Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 3


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Sekarang dia dikeroyok dua orang yang hendak membunuhnya, atau setidaknya Ingin menawan dan menyiksanya untuk memaksanya menunjukkan dimana adanya letak pusaka Tejanirmala. Hanya kepadanyalah ayahnya memberitahukan letak pusaka itu disimpan, yaitu di puncak sebuah diantara dua batang pohon aren di kebun belakang. Dia harus membela diri, sepercik darahnya harus dibela, demikian juga dengan sejengkal tanah airnya.

   Akan tetapi, ada keanehan yang membuat Nurseta terkejut, kaget dan juga bingung. Setiap kali tangan atau kaki dua oran lawannya itu melayang untuk menyerangnya, tangan atau kaki lawannya itu tertahan atau seperti tertangkis oleh sesuatu yang tidak nampak sehingga tidak sampai mengenai tubuhnya.

   Melihat keanehan ini, Nurseta yang cerdik dapat meduga bahwa ada orang sakti mandraguna ya membantunya dan siapa lagi orang sakti itu kalau bukan si kakek tua renta itu. Karena, selain mereka bertiga yang hadir di situ hanya kakek itulah yang tersisa.

   Nurseta menjadi girang dan segera membalas dengan tamparan-tamparan, pertama kearah dada Gagak Wulung dan yang kedua kalinya dia menampar kearah pipi Ni Dede Sawitri.

   "Desss! Plakkk!"

   Dua serangannya itu tepat mengenai sasaran, seolah-olah sama sekali tidak dielakkan oleh kedua orang lawannya.

   Gagak Wulung roboh terjengkang dan Ni Dedeh Sawitri terpelanting. Meraka cepat meloncat berdiri kembali dengan muka pucat. Betapa mereka tidak akan menjadi gentar kalau tadi semua serangan mereka tertumbuk pada kekuatan tak nampak yang membuat serangan mereka tidak dapat menyentuh kulit pemuda remaja itu, dan ketika pemuda itu membalas, betapapun mereka berusaha menangkis, namun mereka tidak mampu menggerakkan tubuh, baik untuk menangkis maupun mengelak. Mereka merasa penasaran sekali. Ilmu iblis apakah yang dipergunakan oleh pemuda ini?.

   "Keparat, rasakan pembalasanku!"

   Bentak Ni Dedeh Sawitri dan kini kedua tangannya terbuka dengan kuku-kuku jari tangannya sudah penuh dengan Aji Sarpakenaka maju menyerang Nurseta.

   Serangan ini merupakan serangan maut, karena terkena sekali goresan satu kuku saja sudah berbahaya, apa lagi kalau terkena goresan sepuluh kuku. Akan tetapi, selagi Nurseta menghindar, ternyata gerakan kedua tangan musuhnya itu terhenti di tengah jalan dan melihat Nurseta melangkah maju, lalu mengirim hantaman dengan kekuatan Aji Sari Patala, dan jurus dari Aji Bajradenta dia mengarahkan kearah ubun-ubun kepala wanita itu.

   Tetapi, selagi tangannya bergerak, tiba-tiba dia teringat akan pesan ayahnya.

   "Ingat, kulup. Jangan sekali-kali membunuh, betapapun jahatnya orang itu, kecuali hanya kalau terpaksa untuk membela diri dari ancaman maut. Membunuh adalah kesalahan yang paling besar dan dikutuk oleh Hyang Wisesa, angger"

   Teringat akan perkataan ayahnya itu, Nurseta cepat menyelewengkan pukulan tangannya, sehingga pukulan itu tidak mengenai ubun-ubun, melainkan mengenai pundak kiri Ni Dedeh Sawitri, dan tenaganyapun sudah banyak dikurangi.

   "Desss........!"

   Betapapun juga, tubuh itu terpetanting untuk kedua kalinya dan kini tidak dapat segera bangkit karena pundaknya terluka parah, tulangnya seperti patah rasanya dan wanita itu memegangi pundaknya sambil merintih lirih.

   Melihat keadaan teman sekaligus kekasihnya ini, marahlah Gagak Wulung. Kedua lengannya digerak-gerakkan dan ketika kepalan tangannya dibuka nampak kedua tangan itu kemerahan dan mengeluarkan uap, lalu mengeluarkan bentakan dahsyat sambil menerjang Nurseta menggunakan kedua telapak tangan yang dialiri Aji Hasta Jingga sepenuhnya. Serangan itu mengarah kebagian kepala dan dada.

   Belum lagi pukulan-pukulan itu sampai, Nurseta sadah merasakan datangnya sambaran angin panas dan selagi dia siap untuk rnengelak, tiba-tiba saja Gagak Wulung berteriak kaget karena kedua tangannya terhenti di udara seperti tertahan oleh kekuatan yang tidak tampak.

   Kesempatan ini dipergunakan oleh Nurseta untuk membalas dengan tendangan. Tendangannya meluncur ke arah bawah pusar dan tentu lawan akan roboh tewas kalau mengenai sasaran. Namun Nurseta kembali teringat, tidak boleh membunuh dan diapun mengubah arah tendangannya.

   "Desss..!"

   Tendangan itu mengenai pinggul dari tubuh Gagak Wulung, yang mengakibatkan Gagak Wulung terjengkang dan terbanting keras diatas tanah.

   Gagak Wulung mencoba merangkak bangun, dan ia saling pandang dengan Ni Dedeh Sawitri, kemudian keduanya memandang kearah kakek tua renta yang masih tersenyum dan berdiri tidak jauh dari arena perkelahian. Mereka mengerti, bahwa kakek itulah yang menurunkan bantuan kepada Nurseta.

   Mereka maklum bahwa keadaan mereka dalam bahaya, maka dengan pandangan mata, keduanya sudah sepakat untuk melarikan diri. Mereka meloncat dan lari sekuat tenaga meninggalkan tempat itu seperti dikejar setan.

   Sementara itu, kakek tadi sangat kagum melihat tindakan Nurseta tadi, dua kali Nurseta mengubah gerakannya, serangan maut menjadi serangan yang tidak membabayakan nyawa lawan. Hal inilah membuat dia tersenyum lebar dan kini ia mengamati pemuda remaja itu penuh perhatian. Dia mengangguk-angguk, tangan kirinya mengelus jenggot panjang putih, tangan kanan memutar-mutar seuntai tasbeh seperti menghitung biji-biji tasbeh itu tanpa henti.

   Nurseta adalah seorang pemuda yang cerdas. Dia tahu bahwa tanpa ada yang menolongnya, tentu kini ia sudah roboh tertawan atau mungkin juga sudah tewas. Dan penolongnya tentu kakek tua renta ini. Maka, tanpa ragu diapun menjatuhkan diri berlutut didepan kakek itu, menghaturkan hormat

   "Berkat pertolongan Eyang, saya masih bisa bernafas sampai saat ini, entah bagaimana saya dapat membalas budi kebaikan itu....."

   Sampai di sini, Nurseta tidak kuat lagi menahan nyeri yang sejak tadi menghentak-hentak tubuhnya karena racun-racun pukulan kedua orang lawannya sudah mulai bekerja dan Nursetapun terguling roboh, pingsan.

   Kakek itu lalu duduk bersila memeriksa keadaan tubuh Nurseta. Melihat bekas goresan kuku yang menjadi biru kehitaman, bekas tangan Hasta Jingga yang kemerahan. Kakek tersebut menarik napas panjang, lalu mengheningkan cipta. Dari mulutnya mengeluarkan puja-puji mantram lirih.

   Kedua telapak tangannya yang agak gemetar karena mengandung tenaga sakti itu kini mengurut-urut bagian tubuh Nurseta yang terkena pukulan beracun. Ketika kedua tangan itu mengurut-urut bekas goresan kuku Sarpa Kenaka, kedua telapak tangannya berubah hitam karena hawa beracun itu tersedot oleh kekuatan yang terkandung di dalam kedua tangan kakek tersebut.

   Kakek itu kemudian mencuci tangannya dengan rumput basah. Kemudian ia mengurut lagi luka yang diakibatkan oleh pukulan Hasta Jingga dan racun itupun tersedot sehingga kedua telapak tangan kakek itu berubah merah. Dicucinya kembali kedua telapak tangan itu dengan rumput basah.

   Tak lama kemudian Nurseta siuman dari pingsannya, ia membuka kedua matanya dan cepat dia bangkit duduk, Ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Dan ketika ia merasa bahwa luka-lukanya tidak terasa nyeri, dan melihat betapa bekas pukulan kedua orang lawannya yang tangguh itupun tidak berbekas lagi, kembali ia menyembah kakek yang duduk bersila di depannva dan kakek itupun sedang memandangnya sambil tersenyum.

   "Luka saya telah sembuh,, sudah pasti bahwa paduka yang kembali telah menolong saya. Eyang, terima kasih saya haturkan dan......."

   Kakek itu mengangkat tangan kanannya keatas sebagai isyarat agar pemuda itu tidak melanjutkan kata-katanya.

   "Kulup, lepaskan kembali ikatan itu. Dendam dan budi hanyalah pengikat batin, menjadi beban dan memperkuat rantai karma. Tidak ada menolong atau menolong, karena perbuatan itu selalu menyembunyikan pamrih. Sudah menjadi kewajiban tiap orang manusia untuk menolong dalam batas kemampuannya, untuk mengulurkan tangan memberi makanan bagi yang kelaparan, memberi minum yang kepada yang haus, mengbati yang sakit, dan menginsyafkan yang sesat"

   Nurseta menghormat dengan khidmatnya dan iapun maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek yang bukan saja sakti mandraguna, namun juga bijaksana, seorang yang berhati bersih.

   "Ampun beribu ampun, Eyang, bukan makud saya untuk membantah. Akan tetapi, jauh bedanya dendam dengan budi. Dendam memang seyogyanya ditiadakan dari batin, akan tetapi budi? Tidakkah sudah sewajarnya kalau kita harus mengenai budi yang dilimpahkan orang lain kepada kita, Eyang?"

   "Heh-heh-heh, memang seharusnya demikianlah menjadi orang muda, selalu ingin mengetahui akan kebenaran. Ketahuilah, kulup, dan mari kita selidiki bersama. Apakah bedanya dendam dengan budi? Bukankah keduanya itu timbul dari batin yang mempertimbangkan untung rugi."

   "Hamba mengerti, Eyang"

   Katanya mengangguk-angguk.

   "Kulup, sekarang aku ingin bertanya. Siapakah andika dan mengapa pula tadi andika dikeroyok oleh dua orang itu?"

   Maklum bahwa dia berhadapan dengan orang yang sakti mandraguna dan bijaksana. Nurseta lalu menjawab "Saya kira Eyang tidak akan khilaf lagi siapa saya dan mengapa saya dikeroyok oleh mereka"

   "Heh-heh-heh, bocah bagus. Orang yang mengaku mengerti sesungguhnya tidak mengerti, dan orang yang mengaku pintar sesungguhnya adalah bodoh. Jawablah pertanyaanku tadi dan ceritakan semuanya, kalau engkau tidak berkeberatan"

   Nurseta terkejut dan teringat bahwa dia teahl salah bicara.

   "Harap maafkan saya, Eyang. nama saya Nurseta dan nama ayah saya Ki Baka yang bertempat tinggal dusun Kelinting. Kurang lebih sebulan yang lalu saya disuruh oleh saya bertapa di dalam Goa Kantong Bolong di bawah tebing itu. Sedangkan kedua orang yang menyerang saya tadi, adalah Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri. Tiba-tiba saja mereka sudah berada di dalam Goa Kantong Bolong, mereka mengatakan bahwa ayah saya terluka parah oleh orang-orang yang hendak merampas tombak aka Ki Ageng Tejanirmala. Mereka mengatakan diutus ayah untuk mengambil tombak pusaka itu dari saya. Sedangkan saya tidak pernah menerima tombak itu dari ayah, sewaktu saya mendengar bahwa ayah saya terluka, saya lalu naik keatas tebing dan mereka mengejar sampai di sini. Dan mereka lalu mengeroyok saya dan hendak memaksa saya menunjukkan dimana adanya tombak pusaka itu. Demikianlah ceritanya Eyang dan kalau Eyang memperkenankan, mohon saya dapat mengetahui, siapakah nama Eyang dan dimana tempat tinggal Eyang"

   Kakek itu mengangguk-angguk. Sejak tadi pandangan matanya selalu mengamati sosok pemuda remaja yang duduk bersila di depannya itu dan dia mendapat kesan bahwa pemuda ini merupakan seorang calon pendekar yang sangat berbakat, seorang calon satria yang dapat dibanggakan kelak.

   "Kulup Nurseta, ketahuilah. Orang menyebut aku Panembahan Sidik Danasura. Adapun padepokanku berada di Teluk Prigi, di Segoro Wed (Lautan Pasir) di tepi pantai Laut Selatan. Sudah menjadi kesenanganku untuk menjelajah pegunungan selatan dari timur sampai ke utara dan tuntunan kekuasaan Hyang Widhi sajala yang membawaku ke sini dan melihat engkau terancam bahaya maut. Sekarang, apa yang hendak kaulakukan selanjutnya, kulup?"

   "Eyang Panembahan, kemunculan dua orang itu jelas hendak mencari dan merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, dan saya merasa khawatir akan nasib ayah saya di dusun Kelinting. Saya rencan hendak pulang menengok keadaan ayah saya"

   Kembali kakek itu mengangguk-angguk "Sudah lama aku mendengar akan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala itu, angger. Hemh, orang-orang mencari keselamatan melalui pusaka, padahal, tidak ada pusaka yang lebih ampuh dari pada keadaan batin sendiri. Pusaka hanyalah alat, benda mati, kalau dipergunakan untuk kebenaran dan kebaikan maka jadila ia pusaka keramat, sebaliknya, kalau dipergunakan untuk kekeliruan dan kejahatan, jadilah ia benda terkutuk. Mereka yang menyerangmu itu termasuk golongan sesat yang takkan menyerah begitu saja sebelum niat mereka tercapai, maka amatlah berbahayalah kalau engkau melakukan perjalanan seorang diri. Kalau kau tidak keberatan, marilah kita jalan bersama, kulup"

   Tentu saja Nurseta merasa girang bukan main. Dengan adanya kakek ini, dia boleh merasa aman terhadap ancaman dan gangGoan orang sakti yang jahat itu. Dan siapa tahu ayahnya benar-benar menderita luka parah dan kakek ini akan dapat menyembuhkannya, seperti yang dilakukan pada dirinya tadi.

   Maka Nursetapun menjawab "Tentu saja saya tidak keberatan, bahkan saya merasa gembira dan berterima kasih sekali, Eyang panembahan"

   Mereka lalu bangkit dan berjalan meninggalkan tempat itu, menuju ke dusun Kelinting. Ia ingin cepat-cepat tiba di dusunnya. Ia mengerahkan aji kesaktiannya dan berlari cepat. Dia melihat kakek itu berjalan saja, seperti lambat, namun anehnya, kakek itu tidak tertinggal satu langkahpun darinya, bahkan berada di sampingnya, sehingga Nurseta dibuat terkagum-kagum dan takluk

   Karena dua orang sakti itu melakukan perjalanan dengan aji kesaktian mereka, maka sore harinya mereka telah memasuki dusun Kelinting. Begitu masuk dusun dan bertemu dengan seorang kakek penduduk itu, Nurseta dirangkul dan kakek itupun menangis.

   "Aduh, Den Nurseta....... malapetaka telah menimpa dusun kita !"

   Nurseta terkejut sekali.

   "Paman Karpo, apakah yang telah terjadi?"

   "Kurang lebih seminggu yang lalu......., gerombolan manusia iblis yang kejam, memasuki dusun ini. Mereka itu menghancurkan rumah ayahmu, kemudian membunuh belasan orang penduduk yang tidak memberitahu di mana engkau berada......."

   "Dan bagaimana dengan ayahku?"

   "Kami tidak tahu, ayahmu lenyap bersama mereka. Tidak kami temui seorangpun di bekas tempat tinggal ayahmu, Raden Nurseta"

   Nurseta terkejut dan gelisah sekali.

   "Eyang Panembahan, saya akan mencari ayah dahulu"

   Dan diapun berlari menuju ke sudut dusun tempat tinggal ayahnya.

   Panembahan Si Danasura mengikutinya dari belakang.

   Nurseta hanya dapat berdiri bengong memandang bekas rumahnya yang sudah rata dengan tanah, yang tinggal hanya puing-puing yang berantakan saja, bahkan tanah itupun nampak bekas dicangkuli.

   "Ah, ayah tentu telah mereka tawan!"

   Katanya, bingung dan juga gelisah.

   "Tentu ayah tidak mau mengaku dimana adanya tombak pusaka itu, maka mereka menawan ayah"

   "Tenanglah angger. Ada dua kemungkinan. Pertama, mereka tidak menemukan tombak Pusaka dan menawan ayahmu. Kedua, ayahmu berhasil melarikan diri dan membawa pergi tombak pusaka itu"

   "Aku akan melihatnya, Eyang"

   Nurseta berlari ke kebun dan dengan cepat memanjat sebatang diantara dua pohon aren itu. Tak lama kemudian dia meloncat turun "Pusaka itu sudah tidak ada"

   Katanya.

   "Kalau begitu, tidak mungkin ayahmu mereka tawan. Kalau mereka sudah menemukan pusaka itu, untuk apa lagi menawan ayahmu, tentu ayahmu berhasil menyelamatkan diri dan membawa pusaka itu"

   "Mudah-mudahan demikianlah, Eyang. Akan tetapi, kemanakah ayah pergi? Kemana saya harus mencarinya?"

   Pemuda itu menjadi gelisah kembali.

   Kakek itu tersenyum "Kalau Hyang Wisesa menghendaki, engkau kelak tentu akan dapat berjumpa kembali dengan ayahmu. angger. Bagaimana kalau sementara ini engkau ikut denganku, memperdalam llmumu agar kelak dapat kau pergunakan untuk mencari ayahmu, membuatmu cukup kuat untuk. menghadapi gerombolan penjahat yang sakti itu"

   Memang hal ini sudah diharapkan oleh Nurseta. Menjadi murid kakek yang sakti mandraguna ini. Maka, mendengar ucapan itu lalu menjatuhkan diri berlutut.

   "Eyang Panembahan, mulai detik ini saya, Nurseta, menghambakan diri kepada Eyang sebagai seorang murid dan apapun perintah Eyang kepada saya, akan saya junjung tinggi dan saya taati"

   Panembahan Sidik Danasura mengulur tangan menjamah kepala pemuda itu, memberi isyarat untuk bangkit.

   "Baiklah, aku menerimamu sebagai murid, kulup. Jangan khawatir, kalau Hyang Maha Agung mengijinkan, kelak engkau tentu akan dapat bertemu kembali dengan ayahmu. Sekarang, marilah engkau ikut bersamaku ke padepokanku di Teluk Prigi, kulup"

   "Baik, Eyang"

   Keduanya lalu pergi meninggalkan Kelinting, menuju ke selatan. Di sepanjang perjalanan yang dilakukan dengan seenaknya itu, Sang Panembahan Sidik Danasura memberi wejangan kepada Nurseta yang didengarkan oleh pemuda itu dengan penuh perhatian, dan di mana perlu, dia tidak segan untuk mengemukakan pendapatnya agar dia dapat menangkap inti pelajaran itu lebih baik lagi.

   "Angger Nurseta, tahukah kau, mengapa aku mengambil keputusan untuk mengangkatmu sebagai murid? Aku tertarik ketika melihat kau tadi tidak memukul mati dua orang lawanmu itu. Aku melihat betapa kau menahan diri, bahkan mengubah arah serangan dan mengurangi banyak tenaga agar kedua orang itu tidak sampai terluka parah atau mati. Mengapa kau melakukan hal itu?"

   "Pada saat saya hendak mengirim serangan maut, tiba-tiba saya teringat akan wejangan ayah saya bahwa saya tidak boleh sembarangan saja membunuh orang lain, kecuali kalau terpaksa sekali demi membela dan melindungi diri sendiri yang terancam maut. Karena itulah, saya mengurungkan niat menyerang mereka untuk mematikan"

   "Hemm, permulaan yang baik, Angger Nurseta, hidup manusia ini tidak ada artinya sama sekali kecuali kalau hidup ini dipenuhi dengan welas asih"

   Mereka tiba di puncak sebuah bukit dari barisan bukit selatan yang seolah-olah menjadi tanggul untuk melindungi Pulau Jawa dari Laut Selatan. Kakek itu berhenti dan mereka berdua memandang ke selatan. Nampak bukit-bukit, sawah ladang, hutan-hutan, kemudian lautan membentang luas jauh di selatan, bersatu dengan langit, Kakek itu menarik napas panjang, menghirup hawa udara yang sejuk segar dan bersih, seperti orang kehausan meminum air jernih.

   Nurseta juga melakukannya, dia merasa betapa dadanya mekar dan betapa hawa murni memasuki tubuhnya sampai terasa di pusar.

   "Ah".. betapa nikmatnya hidup ini, angger"

   "Benar, Eyang. Pada saat saya menghirup hawa murni, batin tidak terisi apapun, pada detik itu terasa nikmat dan bahagia yang sukar dilukiskan. Akan tetapi, begitu pikiran mengenang keadaan ayah, kekhawatiran timbul dan kenikmatan tak terasa lagi, kebahagiaan lenyap"

   Mendengar ini, Panembahan Sidik Danasura tertawa, suara ketawanya lepas, mukanya mengadah ke langit, sehingga suara ketawa itu mengalun ke bawah bukit, bergema sampai jauh

   "Ha-ha-ha-ha! Nah itu, engkau telah menemukan sendiri, merasakannya sendiri suatu kenyataan hidup. Nurseta, Menghadapi kenyataan apa yang ada dengan waspada, itulah seni tertinggi dari hidup ini. Kebahagiaan itu sudah ada dan berada dalam batin setiap

   orang, namun sayang, batin itu selalu dipenuhi dengan pikiran sehingga keruh dan kebahagian tak nampak lagi, yang terasa hanyalah khawatiran, kekecewaan dan duka"

   

   Akhirnya tibalah mereka di tempat tinggal atauu yang biasa disebut padepokan Panembahan Sidik Danasura, di tepi pantai Segara Kidul, dekat teluk Prigi Segara Wedi.

   Tempat yang lengang dan sunyi, seperti gurun pasir, namun tak jauh di tikungan pantai nampak pohon-pohon menghijau dan batu-batu karang dengan bentuk yang indah, ada pula dari jauh nampak seperti sebuah candi yang dipahat halus ukiran-ukirannya.

   Begitu tiba di luar padepokan, Panembahan Sidik Danasura mengerutkan alisnya dan cuping hidungnya kembang kempis. Juga Nurseta dapat mencium bau yang amat gurih dan sedap, bau ikan dipanggang. Asap itu datang dari belakang padepokan dan terdengar suara orang laki-laki tertawa dengan suaara yang parau.

   "Jagad Dewa Bathara......."

   Kakek itu berkata lirih "Benarkah dia yang datang berkunjung itu?"

   Pertanyaannya itu segera terjawab ketika mereka melihat dari samping padepokan. Di sana, di belakang padepokan itu, nampaklah seorang laki-laki sedang memangang seekor ikan sebesar betis. Ikan itu ditusuk dengan bambu dan di atas arang membara. Dia membolak-balik ikan yang sudah hampir matang itu sambil tertawa-tawa girang, sedangkan tak jauh di dekatnya, di bawah batang pohon sawo, seorang gadis sedang mengeduk nasi yang masih panas mengepul. Nurseta mengamati mereka dengan pandang mata tajam penuh selidik.

   Pria itu berusia paling banyak limapulu tahun, tubuhnya tinggi besar dengan tulan tulang menonjol besar. Pakaiannya serba hitam dengan baju terbuka bagian dadanya, meperlihatkan dada yang berbulu. Mukanya tidak nampak jelas karena tertutup brewok, hanya matanya yang lebar dan mata itu jelalatan namun mencorong. Adapun gadis yang sedang mengeduk nasi diatas hamparan tikar di bawah pohon sawo itu berusia kurang lebih lima belas tahun, belum dewasa benar namun kelihatan cekatan dan wajahnya manis dengan kulit bersih dan pakaiannya juga sederhana seperti seorang perawan dusun.

   "Ha-ha-ha, Sari, engkau tidak lupa kepadaku, bagus sekali! Tidak ada ruginya menolongmu dari perahu yang terbalik beberapa tahun yang lalu. Engkau mau menyambutku dan menanakkan nasi, ha-ha-ha bagus, bagus"

   Terdengar pria yang brewokan itu berkata sambil terkekeh senang.

   "Bagaimana mungkin aku dapat melupakanmu, paman?"

   Gadis itu menjawab.

   "Di dunia ini, hanya paman Jembros dan Eyang Panembahan saja dua orang yang paling baik terhadap diriku"

   Gadis itu menoleh dan melihat dua orang yang muncul dari depan pondok.

   "Ah, itu eyang telah pulang, paman"

   Katanya gembira, lalu bangkit hendak menyongsong kakek itu, akan tetapi ia menahan langkahnya ketika melihat Nurseta yang sama sekali tidak dikenalnya.

   Melihat kakek itu, pria yang sedang memanggang ikan tertawa gembira.

   "Ha-ha-ha, kebetulan sekali Paman Panembahan pulang. Mari kita nikmati ikan panggang ini, bersama nasi panas, wah, akan enak sekali. Jangan khawatir kurang, dapat kutangkap seekor lagi"

   Panembahan Sidik Danasura melangkah perlahan menghampiri orang itu, tersenyum ramah.

   "Selama lima tahun ini andika pergi kemana saja, kaki Jembros? Ternyata kesukaanmu makan enak belum juga mereda. Andika tahu bahwa aku masih tetap lebih suka makan sayur dan tidak makan makanan berjiwa"

   "Eyang, saya telah buatkan masakan sayur untuk Eyang"

   Kata gadis itu cepat "Tunggu sebentar saya ambilkan di dalam"

   Gadis itupun dengan cekatan memasuki padepokan untuk menghidangkan masakan, dan diaturlah periuk dan alat makan di atas tikar.

   Panembahan Sidik Danasura telah duduk bersila diatas tikar dan Nurseta juga dipersilahkan duduk.

   "Kaki Jembros, apakah kunjunganmu ini ada hubungannya dengan Wulansari?"

   Kakek itu bertanya, suaranya tetap halus dan ramah.

   Orang yang disebut Ki Jembros itu menurunkan ikan dari atas api karena sudah matang, dan diapun memandang kakek itu dengan mata yang lebar.

   "Ha-ha-ha, mari kita makan dulu, Paman. Setelah makan, baru kita bicara. Hai, pemuda tampan, Silahkan andika ikut pula makan bersama kami"

   Ajaknya kepada Nurseta.

   Diam-diam pemuda ini merasa suka pada pria yang brewokan itu. Walaupun pria itu sederhana dan kasar, namun sikapnya demikian terbuka dan ada sesuatu terpancar dari matanya yang jelalatan itu, yang menunjukkan bahwa orang kasar itu agaknya bukanlah orang sembarangan.

   KI JEMBROS makan dengan gembul sekali, sama sekali tidak merasa malu-malu. Gadis yang bernama Wulansari itu melayani mereka, dan karena belum diperkenalkan, maka antara ia dan Nurseta tak pernah terjadi tanya jawab, bahkan hampir tak pernah bertemu pandang. Panembahan Sidik Danasura makan dengan perlahan, tidak banyak dan tidak bicara, membiarkan tamunya yang makan sambil menceritakan dengan gembira, betapa ia tadi berhasil menangkap ikan sebesar betis dengan gerakan tangan.

   Dari pengamatan Nurseta yang juga makan dengan diam, mendengarkan saja, dia melihat betapa gadis manis itu memandang kepada kedua orang itu dengan sinar mata gembira dan mengandung kasih sayang, membuktikan kesungguhan ucapnya yang pernah didengarnya tadi bahwa gadis itu hanya mempunyai kedua orang itu saja di dunia ini.

   Setelah mereka selesai makan, minum air dingin segar dari kendi dan mencuci tangan, Panembahan Sidik Danasura mengajak mereka semua masuk ke dalam padepokan untuk bercakap-cakap. Pondok itu tidak terlalu besar hanya ada dua buah kamar, sebuah ruang duduk dan sebuah ruangan belakang yang dipergunakan sebagai dapur. Tidak ada kursi di situ dan merekapun duduk di hamparan tikar di atas lantai.

   Setelah mereka berempat duduk, Panembahan Sidik Danasura memperkenalkan Nurseta kepada Ki Jembros dan Wulansari.

   "Kaki Jembros dan engkau angger Wulansari, ketahuilah bahwa pemuda ini bernama Nurseta, ia ikut bersamaku untuk mempelajari ilmu karena ia baru saja terbebas dari ancaman para tokoh sesat."

   "Hahaha, sungguh Paman Panembahan masih memiliki semangat besar, setua ini masih saja mengambil seorang murid baru yang terbaik"

   Kata Ki Jembros memuji.

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kaki Jembros, Nurseta ini bukanlaah orang luar, bukan pula orang asing bagi kita. Ketahuilah bahwa dia putera Ki Baka"

   "Hahaha! Begitukah?"

   Ki Jembros kini berhenti tertawa dan menatap wajah Nurseta dengan matanya yang lebar dan jelalatan.

   "Orang muda, ayahmu adalah seorang jantan yang patut kami kagumi. Bagaimana keadaan kakang Baka? Apakah ia baik saja bukan?"

   "Terima kasih, paman,"

   Jawab Nurseta.

   "Sayang sekali bahwa saya tidak dapat memastikan apakah keadaan ayah saya baik-baik saja sekarang ini, karena ia telah tertawan oleh orang orang jahat."

   "Kurang ajar! Siapa berani menawan dia? apakah yang telah terjadi?"

   Dengan singkat Nurseta lalu menceritakan pengalamannya. Betapa sebulan vang lalu ayahnya menyuruh dia bertapa di Goa Kantong Bolong di pantai laut selatan dan betapa kemudian tiba-tiba muncul dua orang tokoh sesat yang mengatakan bahwa ayahnya terluka parah. Hampir saja ia tertawan oleh mereka kalau tidak muncul Sang Panembahan Sidik Danasura yang berhasil mengusir kedua orang tokoh jahat itu.

   "Ketika saya bersama Eyang Panembahan elihat keadaan di dusun Kelinting, ternyata menurut para penduduk. Dusun itu kedatangan banyak orang jahat yang membunuhi orang-orang dusun. Rumah ayah dihancurkan dan ayah sendiri tidak ada, juga tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala telah lenyap dari tempat di mana ayah menyimpannya."Demkian Nurseta menutup cerita.

   "Ah, akan terjadi apakah di jagad ini? Orang-orang menangkap Ki Baka, mencari Tejan Nirmala. Siapakah mereka itu, Paman Panembahan dan apa artinya semua ini?"

   Ki Jembros berseru dengan suaranya yang parau dan kasar, matanya terbelaiak dan ia kelihatan penasaran sekali.

   Panembahan Sidik Danasura tersenyum penuh ketenangan. Bagi kakek ini, tidak ada yang aneh karena segala sesuatu yang terjadi adalah suatu kenyataan, suatu kewajaran yang bukan terjadi tanpa sebab.

   "Ketahuilah, kaki. Dua orang yang hendak menangkap Nurseta karena dia dianggap tahu di mana disimpannya Tejanirmala itu adalah Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri."

   "Hemmmm !"

   Ki Jembros mengepal tinjunya yang bertulang besar.

   "Datuk hitam dari Kediri si laki-Iaki cabul itu bekerja sama dengan siluman betina dari Barat itu? Sungguh seperti tumbu dengan tutupnya! Dan siapa pula penjahat-penjahat yang membunuh penduduk dusun Kelinting dan yang merusak rumah kang Baka itu, Paman Panembahan"

   "Tidak ada penduduk yang mengenal mereka, akan tetapi mudah diduga bahwa mereka adalah tokoh-tokoh sesat yang tentu mempunyai dua maksud saja, yaitu pertama membalas dendam kepada kaki Baka karena dia tidak nembantu mendiang Ki Baya yang dibasmi oleh Kerajaan Singosari, dan ke dua, agaknya karena hendak merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.

   "Hmmm, kukira masih ada hal lain lagi paman! Kalau sampai orang-orang seperti Gagak Wulung dari Kediri dan Dedeh Sawitri dari Pasundan ikut terjun ke dalam keramaian ini, maka hal itu berarti bahwa sebagian besar tikus keluar dari lubang persembunyian mereka untuk berpesta pora karena kucing-kucing bertugas di luar dan keadaan di dalam rumah kosong dan aman. Aku lebih mengkhawatirkan datangnya gangguan keamanan dan pemberontakan baru, paman!"

   Kakek itu menarik napas panjang.

   "Semoga manusia menyadari kekeliruannya. Perebutan kekuasaan, gila kekuasaan, dengki dan iri, benci dan permusuhan. Sudahlah, kaki Jembros, semoga la tetap tabah dan selalu ingat akan keagungan Hyang Widhi Wasesa dan waspada pada derap langkah kita sendiri masing-masing. Sekarang katakanlah, apa keinginanmu berkunjung kali ini?"

   Ki Jembros kini sudah kembali kepada sikapnya semula. Keseriusan meninggalkan wajahnya yang penuh brewok dan diapun sudah tertawa-tawa lagi.

   "Ha-ha ha, tentu paman tidak lupa bahwa sudah lima tahun lamanya menitipkan Wulansari di sini. Sekarang aku datang untuk membawanya pergi. Tentu sudah cukup bekal yang paman berikan kepadanya. karena aku yang menemukannya dan menjadi pengganti orang tuanya, maka sudah sepatutnya kalau ia sekarang ikut bersamaku. Bukankah begitu, Wulansari?"

   Gadis itu menunduk, lalu mengangkat mukanya memandang kepada Panembahan Sidik Danasura.

   "Eyang sendiri yang mengajarkan bahwa seorang manusia haruslah selalu memegang teguh janjinya. Lima tahun yang lalu paman Jembros menitipkan saya kepada Eyang Panembahan dan kalau hari ini dia mengambil saya dari Eyang, hal itu sudahlah tepat dengan perjanjiannya. Sebetulnya, hati saya tidak tega meninggalkan Eyang yang sudah tua, karena Eyang membutuhkan seseorang untuk melayani keperluan Eyang sehari-hari. Akan tetapi mendengar bahwa ki sanak ini sekarang menjadi murid Eyang, maka hati sayapun merasa lega dan tidak khauatir kalau harus meninggalkan Eyang."

   Panembahan Sidik Danasura mengangguk-angguk. Teringatlah dia akan peristiwa yang terjadi lima tahun yang lalu. Ketika itu, dia tengah duduk bersamadhi, tiba-tiba muncul Ki Jembros yang memondong tubuh seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun. Anak itu berada dalam keadaan pingsan dan hampir mati karena lemas, seluruh tubuh dan pakaiannya basah kuyup.

   "Paman Panembahan, tolonglah anak ini. Aku tidak sanggup menyelamatkannya, tidak tahu bagaimana caranya. Sebuah perahu terbalik dan semua penumpangnya hanyut, hanya anak ini yang dapat kuselamatkan, akan tetapi iapun nyaris tewas, paman,"

   Kata Ki Jembros yang dikenalnya sebagai seorang pendekar petualang yang berwatak kasar namun memiliki kedigdayaan, sakti mandraguna dan berbudi baik.

   Dengan pengetahuan dan pengalaman menolong orang yang baru saja hanyut hampir tenggelam, Panembahan Sidik Danasura berhasii mengeluarkan air laut dari dalam perut anak itu dan menyembuhkannya.

   Anak perempuan itu bernama Wulansari, dan hanya itulah yang diingatnya. Ia tidak ingat lagi apa yang telah terjadi dengan dirinya, dari mana ia datang dan mengapa ia hanyut di laut dengan perahu yang terbalik. Agaknya, kepanikan ketika hanyut itu melenyapkan sebagian ingatannya.

   Ki Jembros lalu menitipkan Wulansari pada Panembahan Sidik Danasura dan berjanji bahwa dalam waktu lima tahun, dia akan datang menjemput Wulansari yang sudah dia anggap sebagai anak angkatnya. Dan pada hari itu, diapun muncul dan ternjata Wulansari yang kehilangan sebagian ingatan masa lalunya ternyata memiliki ingatan yang tajam dan masih mengenal Ki Jembros, penolongnya itu.

   Mendengar kata - kata Wulansari, Panembahan Sidik Danasura mengangguk - angguk. Memang seyogianya demikianlah, Sari. Kak Jembros adalah orang yang menyelamatkanmu dari cengkeraman maut di lautan, dan ia berhak menjadi pengganti keluarga dan orang tuamu. Ikutlah dengan dia dan pelajarilah baik-baik semua ilmu yang diajarkannya kepadamu. Ia seorang pendekar yang gagah perkasa dan pantas menjadi guru dan pengganti orang tuamu. Akan tetapi, kaki Jembros. jangan berangkat pergi sekarang. Tinggallah di sini malam ini dan besok pagi barulah, engkau pergi bersama Wulansari."

   Selama lima tahun, kakek itu mendidiki Wulansari, bahkan mengajarkan pula beberapa macam ilmu bela diri kepada gadis itu yang menganggap kakek itu seperti kakeknya sendiri dan melayani kakek itu dengan penuh kasih sayang. Oleh karena itu, terjadilah hubungan batin yang cukup akrab di antara mereka dan perpisahan yang tiba tiba tentu saja mendatangkan rasa kehilangan.

   Pada senja hari itu, ketika Panemba Sidik Danaasura bercakap-cakap dengan Ki Jembros di dalam padepokan, Nurseta mendapatkan kesempatan untuk berkenalan dengan Wulansari. Sesungguhnya, bukan pemuda itu yang mendahului, karena Nurseta yang seamanya belum pernah bergaul dengan wanita, tidak berani mendahului bicara. Ketika itu, sedang duduk di pantai laut, menikmati keindahan senja di tepi pantai mengagumi air laut kidul yang tak pernah berhenti bergelora itu. Tiba-tiba gadis itu datang menghampirinya. Melihat Wulansari datang menghampirin Nurseta cepat bangkit berdiri dan mereka berdiri berhadapan, saling pandang di dalam keremangan cuaca senja.

   "Ki sanak, namamu siapa tadi?"

   Tanya gadis itu, dengan sikap dan suara yang wajar halus, tidak malu-malu.

   "Namaku Nurseta, dan aku masih ingat mamu. Wulansari, bukan?"

   "Benar, dan karena aku menjadi murid Eyang Panembahan. juga engkau kini menjadi muridnya, berarti kita ini masih saudara seperguruan. Engkau tentu lebih tua dari pada aku kakang Nurseta."

   "Tentu saja. Usiamu tidak akan lebih dari limabeias tahun, dan aku Sudan enambelas tahun lebih. Adikku Wulansari, agaknya ada sesuatu yang hendak kaukatakan kepadaku, engkau datang menemuiku di sini. Katakanlah, apa yang dapat aku lakukan untuk membantumu?"

   'Terima kasih, engkau baik sekali, kakang Nurseta. Memang sesungguhnya hatiku agak terasa berat, karena besok aku akan meninggalkan Eyang Panembahan. Beliau sudah tua dan hanya akulah yang melayani segala keperluannya, memasak, mencuci dan sebagainya. kalau aku pergi, dan hal ini tak dapat dirubah karena memang sudah semestinya demikian, aku harus ikut dengan Paman Jembros. Apakah engkau........ dapat menggantikan aku dan memperhatikan keperluan Eyang Panembahan? Kasihan, beliau sudah tua, kakang......."

   "Tentu saja Wulansari, tentu saja. Sebagai saorang muridnya, sudah menjadi kewajibanku untuk mengurus segala keperluannya. jangan kau khawatir."

   Wajah yang manis itu kini tersenyum dan matanya yang bening itu berseri.

   "Aku tahu, kau seorang yang baik. Jangan lupa, Eyang Panembahan tidak makan daging, hanya buah dan sayuran. Minumnya hanya air atau degan ( kelapa muda )"

   Narseta mengangguk-angguk, dengan penuh perhatian, lalu keduanya berdiam lagi sampai beberapa lamanya. Nurseta memandang ke arah laut. Cuaca tidak begitu terang lagi, namun suara alunan menderu semakin kuat tanda bahwa air mulai pasang bersama datangnya malam.

   "Alangkah hebatnya Iautan......"

   Kata Nurseta seperti kepada diri sendiri.

   "Ya, hebat dan indah sekali, kakang Nurseta. Akan tetapi kalau setiap hari dari pagi sampai sore selalu melihatnya, menimbul keinginan dalam hati untuk melihat yang lain lagi, seperti pegunungan, dusun dan kota raja. Aku ingin merantau seperti ombak samudera itu, dan ini pula yang mendorong hatiku mendatangkan kegembiraan bahwa aku akan ikut pergi bersama Paman Jembros."

   Ucapan ini mengingatkan Nurseta bahwa baru saja tadi dia berjumpa dan berkenalan dengan gadis yang manis ini, besok pagi mereka sudah harus akan saling berpisah Dia ingin mengetahui lebih banyak tentang diri gadis ini, ingin mengenalnya lebih dekat dengan gadis ini amat menarik hatinya, bukan hanya oleh bentuk tubuh dan keayuan wajahnya, juga oleh kepribadiannya, sikap dan gerak-serta suaranya.

   "Adik Wulansari, apakah engkau akan menganggap aku lancang.mulut kalau aku bertanya padamu, sesungguhnya apakah hubunganmu dengan Eyang Panembahan dan dengan Paman Jembros itu? Tentu saja kecuali sebagai murid.

   Gadis itu menggeleng kepalanya.

   "Hanya menjadi murid. Mereka itu adalah dua orang di dunia ini yang aku kenal, yang baik kepadaku, bahkan mereka berdualah yang dulu telah menolongku."

   "Dan orang tuamu? Keluargamu...........?"

   Sementara itu matahari sudah bergantung rendah di barat, hampir menyentuh permukaan laut dan mereka hanya dapat saling melihat bayangan masing-masing, angin laut bertiup keras bersama pasangnya air.

   Wulansari menggeleng kepalanya.

   "Tidak la keluarga, tidak ada orang tua. Lima tahun yang lalu, ketika aku berusia sepuluh tahun, demikian menurut keterangan Eyang Panembahan, aku dan banyak orang, mungkin diantaranya ada orang tuaku, mengalami kecelakaan. Perahu yang kami tumpangi terbalik dan hanya aku seorang yang dapat diselamatkan oleh Paman Jembros. Aku lalu dititipkan oleh paman Jembros kepada Eyang Panembahan,dengan janji lima tahun kemudian dia akan datang mengambilku. Dan sekarang saatnya sudah tiba, aku harus ikut bersama Paman Jembros"

   "Tapi....... tentu engkau tahu siapa nama orang tuamu dan dari mana engkau datang........"

   Wulansari tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Eyang Panembahan pun gagal menambahkan ingatanku tentang masa lalu itu. Aku lupa sama sekali, kakang Nurseta. Kata Eyang Panembahan, kepalaku terbentur karang ketika aku hanyut dan hal itu yang menyebabkan aku lupa segala masa laluku. Akan tetapi tidak mengapa, bukankah semua isi perahu itu hanyut dan tidak tertolong lagi? Mengetahui siapa keluarga berarti mengetahui pula bahwa mereka semua tewas. Sudahlah, dan engkau sendiri, kakang Nurseta? Menurut cerita tadi, ayahmu yang bernama Ki Baka telah ditawan orang-orang jahat, juga tombak pusaka itu dirampas orang jahat. Apakah engkau akan membiarkan saja hal itu terjadi? Mengapa tidak kau cari ayahmu itu?"

   Nurseta tersenyum pula kini, senyum yang mengandung kepahitan.

   "Mereka adalah orang-orang yang memiliki kesaktian, bahkan ayahku sampai dapat tertawan membuktikan bet saktinya mereka. Dengan ilmuku yang tidak seberapa ini, apa dayaku? Aku harus mempelajari ilmu yang lebih tinggi dari Eyang Panembahan, barulah kelak aku akan mencari ayah dan tombak pusaka itu. Aku percaya akan bijaksanaan Eyang Panembahan yang mengatakan bahwa kelak akan tiba saatnya aku bertemu kembali dengan ayahku."

   "Aahh, Eyang Panembahan juga mengatakan padaku bahwa kalau memang Hyang Maha Widhi menghendaki, ada saja kemungkinan aku kelak juga bertemu dengan orang tuaku, kalau mereka masih dilindungi dan masih hidup. Eyang Panembahan selalu bicara secara samar-samar saja tentang masa depan, tidak pernah mau menjelaskannya, kakang."

   "Beliau memang benar, Wulansari. Masa depan yang belum terjadi adalah rahasia Yang Maha Kuasa, pantang bagi manusia untuk menguak dan menjenguknya."

   Dua orang muda itu masih bercakap-cakap, tidak tahu bahwa di dalam keremangan senja, muncul sesosok bayangan yang seolah-olah hantu lautan saja, karena bayangan ini benar-benar muncul dari lautan. Bagaikan seekor burung camar laut yang pandai berenang di permukaan air laut saja, layaknya dia datang bersama ombak dari tengah laut. Akan tetapi sesungguhnya, dia mengambang di permukaan air bukan seperti burung camar laut melajnkan dengan menginjak dua buah potongan kayu yang meluncur cepat di atas ombak. Jubahnya yang lebar itu dibentangkan dengan kedua tangan menjadi layar dan kedua tongkat kayu yang diinjaknya itu meluncur dengan amat cepatnya menuju pantai! Setelah tiba di pantai, dengan ringannya dia meloncat neninggalkan dua potong kayu itu dan menghampiri Nurseta dan Wulansari yang sama sekali tidak melihat munculnya orang aneh itu.

   Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati kedua orang muda itu ketika tiba-tiba saja ada suara orang terkekeh di dekat mereka. Mereka cepat membalikkan tubuh dan hampir saja Wulansari menjerit. Seorang kakek sudah berdiri di dekat mereka, dan biarpun cuaca sudah remang-remang, namun

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   pantulan sinar matahari senja di permukaan air masih mendatangkan cukup cahaya untuk dapat melihat wajah orang demikian menakutkan. Kakek itu usianya sukar ditaksir, tentu hampir tujuhpuluh tahun jubahnya yang lebar berwarna kuning dan dibalik jubah itu dia mengenakan pakaian yang seperti sisik ikan. Yang membuat Wulansari hampir menjerit tadi adalah ketika ia melihat wajah kakek itu. Wajahnya itu berkulit biru kehitaman, dengan sepasang mata yang mencorong seperti mata harimau di dalam kegelapan, mukanya agak memanjang ke depan dengan mulut yang mengarah bentuk meruncing. Aneh dan lucu dan menakutkan.

   "Heh-heh-heh, nini, apakah namamu Wulansari?"

   Tiba-tiba saja terdengar suara kakek itu. Nurseta dan Wulansari adalah dua orang muda yang sejak kecil sudah menerima gemblengan orang pandai dan mereka bukan orang muda biasa, mereka memiliki kedigdayaan dan keberanian, namun pada saat itu mereka merasa gentar sekali, karena ada wibawa yang luar biasa keluar dari kakek ini. Juga mereka merasa bahwa kehadiran orang tua ini mendatangkan suatu perasaan tidak enak seperti ada tanda bahwa dia datang membawa hal yang tidak baik, namun anehnya, pertanyaan yang langsung itu tidak mungkin dapat mereka sangkal. Seperti didorong dan dipaksa saja, Wulansari mengangguk dan menjawab dengan suara yang agak gemetar.

   "Benar, saya bernama Wulansari"

   ''Heh-heh-heh, bagus sekali. Memang sudah aku duga ketika selama beberapa hari ini aku melakukan pengintaian. Wulansari, cucuku yang baik, marilah engkau ikut bersamaku. Akulah eyangmu, sayang"

   Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya ke depan untuk memegang lengan gadis itu. Tentu saja Wulansari terkejut dan tidak mau percaya begitu saja. Ia cepat menarik tangannya untuk mengelak, akan tetapi ungguh aneh sekali, tiba-tiba saja ia tidak mampu menggerakkan lengan itu, seolah-olah ada kuatan lain yang menahannya dan tak dapat dicegah lagi, lengan kirinya sudah tertangkap oleh tangan kakek itu yang jarinya panjang-panjang dan terasa dingin sekali.

   "Iihh, lepaskan tanganku!"

   Wulansari berseru dan kini ia membalikkan tubuhnya ke kiri, tangan kanannya menampar untuk memukul pundak kanan lawan agar pegangannya itu terlepas. Tentu saja gadis ini mengerahkan tenaga sakti, karena ia dapat menduga bahwa ia berhadap dengan seorang yang pandai.

   Tangan kanan gadis itu menyambar dahsyat dengan angin pukulan yang cukup kuat ke arah pundak kakek bermuka biru itu.

   "Heh-Heh heh, agaknya tua bangka Sidik Danasura telah mengajarmu dengan cukup baik heh-heh!"

   Kata kakek itu tanpa mengelak ataupun menangkis, sehingga tamparan Wulansari itu tepat mengenai pundaknya.

   "Ihhhh.....!"

   Walansiri mengeluarkan jeritan tertahan karena ketika telapak tangannya yang terisi hawa sakti itu mengenai jubah di pundak, tamparannya melesat seperti mengend sisik ikan yang licin, dan telapak tangannya terasa panas dan nyeri.

   Melihat ini, tentu saja Nurseta menjadi marah dan tidak mau membiarkan saja kakek itu menangkap Wulansari.

   "Orang tua, tidak baik mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita. Harap engkau suka melepaskannya!"

   Katanya sambl melangkah maju menghampiri, siap untuk menyerang dan membela Wulansari.

   Kakek itu memandang kepada Nurseta.

   "Hemm, orang muda. Engkau baru tadi datang. tidak perlu mencampuri urusan yang tidak ada sangkut pautnya denganmu"

   "Semua urusan yang melanggar kebenaran merupakan urusanku! Lepaskan Wulansari atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan untuk membebaskannya dari tanganmu!"

   "Hah-hah, engkau bocah cilik! Masih berbau berambang di pupukmu, masih ingusan hidungmu, sudah berani mengeluarkan kata-kata kasar. Cobalah, aku hendak melihat apa yang dapat kaulakukan terhadap aku, heh heh!"

   Karena melihat Wulansari masih dipegang pergelangan tangan kirinva oleh kakek itu dan tidak mampu bergerak, Nurseta lalu menerjang ke depan dan menggunakan aji pukulan Brajadenta memukul ke arah dada kakek itu, dengan maksud agar kakek itu melepaskan tangan Wulansari untuk menghadapi serangannya cukup dahsyat.

   Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia melihat betapa kakek itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, ia hanya memandang sambil terkekeh saja, seolah-olah menerima hantamannya itu begitu saja.

   Di dasar batin Nurseta tidak pernah ada kebencian, maka tentu saja sukar baginya untuk membiarkan pukulannya mengenai tubuh orang tanpa melawan. Otomatis dia mengurangi tenaganya agar jangan sampai membahayakan orang yang dipukulnya, hanya cukup untuk membuatnya melepaskan pegangan tangan Wulansari saja.

   "Desss!"

   Pukulan itu tepat mengenai dan akibatnya, tubuh Nurseta terpelanting pemuda ini roboh pingsan! Untunglah bahwa dia tadi mengurangi tenaganya dalam pukulan Aji Bajradenta, karena kalau tidak, dia mungkin dia akan menderita luka yang lebih parah membahayakan nyawanya, bukan sekedar pingsan seperti itu !

   Melihat ini, Wulansari terbelalak dan menjerit.

   "Kau........! Kau membunuh dia...."

   Jeritan ini mendatangkan akibat, yaitu munculnya Ki Jembros dan Panembahan Sidik Danasura. Ki Jembros datang dengan lompatan-lompatan jauh dan dia kelihatan marah sewaktu melihat seorang kakek berjubah lebar sedang memegangi pergelangan tangan kiri Wulansari, dan melihat Nurseta rebah tak bergerak atas pasir. Akan tetapi, Panembahan Danasura melangkah biasa saja dengan sikap tetap tenang walaupun alis matanya yang sudah berwarna putih sehingga hampir nampak lagi ada hitamnya itu agak berkertu.

   "Babo-babo, iblis tua bangka keparat! Tidak tahu malu mengganggu orang-orang muda"

   Ki Jembros membentak marah.

   "Hayo lepaskan nini Wulansari!"

   Akan tetapi kakek yang berjubah kuning terkekeh.

   "Heh-heh-heh, ada kerbau hitam mengamuk, heh-heh!"

   ki Jembros adalah seorang yang gagah perkasa. walaupun wataknya keras, jujur, gembira tetapi juga galak dan ugal-ugalan. Di lubuk batinnya, dia adalah seorang yang selalu menentang kejahatan, bahkan dia seorang berjiwa patriot dan setia terhadap negara membela bangsa dan rakyat jelata yang tertidndas. Dia paling benci melihat orang yang mempergunakan kekuasaan atau kepentingan untuk menekan, menindas dan menyengsarakan orang lain yang lemah tidak berdaya. Oleh karena itu, melihat sikap kakek aneh memperlihatkan sikap menantang setelah merobohkan Nurseta dan menawan Wulansari, maka si brewokan itu menjadi merah dan matanya yang lebar seperti mengeluarkan api. Akan tetap, dia belum mengenai siapa kakek itu, maka diapun meragu.

   "Tua bangka sombong! Kalau memang kau memiliki keberanian, lepaskan anak itu dan kita bertanding sebagai laki-laki sejati"

   Tantangnya. Dia khawatir kalau menyerang pada saat Wulansari masih dipegang orang itu, takut kalau sampai gadis itu terkena pukulan yang menyeleweng.

   "Heh-heh-heh, ia ini cucuku yang akan aku bawa pergi, mengapa dilepaskan"

   Tiba-tiba kakek itu meraba tengkuk Wulansari yang ketika mengeluh dan menjadi lemas terkulai. lalu oleh kakek itu, tubuh Wulansari dipanggul di atas pundak kiri dan dirangkul dengan lengan kiri.

   Melihat ini, tentu saja Ki Jembros sangat terkejut dan marah.

   "Iblis tua, apa yang kau lakukan itu?"

   Dan Ki Jembros pun sudah menerjang ke depan, menggunakan tangan kanan yang terbuka untuk menyerang ke arah dada kanan orang itu dengan pukulan sakti Aji Hasti bairowo! (Tangan Dahsyat) mengandung kekuatan yang bukan main hebatnya, apa lagi dilakukan oieh Ki Jembros yang telah melatihnya sampai tingkat yang tinggi sekali. Batu karangpun akan remuk terkena pukulan telapak tangannya itu, apa lagi hanya kulit daging dan tulang manusia !

   Kakek itu menggunakan tangan kanan pula untuk menyambut pukulan Aji Hasta Bairowo itu, dengan telapak tangan kanannya juga dibuka. Melihat ini, Ki Jembros menamb tenaganya dan bertemulah kedua tela tangan itu di udara.

   "Desss........!"

   Ki Jembros terkejut bukan main karena dia merasa betapa ada hawa yang dingin sekali menyusup masuk melalui telapak tangannya, dan hawa dingin itu menolak kembali kekuatan dari dalam tubuhnya, membuat dia terhuyung ke belakang namun, cepat dia menggulingkan tubuhnya dan dengan Aji Trenggiling Wesi, yaitu suatu aji kekebalan yang dimilikinya, dia dapat memulihkan tenaganya dan meloncat kembali. Dia marah dan penasaran. Kiranya kakek itu, sambil memanggul tubuh Wulansari, mampu membuat dia terhuyung ke belakang! Tahulah dia bahwa lawan ini ternyata seorang yang sakti mandraguna. Akan tetapi, dia tentu saja tidak membiarkan Wulansari dibawa pergi begitu saja. Maka, diapun kini maju lagi menyerang lebih dahsyat lagi untuk memaksa kakek itu melepaskan Wulansari.

   Serangannya bertubi-tubi dengan kedua tangan dibuka dan dia menyerangg di bagian tubuh yang lemah, tentu saja ia berhati-hati agar serangannya jangan sampai mengenai tubuh Wulansari yang agaknya pingsan berada di atas pundak kiri kakek itu. Namun, kakek berjubah kuning itu memang hebat. Sambil terkekeh dia menghadapi semua serangan Ki Jembros dengan tangan kanannya saja, dan kalau Ki Jembros mendesak, dia sengaja memutar tubuh dan membiarkan tubuh Wulansari sebagai perisai. Tentu a hal ini mengejutkan Ki Jembros dan menahan serangannya bahkan kini kakek itu balas dengan dorongan-dorongan tangan kanannya yang mendatangkan angin lesus yang dapat berputar dan berhawa dingin sekali. Ki Jembros beberapa kali sampai terhuyung belakang.

   "Kaki Jembros, mundurlah, Andika tidak akan menang menghadapi orang ini!"

   Tiba-tiba terdengar seruan halus dan Ki Jembros cepat meloncat mundur karena yang menegur itu adalah Sang Panembahan Sidik Danasura sendiri.

   Kini, dua orang kakek yang sama tua itu saling berhadapan, saling pandang. Sepasang mata kakek yang memanggul tubuh Wulansari itu mencorong seperti mata ha mau, kehijauan, sedangkan sepasang mata Panembahan Sidik Danasura memandang ngan lembut. Sepasang mata yang mencorong itu akhirnya agak ditundukkan, seolah-olah merasa risau atau sungkan beradu pandang dengan sepasang mata yang lembut penuh welas asih itu, bahkan kini kakek berjubah kuning itu berkata seperti orang yang membela diri.

   "Andika tentulah Panembahan Sidik Danasura, dan kiranya sudah maklum bahwa aku datang untuk mengambil apa yang menjadi hak kami"

   "Semoga Sang Nurcahya memberi penerangan kepeda batin kita semua. Ki sanak, apa yang menjadi bukti bahwa Wulansari adalah milik andika sehingga andika berhak untuk mengambilnya?"

   Suara pendeta tua itu tetap tenang dan sabar dan agaknya sikap inilah yang membuat kakek berjubah kuning itu seperti orang yang gelisah dan tidak betah lebih lama tinggai di situ.

   "Panembahan Sidik Danasura ! Andika tentu telah maklum siapa aku. Aku datang jauh Blambangan dan Wulansari juga anak Blambangan. Itu saja sudah membuktikan bahwa aku lebih berhak membawanya dari pada Andika. Nah, aku mau pergi sekarang"

   "Nanti dulu, Ki sanak !"

   Kata Sang Panembahan dengan halus. Akan tetapi suara halus itu seolah mengandung tenaga mujijat yang menahan langkah kakek berjubah kuning yang sudah hendak pergi membawa tubuh Wulansari diatas pundaknya. Dia membalik dan menghadapi pendeta itu dan kini kembali sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong penuh kemarahan.

   "Mau apa lagi? Aku mau pergi membawa cucuku ini !"

   Bentaknya marah.

   "Bagaimana kalau kuperingatkan engkau bahwa memaksakan kehendakmu terhadap seseorang hanya kelak akan mendatangkan bencana kepada dirimu sendiri? Kalau Wulansari memang mau ikut bersamamu, percayalah, aku akan memberi doa restuku. Akan tetapi, kalau secara paksaan begini, sungguh tidak sewajarnya dan tidak baik."

   "Masa bodoh! Aku tidak membutuhkan peringatan dan nasihatmu!"

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dan kalau aku berkeberatan?"

   Tanya Panembahan Sidik Danasura.

   "Keberatan? Terimalah ini!"

   Bentak kakek berjubah kuning itu dan tiba-tiba saja dia sudah menerjang ke depan, tangan kanan yang dibuka itu memukul ke arah dada Panembahan yang tinggi kurus dan agak bongkok itu.

   Akan tetapi, Panembahan Sidik Danasura menyambut pukulan itu dengan tangan kiri mendorong lirih saja sambil mulutnya berbunyi "Saddhu........ saddhu....... saddhu.......!"

   "Plakkk!"

   Dua telapak tangan tua itu saling bertemu dan akibatnya tubuh kakek berjubah kuning itu terdorong ke belakang lima langkah, mukanya yang kebiruan itu jadi pucat, matanya terbelalak dan tanpa banyak cakap lagi, diapun membalikkan tubuh, lalu lari ke arah lautan!

   "Hei, jangan larikan Wulansari!"

   Ki Jembros meloncat dan mengejar, akan tetapi kakek berjubah kuning itu sudah meloncat nyambut air berombak besar dan tubuhnya bersama tubuh Wulansari digulung ombak!

   Tentu saja Ki Jembros terkejut dan tidak berani menerjang ombak, dia berdiri memadang dengan mata terbelalak, kemudian menjadi panik karena tidak lagi nampak bayangan kakek berjubah kuning maupun Wulansari.

   "Wah....... wah....... celaka........! Paman Panembahan, mereka tentu tewas tenggelam teriaknya kepada Panembahan Sidik Danasu. Kakek ini menarik nafas panjang dan mengelengkan kepalanya.

   "Tidak, kaki Jembros Dia sudah pergi, membawa Wulansari, tentu dengan menyelam karena dia amat pandai ilmu di dalam air."

   "Tapi........tapi........ kenapa paman tidak mencegahnya.......?"

   Kembali Panembahan Sidik Danasura narik napas panjang.

   "Akupun tidak akan mampu mencegahnya. Di darat mungkin aku dapat menandinginya, akan tetapi di dalam air?"

   Kakek itu lalu menghampiri Nurseta yang masih menggeletak tak sadarkan diri di pasir, berlutut lalu memeriksa keadaan pemuda itu. Hatinya lega karena Nurseta tidak terluka parah, hanya terguncang oleh tenaga pukulannya sendiri dan pingsan saja. Setelah kakek itu mengurut dadanya bebera kali, Nurseta mengeluh dan membuka mata, lalu pemuda itupun cepat bangkit berdiri karena diapun teringat akan segala yang tadi terjadi.

   Dia memandang ke kanan kiri, namun ia hanya melihat Panembahan Sidik Danasura dan Ki Jembros, sedangkan Wulansari dan kakek berjubah kuning itu tidak nampak lagi berada di situ.

   "Di mana kakek itu? Di mana Wulansari?"

   Tanyanya sambil memandang kepada Panembahan Sidik Danasura.

   

Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini