tanda penghormatan melalui kita, tentu kita tidak perlu membuang tenaga untuk menyerangnya"

   Kata pula Panglima She Pei.

   "Akan tetapi, ada hal yang amat menarik dalam peristiwa di Singosari ini"

   Kata Panglima Kau Seng.

   "Kita dengarkan saja penjelasan sute Lie Hok Yan. Sute, kau ceritakanlah tentang pertemuanmu dengan orang-orang yang setia kepada Singosari dan adanya usaha pemberontakan terhadap Raja Jayakatwang itu"

   Lie Hok Yan lalu menceritakan tentang semua pengalamannya, mengenai penyelidikannya dan pertemuannya dengan orang orang gagah dari Singosari. Dia bercerita bahwa Raden Wijnya, yaitu seorang pangeran Singosari, mantu mendiang Prabu Kertanegara, kini sudah melakukan persiapan untuk memberontak dan menyerang Kerajaan Kediri dan membangun kembali Singosari yang sudah runtuh. Sekarang, Raden Wijaya itu, dibantu oleh bupati Sumenep Arya Wiraraja atau Bupati Banyak Wide, sedang menyusun kekuatan di dekat daerah yang disebut Majapahit. Betapa pihak Raden Wijaya mengharapkan kerja sama dengan pasukan Kubilai Khan untuk bersama-sama. menyerang Kerajaan Daha.

   Mendengar keterangan Lie Hok Yan, tiga orang panglima itu kembali berunding.

   "Kita harus berhati-hati"

   Kata Ji Kauw Mosu.

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kita belum tahu bagaimana sikap Raja Jayakatwang, dan apa untungnya kalau kita membantu Raden Wijaya memerangi Kerajaan Daha"

   Bagaikan suatu jawaban langsung dari keraguan yang dilontarkan Ji Kauw Mosu itu, seorang pengawal datang menghadap dan menghadap, bahwa ada tamu yang mengaku utusan dari Bupati Sumenep, yaitu Arya Wiraraja, mohon untuk menghadap pimpinan pasukan.

   Orang itu adalah utusan yang dikirim oleh Arya Wiraraja, bersama beberapa orang pengikutnya. Setelah menghadap, utusan itu menyerahkan surat dari Arya Wiraraja. Melalui seorang penterjemah, tiga orang panglima itu meniliti isi surat. Dalam suratnya, Arya Wiraraja menyatakan keinginannya untuk bekerja sama dengan pasukan Tartar untuk melawan Kerajaan Daha. Dalam surat itu, Arya Wiraraja yang terkenal cerdik itu menggambarkan keadaan Daha dan tentang Sang Prabu Jayakatwang yang berwatak licik. Sedangkan terhadap Kerajaan Singosari yang masih keluarga sendiri dan yang selalu melepas budi kebaikan saja, dia masih mau memberontak dan berkhianat, apa lagi terbadap Kaisar Kubilai Khan, demikian Arya Wiraraja menulis. Sebaiknya, kalau Raden Wijaya yang menjadi raja, maka hubungan antara kerajaan baru itu dengan Cina akan menjadi baik kembali. Juga Raden Wijaya dan Arya. Wiraraja tidak akan melupakan bantuan pasukan itu, dan kalau mencapai kemenangan, tentu akan mengirim upeti yang banyak, diantaranya beberapa orang puteri kerajaan yang cantik untuk dihaturkan kepada Kaisar Kubilai Khan.

   Setelah mengadakan perundingan, akhirnya para pimpinan pasukan Tartar itu menerima uluran tangan ini dan merekapun membalas surat Arya Wiraraja, menyatakan setuju untuk bekerja sama memukul Kerajaan Daha.

   Perjanjian telah disepakati dan tiga orang panglima itu bersiap siap untuk mulai bergerak. Tinggal menanti berita dari Raden Wijaya dan Arya Wiraraja. Akan tetapi mulai saat itu hubungan diantara mereka selalu ada.

   Ketika Kau Seng dihadap sute-nya (adik sepergurannya) yang menyatakan untuk mengundurkan diri karena hendak menikah dengan seorang gadis puteri lurah dusun Kalasan dan tidak kembali ke Cina, panglima itu mengerutkan alisnya.

   "Sute, kalau saja kau bukan sute-ku, dan kau tidak bekerja dalam pasukanku, tentu akan kusuruh tangkap kau dan dijatuhi hukuman berat. Bagaimana mungkin kau hendak meninggalkan pasukan begitu saja untuk keperluan pribadi? Dalam pasukan, kepentingan pasukan harus didahulukan, baru kepentingan pribadi. Apa lagi kau menjadi anggata pasukan yang melakuakan perjalanan jauh dari negeri sendiri"

   "Saya tahu, Tai Ciangkun (panglima)"

   Jawab Hok Yan.

   "Kalau bukan Ciangkun yang menjadi pemimpin saya, tentu sayapun tidak akan berani mengajukan permintaan ini"

   "Hemm, sudahlah, urusan pribadimu boleh ditunda dulu, dan kau harus melaksanakan tugasmu sebagai perwira dalam pasukan kita. Kalau tugas kita ini sudah selesai dan kau tidak ikut pulang ke utara, terserah kepadamu.

   Hok Yan memberi hormat dan tersenyum, memang maksudnya bukan langsung meninggalkan pasukan. Kalau dia tadi menyatakan demikian hanya untuk memancing bagaimana pendapat suhengnya saja. Kini, suhengnya menyetujui kalau tugas sudah selesai dan itulah yang dia harapkan. Tanpa persetujuan suhengnya, biarpun tugas sudah selesaipun tidak mungkin dia meninggalkan pasukan.

   "Terima kasih, Ciangkun"

   Sementara itu, di daerah baru yang telah dibuka oleh Raden Wijaya dan para pengikutnya, yaitu yang diberi nama Majapahit, Raden Wijaya juga mengadakan perundingan dengan para pembantunya, yaitu bekas senopati Singosari. Perundingan itu dilakukan dalam bangunan sederhana yang menjadi tempat tinggat Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana, dan dilakukan dengan penuh rahasia. Sekeliling, rumah itu dijaga ketat agar jangan sampai ada orang luar dapat mendengarkan perundingan itu.

   "Kini agaknya waktunya sudah matang untuk melakukan gerakan"

   Antara lain Raden Wijaya berkata kepada para pembantunya "Kita telah berhasil mengumpulkan sisa pasukan Singosari yang dulu lari cerai berai, juga banyak menarik tenaga baru menjadi pasukan kita. Kita sudah melatih mereka dan mereka semua sudah dalam keadaan siap. Juga Paman Wiraraja sudah mempersiapkan diri dengan pasukan Madura yang akan membantu kita. bagaimana pendapat kalian sekalian? Sebelum melangkah, kita harus merundingkannya masak-masak dan saya mengharapkan nasehat dan pendapat kalian sekalian agar gerakan kita tidak sampai mengalami kegagalan"

   Segera Ronggo Lawe maju menyembah.

   "Menurut pendapat hamba, seyogianya kalau perang dimulai dengan alasan yang kuat. Tanpa alasan langsung menyerbu Kediri akan menimbulkan anggapan seolah-olah paduka tidak mengenal budi dan terima kasih karena bukankah Sang Prabu Jayakatwang selama ini bersikap baik dan menerima paduka dan para pengiring paduka?"

   Raden Wijaya menganguk angguk.

   "Lalu, alasan apa yang harus kita pakai untuk menggempur Kediri?''

   "Gusti Pangeran, sampai sekarang paduka belum dapat menemukan Puteri Dyah Gayatri, padahal menurut berita, tadinya beliau menjadi tawanan di istana Kediri. Nah, paduka dapat menuntut agar Gasti Puteri itu diserahkan kepada paduka. Kalau hal itu tidak dipenuhi maka paduka mempunyai alasan untuk menyerbu Kediri"

   "Bagaimana kalau paman prabu Jayakatwang mengembalikan diajeng Gayatri kepadaku?"

   "Hal itu tidak mungkin, Raden. Karena kita sudah mendengar dari para penyelidik kita bahwa Sang Puteri telah berhasil lolos dari istana Kediri dan tak seorangpun mengetahui di mana beliau berada"

   Bantah Ronggo Lawe.

   Raden Wijaya memandang kepada para pembantunya yang lain.

   "Bagaimana pendapat kalian sekalian?"

   Lembu Sora menyembah.

   "Kenapa kita harus menggunakan alasan itu, Raden? Sudah dapat dipastikan bahwa andaikata Gusti Pateri Dyah Gayatri masih berada di Kediri pun, Sang Prabu Jajakatwang tidak akan mengabulkan permintaan itu Pula, semua orang mengetahui belaka bahwa Sang Prabu Jayakatwang yang berkhianat dan memberontak tehadap Singosari. Kalau paduka kini menyerang Kediri, hal itu sudah jamak. Kejahatannya menghancurkan Singosari tidak mungkin dapat ditebus hanya oleh sikapnya yang baik ketika menerima paduka. Tidak perlu rasanya bersungkan-sungkan terhadap seorang yang demikian tidak mengenal budi seperti Sang Prabu Jayakatwang. Dia telah membalas kebaikan Singosari kepadanya dengan penyerbuan yang amat curang, yaitu selagi Singosari mengirimkan balatentaranya keluar Jawa"

   Mendengar ucapan itu, Gajah Pagon dan Lembu Peteng menyatakan setuju dan merekapun menganjurkan agar penyerangan segera dilakukan untuk menghukum Raja Kediri.

   Senopati Nambi tidak mau kalah dan diapun maju dengan usulnya.

   "Menurut pendapat hamba, akan lebih menguntungkan kalau kita berusaha mendekati dan memikat para menteri dan hulubalang Kerajaan Daha, membujuk mereka agar suka memberontak. Kalau sudah begitu, akan mudah menaklukkan Sang Prabu Jayakatwang yang diserang dari luar dan dalam. Kalau paduka hendak membalas budi, paduka dapat membiarkan Prabu Jayakatwang tetap menjadi raja di bawah kekuasaan Singosari kembali, asal dia suka menyerahkan puterinya kepada paduka sehingga terdapat ikatan kekeluargaan yang lebih erat lagi. Kalau Sang Puteri Kedaton yaitu Dyah Retna Kesari dari Daha dapat menjadi isteri Paduka, tentu keluarga Kerajaan Daha tidak akan dapat berkutik lagi dan akan terdapat perdamaian antara kedua kerajaan"

   Ketika Raden Wijaya minta para pembantunya yang lain, para senopati lainnya tidak setuju. Mereka itu pada umumnya menghendaki agar tidak perlu mempergunakan siasat yang berlika-liku, melainkan terus terang saja menyerbu Kediri sebagai pembalasan atas perbuatan Prabu Jayakatwang yang telah menaklukkan Singosari.

   Ronggo Lawe kembali menyembah.

   "Hamba juga setuju kalau semua rekan menghendaki agar kita langsung saja menyerbu Kediri tanpa banyak urusan lagi. Memang kalau dipikir, perbuatan Prabu Jayakatwang yang telah menundukkan Singosari dengan pengkhianatannya itu amat menyakitkan hati. Akan tetapi, harap paduka tidak melupakan Pamanda Bupati di Sumenep. Saran dan nasihat beliau selalu berguna bagi paduka"

   "Andika benar, Kakang Ronggo Lawe"

   Seru Raden Wijaya.

   "Memang seharusnya kalau kita lebih dulu minta nasihat Paman Wiraraja, karena selama ini akupun selalu bergerak sesuai dengan nasihatnya"

   Raden Wijaya sudah mengambil keputusan dan pada hari itu juga dia mengutus Lembu Peteng untuk pergi ke Sumenep membawa suratnya yang isinya mohon petunjuk tentang maksud penyerbuannya ke Daha.

   Sambil menanti kembalinya Lembu Peteng dari Sumenep, Raden Wijaya mengajak para pembantu yang lain untuk berburu binatang ke dalam hutan-hutan di sekitar daerah Majapahit.

   Para senopati itu berpencar untuk menggiring binatang buruan ke arah Radeh Wijaya yang siap menanti dengan busur dan anak panah. Gajah Pagon dan Banyak Kapuk, dua orang senopati setia berjalan beriringan untuk mencari binatang buruan dan menggiringnya. Mereka memasuki hutan dari arah timur.

   Pagi itu matahari cerah dan selagi dua orang senopati itu berjalan berindap-indap, tiba-tiba Gajah Pagon memberi isarat kepada kawannya untuk berhenti. Banyak Kapuk mengira bahwa rekannya melihat binatang hutan, maka diapun diam tak bergerak sambil memandang ke arah yang ditunjuk oleh Gajah Pagon.

   Akan tetapi yang dilihatnya bukan binatang hutan, melainkan seorang manusia yang berdiri di depan sebuah gubuk tua. Gubuk iiu memang dibangun oleh para pekerja ketika mereka menjelajahi hutan dan ketika terjadi babat hutan di daerah Majapahit, sebagai tempat berteduh dan bermalam mereka yang melaksanakan tugas.

   "

   "Eh, siapa ........"

   "Ssttt......."

   Gajah Pagon memberi isarat kepada kawannya untuk tidak bersuara, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga kawan itu sambil berbisik.

   "Dia bukan kawula di sini, siapa tahu dia mata-mata musuh.,....."

   Banyak Kapuk mengangguk dan mereka berdua menyelinap di balik semak belukar dan mengintai. Yang mereka intai itu seorang laki-laki muda sekali, dengan wajah yang amat tampan. Mungkin usianya baru dua puluh tahun lebih. Tubuhnya kecil saja, ramping, akan tetapi pemuda itu memiliki sepasang mata yang amat tajam mencorong seperti mata seekor harimau. Dari tempat mereka bersembunyi, dua orang senopati pembantu Raden Wijaya itu mendengar pemuda itu bicara dengan seseorang yang agaknya berada di dalam gubuk.

   "Bersembunyilah saja di dalam, dan jangan keluar. Aku mendengar suara banyak orang memasuki hutan ini"

   Kata pemuda itu menjawab pertanyaan yang tidak jelas dari dalam gubuk.

   Akan tetapi, Gajah Pagon dan Banyak Kapuk mendengar suara wanita dari dalam gubuk itu. Ucapan pemuda itu menambah besar kecurigaan mereka. Pemuda itu bersikap aneh dan agaknya dengan sembunyi-sembunyi memasuki daerah itu. Gajah Pagon memberi isarat kepada kawannya dan merekapun berloncatan keluar dari balik semak belukar dan lari menghampiri pemuda yang berdiri di depan gubuk itu. Mereka melihat betapa gubuk itu ditutup pintunya sehingga wanita yang berada di dalamnya tidak nampak. Dan kini mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat ganteng dan tampan, yang menghadapi mereka dengan sikap tenang sekali, Pemuda itu tidak terkejut melihat munculnya dua orang laki-laki gagah itu.

   "Heh, orang muda. Siapakah kau? Dan siapa pula yang berada di dalam gubuk itu? Hayo keluar dan kalian memperkenalkan diri kepada kami dengan terus terang"

   Kata Gajah Pagon dengan suara lembut namun tegas dan berwibawa.

   Pemuda itu memandang kepadanya dengan sorot mata penuh selidik. Gajah Pagon adalah seorang laki-laki jantan berusia empat puluhan tubuh, bertubuh tinggi besar dengan perut agak gendut, dan sikapnya berwibawa.

   "Kisanak, kita tidak saling mengenal, juga tidak mempunyai urusan satu sama lain. Pergilah dan jangan ganggu kami"

   Sikap dan jawaban pemuda itu yang nampak demikian angkuh membuat Banyak Kapuk yang wataknya keras berangasan itu seketika menjadi marah. Matanya melotot merah dan dia memelintir kumisnya yang panjang dan tebal.

   "Babo babo keparat. Orang muda sombong, tahukah kau dengan siapa kau berhadapan? Aku adalah Banyak Kapuk dan ini kakang Gajah Pagon. Kami adalah bekas senopati Singosari, tahu?"

   Pada saat itu terdengar suara wanita dari dalam gubuk.

   "Kakang Bambang Wulandoro, siapakah mereka yang datang membikin gaduh itu?"

   "Ah, mereka ini hanya dua orang bekas Senopati Singosari yang mengaku bernama Banyak Kapuk dan Gajah Pagon"

   Kata pemuda dengan sikap acuh, seolah memandang rendah sekali kepada dua orang bekas senopati itu.

   "Bocah sombong"

   Banyak Kapuk tidak dapat menahan kesabarannya lagi.

   "Siapa namanu? Bambang Wulandoro? Hayo kau menyerah untuk kami tawan karena sikapmu ini menunjukkan bahwa kau adalah seorang musuh, mungkin kau mata-mata"

   "Banyak Kapuk, kau ini sesuai dengan namamu, kau seperti seekor banyak (angsa) yang kurus dan galak"

   Pemuda itu mengejek.

   Kembali terdengar suara dari dalam gubuk.

   "Kebetulan sekali, kakang. Kalau begitu suruh mereka itu minta agar Raden Wijaya datang ke sini"

   Pemuda itu bukan lain Wulansari, dan wanita yang bersembunyi di dalam gubuk adalah Puteri Dyah Gayatri. Wulansari kini berkata lagi kepada dua oiang itu.

   "Nah, kalian

   sudah mendengar, bukan? Lebih baik kalian cepat pergi dan mengundang Raden Wijaya agari datang ke sini"

   Mendengar ucapan ini, Gajah Pagon yang tabiatnya lebih sabar itu menjadi merah mukanya, pemuda ini dan wanita yang berada di dalam gubuk sungguh memandang rendah kepada Raden Wijaya dan para senopatinya.

   "Orang muda, kau ini masih seorang bocah, akan tetapi kau bersikap sombong bukan main. Terpaksa kami harus menangkapmu untuk kami hadapkau kepada Raden Wijaya"

   Wulansari yang memang sengaja hendak memancing datangnya Raden Wijaya ke tempat itu, ia masih bersikap tinggi hati.

   "Hemm, hendak kulihat bagaimana kalian akan dapat menangkap aku?"

   "Babo. babo, bocah ingusan sombong. Beginilah aku menangkapmu"

   Dengan gerakan cepat, bagaikan seekor harimau menubruk kelinci, Banyak Kapuk sudah meloncat dan menerkam kearah "pemuda"

   Itu, Akan tetapi tentu saja dengan amat mudahnya Wulansari mengelak ke simping sehingga tubrukan itu luput dan tubuh Banyak Kapuk terhuyung ke depan. Banyak Kapuk menjadi semakin marah dan penasaran. Tadi dia sudah merasa yakin bahwa tubrukannya pasti akan berhasil, akan tetapi pada detik terakhir, pemuda itu dapat menyelinap ke samping sehingga tubrukannya tidak mengenai sasaran. Dengan marah dia membalik dan kini dia menyerang sungguh-sungguh, bukan hanya untuk menangkap melainkan memukul dengan lengan kanannya yang panjang, memukul kearah dada pemuda itu sambil mengerahkan tenaganya.

   "Pecah dadamu"

   Bentaknya ketika kepalan tangan kanannya menyambar.

   Wulansari membuat gerakan dan tubuhnya menjadi miring. Ketika lengan lawan yang memukul itu lewat di samping tubuhnya, diapun cepat mengangkat kakinya menendang ke arah belakang lutut lawan.

   "Dukk"

   Dan Banyak Kapuk tak mampu mempertahankan diri lagi, kakinya tertendang, diapun jatuh bertekuk lutut.

   "Sudahlah, tidak perlu memberi hormat dengan berlutut kepadaku"

   Kata Wulansari mengejek.

   Ejekan ini tentu saja membuat Banyak Kapuk menjadi semakin marah. Dia sudah mencabut kerisnya, akan tetapi pada saat itu Gajah Pagon memegang lengannya.

   "Biarkan aku menghadapinya"

   Dan diapun sudah melangkah maju menghadapi Wulansari. Setelah memandang dengan penuh perhatian, Gajah Pagon lalu berkata dengan suaranya yang berwibawa.

   "Orang muda, ketahulah, bahwa kau telah memasuki daerah Majapahit yang dikuasakan oleh Raden Wijaya. Kami adalah pengikut-pengikut Raden Wijaya. Karena itu, sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan menangkapmu, lebih baik kau berterus terang, apa keperluanmu datang ke tempat ini dan menyerahlah dengan damai"

   Wulansari tersenyum mengejek "Sudah aku katakan bahwa aku tidak memiliki urusan apapun dengan kalian. Aku tidak mengganggu kalian, maka kalianpun tidak boleh meneganggu aku. Kalau kalian pengikut Raden Wijaya, maka pergilah kalian menghadap Raden Wijaya dan undang dia agar datang ke sini"

   Tentu saja bukan maksud Wulansari untuk bersikap tinggi hati terhadap Raden Wijaya. Dara ini hanya bertindak mewakili Puteri Gayatri saja dan mengingat betapa puteri telah mengalami banyak sekali kesengsaraan, maka sudah sepatutnya kalau kini, menghadapi pertemuan ini, Raden Wijaya yang mengalah dan mau datang menyambut atau menjemput puteri Gayatri.

   Tentu saja Gajah Pagon tidak tahu akan hal itu. Sikap pemuda itu dianggapnya terlalu sombong dan diapun memandang marah.

   "Bambang Wulandoro, aku tidak mengenal siapa kau, akan tetapi sikapmu ini sungguh terlalu sombong. Terpaksa aku menggunakan kekerasan. Jangan menganggap aku yang lebih tua keterlaluan terhadap yang muda"

   Wulansari mengagumi sikap senopati ini, akan tetapi ia menjawab sambil tersenyum.

   "Tidak ada yang bersikap keterlaluan. Kalau memang ada kemampuan, majulah dan keluarkan semua kedigdayaanmu"

   Gajah Pagon makin marah.

   "Lihat serangan"

   Bentaknya dan diapun sudah menerjang maju. Biarpun tubuhnya tinggi besar, namun ternyata gerakannya amat cepat dan tenaga yang terkandung dalam kedua tangannya jauh lebih kuat dibandingkan Banyak Kapuk tadi. Namun, bagi Wulansari, serangan itu biasa saja dan dengan mudah iapun mengelak dengan tarikan kaki ke belakang. Namun, Gajah Pagon menyusulkan serangan bertubi-tubi. Dengan gencar kedua tangannya menyambar-nyambar dari kanan kiri, dan dari bawah kakinyapun ikut pula menyerang dengan tendangan kilat. Untuk beberapa jurus lamanya, Wulansari hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana-sini. Tubuhnya bagaikan bayangan saja, atau bagaikan seekor burung walet sukar sekali dijadikan sasaran sehingga semua tamparan, pukulan maupun tendangan yang dilakukan Gajah Pagon tak pernah mampu menyentuhnya. Bahkan menyentuh ujung bajupun tidak.

   Ketika untuk kesekian kalinya kaki kiri Gajah Pagon menendang, dengan lincah Wulansari menggeser kaki dan tubuhnya miring. Ketika kaki itu menyambar lewat, tangan Wulansari menyambar dan mendorong kaki itu ke atas. Tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh yang tinggi besar itu terangkat dan terlempar, lalu jatuh terbanting ke atas tanah.

   Melihat ini, Banyak Kapuk yang masih memegang keris, segera menerjang maju dan menyerang Wulansari dengan tikaman kerisnya. Namun, sekali ini Wulansari tidak mau membuang banyak waktu. Ia menghindar dan tusukan dengan loncatan ke samping, kemudian tangan kirinya menampar kearah pundak Banyak Kapuk.

   "Plakkk"

   Banyak Kapuk mengeluarkan seruan kaget, kerisnya terlepas dan diapun terpelanting.

   Gajah Pagon juga sudah mencabut kerisnya yang besar luk tujuh belas, akan tetapi sebelum dia sempat menyerang, Wulansari sudah menerjangnya dengan dahsyat. Gajah Pagon berusaha menyambut terjangan itu dengan serangan keris, namun dia kalah cepat dan tendangan Wulansari sudah mengenai lambungnva, membuat untuk ke dua kalinya dia terpelanting jatuh.

   Tahulah kini dua orang itu bahwa pemuda yang menjadi lawan mereka itu sungguh memiliki kepandaian tinggi. Tanpa bantuan teman-teman, tak mungkin mereka menang dan merekapun harus cepat membuat laporan karena siapa tahu pemuda yang sakti itu mata-mata musuh yang akan membahayakan gerakan mereka. Mengingat akan hal ini, Gajah Pagon lalu meloncat dan melarikan diri sambil meneriaki Banyak Kapuk untuk mengikutinya.

   Dua orang itu lari secepatnya meninggalkan Wulansari yang hanya memandang sambil tersenyum. Kalau ia menghendaki, tentu tamparan dan tendangan tadi dapat ia perkuat sehingga dua orang lawannya roboh tak dapat bangun kembali. Akan tetapi ia tidak mau melakukan hal itu tentu saja, karena yang dikehendakinya hanyalah munculnya Raden Wijaya di tempat itu untuk menjemput Dyah Gayatri.

   Dua orang pengikut Raden Wijaya itu kini lari berpencar. Gajah Pagon menyuruh kawannya untuk segera lari mencari Lembu Sora dan Ronggo Lawe, dua orang jagoan yang memiliki ilmu kesaktian paling tinggi diantara mereka. Sedangkan dia sendiri akan lari melapor kepada Raden Wijaya tentang pemuda yang aneh dan sakti mandraguna itu. Yang lebih dahulu datang berlari lari ke gubuk itu adalah Ronggo Lawe dan Lembu Sora. Mereka berdua lebih dahulu dapat ditemui Banyak Kapuk.

   Mendengar bahwa ada seorang pemuda berani mengalahkan dua orang rekan mereka, bahkan dengan sombong sekali berani memanggil Raden Wijaya agar datang ke gubuk itu, Ronggo Lawe dan Lembu Sora yang keduanya berwatak gagah dan keras itu segera berlari-lari mengikuti Banyak Kapuk ke tempat itu.

   Pemuda itu ternyata masih berada di depan gubuk, duduk dengan santai sekali. Ketika melihat tiga orang yang datang berlarian ke gubuk itu, dia hanya tersenyum dan tidak bangkit berdiri. Ronggo Lawe dan Lembu Sora terkejut, heran dan kagum juga melihat bahwa yang mengalahkan Banyak Kapuk dan Gajah Pagon hanyalah seorang pemuda yang masih amat muda.

   "Hei, orang muda. Cepat katakan kepada kami siapa kau. Kami adalah senopati-senopati Singosari, para pembantu Raden Wijaya. Namaku Lembu Sora dan rekanku ini Ronggo Lawe, katakan siapa kau dan mengapa pula kau datang ke sini dan menimbulkan keributan"

   Kata Lembu Sora.

   Wulansari bangkit berdiri dengan perlahan, mengkadapi tiga orang itu dan sejenak ia mengamati Lembu Sora dan Ronggo Lawe yang memang nampak gagah perkasa. Ia sudah mendengar akan dua orang senopati ini. Mereka masih paman dan keponakan. Menurut yang pernah didengarnya, Lembu Sora adalah adik Arya Wiraraja sedangkan Ronggo Lawe adalah putera Bupati Sumenep itu.

   "Heran, kiranya kau berdua adalah senopati-senopati........ eh, maksudku bekas senopati dari Singosari yang terkenal itu? Dan sekarang kalian menjadi pembantu-pembantu Raden Wijaya? Bagus, kalau begitu, kalian pargilah dan minta kepada Raden Wijaya untuk datang ke sini. Aku Bambang Wulandoro ingin bicara dengan Raden Wijaya"

   "Bambang Wulandoro, katakan dulu apa keperluanmu ingin menghadap Raden Wijaya? Tidak sembarangan orang dapat bertemu dengan beliau begitu saja"

   Kata Lembu Sora, masih menahan sabar.

   AKAN tetapi Wulansari yang sengaja hendak menguji sampai di mana kehebatan dua orang senopati yang amat terkenal itu, sengaja tersenyum mengejek.

   "Hemm, aku tidak mungkin dapat bicara dengan orang-orang sembarangan saja. Aku barus bicara sendiri dengan Raden Wijaya. Oleh karena itu, kalian pergilah dan jangan ganggu aku, laporkan saja kepada Raden Wijaya bahwa aku ingin bicara dengan beliau di sini"

   Sejak tadi Ronggo Lawe hanya memandang saja. Melihat sikap yang angkuh, wajah yang terlalu tampan dan mendengar kata-kata itu, Ronggo Lawe yang dibesarkan di Madura dan memiliki watak keras, segera melangkah maju. Dia amat tidak suka melihat pria yang sifatnya genit seperti wanita itu, terlalu halus dan terlalu tampan. Dengan tangan kiri bertolak pinggang, telunjuk kanannya menuding ke arah muka Wulansari.

   "Heh, keparat Bambang Wulandoro! Kau sungguh sombong tidak menghormati pamanku Lembu Sora. Jangan kira setelah dapat mengalahkan dua orang rekan kami Banyak Kapak dan Gajah Pagon, lalu tidak ada orang yang akan berani melawanmu. Hemm, majulah dan mari kita mengadu kesaktian. Aku Ronggo Lawe menjadi lawanmu"

   Wulansari tersenyum.

   "Sudah lama aku mendengar akan nama Ronggo Lawe yang kabarnya memiliki aji kesaktian yang dahsyat sebagal murid Eyang Empu Supamandrangi di puncak Bromo. Ingin sekali aku melihat apakah berita itu bukan hanya omong kosong belaka"

   Setelah berkata demikian, Wulansari melangkah maju menghampiri Ronggo Lawe.

   Lembu Sora mulai curiga melihat keberanian "pemuda"

   Tampan itu. Dia khawatir kalau-kalau pemuda itu memang bukan orang sembarangan dan sudah pantas kalau mengundang Raden Wijaya ke situ, maka dia tidak ingin melihat Ronggo Lawe yang keras hati itu salah tangan. Dia tidak ingin melihat pemuda tampan itu terbunuh atau terluka parah sebelum tahu siapa dia sebenarnya dan apa maksud kedatangannya.

   "Ronggo Lawe, jangan lancang melukai atau membunuh orang tanpa sebab, Kau boleh mencoba saja kesaktiannya"

   Ronggo Lawe menoleh dan memandang kepada pamannya dan diapun sadar. Orang muda yang tampan ini memang penuh rahasia, tidak boleh dilukai parah atau dibunuh begitu saja tanpa lebih dulu yakin bahwa dia adalah seorang musuh yang berbahaya dan harus dienyahkan. Tidak boleh menuruti nafsu amarah. Diapun mengangguk lalu kembali menghadapi Wulansari. Pandang matanya penuh selidik. Bagaimanapun juga, pemuda tampan ini sudah mengenalnya, tahu bahwa dia adalah murid Empu Supamandrangi di puncak Bromo. Dia harus berhati-hati.

   "Bambang Wulandoro, mari kita saling menguji kepandaian. Akupun ingin sekali melihat berapa banyak bekalmu, maka kau berani bersikap seperti ini. Majulah"

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setelah berkata demikian, Ronggo Lawe memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang lebar, lutut ditekuk, kedua lengan terbuka, yang kanan di julurkan ke depan, yang kiri ditarik ke atas, dengan kedua tangan terbuka. Tubuhnya tegak dan kokoh kekar, nampak gagah bagaikan Gatutkaca.

   Wulansari memandang kagum. Bukan main, pikirnya. Pria ini memang jantan dan perkasa sekali. Seakan-akan ia dapat merasakan betapa ada kekuatan dahsyat mengalir di dalam tubuh yang kokoh itu. Seorang jantan yang mengagumkan hatinya, hati seorang wanita. Kalau saja hatinya tidak penuh dengan bayangan Nurseta, akan mudah jatuh hati kepada seorang pria seperti Ronggo Lawe ini, Iapun tersenyum.

   "Aku datang untuk bertemu dengan Raden Wijaya, bukan untuk mencari musuh. Ronggo Lawe. Pihak kalianlah yang memaksaku untuk bertanding, oleh karena itu, kaulah yang mulai, bukan aku. Aku hanya melayani saja"

   Kata Wulansari dan iapun memasang kuda-kuda yang sederhana, berdiri tegak di depan Ronggo Lawe dan kedua tangannya tergantung lepas dan santai di kedua sisi tubuhnya.

   "Baik, kau jaga seranganku. Heiiiiitttl"

   Ronggo Lawe menyerang, dan karena dia belum tahu sampai di mana kekuatan lawan, dia hanya mempergunakan tenaga otot biasa untuk menampar ke arah pundak lawan.

   Wulansari tersenyum dan makin kagum. Satria ini memang gagah perkasa dan memegang janji, taat kepada atasan, juga di balik kekerasannya, berhati lembut. Karena tidak ingin mencelakainya, maka dalam serangan pertama itu dia hanya mempergunakan tenaga otot. Hal ini dapat dirasakannya dan diketahuinya. Maka, agar lawan jangan memandang rendah kepadanya dan mau mengeluarkan semua aji kesaktiannya, ia lalu menangkis sambil mengerahkan tenaga, tidak terlalu kuat, cukup untuk menunjukkan bahwa ia "berisi"

   "Dukkl"

   Dan tubuh Ronggo Lawe hampir terjengkang. Dia terhuyung dan cepat meloncat ke belakang untuk mematahkan dorongan tenaga tangkisan itu. Mukanya menjadi agak kemerahan dan kini sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong. Tahulah Ronggo Lawe bahwa lawannya yang muda ini memang benar seorang yang memiliki tenaga sakti, maka tanpa ragu lagi kini dia menerjang lagi.

   "Hyaaattt......."

   Dan sekali ini dia menyerang dengan pukulan yang mengandung tenaga sakti Gelap Sayuto, walaupun tidak sepenuhnya tenaga itu dia keluarkan. Tangan kirinya menampar ke arah dada lawan, sedangkan tangan kanan siap menyusulkan serangan berikutnya.

   Wulansari melihat tenaga pukulan yang dilakukan mirip dengan aji kesaktian yang dipelajarinya dari Ki Cucut Kalasekti, yaitu Gelap Sewu. Hanya bedanya, pukulan Ronggo Lawe ini lebih kuat dan lebih bersih. Pukulan pemuda seperti Gatutkaca ini sejak semula sudah nampak kekuatannya, sebaliknya pukulannya Aji Gelap Sewu, pada permulaannya tidak nampak, akan tetapi setelah mendekati lawan baru nampak kedahsyatannya. Aji Gelap Sewu mengandung kelicikan dan kecurangan.

   Karena maklum betapa hebatnya pukulan itu, Wulancari lalu mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya. Bagaikan seekor burun> alet saja, tubuhnya sudah melonjat ke be lakang dan pukulan itupun luput, bahkan serangan susulanpun tidak dapat dilakukan lawan, karena loncatannya ke belakang itu cukup jauh. Ronggo Lawe melakukan beberapa langkah ke depan dan menyerang lagi, namun Wulansari selalu mengelak. Bagaikan bayangan saja ia berputar-putar, berloncatan ke sana-sini seolah mempermainkan lawan.

   Melihat betapa dengan mudahnya lawannya itu selalu mengelak dan semua serangannya luput, makin panaslah hati Ronggo Lawe. Makin lama, makin kuat serangannya sehingga angin menyambar-nyambar dan pukulan tangannya menjadi semakin berbahaya. Lembu Sora, memandang dengan alis berkerut. Dia kagum sekali. Pemuda itu sangat lincah. Pada hal pemuda itu sama sekali belum membalas serangan Ronggo Lawe, baru menggunakan kelincahan tubuhnya saja dan Ronggo Lawe nampaknya tidak berdaya. Seperti orang yang menyerang bayangannya sendri. Kemanapun Ronggo Lawe menyerang, lawannya sudah dapat menghindar dengan luar biasa cepatnya. Sukar membayangkan bagaimana jadinya, kalau pemuda tampan itu membalas. Ataukah dia hanya memiliki ilmu yang membuat tubuhnya ringan dan lincah saja dan tidak memiliki kepandaian untuk menyerang lawan?

   Agaknya Ronggo Lawe juga penasaran sekali. Sudah puluhan kali dia menyerang, namun tak pernah serangannya itu menyentuh lawan, bahkan satu kalipun tidak pernah ditangkis sehingga sukar baginya untuk mengukur tenaga lawan. Maka, dengan gemas diapun mengerahkan kecepatan tubuhnya dan mulailah dia menyerang dengan cepat sekali. Dan sungguh hebat. Makin cepat dia menyerang, semakin cepat pula lawannya berloncatan mengelak sampai tubuhnya lenyap bentuknya, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan. Bukan main.

   Dari penasaran, Ronggo Lawe yang wataknya keras itu menjadi marah. Dia menghentikan serangannya dan berkata dengan keras "Kisanak. Kalau kau memang takut menghadapi seranganku, katakan saja dan aku akan menghentikan serangan. Kalau berani, hadapilah seranganku sebapai laki-laki, bukan berlari-larian seperti itu"

   Wulansari tersenyum.

   "Ah, begitukah? Kau menghendaki agar aku menggunakan kekerasan pula untuk menangkis dan balas menyerang?"

   "Kalau kau ada kemampuan"

   Balas Ronggo Lawe marah.

   "Hemm, bagus. Majulah, Ronggo Lawe dan aku akan menangkis dan membalas"

   Mendengar ini, Ronggo Lawe merasa ditantang dan diapun menerjang maju sambil mengayun tangan menampar ke arah kepala lawan.

   "Wuuutttt........ plakkk"

   

Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini