Sejengkal Tanah Percik Darah 26
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 26
"Ayah........ibu........ah, kalian telah mati meninggalkan aku....... seorang diri......... ayah dan ibu ......kenapa tidak membawa saja aku bersama kalian........? Ayah......ibu........ kalian terbunuh oleh si keparat Kabiso ...... si jahanam Kabiso....."
Tiba-tiba tangisnya terhenti. Semua orang memandang. Wajah itu pucat, mata itu terbelalak dan tiba-tiba Sumirah tertawa "Heh hi hi hik, kau telah digantung Kabiso. Hi hik, rasakan sekarang ....... haha, kau digantung dengan kepala di bawah, tubuhmu disayat sayat ....... terkutuk kau, Kabiso .......
"
Sumirah tertawa-tawa.
"Sumirah, ingatlah, nak, ingatlah........"
Seorang tetangga tua berkata dengan hati penuh perasaan iba.
"Ya, ingatlah, Sumirah. Jangan terlalu berduka......"
(Lanjut ke Jilid 28)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 28
"Hahaha, Kabiso, kau telah menerima hukuman. Hihik, puas hatiku, Kematian ayah ibu sudah terbalas. Kematian.......? Ayah ibu sudah mati, aohhh .......
"
Dan iapun menangis lagi.
Semua orang saling pandang dan maklum Pengalaman-pengalaman yang amat hebat, yang diderita Sumirah selama sehari semalam itu. terlampau berat baginya. Perasaan penah kongerian dan ketakutan, disusul pula kedukaan karena kematian orang tuanya, merupakan hantaman terlalu berat baginya sehingga batinnya terguncang hebat. Sumirah menjadi gila karena semua perasaan yang amat menekan dan mengguncang itu. Ia menangis dan tertawa. Menangis memanggil ayah dan ibunya, kadang-kadang memanggil nama Hok Yan, dan tertawa-tawa kalau menyebut nama Kabiso.
Kita tinggalkan dulu Sumirah yang tergoncang batinnya dan menjadi seperti orang gila di dukuh Klintren itu, dan mari kita ikuti perjalanan Wulansari yang mencari Nurseta ke kota raja Kediri.
Dengan menyamar sebagai seorang pria Wulansari dengan mudah menyusup masuk ke kota raja Kediri walaupun pintu gerbang dijaga ketat karena pada waktu itu, Kerajaan Daha sedang menghadapi perang dan telah mempersiapkan diri melawan pemberontakan Raden Wijaya dan Adipati Wiraraja yang bergerak bersama dengan datangnya pasukan Tartar dari utara.
Akan tetapi, begitu masuk kota raja, di mana-mana ia mendengar berita bahwa Nurseta telah ditawan oleh Sang Prabu Jayakawang Wulansari melakukan penyelidikan dan agaknya memang berita itu sengaja disebar karena di mana-mana dengan mudah ia dapat mendengar tentang ditawannya Nurseta.
Bagaimana Nurseta sampai dapat tertawan dan benarkah berita yang didengar Wulansari itu? Seperti kita ketahui, Nurseta memang pergi ke kota raja Kediri, pertama untuk menguburkan abu jenazah Ni Dedeh Sawitri, ibu kandungnya ke dekat makam ayah kandungnya, yaitu Pangeran Panji Hardoko, dan kedua kalinya untuk mencari Wulansari dan berusaha mendapatkan kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
Dengan aji kesaktiannya, mudah pula bagi Nurseta untuk memasuki kota roja Kediri. Akan tetapi, sekali ini Nurseta tidak tahu bahwa dua orang manusia sakti, yaitu Ki Bjyut Pranamaya dan Ki Cucut Kalasekti, telah bersekutu dan kedua orang kakek sakti ini telah menyebar kaki tangannya untuk diam-diam membuat pengamatan yang teliti. Tidak aneh kalau kedua orang kakek ini dapat mengetahui bahwa Nurseta memasuki kota raja Kediri. Mereka berdua cepat membuat persiapan karena menurut dugaan mereka, hanya ada dua orang saja di dua ini yang mungkin menyimpan Ki Ageng Tejanirmala di saat itu. Mereka adalah Wulansari atau Nurseta.
Nurseta melakukan penyelidikan di mana adanya makam Pangeran Panji Hardoko. Ternyata tidak sukar mencarinya karena pangeran itu dimakamkan di tanah kuburan agung yang diperuntukkan pemakaman keluarga Kerajaan Kediri. Pada sore hari, setelah tanah kuburan itu sunyi, Nurseta menyelinap masuk dengan melompati pagar tembok, tidak berani memalui pintu gerbang yang selalu terjaga. Dia Sama sekali tidak mengira bahwa setiap gerak geriknya sudah diikuti oleh dua orang kakek.
SETELAH menemukan makam ayah kandungnya, yaitu sebuah makam yang tidak begitu mewah di antara para makam yang lebih besar itu, dengan batu nisan yang ada tulisan nama Pangeran Panji Hardoko, Nurseta lalu cepat menggali lubang di tanah dekat makam itu. Tidak terlalu besar karena abu jenazah ibu kandungnya hanya satu periuk yang sudah dibawanya dan dibungkus kain kuning Cepat sekali dia bekerja dan tak lama kemudian dia sudah selesai mengubur periuk terisi abu jenazah ibunya itu di dekat makam ayahnya, tepat seperti pesan terakhir ibu kandungnya. Dan ketika dia berlutut di depan makam ayahnya dan ibunya itu, diam-diam dia memaafkan semua perbuatan ayah dan ibunya yang telah menyia-nyiakan dirinya. Dia memaafkan mereka dengan hati rela, Dan dia berdoa semoga ayah dan ibunya memberi doa restu kepadanya.
Tiba-tiba Nurseta mengangkat mukanya dan cepat dia sudah bangkit berdiri. Ada suara yang mencurigakan tertangkap pendengarannya. Ketika dia membalik, dia sudih melihat betapa tempat itu terkurung banyak orang, dan di depannya telah berdiri dun orang kakek yang diam-diam mengejutkan hatinya, Ki Buyut Pranamaya dan Ki Cucut Kalasekti, dua orang musuh besarnya telah berdiri di situ. Di belakang dua orang kakek sakti itu, dan juga kini sudah mengepung dirinya, terdapat sedikitnya duapuluh orang perwira dan senopati Daha, dan dia dapat melihat pula bahwa tanah kuburan itu sudah dikepung oleh pasukan yang entah berapa orang banyaknya. Tidak ada jalan kehiar baginya kecuali membela diri mati-matian.
"Haha, bocah sombong Nurseta. Kini kau telah terkepung dan tidak akan dapat melarikan diri dari kami. Lebih baik kau cepat berlutut dan menyerahl"
Kata Ki Cucut Kalasekti yang diam-diam amat membenci pemuda ini karena beberapa kali dia pernah kewalahan, bahkan pernah di dalam goa di tebing itu dia hampir tewas oleh pemuda ini.
"Nurseta, cepat serahkan tombak pusaka itu kepada kami, baru kami akan mempertimbangkan nyawamu"
Kata pula Ki Buyut Pranamaya dengan suara yang berwibawa.
Dari ucapan itu tahulah Nurseta bahwa tombak pusaka itu tentu telah terlepas dari tangan Prabu Jayakatwang dan diapun dapat menduga dengan hati penuh kegembiraan bahwa siapa lagi yang mengambil tombak pusaka itu kalau bukan Wulansari. Kegembiraannya membuat dia lupa akan bahaya yang mengancam dirinya, dan diapun tertawa.
"Ki Buyut Pranamaya dan Ki Cucut Kalasekti. Aku datang untuk menghormati makam orang tuaku, dan aku sama sekali tidak tahu tentang tombak pusaka. Kalian percaya atau tidak terserah. Jangan harap aku akan sudi menyerah kepada kakek kakek Iblis macam kalian"
Ki Buyut Pranamaya baru-baru ini menderita luka di dalam dadanya oleh serangan Nurseta. Dia mendendam kepada pemuda ini, maka kini dia memperoleh kesempatan untuk membalas, karena sekarang pemuda itu hanya seorang diri sedangkan dia berdua dengan Ki Cucut Kalasekti masih dibantu para senopati Daha dan pasukan mereka.
"Bocah setan, sekarang saatnya kau mampus di tanganku"
Bentaknya dan kakek ini sudah menerjang dengan tendangan-tendangannya yang amat ampuh, yaitu aji tendangan Cakrabairawa. Nurseta sudah mengenal ilmu tendangan yang amat berbahaya ini, maka cepat diapun mengelak dan membalas dengan tamparan tangan kirinya Ki Buyut Pranamaya tidak berani lagi memandang ringan lawan muda ini, maka diapun melompat mundur untuk menghindarkan diri. Ki Cucut Kalasekti tidak mau kalah. cepat diapun maju menyerang dengan pukulannya Aji Gelap Sewu.
Nurseta menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Dakkk"
Keduanya terdorong mundur, akan tetapi Ki Cucut Kalasekti menyeringai menahan rasa nyeri pada lengannya ketika bertemu dengan lengan pemuda itu.
Dan orang kakek itu lalu mengeroyok Nurseta. Pemuda perkasa ini terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua kepandaiannya karena dia maklmn bahwa dua orang kakek pengeroyoknya adalah lawan-lawan paling tangguh yang pernah dia hadapi. Diapun cepat menggunakan jurus-jurus pukulan aji kesaktian Jagad Pralaya, yaitu aji kesaktian yang dia pelajari dari mendiang Panembahan Sidik Danasura. Aji kesaktian ini hebat bukan main, bahkan pertapa itu pernah memesan kepada Nurseta bahwa kalau tidak terpaksa sekali agar dia jangan mengeluarkan aji kesaktian itu. Akan tetapi sekarang, menghadapi dua orang kakek itu, tidak ada pilihan lain bagi Nurseta. Kalau dia ingin selamat, dia harus meugeluarkan aji itu. Dan memang dua orang kakek itupun sudah mengenal aji kesaktian ini. Mereka berdua nampak gentar dan berloncatan mundur begitu Nurseta mengeluarkan ilmu ini.
Nurseta yang melihat dua orang lawannya mundur, cepat dia membalik dan bermaksud untuk melarikan diri. Akan tetapi pada saat itu, duapuluh orang lebih perwira yang tangguh dari Daha sudah mengepungnya dan mengeroyoknya dengan segala macam senjata di tangan mereka. Ada yang bertombak, berpedang, ada pula yang menggunakan ruyung, golok dan keris. Repotlah Nurseta menghadapi pengeroyokan dan hujan senjata ini. Dia melawan mati-matian, dengan tamparan-tamparan saktinya dia berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok, akan tetapi pengeroyokan tidak menjadi longgar, bahkan menjadi semakin ketat karena kini dua orang kakek itu sudah maju pula mengeroyoknya. Aji kesaktian Jagad Pralaya adalah suatu aji pukulan yang hanya dapat dimainkan kalau menghadapi satu atau dua orang lawan saja.
Kalau menghadapi pengeroyokan, biarpun aji pukulan ampuh itu mampu memukul tewas dengan sekali pukul beberapa orang pengeroyok, namun gerakannya tidaklah begitu cepat sehingga pertahanannya terbuka dan diapun tentu akan dapat terkena serangan para pengeroyok yang bagaikan hujan datangnya itu. Untuk mempertahankan dirinya, terpaksa dia mainkan ilmu lain, yaitu mempergunakan kuda-kuda Wandiro Kingkin dan memainkan pukulan Bajradenta. Bahkan kemudian dia terpaksa mencabul keris Hat Nogo pemberian Raden Wijaya untuk membela diri. Dengan keris itu, dia menangkis sambaran senjata-senjata lawan yang tak dapat dielakkan, sementara itu, kedua kakinya dan tangan kirinya melakukan serangan balasan yang kembali berhasil merobohkan beberapa orang pengeroyok, akan tetapi jumlah pengeroyok tidak pernah berkurang karena selalu bertambah orang kalau ada pengeroyok yang roboh.
Cuaca menjadi semakin gelap dan Nurseta sudah terkena pukulan bermacam senjala lawan. Akan tetapi karena dia mengerahkan kekebalan, maka yang robek-robek hanya pakaiannya saja sedangkan kulit tubuhnya belum ada yang terluka sedikitpun. Akan tetapi, dia menjadi lelah bukan main. Sejak tadi dia terus menerus mengerahkan tenaga menghadapi pengeroyokan banyak orang.
Ketika gerakannya agak mengendur, tiba-tiba sebuah tendangan kaki Ki Buyut Pranamaya menyambar dan mengenai pinggangnya.
"Desss........"
Tendangan Aji Cakrabairawa itu amat kuatnya dan biarpun Nurseta sudah menahan dengan kekebalan tubuhnya, telah mengerahkan tenaga sakti ke dalam pinggang yang tertendang, tetap saja dia terpelanting roboh. Pada saat itu, sebatang pedang dan sebatang tombak menyambar dari kanan kiri. Dia mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya mendorong ke atas dalam keadaan telentang, dan dari kedua tangan itu menyambar tenaga dahsyat dari Aji Jagad Pralaya. Dua orang perwira yang menyerangnya itu menjerit dan tobuh mereka terlempar sampai jauh dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Akan tetapi pada saat itu juga, Ki Cucut Kalasekti sudah menubruk dari samring dan kedua lengan Nurseta dapat ditangkap dan ditelikungnya, Ki Buyut Pranamaya datang membantu, tangannya menghantam tengkuk pemuda itu dan Nurseta terkulai pingsan.
"Jangan bunuh dia"
Ki Cucut Kalasekti membentak dan melarang para perwira Daha yang hendak menyerang pemuda yang sudah pingsan itu. Karena semua perwira mengenal Ki Cucut Kalasekti atau Adipati Satyanegara dari Bendowinangun sebagai seorang kepercayaan Snbaginda, maka merekapun tidak berani membantah.
Ketika Ki Buyut Pranamaya bertanya mengapa pemuda yang amat berbahaya itu tidak dibunuh saja, Ki Cucut Kalasekti tertawa.
"Hahahaha, kita rugi besar kalau dia dibunuh. Ingat, tombak pusaka itu belum jatuh ke tangan kita. Nurseta inllah yang akan mendatangkan tombak pusaka itu kepada kita. Untuk menebus nyawanya, kalau tombak itu berada padanya, tentu dia akan menukar tombak itu dengan nyawanya. Sebaliknya kalau tidak ada padanya dan masih berada di tangan WuJansari, maka kalau gadis setan itu mendengar bahwa Nurseta menjadi tawanan di Kediri, tentu ia akan datang ke sini"
"Hemm, gadis itu bukan orang bodoh. Bagaimana kalau ia tidak datang? Berarti kita akan membuang waktu sia-sa saja"
Kata Ki Buyut Pranamaya.
"Ha haha, ia memang bukan orang bodoh, akan tetapi apakah kau kira aku ini bodoh? Ingat, Wulansari itu aku yang mendidiknya sehingga menjadi pintar, maka tentu aku lebih pintar dari padanya. Aku mengenalnya sejak ia masih remaja, dan aku tahu benar akan wataknya. la seorang gadis yang keras hati dan pemberani, juga ia amat mencinta Nurseta. Kalau ia mendengar bahwa orang yang dikasihinya itu tertawan, tentu ia akan menggunakan segala dayanya untuk menyelamatkan Nurseta. Aku merasa yakin bahwa ia tentu akan muncul disini"
Demikianlah, Nurseta menjadi seorang tawanan yang ditahan di dalam penjara bawah tanah yang amat kuat. Bukan hanya kaki tangannya yang dibelenggu. juga tempat tahanan itu dijaga ketat bahkan selalu diamati oleh dua orang kakek sakti sehingga dia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk lolos dari situ.
Mulailah Narseta merasa menyesal mengapa dia tidak ingat akan dua orang kakek yang sakti itu sehingga dia sampai tertawan. Dia tidak menyesal menjadi tawanan, bahkan andaikata dia matipun dia tidak akan menyesal. Yang disesalkan adalah karena tugasnya belum selesai. Ki Ageng Tejanirmala belum dapat dia serahkan kepada Raden Wijaya.
Sang Prabi Jayakatwing girang mendengar laporan Ki Cucut Kalasekti bahwa tombak pusaka itu tentu akan dapat ditemukan kembali dengan ditawannya Nurseta. Hal ini sedikitnya menjadi penghibur hatinya yang gelisah karena adanya gerakan pemberontakan dari Majapahit dan Madura, apa lagi dengan adanya berita bahwa dari pantai utara datang pasukan Tartar yang amat kuat.
Dugaan Ki Cucut Kalasekti memang tidak ngawur. Ketika Wulansari yang menyamar sebagai pria menyelundup ke dalam kota raja Kediri, dan ia mendengar berita yang sengaja disebar bahwa Nurseta telah menjadi tawanan Sang Prabu Jayakatwang, ia terkejut bukan main.
Dengan hati-hati ia meiakukan penyelidikan dimana pemuda yang dikasihinya itu ditahan. Ketika ia mendengar bahwa Nurseta ditahan di dalam penjara bawah tanah dan dijaga sendiri oleh Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya, ia terkejut bukan main dan iapun tahu bahwa menolong kekasihnya dengan kekerasan merupakan suatu hal yang tidak mungkin terjadi. Sebagai seorang bekas pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, ia tahu apa artinya ditahan di dalam penjara bawah tanah, yaitu bahwa orang yang ditahan di sana tidak mungkin dapat dibebaskan dari luar.
Selain penjagaan amat ketat, juga memiliki banyak pintu yang tebal. Apa lagi ada dua orang kakek sakti itu yang berjaga. Jalan kekerasan tidak mungkin dapat membebaskan kekasihnya, akan tetapi bagaimanapun juga ia harus membebaskan Nurseta. Hidupnya takkan ada artinya lagi kalau sampai Nurseta tewas, apa lagi tewas sebagai seorang tawanan. Andaikata kekasihnya itu gugur di medan pertempuran, hal itu masih dapat diterimanya, Akan tetapi mati dalam tawanan musuh. Tidak, ia harus dapat menolongnya. Harus.
"Berhenti. Siapa kau yang berani lancang masuk ke sini?"
Bentak seorang komandan jaga dan selusin perajurit pengawal diluar istana Kerajaan Daha sudah menodongkan tombak mereka kepada pemuda yang berani memasuki pekarangan itu.
"Hemm, apakah kalian sudah tidak mengenalku lagi?"
Kata Wulansari dengan suara biasa, suara wanita.
"Ia...... ia........ seorang wanita......"
"Seperti........ Wulansari........"
Wulansari tersenyum"Benar, aku Wulansari. Aku ingin menghadap Sribaginda. Harap laporkan ke dalam, katakan bahwa aku Wulansari ingin menghadap Gasti Prabu Jayakatwang. Penting sekali"
Gegerlah keadaan para perajurit pengawal itu. Mereka tentu saja sudah mengenai Wulansari, bahkan biasanya mereka kagum dan juga jerih terhadap pangawal pribadi Sribaginda yang sakti ini. Akan tetapi merekapun mendengar bahwa gadis perkasa ini telab minggat dan kini menjadi buruan. Dan merekapun sudah mendengar pesan Ki Cucut Kalasekti agar cepat melapor kalau Wulansari muncul.
Selagi mereka itu kebingungan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan muncullah dua orang kakek sakti yang membuat para perajurit itu bernapas lega. Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya yang kebetulan baru keluar dari istana segera mengenal "pemuda"
Yang dihadapi oleh para perajurit pengawal dengan sikap bingung itu.
"Ha haha, tidak salah dugaanku. Kau pasti akan muncul, Wulansari cucuku yang cantik, hehheh "
Kata Ki Cucut Kalasekti sambil menghampiri gadis yang berpakaian pria itu.
"Ki Cucut Kalasekti, ingat, aku bukan cucumu"
Kata Wulansari dengan sikap angkuh"Heh heh, Wulansari muridku yang manis""
"Hanya bekas murid, Ki Cucut. Ingat, sekarang aku musuhmu, bukan lagi muridmu"
"Ha ha ha, baru mendapatkan beberapa petunjuk dari mendiang Panembaban Sidik Danasura, kau sudah menjadi begini sombong, Wulan. Nah, katakan kepadaku, bukankah kedatanganmu ini karena Nurseta?"
Wulansari mengerutkan alisnya. Sebelum ia datang ke istana Daha, ia telah mengatur siasat sematangnya, bahkan munculnya dua orang kakek sakti inipun tidak mengejutkan hatinya karena memang sudah ia perhitungkan dan iapun sudah mengatur siasat bagaimana untuk menghadapi dua orang kakek sakti ini.
"Ketahuilah. Ki Cucut Kalasekti, juga kau Ki Buyut Pranamaya. Aku datang ini sama sekali tidak ada urusannya dengan kau berdua, atau dengan siapa saja. Aku datang untuk menghadap Sang Prabu Jayakatwang sendiri"
"Wah, Ki Cucut, bekas muridmu ini sungguh tinggi hati dan besar kepala"
Ki Buyut Pranamaya mencela dengan hati panas karena dia sama sekali tidak dipandang mata oleh gadis itu.
"Wulan, jangan kau bersikap begini. Kau datang untuk minta agar Nurseta dibebaskan, bukan? Nah, serahkanlah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada kami, dan kami akan menyerahkan Nurseta kepadamu"
"Ki Cucut, sudah kukatakan bahwa aku tidak mau berurusan dengan kalian berdua. Aku hanya mau berurusan dengan Sang Prabu Jayakatwang"
"Babo babo, bocah sombong"
Ki Buyut Pranamaya berseru "Kalau kami turun tangan menangkapmu, apa kau kira akan mampu lolos dari tangan kami? Kau sudah berada di sini. terkepung, biar pandai terbangpun takkan dapat lolos. Tidak perlu berlagak lagi"
"Siapa perduli obrolanmu, Ki Buyut? Kalian boleh. tangkap aku, boleh bunuh aku, akan tetapi jangan harap bisa mendapatkan tombak pusaka itu. Boleh pilih, hadapkan aku kepada Sang Prabu Jayakatwang sekarang juga dan aku akan menyerahkan tombak pusaka kepadanya, atau kalian menghalangiku dan aku akan melawan sampai mati, akan tetapi jangan harap tombak pusaka itu akan dapat kalian peroleh"
Ki Buyut Pranamaya membentak.
"Huh, kau kira bisa menggertakku? Kalau kau sudah kusiksa, hendak kulihat apakah kau tidak akan menyerahkan tombak itu"
Dia sudah hendak bergerak menyerang, akan tetapi Ki Cucut Kalasekti menengahi. Dia sudah mengenai watak gadis yang pernah menjadi murid dan cucu terkasih ini. Dia tahu bahwa Wulansari amat keras hati dan tidak takut mati. Biar disiksa bagaimacapun juga, sampai mati, ia pasti tidak akan sudi menyerah. Dan akibatnya, dia dan Ki Buyut Pranamaya yang akan menanggung kemarahan Sang Prabu Jayakatwang. Dan hal itu tentu saja amat berbahaya bagi mereka.
"Baiklah, Wulansari. Kami akan mengantarmu menghadap Prabu Jayakatwang. Akan tetapi awas, kami selalu berada di dekatmu dan kalau kau membuat ulah yang tidak-tidak, kami tidak akan segan segan untuk membunuhmu"
Kata Ki Cucut Kalasekti.
"Dan menyiksamu"
Tambah Ki Buyut Pranamaya.
Seorang perajurit lalu diperintah oleh Ki Cucut Kalasekti untuk melapor ke dalam agar disampaikan kepada Sang Prabu Jayakatwang bahwa dia dan Ki Buyut Pranamaya mohon menghadap bersama Wulansari.
Mendengar laporan itu, Sang Prabu Jayakatwang dengan bersemangat sekali lalu memerintahkan tiga orang itu menghadapnya. Dia pun mempersiapkan pasukan pengawal pribadi untuk menjaga keselamatannya, karena bagaimanapun juga, dia masih curiga kepada Wulansari yang telah melarikan Dyah Gayatrt dan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dari dalam istana.
Ketika dua orang kakek sakti itu menyembah kepada Sang Prabu Jayakatwang, Wulansari juga memberi hormat, akan tetapi ia tidak berlutut, hanya menyembah sambil berdiri saja. Melihat sikap ini, Sang Prabu Jayakatwang memandang kepada gadis yang pernah disayangnya itu.
"Hemm, kiranya kau, Wulansari. Kalau kami menghendaki, sekarang juga tanpa banyak cakap, aku dapat memerintahkan agar kau ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Akan tetapi sebelum aku lakukan itu, aku ingin mendengar dulu apa maksudmu datang menghadap kami"
Jelas babwa dalam suara Sribaginda mengandung kemarahan terhadap gadis ini. Akan tetapi Wulansari bersikap tenang saja. Hal inipu sudah diperhatikannya dan sudah diduganya akan terjadi.
"Hamba mengerti akan kemarahan paduka, gusti. Akan tetapi hambapun tidak merasa bersalah. Kepergian Puteri Gusti Dyah Gayatri adalah atas kehendaknya sendiri......."
"Akan tetapi kau telah berani mencurl Ki Ageng Tejanirmala"
Sang Prabu Jajakatwang membentak marah.
"Bagaimanapun juga, tombak pusaka itu daiulunya adalah hamba yang mendapatkan. Akan tetapi, gusti, Hamba datang bukan untuk membicarakan soal yang telah lalu, Hamba datang untuk menyerahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada paduka dengan syarat agar kakangmas Nurseta yang paduka tawan itu dibebaskan. Hamba hendak menukarkan Ki Ageng Tejanirmala dengan kakangmas Nurseta"
"Omong besar"
Raja itu membentak, marah karena ada orang berani mengajukan tuntutan kepadanya seperti itu, seolah-olah dia yang hendak diperintah "Kau sungguh sumbong, Wulansari. Kalau sekarang aku perintahkan kau ditangkap, dan kami paksu untuk mengembalikan tombak pusaka itu, apa kau kira akan mampu lolos?"
Wulansari tersenyum. Senyum yang dahulunya selalu mendatangkan perasaan aman dalam hati Sribaginda, kini senyum itu seperti keris penusuk ulu hatinya.
"Gusti, kalau hamba takut akan ancaman itu, tentu hamba tidak akan datang ke sini. Kalau paduka menyuruh menangkap dan membunuh hamba, tombak pusaka itu selamanya tidak akan kembali ke tangan paduka. Biar paduka menyuruh orang menyiksa hamba sampai mati, hamba tidak akan menyerahkan tombak pusaka itu. Maka, paduka tinggal pilih. Menurutl permintaan hamba agar kakangmas Nurseta ditukar dengan Ki Ageng Tejanirmala, atau hamba akan mengamuk. Dan kiranya tidak akan mudah menangkap hamba, biar di sini ada dua orang kakek iblis ini"
Kini suara Wulansari penuh tantangan. Wajah raja itu menjadi agak pucat. Dia marah sekali dan ingin dia mengeluarkan perintah agar gadis ini dikeroyok dan ditangkap, akan tetapi dia teringat akan kepentingan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Tombak pusaka itu adalah wahyu kerajaan. Kerajaan Daha akan selalu jaya kalau dia memiliki tombak pusaka itu. Pada hal, sekarang Kerajaan Daha sedang terancam malapetaka karena pemberontakan Raden Wijaya. Dia merasa bimbang, diombang-ambingkan kemarahan dan juga keinginan memiliki kembali tombak pusaka itu.
Pada saat itulah Ki Cucut Kalasekti yang maklum akan isi hati junjungannya, menyembah dan berkata.
"Ampunkan hamba, gusli. Kalau paduka mengijinkan, biarlah hamba berdua Ki Buyut Pranamaya berurusan dengan Wulansari. Hamba berdua yang akan menanggung bahwa tombak pusaka itu pasti akan diserahkan oleh Wulansari kepada hamba berdua. Hamba yang akan mengawal Nurseta ketika pertukaran terjadi, dan hamba jamin Wulansari tidak akan dapat menipu paduka. Percayalah, segalanya tentu akan berakhir dengan beres dan menyenangkan, sesuai dengan keinginan hati paduka"
Raja Jayakatwang dapat menangkap apa yang tersembunyi dalam katakata Ki Cucut Kalasekti itu. Dalam kalimat terakhir itu jelas tersimpul janji kakek sakti itu bahwa dia tidak akan begitu bodoh untuk memenuhi permintaan gadis itu begitu saja. Tentu kakek itu telah mengatur akal agar tombak pusaka dapat dikuasai kembali, dan di samping itu, selain Nurseta tidak perlu dibebaskan, juga agar gadis itu dapat ditangkap.
"Heh, Wulansari. Kau sungguh berani mati sekali mengajukan tuntutan kepadaku. Mengapa kau begitu mati-matian untuk membebaskan Nurseta? Apakah alasanmu?"
Tanpa merasa sungkan sedikitpun, Wulansari menjawab dengan suara lantang "Gusti, hendaknya paduka ketahui bahwa kakangmas Nurseta sebenarnya masih sanak keluarga paduka sendiri"
"Ehhh........??"
Sang Prabu Jayakatwang terbelalak, lalu memandang kepada Ki Cucut Kalasekti.
"Bagaimana ini, Adipati Satyanegara, benarkah ucapan Wulansari itu?"
"Hamba sendiri juga tidak tahu, gusti"
Kata Ki Cucut Kalasekti yang memandang heran kepada bekas muridnya itu.
"Wulansari, bagaimana kau dapat mengatakan demikian? Ada hubungan apa antara Nurseta dengan keluargaku?"
"Hendaknya paduka ketahui bahwa kakangmas Nurseta adalah putera kandung mendiang Pangeran Panji Hardoko"
Sepasang mata Sribaginda makin melebar. Mendiang Pangeran Panji Hardoko adalah adik tirinya, seorang pangeran putera seorang diantara selir ayahnya.
"Tapi.... setahuku, dia meninggal dunia tanpa meninggalkan putera"
Katanya menyangkal.
"Memang tidak ada yang mengetahui hal itu, gusti. Ayahnya adalah mendiang Pangeran Panji Hardoko dan ibunya adalah Ni Dedeh Sawitri. Sebelum meninggal dunia, Raden Panji Hardoko menyerahkan Nurseta yang masih, bayi kepada Ki Bayaraja yang kemudian memberontak kepada Kerajaan Singosari dan tewas. Nurseta oleh Ki Bayaraja diserahkan kepada adiknya, yaitu mendiang Ki Baka. Demikianlah, gusti. Karena kakangmas Nurseta adalah darah keluarga paduka sendiri, sudah sepatutnya kalau dia diampuni"
"Hemmm, akan tetapi, andaikata dia itu benar keluarga kami, masih tidak ada hubungannya denganmu. Kenapa kau bersusah payah mempertaruhkan nyawa untuk membebaskannya?"
"Dia adalah tunangan hamba"
Jawab Wulansari dengan berani.
Prabu Jayakatwang tertawa dan mengelus jenggotnya "Aha, kiranya demikian. Pantaslah kalau begitu. Baik, Wulansari. Aku mau menukar Nurseta dengan Ki Ageng Tejanirmala. Apakah sekarang juga kau akan menyerahkan tombak pusaka itu kepada kami?"
"Tombak pusaka itu hamba simpan di suatu tempat dan di sanalah pertukaran itu dapat hamba lakukan, Kakangmas Nurseta harus dibawa ke tempat itu dan di sana hamba akan menukarkan tombak pusaka itu dengan kakangmas Nurseta"
"Hemm, di manakah tempat itu?"
Ki Cucut Kalasekti bertanya.
"Di sebuah goa di suatu bukit"
Jawab Wulansari dengan cerdik. Kalau ia menyebutkan tempat itu dengan jelas, tentu dua orang kakek jahat dan licik ini akan melanggar janji, akan menangkapnya dan mereka akan mengambil sendiri pusaka itu.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakan di mana?"
Ki Buyut Pranamaya membentak.
Wulansari tersenyum mengejek "Tidak akan kuberitahu di mana. Pendeknya, tempat itu baru dapat kalian ketahui kalau kakangmas Nurseta sudah dibawa ke sana"
"Hah. Jauhkah dari sini?"
Ki Cucut Kalasekti bertanya, khawatir kalau-kalau gadis itu telah mempersiapkan perangkap untuk dia
"Hanya setenjah hari perjalanan"
Jawab Wulansari dan hati kakek itu merasa lega. Kalau hanya perjalanan setengafa hari, berarti tempat itu masih termasuk wilayah Kediri dan tidak begitu jauh dari kota raja. Tempat itu tentu aman baginya, tidak termasuk daerah musuh.
"Baiklah, mari kita berangkat"
Katanya kepada Wulansari, dan dia menyembah kepada Sang Prabu Jayakatwang "Gusti, hamba mohon diri, hamba akan membawa Nurseta dari dalam tahanan untuk ditukar dengan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
Prabu Jayakatwang, dengan wajah berserl, mengangguk "Baik, paman adipati. Laksanakan tugasmu sebaik mungkin"
Ki Buyut Pranamaya juga berpamit, dan Wulansari berkata kepada raja itu "Gusti.. hamba menghaturkan terima kasih atas segala kebaikan paduka kepada hamba, dan hamba berjanji bahwa hamba tidak akan mencampuri perang antara Kediri dengan musuh dari manapun juga"
Prabu Jayakatwang mengangguk dan tersenyum. Kau boleh bicara apa saja, gadis manis, pikirnya. Tombak pusaka itu akan kembali kepadanya, dan Nurseta akan tetap ditahan, juga gadis ini akan ditangkap, hidup ataupun mati.
"Diajeng Wulan......."
Nurseta terbelalak memandang kepada gadis itu ketika dia dibawa keluar dari dalam penjara bawah tanab oleh Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya dengan kedua tangan dibelenggu ke belakang.
Wulansari memandang pemuda itu. Kerinduan membayang di matanya. Ingin ia menubruk pemuda yang dicintanya itu, akan tetapi ia menahan gejolak hatinya dan ia hanya tersenyum.
"Kakangmas Nurseta, sukur kau masih selamat dan sehat"
Katanya lirih dan singkat.
Setelah sejenak menatap wajah pemuda itu dengan sepenuh kasih sayangnya, ia lalu menundukkan pandang matanya. Sikap ini saja sudah dapat ditangkap oleh Nurseta bahwa gadis itu sungguh masih amat mencintanya seperti dia mencinta Wulansari, akan tetapi gadis itu sengaja menunduk dan ini berarti bahwa keadaan gawat dan dia tidak boleh banyak bicara. Akan tetapi, kalau dia diam saja, hal itu bahkan akan menimbulkan kecurigaan dua orang kakek sakti itu, pula, hatinya juga merasa tidak enak sekali kalau dia belum mengetahui apa maksudnya dia dibawa keluar dari penjara dan di situ dia melihat Wulansari telah menanti di alun-alun istana Kerajaan Daha.
"Diajeng Wulansari, apa artinya semua ini? Kenapa kau berada di sini? Apa yang terjadi?"
Sikap dan pertanyaan Nurseta demikiam wajarnya, akan tetapi Wulansari melihat suatu ketidak-wajaran. Dara ini sudah mengenal benar watak Nurseta yang biasanya tenang sekali. Kini pemuda itu kelihatan begitu terheran-heran disertai kekhawatiran, maka iapun dapat menduga bahwa memang pemuda itu sengaja bersikap demikian agar tidak mendatangkan perasaan curiga kepada dua orang kakek sakti. Diam-diam Wulansari kagum bukan main. Kekasihnya itu selain tampan dan sakti, juga cerdik sekali. Akan tetapi ia menymipan kegembiraan dan kekagumannya ini dalam hati, lalu iapun menarik muka khawatir, dan menjawab lirih.
"Kakangmas Nurseta, aku mendengar bahwa kau ditahan di sini. Hatiku menjadi risau dan gelisah bukan main, maka aku lalu nekat menghadap Prabu Jayakatwang untuk memintakan pengampunan untukmu"
"Apa? Kau yang sudah menjadi pelarian dan orang buruan karena melarikan Puteri Dyah Gayatri datang menghadap Sang Prabu Jayakatwang? Diajeng Wulan, itu namanya sama dengan mencari penyakit"
Nurseta berseru dan menegur, kembali hal ini tidak wajar bagi Wulansari dan iapun semakin yakin bahwa pemuda itu bersandiwara untuk membantunya menyempurnakan siasat yang sedang ia jalankan.
"Hahaha, Nurseta. Muridku ini bukan mencari penyakit, akan tetapi ia datang untuk menolongmu, dan ia berhasil, hahaha. Kalau tidak ada muridku ini, jangan harap kau dapat hidup"
Ki Cucut Kalasekti berkata mengejek.
"Ki Cucut Kalasekti, aku bukan muridmu lagi"
Wulansari membentak.
"Tapi....... tapi...... bagaimana kau dapat menolongku, diajeng? Aku masih dibelenggu, dan di sini........ ada dua orang kakek iblis ini........"
"Kakangmas, jangan khawatir. Kau pasti akan dibebaskan, karena sudah kujanjikan kepada Sang Prabu Jayakatwang bahwa engkau, akan kutukar dengan tombak pusaka......"
"Ki Ageng Tejanirmala?"
Nurseta berseru seperti orang terkejut? dan Wulansari tahu pula bahwa ini adalah buatan, karena betapapun terkejutnya, kekasihnya itu tidak akan memperlihatkannya seperti itu kalau memang tidak disengaja.
"Benar, kakangmas. Hanya itulah yang akan dapat membebaskanmu. Dua orang kakek ini akan ikut bersamaku dengan membawamu, ke tempat pusaka itu kusimpan. Setelah pusaka kuberikan kepada mereka, kau akan dibebaskan. Aku harus melakukan ini, kakangmas, untuk menyelamatkanmu"
"Hahaha, benar sekali itu. Pusaka, tombak pusaka, untuk apa sih bagi seorang gadis manis seperti Wulansari? Tombak pusaka tidak bisa bicara, tidak hidup, tidak bisa bergerak, tidak dapat diajak bercumbu rayu......."
"Tutup mulutmu"
Nurseta membentak dan sekali ini bukan hanya pura-pura karena memang dia marah mendengar ucapan itu Ki Cucut Kalasekti.
"aku tidak pernah tunduk dan menyerah kepadamu, sampai sekarangpun. Karena itu, jaga baik-baik mulutmu yang kotor"
Demikianlah, kakangmas Nurseta. Mari kau ikut dengan kami, dan kau akan dibebaskan di sana....."
"Tidak. Bagaimana kau hendak menyerahkan tombak pusaka kepada orang-orang ini, diajeng? Tombak pusaka itu berharga sekali, jauh lebih penting dari pada diriku"
"Kakangmas, tombak pusaka itu kuserahkan kepada mereka ini untuk dihaturkun kepada Sang Prabu Jayakatwang. Dan bagiku, di dunia ini tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatanmu. Sudahlah, kakangmas, harap jangan membantah lagi. Mari, Ki Cucut dan Ki Buyut, kita berangkat"
"Nanti dulu, Wulansari. Kami akan membawa pasukan pengawal karena kami khawatir kalau-kalau kau akan menjebak kami, hahaha"
Kata Ki Cucut Kalasekti tertawa.
Diam-diam Nurseta terkejut. Kalau benar dugaannya bahwa Wulansari pasti tidak akan menyerahkan pusaka itu begitu saja melainkan hendak menggunakan akal, maka dengan adanya pasukan pengawal, maka tentu usaha Wulansari itu akan sia-sia belaka.
"Hemm, Ki Cucut Kalasekti, sungguh kau tidak patut dinamakan seorang datuk yang sakti. Kau sudah berdua bersama Ki Buyut Pranamaya, keduanya orang-orang tua yang katanya sakti mandraguna, digdaya dan tidak takut melawan siapapun juga. Kini, menghadapi seorang gadis seperti diajeng Wulansari saja, kalian sudah ketakutan setengah mati sehingga kalian merasa perlu membawa pasukan pengawal. Sungguh tidak tahu malu sekali"
"Hahaha, kami berdua tidak takut kepada Wulansari dan kepadamu, Nurseta"
Kata Ki Cucut Kalasekti "Akan tetapi siapa tahu Wulansari menyembunyikan teman temannya di tempat itu. Kami harus membawa pasukan"
"Sesukamulah, Ki Cucut Kalasekti. Aku memang tahu bahwa kau seorang pengecut. Berapa ribukah pasukan yang kau bawa serta?"
Kata Wulansari dengan suara dan sikap mengejek sekali sehingga mau tidak mau wajah kakek itu berubah kemerahan.
"Keparat, berani kau memaki aku pengecut? Pasukan ini hanya untuk berjaga-jaga, seratus orangpun sudah cukup"
"Wulansari, awas kau kalau menipu kami"
Kata Ki Buyut Pranamaya
"Diajeng Wulan, hati-hatilah. Aku tahu bahwa kau jujur dan memegang janji, akan tetapi mereka ini orang-orang yang amat kejam dan curang. Aku tetap tidak percaya kepada mereka"
"Jangan khawatir, kakangmas. Sang Prabu sendiri sudah berjanji kepadaku. Akan tetapi, baik juga kalau kau berdua, Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya, sekarang mengucapkan janji bahwa kalian di sana tidak akan mengganggu kami dan melepaskan kakangmas Nurseta"
"Aku berjanji tidak akan mengganggu Nurseta dan akan melepaskannya"
Kata Ki Cucut Kalasekti.
"Dan aku berjanji tidak akan menpganggumu, Wulansari"
Kata Ki Buyut, Pranamaya cepat-cepat.
"Mari kita berangkat"
Kata Wulansari, agaknya tidak perduli bahwa dua orang kakek itu membawa seratus orang perajurit pengawal. Mereka semua menunggang kuda. Wulansari menunggang kuda, dan Nurseta juga mendapatkan seekor kuda. Kedua tangannya yang tadinya dibelenggu ke belakang, kini dibelenggu di depan sehingga dia dapat memegang kendali kuda, akan tetapi kalau Wulansari menunggang kuda di depan sendiri, Nurseta harus menjalankan kudanya di antara dua orang kakek itu. Pasukan seratus orang perajurit pengawal mengikuti dari belakang.
Karena mereka menunggang kuda, maka rombongan ini dapat tiba di tempat tujuan lebih cepat. Tengahari lewat sedikit mereka sudah mendaki sebuah bukit, yaitu Bukit Menur. Bukit itu merupakan satu diantara ribuan bukit yang memanjang di sebelah selatan dari barat ke timur, sebuah bukit kapur di mana terdapat banyak goa. Bukit yang hutannya tidak begitu lebat namun daerahnya liar dan tidak ditinggali penduduk.
Dua orang kakek itu memberi isarat kepada pasukannya agar berhati-hati walaupun bukit ini masih berada di wilayah Kediri.
Setelah tiba di bawah sebuah puncak batu karang dan kapur, Wulansari menghentikan kudanya, lalu melompat turun., Melihat ini, dua orang kakek itupun berlompatan turun dan Nurseta juga disuruh turun akan tetapi tetap berada di antara dua orang kakek itu yang menghampiri Wulansari.
Wulansari menunjuk ke puncak itu "Pusaka itu kusimpan di sana, dan untuk mendaki ke sana harus berjalan kaki, tidak dapat berkuda"
Dua orang kakek itu, juga Nurseta, memandang ke atas. Puncak itu penuh dengan batu-batu besar dan dari bawah memang nampak lubang-lubang goa, akan tetapi entah di goa yang mana pusaka itu disimpan.
Ki Cucut Kalasekti memberi isarat dengan gerak tangannya kepada empat orang perwira yang memimpin pasukan itu, kemudian dia berkata kepada Wulansari. Baiklah, mari kita mendaki ke atas"
Dan diapun menggapai kepada seorang perwira agar ikut mendaki ke atas.
Wulansari melihat betapa pasukan itu bergerak mengepung puncak, akan tetapi ia berpura-pura tidak melihat ini, lalu ia menjadi penunjuk jalan dan mendaki naik. Ternyata memang hanya ada jalan setapak menuju puncak itu. Jalan setapak yang tidak dapat dilalui kuda. Selain jalan itu, tidak ada jalan lain yang lebih baik karena selain di bawah puncak terdapat benyak jurang, juga penuh dengan batu-batu yang mudah longsor.
Puncak itu sendiri merupakan dataran yang penuh batu dan goa. Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar kcras. Dia tidak tahu apa yang akan dilakakan gadis itu, namun dia yakin bahwa tentu Wulansari telah mempergunakan perhitungan yang matang maka berani melakukan penukaran yang nampaknya sia-sia ini. Pihak lawan adalah dua orang kakek sakti, dan masih ada lagi seratus orang perajurit yang mengepung puncak itu. Agaknya, keadaan mereka berdua sungguh lemah sekali dan kalau dua orang kakek itu tidak melanggar janji, merekapun agaknya sukar untuk dapat meloloskan diri.
Wulansari berhenti di depan dinding batu besar di mana terdapat tiga buah lubang goa "Kalian tunggu di sini, biar aku mengambil dulu pusaka itu. Akan tetapi, kakangmas Nurseta harus dibebaskan dari belenggunya"
Ki Buyut Pranamaya hendak membantah. akan tetapi Ki Cucut Kalasekti yang sudah yakin akan kekuatan pihaknya, segera mengambil kunci dan membuka belenggu besi dari kedua pergelangan tangan Nurseta.
"Nah, kau ambillah, Wulan. Dia harus di sini dulu sebelum pusaka itu kau serahkan kepada kami"
Katanya. Dua orang kakek itu bersiap menyerang dengan pukulan maut kepada Nurseta yang berdiri di antara mereka. Wulansari mengangguk.
"Tunggulah sebentar"
Dan iapun melompat ke dalam goa yang berada di tengah. Dua orang kakek dan Nurseta memandang dan menunggu dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Goa itu gelap dan tidak nampak lagi gadis itu dari luar.
Tak lama kemudian, gadis itu keluar lagi. dan kini ia membawa sebuah bungkusan panjang dari kain kuning "Inilah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Terimalah, Ki Cucut Kalasekti, dan bebaskan kakangmas Nurseta, biar dia masuk ke goa ini"
"Nanti dulu"
Kata Ki Cucut Kalasekti "Ki Buyut, kau jaga dulu Nurseta karena aku harus memeriksa dengan teliti apakah tombak itu aseli ataukah palsu"
Wulansari membuka kain pembungkus benda itu dan nampaklah sebatang tombak. Mata tombak itu putih seperti perak yang berkilauan.
"Ki Cucut Kalasekti, kau pernah menerima tombak ini dariku, tentu dapat mengenalnya. Ki Buyut Pranamaya, kaupun pernah merampas tombak ini, tentu kau mengenalnya pula"
Kata Wulansari.
"Ki Ageng Tejanirmala........"
Dua orang kakek itu berseru hampir berbareng.
"Ki Ageng Tejanirmala. Itu tombak pusaka ayahku, itu tombak milikku, diajeng Wulansari. Jangan kau serahkan kepada orang lain. Aku tidak sudi menyerahkannya kepada mereka, lebih baik aku mati"
Teriak Nurseta dan teriakan ini menyenangkan hati dua orang itu karena ini merupakan bukti bahwa tombak pusaka itu memang aseli. Mereka tadi sudah melihatnya dan tidak ragu lagi, akan tetapi pernyataan Nurseta itu lebih meyakinkan hati mereka.
"Serahkan tombak itu kepadaku, Wulan"
Kata Ki Cucut Kalasekti.
Wulansari membungkus kembali tombak itu.
"Hemm, janjinya adalah ditukar, maka kalian harus pula membiarkan kakangmas Nurseta ke sini lebih dulu"
"Kau serahkan tombaknya dulu"
Kata Ki Cucut Kalasekti sambil menjulurkan tangan.
"Kakangmas Nurseta biar ke sini dulu"
Kata Wulansari.
Melihat mereka tidak mau saling mengalah, Ki Buyut Pranamaya berkata.
"Berbareng saja. Kau serahkan tombak dan biar pemuda ini lari ke situ"
Tentu saja dia tidak khawatir kedua orang muda itu akan dapat lari. Kemana mereka akan lari? Pasukan sudah mengepung puncak itu, dan di situ ada pula mereka berdua.
Agaknya Ki Cucut Kalasekti juga berpikir demikian, maka diapun berkata.
"Baiklah, berbareng saja. Nah, lemparkan tombak itu, biar Nurseta lari ke situ"
"Baiklah. Kakangmas Nurseta, kalau kulemparkan tombak ini kepada mereka, kau larilah ke sini"
"Tidak. Aku tidak mau ditukar dengan Ki Ageng Tejanirmala. Jangan berikan tombak pusaka itu kepada mereka, diajeng Wulan'"
Kata Nurseta dengan suara keras, tanda bahwa dia marah,
"Kakangmas Nurseta, kuharap kau tidak akan menghalangiku. Kakangmas, maukah kau........ demi aku..........?"
Kalau tadinya Nurseta terkejut dan meragu melihat bahwa agaknya gadis ini benar-benar hendak menyerahkan tombak pusaka Tejanirmala kepada dua orang kakek itu, kini pulih kembali kepercayaannya. Mustahil Wulansari akan sebodoh itu. Dengan mengambil sikap apa boleh buat dan masa bodoh, dia menggerakkan kedua pundaknya.
"Terserahlah, diajeng, akan tetapi jangan sesalkan aku kalau nanti mereka itu menipumu"
"Kesinilah, kakangmas, Ki Cucut terimalah tombak pusaka ini"
Kata Wulansari sambil menjulurkan tombak itu ke arah Ki Cucut, sedangkan Nurseta melangkah memasuki goa. Melihat bahwa tombak sudah dijulurkan, Ki Buyut Pranamaya tidak menghalangi Nurseta memasuki goa. Untuk apa dihalangi, pikirnya. Dua orang muda itu tidak akan mampu melarikan diri.
Setelah Ki Cucut Kalasekti menerima tombak pusaka itu, dia cepat menyerahkannya kepada perwira yang tadi diajaknya naik.
"Cepat kau larikan pusaka ini ke istana dan haturkan kepada gusti prabu"
Agaknya memang telah mereka atur sebelumnya. Perwira itu menyembah, menerima pusaka, lalu diapun lari menuruni puncak tadi dan tak lama kemudian diapun sudah membalapkan kuda, dikawal oleh selusin perajurit, meninggalkan lereng Bukit Menur, membawa pusaka itu.
Akan tetapi dua orang kakek itu tidak meninggalkan depan goa, bahkan kini keduanya tertawa bergelak, agaknya mereka merasa lega dan gembira sekali karena tombak pusaka telah mereka selamatkan dan kirimkan kepada Sang Prabu Jayakatwang, sedangkan dua orang muda itu berada di dalam cengkeraman mereka,
"Hahahaha. Nurseta dan Wulansari, kalian seperti dua ekor tikus berada di dalam perangkap, hahaha"
Ki Cucut Kalasekti tertawa bergelak, diikuti oleh Ki Buyut Pranamaya yang kagum melihat keberhasilan siasat kawannya.
"Ki Cucut Kalasekti, apa maksudmu? Ingat, kau sudah berjanji untuk tidak mengganggu kakangmas Nurseta"
Wulansari membentak marah sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu.
"Hahahaha, aku tidak akan melanggar janji, Wulan manis. Aku berjanji tidak akan mengganggu Nurseta, bukan? Nah, sekarang aku akan menangkap kau, bukan Nurseta"
"Dan aku berjanji tidak akan mengganggu Wulansari, sekarang aku akan menangkap kembali Nurseta, haha"
Ki Buyut Pranamaya juga berkata sambil tertawa.
"Hemm, kalian dua orang manusia iblis. Kalian kira mudah saja menangkap kami?"
Bentak pula Wulansari.
"Hehheh, Wulansari, lebih baik kalian menyerah saja untuk kami tawan dan kami bawa ke Kediri. Lihat, seratus orang perajurit sudah mengepung tempat ini. Percuma saja kalian melawan kami"
Kata pula Ki Cucut Kalasekti.
"Nah, diajeng, dari tadi aku sudah menduga bahwa dua orang iblis ini pasti akan menggunakan muslihat"
Kata Nurseta yang kini menjadi gelisah juga melihat bahwa keadaan mereka memang tidak berdaya.
Tiba-tiba Wulansari tertawa, ketawanya bebas akan tetapi tidak kasar dan wajahnya menjadi manis dan cerah sekali "Hahahihihi, kakangmas Nurseta. Aku tidak akan pantas menjadi calon garwamu (isterimu) kalau aku sebodoh itu. Heh, Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya, bukan kami yang terjebak dalam perangkap, melainkan kalian yang seperti dua ekor srigala tua masuk dalam perangkap. Lihat baik-baik"
Setelah berkata demikian tiba-tiba Wulansari memegang pergelangan tangan Nurseta dan menariknya ke belakang, ke sebelah dalam goa yang gelap itu dan tiba-tiba terdengar sorak sorai gemuruh. Dari kanan kiri goa itu, yaitu dari dalam kedua goa yang lain, muncul duapuluh orang, dan dari batu-batu besar di puncak itupun berlonqatan keluar duapuluh orang lain. Mereka itu segera mendorong batu-batu di atas puncak dan terdengarlah suara gemuruh ketika batu-batu itu menggelundung ke bawah, menerjang batu-batu lain sehingga kini dari puncak itu turun hujan batu ke arah lereng di mana seratus orang perajurit Daha itu menanti.
Tentu saja para perajurit menjadi kacau balau, apa lagi ketika dari bawah bukit kini berlarian naik sedikitnya duaratus orang yang telah mengepung lereng itu. Terpaksa mereka berloncatan turun dan melakukan perlawanan mati matian untuk membela diri sedapatnya. Ternyata bahwa jumlah lawan dua kali lebih banyak dari mereka.
Tentu saja dua orang kakek itu terkejut bukan main. Ketika mereka hendak melarikan diri, tiba-tiba nampak dua bayangan berkelebat keluar dari dalam goa itu dan dua orang muda itu sudah berdiri di depan mereka sambil tersenyum.
Ki Cucut Kalasekti marah bukan main, Mulutnya yang bentuknya meruncing seperti mulut ikan itu menjadi semakin runcing. Mukanya yang berwarna kebiruan itu kini menjadi gelap bercampur warna merah.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wulansari, kau bocah durhaka, kubunuh kau"
Sambil mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular, kakek itu sudah maju. menubruk dan menyerang bekas muridnya itu dengan gerakan dahsyat penuh kemarahan.
Begitu menyerang, dia telah mengerahkan Aji Segoro Umub dan pukulan Gelap Sewu. Wulansari mengenai aji-aji itu, dan iapun menggunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dan balas menyerang. Gadis ini telah mewarisi hampir seluruh ilmu kepandaian Ki Cucut Kalasekti, maka ia sama sekali tidak merasa gentar. Apa lagi, selama ini diam-diam ia telah melatih dan menggembleng dirinya, dan juga ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura, menambah kehebatan tenaga saktinya sehingga dibandingkan dengan Ki Cucut Kalasekti yang usianya sudah tujuhpuluh empat tahun, ia tidak dapat dibilang lebih lemah. Ia bahkan memiliki kecepatan melebihi bekas gurunya itu, dan tentu saja memiliki napas lebih panjang walaupun harus diakuinya bahwa ia masih kalah pengalaman dan bahwa Ki Cucut Kalasekti memiliki, banyak akal yang aneh-aneh.
"Wuuuttt....... dukkk"
Ketika Wulansari membalas dengan serangan tamparan Aji Gelap Sewu, Ki Cucut Kalasekti menyambut dengan tangkisan dengan maksud untuk menangkap pergelangan tangan bekas murid itu. Akan tetapi, tak disangkanya begitu kedua lengan bertemu, tubuhnya tergetar hebat dan jangankan dapat menangkap lengan gadis itu, bahkan dia hampir saja terjengkang.
"Ssssshhhh........."
Dia mengeluarkan suara mendesis, jari jari tangannya mencengkeram ke depan dengan gerakan aneh dan cepat sekali.
Namun, Wulansari sudah maklum akan akal ini dan iapun berloncatan ke belakang, lalu ke kiri dan dari kakinya melayang dan menendang ke arah pinggang lawan. Ketika Ki Cucut Kalasekti mengelak sambil menggerakkan tangan ke kanan untuk menangkis, tiba-tiba gadis itu menggerakkan tangannya dan jari tangannya yang runcing itu sudah mencuat dan menusuk ke arah mata dan muka lawan. Itulah ilmu pukulan yang pernah ia pelajari dari mendiang Panembahan Sidik Danasura. Dan jari-jari
(Lanjut ke Jilid 29)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 29
tangannya menyambar hawa yang amat panas sehingga Ki Cucut Kalasekti terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri dari pukulan panas yang tak dikenalnya itu. Itulah Aji Dahana Puspita (Bunga Api) yang pernah dipelajari gadis itu dari Panembahan Sidik Danasura dan yang telah mematangkan dengan latihan yang tekun sehingga ilmu itu kini menjadi ilmu pukulan yang bebat karena jari-jari tangannya itu seperti besi-besi panas menyerang lawan.
Ki Cucut Kalasekti yang melempar tubuh ke belakang terpaksa bergulingan karena dikejar oleh gadis itu yang mengirim tendangan-tendangan ke arah bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya. Akhirnya, dia mampu pula melompat bangun dan membalas dengan serangan dahsyat yang dapat dielakkan oleh gadis itu. Terjadilah perkelahian yang mati-matian antara bekas guru dan murid ini, yang pada umumnya memiliki gerakan yang sama.
Pertempuran yang terjadi antara Nurseta dan Ki Buyut Pranamaya tidak kalah hebatnya. Ki Buyut Pranamaya amat membenci Nurseta yang dianggap penghalang keberuntungannya itu. Dan diapun tahu bahwa murid mendiang Panembahan Sidik Danasura ini memiliki kesaktian yang hebat, sakti mandraguna dan amat digdaya sehingga biarpun lawan itu masih muda, pantas menjadi cucunya, namun dia tidak berani memandang ringan. Begitu menyerang, dia sudah mengeluarkan pukulan ampuhnya, yaitu Aji Marga Parastra (Jalan Maut). Kedua lengannya bergerak-gerak seperti dua ekor ular menyambar nyambar. Kedua tangannya yang terbuka itu mengeluarkan angin dan mengeluarkan bunyi bercuitan dan sekali saja tangan itu mengenai tubuh lawan, akan hebat akibatnya, karena kalau tangan itu mengenai batu karang saja akan remuklah batu karang itu, mengenai batang pohon akan tumbanglah pohon itu. Apa lagi kalau mengenai tubuh orang"
Terutama kepalanya.
Nurseta bersikap tenang. Dia lebih mengkhawatirkan Wulansari dari pada dirinya sendiri. Dia mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini sambil memperhatikan keadaan Wulansari. Setelah dia melihat dengan kagum betapa gadis itu sama sekali tidak terdesak oleh Ki Cucut Kalasekti dan dapat melawan dalam keadaan seimbang, legalah hati Nurseta dan dia dapat memusatkan perhatiannya kepada lawannya.
"Hahl Ambrol dadamu"
Ki Buyut Pranamaya yang menjadi marah karena semua pukulannya dapat dielakkan oleh Nurseta, tiba-tiba mengirim tendangannya yang ampuh, yaitu Aji Cakrabairawa.
"Wuuuuttt......."
Tendangan yang dilakukan dengan tubuh melayang itu memang berbahaya bukan main. Selain cepat, juga tendangan itu. mengandung tenaga yang amat dahsyat. Nurseta sudah mengenal tendangan ampuh ini, maka diapun cepat meloncat ke samping untuk
mengelak.
Akan tetapi begitu tubuh kakek itu turun ke tanah, dia sudah mengeluarkan bentakan lagi dan tubuhnya membalik, melayang dan kembali tendangan maut menyambar. Terpaksa Nurseta harus mengelak lagi. Sekali ini, begitu membalik Ki Buyut Pranamaya menyusulikan pukulan-pukulannya yang ampuh dengan bertubi-tubi. Pukulan berantai itu amat cepat datangnya, susul menyusu dan setiap pukulan mendatangkan angin dan terasa berat dan kuat bukan main. Nurseta menghadapinya dengan tenang. Kalau dia mengelak, maka lengan kakek itu meluncur dan mengeluarkan suara mendesir.
Nurseta maklum bahwa dia tidak mungkin mengelak terus. Setelah terdesak terus, akhirya diapun mengumpulkan tenaga dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Dukkkl"
Dua lengan bertemu dan akibatnya, keduanya terpental dan meloncat ke belakang. Ki Buyut Pranamaya mengerutkan alisnya yang tebal. Lengan kirinya yang bertemu dengan lengan kanan Nurseta terasa nyeri seolah tulangnya akan patah. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan hal ini dan sudah menyerang lagi. Serangannya bertubi, diseling dengan tendangan Aji Cakrabairawa yang amat berbahaya itu. Namun, kini Nurseta melawan dengan sama kerasnya.
Tamparan-tamparan tangan Nurseta mengandung Aji Bajradenta menyambar-nyambar ketika dia membalas serangan lawan. Ki Buyut Pranamaya juga mengenal pukulan ampuh. Pemuda itu adalah seorang murid yang sudah digembleng oleh mendiang Panembahan Sidik Danasura, satu-satunya orang yang ditakuti ketika masih hidup. Maka diapun berhati-hati sekali, tidak berani menyambut tamparan pemuda itu secara langsung walaupun kakek ini memiliki aji kekebalan. Dia mengelak atau menangkis dari samping, dan membalas dengan tak kalah sengitnya.
Perkelahian antara Nurseta dan Ki Buyut Pranamaya berlangsung dengan hebat sekali. Ki Buyut Pranamaya terkenal memiliki ilmu meringinkan tubuh yang disebut Garuda Nglayang yang membuat dia dapat berlari cepat seperti terbang dan membuat gerakannya ringan dan cepat sekali, seperti seekor burung garuda vang melayang dan menyambar-nyambar. Akan tetapi, menghadapi Nurseta, dia tidak berani bergerak terlalu cepat karena dia harus membuat setiap pukulan dan tendangannya mantap dan penuh dengan tenaga sakti. Kalau tidak, dia akan kalah karena pemuda itu menggunakan tenaga yang sakti dan kuat sekali. Maka, perkelahian antara mereka berjalan lamban dibandingkan dengan perkelahian antara Wulansari dan Ki Cucut Kalasekti yang nampak lebih cepat.
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo