Pecut Sakti Bajrakirana 4
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Akhirnya, Retno Susilo tidak tahan. Kedua tangannya sudah menjadi kemerahan dan nyeri sekali dan hatinya sedemikian kesal dan gemasnya sehingga kedua matanya sudah basah air mata. Ia menangis tanpa suara.
"Keparat!"
Ia memaki dan tiba-tiba ia mencabut sebatang pedang dari punggungnya. Begitu dicabut, tampak sinar kehijauan. Itulah sebatang pedang pusaka pemberian gurunya. Pedang pusaka Nogo Wilis yang mengeluarkan sinar kehijauan. Begitu pedang Nogo Wilis berada di tangannya, Retno Susilo sudah menerjang dengan ganas dan dahsyat, tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Serangannya bertubi-tubi dan dahsyat sekali karena selain cepat, juga mengandung tenaga sakti dan pedang itu sendiri mempunyai kandungaa hawa yang amat berbahaya.
"Heeiiiittttt.......!"
Sutejo sudah waspada, maklum betapa besar bahayaa pedang pusaka di tangan gadis yang liar dan binal itu. Diapun menggunakan kelincahannya untuk melompat dan mengelak. Akan tetapi Ratno Susilo mengejar dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menjauh. Pedangnya menyambar-nyambar seperti seekor naga bermain-main di angkasa, di antara awan yang bergulung-gulung. Repot juga Sutejo didesak oleh rangkaian serangan pedang yang dahsyat Maklum bahwa kalau dia hanya menghadapinya dengan tangan kosong keadaaannya dapat berbahaya, dia lalu melolos kain pengikat rambutnya. Kain kepala itu cukup panjang dan lebar dan sekali dikelebatkan, tampak gulungan sinar putih seperti awan yang menyambut gulungan sinar pedang yang kehijauan.
"Plak-plak cringgg...... !"
Kain yang lunak itu di tangan Sutejo dapat berubah menjadi keras dan kaku seperti terbuat dari logam dan beberapa kali pedang itu tertangkis dan terpental.
Akan tetapi Retno Susilo mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan semua tenaganya sehingga gerakannya selain cepat, juga trengginas sehingga Sutejo lebih banyak mengelak dan menangkis daripada menyerang. Karena sampai puluhan jurus belum juga dapat mengalahkan pemuda itu, Retno Susilo menjadi semakin penasaran.
"Hyaaaattt.......!"
Tiba-tiba tubuhnya melayang dan pedangnya menyambar ganas bagaikan seekor burong garuda dara itu melompat dan mengirim serangan dari udara. Pedangnya menyambar ke arah kepala Sutejo secaradahsyat sekali. Pemuda ini mengambil keputusan untuk menyudahi perkelahian itu sebelum perkelahianmenjadi semakin berbahaya. Dia tidak ingin mencelakai Retno Susilo, akan tetapi tentu saja diapun tidak ingin kalah di tangan gadis bandel ini. Melihat pedang itu menyambar dahsyat, dia mengelak, menyelinap di bawah sambaran pedang, Kemudian ketika lengan yang memegang pedang itu lewat, dia menggunakan kain pengikat kepalanya untuk mengebut atau melecut ke arah pergelangan tangan Retno Susilo yang memegang pedang.
"Pssstttt....... !!"
Gadis itu menjerit kecil dan pedangnya terlepas dari pegangan, terlempar sampai jauh. Sejenak gadis itu terbelalak, kemudian mukanya menjadi merah sekali. Diserangnya Sutejo dengan kedua tangannya dan di lain saat ia telah menghujankan pukulan dan tamparan kepada tubuh Sutejo, akan tetapi pemuda itu menerimanya sambil tersenyum. Karena semua pukulannya tidak mempan, akhirnya gadis itu menjatuhkan diri berlutut sambil manangis, menutupi mukanya dengan kedua tangannya!
Sutejo memandang kepada gadis itu, kemudian perlahan-lahan dia membalikkan tubuhnya dan melompat pergimenuruni lereng bukit itu, tidak memperdulikan lagi kepada gadis berpakaian pria yang sedang menangis kesal dan marah itu.
Dua orang laki-laki yang gagah dan bertubuh tinggi besar perlahan-lahan menghampiri Retno Susilo yang sedang menangis itu. Mereka itu bukan lain adalah Ki Mundingsosro ketua Sardula Cemeng dan adiknya, Ki Munidngloyo. Mereka saling pandang lalu memandang kepada Retno Susilo sambil menghela napas dan menggeleng-geleng kepala.
"Retno Susilo, engkau kenapakah?"
Mengapa engkau menangis di sini?"
Tanya Ki Mundingsosro, pura.pura tidaktahu padahal tadi dia dan adiknya telah melihat dari jauh betapa puterinya itu bertanding melawan Sutejodan dikalahkan pemuda itu.
Mendengar suara ayahnya, Retno Susilo tidak menurunkan kedua tangannya dari depan muka, bahkan menangis semakin mengguguk! Ayah dan paman itu dengan suara halus membujuknya agar tidak menangis lagi.
"Sudahlah, anakku. Kalau ada urusan baiknya dirundingkan dulu dengan kami, ditangisi saja tidak ada gunanya. Pula, engkau adalah seorang gadis yang gagah perkasa, bagaimana masih dapat menangis seperti seorang anak perempuan yang lemah dan cengeng? Katakanlah, siapa yang telah berani menyakitimu? Kami tidak akan tinggal diam saja."
Kata pula Ki Mundingsosro.
Retno Susilo menghapus air matanya dan menghentikan tangisnya. Ia lalu mengambil pedangnya yang tadi terlempar jauh, kemudian berkata kepada ayahnya.
"Bapa, aku mau pergi mencari guruku untuk memperdalam ilmu agar lain kali tidak sampai dihina orang!"
"Eh, Siapa yang telah menghinamu, anakku?"
Tanya ayahnya.
"Kakang Sutejo itu! Aku ingin ikut dia mengembara, akan tetapi dia menolak, bahkan ketika aku memaksa, dia mengalahkan aku. Aku harus belajar lagi dari guruku Nyi Rukmo Petak, kemudian aku akan mencari Sutejo menantangnya lagi untuk menebus kekalahanku hari ini!"
Ki Mundingsosro saling pandang dengan Ki Mundingloyo dan keduanya tersenyum. Maklumlah Ki Mundingsosro akan isi hati puterinya. Puterinya yang keras hati ini tidak tidak salah lagi telah jatuh hati kepada Sutejo dan hendak ikut pemuda itu merantau akan tetapi menjadi marah ketika ditolak dan lalu menantang akan tetapi dapat dikalahkan.
"Baiklah, akan tetapi mari pulang dulu. Engkau harus pikirkan dulu baik-baik dan juga berpamit kepada ibumu, bukan pergi mendadak seperti ini."
Ayahnya dan pamannya membujuk dan akhirnya gadis bandel itu mau juga diajak pulang.
Akan tetapi sepekan kemudian, Retno Susilo meninggalkan perkampungan Sardulo Cemeng di hutan KebonJambe. Semua alasan yang diajarkan ayahnya dan pamannya, juga ibunya untuk mencegah kepergiannya, tidak didengarnya lagi sehingga akhirnya mereka terpaksa membiarkan gadis itu pergi. Retno Susilo membawa bekal emas untuk biaya perjalanan dan ia tidak lagi menyamar sebagai seorang pemuda, melainkan berdandan seperti seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, dengan pakaian serba ringkas, tidak lupa, Pedang Nogo Wilis tergantung di punggungnya.
Sang Adipati Wirosobo tampak marah sekali. Tubuhnya yang tinggi besar itu tampak semakin kokoh, wajahnya yang penuh brewok itu berubah kemerahan, matanya yang lebar terbelalak menonjol seolah hendak keluar dari pelupuknya, tangan kirinya memuntir kumisnya yang sekepal sebelah.
"Babo-babo keparat ! Andika kalah oleh murid Bhagawan Sidik Paningal, Paman Bhagawan Jaladara? Bahkan Pecut Sakti Bajrakirana telah dirampas oleh pemuda itu? Siapa namanya? Sutejo?"
Sang Bhagawan Jaladara menundukkan mukanya.
"Sesungguhnya saya tidak seharusnya kalah oleh Sutejo. anakmas Adipati. Bagaimanapun dia adalah murid keponakan saya sendiri dan ilmu kami sealiran. Akan tetapi agaknya dia telah mendapat dukungan dari Bapa guru Resi Limut Manik sehingga dia memiliki kekuatan yang luar biasa. Maafkan bahwa saya terpaksa tidak mampu mempertahankan Pecut Sakti Bajrakirana."
"Celaka!"
Sang Adipati menggebrak meja di depannya sehingga ruangan itu tergetar.
Seorang laki-laki berusia sepantar dengan Sang Adipati, yaitu kurang lebih empat puluh lima tahun, yang berwajah tampan dan bersikap gagah dan tenang, yang ikut pula menghadap di situ bernama Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, mengangkat mukanya dan menyembah kepada Sang Adipati.
"Ampunkan hamba kalau berani mengajukkan usul, Gusti Adipati. Hamba kira sekarang belum terlambat. Karena yang merampas Pecut Sakti itu adalah murid Sang Bhagawan Sidik Paningal, tentu pecut itu dibawa ke Gunung Kawi oleh pemuda bernama Sutejo itu. Belum terlambat bagi kita untuk mengejarnya menyusul dan merampasnya kembali, sekalian memberi hajaran kepada Bhagawan Sidik Paningal dan muridnya. Kalau hamba pergi bersama Paman Bhagawan Jaladara. Kakang Warok Petak dan Kakang Baka Kroda, mustahil kami tidak akan dapat mengalahkan mereka."
Sang Adipati mengangguk-angguk. Pembicara itu adalah Tumanggung Janurmendo, jagoan nomer satu dari Wirosobo yang memiliki kesaktian tinggi dan dapat diandalkan. Kalau dia yang pergi, Sang Adipati yakin akan memperoleh hasil.
"Bagus sekali, Adi tumenggung Janurmendo. Agaknya hanya andikalah yang menjadi tumpuan harapan kami untuk mendapatkan kembali Pecut Bajrakirana itu dan memberi pelajaran kepada Bhagawan Sidik Paningal dia tidak mau menuruti kehendak kami membantu Wirosobo. Biar dia tahu bahwa Kadipaten Wirosobo tidak boleh dibuat main-main! Untuk memperkuat kedudukanmu, terimalah Keris Pusaka Jalu Sarpo ini. Pusaka ini menjadi milikmu dan pergunakan sesuka hatimu untuk mengakhiri hidup Bhagawan Sidik Paninggal"
Tumenggung Janurmendo bergerak menghaturkan sembah dan menerima pusaka sambil menghaturkan terima kasih. Keris Jalu Sarpo adalah sebatang keris lurus yang ampuh sekali karena mengandung racun yang mematikan.
Setelah mendapat restu dari Sang Adipati Wirosobo dan mengadakan persiapan, berangkatlah empat orang itu. Tumenggung Janurmendo, Bhagawan Jaladara, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda. Mereka menunggang empat ekor kuda pilihan dan mereka membalapkan kuda mereka menuju Ke lereng Gunung Kawi.
Bhagawan Sidik Paningal menghela napai dalam. Sebagai seorang pertapa yang sudah tajam dan peka perasaannya, pada pagi hari itu dia merasa hatinya amat tidak tenang. Jantungnya berdebar tanpa sebab dan dia maklum bahwa hal ini merupakan tanda bahwa akan ada sesuatu yang tidak baik menimpa dirinya. Mukanya yang biasanya berseri itu kini tampak muram dan berulang kali dia, menghela napas panjang, Lalu diam-diam dia membisikkan doa ke hadirat Illahi menyerahkan diri sebulatnya kepada Kehendak Yang Maha Kuasa.
"Seorang manusia, siapapun adanya dia, tidak dapat mengubah apa yang sudah dikehendaki Yang Maha Kuasa,"
Pikirnya dan dengan pikiran ini Diapun menyerah dan hatinya menjadi tenang kembali.
Dia kini berada seorang diri di padepokannya. Dia tidak mempunyai seorangpun cantrik. Biasanya dia hidup berdua saja dengan muridnya yang sudah dianggap sebagai puteranya sendiri,yaitu Sutejo. Semenjak Sutejo pergi, diapun hidup seorang diri dan pagi hari itu dia melaksanakan tugas sehari-hari seperti biasa.
Setelah mengisi kolam air di tempat pemandian dan dapur, diapun memasak air untuk membuat minuman air teh. Apakah muridnya hari ini akan pulang? Pikiran yang menjadi harapannya ini menyelinap dalam hatinya. Muridnya mempunyai tugas penting, yaitu merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Bhagawan Jaladara. Dia yakin bahwa kini Sutejo tidak akan kalah kalau melawan Bhagawan Jaladara karena muridnya itu telah dibekali Aji Gelap Musti. Dia mengharapkan mudah-mudahan muridnya itu sudah mampu merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana untuk dikembalikan kepada gurunya, Resi Limut Manik di puncak Gunung Semeru.
Bhagawan Sidik Paningal menuangkan air teh panas dari poci ke dalam cangkir. tiba-tiba dia menghentikan gerakannya itu dan meletakkan kembali poci air teh ke ataa meja di depannya. Matanya menatap ke arah depan pondoknya. Dia mendengar derap kaki kuda yang mendatangi pondoknya. Perasaannya menjadi semakin tidak enak. Dia bangkit berdiri Lalu melangkah menuju keluar.
Empat orang penunggang kuda itu berhenti di depan pondok. Mereka masih duduk di punggung kuda dan mereka semua memandang ke arah pintu pondok dari mana Bhagawan Sidik Paningal muncul. Pendeta ini mengerutkan alisnya ketika mengenal siapa yang datang. Bhagawan Jaladara, Ki Warok Petak, Baka Kroda, dan seorang laki-laki gagah perkasa dan tampan berusia sekitar empat puluh lima tahun yang tidak dikenalnya.
"Adi Jaladara, andika datang lagi?"
Tegur Bhagawan Sidik Paningal kepada adik seperguruannya itu.
"Kakang Sidik Paningal! Sudah kukatakan kepadamu bahwa aku akan datang lagi dan kalau sekarang andika masih juga belum menurut untuk meninggalkan Agama Islam dan membantu kadipaten Wirosobo, terpaksa aku akan membunuhmu."
Bhagawan Sidik Paningal memandang adi seperguruannya dengan sinar mata tajam namun lembut, lalu dia menggelengkan kepalanya.
"Apapun yang terjadi, aku yang sedang mempelajari agama Islam tidak akan meninggalkan agama baru itu, dan aku tidak akan membantu Kadipaten Wirosobo kalau kadipaten itu hendak memberontak terhadap Mataram. Tentang andika hendak membunuhku, nyawaku bukan berada di tanganmu, adi Jaladara, melainkan di tangan Hyang Widhi.
"Babo-babo, kalau begitu kami akan mengantar nyawamu!"
Kata Bhagawan Jaladara sambil mengamangkan tongkat hitamnya.
Melihat ini Bhagawan Sidik Paningal melompat keluar karena dia tidak Ingin menghadapi Perkelahian di dalam pondoknya. Empat orang itupun berlompatan turun dari kuda mereka dan menambatkan kuda mereka di batang pohon yang tumbuh di depan pondok itu.
"Kakang Sidik Paningal, bersiaplah untuk mampus!"
Bentak Bhagawan Jaladara dan dia menerjang ke depan dengan tongkat hitamnya. Bhagawan Sidik Paningal merasa lega bahwa Bhagawan jaladara tidak mengeluarkan Pecut Sakti Bajrakirana. Ke manakah pecut itu, pikirnya? Apakah Sutejo telah berhasil merampasnya? Kalau pecut itu masih berada pada Bhagawan Jaladara, tentu sudah dikeluarkan untuk menundukkannya dan dia tidak akan berani melawan.
Akan tetapi Bhagawan Jaladara tidak mengeluarkan pecut itu, sebaliknya menyerang dengan tongkat hitamnya. Karena dia maklum betapa dahsyatnya tongkat itu, Bhagawan Sidik Paningal lalu melolos kain pengikat kapalanya yang berwarna kuning. Ketika tongkat menyambar ke arah kepalanya, diapun menangkis dengan kebutan kain kuning itu.
"Wuuuttt...... desss.....!!"
Hebat sekali pertemuan antara kedua senjata yang mengandung tenaga sakti itu.
Akan tatapi karena memang Bhagawan Jaladara masih tidak mampu menandingi kakak seperguruannya, tubuhnya terdorong ke belakang dan terhuyung.
"Paman Bhagawan Jaladara, serahkan dia kepadaku!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Tumenggung Janurmendo telah melompat ke depan. Gerakannya tangkas sekali dan Tumenggung yang gagah perkasa itu kini telah berhadapanan dengan Bhagawan Sidik Paningal. Pertapa ini memandang dengan ragu karena dia belom mengenal orang ini. Karena merasa tidak semestinya berkelahi melawan orang yang sama Sekali tidak dikenalnya, maka diapun bertanya dengan suara tenang.
"Siapakah andika, Ki sanak dan mengapa mencampuri urusan antara dua orang kakak beradik yang tidak ada sangkut pautnya denganmu?"
Tumenggung Janurmendo tersenyum dan menjawab dengan lantang.
"Bhagawan Sidik Paningal. aku adalah Tumenggung Janurmendo, utusan sang Adipati Wirosobo. Menyerahlah andika untuk kubawa menghadap Sang Adipati, dari pada aku harus terpaksa mempergunakan kekerasan terhadap dirimu!"
Mengertilah kini Bhagawan Sidik Paningal bahwa dia berhadapan dengan seorang jagoan Wirosobo.
"Hmmm, mengapa aku harus pergi menghadap Sang Adipati Wirosobo? Aku tidak mempunyai urusan dengan beliau!"
"Bhagawan Sidik Paningal. Ingatlah bahwaandika berasal dari daerah Wirosobo, berarti andika adalah kawula Wirosobo. Oleh karena itu Adipati berhak memanggil kawulanya yang manapun juga, dan sudah menjadi kewajibanmu sebagai kawula Wirosobo untuk datang menghadap apabila dipanggil."
"Aku tahu bahwa aku dipanggil, hanya untuk membantu Wirosobo yang hendak memberontak terhadap Mataram. Aku tidak mau terlibat dalam perang pemberontakan, karena itu sekali lagi aku tegaskan bahwa aku tidak mau menghadap Kadipaten Wirosobo. Kalian mau apa?"
"Babo-babo! Ketahuilah, Bhagawan Sidik Paningal bahwa semua purbowasesonya telah diserahkan ke dalam tanganku. Kalau engkau membangkang, terpaksa dikau akan kutangkap dan kuseret menghadap Sang Adipati!"
Bhagawan Sidik Paningal mengerutkan alisnya. Karena dia sudah yakin kini bahwa Bhagawan Jaladara tidak membawa Pecut Bajrakirana, maka timbul ketabahan dalam hatinya. Dia tidak takut menghadapi mereka semua.
"Tumenggung Janurmendo, cobalah kalau andika memang mampu menangkap aku !"
Tumenggung yang gagah perkasa itu lalu memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lebar, yang kiri di depan, yang kanan di belakang agak ditekuk lulutnya, kedua lengannya dikembangkan, kemudian mulutnya berseru,
"Sambutlah.....!! Auurrrrhhhhh!"
Kedua tangan itu lalu dirangkap menyembah di depan dada dan tiba - tiba tangan kanannya meluncur depan dibarengi Kaki kanannya yang melangkah lebar ke depan. Telapak tangan kanan didorongkan ke depan dan ada angin dahsyat menyambar ganas ke arah tubuh Bhagawan Sidik Paningal.
Sang Bhagawan mengenal pukulan ampuh, maka diapun cepat mengelak dengan gerakan kaki ke samping, tubuhnnya condong ke kiri mengelak dan ketika pukulan itu lewat di samping tubuhnya, diapun membalas dengan pukulan tangan yang terbuka ke arah lambung lawan. Namun, Sang Tumenggung Janurmendo ternyata begitu tangkas sekali. Begitu pukulannya luput lengan kanan itu sudah ditekuk dan membuang kesamping sebagai tangkisan sehingga ketika tangan kiri Bhagawan Sidik Paningal datang memukul, tangan itu tertangkis oleh tangan kanan Tumenggung Janurmendo.
Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Sutejo dengan Pecut Sakti Bajrakirana di tangan. Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan dia berseru nyaring,
"Apa yang terjadi di sini? Apa yang kalian lakukan di sini?"
Melihat munculnya pemuda ini, Bhagawan Jaladara yang cerdik itu cepat memegang punggung baju Bhagawan Sidik Paningal dan membantu pendeta yang sudah lemah itu untuk berdiri.
"Sutejo, jangan bergerak dan cepat serahkan pecut itu kepadaku atau...... aku akan membunuh Kakang Sidik Paningal lebih dulu!"
Tongkat hitam di tangannya ditempelkan
ke kepala Bhagawan Sidik Paningal.
Sutejo memandang dan terkejut sekali, karena sekali pandang saja tahulah dia akan keadaan gurunya yang Agaknya Demikian lemah dan terluka parah, luka sebelah dalam tubuhnya Karena tidak berdarah.
"Apa yang kalian lakukan terhadap Bapa Guru....?"
Katanya dengan gelisah ketika dia melihat keadaan Bhagawan Sidik Paningal.
"Kami akan membunuhnya kalau engkau tidak segera menyerahkan pecut Bajrakirana kepada kami!"
Kembali Bhagawan Jaladara membentak dan mengancam.
"Cepat serahkan atau......!' Dia mengangkat tongkatnya dipukulkan ke arah kepala Bhagawan Sidik Paningal.
Melihat ini sutejo tidak mempunyai pilihan lain. Tentu saja dia memberatkan keselamatan gurunya dari pada Pecut Bajrakirana itu. Akan tetapi dia agak ragu. Dia tahu bahwa paman gurunya itu adalah seorang yang berwatak tidak baik, bagaimana kalau nanti menipunya, setelah menerima pecut lalu tidak mau membebaskan gurunya?
"Berjanjilah dulu untuk membebaskan Bapa Guru sebelum aku menyerahkan Pecut ini!"
katanya.
"Aku berjanji!"
Kata Bhagawan Jaladara dan dia memberi isarat kepada Ki Warok petak untuk menerima pecut itu. Ki Warok Petak menghampiri Sutejo dan mengulurkan tangannya. Terpaksa Sutejo menyerahkan pecut yang segera diterima oleh Ki Warok Petak dan diserahkan kepada Bhagawan Jaladara. Sang Bhagawan senang sekali dan dia menerima sambil tertawa, kemudian didorongnya tubuh Bhagawan Sidik Paningal sehingga jatuh tersungkur.
"Bapa.....!"
Sutejo lari menghampiri gurunya dan merangkulnya.
"Sutejo...... engkau keliru........ tidak seharusnya.... engkau menyerahkan Pecut Bajrakirana kepadanya...."
Kata Bhagawan Sidik Paningal terengah-engah.
"Akan tetapi Bapa......
"Rampaslah kembali.......!"
Perintah Bhagawan Sidik Paningal sambil menahan rasa nyeri di dadanya.
Mendengar ketegasan dalam suara gurunya, Sutejo tidak berani membantah lagi. Dia bangkit berdiri perlahan-lahan dan memandang kepada Bhagawan Jaladara yang memegang tongkat di tangan kirinya dan Pecut Bajrakirana di tangan kanan.
"Sutejo, aku pemegang Pecut Sakti Bajrakirana!"
Sebagai murid perguruan Jatikusumo, berlututlah engkau!"
Bentak Bhagawan Jaladara sambil mengangkat pecut itu ke atas.
Akan tetapi Sutejo memandang dengan mata bersinar penuh kemarahan.
"Aku tidak pernah menjadi murid perguruan Jatikusumo!"
Katanya.
"Bhagawan Jaladara, kembalikan pecut itu kepadaku!"
Akan tetapi Bhagawan Jaladara berdiri di antara tiga orang temannya dan empat orang itu telah siap dengan senjata masing-masing. Bhagawan Jaladara sendiri memegang Pecut Bajrakirana dan tongkat hitamnya. Tumenggung Janurmendo juga sudah menghunus sebatang keris pemberian Adipati Wirosobo, yaitu pusaka Jalu Sarpo. Ki Warok Petak memegang sebatang golok besar dan Ki Baka Kroda memegang sebatang keris pula. Mereka siap untuk mengeroyok Sutejo.
Sutejo mengerti bahwa dia berhadapan dengan empat orang lawan yang tangguh. Akan tetapi dia sudah marah dan sama sekali tidak merasa jerih. Cepat dia melolos kain pengikat kepalanya dan dengan pekik melengking tinggi dia sudah menerjang ke depan, kain pengikat kepala itu diputar berubah menjadi gulungan sinar biru dan dia langsung saja memainkan senjata itu dengan Aji Sihung Nila. Hebat bukan main serangannya ini, mendatangkan angin bergelombang karena dia mengerahkan tenaga saktinya yang dia dapatkan dari kakek gurunya. Empat orang lawannya menggerakkan senjata menyambut, akan tetapi keempatnya terhuuyung ke belakang oleh sergapan angin serangan yang amat dahsyat itu. empat orang itu terkejut sekali dan Bhagawan Jaladara menjadi khawatir.
Pembantu yang dapat dia andalkan adalah Tumenggung Janurmendo. Tumenggung ini agaknya merupakan satu-satunya orang di antara mereka yang akan mampu menandingi Sutejo. Akan tetapi pada saat itu sang Tumenggung sudah menderita luka dalam akibat adu tenaga melawan Bhagawan Sidik Paningal tadi sehingga tentu saja gerakannya menjadi kurang kuat. Maka, Bhagawan Jaladara lalu mengamuk, mempergunakan pecut pusaka di tangannya yang merupakan senjata ampuh sekali.
"Tar-tar-tarr.........!"
Pecut Sakti Bajrakirana meledak-ledak di atas kepala Sutejo. Pemuda itu tidak berani mempergunakan kekebalan Kawoco untuk menyambut pecut yang amat ampuh itu. Terpaksa dia mengelak dan kadang menangkis dengan kebutan kain pengikat kepalanya. Akan tetapi setiap kali ujung kain bertemu ujung pecut, kain itu robek ujungnya! Ujung pecut Bajrakirana itu seolah mengeluarkan api atau kilat yang luar biasa panas dan tajamnya. Sementara itu, biarpun sudah terluka dalam, ilmu silat Tumenggung Janormendo masih amat kuat. Keris pusaka Jalu Serpo di tangannya jaga berbahaya bukan main karena keris ini mengandung racun yang ampuh. Ki Warok Petak dan Baka Kroda juga merupakan dua orang |awan yang kuat.
Akan tetapi pada saat itu, Sutejo sudah tidak memikirkan keselamatan diri sendiri, bahkan dia sudah melupakan Pecut Bajrakirana. Yang teringat olehnya hanya bahwa gurunya telah terluka parah oleh orang-orang ini dan dia bertekad untuk membalas. Maka sepak terjangnya menggiriskan dan amukannya seperti seekor naga terluka! Kain pengikat kepala itu berubah menjadi segulungan sinar kebiruan yang dahsyat sekali. Baru angin pukulannya saja menyambar-nyambar ganas, didukung tenaga dalam yang diwarisi dari Resi Limut Manik, didorong kecepatan gerak Aji Harina Legawa yang membuat tubuhnya berkelebatan seperti bayang-bayang!
"Trang...... Trakk....!"
Ki Warok petak dan Ki Baka Kroda terhuyung ke belakang. Hampir saja golok dan keris mereka terlepas dari tangan ketika bertemu dengan ujung kain, kemudian gelombang sinar hitam itu menyambar ke arah dada Bhagawan Jaladara dan sebatang kaki mencuat dan menendang ke arah perut Tumenggung Janurmendo! Begitu hebat serangan ini sehinggga Bhagawan Jaladara cepat melompat ke belakang, demikian pula Tumenggung Janurmendo membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik sehingga terbebas dari tendangan berputar itu. Bhagawan Jaladara menjadi kecut hatinya. Tumenggung Janurmendo tidak dapat diandalkan lagi dan pemuda itu mengamuk sedemikian hebatnya. Pecut Pusaka sudah berada ditanganya, maka tidak menguntungkan kalau dia terus menyerang pemuda perkasa itu. Dia lalu berseru dengan nyaring.
"Mundur....!"
Dan dia sendiri melompat ke atas punggung kudanya. Perbuatan ini dicontoh Tumenggung Janumendo. Ki Warok dan Ki Baka Kroda. Bagaikan berlomba, membalapkan kuda mereka dan pergi meninggalkan tempat itu. Dalam kemarahannya Sutejo hendak mengejar, akan tetapi dia teringat akan keadaan gurunya, maka ditahan niatnya untuk mengejar dan dia berlutut di dekat gurunya.
Diangkatnya tubuh gurunya dan dibawa masuk ke dalam pondok. Setelah merebahkan tubuh Bhagawan Sidik Paningal ke atas dipan, Sutejo memeriksa tubuh gurunya dan dia mendapat kenyataan bahwa gurunya memang menderita yang parah. Napas gurunya terengah-engah dan dia menahan rasa nyeri yang hebat, wajahnya pucat sekali.
"Bapa, biarlah saya berusaha mengobati dengan pengerahan hawa sakti."
Kata Sutejo, siap hendak menempelkan kedua tangan di dada kakek itu.
Bhagawan Sidik Paningal menggeleng kepalanya dan menghela napas untuk menegangkan pernapasannya.
"Tiada gunanya lag!, Sutejo Kurasa........ lukaku tidak dapat....... disembuhkan lagi......."
"Bapa........!"
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tenanglah, angger....... usia berada di tangan Hyang Widhi..... tidak ada yang disesalkan........ sekarang dengarlah baik-baik........"
Dengan hati prihatin karena merasa bahwa gurunya hendak meninggalkan pesan terakhir, Sutejo duduk di tepi. dipan dan mendekatkan mukanya agar dapat mendengarkan dengan baik.
"Pertama-tama akan kupesankan tugas-tugas kewajiban untukmu,"
Kata Bhagawan Sidik Paningal dengan suara lirih dan terputus-putus.
"Karena hidup berarti memenuhi kewajiban-kewajiban. Tanpa adanya kewajiban-kewajiban hidup tidak ada artinya. Pertama, engkau harus berusaha untuk merampas kembali Pecut sakti Bajrakirana. Pecut itu adalah pusaka keramat dari perguruan Jatikusumo, menjadi lambang keadilan dan penegak kebenaran. Kalau pusaka itu sampai jatuh ke tangan orang jahat dan dipergunakan untuk kejahatan, nama baik perguruan Jatikusumo akan tercemar. Engkau harus mendapatkan kembali pecut itu dan menyerahkannya kepada Bapa Guru Resi Limut Manik atau Para tokoh Jatikusumo, dalam ini kakak seperguruanku Bhagawan Sindusakti di pantai Laut Kidul daerah Pacitan menjadi tokoh utamanya setelah eyang gurumu. Setelah itu, kewajibanmu yang kedua, engkau harus menghambakan diri kepada Kanjeng Sultan Agung, Sang Prabu Pandan Cokrokusumo Raja Mataram, Berbaktilah kepada Negara dan Bangsa, kulup, karena itu merupakan kewajiban seorang satria sejati. Nah, sanggupkah engkau melaksanakan dua tugas itu?" "Saya sanggup, Bapa."
Jawab Sutejo dengan suara mantap.
"Sekarang soal kedua yaitu mengenai dirimu dan riwayatmu......"
Berdebar rasa jantung Sutejo mendengar ini. Dia memang ingin sekali mendengar tentang riwayat dirinya, tentang ayah bundanya. Selama ini kalau ditanya, Bhagawan Sidik Paningal hanya mengatakan bahwa dia sendiri hanya mengatakan siapa ayah bundanya dan tidak memberi keterangan lebih jauh. Sekali ini agaknya di saat terakhir, gurunya itu akan membuka rahasianya!
"Berulang kali engkau menanyakan siapa ayah bundamu, Sutejo dan aku tidak berbohong ketika aku menjawab bahwa aku tidak tahu. Begini riwayatnya. Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, ketika aku merantau sampai di kaki Gunung Anjasmoro, pada suatu pagi aku mendengar tangis seorang anak kecil di dalam hutan. Karena merasa curiga mendengar anak itu terus menerus menangis, aku cepat memasuki hutan dan mencari dari mana suara itu datang. Kemudian aku melihat seorang wanita cantik berambut panjang, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, masih muda dan cantik, sedang duduk menangis dan ia memangku seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga tahun. Anak itulah yang menangis keras, sedangkan wanita itu hanya terisak perlahan saja. Kemudian wanita itu membentak, menyuruh anak itu diam. Si anak tidak mau diam bahkan menangis semakin keras. Tiba-tiba wanita itu menotok leher anak itu dengan dua jari tangannya dan seketika tangis itu terhenti, atau anak itu tetap menangis akan tetapi tidak mengeluarkan sedikitpun suara! Aku menjadi curiga melihat kekejaman wanita itu, dan wanita itu berkata,
"Mengingat sakit hatiku terhadap orang tuamu, sudah sepatutnya kalau engkau kubunuh
sekarang juga. Akan tetapi aku bukan orang sekejam itu!"
Setelah berkata demikian, ia memodong anak itu dan hendak melompat pergi."
Sutejo mendengarkan dengan jantung berdebar debar penuh ketegangan dan dugaan. Mudah saja menduga bahwa dialah kiranya anak berusia tiga tahun itu. Akan tetapi dia diam saja, menanti gurunya mengatur pernapasannya sebelum melanjutkan.
"Aku menghadangnya dan minta kepadanya agar ia melepaskan anak yang kusangka diculiknya itu. Ia menjadi marah dan menantangku, menanyakan namaku dan juga mengakui dirinya seorang wanita bernama Ken Lasmi. Kami bertanding dan harus kuakui bahwa ia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Dengan susah payah akhirnya aku dapat mengalahkannya dan ia melarikan diri meninggalkan anak itu. Dan anak itu adalah....."
"Sayalah anak itu, bukan, Bapa?"
Tanya Sutejo penuh gairah.
"Benar, engkau anak itu. Aku membebaskan engkau dari pengaruh totokan yang membuat engkau tidak dapat bersuara. Engkau menyebut namamu Tejo, maka kuberi nama Sutejo. Ada dua buah tanda kudapati pada dirimu. Pertama adalah ini.
"Bhagawan Sidik Paningal mengambil sebuah benda dari saku jubahnya dan memberikan benda itu kepada Sutejo. Dengan tangan agak gemetar karena terharu Sutejo menerima benda itu. Itu adalah sehelai kalung emas dengan mainan yang indah sekali berbentuk seekor naga berwarna putih, terbuat dari gading terukir.
"Benda ini kutemukan tergantung di leher mu. Entah itu hanya mainan biasa ataukah ada artinya, akan tetapi sedikitnya itu merupakan tanda ketika engkau kutemukan. Pakaialah kalung itu, Sutejo."
Sutejo mengenakan kalung itu di lehernya "Dan apakah adanya tanda kedua Bapa?"
"Tanda kedua adalah sebuah tembong di punggungmu, sebesar tiga buah jari tangan Tembong itu tidak hilang sampai sekarang dan dapat menjadi tanda bagimu. Mereka yang menjadi ayah bundamu tentu masih ingat akan adanya tembong di punggungmu itu."
Sutejo mengangguk-angguk. Tidak banyak memang untuk dipakai mencari ayah ibunya, akan tetapi setidaknya ada tanda-tanda itu.
"Satu-satunya jalan bagimu untuk mencari orang tuamu........"
Tiba-tiba pertapa itu terhenti bicara dan napasnya semakin terengah-engah. Ternyata dia telah terlalu banyak mengerahkan tenaga untuk bicara sejak tadi. Mukanya pucat sekali dan napasnya tinggal satu-satu. Sutejo memandang dengan
(Lanjut ke Jilid 05)
Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
gelisah.
"Sudahlah, Bapa, harap jangan memaksa diri banyak bicara."
Katanya walaupun sebetulnya dia ingin sekali tahu apa yang akan di katakan selanjutnya oleh gurunya itu. Akan tetapi Bhagawan Sidik Paningal menggeleng kepala, menggigit bibirnya dan memaksa dirinya bicara.
".......kau......, carilah Ken Lasmi...... ia tahu....... siapa..... orang tuamu....., Sutejo......, sesudah aku mati...... kuburkanlah....... aku sudah mantap........merasuk agama...... baru....... Agama Islam......!"
Kakek itu memejamkan Kedua matanya, mulutnya tersenyum dan napasnya tinggal satu-satu. Sutejo mendekatkan mulutnya di telinga gurunya dan berbisik dengan hati terharu.
"Bapa, sebutlah Nama Hyang Widhi.....!" "Allah Hu Akbar...... Allah Hu Akbar......Laillah Hailallah.......!"
Bhagawan Sidik Paningal menghembuskan napas terakhir dengan Nama Tuhan di bibirnya! Sutejo dengan khidmat menggunakan jari tangannya untuk merapatkan mata dan bibir gurunya. Barulah dia melepas perasaan hatinya dan menangis mengguguk di samping jenazah Gurunya. Guru ini baginya juga merupakan pengganti orang tuanya, sahabatnya dan pembimbingnya. Kurang lebih dua puluh tahun dia tidak pernah terpisah dari gurunya dan sekarang dia ditinggal mati!
Setelah puas menangisi kematian gurunya, Sutejo lalu duduk termenung. Masih terngiang pesan terakhir gurunya agar dia memenuhi kewajiban-kewajibannya. Hidup memang tidak ada artinya tanpa adanya kewajiban-kewajiban itu. Kewajiban sebagai seorang murid yang menaati pesan terakhir gurunya, dia harus merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana! dan mengembalikan kepada eyang gurunya walaupun eyang gurunya pernah menyatakan bahwa pecut sakti itu di Berikan kepadanya untuk dipakai membela Mataram.
Kewajiban sebagai seorang anak membuat dia harus mencari keterangan tentang orang tuanya. Dia harus mencari wanita yang bernama Ken Lasmi, yang menurut gurunya dahulu menculik dia dari orang tuanya. Hanya Ken Lasmi seorang yang akan Dapat memberitahu kepadanya siapa adanya ayah bundanya! Dia akan mencari tokoh sakti itu sampai dapat ditemukan! Setelah memenuhi dua kewajibannya ini dengan tuntas, barulah dia akan memenuhi kewajibannya sebagai seorang Kawulo Mataram, yaitu menghambakan diri kepada Kanjeng Sultan Agung, untuk membela Nusa dan Bangsa. Gurunya pernah memberi wejangan bahwa dia harus menjadi seorang manusia utama yang seutuhnya, yakni yang memenuhi semua kewajibannya sebagai manusia. Apa artinya menjadi sorang satria yang baik kalau dia tidak menjadi seorang anak yang baik? Apa artinya menjadi anak yang baik kalau dia tidak menjadi seorang kawulo yang baik? Kebaikan ini harus meliputi seluruh kehidupan, bukan hanya sebagian saja. Kebaikan harus berada pada sumbernya, seperti matahari yang cahayanya menyinari semua perbuatan dalam kehidupannya.
Setelah hatinya tenang, Sutejo lalu mengubur jenazah gurunya di belakang pondok, di bukit kecil. Setelah Itu, dia berkemas, Dibawanya pakaiannya yang tidak banyak dan sederhana, kemudian dia meninggalkan pondok, mulai dengan perantauannya. Dia tidak tahu harus mencari Ken Lasmi ke mana, akan tetapi dia tahu ke mana harus mencari Pecut Sakti Bajrakirana, yaitu ke Kadipaten Wirosobo. Dia harus berhati-hati karena di Wirosobo terdapat banyak orang pandai yang pasti akan menyambutnya sebagai musuh.
Bukit itu disebut Bukit Ular, bukan karena bentuknya Seperti ular, melainkan karena di bukit Itu terkenal banyak ularnya. Ular yang besar seperti pohon kelapa sampai yang kecil sebesar kelingking. Akan tetapi yang kecil itu bahkan lebih berbahaya dari pada yang besar karena ular - ular besar sebangsa Ular Sawa Kembang Itu tidak akan menyerang orang bila tidak sedang kelaparan, hanya berdiam di guha-guha atau melibatkan dirinya di batang pohon. Sebaliknya, ular sebesar kelingking seperti Ular Welang dan sebangsanya itu mudah menggigit kaki orang yang tanpa sengaja menginjaknya dan gigitannya merupakan taring maut. Sekali gigit dapat melayangkan nyawa manusia!
KARENA terkenal dengan ular-ularnya, tidak sembarang orang berani menjelajah bukit ini. Bahkan para pawang ular, kalau hendak mencari ular hanya berani mencari di tepi-tepi hutan yang berada di bukit itu, tidak berani mendaki bukit. Apa lagi di puncak bukit kecil itu terdapat sebuah guha yang keramat dan menyeramkan. Betapa berbahayanya guha itu dapat tampak dari adanya beberapa kerangka dan tengkorak manusia berserakan di luas dan dalam guha. Karena banyaknya tengkorak itu, maka guha itu disebnt orang Guha Tengkorak. Guha ini merupakan satu di antara sebab mengapa orang tidak berani memasuki daerah bukit ini.
Apa lagi di waktu malam, keadaan dibukit itu sungguh menyeramkan. Karena jarang didatangi manusia, tempat itu menjadi sarang berbagai macam burung malam yang suka berbunyi di waktu malam, memperdengarkan suara mereka yang aneh-aneh dan menyeramkan. Di waktu siang hari sekalipun, keadaan di dalam hutan di bukit itu sudah sangat menyeramkan. Pohon-pohonnya lebat dan besar-besar, dikelilingi semak belukar dan mengandung duri, di mana bersembunyi ular. Ular kecil yang berbahaya. Akan tetapi, sungguh akan membuat orang terheran-heran kalau kebetulan melihatnya, pada siang hari itu, seorang gadis memasuki daerah itu dengan langkah-langkah yang tenang namun gesit.
Ia seorang gadis jelita berusia delapan belas tahun, pakaiannya ringkas dan, cukup mewah, memakai perhiasan dari pada emas permata. Wajahnya cantik jelita, terutama sekali mata dan mulutnya yang berbentuk menggairahkan. Di balik kecantikan dan kelembutan pada diri gadis itu terdapat sesuatu yang membuat orang menaruh hormat, yakni sikapnya yang demikian tenang, sinar, maunya yang tajam dan gerak geriknya menunjukkan bahwa ia bukan seorang gadis sembarangan. Apalagi sebatang pedang yang tergantung di punggungnya jelas menandakan bahwa ia seorang gadis yang memiliki ilmu kanuragan dan tidak boleh dipandang ringan atau dijadikan permainan!
Gadis itu bukan lain adalah Retno Susilo! Seperti kita ketahuhi, Retno Susilo meninggalkan Hutan kebonjambe yang menjadi perkampungan Sardulo Cemeng di mana ayahnya menjadi ketua. Keluarganya tidak mampu menahannya ketika ia menyatakan hendak pergi mencari gurunya untuk memperdalam Ilmu kanuragan yang telah dikuasainya. Tujuannya hanya satu, ialah memperdalam ilmu kanuragan, agar kelak ia dapat mengalahkan Sutejo!
Ia mendaki Bukit ular karena maklum bahwa tempat angker ini merupakan satu di antara tempat-tempat yang kadang dijadikan tempat tinggal Nyi Rukmo Petak, gurunya itu. Pernah ia satu kali diajak oleh gurunya tinggal di tempat ini selama sebulan. Karena itu, tanpa ragu ia memasuki hutan dan mendaki Bukit Ular dengan hati-hati karena ia maklum bahwa tempat ini amat berbahaya dengan ular-ularnya.
Ia maklum bahwa yang berbahaya adalah ular-ular kecil yang suka bersembunyi di balik daun-daun kering yang berserakan di atas tanah. Sekali saja ia salah injak dan menginjak tubuh seekor ular welang, ia akan terancam bahaya maut! Dengan penuh kewaspadaan dan hati-hati sekali, mengerahkan ilmu meringankan tubuh Aji Kluwung Sakti yang mem buat tubuhnya menjadi ringan sekali, Retno Susilo maju setapak demi setapak memasuki hutan menuju ke Guha Tengkorak yang berada di tengah hutan.
Setibanya di guha besar, di depan mana masih berserakan tulang-tulang dan tengkorak manusia, Retno Susilo berhenti dan memandang ke arah guha. Guha itu tampak kosong. Akan tetapi ia tidak putus asa karena Ia tahu bahwa di dalam guha terdapat beberapa ruangan yang tidak tampak dari luar. Mungkin gurunya berada di dalam ruangan Itu. Retno Susilo lalu berseru dengan suaranya yang merdu dan nyaring.
"Nyi Dewi......! Apakah engkau berada di dalam guha? Aku muridmu Retno Susilo yang datang menghadap!"
Gurunya itu bernama Nyi Rukmo Petak, akan tetapi sejak dahulu minta disebut Nyi Dewi olehnya dan hubungan mereka tidak seperti guru dan murid, lebih merupakan sahabat! Karena Itu, Retno Susilo sudah terbiasa tidak memakai terlalu banyak, tata-krama kalau bicara dengannya.
Setelah mengeluarkan seruan itu, Retno Susilo menanti sebentar. Tak lama kemudian terdengar suara tawa terkekeh dari dalam guha dan terdengar suara lembut namun tajam dan berwibawa.
"Hi-hi-hik, Retno. jauh-jauh engkau datang mencariku, tentu ada maumu! Masuklah saja, aku sedang membuat ramuan dan engkau dapat membantuku!"
Girang sekali hati Retno Susilo mendengar jawaban ini. Seperti diduganya, gurunya benar berada di tempat itu. Tidak sia-sia perjalanan jauhnya menuju ke Bukit Ular. Ia segera melangkah maju, tetap dengan hati-hati karena guha itupun bukan tempat yang tidak berbahaya. Dimasukinya guha itu dan ternyata di sebelah dalamnya cukup terang karena mendapat cahaya dari atas yang terbuka dengan adanya lubang besar. Ia melihat gurunya sedang duduk bersila menghadapi sebuah keranjang besar dan di dekatnya terdapat sebuah periuk tanah yang bermulut lebar. Dengan tangan kirinya, nenek itu membuka tutup keranjang dan cepat sekali tangan kanannya menyambar ke dalam keranjang. Ketika tangan itu keluar, ia sudah menjepit leher seekor ular welang sebesar ibu jari kaki. Ular itu menggeliat-geliat dan membelit-belit tangan nenek itu, akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dari jepitan telunjuk dan ibu jari tangan kanan nenek itu sedemikian kuatnya sehingga mau tidak mau ular itu membuka mulutnya lebar-lebar.
Tampak dua pasang gigi taringnya yang runcing melengkung, putih kebiruan. Nenek itu dengan tangan kirinya mengambil sebatang pisau kecil, menekan dan menggurat-guratkan pisau itu pada dua pasang taring. Ular itu kesakitan dan dari kedua pasang taringnya itu menetes cairan putih kebiruan, menetes-netes dan ditampung oleh Nyi Rukmo Petak ke dalam periuk tanah yang telah dipersiapkan di situ.
Retno Susilo memandang gurunya dengan penuh perhatian dan mengertilah ia bahwa gurunya sedang memaksa ular itu mengeluarkan racunnya yang amat berbahaya. Agaknya gurunya sedang mengumpulkan racun ular-ular yang paling berbahaya. Ia memandang wajah gurunya penuh perhatian. Wajah yang terlalu muda bagi seorang nenek yang sebetulnya usianya sudah enam puluh lima tahun. Tampaknya wajah itu seperti baru berusia tiga puluh tahunan saja. Akan tetapi yang amat menyolok adalah warna rambatnya. Rambut yang panjang sampai ke punggung itu putih semua, halus seperti benang-benang sutera perak. Tubuhnyapun masih ramping padat, kulitnya masih halus belum dipenuhi keriput.
"Nyi Dewi, untuk apa engkau menampung racun ular itu?"
Retno Susilo bertanya dan menghampiri gurunya.
"Jangan bertanya sekarang, nanti kuceritakan. Sekarang lebih baik engkau membantu aku. Atau, engkau sudah lupa lagi bagaimana untuk menangkap ular dan engkau takut?"
"Takut?"
Tanya Retno Susilo penasaran sambil berjongkok dekat gurunya.
"Sudah lama engkau mengusir rasa takut dari hatiku."
"Kalau begitu bantulah. Pergunakan pisau itu untuk menekan taringnya agar ia mengeluarkan liurnya yang beracun."
Latanya sambil menunjukkan dengan dagunya ke arah pisau kecil yang berada tidak jauh dari situ.
Retno Susilo lalu duduk bersila dekat keranjang. Seperti yang dilakukan gurunya tadi, dengan tangan kiri dibukanya keranjang Itu sedikit. Ternyata didalamnya penuh dengan ular-ular yang berbisa, Ada ular welang, ular sendok, ular hijau, ular keling dan bermacam ular berbisa lainnya. Tangan kanan Retno Susilo cepat menyambar ke dalam keranjang dan ia telah menjepit leher seekor ular sendok yang besarnya ada sepergelangan tangannya. Ular itu membelit-belit tangannya, akan tetapi gadis itu mengerahkan tenaga menjepit leher dekat kepala sehingga ular itu terpaksa membuka mulutnya terpentang lebar dan tampaklah dua pasang taringnya yang mengerikan. Seperti yang dilakukan gurunya. Retno Susilo menekan-nekan dan menggurat-gurat pada taring ular itu sehingga dari taring itu keluar liur berbisa yang ditampungnya dengan periuk tanah tadi. Setelah bisanya habis, sepert yang dilakukan oleh gurunya, ia melemparkan tubuh ular itu keluar dari gua. Ular yang sudah kehabisan bisa itu, merayap perlahan meninggalkan guha itu dengan lemas.
Guru dan murid bekerja tanpa bicara dan akhirnya semua ular dalam keranjang telah dikuras bisanya. Periuk itu menampung bisa banyak ular, tampak cairan keruh kebiruan yang agak berbusa di dalam periuk.
Setelah ularnya habis Retno Susilo bertanya kepada gurunya.
"Nah, sekarang engkau harus menceritakan, untuk apa engkau menampung semua bisa yang berbahaya ini, Nyi Dewi."
"Heh-heh-heh, aku sedang merangkai untuk menciptakan sebuah aji baru yang ampuh, Retno. Aji pukulan itu kuberi nama Aji Wiso Sarpo dan untuk melatihnya kubutuhkan semua bisa ini. Aji pukulan ini akan ampuh sekali, Retno. Terkena pukulan ini sama dengan terkena gigitan beberapa ekor ular berbisa yang membuat seluruh tubuh melepuh dan mendatangkan kematian yang mengerikan."
Retno Susilo terbelalak, ngeri juga juga membayangkan aji yang amat menyeramkan itu. Ia memang ingin sekali, memperdalam ilmunya, akan tetapi kalau ia mempergunakan aji itu kemudian tubuh Sutejo melepuh semua dan terancam maut, alangkah mengerikan dan ia tidak akan tega melakukan hal itu terhadap pria yang amat dicintainya itu.
"Wah, hebat sekali. Jadi, siapa saja yang terpukul Aji Wiso Sarpo ini tidak akan dapat ditolong lagi, Nyi Dewi?"
"Hi-hi-hik, tentu saja kalau menciptakan sebuah aji, tentu juga mengadakan penawarnya yang disebut Wisopoho. Siapa yang menguasai Aji Wiso Sarpo, tubuhnya akan kebal terhadap segala macam racun, juga hanya ia yang akan mampu mengobati orang yang terkena pukulan dengan aji itu."
"Bagus sekali. Aku ingin mempelajari ilmu itu, Nyi Dewi!"
Kata Retno Susilo gembira.
"Hah! Untuk apa engkau hendak mempelajarinya? Tidak cukupkah aku melatihmu selama itu?"
"Sama sekali tidak cukup, Nyi Dewi. Justeru kedatanganku berkunjung ini adalah untuk minta tambahan ilmu kanuragan karena aku telah dihina dan dikalahkan orang. Nyi Dewi harus mengajarkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepadaku agar aku dapat membalas kekalahan itu. Kebetulan sekali kalau engkau menciptakan ilmu baru ini. Aku ingin sekali mempelajarinya."
"Siapa dia yang telah mengalahkanmu?"
Tanya Nyi Rukmo Petak (Wanita Rambut Putih) dengan penasaran.
"Namanya Sutejo. Akan tetapi sudahlah, engkau tidak akan mengenalnya. Dia adalah urusanku sendiri. Engkau hanya perlu menggemblengku lebih lanjut agar aku dapat mengalahkannya."
"Baiklah. Kebetulan sekali, kalau begitu. Aku jadi mempunyai teman untuk berlatih Aji Wiso Sarpo ini dan aku akan mengajarkan pula aji pamungkas lainnya agar engkau dapat membalas kekalahanmu."
"Berapa lama aku harus membuang waktu untuk mempelajari Aji Wiso Sarpo dan aji pamungkas lainnya, Nyi Dewi? Kuharap jangan terlalu lama. Aku tidak akan betah tinggal terlalu lama di tempat menyeramkan ini!"
"Engkau pernah bertahun-tahun belajar dariku, bakatmu cukup baik. Dasarmu sudah cukup kuat dan da|am waktu seratus hari saja engkau akan dapat menguasai Aji Wiso Sarpo dan aji pamungkas lain yang disebut Aji Gelap Sewu."
"Bagus, terima kasih Nyi Dewi. Aku akan belajar dan berlatih dengan tekun!"
Kata Retno Susilo dan suaranya mengandung sorak kemenangan seolah ia sudah merasa yakin bahwa setelah menguasai dua macam ilmu itu, ia akan mampu mengalahkan Sutejo!
Resi Limut Manik pagi hari itu tampak lesu dan tidak bersemangat. Kakek yang usianya sudah tujuh puluh empat tahun ini tampak lebih tua daripada biasanya. Rambut, alis, dan kumis jenggotnya yang panjang, ditimpali pakaiannya yang serba putih, membuat dia tampak seperti bukan Seorang manusia biasa. Dia duduk bersila di atas dipan bambu, dihadap dua orang cantriknya, Penggik yang berusia enam belas tahun dan Pungguk yang berusia delapan belas tahun. Dua orang cantrik yang masih muda remaja ini tampak sehat dan wajah mereka cerah gembira, berbeda dengan wajah sang resi.
"Pungguk dan Penggik, majulah dan duduklah dekat denganku,"
Kata Sang Resi Limut Manik, dengan suaranya yang khas, lembut dan halus.
Melihat sikap sang Resi tidak seperti biasanya, dua orang cantrik itu merangkak dan duduk bersila di atas lantai dekat dipan bambu.
"Eyang Resi, tidak seperti biasanya paduka tampak lesu dan tidak bergembira, membuat kami berdua ikut merasa prihatin."
Kata Pungguk.
"Eyang Resi, apakah gerangan yang mengganggu hati paduka? Kami ingin sekali menghibur paduka."
Kata pula Penggik. Kedua orang cantrik ini adalah kakak beradik yang sudah tidak memiliki ayah bunda lagi, tidak memiliki sanak keluarga dan sejak kecil mereka dipelihara oleh Resi Limut Manik maka tidak mengherankan kalau mereka sangat mencinta kakek itu. Hati mereka terikat kuat kepada junjungan mereka.
Mendengar ucapan dua orang cantriknya, Resi Limut Manik menghela napas panjang dan berkata.
"Yang menjadi pengganggu pikiranku adalah kalian berdua. Kalau aku sudah tidak ada, lalu bagaimana dengan kalian berdua? Siapakah yang akan kalian ngengeri? Itulah pertanyaan yang mengganggu hatiku sehingga hari ini aku tidak merasa bergembira."
"Wah, Eyang Resi. Eyang hendak pergi kemanakah? Eyang, kalau eyang pergi, kami berdua mohon diperkenankan untuk ikut. Kami tidak dapat berpisah dari Eyang. Paduka merupakan pelita hidup kami, tanpa adanya paduka, kami seperti kehilangn pelita dan hidup dalam kegelapan."
Kata Pungguk.
"Benar, Eyang Resi. Mati hidup kami berdua akan ikut paduka!"
Kata Penggik.
"Mati hidup akan ikut aku?"
Resi Limut Manik berucap dengan suara terharu.
"Jagad Dewa Bathara.......! Kehendak Sang Hyang Widhi tidak mungkin diubah oleh apapun atau siapapun!"
"Eyang Resi, mohon jangan tinggalkan kami berdoa!"
Pungguk berkata dengan suara penuh kekhawatiran.
"Mohon perkenan paduka agar kami dapat mengikut paduka ke manapun paduka pergi, Eyang Resi."
Kata pula Penggik.
Resi Limut Manik mengelus jenggotnya, mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Baiklah, Pungguk dan Penggik. Kalian boleh ikut bersamaku kemanapun aku pergi. Sekarang keluarlah, aku hendak bersamadhi dan ingat, siapapun juga tidak boleh mengganggu samadhiku dan kalian harus menjaga dan mempertahankan larangan ini."
"Sendhiko Eyang. Mari, Penggik, kita berjaga di luar."
Kata Pungguk dengan sikap gagah dan setelah menyembah dengan hormat, dua orang bersaudara itu keluar dari dalam pondok dengan wajah berseri karena telah diperkenankan ikut ke manapun sang resi pergi. Setelah kedua orang cantrik itu keluar. Resi Limut Manik lalu mengangkat kedua tangan menengadah ke atas.
"Hamba menyerah atas Semua Kehendak Paduka. Segala Kehendak Paduka jadilah!"
Dan dia lalu duduk diam dan tenggelam dalam samadhi.
Matahari mulai naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan empat orang penunggang kuda mendaki puncak Semeru di mana Resi Limut Manik mendirikan padepokannya. Pungguk dan Penggik memandang mereka yang datang berkuda itu dengan heran. Jarang ada tamu datang berkunjung, apa lagi empat orang berkuda yang kesemuanya mengenakan pakaian serba indah itu. Akan tetapi setelah mereka datang lebih dekat. Pungguk dan Penggik segera mengenal seorang di antara mereka. Dua orang cantrik itu mengerutkan alisnya ketika mengenal Bhagawan Jaladara. Tentu saja mereka tahu bahwa murid ke tiga dari Resi Limut Manik ini pernah datang berkunjung, bermalam di situ dan pergi sambil mencuri pecut pusaka Bajrakirana! Kini dia muncul kembali bersama tiga orang yang tampaknya gagah dan menyeramkan! Tiga orang itu bukan lain adalah Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda dan Tumenggung Janurmendo!
Ketika mereka tiba di depan pondok, empat orang itu lalu berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka dan Bhagawan Jaladara memandang kepada dua orang cantrik itu.
"Heh. Pungguk dan Penggik! Di mana Bapa Resi?"
Tanyanya dengan kasar. Pungguk menjawab.
"Eyang Resi sedang bersamadhi di dalam pondok."
"Cepat beritahu kepada Bapa Resi bahwa kami datang untuk bertemu dan bicara dengannya!"
Perintah Bhagawan Jaladara.
Dua orang cantrik itu saling pandang dan Pungguk lalu menjawab dengan suara tegas.
"Eyang Resi sedang bersamadhi dan tadi sudah memerintahkan kepada kami berdua agar tidak membiarkan siapapun juga mengganggu samadhinya."
Bhagawan Jaladara mengerutkan alisnya dan membentak.
"Bedebah! Tidak kau lihat siapa aku? Katakan aku Bhagawan Jaladara yang datang dan dia harus keluar sekarang juga untuk bicara! Lihat, apa yang kubawa ini? Kalian harus mentaati perintahku!"
Setelah berkata demikian, Bhagawan Jaladara mengangkat tinggi Pecut Sakti Bajrakirana di tangan kanannya.
"Maaf, Paman Bhagawan Jaladara. Kami tetap tidak dapat memenuhi permintaanmu untuk mengganggu Eyang Resi."
Kata Pungguk.
"Jahanam! Kalau begitu minggirlah, kami akan masuk pondok dan menemui sendiri Bapa Resi!"
Setelah berkata demikian Bhagawan Jaladara melecut dengan cambuknya. Pecut Bajrakirana meledak di udara "Tar-tar-tar.......!"
"Kalau Paman Bhagawan hendak memaksa, terpaksa kami akan menghalangi!"
Kata Penggik. Pemuda remaja berusia enam belas tahun ini berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar di depan pintu menghalang empat orang itu untuk memasuki pondok. Pungguk juga melompat ke dekat adiknya dan dua orang kakak beradik itu berjaga di depan pintu dengan sikap menantang dan tabah, sedikitpun tidak merasa takut.
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat sikap kedua orang pemuda remaja itu, tentu saja Bhagawan Jaladara menjadi marah bukan main! Dia merasa dihina oleh dua orang cantrik, di depan tiga orang rekannya lagi.
"Keparat! Kalian sudah bosan hidup!"
Pecut Bajrakirana di tangannya bergerak ke atas, meledak dua kali di udara lalu meluncur ke bawah, menyambar ke arah kepala dua orang cantrik muda itu. Pecut Bajrakirana adalah sebuah senjata pusaka yang sakti, dan yang menggerakkan adalah tangan Bhagawan Jaladara, seorang yang sakti mandraguna, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan itu. Sia-sia saja dua orang cantrik itu hendak mengelak. Kepala mereka telah disambar dan dilecut.
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo