Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 5


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



Selagi wanita itu terdesak hebat tiba-tiba terdengar suara yang parau, lantang dan kasar. Sungguh tidak tahu malu. Para jagoan dan Senopati Kediri mengeroyok seorang perempuan. Huh, menyebalkan sekali"

   Gagak Wulung, Bango Dolog, dan Ki Prutung cepat meloncat ke belakang dan memandang, Mereka melihat seorang laki-laki yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, berpakaian serba hitam dengan dada terbuka sehingga nampak dadanya yang bidang dan kuat juga berbulu, mukanya penuh brewok, matanya lebar jelalatan dan mengeluarkan sinar mencorong. Perutnya agak gendut, akan tetapi tulang-tulang besar menonjol di pundak lengannya. Terkejutlah para jagoan Kediri ketika mengenai orang ini.

   Sementara itu, Ni Dedeh Sawitri yang melihat kesempatan baik, sudah melompat menghilang di balik pohon-pohon lebat. Ia tahu bahwa keadaannya amat berbahaya jika lebih lama tinggal di tempat itu. Ia tidak mengenal siapa orang brewok yang menegur jagoan Kediri itu, akan tetapi mendengar nada suaranya, agaknya orang itupun kenal baik kepada mereka, sehingga belum tentu kalau kedatangannya merupakan bintang penolongnya. Kini, ia telah dimusuhi Gagak Wulung dan para senopati Kediri, tentu saja ia merasa tidak aman dan sebaiknyalah kalau ia cepat-cepat meninggalkan mereka.

   "Ah, kiranya Ki Jembros yang datang"

   Berkata Gagak Wulung sambil memandang dengan sikap hormat, Bagaimanapun juga, senopati Kediri ini menaruh hormat ke Ki Jembros karena mereka tahu bahwa Ki Jembros adalah seorang pendekar dan tokoh di Singosari yang jujur dan terbuka, akan tetapi juga gagah perkasa, seorang patriot walaupun Ki Jembros tidak pernah mengikat diri dengan suatu jabatan atau kedudukan tertentu. Dia seorang yang suka berkelana dengan bebas, tidak mau terikat, akan tetapi selalu siap untuk membantu negara dan bangsa setiap kali terdapat ancaman keselamatan negara dan bangsa. Karena sikapnya inilah, maka Ki Jembros dihormati dan disegani oleh semua orang, termasuk para tokoh Kediri. Orang semacam Ki Jembros sama sekali tidak boleh dibuat main-main, dan orang inipun sakti mandraguna.

   Melelihat Gagak Wulung, Ki Jembros berdehem dan alisnya berkerut. Dia tahu pria macam apa adanya tokoh Kediri yang satu ini, dan kini diapun merasa heran mengapa para senopati Kediri berada di dalam hutan Cempiring ini. Pada hal, dia sedang melakukan penyelidikan ketika mendengar berita betapa banyak tokoh sesat memasuki hutan yang amat angker itu.

   Semenjak berpisah dari Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi Segoro Wedi dan mendapat nasihat kakek yang sakti dan suci itu, Ki Jembros tidak pernah berusaha untuk Mencari Wulansan. Dia kembali ke daerah Singosari dan hidup seperti dahulu, menjadi perantau yang hidup tak tentu tempat tinggalnya, ke manapun dia pergi, dia selalu siap untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan sebagai seorang ksatria utama.

   Dan dia membenarkan wawasan Panembn Sidik Danasura bahwa semenjak terjadi perubahan di dalam susunan pamongpraja Kerajaan Singosari, dan semenjak pasukan besar diberangkatkan menuju ke Pamelayu, banyak terjadi kejahatan yang dilakukan oleh tokoh sesat yang seolah-olah mempergunakan kesempatan itu untuk berpesta pora, Oleh karena itu, dengan segenap kemampuannya, iapun selalu menentang perbuatan jahat dan menentang siapa saja yang berani berbuat jahat di depan hidungnya.

   Sampai pada hari itu dia mendengar bahwa banyak tokoh sesat kelihatan berkeliaran di sekifar hutan Cempiring yang terkena angker. Dia hanya iseng-iseng pergi ke hutan itu, memasuki hutan, dan melihat seorang wanita dikeroyok oleh jagoan-jagoan Kediri. Walaupun dia tidak mengenal wanita itu, tetapi dari sikap wanita itu, apa lagi dari ajiannya yang ganas itu dia tidak yakin bahwa wanita itu seorang yang baik-baik, namun jiwa ksatrianya bangkit melihat betapa seorang wanita dikeroyok tiga, apalagi para pengeroyoknya adalah jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Maka diapun lalu maju menegur dan memberi kesempatan kepada wanita itu untuk nyelamatkan diri.

   "Hemmm, aku melihat Gagak Wulung, Bango Dolog, Ki Prutung, hemmm........ ada apakah kiranya para senopati Kediri berkumpul di dalam hutan Cempiring ini? Pada hal menurut pendengaranku, tempat ini dipenuhi tokoh sesat yang berkeliaran. Sejak kapankah para senopati Kediri bergaul dengan para tokoh sesat?"

   Ucapan Ki Jembros yang terus terang ini, diam-diam mengejutkan mereka, apa lagi pada saat itu bermunculan Pencok Sahang, Liking Kangkung dan Ki Kampinis yang tadi nendengar bahwa para rekannya berkelahi melawan Ni Dedeh Sawitri.

   "Wah-wah, kiranya bahkan lebih lengkap dan banyak lagi. Hanya Ki Patih dan Panglima Kebo Mundrang saja yang masih belum tampak. Kalau mereka ada, maka lengkaplah sudah para senopati Kediri berada di sini. Ada apakah ini?"

   Tentu saja Gagak Wulung merasa khawatir sekali. Kalau sampai orang ini tahu bahwa mereka sebagai tokoh-tokoh Kerajaan Kediri mengadakan persekutuan dengan Mahesa Rangkah yang hendak memberontak, hal itu dapat membahayakan Kediri karena tentu Singosari tidak akan tinggai diam saja.

   "Sesungguhnya, Ki Jembros, kami tidak nempunyai apa-apa yang perlu diherankan"

   Kata Gagak Wulung "Terus terang saja, kamipun mendengar akan desas desus bahwa tempat ini dikunjungi banyak orang tokoh sesat, dan karena kami sedang mengadakan perjalanan dan melakukan pengejaran terhadap beberapa orang buronan dari Kediri dan lewat di sini, maka kamipun masuk ke hutan ini untuk melakukan penyelidikan. Dan tadi, seorang antara rekan kami, yaitu Raden Bangokuning yang muda dan belum berpengalaman, hampir saja dibunuh oleh wanita tadi. Kami turun tangan untuk membantunya. Tempat ini memang gawat dan berbahaya sekali dan kami tidak menemukan buronan kami di sini, oleh karena itu, kami sekarangpun hendak keluar saja dari tempat berbahaya ini. Hayo teman-teman, tidak perlu kita berlama lama di tempat ini"

   Katanya kepada teman-teman yang sudah mengerti apa yang dimaksud oieh Gagak Wulung. Mereka lalu mengangguk dan pergi meninggalkan Ki Jembros.

   Pertemuan Ki Jembros dengan para jagoan Kediri itulah yang membuat Kediri melepas tangan dan tidak secara langsung ikut membantu gerakan pemberontakan Mahesa Rangkah, karena mereka khawatir kalau-kalau diketahui oleh Kerajaan Singosari. Namun, usaha mereka itu oleh Adipati Jayakatwang sudah dianggap berhasil, karena bagaimanapun juga pemberontakan Mahesa Rangkah itu sesuai dengan rencana Kediri untuk membuat Singosari menjadi semakin lemah.

   Setelah para jagoan Kediri itu pergi, Ki Jembros berdiri termenung seorang diri. memikirkan apa yang telah terjadi di tempat itu. Dia tidak tahu siapa wanita cantik yang dikeroyok para jagoan Kediri tadi, namun dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah seorang tokoh sesat pula, melihat cara ia berkelahi mempergunakan aji-aji yang curang dan kejam, ciri khas ilmu yang biasa dipergunakan dunia hitam. Kalau begitu tidaklah berita kosong saja yang ditemukannya dalam perjalanan bahwa hutan yang angker itu didatangi orang-orang sesat. Yang dia herankan adalah mengapa pula para jagoan Kediri berada di tempat ini. Akan tetapi, alasan mereka itu cukup kuat, dan melihat betapa mereka tadi berkelahi melawan seorang wanita dari golongan sesat, kecurigaannya terhadap orang orang Kediri itupun lenyap. Dia akan menyelidiki lebih dalam lagi dan melihat siapa siapa lagi yang akan ditemukan di tempat ini, dan apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang dari dunia hitam itu.

   Dia menyusup masuk lebih dalam dan tiba di Jereng bukit Gandamayit yang terkenal angker itu. Nampaklah olehnya sebuah pondok di puncak bukit dan ke sanalah dia melangkahkan kakinya.

   Ketika tiba di depan pondojc, dia berhenti, bagaimanapun juga Ki Jembros masih memegang tatasusila dan dia tidak berani sembarangan masuk dan mengganggu tempat tinggal orang yang belum dikenalnya.

   "Kulonuwun........."

   Serunya sambil memandang kearah daunt pintu pondok. yang tertutup. Suasana di sekelihngnya sunyi senyap, seolah-olah tiada seorangpun manusia di situ. Namun, dengan inderanya yang terlatih dan menjadi tajam dan peka, Ki Jembros dapat merasa bahwa dia tidak berada seorang diri saja tempat itu. Ada orang atau orang-orang yang tidak diketahui di mana dan siapa, namun tidak berjauhan dengan tempat itu, mungkin di luar atau di dalam pondok. Oleh karena itu diapun, tak pernah mengurangi kewaspadaan.

   "Sampurasun......."

   Dia berteriak lagi, kini ia menambah kekuatan dalam suaranya sehingga gemanya sampai terdengar jauh dan tempat itu.

   Tiba-tiba pintu pondok itu terbuka dan yang muncul adalah seorang kakek tua renta.

   Ki Jembros memandang dengan tajam dan penuh perhatian. Dia merasa tercengang juga melihat bahwa yang mendiami pondok itu ternyata seorang kakek yang lebih pantas menjadi pertapa atau pendeta, sama sekali buka seperti seorang tokoh sesat. Kakek itu usianya tentu sudah tujuhpuluh tahunan, tubuhnya sedang dan masih tegap, seperti tubuh seorang anak muda. Berkumis dan berjenggot yang sudah banyak ubannya. Namun wajahnya berrseri-seri dan matanya bersinar penuh semangat dan berpakaian sederhana seperti petani.

   "Kelihatannya seorang kakek petani biasa saja, atau seorang yang mengasingkan diri dari dunia ramai"

   Ki Jembros merasa heran sekali. Bagaimana mungkin, kakek tua renta seperti ini dapat berada tempat yang demikian tersohor karena angkernya hutan Cempiring di bukut Gandamayit itu.

   Pendekar yang masih tanggung-tanggung ilmu kepandaiannya, tidak akan berani memasaki daerah ini.

   Denga sikap waspada Ki Jembros melangkah mendekati kakek itu, karena dia yakin bahwa kakek ini tentulah bukan seorang sembarangan saja, walaupun nampaknya sederhana.

   "Kulonuwun, paman. Bolehkah saya tanya, siapakah paman yang mendiami pondok di tempat seperti ini?"

   Kakek itu mengerutkan alisnya, akan tetapi ia menandang dingin, lalu setelah beberapa saat kemudian, mereka saling pandang, dan kakek itupun menjawab.

   "Tidak sepatutnya seorang yang jauh lebih tua, lebih dahulu memperkenarkan diri kepada yang lebih muda. Kau sendiri siapa dan mengapa berkeliaran di tempat ini?"

   Ki Jembros tersenyum, dia memang seorang yang biasa bersikap kasar, gembira dan tidak mau menggunakan banyak tata cara, walaupun tidak dapat dibilang kurang ajar. Batinnya bebas dan jiwanya petualang, walaupun condong menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. jawaban ini menambah keyakinan hatinya bahwa kakek ini bukan orang sembarangan dan memiliki wibawa.

   "Andika yang benar saya yang keliru, paman maafkan. Saya disebat Ki Jembros orang yang bebas tanpa ikatan, seorang pengelana dan peluatang yang hendak menikmati kehidupan di dunia ini"

   Kakek itu kelihatan biasa saja, pandangan matanya masih dingin dan acuh, sealah-olah nama Ki Jembros yang dapat menggetarkan hati tokoh-tokoh dunia sesat, biginya tak ubahnya hanya nama seorang anak kecil saja.

   "Hemm, Ki Jembros, kau pagi ini mendatangi gubuk reyot tempat tinggalku ada keperluan apakah? Aku, Ki Buyut Pranamaya, tidak pernah mempunyai urusan dengan Ki Jembros"

   Kini giliran Ki Jembros yang mendengar nama kakek itu dan dia terbelalak. Tentu saja dia pernah mendengar nama Ki Buyut Pranamaya. Seorang kakek sakti mandraguna, yang menjadi semacam datuk besar di kalangaan kaum sesat, akan tetapi bagaimanapun juga, kakek sakti ini tidak pernah langsung terlibat di dalam perbuatan kejahatan, sehingga para pendekarpun tidak dapat menentangnya, bahkan menghormatinya sebagai seorang yang memiliki dudukan tinggi di dalam dunia persilatan. Ki Jembros pun cepat memberi hormat dengan menyembahkan kedua tangan depan dada sambil membungkukkan tubuhnya sedikit.

   "Ah, kiranya saya berhadapan dengan Ki Buyut Pranamaya yang namanya sudah banyak saya dengar. Maafkan saya kalau kedatangan saya mengganggu, paman. Akan tetapi saya tidak bermaksud mengganggu andika, juga tidak bermaksud datang berkunjung. Saya hanya mendengar bahwa banyak keanehan terjadi di dalam hutan Cempiring yang angker ini, Tidak tahunya pamanlah yang membuat hutan ini menjadi angker. Pantas"

   "Hemm, andika telah lancang memasuki daerah orang tanpa perkenan, juga tidak diundang. Setelah kini mengetahui aku yang tinggal di sini, lalu andika mau apa apa?"

   Di dalm suara yang halus itu terkandung tantangan yang mengejutkan hati Ki Jembros, tidak layak seorang kakek yang tua renta ini seperti ini berbicara seperti itu dengan nada permusuhan.

   Tentu saja Ki Jembros bukan seorang bodoh. Sudah terlalu banyak mendengar tentang kakek ini, dan iapun makum. bahwa kakek ini bukanlah lawannya.

   "Sudah aku minta maaf tadi karena tidak tahu. Dan setelah mengetahui bahwa paman yang tinggal di sini, sayapun ingin keluar lagi saja dari hutan ini. Selamat tinggal paman Ki Buyut Pranamaya"

   Sambil memberi hormat lalu membalikkan tubuhnya. Hatinya berdebar-debar keras penuh ketegangan. Sudah banyak ia mendengar tentang kakek ini yang selain amat sakti, juga watak kakek ini mudah membunuh orang yang dianggapnya salah. Ia dapat membunuh seperti orang membunuh nyamuk, akan tetapi juga dapat bersikap baik terhadap siapa saja, dengan kebaikan yang berlebihan.

   Watak seorang aneh seperti ini tdiak dapat diduga lebih dahulu. Betapapan juga Ki jembros sudah siap siaga, kalau perlu membela diri terhadap hal-hal yang datang menimpanya.

   Akan tetapi Ki Jembros tidak mengalami sesuatu sampai ia tiba di tikungan dimana terdapat dua pohon cemara di kanan dan kiri jalan. Hati Ki Jembros terasa lega.

   Akan tetapi ketika ia hendak berbelok, tiba-tiba terasa ada angin menyambar dari belakang.

   "Krakkk. Krakkk ...."

   Dua batang pohon cemara yang besarnya seperti tubuh manusia itu seperti disambar petir dan tumbang.

   Ki Jembros cepat meloncat untuk menghindarkan diri terpaan dua batang pohon cemara itu. Dengan kaget sekali Ki Jembros membalik dan melihat kakek itu masih berdiri dengan mata mencorong.

   "Lain kali, kalau berani andika melanggar daerahku, bukan batang pohon itu yang tumbang"

   Terdengar kakek itu berkata, suaranya dingin dan mengandung sindiran yang terasa sekali oleh Ki Jembros.

   "Terima kasih atas peringatan paman"

   Berkata Ki Jembros, diam-diam terkejut dan kagum. Yakinlah Ki Jembros, bahwa ia bukanlah tandingan kakek itu yang ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Maka, diapun melanjutkan perjalanannya, menyusup diantara pohon-pohon dan semak semak belukar dan keluar dari hutan Cempiring yang angker itu.

   Akan tetapi karena hatinya diliputi kecemasan dan kegelisahan, maka Ki Jembros pun salah jalan.

   Ketika Ki Jembros sedang menyelusuri jalan keliar, tiba-tiba telinganya yang berpendengaran tajam dan terlatih itu, mendengar suara orang dari arah kiri. Segera dia menyelusuri suara itu. Tak lama kemudian Ki Jembros sudah mendekam di dalam semak belukar untuk mengintai sebuah padang rumput di mana dia melihat kumpulan ratusan orang yang bersenjata tongkat dan golok. Ada yang sedang mengasah golok, membetulkan tombak, ada yang berlatih silat. Jelas di situ berkumpul gerombolan yang merupakan pasukan yang sedang beristirahat, agaknya baru habis berlatih.

   Ki Jembros mengintai dengan hati-hati tanpa berani bergerak, bahkan ia menahan pernapasannya. Dia tahu bahwa kalau sampai ketahuan, tentu akan gawat. Tak lama kemudian, orang-orang itu memandang kearah yang berlawanan dan muncullah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam yang gagah perkasa, usianya kurang lebih empatpuluh tahun. Melihat orang ini, Ki Jembros mengerutkan alisnya. Dia merasa kenal dengan orang ini, atau setidaknya pernah melihatnya, akan tetapi dia lupa lagi di mana dan siapa. Akhirnya, orang itu tiba di tengah pasukan yang sedang beristirahat itu dan terdengar suaranya yang lantang berwibawa.

   "Kalian tidak boleh enak-enakan saja. Kita telah bersikap kurang waspada. Mulai hari ini, hutan Cempiring harus kita jaga dan kita kepung ketat dengan penjagaan agar setiap orang yang memasuki hutan sudah kita lihat sebelum dia berhasil memasukinya. Kalian para perwira harus membuat peraturan agar penjagaan dapat dilakukan terus menerus siang malam secara bergiliran"

   "Akan tetapi, Gusti Pangeran Mahesa Rangkahkah, siapakah orang yang akan berani memasuki hutan kita ini? Bukankah Cempiring sudah tersohor sebagai hutan maut, hutan angker dan siapa masuk tentu takkan mampu keluar dalam keadaan hidup?"

   Ki Jembros terkejut.

   "Tentu saja"

   Pikirnya.

   "Mahesa Rangkah. Dan disebut Gusti Pangeran. Memang tidak salah. Mahesa Rangkah adalah putera pemberontak Linggapati di Mahibit, yang pemberontakannya dibasmi oleh mendiang Sang Prabu Wisnuwardhana, ayah Sang Prabu Kertanagara yang sekarang ini. Ah, tentu putera pemberontak itu kini hendak membalaskan kematian dan kekalahan ayahnya, dan hendak mengadakan pemberontakan pula terhadap Singosari. Dan apakah ia hendak bersekutu dengan para tokoh sesat? Lalu apa pula artinya tempat tinggal Ki Buyut Pranamaya yang dipilih?"

   Sepengetahuan Ki Jembros, belum pernah Ki Buyut Pranamaya terlibat dalam urusan pemberontakan. Dan agaknya para jagoan Kediri itu berkeliaran di tempa inipun ada hubungannya dengan pemberontakan ini. Ataukah kebetulan saja karena mereka mencari dan mengejar buronan seperti yang mereka ceritakan kepadanya? Buktinya, mereki berselisih dan berkelahi melawan seorang wanita dari golongan sesat, Dia harus berhati-hati menyelidiki hal ini, demikian Ki Jembros berpikir dengan hati berdebar penuh ketegangan.

   Agaknya kedatangannya berjumpa dengan Ki Buyut Pranamaya tadi telah diketahui Mahesa Rangkah yang menjadi marah dan kini Mahesa Rangkah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat agar tidak ada orang luar dapat sembarangan masuk ke hutan itu. Maka, diapun cepat-cepat dan dengan sangat hati-hati, mengundurkan diri, menjauhi tempat itu dan keluar dari dalam hutan sebelum hutan itu dikepung penjagaan ketat sehingga dia akan sukar keluar dari situ.

   Setelah keluar dari hutan Cempiring dengan selamat, Ki Jembros cepat melanjutkan perjalanannya menuju ke Singosari. Dia harus segera melaporkan keadaan hutan Cempiring itu ke kota raja, ke istana Sang Prabu, karena jelas bahwa kerajaan terancam pemberontakan yang dapat membahayakan, apa lagi kalau pemberontakan itu didukung oleh dunia hitam di mana terdapat banyak sekali tokoh-tokoh sesat yang sakti. Apa lagi kalau sampai Ki Buyut Pranamaya membantu gerakan pemberontak.

   Ingatan ini membuat Ki Jembros tersentak kaget.

   "Bagaimana dia harus bertindak? Kepada siapa dia harus melapor? Apakah langsung kepada Sribaginda? Tidak mungkin"

   Dan pula dia dak pernah langsung mengadakan kontak dengan kerajaan. Para senopati muda itupun tidak dikenalnya secara pribadi dan kini ia tahu bahwa di kerajaan sedang terjadi perpecahan seperti yang dibicarakannya dengan Sang Panembahan Sidik Danasura. Dia sudah mengenal bekas patih Empu Raganata, akan tetapi Empu Raganata kini telah diturunkan pangkatnya menjadi seorang jaksa di Tumapel. juga Tumenggung Wirakreti, yang pernah menjadi sahabatnya, kini menjadi Mantri Angabaya, termasuk seorang yang diturunkan pangkatnya dan tentu tidak enak membicarakan urusan pemberontakan itu dengan mereka yang baru saja mengalami kepahitan dari keputusan Sang baginda.

   Dia belum mengenai kedua patih baru yang diangkat Sang Prabu, yaitu Patih Mahesa Anengah dan Panji Angragani. Kemudian iapun teringat akan Empu Supamandrangi, seorang empu pembuat keris yang ahli, juga seora pertapa yang sakti di lereng Gunung Bromo seorang sahabatnya. Empu Supamandrangi dikenalnya denan baik, dan pertapa itulah yang memiliki hubungan lebih dekat dengan para senopati di Singosari, dibandingkan dia. Pula kiranya hanya Empu Supamandrangi sajalah yang akan mampu membendung kekuatan dahsyat dari Ki Buyut Pranamaya, kalau benar Ki Buyut Pranamaya menunjang pemberontakan. ia sendiri tidak dapat menanggulangi kedigdayaan kakek tua renta itu. Tidak ada jalan lain, satu-satunya cara untuk menghubungi pihak kerajaan adalah melalui Empu Supamandrangi.

   Berpikir demikian, Ki Jembros lalu membelok dan langsung dia melakukan perjalanan cepatnya menuju ke Gunung Bromo di mana sahabatnya, Empu Supamandrangi bertapa sebagai seorang empu pembuat keris sakti. Dia tahu bahwa empu ini mempunyai hubungan dekat dengan para senopati di Singosari, karena seorang murid dari empu itu, ialah Ronggolawe yang terkenal sebagai seorang senopati muda yang gagah perkasa dan setia, kini merupakan tokoh diantara para senopati di Singosari, dan tentu lebih mudah bagi Empu Supamandrangi untuk menghubungi kerajaan lewat nuridnya, Ronggolawe yang menjadi seorang tokoh senopati di Singosari. Pula, dengan bantuan Empu Supamandrangi, maka dapat diharapkan mereka akan mampu menanggulangi kedigdayaan Ki Buyut Pranamaya.

   Dengan perjalanan cepat, akhirnya Ki jembros tiba di lereng Gunung Bromo dan menuju ke padepokan tempat bertapa Empu Supamandrangi.

   Ketika Ki Jembros tiba di Gunung Bromo, kebetulan sekali Ronggolawe pun sedang pulang dan menghaddp gurunya. Ronggolawe adalah seorang senopati muda di Singosari yang menjadi murid Empu Supamandrangi. Usianya baru duapuluh tahun, namun dia sudah memberikan banyak jasa terhadap kerajaan sehingga ia diangkat menjadi seorang senopati muda. Kedatangannya adalah untuk minta dibuatkan sebuah keris pusaka kepada gurunya, dan Empu Supamandrangi menyanggupi permintaan muridnya itu.

   Baru tiga hari Ronggolawe berada di padepokan gurunya dan hari itu dia berniat hendak kembali ke Singosari, ketika tiba-tiba saja Ki Jembros muncul.

   "Kulonuwun, Kakang Empu Supamandrangi. Bagaimana kabarnya? Apakah baik- baik saja bukan?"

   Berkata Ki Jembros sambil masuk dan tertawa, Ia sangat gembira bertemu dengan orang yang pernah menjadi sahabat baiknya di muda dahulu.

   "Jagad Dewa Bathara......... Kiranya Ki Jembros yang datang. Ah, sungguh andika masih seperti Sang Bayu, bertiup kemana kau suka, datang tanpa diundang pergi tanpa diusir. Adikku yang gagah perkasa, berita apa kiranya yang kautiupkan ke sini pada hari ini. Mudah-mudahan yang baik-baik dan menyenangkan saja"

   "Ha-ha-ha, Kakang Empu, itulah harapan kita semua, selalu mengharapkan yang baik-baik. akan tetapi susahnya, kenyataan tidaklah selalu seindah harapan, sehingga kekecewaan itulah. yang menjadi bigian orang-orang yang mengharap. Ha ha-ha"

   Empu Supamandrangi juga tertawa. Kakek yang berusia sebaya dengan Ki Jembros sekitar limapuluh tahun itu, sikapnya nalus, tidak seperti Ki Jembros, namun pertemuan dengan sahabat baiknya ini membuat dia menjadi gembira juga, karena Ki Jembros adalah seorang polos yang selalu mendatangkan kegembiraan bagi para sahabatnya.

   "Sebagai manusia biasa, kita tidak terbebas dari harapan baik, sahabatku. Akan tetapi aku selalu siap pula untuk menerima berita yang seburuk-buruknya. Nah, ceritakanlah berita itu"

   Ki Jembros memandang kepada pemuda gagah seperti Sang Gatotkaca yang duduk di lantai dengan sikap hormat, lalu dia bertanya.

   "Nanti dulu, Kakang Empu. Siapakah ananda ini?"

   Mendengar pertanyaan tamu gurunya yang nampak demikian akrab dengan gurunya itu.

   "Ronggolawe cepat menjawab dengan sikap hormat, Paman Jembros, sudah lama bapak Empu Supamandrangi seringkali bercerita tentang paman yang gagah perkasa, saya bernama Ronggolawe, paman"

   "Dia ini muridku dan dia adalah seorang senopati dari Singosari, Adi Jembros"

   Empu Supamandrangi menambahkan.

   "Oumm........ shanti-shanti-shanti.."

   Ki Jembros mengeluarkan suara pujian.

   "Kiranya Sang Hyang Widhi sendiri yang menuntun diriku ini untuk datang ke sini tepat waktunya. Memang berita yang kubawa ini ada hubungannya dengan kerajaan, maksudku, hubungannya dengan keselamatan Kerajaan Singosari, maka kehadiran muridmu ini sungguh kebetulan sekali, kakang"

   "Begitukah? Kamipun sejak kemarin membicarakan keadaan kerajaan, atau lebih tepatnya, muridku ini yang bercerita tentang keadaan kerajaan. Berita apakah yang kau bawa, cepat ceritakan"

   "Harap paman suka segera memberitahu, karena hati saya ikut merasa gelisah mendengar adanya berita buruk mengenai keselamatan kerajaan, paman."

   Berkata Ronggolawe.

   Ki Jembros lalu menceritakan semua yang dialaminya di hutan Cempiring, betapa melihat para senopati Kediri berkelahi dengan seorang wanita yang dia yakin tentu seorang tokoh sesat, karena sebelumnya ia mendengar betapa banyak tokoh sesat berkeliara di dalam hutan itu"

   "Para senopati itu memberitahu bahwa mereka mencari seorang buronan dan mereka seegera pergi dari sana. Kemudian, aku bertemu dengan Ki Biyut Pranamaya di Bukit Gandamayit dalam hutan itu."

   "Jagad Dewa Batara......."

   Empu Supamandrangi berseru halus.

   "Ki Buyut Pranamaya? telah lama dia tidak pernah muncul di dunia ramai"

   "Akupun terkejut sekali bertemu dengannya dan karena aku telah melanggar daerahnya, ia memperlihatkan kedigdayaannya dan mengancam akan membunuhku, kalau aku melakukannya lagi"

   Lalu Ki Jembros menceritakan semua terjadi di hutan itu, kemudian disambungnya dengan penemuannya yang mengejutkan, yaitu ketika ia melihat Mahesa Rangkah yang memimpin ratusan orang anak buah yang agaknya sedang melatih di dalam hutan itu.

   "Ah, kalau begitu, jelas sudah bahwa Mahesa Rangkah tentu ingin melakukan pemberontakan"

   Berkata Empu Supamandrangi terkejut.

   "Bapak Empu, siapakah Mahesa Rangkah itu sebenarnya?"

   Bertanya Ronggolawe kepada gurunya.

   "Dia adalah putera Pemberontak Linggapati yang tewas ditumpas oleh mendiang Sang Prabu Wisnuwardhana. Peristiwa itu terjadi ketika kau masih kecil, muridku. Akan tetapi, cerita yang dibawa pamanmu ini memang sangat penting dan berbahaya bagi keamanan kerajaan. Apa lagi kalau benar bahwa dia bersekutu dengan kaum sesat dan didukung oleh seorang yang demikian saktinya seperti Ki Buyut Pranamaya"

   "Siapakah Ki Buyut Pranamaya?"

   Bertanya lagi Ronggolawe.

   Gurunya menarik napas panjang.

   "Ia adalah seorang tua yang memiliki kedigdayaan yang sangat sakti mandraguna dan sukar dilawan. Kau mendengar sendiri tadi betapa dari jarak yang jauh, dia mampu menumbangkan dua batang pohon cemara, pada hal kau boleh yakin bahwa pamanmu Ki Jembros ini bukanlah seorang sembarangan saja . Sudah menjadi kewajibanmu untuk segera pulang ke Singosari, dan merundingkan dengan para senopati lainnya. Terserah kepada kalian apakah akan melapor kepada Sang Prabu. ataukah akan melakukan penyelidikan terlebih dahulu"

   "Baik, Bapak Empu. Saya harus cepat kembali ke Singosari"

   Berkata Ronggolawe "tetapi kalau benar Ki Buyut Pranamaya itu demikian saktinya, kalau sampai saatnya penyerbuan tiba, saya mohon petunjuk"

   Gurunya mengangguk.

   "Memang benar kalau sampai dia mendukung serangan pemberontak, kitapun harus mengerahkan tenaga para tokoh sakti seperti pamanmu Ki Jembros ini dan juga yang lain-lain. Aku tentu siap membantumu, angger. Dan aku akan mencari bantuan kawan-kawan"

   Ronggolawe menghaturkan terima kasih, lalu berpamit dari kepada kedua orang tua itu yang agaknya masih hendak melepas kerinduan masing-masing dan bercakap-cakap sampai sehari semalam lamanya.

   Sesampai di Singosari, Ronggolawe sang senopati muda yang masih penuh semangat, memberitahukan kepada rekan-rekannya dan merekapun mengadakan penyelidikan sebelum melapor kepada Sang Prabu Kertanagara. Akan tetapi, ketika mereka mengadakan penelitian ke dalam hutan Cempiring di bukit Gandamayit, mereka tidak menemukan apa-apa. Tempat itu sudah kosong dan orang-orang itu sudah pergi meninggalkan sarang mereka. Kiranya, para senopati dari Kediri yang merasa tidak aman dengan kemunculan Ki Jembros, diam-diam mengadakan kontak dengan Mahesa Rangkah. Pemberontak ini cepat munghubungi para sekutunya dan merekapun segera meninggalkan hutan itu dan berganti sarang di daerah Kediri. Di daerah baru ini mereka aman karena pihak Singosari tidak melakukan pencarian sampai daerah itu. Dan Kerajaan Kediri pura-pura tidak tahu saja dengan adanya persekutuan dengan golongan hitam yang sedang bersekongkol untuk memberontak kepada Singosari. Di tempat baru ini, Mahesa Rangkah dengan leluasa menghubungi rekan-rekannya untuk mengadakan laltihan, memperkuat pasukannya dan mempersiapkan pemberontakan sampai beberapa tahun lamanya.

   Tentu saja Ronggolawe dan kawan-kawanya tidak dapat berbuat sesuatu setelah melakukan penyelidikan ke hutan Cempiring dan melihat bahwa tempat itu sudah kosong. Betapapun juga, mereka merasa lega karena menganggap bahwa para tokoh sesat itu sudah hancur sebelum berdiri tidak jadi melakukan pemberontakan. Mereka sama sakali tidak menduga bahwa rombongan itu sekarang sudah berpindah tempat, bahkan di tempat yang baru, mereka mendapat perlindungan dari pemerintah Kediri.

   Dan Karena adanya perpindahan ini, dan karena sudah ketahuan oleh Ki Jembros, maka gerakan pemberontakan yang dilakukan Mahesa Rangkah menjadi mundur. Mereka lebih berhati-hati dan kini mereka menyusun kekuatan di dalam pemerintahan daerah Kediri, dan siap untuk menggempur Singosari kalau saatnya yang dianggap baik sudah tiba.

   Raja Jayakatwang pura-pura tidak tahu akan adanya gerombolan yang ada di daerahnya itu, bahkan para senopatinya diam-diam membantu kegiatan itu, karena bagaimanapun juga, pemberontakan itu dapat semakin melemahkan kedudukan Singosari. Walaupun Prabu Kertanagara bersikap baik kepadanya, memperbolehkan ia berdaulat sebagai raja di Kediri, namun ia masih harus tunduk kepada Singosari sebagai sebagai negeri taklukan. Walaupun ia dijadikan besan oleh Prabu Kertanagara, ia tetap saja harus tunduk kepada besannya itu.

   Waktu berjalan bagaikan anak panah terlepas dari busur yang dipentang tangan sakti. Cepat dan tak terasa. Empat tahun telah lewat sejak Nurseta menjadi murid Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi, pantai Laut Kidul.

   Selama empat tahun itu dia telah digembleng dengan bermacam ilmu silat dan aji kedigdayaan, Nurseta juga digembleng oleh kakek yang bijaksana itu untuk mengerti akan arti kehidupan.

   "Nurseta, kini tiba saatnya kau meninggalkan tempat ini dan membaktikan dirimu untuk tanah air di mana kau dilahirkan, demi bangsamu di mana kau menjadi warganya. Barulah akan ada artinya selama bertahun tahun kau bersusah payah mempelajari segala sesuatu yang kini telah kau miliki Sampurnaning ilmu kanthi laku (sempurnanya ilmu disertai pelaksanaan), karena tanpa pelaksanaan dan penghayatan, apa artinya ilmu. Dan pelaksanaan ilmu sepatutnyalah bermanfaat bagi orang lain dan bagi diri sendiri seyogianya bagi masyarakat, bagi bangsa. Sejak kecil kau digembleng untuk berjiwa satria, Nurseta. Oleh karena itu, jadilah seorang satria yang baik, seorang hamba yang membela kebenaran dan keadilan, membela tanah air dan bangsa, demi manusia pada umumnya"

   Demikianlah antara lain bekal yang diterimanya dari, Panembahan Sidik Danasura ketika dia diharuskan meninggalkan tempat penggemblengan di pantai laut itu.

   Pada pagi hari yang cerah itu, setelah bersembah sujud dan menghaturkan terima kasih di depan kaki kakek sakti yang sudah tua renta itu, Nuiscia lalu melakukan perjalanan, menuju ke utara meninggalkan daerah pantai. Semua wejangan yang diterimanya dari kakek itu diingatnya dengan baik, akan tetapi di dalam lubuk hatinya, dia memang sudah menerima gemblengan ayahnya sendiri bahwa dia haruslah menjadi seorang satria yang membela tanah air dan bangsa, yang harus mempertahankan tanah air dengan keringat dan darahnya. Sejengkal tanah sepercik darah. Demikianlah ayahnya selalu mengobarkan semangatnya. Dia harus mempertahankan tumpah darahnya, tanah di mana darah ibunya tertumpah ketika dia dilahirkan, mempertahankan kehidupan dan ketentraman hidup bangsanya dari gangguan orang-orang jahat yang hanya mementingkan diri pribadi tanpa memperdulikan keadaan orang-orang lain.

   Nurseta kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang usianya duapuluh tahun. Wajahnya nampak matang tampan, kumis tipis mulai menghias bawah hidungnya, juga cambangnya di depan telinga mulai menebal dan memanjang. Namun sikapnya tetap halus dan pendiam, pakaiannya tetap sederhana seperti pakaian seorang pemuda petani. Dilihat sepintas lalu, tidak akan ada yang mengira bahwa dia seorang pemuda gemblengan yang memiliki kesaktian yang sukar dicari tandingannya.

   Dari ayahnya dia sudah menerima gemblengan aji-aji kesaktian, selain ilmu silat, juga Aji Sari Pratala (Inti Bumi), pukulan Aji Bajradenta (Kilatan Gading) dan Aji Wandira Kingkin (Beringin Kokoh). Dari Panembahan Sidik Dinasura, selain menerima penyempurnaan ilmu-ilmunya yang sudah ada, memperkuat tenaga sakti dalam tubuhnya, juga pemuda ini menerima semacam ilmu yang merupakan aji kesaktian bernama Jagad Pralaya (Dunia Kiamat). Kakek itu memesan dengan sungguh-sungguh kepada muridnya ini agar kalau tidak terpaksa sekali, jangan meggeluarkan Aji Jagad Pralaya ini, karena aji pukulan ini akan memiliki daya yang teramal kuat dan akan mengakhiri kehidupan lawan. seolah-olah pukulan itu merupakan dunia kiamat bagi lawan.

   Beberapa hari kemudian, setelah melakukan perjalanan melewati beberapa buah dusun, Nurseta

   (Lanjut ke Jilid 06)

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06

   mendengar dari para penduduk yang tinggat di wilayah Kerajaan Kediri itu bahwa kini terjadi banyak kekacauan, baik di daerah Kerajaan Kediri maupun di daerah Kerajaan Singosari, Orang-orang yang melakukan perjalanan berdagang merasa tidak aman dan selalu harus disertai pengawalan ketat. Bahkan kehidupan para petani di dusun-dusunpun mengalami banyak gangguan dari penjabat-penjahat kecil yang berani merajalela di pedusunan karena agaknya wibawa dan kota raja banyak menurun sehingga para pamongpraja di pedusunan juga merasa lemah.

   Nurseta merasa prihatin, ia membenarkan gurunya yang menyuruhnya keluar dari tempat penggemblengan, karena memang tenaga orang-orang seperti dia amat dibutuhkan demi membantu usaha penenteraman kehidupan rakyat yang terganggu oleh kejahatan golongan sesat, dan berjaga-jaga kalau sampai terjadi pemberontakan yang mengancam Kerajaan Singosari.

   Pada suatu hari, tibalah dia di tepi Kali Campur. Kali ini merupakan anak Kali Brantas yang mengalir ke utara dan akan memasuki Kali Brantas setelah tiba di Karangrejo, di sebelah utara kota Tulungagung.

   Nurseta berhenti di tepi sungai.

   "Ah, kalau saja ada perahu yang dapat ditumpangi, tentu akan lebih cepat dan tidak melelahkan melanjutkan perjalanan lewat air, menunggang perahu"

   Pikirnya. Setelah tiba di Kali Brantas, dia akan melanjutkannya lagi dengan jalan darat. Pagi itu cerah dan indah, dan matahari sudah naik tinggi, menciptakan permukaan perak pada Sungai Campur itu.

   Akan tetapi di situ sunyi tidak nampak seorangpun manusia, juga tidak kelihatan ada perahu. Nurseta lalu duduk di tepi sungai, diatas rumput tebal dia mengeluarkan buntalan sisa makanan pagi tadi. Singkong bakar.

   Pagi tadi, dia mendapatkan beberapa batang singkong dari seorang petani dan membakarnya untuk sarapan, Sisanya ditaruh di buntalnya dan dibawanya dalam perjalana. Kini, perutnya terasa agak lapar dan diapun mengeluarkan singkong bakarnya dan makan dengan santai di tepi kali itu sambil menikmati semilir angin yang mendatangkan hawa sejuk, mendengarkan tembang riak angin yang diseling kicau burung di pohon-pohon. Burung Kutilang yang riang jenaka, bunyi burung prit gantil yang menyayat hati, semua itu mendatangkan perasaan damai di hati Nurseta.

   Tiba-tiba dia melihat sebuah perahu menyeberang dari tepian seberang sana. Sebuah perahu kecil yang hanya ditumpangi seorang saja, seorang laki-laki muda yang dengan gaya yang kuat mendayung perahu itu menyeberang kali. Dari tempat dia duduk, dia melihat betapa laki-laki yang sebaya dengannya itu memiliki tubuh yang kuat dan cara dia mendayung menunjukkan bahwa selain bertenaga besar, juga pemuda itu tentu sudah biasa mendayung perahu. Tadinya Nurseta hendak memanggilnya untuk diminta apakah mau mengantar dia ke hilir, akan tetapi melihat betapa orang itu menyeberangkan perahu, dia tidak jadi memanggilnya. Biarlah dia menanti orang itu sampai seberang sini, pikirnya.

   Akan tetapi, ketika perahu itu sudah tiba di darat, orang itu menarik perahunya dan mengikatkan tali perahu dengan sikap seperti orang marah-marah, bahkan kemudian orang itu melempar tubuhnya ke atas tanah berumput di bawah pohon di tepi sungai itu dan diapun menelungkup seperti orang menangis atau seorang anak kecil yang sedang ngambek.

   Perlahan-lahan Nurseta menghampiri dan melihat pemuda itu memukul-mukul tanah dengan kedua tangannya, akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu bangkit duduk, menggerakkan tangan kirinya dengan jari terbuka kearah pohon di sampingnya.

   "Krakkk.."

   Batang pohon yang besarnya sepaha orang itu seketika patah dan tumbang dan mengeluarkan suara keras.

   Diam-diam Nurseta terkejut. Ah, kiranya pemuda ini bukan orang sembarangan, ia memiliki tenaga yang cukup dahsyat sehingga sekali pukul dengan tangan miring, ia mampu menumbangkan batang pohon itu. Dugaannya bahwa pemuda itu seorang tukang perahu atau seorang nelayan ternyata keliru. Akan tetapi diapun merasa penasaran melihat betapa seorang pemuda yang demikian gagahnya, bersikap sedemikian cengeng. Dan kini pemuda itu duduk menyembunyikan mukanya di balik kedua telapak tangannya dan menangis.

   Nurseta mengerutkan alisnya. Dia merasa penasaran sekali. Pemuda segagah ini menangis.

   "Hemmm, sungguh aneh........."

   Katanya perlahan sekali.

   Ternyata suaranya yang halus itu terdengar oleh pemuda itu yang ternyata mempunyai telinga yang tajam dan terlatih.

   Pemuda itu menurunkan kedua belah tangannya. Ketika ia melihat bahwa di dekat situ ada seorang pemuda yang berdiri memandangnya, dia terkejut sekali dan cepat mengusap mata yang membasahi kedua pipinya dan diapun meloncat berdiri menghadapi Nurseta.

   Nurseta memandang penuh perhatian, seorang pemuda yang tegap dan gagah, tubuhnya membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Mukanya persegi dan tampan, kulitnya agak hitam tetapi halus. Sepasang matanya tajam tidak membayangkan kekerasan, bahkan terlihat sifat ramah dan germbira. Tetapi sekarang ia terlihat marah.

   "Siapakah andika, Ki Sanak?"

   Bentak pemuda bermuka hitam itu.

   "Dan apa artinya ucapanmu tadi?"

   Nurseta tersenyum ramah, akan tetapi pemuda itu tetap cemberut dan memandang marah.

   "Maaf, sobat. Namaku Nurseta dan tadi aku melihat tanpa sengaja, betapa kau memukul roboh batang pohon itu, kemudian melihat pula andika menangis seperti seorang anak kecil yang cengeng. Bukankah itu amat aneh dan mengherankan? Karena itulah maka aku mengeluarkan kata-kata tadi tanpa aku sengaja"

   Sepasang mata itu mengamati Nurseta dari kepala sampai ke kaki.

   Nurseta balas memandang dengan tenang. Pemuda ini agaknya beberapa tahun lebih tua darinya, dan melihat pakaiannya yang ringkas, ia yakin bahwa pemuda ini tentu seorang yang biasa menghadapi kehidupan yang keras dan mengandalkan ketangkasan dan kekuatan. Walaupun pandangan matanya bukanlah pandang mata seorang yang jahat.

   "Bocah lancang. Mau apa kau mencampri urusan orang lain? Hayo pergi dari sini, jangan kau ganggu aku lagi. Cepat, sebelum aku naik darah dan memukul mulutmu yang lancang itu"

   Nurseta tetap tersenyum menerima bentakan itu.

   "Sayang sekali, andika adalah seorang pemuda yang gagah, akan tetapi cengeng dan lemah. Sebetulnya aku mempunyai dua kepentingan denganmu. Pertama, melihat keadaanmu, mungkin aku akan dapat membantumu untuk mengatasi masalah yang kau hadapi. Kedua aku membutuhkan perahumu dan aku ingin kau dapat membantuku pergi ke hilir dengan perahumu"

   Pemuda itu menjadi semakin marah, kedua tangannya dikepal.

   "Apa kau bilang? Aku cengeng dan lemah, dan kau mampu membantuku mengatasi kesukaran ini? Hemm, bocah lancang dan sombong. Kepandaian apa yang kau miliki, beraninya kau bersikap sombong seperti itu?"

   "Mungkin aku memiliki sesuatu yang tidak kau miliki, misalnya menundukkan orang yang membuatmu penasaran, bukan sekedar menumbangkan batang pohon yang tidak mampu melawan itu"

   "Sepasang mata itu terbelalak.

   "Hemm, kau bocah petani sungguh sombong. Coba kau buktikan kekuatanmu itu. Kau sambutlah seranganku ini, kalau kau merasa memiliki sesuatu yang tidak aku miliki"

   Pemuda itu langsung menerjang dengan tamparan tangan kanannya kearah pundak Nurseta.

   Melihat gerakan yang cepat dan berat ini, Nurseta merasa lega, pukulannya membuktikan bahwa ia bukan seorang yang berhati jahat, pikirnya. Serangannya itupun bukan untuk mencelakainya, melainkan hanya untuk menguji saja, yang diserang adalah bagian pundaknya, sehingga andaikata dia tidak memiliki kepandaianpun, pukulan itu tidak akan membahayakan jiwanya. Maka iapun merasa semakin tertarik dan ada perasaan senang kepada pemuda yang bermuka hitam itu.

   Nurseta hanya sedikit memiringkan badanya saja, dan ia sudah terhindar dari serangan pemuda itu.

   "Bagus, agaknya kau memiliki sedikit kepandaian juga."

   Katanya dan kini dia menggirim serangan lagi, lebih hebat dan cepat dari pada tadi, akan tetapi tetap saja dengan tenaga terbatas, dan yang diserangnya bukan bagian yang berbahaya. Tangan kirinya mencengkeram kearah baju dada, dan tangan kanannya menyambar untuk menangkap lengan kiri Nurseta.

   Nurseta tidak mau berpura-pura lagi, diapun menggerakkan kedua lengannya menangkis kedua serangan pemuda itu sambil menyalurkan sedikit tenaganya.

   Dua pasang lengan saling bertemu dan pemuda muka hitam itu menyeringai. Pertemuan kedua lengannya itu membuat pemuda itu merasa nyeri dan diapun kini terkejut. Dia adalah seorang diantara jagoan muda yang terkenal di pantai selatan, dan kini dia bertemu dengan seorang bocah petani, dalam pertemuan tenaga kedua lengan itu dia merasa nyeri dan pemuda tani itu masih juga tersenyum.

   "Babo-babo. Kiranya kau seorang yang memiliki kesaktian juga. Baik, mari kita menguji tebalnya kulit kerasnya tulang"

   Dan kini pemuda muka hitam itu yang agaknya sudah tahu bahwa lawannya bukan orang lemah, maka ia maju dan menerjang dengan serangan serangan yang amat cepat dan mengandung tenaga yang kuat pula.

   Diam-diam Nurseta kagum. Kalau saja empat tahun yang lalu, sebelum dia digembleng oleh Panembahan Sidi Danasura, tentu dia tidak akan mampu menandingi pemuda muka hitam ini. Bukan saja ilmu silatnya yang hebat, akan tetapi juga tenaga saktinya kuat dan kecepatannya cukup membuat dia merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi bagi Nurseta, setetah kini ia menerima gemblengan Panembahan Sidik Danasura, tingkat kepandaian si muka hitam ini masih terlalu rendah dan dia dapat mengikuti semua geraknnya dengan mudah.

   Nurseta tidak mau membuang banyak waktu. Ketika si muka hitam menghantamkan kedua tangannya yang terkepal kearahnya, Iapun menerimanya dengan kedua tangan terbuka.

   "Plak. Plakk"

   Kedua kepalan si muka hitam itu melekat pada telapak tangan Nurseta dan tidak dapat ditariknya kembali. Dia terbelalak dan terkejut sekali, cepat ia menendang dengan kaki kanannya. Akan tetapi Nurseta sudah siap menghadapi serangan ini. Nurseta hanya memiringkan tubuh ke kiri dan membiarkan kaki lawan itu meluncur lewat, lalu dia menggerakkan kakinya ke samping, tepat mengenai belakang lutut kaki kiri si muka hitam sambil mendorong kedua tangannya melepaskan kekuatan Sari Pratala yang tadi menyedot kepalan lawan.

   Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh si muka hitam itu terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia mengeluarkan suara tertahan saking kagetnya dan bergulingan, tetapi ia cepat meloncat bangun lagi. Kini kedua matanya mengeluarkan sinar kagum dan terheran-heran ketika memandang kepada Nurseta.

   "Andika........ siapakah andika.......?"

   Tanyanya, penuh kagum akan tetapi juga kecurigaan karena sama sekali sukar baginya untuk dapat percaya, bahwa ada seorang pemuda petani yang dapat mengalahkannya di tempat sunyi ini.

   Narseta tersenyum ramah.

   "Kisanak, namaku adalah Narseta dan aku seorang kelana yang secara kebetulan saja bertemu dengan andika di sini. Melihat andika memiliki sebuah perahu dan aku ingin sekali melakukan perjalanan an ke utara dengan perahu, maka tadinya aku ingin minta pertolonganmu. Akan tetapi melihat kau bersikap aneh, aku jadi tertarik dan"""

   "Namaku Pragalbo dan memang sesunggunyalah, aku menghadapi suatu masalah yang tak dapat kuatasi. Akan tetapi, aku masih belum puas untuk mengujimu, Ki Sanak. Sebelum kita bicara lebih lanjut, sebelum aku mengeluarkan isi hatiku dan meminta bantuanmu kalau memang kau memiiliki kesaktian itu, aku ingin mencoba lagi. Supaya aku mendapatkan keyakinan"

   Pemuda itu kemudian mencabut sebilah keris luk tujuh yang berwarna kelabu.

   "Harap andika suka mengeluarkan senjata atau pusakamu dan marilah kita melanjutkan adu kesaktian ini agar hatiku puas"

   "Kakang Pragalbo, aku menyebutmu kakang, karena andika tentu lebih tua dari padaku. Aku tidak biasa mempergunakan senjata karena aku bukan seorang pembunuh. Kalau kau merasa lebih senang mempergunakan sebuah pusaka, nah, silakan, majulah, aku akan menghadipimu dengan tangan kosong saja"

   Pragalbo membelalakkan kedua matanya Dia seorang jagoan pantai selatan yang disegani dan ditakuti, kini dia menanatang pemuda ini dengan kerisnya dan tantangan itu diterima oleh pemuda yang tak terkenal ini dengan melawannya bertangan kosong.

   "Adimas Nurseta......"

   Katanya agak lemah karena kini diapun dapat menduga bahwa orang yang tampan dan halus tutur sapanya ini hanya pakaiannya saja seperti petani, mungkin seorang priyayi (bangsawan) yang sedang menyamar sebagai seorang petani dan ternyata memiliki kesaktian yang hebat.

   "Aku hanya akan menguji, kalau benar andika mampu menandingiku yang berkeris ini dengan tangan kosong, maka aku akan taluk dan kalau andika sudi membantuku seperti yang andika katakan tadi, aku akan lebih bersukur dan berterima kasih lagi"

   Nurseta tersenyum. Dia maklum bahwa muka hitam yang namanya Pragalbo ini bukan berniat hendak membunuhnya. Nurseta berkata "Aku selalu siap membantu siapa saja yang berada dalam kebenaran yang tertindas oleh kejahatan, kakang Pragalbo. Kalau kau ingin aku membantumu melakukan kejahatan, jangan harap aku akan membantumu, bahkan andika akan berhadapan denganku"

   "Aku bukan penjabat, adimas. Nah, sambutlah seranganku"

   Kini Pragalbo, tanpa ragu-ragu lagi menerjang dengan kerisnya.

   "Wuuuttt "......."

   Keris menyanbar dan nampak sinar kelabu berkilat kearah dada Nurseta. Namun, dengan gerakan lincah.

   Nurseta memiringkan tubuhnya dan tusukan keris itupun mengenai tempat kosong. Namun keris itu membalik dan sudah menyambar dari arah berlawanan, sekali ini menyerang kearah leher degnan dibarengi dengan hantaman tangan kiri pada lambung Nurseta.

   Serangan itu cukup hebat, akan tetapi Nurseta yang masih ingin memperpanjang pertandingan itu, sekali menggerakkan kedua tangannya, ia telah berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan, dan dengan jari telunjuknya Nurseta menyentil pergelangan tangan kanan Pragalbo yang sedang memegang keris.

   "Aduhh........"

   Pragalbo mengeluarkan seruan kaget dan kerisnya terlepas dari pegangan, juga tangan kirinya seperti lumpuh dicengkeram tangan kanan pemuda tampan yang sederhana itu.

   Nurseta cepat melepaskan pegangannya, membungkuk dan mengambilkan keris itu dan menyerahkannya kepada Pragalbo sambil tersenyum.

   "Sudah puaskah andika main-main, kakang Pragalbo?"

   "Aduh adimas Nurseta, sungguh andika membuat aku kebingungan dan kagum. Seorang semuda seperti andika ini telah memiliki kedigdayaan seperti itu, sungguh membuat aku merasa kagum, tunduk dan takluk"

   Nurseta menyerahkan keris dan tersenyum. Sudahlah kakang Pragalbo, mari kita duduk dan bicara baik-baik. Kuulangi lagi pertanyaanku yang tadi, mengapa seorang gagah perkasa seperti andika ini bersikap amat aneh, menangis dan marah-marah lalu memukul roboh batang pohon?"

   Wajah hitam itu menjadi semakin hitam karena dia merasa malu. Akan tetapi biarpun kulit muka itu hitam, ternyata wajah itu tidak buruk, bahkan gagah dan manis.

   Pragalbo menarik napas panjang "Aku harus merasa malu kepadamu, adimas Nurseta. Aku hanya menurutkan kemarahan hati saja, karena memang merasa penasaran sekali terhadap seorang yang tadinya paling dekat dengan aku. Akan tetapi dia mengkhianatiku dan merampas gadis yang membuatku tergila-gila"

   Hampir saja Nurseta tertawa mendengar ucapan itu.

   "Ah, agaknya andika telah memperebutan seorang gadis dengan seorang lain yang tadinya paling dekar dengan andika? Apakah yang telah teriadi? Dan siapakah gerangan orang itu?"

   MEREKA berdua duduk di atas rumput, bersila dan dengan muka agak malu-malu Pragalbo lalu bercerita. Dia mempunyai Seorang sahabat baik yang juga menjadi kakak seperguruannya, bernama Padasgunung. Usia mereka sebaya, yaitu hampir duapuluh empat ahun dan Padasgunung yang menjadi kakak seperguruan itu hanya lebih tua beberapa bulan saja darinya. Kedua orang muda ini terkenal sebagai jagoan-jagoan di pantai selatan, bukan jagoan dalam arti yang jahat, melainkan menjadi pendekar-pendekar yang selalu menentang kejahatan dan juga mereka merupakan dua orang pemuda gagah perkasa yang selalu setia terhadap Kerajaan Singosari. namun kepandaian merekapun setingkat, hanya bedanya kalau Pragalbo memiliki sedikit kelebihan dibanding kakak seperguruannya dalam hal ilmu di dalam air karena dia amat suka berenang, maka sebaliknya Padasgunung memiliki kelebihan dibanding adik seperguruannya dalam ilmu pengobatan.

   Pada suatu hari, ketika musim hujan turun dengan derasnya, dan seperti biasa air Sungai Campur banjir dan melanda beberapa buah dusun, kebetulan Pragalbo lewat di dusun yang dilanda banjir itu dan diapun berhasil menyelamatkan banyak orang yang kebanjiran. Dengan mengandalkan ilmunya bermain di dalam air, dia dapat menyelamatkan mereka yang terjebak oleh air. Akan tetapi, ketika dia menyelamatkan seorang gadis yang hitam manis dan melihat gadis itu terus menerus pingsan karena kepalanya terpukul batu ketika ia hanyut, Pragalbo menjadi bingung dan panik entah bagaimana, begitu melihat gadis itu, melihat wajahnya yang hitam manis, kulitnya yang hitam mulus, tubuhnya yang semampai dengan lekuk lengkuk yang mulai mekar meranum, dia sudah tergila-gila. Dan setelah bermacam usaha dilakukannya untuk membuat gadis itu siuman tidak berhasil, dia lalu menjadi gelisah dan dia melarikan gadis itu ke pondok kakak seperguruannya, Padasgunung.

   "Tolonglah, kakang Padasgunung, tulunglah ia"

   Dengan tergopoh-gopoh Pragalbo yang memondong tubuh gadis itu menghadap kakak seperguruannya.

   Padasgunung adalah seorang pemuda yang pendiam, berkulit kuning dan mukanya bulat telur, di pinggangnya terselip sebatang suling bambu. Sikapnya serius dan dia tersenyum tenang melihat kegugupan adik seperguruannya.

   "Ceritakanlah dulu di mana kau menjumpai gadis ini, siapa ia dan mengapa ia sampai begini"

   Kata Padasgunung sambil memandang wajah gadis yang seperti tidur nyeyak di depannya itu.

   Dengan singkat Pragalbo menceritakan bahwa gadis itu seorang di antara para korban banjir Kali Campur.

   "Melihat pelipis kirinya terluka, tentu ketika ia hanyut dan kepalanya terantuk sesuatu yang keras, kakang. Tolong sembuhkanlah ia, kakang"

   Pinta sang adik seperguruan dengan suara memohon.

   Padasgunung memandang wajah adiknya dengan senyum. Adik seperguruannya itu nampak lelah, dan agaknya juga kelaparan. Agaknya ketika menolong orang-orang itu, dia sampai lupa diri untuk makan dan menguras tenaganya.

   "Jangan khawatir, kau berisitirahatlah dulu. Di dapur masih ada jagung godok dan air kendi. Makan minumlah dulu dan istirahatlah, serahkan gadis ini kepadaku"

   Melihat sikap kakak seperguruannya yang tenang, hatinya menjadi tenang pula dan diapun segera pergi ke dapur, makan dan minum, tak lama kemudian dia sudah merebahkan tubuhnya yang amat lelah itu ke atas pembaringan dan pulaslah pendekar pantai Selatan itu.

   Karena gadis itu perlu perawatan sungguh-sungguh, dan karena dia sendiri masih harus menolong orang-orang lain yang kebanjiran, Pragalbo meninggalkan gadis dalam perawatan kakak seperguruannya.

   "Bayangkan saja, Adimas Nurseta,"

   Kata Pragalbo menutup ceritanya kepada Nurseta "Setelah seminggu kemudian aku kembali ke pondok kakak seperguruanku itu, gadis manis itu sudah hampir sembuh, akan tetapi masih lemah dan pikirannya masih belum pulih seluruhnya. Dan ia hanya teringat bahwa namanya adalah Sriyati. Akan tetapi celakanya, Kakang Padasgunung agaknya jatuh cinta kepada Sriyati"

   Nurseta tersenyum.

   "Apa salahnya, Kakang Pragalbo?"

   "Apa salahnya? Huh, apa salahnya, Adimas Nurseta?"

   Pendekar itu mendengus marah.

   "Sudah aku katakan bahwa begitu menyelamatkan gadis itu, aku telah jatuh cinta, kini, gadis itu direbut oleh Kakang Padasgunung. Terang-terangan Kakang Padasgunung mengatakan kepadaku bahwa dia mencintai Sriyati dan karena dia sudah cukup dewasa, dia hendak mengambil Sriyati menjadi isterinya"

   Nurseta tidak berani tersenyum lagi walaupun ada perasaan geli di dalam hatinya. Kakak beradik seperguruan itu agaknya merebutkan cinta seorang gadis yang mereka tolong.

   "Lalu bagaimana?"

   "Tentu saja aku menyatakan keberatanku kepadanya, dan kunyatakan bahwa akulah yang lebih dahulu menemukan Sriyati, bahwa akulah yang telah menyelamatkannya dan aku yang lebih dahulu jatuh cinta kepadanya. Aku terus terang menyatakan bahwa Kakang Padasgunung tidak berhak memisahkan aku dari wanita pertama dan satu-satunya yang kucinta"

   

Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini