Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 25


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



Kini pukulannya ditangkis oleh tangan yang halus namun yang mengandung kekuatan hebat, sehingga dia merasa seluruh lengannya tergetar hebat. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan terus memukul dan menampar. Kini Wulansari selalu menangkis dan ia juga mengerahkan tenaganya sehingga beberapa kali dua tangan itu bertemu dalam benturan yang dahsyat, yang menggetarkan tubuh mereka, juga bahkan getarannya terasa oleh Lembu Sora dan Banyak Kapuk yang menonton pertandingan itu.

   Diam-diam keduanya kagum bukan main. Wulansari maklum bahwa kalau ia mengandalkan tenaga sakti yang keras seperti yang ia pelajari dari Ki Jembros dan Ki Cucut Kalasekti, biarpun ia tidak kalah kuat, namun akhirnya ia sendiri dapat menderita luka. Kedua lengannya sudah merasa nyeri karena beradu kekerasan dengan lengan lawan. Ia harus dapat mengalahkan lawan, akan tetapi dengan cara yang halus dan tidak sampai membahayakan keselamatan lawan.

   "Haiiiitttt......."

   Kembali Ronggo Lawe menyerang dengan tamparan tangan kanannya.

   Wulansari menangkis dan sekali ini Ronggo Lawe terkejut bukan main. Tangan yang menyambut tamparannya itu terasa demikian lembut sehingga tenaga kerasnya seperti tenggelam ke dalam kelembutan, seperti sebuah palu godam yang kuat dan keras dipukulkan pada air atau pada kapas. Pada saat dia terkejut dan tidak mampu menarik kembali lengannya, dadanya sudah didorong oleh telapak tangan yang kuat dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuhnya terjengkang dan diapun terbanting jatuh.

   Dengan muka merah sekali Ronggo Lawe meloncat bangun dan kini dia sudah mencabut sebatang keris luk lima yang mengeluarkan sinar mencorong merah. Itulah keris pusaka Kolonadah, pemberian Empu Supamandrangi yang menjadi gurunya.

   "Bambang Wulandoro, keluarkan pusakamu dan mari kita mengadu kesaktian menggunakan pusaka"

   Tantangnya marah.

   Lembu Sora hendak melerai, akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan.

   "Wulan........"

   Dan muncullah seorang laki-laki gagah berusia. Lima puluhan tahun. Melihat pria ini, Wulansari menundukkan mukanya.

   "Kanjeng rama......"

   Pada saat dia terkejut dan tidak mampu menarik kembali lengannya, dadanya sudah didorong oleh telapak tangan yang kuat dan tak dapat dipertahankan lagi. tubuhnya terjengkang.

   Lembu Sora, Banyak Kapuk dan juga Ronggo Lawe sendiri memandang heran dan kaget. Mereka tentu saja mengenal rekan mereka, yaitu Medang Dangdi, seorang diantara para pengikut Raden Wijaya.

   "Dimas Medang. Kiranya pemuda ini puteramu?"

   Tanya Lembu Sora.

   "Bukan putera, melainkan puteri"

   Jawab Medang Dangdi.

   "Anakmas Ronggo Lawe, maafkanlah puteriku Wulansari"

   "Puteri.......?"

   Lembu Sora dan terutama sekali Ronggo Lawe terbelalak dan wajah Ronggo Lawe menjadi merah padam. Dia tadi telah dikalahkan oleh seorang puteri. Juga Banyak Kapuk terbelalak. Dia akan kehilangan muka kalau diketahui orang bahwa dia dipermainkan dan dikalahkan oleh seorang wanita. Untung baginya bahwa dia menjadi saksi akan kekalahan Ronggo Lawe pula.

   "Kanjeng rama, aku tidak bersalah"

   Wulansari membela diri ketika melihat sikap ayahnya yang memintakan maaf itu. Akan tetapi Medang Dangdi memandang puterinya itu dengan sinar mata penuh teguran walaupun dia merasa gembira dan terharu melihat puterinya berada dalam keadaan selamat dan sehat itu.

   "Wulansari, kau tahu bahwa ayahmu senopati Singosari dan pengikut Raden Wijaya yang setia. Ayahmu seorang satria yang rela mengorbankan nyawa untuk membela tanah air dan bangsa. Kau datang di tempat ini dan membikin ribut, menentang para senopati dan pengikut Raden Wijaya yang menjadi rekan rekanku. Dan kau masih mengatakan bahwa kau masih mengatakan bahwa kau tidak bersalah?"

   Suara senopati ini penuh teguran dan penyesalan.

   "Kanjeng rama, bertahun-tahun aku menjadi murid Ki Jembros dan menerima gemblengan Eyang Panembahan Sidik Danasura apakah kanjeng rama masih belum percaya akan kata-kataku dan menyangka aku berbohong? Tanyakan saja kepada para senopati yang terhormat ini, siapa yang lebih dulu mengajak bertanding, siapa yang lebih dulu melakukan penyerangan. Aku sama sekali tidak membuat ribut sama sekali tidak mengganggu mereka, sebaliknya merekalah yang mengganggu aku. Kanjeng rama tanyakanlah dan kalau memang mereka itu satria-satria sejati tentu tidak akan malu mengakui perbuatan mereka"

   Berkata demikian, dengan sepasang matanya yang tajam Wulansari menatap wajah Banyak Kapuk, Lembu Sora dan Ronggo Lawe. Tiga orang senopati ini menjadi semakin rikuh dan terdengar Lembu Sora berkata.

   "Adimas Medang, terus terang saja kami akui bahwa kami yang bersalah. Kami melihat pemuda .......eh, puterimu ini berada seorang diri disini dan ketika kami tanya, ia mengatakan bahwa ia ingin bicara dengan Raden Wijaya dan minta kepada kami untuk mengundang Raden Wijaya ke sini. Terus terang saja, kami mengira ia seorang pemuda dan kami mencurigainya sebagai seorang mata-mata musuh"

   "Tentu saja kau curiga, kakang Lembu Sora dan aku tidak menyalahkan kau bertiga. Kalau ia bukan anakku, mungkin sekali akupun merasa curiga kepadanya dalam kemunculannya seperti ini di tempat ini. Wulansari, sebetulnya apa yang menjadi kehendakmu maka kau muncul di sini dan minta bicara dengan Raden Wijaya, bukan mencari aku ayahmu?"

   "Kanjeng rama, aku memang datang di sini untuk menemui Raden Wijaya, karena urusan yang teramat penting. Hanya kepada beliau sajalah aku dapat bicara, oleh karena itu tadi aku berkeras minta kepada mereka ini untuk melaporkan kepada Raden Wijaya, bahwa aku datang ke sini ingin bicara dengan beliau"

   "Wulansari. Apakah kau hendak membikin ayahmu ini kehilangan muka di depan Raden Wijaya? Bagaimana mungkin kau mengundang Raden Wijaya begitu saja untuk menemuimu? Sepantasnya, kaulah yang ikut dengan para senopati ini untuk menghadap beliau, kalau memang ada suatu keperluan yang hendak kau bicarakan atau haturkan kepada Raden Wijaya"

   "Begitukah pendapatmu, kanjeng rama? Tentu saja karena kanjeng rama dan para senopati ini mengabdi kepada Raden Wijaya. Akan tetapi aku tidak, dan kalau kanjeng rama mentaati Raden Wijaya, akupun mentaati seseorang, dan karena beliau itulah maka aku minta agar Raden Wijaya datang ke sini"

   Ki Medang Dangdi terbelalak. Dia teringat bahwa puterinya ini kabarnya mengabdi kepada Sang Prabu Jayakatwang, walaupun ia tidak ikut maju berperang ketika Kediri menyerang Singosari dan kabarnya puterinya itu bahkan menjadi pengawal pribadi Prabu Jayakatwang. Diam-diam dia sudah merasa heran mengapa ketika dia mengikuti Raden Wijaya yang berpura-pura mengabdi kepada Prabu Jayakatwang, dia tidak melihat puterinya itu bersama Raja Daha itu. Dan kini puterinya tahu-tahu muncul di daerah Majapahit dan mengatakan mengabdi seseorang.

   "Wulansari, siapakah orang yang kau taati itu?"

   "Hemm, aku hendak melihat bagaimana sikap kanjeng rama dan kalian sekalian kalau melihat orang yang kutaati. Nah, lihatlah baik-baik"

   (Lanjut ke Jilid 27)

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 27

   Wulansari mendorong daun pintu gubuk itu terbuka, Ki Medang Dangdi, Lembu Sora, Banyak, Kapuk dan Ronggo Lawe terbelalak, kemudian mereka berempat menjatuhkan diri berlutut dan menyembah ketika mereka mengenal siapa yang berada di dalam gubuk itu.

   Akan tetapi, Puteri Dyah Gayatri tidak memandang kepada mereka, melainkan kepada seorang pria yang berjalan menuju ke gubuk itu. Pria itupun memandang dan keduanya berseru hampir bersamaan.

   "Diajeng Gayatri........"

   "Kakangmas pangeran ......."

   Dyah Gayatri keluar dari dalam gubuk, menyongsong Raden Wijaya yang kini juga berlari-lari, diikuti oleh para pengiringnya. Dua orang kekasih itu saling rangkul dan Gayatri menangis di dada Raden Wijaya, Para senopati hanya berlutut sambil menundukkan muka. Mereka ikut berbahagia menyaksikan pertemuan yang mengharukan itu.

   Setelah membiarkan puteri jelita itu menangis dalam rangkulannya beberapa saat, Raden Wijaya mengelus rambutnya dan sang puteri menjadi tenang kembali.

   "Diajeng, aku mendengar bahwa kau ditawan di istana Daha. Bigaimana tahu-tahu dapat berada di sini?"

   "Memang benar demikian, kakangmas, akan tetapi ia yang telah menolongku, membebaskanku dan istana Daha dan mengajakku ke sini untuk menghadap paduka....."'

   Raden Wijaya mengangkat muka memandang kepada pemuda yang berdiri di situ, pemuda tampan yang tidak berlutut seperti yang lain, melainkan berdiri saja dan pangeran ini merasa hatinya tidak nyaman. Alisnya berkerut dan perasaan cemburu muncul dalam hatinya. Kekasihnya itu ditolong oleh seorang pemuda yang amat tampan, bahkan melakukan perjalanan berdua saja sampai sekian jauh dan lamanya.

   "Hemm, siapakah pemuda ini?"

   Tanyanya.

   "Maafkan, Raden. Ia adalah Wulansari, puteri hamba....."

   Kata Ki Medang Dangdi.

   Seketika wajah Raden Wijaya menjadi merah padam dan dia mengamati "pemuda"

   Tampan itu, merasa malu sekali kepada dirinya sendiri dan sampai beberapa saat lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara. Merasa malu dan juga menyesal karena dia tadi telah diserang perasaan cemburu terhadap "pemuda"

   Itu.

   "Jagad Dewa Bhatara......."

   Akhirnya dia berseru lirih sambil menarik napas panjang dan mengamati gadis berpakaian pria itu. Kini dia mengerti mengapa ada pemuda yang demikian tampannya. Dan dia teringat akan nama ini. Wulansari puteri Medang Dangdi. Teringat dia akan pertemuannya dengan Nurseta.

   "Paman Medang Dangdi. Jadi inikah tunangan Nurseta itu?"

   Tanyanya.

   "Benar, Raden"

   "Ah, Wulansari, kami berterima kasih sekali bahwa kau telah berhasil menyelamatkan diajeng Giyatri, membawanya lolos darl istana Daha. Sekarang aku ingat. Kau sedang dicari Nurseta dan dia hendak bicara tentang tombak pusaka......"

   Raden Wijaya memandang ragu.

   Wulansari mengangguk.

   "Paduka maksudkan Ki Ageng Tejanirmala?"

   "Benar sekali, Wulansari. Dia berjanji kepadaku untuk mencarimu dan minta kembali tombak pusaka itu, kemudian, memenuhi pesan terakhir mendiang Ki Baka, dia akan menyerahkan tombak pusaka itu kepadaku"

   "Jangan khawatir, Raden. Saya akan membantunya mendapatkan kembali Ki Ageng Tejanirmala"

   Kata Wulansari dengan suara tegas.

   "Wulan, anakmas Nurseta sekarang mencarimu ke Daha"

   Tiba tiba Ki Medang Dangdi berkata, suaranya membayangkan kekhawatiran.

   Gadis perkasa itu kini menatap wajah ayahnya dengan penuh ketajaman dan teguran.

   "Mengapa kanjeng rama memperdulikan benar kepadanya? Bukankah dia keturunan orang jahat?"

   Medang Dangdi terkejut. Watak puterinya ini sungguh kasar dan keras bukan main. Di depan banyak orang, bahkan di depan Raden Wijaya, puterinya itu secara langsung saja menyerangnya, tentu karena gadis itu merasa sakit hati bahwa dulu dia melarang puterinya berjodoh dengan Nurseta karena dia tidak suka mendengar pemuda itu putera Ni Dedeh Sawitri. Diapun maklum bahwa dia tidak lagi berpura-pura atau malu menghadapi watak puterinya yang demikian terbuka.

   "Anakku, bagaimana aku tidak akan memperdulikan anakmas Nurseta? Dia adalah calon mantuku. Dan jangan bicara lagi tentang keturunan. Ayahmu inipun bukan orang baik-baik. Lupakan saja semua penolakanku dahulu Anakmas Nurseta dan mendiang Ki Baka telah datang kepadaku dan meminangmu. Ibumu dan aku telah menerima pinangan itu, Wulan, kau telah menjadi calon isteri anakmas Nurseta.

   Wulansari telah mendengar akan hal ini dari Ki Jambros maka iapun tenang saja mendengar keterangan ayahnya itu.

   "Kalau saja kanjeng rama dahulu berpendirian seperti ini, tentu aku tidak sampai mengabdikan diri ke istana Daha"

   Kata Wulansari dan Ki Medang Dangdi menarik napas panjang, merasa menyesal sekali.

   Melihat ini, Raden Wijaya yang bijaksana segera menengahi.

   "Wulansari, mengapa kau berkata demikian? Sungguh beruntung sekali bahwa kau menjadi abdi di istana Daha. Kalau tidak demikian, bagaimana mungkin diajeng Gayatri dapat lolos dari sana? Sungguh besar rasa sukur dan terima kasih kami kepadamu, Wulansari. Apa lagi kalau kau mau membantu agar Ki Ageng Tejanirmala dapat diserahkan kepada kami, sungguh jasamu teramat besar"

   Wulansari menyembah sambil tetap berdiri.

   "Akan saya coba, Raden. Akan saya cari kakangmas Nurseta di Daha, dan saya berani memastikan bahwa setelah saya bertemu dengan kakangmas Nurseta, Ki Ageng Tejanirmala pasti akan dapat paduka terima"

   Bukan main gembiranya hati Raden Wijaya mendengar kesanggupan ini dan mereka lalu bubaran. Wulansari minta bicara empat mata dengan ayahnya sebelum ia meninggalkan hutan itu

   Dalam kesempatan ini, dengan hati lega Wulansari mendengar dari ayahnya bahwa ayah dan ibunya selamat dan kini mereka berdua berada di daerah baru Majapahit, menjadi pengikut Raden Wijaya yang setia. Dia mendengar pula akan rencana Raden Wijaya untuk menyusun kekuatan dan menyerang Daha.

   "Aku sudah mendengar akan hal itu dari Ki Jembros, kanjeng rama. Dan tahulah Raden Wijaya bahwa kini di pantai utara telah mendarat pasukan Tartar yang amat kuat? Pasukan itu tadinya hendak menyerang Kerajaan Singosari dan kini mereka masih ragu-ragu karena mereka mendengar bahwa Singosari telah jatuh ke tangan Kerajaan Daha"

   Wulansari lalu bercerita tentang perjumpaannya dengan Lie Hok Yan.

   Ki Medang Dangdi mengangguk.

   "Kami sudah mendengar akan hal itu, dan kini Raden Wijaya sedang menanti berita dari Bupati Sumenep yang dimintai nasihat. Wulansari, kau anakku dan kau memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti dan digdaya. Kalau kau mau, kau dapat menjadi seorang senopati wanita yang dapat diandalkan, membantu perjuangan Raden Wijaya"

   "Tidak, kanjeng ramal Aku tidak mau terlibat dalam perang. Bagaimanapun juga, aku pernah mengabdi Kerajaan Daha dan pernah menerima budi kebaikan Prabu Jayakatwang. Ketika aku mengabdi di sanapun dan terjadi perang, aku sama sekali tidak mau mencampuri dan Sang Prabu Jayakatwang tidak dapat memaksaku. Aku ingin bebas dalam pertikaian antara keluarga Kerajaan Singosari dan Daha"

   "Akan tetapi, kau mau menyerahkan Ki Ageng Tejanirmala kepada Raden Wijaya, bukan?"

   "Hal itu baru akan ditentukan setelah aku bertemu dengan kakangmas Nurseta"

   Dara perkasa itu menolak ketika oleh ayahnya diajak ke Majapahit untuk bertemu dengan ibunya.

   "Tidak ada waktu lagi, kanjeng rama. Aku akan segera kembali ke Daha mencari kakangmas Nurseta. Sampaikan saja sembah sujudku kepada ibu"

   Pergilah Wulansari setelah berpamit kepada Dyah Gayatri dan Radtn Wijaya yang saling menumpahkan rasa rindu mereka. Raden Wijaya lalu kembali ke Majapahit dengan gembira sekali dan di sana, terjadilah pertemuan yang mengharukan dan juga membahagiakan antara Dyah Gayatri dan kakaknya, yaitu Dyah Tribuwana.

   Lembu Peteng yang diutus Raden Wijaya menyerahkan suratnya kepada Bupati Sumenep, telah datang kembali membawa balasan Arya Wiraraja. Dalam balasannya itu, Arya Wiraraja yang terkenal ahli siasat itu, menasihatkan Raden Wijaya agar pangeran ini bersabar dan tidak tergesa-gesa melakukan penyerbuan ke Kediri. Dalam surat balasannya, Arya Wiraraja mengatakan bahwa dia sedang mengadakan hubungan dengan pasukan Tartar yang telah mendarat. Dia mengajak pasukan Tartar yang sedianya hendak menghukum Sang Prabu Kertanegara dari Kerajaan Singosari itu untuk bersama-sama menyerbu Kerajaan Daha dengan janji bahwa kalau Daha dapat ditalukkan maka para penguasa baru akan mengakui kekuasjan Kaisar Kubilai Khan dan akan mengirim upeti yang besar, bahkan menjanjikan akan mengirimkan beberapa orang puteri istana, juga Puteri Kedaton Kediri, yaitu Sang Dyah Ayu Retna Kesari.

   Raden Wijaya adalah seorang pangeran keturunan Singosari yang terkenal memiliki harga diri tinggi. Nasihat dalam surat dari Arya Wiraraja itu membuat alisnya berkerut. Haruskah dia merendahkan diri demikian rupa kepada Kaisar Kubilai Khan? Akan tetapi diapun segera mengadakan perundingan dengan para pembantunya.

   "Harus kita sadari bahwa bagaimanapun juga, kekuatan yang telah kita susun tidaklah berapa besar, Raden. Biarpun ada bantuan dari Madura, namun tidak akan mudah mengalahkan pasukan Daha yang kuat. Tentu akan membutuhkan waktu lama sekali untuk dapat mencapai kemenangan, dan perang yang berkepanjangan akan menyengsarakan rakyat. Kalau pasukan Tartar itu datang membantu, kiranya kita akan dapat mengalahkan Kediri lebih cepat dan lebih mudah sehingga rakyat tidak akan menderita banyak"

   Demikian pendapat Lembu Sora.

   "Pendapat Paman Lembu Sora itu benar, Raden"

   Kata Ronggo Lawe.

   "Bagaimanapun juga, janji yang dikemukakan oleh kanjeng rama itu hanyalah merupakan siasat saja. Pasukan Tartar datang sebagai musuh Singosari, dan menyalahi janji kepada musuh merupakan siasat perang, tidak akan merendahkan martabat"

   Raden Wijaya menghela napas. Biarpun di lubuk hatinya, dia kurang setuju, namun tidak ada pilihan lain. Kalau dia menghendaki agar Kediri segera dapat ditundukkan, dia harus menerima bantuan pasukan Tartar. Demikianiah, Raden Wijaya setuju dengan nasihat Arya Wiraraja dan sementara itu, para pembantunya mempersiapkan diri menghadapi perang yang sudah akan meletus itu.

   Setelah mengadakan hubungan dengan para pimpinan pasukan Tartar, Arya Wiraraja lalu mempertemukan Raden Wijaya dengan Panglima She Pei, Kau Seng, dan Ji Kauw Mosu. Dan mulailah pasukan Tartar bergerak ke selatan dengan satu tujuan, ialah menyerbu Kerajaan Daha. Sedangkan pasukan yang terdiri dari orang-orang Madura dan dari Jawa Timur bagian ujung, dipimpin oleh Arya Wiraraja sendiri. Raden Wijaya juga menggerakkan pasukannya dan yang dijadikan titik pusat dari mana mereka semua bergerak adalah di Tegal Bobot Sari. Pasukan Tartar sudah membuat pertahanan di Ujung Galuh, sebagian menduduki Canggu dan sebagian pula bergabung dengan pasukan Majapahit dan Madura di Tegal Bobot Sari.

   Kesibukan yang terjadi oleh gerakan pasukan-pasukan yang hendak menyerbu Kerajaan Daha itu tentu saja segera terdengar oleh para penjaga dan mereka itu bergegas memberi laporan ke Kediri. Terkejutlah Sang Prabu Jayakatwang dan wajahnya berubah merah padam, matanya melotot dan dia menggebrak meja mendengar berita itu.

   "Si keparat Wijaya. Bocah itu sungguh tidak tahu diri. Dia kami terima baik-baik disini, kiranya diam-diam dia mempersiapkan pemberontakan. Dan Bupati Sumenep, Arya Wiraraja yang menjadi botohnya. Babo babo keparat. Kita harus hancurkan mereka"

   Para senopati Daha juga marah sekali mendengar berita itu. Apa lagi mendengar bahwa pasukan Tartar juga bergabung dengan para pemberontak itu.

   "Semua ini kesalahan Segoro Winotan"

   Tiba-tiba senopati Kebo Rubuh menudingkan telunjuknya ke arah senopati Segoro Winotan. Memang sudah lama terdapat persaingan antara kedua orang senopati itu, dimulai dengan perebutan seorang wanita yang mereka jadikan selir, kemudian ketika Segoro Winotan diutus oleh Sang Prabu Jayakatwang untuk melakukan penyelidikan ke Majapahit, Kebo Rubuh merasa iri hati. Kini, terbukalah kesempatan bagi Kebo Rubuh untuk menumpahkan kebenciannya.

   "Bukankah dia sudah paduka utus untuk melakukan penyelidikan ke Majapahit baru-baru ini? Dan dia melaporkan bahwa segalanya baik-baik saja di Majapahit, bahwa Raden Wijaya membuat persiapan untuk perburuan. Jelaslah bahwa Segoro Winotan seorang pengkhianat. Diam-diam dia melindungi Raden Wijaya"

   "Kebo Rubuh, tutup mulutmu yang busuk"

   Segoro Winotan memaki dengan mata melotot.

   "Bukan hanya mataku yang meligat persiapan perburuan itu, juga pasukan yang kubawa. Lancang mulutmu menuduhku dan melontarkan fitnah"

   "Siapa menuduh? Jelas bahwa kau adalah seorang pengkhianat. Gusti Prabu, ijinkan hamba menghukum pengkhianat ini"

   Kata Kebo Rubuh dan dia sudah menghunus kerisnya.

   "Cukup, kalian jangan ribut"

   Sang Prabu Jayakatwang membentak.

   "Kebo Rubuh, sarungkan kerismu"

   Mendengar perintah ini, Kebo Rubuh menyarungkan kembali kerisnya dan menyembah, mohon maaf.

   "Kita diancam musuh dan kalian ribut sendiri. Kita harus cepat mempersiapkan pasukan untuk menghancurkan para pemberontak jahanam itu"

   Pasukan Daha lalu dibagi menjadi tiga bagian dan mereka bergerak ke utara untuk menyambut musuh yang kabarnya mulai bergerak

   Pagi hari itu, serombongan pasukan Daha yang terdiri dari lima belas orang berkeliaran memasuki dusun Klintren. Seperti pasukan-pasukan Daha yang lain, mereka itu bersiap siaga dan mengadakan perondaan ke dusun-dusun, dengan dalih mengamati keadaan dan melakukan pembersihan lerhadap mata-mata musuh.

   Memang, perang masih jauh dari situ, namun pasukan lima belas orang perajurit Daha yang memasuki dusun Klintren pada pagi hari itu bersikap seolah-olah musuh sudah berada di depan hidung mereka. Cara mereka memegang pedang, golok atau tombak dalam tangan seperti sudah siap untuk menusuk atau membacok musuh. Langkah merekapun tidak wajar lagi, langkah yang penuh dengan gejolak nafsu sehingga nampak seperti dibuat-buat agar kelihatan gagah, penuh kuasa.

   Pada umumnya, para perajurit Daha itu menganggap balwa semua orang di daerah Singosari adalah musuh mereka, Singosari telah dtundukkan Daha, dan kini Raden Wijaya memberontak, maka mereka menduga dengan mudahnya saja bahwa semua orang Singosari tidak dapat dipercaya karena mereka tentu akan membantu Raden Wijaya. Dugaan inilah yang menimbulkan perbuatan yang kejam dan jahat, dilakukan oleh sebagian perajurit Daha yang tidak berjiwa satria terhadap rakyat Singosari.

   Dusun Klintren berada di sebelah selatan Singosari, termasuk daerah Singosari. Kekejaman para perajurit Daha semenjak timbulnya kabar bahwa Raden Wijaya mulai bergerak untuk menentang Daha, sudah terdengar oleh penduduk dusun Klintren. Maka tidaklah mengherankan apa bila pagi hari itu, penduduk menggigil ketakutan melihat limabelas orang perajurit Daha berkeliaran di dusun mereka itu.

   Penduduk yang terdiri dari kaum petani itu, yang tadinya telah siap berangkat ke sawah ladang, segera kembali ke rumah masing-masing. Anak-anak berlarian pulang dipanggil ibu masing-masing, dan terutama para gadis bersembunyi dalam kamar dengan tubuh gemetar, seperti kelinci-kelinci yang mencium bau segerombolan srigala yang datang mendekat.

   Setelah tiba di dusun Klintren dan melihat betapa orang-orang dusun itu yang tadinya sudah memenuhi dusun kini berlarian dan bersembunyi sehingga sebentar saja dusun itu nampak sunyi karena semua orang masuk ke dalam rumah, limabelas orang itu saling pandang dan tertawa-tawa. Mereka merasa gembira dan lucu melihat tingkah para penduduk yang ketakutan itu dan mereka merasa seperti segerombolan kucing yang mempermainkan tikus-tikus yang ketakutan. Rombongan itu lalu dipecah menjadi tiga rombongan kecil terdiri dari lima orang, masing-masing dipimpin seorang kepala.

   "Kami akan menangkap ayam-ayam gemuk dan kambing untuk pesta malam nanti"

   Kata kepala rombongan pertama yang mukanya penuh bopeng bekas penyakit cacar.

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kami akan mencari beberapa orang perawan dusun yang manis untuk teman berpesta malam nanti"

   Kata kepala rombongan kedua yang tubuhnya gemuk dengan perut gendut.

   Kepala rombongan ke tiga, yang masih muda dan bertubuh tinggi kurus, memimpin rombongannya dan dia berkata kepada mereka.

   "Mari ikut dengan aku. Kalau kita berhasil membunuh ayah dan ibu gadis itu dan menangkap gadis itu, aku takkan melanggar janji dan akan membagi hadiah kepada kalian seperti yang telah kujanjikan"

   Kepala rombongan itu lalu mengajak rombongannya menuju ke rumah yang berada di sudut dusun itu.

   Tak lama kemudian, suasana yang sunyi di dusun itu segera terisi dengan keributan, suara wanita menjerit-jerit dan suara orang-orang mengaduh kesakitan. Gerombolan Daha yang sebetulnya lebih tepat dinamakan gerombolan penjahat dari pada pasukan perajurit itu mulai beraksi. Ada yang merampas barang berharga, menangkapi kambing dan ayam, dan ada pula yang menyeret gadis-gadis manis keluar dari kamar persembunyian mereka. Orang orang yang berani menghalangi perbuatan mereka, dirobohkan dengan kejam, dibacok atau ditusuk dan darahpun mulai mengalir.

   Rombongan yang dipimpin pemuda tinggi kurus itu mendatangi rumah yang didiami oleh keluarga Ki Sardu, yaitu Ki Sardu, isterinya dan puterinya. Seperti kita telah ketahui, Ki Sardu adalah bekas lurah di dusun Kalasan yang pergi mengungsi ke dusun Klintren dan di tempat ini dia tinggal di sebuah rumah kecil bersama isterinya dan puterinya, Sumirah.

   Pada pagi hari itu, Sumirah sedang menyapu pekarangan. Ibunya sedang sibuk mempersiapkan sarapan untuk Ki Sardu dan Ki Sardu sendiri sudah siap untuk pergi ke ladang setelah sarapan. Mereka sama sekali tidak tahu akan bahaya yang mengancam, tidak tahu betapa orang-orang dusun yang melihat masuknya pasukan kecil orang Daha ke dusun itu segera melarikan diri dan bersembunyi.

   Selagi Sumirah menyapu, ia mendengar teriakan wanita dan ia terkejut lalu mengangkat muka. Pada saat itu, lima orang berlari masuk ke pekarangan rumahnya dan iapun terbelalak dan memandang dengan sinar mata gelisah. Akan tetapi, orang muda tinggi kurus itu telah melompat dan menangkap lengannya. Sumirah memandang dan iapun menjadi marah bukan main.

   "Kabiso"

   Teriaknya marah.

   "Apa yang kaulakukan ini? Lepaskan aku. Lepaskan"

   Ia meronta-ronta.

   Perajurit tinggi kurus itu memang Kabiso, pemuda dari Kalasan yang cintanya ditolak oleh Sumirah itu. Setelah lari meninggalkan desanya, Kabiso dapat mengabdikan diri kepada pasukan Kerajaan Daha dan karena dia pandai mengambil hati atasan, maka diapun memperoleh kepercayaan menjadi anggauta pasukan peronda. Ketika pasukannya meronda ke dusun Klintren, di mana dia tahu Sumirah dan orang tuanya berada, diapun membujuk empat orang kawannya itu untuk membantunya menyerbu rumah Ki Sardu dan menjanjikan upah dan hadiah kepada mereka. Dia mengatakan bahwa Ki Sardu adalah seorang yang setia kepada Raden Wijaya dan merupakan mata-mata yang amat berbahaya.

   "Kita bunuh dia dan isterinya, akan tetapi puterinya untuk aku karena aku cinta kepadanya"

   Demikian dia berkata kepada para temannya.

   "Lepaskan aku. Lepaskan........ Kabiso, kau jahanam keparat"

   Sumirah meronta-ronta, akan tetapi sambil tertawa-tawa Kabiso malah memeluknya dan menelikung kedua lengan gadis itu ke belakang, lalu menyeretnya keluar pekarangan. Empat orang temannya hanya tertawa-tawa saja melihat ulah kawan itu.

   Mendengar jerit puterinya, isteri Ki Sardu berlari keluar. Melihat Sumirah ditarik-tarik oleh Kabiso yang segera dikenalnya, Nyi Sardu lari mengejar dan menarik-narik tangan Kabiso.

   "Lepaskan anakku. Lepaskan........"

   Kabiso memberi isarat kepada kawan-kawannya dan seorang diantara "

   Mereka mengayun golok yang menyambar ke arah leher Nyi Sardu. Wanita itu menjerit dan roboh terkulai.

   "ibu........ Ibu........"

   Sumirah terbelalak dan menjerit-jerit meronta-ronta untuk melepaskan diri. Akan tetapi Kabiso sudah mengikat kedua pergelangan tangan gadis itu dengan tali di belakang tubuhnya.

   Ki Sardu berlari keluar. Bukan main kagetnya melihat isterinya menggeletak berlumuran darah dan puterinya diseret Kabiso.

   "Keparat........."

   Bentaknya. Dia sedang memegang cangkul karena memang sudah siap untuk bekerja di ladang. Ki Sardu menjadi mata gelap dan nekat ketika dia melihat isterinya menggeletak mandi darah dan puterinya diseret seorang perajurit Daha yang tinggi kurus. Apa lagi ketika dia mengenal orang itu sebagai Kabiso. Dia sudah mendengar dari puterinya tentang perbuatan Kabiso dan dia kini tahu bahwa Kabiso yang telah menjadi perajurit Daha itu datang untuk membalas dendam, membunuh isterinya dan menculik puterinya.

   Dengan cangkul diayun di atas kepala, dia lari untuk menyerang Kabiso. Akan tetapi, dari kanan kiri menyambar tombak dan golok. Tombak itu menancap di perutnya dan golok menyambar ke lehernya. Ki Sardu mengeluh dan diapun roboh terguling, mandi darah.

   "Ayah........

   "

   Sumirah menjerit-jerit dan akhirnya ia roboh pingsan dalam rangkulan Kabiso.

   "Kalian boleh ambil semua barang mereka, haha"

   Kata Kabiso gembira sekali melihat betapa ayah ibu Sumirah telah tewas dan gadis manis itu telah berada dalam pondongannya. Kini tidak ada lagi orang yang akan menghalangi dia memiliki tubuh gadis yang montok dan kuning langsat mulus itu.

   Akan tetapi, ketika empat orang kawannya hendak memasuki rumah yang sudah kosong itu, untuk merampas apa saja yang berharga, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Lepaskan Sumirah"

   Kabiso cepat menoleh, juga empat orang kawannya berhenti berlari dan membalikkan tubuh memandang. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita yang membuat empat orang teman Kabiso itu terbelalak kagum, dan Kabiso sendiri juga memandang heran. Dia seperti sudah pernah mengenal wanita ini, akan tetapi lupa lagi di mana. Seorang wanita yang cantik jelita. Tentu saja Kabiso lupa lagi karena ketika untuk pertama kalinya Wulansari bertemu dengan dia, yaitu ketika Wulansari menolong penduduk Kalasan, gadis perkasa itu menyamar sebagai seorang pria.

   "Hahaha, Kabiso, kini muncul lagi seorang wanita yang malah lebih cantik jelita. Kita harus menangkapnya"

   Empat orang itu seperti hendak berebut saja, ulahnya seperti empat ekor harimau kelaparan melihat seekor kelinci gemuk. Mereka menyergap dan menubruk dari empat penjuru, berlumba untuk lebih dulu merangkul wanita yang cantik jelita itu.

   "Bresss......"

   Wulansari memutar tubuhnya seperti gasing dan sekaligus ia menyambut mereka dengan tamparan kedua tangannya. Empat orang itu terpelanting dan mereka terbelalak sambil memegangi mulut mereka yang berdarah. Tamparan itu membuat beberapa buah gigi mereka copot dan bibir mereka berdarah. Marahlah mereka. Dengan muka merah mereka bangkit dan menyambar tombak masing-masing, lalu menyerang Wulansari, Lenyaplah semua gairah berahi dari benak mereka, sebagai gantinya, kini nafsu amarah dan keinginan membunuh yang membakar hati dan mereka kini berlumba untuk menembus tubuh yang ramping itu dengan tombak mereka.

   Melihat ini, Wulansari menjadi marah. Ia melompat ke kiri sambil mengelak ketika tombak dari arah kiri meluncur dan sekali tubuhnya bergerak, kakinya menendang tubuh penyerangnya dan tangannya merampas tombak. Orang itu terjengkang dan tewas seketika karena tulang tulang iganya remuk dan isi dadanya terguncang.

   Wulansari memutar tombaknya dan terdengar suara beradunya tombaknya dengan tiga batang tombak penyerang lainnya. Tiga orang pengeroyok itu terpekik kaget karena tombak mereka patah-patah dan sebelum mereka sempat menghindar, tombak di tangan Wulansari menyambar-nyambar dan merekapun roboh terjengkang dengan darah bercucuran dari dada dan perut. Tewaslah mereka termakan tombak di tangan gadis perkasa itu.

   Sepuluh orang anggauta pasukan yang sedang merampok itu, segera datang berlarian dan melihat empat orang kawan mereka tewas, merekapun segera maju mengeroyok, mempergunakan senjata tombak dan golok mereka"

   Dan Wulansari mengamuk. Gadis ini tidak memperhatikan lagi siapa mereka, tidak tahu bahwa mereka itu pasukan dari Daha. Dalam keadaan seperti itu, yang dimusuhinya bukanlah pasukan dari manapun, melainkan orang-orang jahat yang dengan kejam merampok dan mengganggu sebuah dusun. Bagaikan seekor singa betina terluka, Wulansari mengamuk. Tombak tadi sudah dibuangnya dan kini ia mengamuk dengan menggunakan kaki tangannya saja. Sepuluh anggauta pasukan Daha itu tentu saja memandang rendah dan merasa yakin bahwa mereka akan mampu merobohkan seorang wanita yang bertangan kosong itu. Mereka tidak mengenal Wulansari, karena biarpun mereka itu perajurit Daha dan Wulansari pernah menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, namun Wulansari tidak pernah keluar dari istana, bahkan di dalam perang menyerbu Singosari, iapun tidak ikut.

   Senjata golok dan tombak di tangan sepuluh orang pengeroyok itu menyambar-nyambar bagaikan hujan lebat ke arah tubuh Wulansari. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu saja Wulansari tidak gentar dan tubuhnya dapat dibuat kebal sehingga tidak akan terluka oleh sambaran semua senjata itu. Akan tetapi, ia khawatir kalau pakaiannya terobek dan rambutnya terputus, maka iapun mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan ke sana-sini mengelak, dan kadang ia menangkis dengan kedua lengan tangannya yang berkulit putih lembut dan yang kecil saja itu. Namun, kedua lengan itu telah terisi kekuatan dahsyat dan kebal sehingga tidak terluka oleh bacokan golok dan tusukan tombak. Dan sambil berloncatan mengelak, iapun mulai membagi-bagi pukulan. Setiap tamparan tangannya tentu mengenai sasaran dan mulailah terdengar pekik kesakitan disusul robohnya tubuh yang menggelepar karena kepalanya pecah, atau yang roboh karena tulang iganya patah-patah oleh tendangan kaki mungil itu.

   Dalam waktu yang tidak begitu lama, sepuluh orang perajurit Daha itupun sudah roboh semua, tewas atau sekarat. Wulansari tidak memperdulikan lagi mereka. Ia mencar-icari, akan tetapi tidak melihat Sumirah yang tadi dipondong seorang perajurit muda. Laki laki itu telah lenyap bersama Sumirah. Dan pada saat itu, orang-orang dusun itu berdatangan dan mereka semua berterima kasih kepada Wulansari karena merasa sudah diselamatkan.

   "Sudahlah, para paman dan bibi, lebih baik kalian cepat urus mayat mereka ini. kuburkan mereka baik-baik dan.......

   "

   Tiba-tiba ia melihat mayat Ki Sardu dan isterinya. Iapun berlari menghampiri dan setelah ia melihat bahwa memang benar itu mayat suami isteri lurah yang sudah dikenalnya, Wulansari mengepal tinju dan teringatlah ia lagi kepada Sumirah. Cepat ditanyakannya kepada para penduduk kalau kalau ada diantara mereka. yang melihat Sumirah.

   "Sumirah ditangkap seorang diantara mereka dan dibawa lari ke sana"

   Kata seorang penduduk yang tadi kebetulan melihat gadis itu dipondong dan dilarikan seorang pemuda tinggi kurus.

   "Aku akan mencarinya"

   Kata Wulansari dan iapun cepat melompat dan lari cepat sekali bagaikan terbang saja ke arah yang ditunjuk orang itu.

   Akan tetapi, betapapun Wulansari berusaha menemukan Sumirah yang dilarikan orang, usahanya gagal, ia telah kehilangan jejak. Sampai sehari ia mencari-cari di daerah itu, namun sia-sia. Akhirnya ia hanya dapat menenarik napas panjang dan merasa kasihan sekali kepada gadis dusun itu yang kehilangan ayah bundanya dan sekaligus terancam bahaya di tangan penculiknya. Ia hanya dapat menyerahkan segalanya ke tangan Sang Hyang Widi saja.

   Karena ada urusan yang lebih penting lagi baginya, yaitu mencari Nurseta yang kabarnya menyelundup ke dalam kota raja Kediri, Wulansari terpaksa meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanannya ke Kediri

   Kemana perginya Kabiso yang melarikan Sumirah? Pemuda ini sudah mengenal daerah pegunungan itu dan ketika Wulansari mencari-cari tadi, dia bersembunyi di dalam sebuah goa kecil yang tertutup rumpun semak belukar.

   Sumirah masih pingsan, akan tetapi Kabiso yang cerdik telah mempergunakan kain untuk mengikat mulut gadis itu sehingga ketika siumanpun Sumirah tidak marnpu mengeluarkan teriakan. Dan diapun terus memegangi kedua lengan gadis itu sehingga tidak mampu meronta pula.

   Setelah hari menjadi gelap dan dia merasa yakin bahwa tidak ada lagi orang yang mencarinya, baru Kabiso memanggul tubuh Sumirah dan membawanya keluar dari goa itu. Dia terus membawa gadis itu pergi mendaki sebuah bukit yang penuh hutan.

   Malam telah tiba ketika dia tiba di tengah sebuah hutan di lereng bukit, Dengan girang dia melihat sebuah gubuk yang agaknya didirikan oleh para pemburu binatang hutan untuk beristirahat. Direbahkannya tubuh itu ke atas lantai gubuk itu dan sambil masih memegangi kedua pergelangan tangan Sumirah, Kabiso berkata.

   "Sumirah, kau tahu aku sayang padamu, aku tergila-gila kepadamu. Maka, kau harus menjadi milikku, menjadi isteriku, lebih baik kau menyerah dari pada harus kupergunakan kekerasan"

   Dia lalu melepaskan kain yang menutupi mulut gadis itu. Begitu ia mampu bicara, Sumirah lalu berteriak.

   "Tidak sudi. Lebih baik aku mati. Lepaskan aku. Ah, lepaskan aku, keparat. Tolonggg........"

   Kabiso tertawa.

   "Hahaha, di dalam hutan yang sunyi ini, percuma saja kau menjerit, Sumirah. Hanya monyet dan kijang yang akan dapat mendengarmu. Kau tidak mau menyerah? Kau ingin aku mempergunakan kekerasan? Mau tidak mau, sekarang ini kau harus menjadi milikku"

   Bagaikan seekor harimau kelaparan menubruk domba, Kabiso menerkam Sumirah dan mereka bergumul di dalam gubuk itu, di dalam kegelapan yang pekat. Terdengar kain robek dan pakaian Sumirah sudah dicabik-cabik oleh pria yang sudah dibuat seperti gila oleh nafsu berahi itu. Sumirah mempertahankan diri mati-matian. Ia menampar, mencakar, menggigit, menggeliat. Namun, tenaga seorang gadis seperti ia tentu saja tidak mampu melawan tenaga Kabiso. seorang pemuda yang sudah dipenuhi nafsu dan gairah yang membara. Makin lama Sumirah menjadi semakin lemah, teriaknya juga melemah dan yang terdengar hanya isak tangisnya saja. Akan tetapi, ia terus melawan mati-matian sehingga Kabiso akhirnya menjadi marah.

   "Plak. Plakl"

   Ditamparnya muka Sumirah dua kali sehingga gadis itu terkulai. Akan tetapi tetap saja Sumirah melawan sehingga sukarlah bagi Kabiso untuk dapat menggagahinya. Dia mengambil keputusan untuk memukul Sumirah agar pingsan, karena hanya itulah satu-satunya cara untuk berhasil menguasai gadis itu.

   Dalam gairah berahinya yang bernyala-nyala itu Kabiso lupa segala bahkan sama sekali tidak memperhatikan sekelilingnya. Dia bahkan tidak melihat betapa kini di dalam gubuk tidak segelap tadi. Dia mulai dapat melihat wajah Sumirah, mulai dapat melihat kulit tubuhnya yang putih mulus, yang sudah tidak tertutup kain lagi karena pakaian gadis itu sudah dicabik-cabik dan direnggutnya dalam pergumulan mereka tadi. Karena dapat melihat lekuk lengkung tubuh gadis itu, berahinya semakin memuncak dan diapun lupa diri dan lupa keadaan.

   Baru setelah keadaan di situ menjadi terang sekali, dia terkejut dan heran. Dia belum berhasil menguasai Sumirah sepenuhnya dan kini dia menoleh dan....... wajahnya pucat, matanya terbelalak karena di dalam gubuk itu telah hadir belasan orang yang wajahnya bengis dan buas, ada beberapa orang diantara mereka yang memegang obor.

   Dengan pakaian kedodoran Kabiso meloncat bangun, akan tetapi dia disambut pukulan-pukulan sehingga jatuh bangun, berusaha melawan akan tetapi dikeroyok dan akhirnya dia roboh lalu merintih dan minta-minta ampun.

   Seorang diantara belasan orang yang memasuki gubuk itu, yang bertubuh tinggi besar dan mukanya buruk sekali karena ada cacat bekas luka melintang, mengeluarkan bentakan.

   "Jangan bunuh dia. Terlalu enak. Gantung kakinya di pohon, sayat-sayat kulit jahanam ini. Dia perajurit Daha, siksa dia sampai mati, hahaha. Dan gadis ini, hemmm, aku suka padanya. beri pakaian yang baik, dan siapkan dia untuk menjadi pengantinku besok"

   Belasan orang itu tertawa bergelak. Sumirah juga bangkit duduk dan sedapat mungkin menutupi tubuhnya dengan rambut dan kedua tangan. Akan tetapi, seorang anggauta gerombolan itu menyelimutinya dengan kain, kemudian, iapun ditarik keluar.

   Karena baru saja diselamatkan dari malapetaka yang mengerikan, dan karena iapun sudah lelah dan lemas, Sumirah tidak dapat melawan dan pasrah saja ketika dengan lembut tangannya ditarik oleh seorang laki-laki tua.

   Gerombolan itu ternyata adalah sisa-sisa perajurit Singosari yang sudah dikalahkan oleh pasukan Daha. Mereka tidak mau menakluk, dan mereka melarikan diri ke hutan-hutan. Karena sudah kehilangan induk, kehilangan keluarga dan harapan, mereka menjadi buas dan merekapun menjadi perampok-perampok yang ganas dan buas.

   Sumirah yang terjatuh ke tangan mereka... biarpun ia menangis dan mohon agar dibebaskan, namun gerombolan itu memaksanya untuk mandi dan berganti pakaian baru.

   Gerombolan perampok itu ternyata mempunyai sarang di puncak bukit itu. Disitu terdapat pondok-pondok darurat yang agaknya baru saja dibangun. Sumirah berada di sebuah diantara pondok-pondok sederhana itu. Ia sudah mandi dan mengenakan pakaian baru. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri sama sekali karena selalu ada dua orang anggauta perampok yang menjaganya. Biarpun kedua orang penjaga ini kasar sikapnya, namun mereka tidak berani mengganggunya karena ia sudah dianggap sebagai calon isteri kepala gerombolan.

   Sumirah duduk di atas dipan kayu, satu-satunya prabot rumah yang berada di dalam pondok itu, dengan wajah pucat dan jantung berdebar penuh ketegangan dan perasaan ngeri. Dua orang yang selalu menjaganya itu memasuki pondok.

   "Kau diharuskan keluar dan ikut berpesa. Pesta akan dimulai, Hayolah"

   Kata seorang diantara mereka. Sumirah tidak mau bangkit, hanya menggeleng kepalanya.

   "Hemm, kau calon isteri pemimpin kami. Kami tidak ingin berbuat kasar, akan tetapi kalau kau menolak, terpaksa akan kami seret atau pondong keluar"

   Kata orang kedua. ancaman ini berhasil. Bagaimanapun juga, jauh lebih baik berjalah sendiri daripada diseret apa lagi dipondong.

   Dengan tubuh lemas Sumirah bangkit dan melangkah keluar, diapit oleh dua orang pen jaga itu.

   Matahari pagi telah muncul. Pagi itu cerah sekali. Akan tetapi, ketika Sumirah tiba di tempat yang dimaksudkan, ia terbelalak. Tempat itu merupakan lapangan terbuka. Ada sedikitnya tigapuluh orang anggauta perampok berkumpul disitu. Mereka itu nampak bergembira dan apa yang membuat Sumirah terbelalak ngeri, adalah ketika ia melihat sesosok tubuh digantung di pohon tak jauh dari situ, Kabiso. Orang ini digantung dengan kaki di atas kepala di bawah, dalam keadaan telanjang bulat. Dan tubuh itu penuh dengan darah, berlepotan di seluruh tubuh. Kulit tubuh itu disayat-sayat benda tajam. Agaknya Kabiso menderita siksaan yang amat hebat.

   Tubuh itu belum tewas, masih bergerak-gerak menggeliat-geliat dan terdengar rintihan panjang lemah dari mulutnya. Sumirah membuang muka dengan hati penuh rasa ngeri.

   "Hehhehheh, manis, kenapa kau membuang muka? Lihat, itu orang yang hampir memperkosamu semalam. Hahaha, puas hatimu, bukan? Jangan khawatir, mulai saat ini kau berada dalam perlindunganku, engkau akan menjadi isteriku. Aku, Bandupati, ditakuti semua orang dan kau akan hidup aman dan senang. Akan tetapi, isteriku yang manis aku belum mengenal siapa namamu, hahaha"

   Melihat laki-laki tinggi besar yang wajahnya buruk menakutkan itu demikian dekat dengannya, Sumirah merasa ngeri dan takut sekali. Ia memberanikan dirinya.

   "Paman, namaku Sumirah dari dusun Klintren. Kasihanilah aku, paman dan biarkan aku pulang ke Klintren....... ayah dan ibuku luka ketika pasakuan Daha menyerbu........ ah, biarkan aku pulang untuk menengok keadaan ayah ibuku......."

   "Paman? Hahaha, jangan sebut paman padaku, manis. Aku ini akan menjadi suamimu, kau harus menyebut kakangmas"

   Bandupati tertawa bergelak dan sekali tangannya bergerak, pergelangan lengan gadis itu telah ditangkapnya.

   "Kau ingin menengok ayah ibu di Klintren? Boleh, nanti kalau sudah menjadi isteriku, akan kuantarkan kau ke Klintren, aku menghadap ayah dan ibu mertua, hahaha"

   "Jangan........aku tidak mau, aku sudah mempunyai tunangan......"

   Tiba tiba sikap kepala gerombolan itu berubah.

   "Apa?"

   Dia memandang dengan mata mendelik sehingga Sumirah menjadi semakin ketakutan.

   "Kau lihat itu?"

   Dia menuding ke tubuh telanjang bulat yang mandi darah dan tergantung di pohon itu.

   "Kau ingin seperti itu? Kalau kau menolak, nasibmu akan lebib buruk dari pada itu. Kau akan kupaksa, dan kalau aku sudah bosan, kau akan kuberikan kepada anak buahku, kau akan dipaksa melayani mereka semua sampai mati. Nah, kau pilih menjadi isteriku atau kami paksa sampai mati?"

   Sumirah bergidik dan ia hanya dapat menangis.

   "Sumirah manis, sudahlah jangan menangis. Mari kita makan minum dulu untuk merayakan pernikahan kita, hahaha"

   Dengan paksa Gandupati menarik Sumirah untuk duduk di atas rumput di mana telah disediakan hidangan untuknya. Kepala gerombolan itu makan dengan rakus dan gembulnya, sambil melihat tubuh Kabiso yang menggeliat-geliat dan merintih-rintih.

   Sumirah tentu saja tidak mau makan atau minum. Bagaimana mungkin ia dapat makan minum kalau hatinya dipenuhi perasaan takut, ngeri dan penuh duka. Baru saja ia terlepas dari tangan Kabiso, ia terjatuh ke tangan kepala perampok yang lebih kejam dan lebih menakutkan lagi. Dan kalau ia teringat akan nasib ayah ibunya, hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Teringatlah ia kepada Hok Yan. Kalau saja ada Hok Yan di situ, tentu tunangannya itu akan dapat menyelamatkannya

   "Hok Yan....... ah, Hok Yan........I"

   La merintih dan ia hanya menangis, bahkan tidak berani memandang ke arah tubuh Kabiso yang masih tergantung dan menggeliat-geliat mengerikan.

   Pikiran yang penuh duka dan takut, juga pengalaman-pengalaman yang amat hebat yang baru saja menimpanya, membuat Sumirah menjadi lemas dan seperti orang yang kehilangan semangat. la hanya menangis dan menangis lagi. Ketika pesta itu berakhir dan kepala perampok memegang lengannya dan menariknya bangkit, ia hanya menurut saja. Ia seperti orang dalam mimpi dan sama sekali sudah tidak merasakan apa-apa lagi.

   Akan tetapi, ketika kepala perampok tinggi besar yang wajahnya mengerikan itu menariknya masuk ke dalam sebuah pondok, iapun teringat dan dapat menduga apa yang akan terjadi dengan dirinya. Mendadak teringatlah kesemuanya oleh Sumirah. Teringat bahwa ia akan dijadikan isteri kepala perampok ini dan tentu akan mengalami perkosaan yang lebih mengerikan dibandingkan apa yang akan dilakukan Kabiso kepada dirinya. Seketika itulah lahir batinnya memberontak.

   "Tidaaaaak. Aku tidak sudi........J"

   Teriaknya dan sekali renggut ia dapat melepaskan diri dari pegangan kepala perampok yang tidak menyangka bahwa calon korban yang tadi kelihatan penurut itu tiba-tiba memberontak, Akan tetapi, melihat gadis itu melarikan diri, kepala perampok itu tertawa bergelak dan dengan beberapa langkah saja dia sudah dapat menubruk dan menangkap Sumirah.

   "Ha ha ha ha, manisku, kau akan pergi ke mana? Ha ha, kau akan menjadi isteriku tercinta, jangan lari, sayang"

   Dan diapun meringkus kedua lengan Sumirah, lalu mengangkat tubuh gadis itu yang ringan sekali baglnya, kemudian memondong Sumirah yang tidak mampu berkutik lagi, membawanya masuk ke dalam pondok.

   Sumirah meronta-ronta ketika ia dilempar keatas pembaringan, meronta dan melawan, mencakar, menampar dan menggigit. sambil menjerit jerit dan menangis. Akan tetapi kepala perampok itu hanya tertawa saja karena jerit tangis itu tentu hanya akan disambut gembira saja oleh para anak buahnya. Dan kepala perampok ini jauh lebih kuat daripada Kabiso, maka semua perlawanan Sumirah tidak ada artinya sama sekali.

   Pada saat kepala perampok itu sudah tertawa bergelak dan hampir memperoleh kemenangan, pada saat Sumirah sudah hampir putus asa dan keadaannya gawat sekali, tiba-tiba pintu pondok itu terbuka dari luar dan seorang wanita melangkah masuk dan terdengar suaranya membentak nyaring.

   "Bagus. Begitu ya tingkahmu kalau aku pergi, kakang Bandupati? Sebulan saja aku pergi, dan kau sudah melakukan penyelewengan. Huh, agaknya kau sudah bosan hidup"

   Ucapan ini disusul menyambarnya sebatang pecut dan terdengar suara ledakan-ledakan pecut yang menyambar ke arah tubuh Bandupati si kepala perampok.

   "Tar tar tarrr.......

   "

   Kepala perampok itu terkejut bukan main, apa lagi ketika ujung pecut mencambuki mata, leher dan punggungnya. Dia melepaskan 5uimirah dan meloncat turun dari atas pembaringan, berdiri seperti seorang anak kecil ketakutan berhadapan dengan gurunya.

   "hahhh, Minten, maafkan aku. Aku hanya iseng-iseng ....... habis aku kesepian karena

   engkau terlalu lama pergi ....."

   Katanya dan sungguh aneh sekali, semua sikap garangnya lenyap, dan dia menjadi begitu jinak dan takut seperti seekor anjing galak yang menghadapi majikannya, Sumirah cepat membereskan pakaiannya dan ia masih terisak-isak, akan tetapi ia memandang kepada wanita itu dengan penuh harapan akan mendapatkan pertolongan. Wanita itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, Hitam manis dan galak, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang sebatang pecut yang panjang.

   "Tarr "

   Pecut itu bergerak menyambar dan ujungnya menimpa muka Bandupati. Nampa muka itu dihiasi garis merah berdarah dam Bandupati menutupi mukanya.

   "Ampunkan aku, Minten ....."

   Dia mengeluh.

   "Huh, berapa kali aku harus mengampunimu?. kau mengotori perjuangan kita"

   "Tidak, Minten. Lihat yang digantung itu. Dia adalah perajurit Daha, berarti kita telah mampu menghukum seorang musuh"

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Akan tetapi gadis ini adalah orang Singosari. Hei, kau. katakan kau ini orang Singosari atau orang Daha?"

   Tentu saja Samirah walaupun masih menggigil karena baru saja terlepas dari cengkeraman Bandupati segera menjawab.

   "Aku........aku orang Singosari....... aku anak lurah Kalasan yang mengungsi ke dukuh Klintren....."

   "Nah, kau dengar itu? Kau malah akan memperkosa anak seorang lurah ponggawa Singosari"

   Wanita itu merobentak Bandupati.

   "Tidak, Minten, sama sekali tidak. Aku tidak memaksa, tidak memperkosa, ia memang suka menjadi selirku........ eh, bukankah begitu. Sumirah?"

   "Bohong. Siapa sudi menjadi selirmu, kau memaksaku, dan aku lebih baik mati dari pada menjadi isterimu"

   Sumirah membentak.

   "Jahanam. Hayo bicara lagi. Apa kau ingin sekarang juga kubunuh?"

   Wanita bernama Suminten itu membentak. Ia adalah isteri Bandupati, akan tetapi ia jauh lebih berkuasa dari pada suaminya karena memang Suminten ini seorang wanita yang memiliki kedigdayasn melebihi suaminya.

   "Ampun, Minten, ampunkan aku........ aku memang bersalah dan aku bersumpah takkan berani lagi......"

   Bandupati meratap karena dia maklum hahwa isterinya itu bukan hanya mengeluarkan gertak kosong belaka. Codet da mukanya juga akibat pedang isterinya.

   Suminten mengeluarkan suara mendengus dari bidungnya.

   "Huh, tidak perlu minta ampun. Sekali lagi aku melihat kau melakukan perbuatan seperti ini, aku tidak akan banyak omong lagi dan kau akan aku bunuh"

   Suaminya mengangguk-angguk seperti ayam makan beras dan Suminten kini menghadapi Sumirah.

   "Kau boleh pulang ke dusunmu. Pergilah"

   Sumirah mengangguk dan merasa seolah-olah terlepas dari cengkeraman harimau ganas. Ia lalu pergi meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi, keluar dari perkampungan perampok di puncak bukit.

   Suminten bertepuk tangan dau dua orang anggauta gerombolan dataog menghadap.

   "Huh, kalian berdua amat-amati perjalanan gadis itu sampai ia selamat tiba di dusun Klintren. Kalau ada yang berani mengganggunya, awas, aku sendiri yang akan menghukumnya"

   Dua orang anggauta gerombolan itu memberi hormat lalu pergi dan membayangi perjalanan Sumirah. Lewat tengah hari, menjelang sore, barulah Sumirah yang melakukan perjalanan dengan susah payah itu tiba di luar dusun Klintren, dan dua orang anggauta perampok itupun segera kembali ke puncak bukit untuk memberi laporan.

   Dengan tubuh lunglai dan hati masih terguncang oleh pengalaman pengalaman yang menengerikan itu, rambutnya awut-awutan dan mukanya pucat, Sumirah memasuki dusun Klintren.

   Beberapa orang penduduk yang mengenal Sumirah. segera berlari menghampirinya.

   "Sumirah......., ah kau Sumirah......."

   Dengan muka pucat, mata terbelalak penuh kekhawatiran, Sumirah lalu bertanya kepada saereka.

   "Bagaimana ayah........? Bagaimana buku.......?"

   Beberapa orang itu hanya menggeleng kepala, tidak mampu menjawab. Melihat ini, Sumirah menjadi semakin cemas dan iapun mengerahkan sisa tenaganya untuk berlari menuju ke rumah orang tuanya.

   Dengan terhuyung-huyung ia mendorong daun pintu rumahnya yang tertutup dan memasuki rumah itu.

   "Ayaaaahhhh..... Ibuuu....."

   Berulang-ulang ia memanggil ayah ibunya sambil mencari-cari di dalam rumah itu. Akan tetapi rumah itu kosong sama sekali. Ketika dengan nanar ia melangkah keluar, ia melihat banyak tetangga sudah berkumpul di pekarangan depan rumahnya, memandang dengan wajah penuh prihatin. Bahkan ada beberapa orang tetangga wanita menangis.

   "Mana ayahku. Mana ibuku? Di mana mereka...."

   Berulang-ulang ia bertanya dengan suara lirih dan penuh kekhawatiran.

   Seorang tetangga wanita yang sudah tua melangkah maju dan merangkul Sumirah sambil menangis.

   "Sumirah...... ahh, sungguh kasihan kau ....... ayah ibumu........ mereka"."

   Wanita itu tidak dapat melanjutkan dan sudah terisak-isak menangis.

   Sumirah terbelalak, mengguncang kedua pundak wanita itu.

   "Kenapa? Ayah ibu kenapa.? Katakanlah........"

   "Mereka........ mereka...... tewas dibunuh gerombolan......"

   Sumirah menjerit dengan lengkingan panjang, lalu mengeluh dan terkulai pingsan. Beberapa orang tetangga merangkulnya dan mengangkutnya ke dalam rumah. Ketika ia sadar, ia menangis tersedu-sedu, dihibur oleh para tetangga wanita.

   "Di mana ayah ...... di mana ibu ........ dimana mereka dikubur ....."

   Karena ia berkeras ingin berkunjung kekuburan orang tuanya, akhirnya iapun diantar oleh beberapa orang tetangganya ke tanah perkuburan. Melihat dua gundukan tanah kuburan yang masih baru itu, yang oleh para tetangga dikatakan bahwa itu kuburan kedua orang tuanya, Sumirah menjatuhkan diri berlutut di atas kedua makam itu dan terkulai pingsan lagi.

   Ketika Sumirah siuman dari pingsannya, ia sudah dikelilingi para tetangganya di tanah kuburan itu. Mereka mencoba untuk menghibur gadis itu, akan tetapi Sumirah hanya menangis terisak-isak.

   

Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini