Sejengkal Tanah Percik Darah 6
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Nurseta mengangguk-angguk.
"Setelah itu bagaimana?"
"Kakang Padasgunung ternyata kehilangan kegagahannya, kehilangan keadilannya. Dia bilang bahwa dialah yang menyelamatkan Sriyati, dan dia yang berhak menyunting gadis itu. Bahkan dia marah-marah dan menamparku. Sehingga kami berkelahi, akan tetapi aku terpaksa melarikan diri, bukan karena aku takut, melainkan karena aku merasa tidak enak harus berkelahi melawan kakak seperguruan sendiri. Nah, sekarang, aku ingin agar andika suka menolongku, Adimas Nurseta"
Nurseta memandang tajam penuh selidik.
"Maksudmu, aku kau jadikan jago untuk melawan kakak seperguruanmu dan merampas kembali Sriyati dari tangannya untukmu?"
"Ya, adimas"
"Tunjukkanlah kepadaku, kemana arah menuju ke pondoknya"
Pragalbo kemudian memberikan keterangan arah menuju ke pondok Padasgunung, dengan segera Nurseta pergi kesana.
Ketika Padasgunung melihat seorang pemuda mendaki bukit menuju pondoknya diapun menyambutnya dengan sinar mata penuh tanda tanya. Dia merasa heran karena belum pernah melihat pemuda itu, maka begitu Nurseta tiba di depan pondoknya, diapun bangkit berdiri menyambut.
"Kulonuwun"
Salam Nurseta "Apakah aku berhadapan dengan Kakang Padasgunung?"
Sambil berkata pandangan Nurseta melirik ke arah gadis hitam manis itu yang duduk dan juga memandang kepadanya. Dengan sinar matanya yang tajam Nurseta dapat mengetahui bahwa gadis itu belum pulih benar pikirannya, terbukti dari pandang matanya yang kosong seperti orang melamun.
"Benar, aku bernama Padasgunung"
Kata pemuda itu dengan sikap tegas, suaranya lantang dan sikapnya pendiam, tidak ramah.
"Siapakah Andika dan apa keperluanmu?"
Pemuda itu tidak seramah Pragalbo, pikirnya. Sikapnya demikian keras dan dingin, akan tetapi Nurseta tetap tersenyum tenang.
"Kakang Padasgunung, aku bernama Nurseta, kedatanganku ini karena aku hanya ingin menolong Kakang Pragalbo, agar aku datang kepadamu dan berbicara dengan bijaksana mengenai diri gadis yang bernama Sriyati. Apakah ini gadis yang bernama Sriyati itu?"
Mendengar namanya disebut, gadis itu juga bangkit berdiri dan memandang kepada Nurseta penuh perhatian. Akan tetapi, Padasgunung sudah menjadi marah mendengar ucapan itu.
"Tak aku sangka Adi Pragalbo kehilangan kejantanannya sehingga urusan pribadi seperti ini, ia mempergunakan seorang perantara. Asal kau tahu, Sriyati ini adalah calon isteriku. Kau tidak mempuuyai urusan dengan dengan hal ini. Sebaiknya kau pergi sebelum aku menjadi marah"
"Justeru karena Kakang Pragalbo tidak menghendaki keributan denganmu, Kakang Padasgunung, maka, ia meminta tolong kepadaku untuk bicara denganmu. Dia hanya menuntut keadilan, karena menurut pendapatnya, dialah yang lebih dahulu bertemu dan menyelamatkan Sriyati dari ancaman maut di Kali Campur, ia hanya membawa Sriyati kepadamu agar kau mengobatinya. Kalau saja tidak ada Kakang Pragalbo, tentu saja gadis itu sudah tewas......"
"Belum tentu!. kalau saja tidak aku tidak mengobatinya, tentu ia mati atau kehilangan ingatannya"
"Akan tetapi, Kakang Pragalbo yang membawanya dan memperkenalkannya kepadamu. Setidaknya Kakang Pragalbo berhak untuk menanyakan kepada gadis itu siapa di antara kalian yang ia pilih"
"Orang muda, jangan kau membuat aku marah. Kau sama sekali tidak ada sangkut paut dengan urusan pribadi kami berdua. Dan kau boleh menyampaikan kepada Pragalbo setelah mendengar sendiri"
Padasgunung berhenti sebentar, kemudia ia berkata kepada Sriyati "Sriyati, bukankah kau sudah setuju untuk menjadi isteriku dan selamanya ikut bersamaku?"
Gadis itu memandang bingung kepada Padasgunung, lalu mengangguk lemah dan terdengar suaranya lirih.
"Kakangmas Padasgunung aku tidak memiliki siapapun lagi dan kaulah yang telah menyelamatkan diriku. Tersera kepadamu apa yang akan kau perbuat terhadap diriku, kakang. Aku hanya menurut saja......."
"Nah, kau dengar sendiri. Sekarang pergilah sebelum aku marah dan memaksamu pergi"
Berkata Padasgunung.
Nurseta mendengar jawaban gadis itu, hatinya tidak merasa puas. Gadis itu seperti terpaksa dan belum sepenuhnya menguasai ingatannya kembali, hanya menyerahkan dirinya yang merasa tidak berdaya. Dengan begini, maka tidaklah adil kalau Padasgunung mempergunakan kelemahan gadis itu untuk memaksanya menjadi isterinya tanpa memperdulikan cinta yang bersemi di dalam hati adik seperguruannya.
"Nanti dulu, Kakang Padasgunung. Kau hanya bertindak sepihak saja, setidaknya kau harus memberi kesempatan kepada Kakang Pragalbo untuk bertanya kepada Sriyati, apakah ia tidak lebih suka menikah dengan Kakang Pragalbo dari pada denganmu"
Ia berhenti sejenak, lalu "Sriyati, ketahuilah bahwa sebelum kau diobati oleh Kakang Padasgunung, kau terlebih dahulu diselamatkan oleh Kakang Pragalbo ketika kau hanyut oleh air banjir. Dan Kakang Pragalbo jatuh cinta padamu dan ia ingin mengambilmu sebagai calon isterinya dan......"
"Tutup mulutmu, keparatl"
Bentak Padasgunung marah dan dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Nurseta dengan pukulan tangan kanannya yang menampar ke arah dada Nurseta. Dengan mudah Nurseta mengelak, dan ketika Padasgunung mendesaknya dengan dua pukulan beruntun, diapun cepat mengelak, bahkan pukulan ke tiga itu dia tangkis dari samping yang membuat tubuh Padasgunung agak terhuyung.
"Babo-babo, kiranya kau memiliki kepandaian, maka kau berani lancang mulut mewakili Pragalbo menjual lagak di sini!"
Bentak Padasgunung marah dan juga merasa terkejut ketika mendapat kenyataan betapa pemuda ini selain mampu menghindarkan diri dari tiga kali serangannya, bahkan ketika menangkis membuatnya terhuyung. Diapun sudah mencabut suling bambunya dari ikat pinggang dan kini dengan suling bambu di tangan, dia menghadapi Nurseta.
Melihat betapa lawan ini mempergunakan sebatang suling bambu sebagai senjata, Nurseta tertarik bukan main. Dia sendiri suka meniup suling, bahkan memiliki pula sebatang suling yang dibuatnya dari bambu kuning, dan suling itu selain kadang-kadang dimainkannya, dapat pula dipergunakan sebagai senjata yang ampuh untuk melindungi dirinya.Tentu saja dengan tingkat kepandaiannya yang sudah tinggi, Nurseta jarang mau mempergunakan sulingnya, cukup mempergunakan kaki tangannya saja.
"Anak muda, pergilah sebelum menyesal. Betapapun pandainya kau, kalau aku terlanjur menyerangmu dengan sulingku ini. kau tentu akan celaka, kalau tidak tewas, sedikitnya tentu akan terluka parah dan aku tidak ingin melukai orang, apa lagi membunuhnya"
Biarpun orang ini berhati keras, namun setidaknya dari kata-katanya ini saja sudah dapat dikenal sebagai seorang yang berjiwa ksatria, yang tidah suka bertindak sewenang-wenang membunuh orang tanpa sebab. Ini saja sudah menyenangkan hati Nurseta, dan diapun ingin sekali menguji sampai di mana kehebatan orang yang mempergunakan suling untuk senjata ini.
"Kakang Padasgunung, aku datang hanya untuk mendamaikan, akan tetapi kalau kau hendak mempergunakan kekerasan, silakan"
"Babo-babo, kau bocah sombong, rasakan keampuhan sulingku"
Padasgunung sudah nenerjang ke depan, sulingnya menyambar dan mengeluarkan suara melengking yang nengejutkan Nurseta, karena gerakan suling yang dipergunakan menyerang dapat mengeluarkan suara melengking itu saja sudah menunjukkan bahwa lawannya memang hebat.
Nurseta mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak kesana-sini sambil memperhatikan gerakan jurus serangan lawan. Dia tertarik dan mendapat kenyataan bahwa seperti juga gerakan keris yang dipergunakan Pragalbo tadi, Padasgunung dengan sulingnya ini merupakan seorang pendekar yang cukup kuat. Akan tetapi tentu saja tidak cukup kuat baginya dan dengan amat mudahnya dia dapat menghindarkan setiap serangan sambil kadang-kadang menangkis. Dan setiap kali tertangkis, mulut Padasgunung menyeringai kesakitan.
Tiba-tiba terdengar teriakan Pragalbo ya sudah lari naik ke depan pondok ketika melihat betapa kakak seperguruannya sudah menyerang Nurseta dengan sulingnya.
"Kakang Padasgunung, hentikan seranganmu itu. kakang takkan menang melawan Adimas Nurseta"
Mendengar teriakan itu, Padasgunung menghentikan serangannya, akan tetapi alisnya berkerut dan matanya memandang tajam penuh kemarahan.
"Pragalbo, kau datang membawa jagoan untuk merampas Sriyati dari tanganku. Jangan harap, dan aku tidak takut. kau pengecut"
Langsung saja Padasgunung maju menyerang adik seperguruannya dengan marah.
"Eh, kakang!"
Teriak Pragalbo sambil mengelak cepat.
"Aku hanya datang untuk menuntut keadilan darimu, meminta hakku terhadap Sriyati yang aku cintai"
"Ia adalah calon isteriku. Siapapun tidak boleh merampasnya dariku!"
Bentak Padasgunung yang sudah menyerang kembali.
Kini Pragalbo sudah menjadi marah, apa lagi melihat betapa Sriyati telah sembuh dan kelihatan semaki menarik, semakin manis merak ati! Diapun mencabut kerisnya dan menangkis ketika kakak seperguruannya menyerangnya dengan sulingnya.
"Cring-tranggg.......!"
Mereka sudah saling menyerang dengan sengit, memperebutkan gadis hitam manis yang bernama Sriyati yang kini hanya berdiri dengan bingung. Kedua matanya terbuka lebar dan agaknya ia tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.
Melihat betapa kakak beradik seperguruan itu sudah saling serang, Nurseta menarik napas panjang. Diam-diam pemuda yang belum berpengalaman mengenai peristiwa seperti itu, merasa heran sekaii. Bagaimana dua orang kakak beradik seperguruan yang demikian gagah perkasa, kini mendadak saja berubah seperti dua orang pemuda picik dan tolol, saling serang untuk hanya karena seorang gadis. Dia sama sekaii tidak tahu bahwa kekuatan yang terkandung di dalam diri seorang wanita amatlah hebat, dan dapat mempengaruhi seorang pria yang palaing kuat sekalipun. Kerling mata dan senyum bibir seorang wanita memiliki daya kekuatan ang jauh lebih ampuh dari pada keris di tangan laksaan orang musuh.
Cepat Nurseta melompat ke tengah di antara mereka karena dia tidak ingin melihat perkelahian itu menjatuhkan korban di antara kakak beradik seperguruan itu.
Dengan cekatan dia sudah menangkap pergelangan kedua tangan mereka yang memegang senjata dan sekali merenggut, dia sudah merampas keris dan suling itu dari tangan Pragalbo dan Padasgunung.
Pragalbo yang sudah maklum akan kesaktian Nurseta, cepat melompat ke belakang, akan tetapi Padasgunung yang mengira bahwa Nurseta masih hendak membantu Pragalbo, marah sekali, ia menghantam dengan tangan kanannya, dengan jari tangan terbuka ia menghantam dada Nurseta dengan pengerahan tenaga saktinya.
Melihat ini, Nurseta memasang Aji Wandiro Kingkin, menerima hantaman tangan kanan lawan itu, membiarkan dadanya menjadi sasaran pukulan. Tak dapat dihindarkan lagi, telapak tangan Padasgunung menghantam dada Nursela.
"Dessss........!!"
Dan akibatnya, tubuh Padasgunung terpental dan diapun roboh terpelanting dengan tubuh lemas karena tenaga pukulannya tadi telah membalik dan mengenai dirinya sendiri.
Cepat dia bergulingan dan bangkit duduk, bersila untuk menghirup udara segar dan menyalurkan hawa sakti untuk melindungi tubuhnya yang terguncang hebat, karena kalau tidak demikian, dia dapat menderita luki dalam yang parah.
Sementara itu, Pragalbo lalu menghampiri Sriyati yang masih berdiri bingung, lalu berkata dengan suara halus.
"Diajeng Sriyati, apakan kau kenal kepadaku? Aku Pragalbo, orang yang telah menyelamatkanmu ketika kau hanyut dalam air bah di dusun itu"
Sriyati memandang pemuda yang gagah perkasa, bermuka persegi dan berkulit hitam itu.
"Tentu saja saya tidak lupa kepadamu, Kakangmas Pragalbo, karena kaulah orang pertama yang saya kenal dan sudah diperkenalkan kepadaku ketika aku hidup kembali"
"Nah, karena aku yang telah menyeretmu dari tangan kematian di air sungai banjir, tidakkah sudah sepatutnya kalau aku pula yang lebih dahulu menyatakan cintaku kepadamu dan menuntut agar kau suka menjadi iseriku?"
"Pragalbo, keparat kau! kau hendak merayu calon isterikul"
Bentak Padasgunung yang sudah bangkit berdiri.
"Tidak, Kakang Padasgunung. Ia adalah calon isteriku yang telah kau rebut dariku"
"Ia calon isteriku"
"Calon isteriku"
Kedua orang itu sudah saling pelotot lagi dan Nurseta cepat melangkah maju menengahi dan mengembalikan keris dan suling kepada pemiliknya masing-masing lalu berkata.
"Kalian berdua sungguh seperti anak kecil saling memperebutkan mainan. Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, tenanglah dan sadarlah, dengarkan kata-kataku. Ingatlah, apakah kalian menganggap gadis ini sebagai seekor kucing atau anjing saja, ataukah sebagai setangkai bunga mawar, atau sebuah benda indah yang mati sehingga dapat kalian perebutkan demikian saja? Ia adalah seorang manusia yang berjiwa, seorang manusia yang berhak menentukan nasibnya dan pilihan hatinya sendiri"
Dua orang kakak beradik itu terkejut dan keduanya memandang wajah Nurseta dengan bingung.
"Nah, sekarang akan aku tanyakan kepada yang bersangkutan"
Nurseta behenti sebentar, lalu katayna kepada Sriyati.
"Sriyati, aku datang sebagai penengah dan pendamai di antara dua orang pemuda yang sedang memperebutkan dirimu. Aku bernama Nurseta dan kini aku ingin bertanya kepadamu. Maukah kau menjadi isteri Kakang Padasgunung?"
Sriyati menoleh dan memandang kepada Padasgunung, lalu menunduk dan mengangguk berkata lirih.
"Terserah, aku hanya menurut saja, aku berhutang budi dan nyawa kepadanya.
"Hahaha. kau dengar sendiri, Pragalbo. Buka telingamu lebar-lebar, kau mendengar sendiri, bukan?. Aku tidak merebutnya darimu? Hahaha"
Padasgunung tertawa bergelak sehingga Pragalbo memandang heran. Selamanya belum pernah ia melihat kakaknya tertawa seperti itu, kakaknya adalah seorang yang pendiam, tidak pernah ia tertawa kegirangan seperti itu.
Akan tetapi, Nurseta yang merasa tidak yakin akan sikap Sriyati yang seperti sebuah boneka saja berbicaranya. Kini ia melanjutkan pertanyaannya.
"Sriyati, maukah kau menjadi isteri Kakang Pragalbo ini? Dan iapun sudah penah menolongmu dari maut ketika kau hanyut alam banjir"
Sriyati menoleh dan memandang kepada Prgalbo. kembali ia mengangguk dan menjawab "Terserah, aku hanya menurut saja, akupun berhutang budi dan nyawa kepadanya"
"Nahhhh! Dengarkah kau, kakang. Ia asih ingatt betapa aku yang telah menyelamatkan nyawanya untuk pertama kalinya!"
Teriak Pragalbo dengan suara bersorak penuh kemenangan,
Wajah Padasgunung berubah pucat dan dan terbelalak, ia memandang kepada Sriyati, kemudian kepada Nurseta.
Pragalbo juga memandang kepada Narseta, karena ia sendiri menjadi bingung. Sriyati ternyata setuju saja menjadi isteri kakangnya maupun menjadi isterinya.
"Bagaimana baiknya sekarang, Adimas Nurseta?"
Tanya Pragalbo penuh keraguan.
"Ya, bagaimana baiknya?"
Bertanya pula Padasgunung yang kini sudah merasa yakin akan kesaktian pemuda ini dan tidak berani main-main lagi.
Nurseta menarik napas panjang.
"Sudah aku katakan tadi, ia bukanlah benda mati dan bukan binatang piaraan, melainkan seorang manusia yang berhak menentukan pilihan hatinya sendiri. Secara kebetulan saja kalian berdua telah menemukannya dan menyelamatkannya. Itu bukan berarti bahwa ia lalu menjadi milik kalian. Apakah ketika kalian menolongnya dahulu, kalian memiliki pamrih untuk memperisterikannya? Betapa rendahnya pertolongan itu kalian kalau begitu.
"Tidak, tadinya aku menolongnya seperti aku menolong yang lain, baru kemudian aku jatuh cinta kepadanya."
Berkata Pragalbo.
"Akupun akan menolong siapa saja yang berobat kepadaku, akan tetapi aku kemudian aku jatuh hati kepadanya"
Berkata Padasgunung kemudian.
"Bagus, kalian memang para pemuda ksatria dan pendekar perkasa, akana tetapi, kalian jangan menurutkan hawa nafsu kalian masing-masing, ingatlah akan kepentingan yang lebih tinggi dari itu"
"Akan tetapi, kami tidak memaksa diajeng Sriyati untuk menjadi isteri kami, kau mendengar sendiri, Adimas Nurseta, bahwa gadis itupun suka menjadi isteri seorang di antara kami"
"Benar ucapan adi Pragalbo. Sriyati juga suka kepada kami, bukan berarti kami memaksakan kehendak kami"
Sambung Padasgunung.
Nurseta tersenyum.
"Lihatlah buktinya, kalian sudah tahu, bahwa Sriyati hanya menurut saja apa yang kalian inginkan, karena ia telah kehilangan masa lalunya, dan melihat kalian adalah dewa-dewa penolongnya, dan ia berhutang budi kepada kalian, maka ia menurut saja, apa yang kalian inginkan darinya"
Ia berhenti sebentar lalu ia berkata kepada Sriyati "Diajeng Sriyati, berterus teranglah dan jangan takut. Siapakah diantara kedua kesatria ini yang kau cinta?"
Sriyati mengangkat muka dan memandang kepada Padasgunung dan Pragalbo yang juga menatap wajahnya dengan penuh harap, kemudian gadis itu menunduk kembali sambil berkata lirih dan takut-takut.
"Aku....... aku tidak tahu......"
"Nah, Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, kalian sudah mendengar sendiri perkataan Sriyati. Jelaslah, bahwa gadis ini tidak mempunyai perasaan cinta kepada kalian, melainkan hanya berhutang budi. Kalau kalian hendak memaksanya menjadi isteri kalian hanya untuk membalas budi, bukankah itu berarti bahwa kalian sengaja melepas budi untuk mengharapkan balasannya yaitu hendak memperisterikannya"
Dua orang kakak beradik seperguruan itu kembali tertegun. Mereka memandang Sriyati yang menundukkan wajahnya itu sejenak, kemudian mereka saling pandang dengan muka merah, ucapan Nurseta itu seperti menusuk jantung dan membuat mereka merasa canggung dan malu.
"Dengarlah, kedua kakang yang gagah. Peristiwa ini mirip sekali dengan peristiwa yang aku alami"
Kemudian Nurseta bercerita tentang Wulansari dan betapa gadis itupun diselamatkan dari dalam air oleh Ki Jembros, kemudian diobati oleh Sang Panembaban Sidik Danasura. Persis seperti apa yang terjadi pada diri Sriyati yang ditolong oleh Pragalbo, kemudian diobati oleh Padasgunung. kemudian gadis itu menjadi murid Panembahan Sidik Danasura, dan setelah lewat lima tahun Ki Jembros datang untuk mengajak pergi gadis itu karena diapun berhak menggembleng gadis itu karena dialah penyelamat gadis dari maut di dalam air, ketika perabunya terbalik. Kemudian muncul Ki Cucut Kalasekti Datuk Blambangan yang membawa lari Larasati, karena menganggap bahwa dia lebih berhak. karena Wulansari itu adalah cucunya yang berasal dari Blambangan.
"Nah, dalam hal ini, Eyang Panembahan Sidik Danasura dan Paman Jembros mengalah. Mereka menganggap bahwa mereka tidak berhak atas diri Wulansari yang dibawa kembali kepada keluarganya, demikian pula dengan diajeng Sriyati. Tidakkah lebih bijaksana kalau mencoba untuk mengembalikannya kepada keluarganya, kemudian tentang perjodohannya serahkan saja kepada pilihannya sendiri atau keluarganya? Kalau ia dan keluarganya memilih seorang di antara kalian, maka yang lain harus berlapang dada"
Cerita Nurseta itu menyadarkan dua orang kakak beradik seperguruan itu dan mereka mengerti akan kesalahan mereka, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, lalu mereka saling rangkul.
"Adikku Pragalbo, maafkanlah kakangmu yang sesat ini, Kalau Sriyati memilih kau, aku akan ikut berbahagia"
"Akulah yang mohon maaf kepadamu, kakang. Sepatutnya aku yang mengalah kalau memang Sriyati cinta padamu"
Kata Pragalbo.
Melihat kejadian ini, Nurseta tersenyum girang, karena ia semakin yakin akan kegagahan kedua orang itu.
"Bagus, aku kagum kepada kalian, Bagaimana kalau sekarang aku ajak diajeng Sriyati mencari keluarganya? Kakang Pragalbo, dari dusun manakah kakang menolongnya?"
Tanya Nurseta yang sudah mengambil keputusan untuk mengantar gadis itu kembali ke keluarganya
Pragalbo ragu-ragu sejenak, akan tetapi akhirnya ia menjawab juga.
"Dari dusun Mentasih, di sebelah barat Karangrejo, di tepi Sungai Campur, hanya menempuh perjalanan satu jam dari sini"
"Ke hilir?"
"Ya, kalau berperahu ke hilir, hanya setengah jam sudah sampai, letaknya berada di sebelah selatan sungai"
Jawab Pragalbo.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu, bolehkah kami mempergunakan perahumu itu, kakang Pragalbo?"
"Tentu saja boleh, pakailah Adimas Nurseta"
Nurseta mengangguk sambil tersenyum, kemudian menggandeng tangan Sriyati sambil berkata.
"Marilah, diajeng, kita mencari keluargamu di dusun Mentasih"
Gadis itu sejenak memandang kepada Pragalbo dan Padasgunung, seperti ingin minta pendapat mereka, akan tetapi karena kedua orang itu diam saja, iapun menurut saja ketika digandeng oleh Nurseta, jantungnya berdebar penuh ketegangan karena baru sekaranglah ada orang yang hendak mengajaknya mencari keluarganya yang sudah dilupakannya.
Nurseta mengajak gadis itu pergi ke tepi pantai di mana Pragalbo meninggalkan perahunya. Mereka berdua lalu masuk ke dalam perahu dan perahupun hanyut ke hilir, bertambah cepat setelah Nurseta menggunakan dayungnya.
Tak lama kemudian mereka melihat sebuah dusun di sebelah kanan. Sebuah dusun yang masih nampak bekas tanda-tanda habis kebanjiran dan penduduknya nampak sibuk membetulkan rumah rumah mereka yang tadinya ambruk dilanda air bah.
"Ohhhh.......!"
Nurseta menoleh ke arah gadis itu dan melihat betapa gadis itu memandang ke arah dusun itu dengan mata terbelalak bingung dan muka berubah agak pucat.
"Kau mengenal dusun itu, Sriyati?"
"Aku......... aku pernah melihatnya..........ya, ya, pohon-pohon itu........, tidak asing bagiku ....."
Kata gadis itu dengan suara agak gemetar.
Nurseta merasa girang sekali.
"Kalau begitu, mari kita ke sana, mudah-mudahan saja keluargamu berada di sana"
"Keluargaku..........? Aku.......... aku tidak ingat......"gadis itu mengeluh. Akan tetapi Nurseta tidak bicara lagi melainkan mendayung perahu menuju ke dusun itu. Dia tahu bahwa gadis ini kehilangan ingatannya dan dia mengharapkan pertemuan yang tiba-tiba dengan keluarganya akan mendatangkan guncangan yang cukup kuat sehingga akan mampu mengembalikan ingatannya.
Ketika perahu itu tiba menepi, banyak orang memandang ke arah mereka berdua. Nurseta menggandeng tangan Sriyati turun dari atas perahu dan segera terdengar suara banyak orang menyebut nama Sriyati. Mereka datang berlarian ke arah perahu dan diantara banyak suara itu, terdengar teriakan seorang wanita yang menyebut nama Sriyati sambil menangis.
"Sriyati........!"
"Nini Sriyati.......!"
Suara seorang laki-laki terdengar pula dan nampak seorang laki-laki dan seorang wanita setengah tua berlari-lari menghampiri Sriyati. Gadis itu terbelalak, mukanya pucat sekali dan akhirnya, setelah kedua orang itu datang agak dekat, iapun menjerit.
"Kanjeng Rama....... Kanjeng ibu........"
Mereka saling tubruk dan saling rangkul, anak dan ibu bapaknya menangis dalam pertemuan yang mengharukan itu. Ayah dan ibunya yang mengira bahwa puterinya telah tewas dalam bencana banjir itu, seolah-olah melihat puteri mereka bangkit dari liang kubur.
"Diajeng Sriyati. Terima kasih kepada para dewa, kau masih hidup diajeng"
Seorang pemuda melangkah maju mendekati mereka yang sedang bertangisan.
Sriyati menengok dari rangkulan ayah dan ibunya dan memandang kepada pemuda itu, mula mula ia agak ragu-ragu sampai ketika ibunya menegurnya.
"Anakku, lupakah kau kepada Parmanto ini?"
"Kakangmasmu Parmanto......."
Sriyati berseru girang.
Pemuda bernama Parmanto itu melangkah maju, mereka saling berpegang tangan. Sementara itu, belasan orang laki-laki tua muda, kini maju menghampiri Nurseta dengan pandangan mata mereka yang tidak benahabat.
Seorang di antara mereka yang masih muda berseru "Dia inilah yang menculik Raden Ajeng Sriyati, kita tangkap dia !"
Mendengar ucapan ini, belasan orang itu menyerbu dan menyergap Nurseta yang menjadi terkejut bukan main. Karena orang-orang itu menyerangnya dengan ganas dan dengan teriakan riuh rendah yang menuduh ia penculik, maka dianggapnya akan percuma saja kalau dia membela diri dengan kata-kata. Maka, Nursetapun cepat mengelak sambil melompat ke belakang.
Akan tetapi, kini lebih banyak lagi orang menyerbu. Agaknya semua penduduk yang baru beberapa hari lamanya mengalami malapetaka banjir itu, masih dalam keadaan duka dan marah, mudah tersinggung. Mendengar bahwa Sriyati, puteri kepala dusun mereka yang merupakan gadis kembang dusun mereka, kini ternyata masih hidup, tidak hanyut oleh banjir seperti yang mereka kira, kini pulang bersama seorang pemuda yang menculiknya. Orang-orang itu marah dan kini ada lebih dari tiga puluh orang ramai-ramai mengepung Nurseta.
(Lanjut ke Jilid 07)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
Banyak di antara mereka yang membawa senjata linggis, kapak, arit dan alat alat membetulkan rumah. Juga pemuda bernama Parmanto tadi, mendengar teriakan teriakan itu, menjadi marah dan dengan hati penuh cemburu diapun ikut puia menyerbu.
Nurseta maklum bahwa para penduduk dusun yang baru saja dilanda kebanjiran itu masih berada dalam keadaan gelisah dan mudah marah, mereka mengepung dan menyerangya karena salah paham, bukan karenu mereka jahat. Maka diapun tidak ingin melukai mereka.
Ketika melihat dirinya dikepung dan mereka itu datang menyerbu dengan senjata di tangan, diapun mengerahkan kepandaiannya. Tubuhnya meloncat jauh melampaui kepala para pengepungnya dan tahu-tahu tubuhnya telah berada diatas atap rumah yang sedang dibangun kembali itu.
Para pengepung itu tadinya bingung, karena tiba-tiba pemuda yang mereka kepung itu lenyap. Hanya nampak bayangan berkelebat dan pemuda yang tadinya mereka kepung itu tidak nampak lagi.
Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak "Itu dia di sana, di atas atap"
Semua orang menengok dan benar saja, pemuda yang mereka keroyok tadi kini telah berdiri di atas atap yang belum selesai mereki pasang dan pemuda itu nampak tenang sambil tersenyum.
Mereka adalah penduduk dusun yang polos, tidak sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang sakti mandraguna. Mereka tetap saja berlari-larian menghampiri rumah itu dan mengacung-acungkan senjata mereka ke arah Nurseta.
Pada saat itu, Sriyati melepaskan diri dari rangkulan ayah ibunya dan berteriak-teriak.
"Jangan bunuh dia. Dia bukan penculik, dia yang mengantar aku pulang"
Mendengar seruan Sriyati itu, semua orang memandang bingung.
Nurseta lalu berkata dengan suara mengandung teguran.
"Saudara sekalian, sungguh tidak baik menuruti hati yang keruh penuh kemarahan dan prasangka buruk, Diajeng Sriyati telah ditolong oleh dua orang kesatria dari cengkeraman maut ketika banjir trerjadi dan aku hanyalah sekedar mengantarnya untuk mencari keluarganya di sini. Sekarang ia telah berhasil berkumpul kembali dengan keluarganya, maka tidak perlu lagi aku berlama-lama di tempat ini. Harap lain kali kalian tidak terburu nafsu dan gunakanlah akal sehat dan bersikap tenang"
Setelah berkata demikian, sekali loncat, nampak bayangan berkelebat dan Nurseta lenyap dari atas atap itu.
Tentu saja semua orang terkejut bukan main dan ramailah mereka membicarakan tentang pemuda aneh itu. Mereka menghujani Sriyati dengan pertanyaan dan gadis itupun segera menceritakan semua pengalamannya.
Sementara itu, setelah Nurseta pergi bersama Sriyati, Padasgunung mengerutkan alisnya dan bertanya kepada Pragalbo.
"Adi Pragalbo, apakah kau sudah mengenal betul pemuda itu?"
Pragalbo menggeleng kepalanya.
"Baru saja aku bertemu dengan dia di tepi sungai, dan ternyata dia memiliki kesaktian yang amat tinggi"
"Hemm, kalau begitu kita telah lengah, Adi Pragalbo. Bagaimana kalau dia pergi membawa Sriyati untuk diambilnya sendiri?"
"Ah, mana mungkin? Dia seorang kesatria yang sakti mandraguna, Kakang Padasgunung"
"Hemm, kau belum mengenal orang macam apa dia itu, hanya yang kau tahu dia seorang pemuda yang sakti mandraguna. Apakah kesaktian itu dapat menjadi menjamin bahwa dia orang yang baik-baik? Banyak di dunia ini orang sakti yang jahat. Kita belum mengenalnya benar dan kita sudah menyerahkan Sriyati untuk dibawanya. Adi Pragalbo, kita telah lengah dan membahayakan diri Sriyati"
"Habis, bagaimana baiknya, kakang?"
Tanya Pragalbo yang panik juga mendengar kesangsian kakak seperguruannya.
"Tidak ada jalan lain, kita harus cepat menyusulnya ke dusun Mentasih. Kalau benar Sriyati dibawa kembali kepada keluarganya, sukurlah, Dan kita dapat berbicara dengan keluarganya untuk menentukan, siapa di antara kita yang dapat diterima menjadi suaminya. Sedangkan kalau ia dilarikan oleh pemuda bernama Nurseta itu. Kita harus mengejarnya dan merampasnya kembali"
Demikianlah, kakak beradik seperguruan ini lalu melakukan perjalanan cepat, lewat darat. Sepanjang tepi sungai mereka melakukan pengejaran, dan mereka mempergunakan kepandaian mereka untuk berlari cepat. Ketika mereka sudah dekat dengan dusun Mentasih, dari jauh Nurseta melihat mereka. Pemuda ini merasa heran dan cepat menyelinap ke belakang semak belukar untuk mengintai.
Melihat betapa dua orang itu lewat dengan wajah keruh seperti orang marah, diam-diam Nurseta mengikuti mereka secara diam-diam, Ia ingin tahu, apakah yang hendak mereka lakukan.
Setelah tiba di dusun Mentasih, Pragalbo dan Padasgunung melihat kesibukan para penduduk yang sedang membangun kembali dusun yang habis dilanda banjir itu, Pragalbo dan Padasgunung menghentikan larinya, Dan tiba-tiba mereka berhenti melangkah karena melihat dua orang yang sedang duduk di bawah sebatang pohon, seorang pemuda dan seorang gadis, nampaknya mereka sedang bermesraan. Duduk berdekatan dan saling menggenggam tangan masing-masing, saling pandang dengan mesra seperti dua orang yang sedang melepas kerinduan.
Seketika itu juga wajah kedua orang satria muda ini berubah merah, ketika mereka mengenal gadis itu, gadis itu bukan lain adalah Sriyati.
"Keparat!"
Padasgunung yang lebih brangasan ketimbang adik seperguruannya tak dapat menahan cemburu dan kemarahannya. Dia langsung saja menerjang ke arah pemuda yang sedang duduk bersanding dengan Sriyati.
Akan tetapi pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tiba-tiba saja Nurseta telah berdiri di depannya dan menangkis pukulan Padasgunung yang amat keras itu. Tangkisan yang amat kuat, sehingga Padasgunung terhuyung ke belakang.
Melihat dirinya tadi diserang orang, pemuda yang bukan lain adalah Parmanto bangkit berdiri dan memandang dengan heran, sementara itu, Sriyati juga bangkit berdiri dan memandang dengan wajah pucat.
Ketika Padasgunung dan Pragalbo melihat bahwa Nurseta membela pemuda itu, mereka menjadi semakin marah.
"Hemm, kiranya kau berada di sini, Nurseta"
Bentak Pragalbo, kau berjanji hendak membawa Sriyati kepada keluarganya, tidak tahunya kau menjualnya kepada pemuda ini"
Pragalbo maju menyerang Nurseta, disusul pula oleh Padasgunung yang juga menyerang dengan penuh nafsu.
Menghadapi serangan kedua orang yang menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan dengan kemarahan, Nurseta hanya mengelak sambil melangkah mundur.
"Tunggu dulu, Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo"
Akan tetapi kedua orang laki-laki yang sedang marah itu, tidak mau bicara lagi dan bahkan ini mereka mencabut senjata masing-masing. Pragalbo mencabut kerisnya sedangkan Padasgunung mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang suling. Dengan bersamaan mereka kakak beradik menyerang kalang kabut.
Nurseta mengerutkan alisnya. Dua orang kakak beradik ini adalah dua orang kesatria yang gagah perkasa, akan tetapi watak mereka keras dan kaku, mudah cemburu dan mudah pula marah. Diapun tidak mau mengalah terus. Melihat berkelebatnya suling dan keris, Nurseta mambalas menerjang ke depan, kedua tangannya bergerak menyambar dengan kecepatan luar. Sesuatu terasa mengetarkan tangan Padasgunung dan Pragalbo, betapa lengan tangan mereka seperti lumpuh, dan senjata mereka kini terlepas dari pegangan.
Sebelum mereka dapat memperbaiki kedudukan mereka, dua kali tendangan kaki Nurseta tepat menyentuh lutut dan kedua kesatria itu, sehingga mereka jatuh terduduk.
"Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, simpan dulu kemarahan kalian. Dengarlah baik-baik. Aku telah mengantarkan diajeng Sriyati kepada ayah bundanya dan mengembalikan kembali ingatannya, kalau kakang ingin mengetahui siapakah pemuda itu, tanyalah langsung kepada Diajeng Sriyati"
Sriyati kini berlari menghampiri dua orang itu dan berkata "Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, akulah yang bersalah. Ketahuilah, setelah aku berjumpa dengan ayah bundaku, ingatanku kembali. Aku mengingat segalanya kembali. Ini adalah Kakangmas Pramanto. Dia adalah tunanganku, calon suamiku. Harap jangan menuduh yang bukan-bukan, dan kakang Nurseta hanya mengantarkan aku kepada keluargaku"
Padasgunung dan Pragalbo memandang kepada Nurseta, dan berkata "Adimas Nurseta, kami telah bersalah, harap andika bisa memaafkan kami"
"Harap kakang berdua melupakan saja kejadian tadi, yang penting diajeng sudah berkumpul kembali kepada keluarganya dan juga tunangannya dan bahkan ingatannya telah pulih kembali, kalau kita sayang kepada diajeng, biarkanlah ia mendapatkan kebahagiaannya disini"
Ucapan itu bagaikan air dingin yang mengguyur kepala kedua orang gagah itu, dan menyadarkan mereka, betapa piciknya sikap mereka tadi. Mereka memandang kepada Nurseta lalu mengangguk, sinar mata mereka kini berkilat, wajah mereka kembali berseri-seri penuh semangat.
Nurseta merasa gembira sekali, dan iapun menurut saja ketika dua orang itu menggandeng tangannya dan membawanya pergi dari tempat itu, tanpa menoleh satu kalipun kepada Sriyati, seolah-olah kedua orang itu kini sudah melupakan gadis yang pernah dijadikan rebutan itu.
Sebelum Nurseta berpisah dari dua orang kakak beradik itu, mereka sempat bercakap-cakap sebagai seorang sahabat baik. Dari percakapan itulah Nurseta mengetahui bahwa persekutuan pemberontak yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah itu, didukung pula oleh kakek sakti Ki Buyut Pranamaya, menurut desas-desus yang mereka dengar, kini mulai bergerak dari timur.
"Beberapa tahun yang lalu, mereka itu bersarang di Bukit Gandamayit, di hutan Cempiring. Akan tetapi ketika para senopati kerajaan melakukan penyelidikan ke tempat itu. Para pemberontak itu telah lenyap, sarang mereka telah ditinggalkan kosong. Mungkin mereka telah mendapatkan sarang baru, dan menurut kabar, mereka memilih tempat yang berada di wilayah Kediri. Kalau pada waktu itu mereka masih berada di Gandamayit, tentu mereka telah diserbu pasukan kerajaan dan sudah dihancurkan"
Kata Padasgunung.
"Dan sekarang, menurut desas desus, mereka telah keluar dari daerah Kediri dan mulai menduduki beberapa buah dusun di Pegunungan Kidul. Mungkin kerajaan belum mendengarnya, akan tetapi kami yang berada di daerah Selatan, telah mendengar berita itu"
Berkata pula Pragalbo.
Nurseta mengerutkan alisnya.
"Hemm, kalau begitu, negara kita sedang terancam dan sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang pemberontakan yang hanya akan mendatangkan perang dan kesengsaraan bagi rakyat jelata"
"Memang sudah seharusnya kita membantu pemerintah untuk menentang para pengacau itu. Akan tetapi, adimas, apa artinya bantuan kami kalau yang memimpin pemberontakan itu didukung oleh seorang kakek sakti seperti Ki Buyut Pranamaya?"
Kata Padasgunung.
"Siapakah itu?"
Tanya Nurseta.
"Ah, agaknya Adimas Nurseta baru saja meninggalkan pertapaan sehingga belum banyak mengenal tokoh dari dunia sesat"
Kata Pragalbo.
"Ki Buyut Pranamaya adalah seorang kakek yang memiiiki kesaktian yang amat hebat. Ia sakti mandraguna dan sukar dicari tandingannya. Kami sendiri belum pernah bertemu dengan dia, akan tetapi sudah banyak mendengar tentang nama besar dan kesaktiannya. Terus terang saja, bantuan kami tidak ada artinya.
"Adi Pragalbo benar"
Kata Padasgunung.
"kami tidak akan mampu menandingi mereka, tentu saja kalau Adimas Nurseta sendiri yang maju........."
"Harap kakang berdua tidak beranggapan seperti itu. Di dalam perjuangan menentang kejahatan, kita harus bersatu pada. Seperti halnya sapu lidi, kalau kita maju satu demi satu, memang tidak ada artinya. Akan tetapi, kalau ratusan atau ribuan batang lidi bersatu, maka, mereka akan menjadi sapu yang sanggup membersihkan semua kotoran. Harap kakang berdua mempersiapkan diri saja di daerah Pegunungan Kidul, siapa tahu tenaga kakang berdua kelak dibutuhkan, karena aku yakin bahwa para senopati Singosari dan para pendekar dan kesatria tidak akan tinggal diam saja mendengar gerakan para pemberontak itu.
Setelah puas bercerita, maka merekapun berpisah, setelah berjanji untuk berjumpa kembali di dalam perjuangan menentang para pemberontak.
Nurseta melanjutkan perjalanannya. Ketika ia tiba di dusun Karangreja, di mana Kali Campur memuntahkan airnya ke dalam Sungai Brantas yang menjadi semakin besar, dia lalu mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan melalui aliran air sungai yang besar itu. Lebih enak dan tidak melelahkan kalau dia dapat melanjutkan perjalanan melalui air sungai ke hilir. Dan lagi, dia sendiri tidak tahu ke mana harus mencari ayahnya.
Sebelum tiba di tepi Kali Campur dan bertemu dengan Padasgunung dan Pragalbo, sekali lagi dia lewat ke dusun Kelinting. Namun, ayahnya tidak berada di sana, dan tak seorangpun penduduk dusun itu yang mengetahui ke mana ayahnya pergi. Ayahnya dibawa pergi orang jahat, berikut tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Ayahnya selalu menggemblengnya untuk menjadi seorang kesatria pembela tanah air, bahkan gurunya, Panembahan Sidik Danasura, juga memesan padanya agar mempergunakan semua llmu yang dipelajarinya untuk menjadi seorang satria sejati, pembela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat dan membela yang benar dan yang lemah tertindas.
Ia sudah mendengar akan adanya pemberontakan yang didukung oleh para tokoh sesat, berarti bahwa Kerajaan Singosari terancam bahaya. Kiranya jalan terbaik baginya adalah pergi ke kota raja dan melapofkan apa yang telah didengarnya dari kedua orang kakak beradik seperguruan itu tentang pergerakan para pemberontak di perbatasan Kediri sebelah selatan.
Kebetulan ada sebuah perahu yang sederhana yang memuat ubi merah, didayung oleh seorang laki-laki setengah tua menuju ke hilir.
Nurseta meneriakinya dari tepi.
"Paman, aku ingin ke hilir, bolehkah aku menumpang perahumu?"
Laki-laki itu memandang Nurseta, ia melihat seorang pemuda tampan yang sikapnya ramah, diapun mendayung perahunya ke tepi.
"Andika tidak membawa barang berharga?"
Tanyanya sambil menahan perahu dengan dayungnya yang ditekankan pada tanah sambil memandang ke arah buntalan pakaian di punggung Nurseta.
Pemuda itu tersenyum "Aku bukan seorang saudagar, paman, melainkan seorang perantau miskin"
"Kalau begitu naiklah, dan bantu aku mendayung"
Nurseta naik ke atas perahu dan duduk di bagian belakang, ia menerima dayung dari orang tua itu yang duduk di bagian depan untuk mengemudikan perahu. Mulailah Nurseta mendayung, perahu meluncur ke tengah.
"Paman, mengapa paman tadi bertanya apakah aku membawa barang berharga?"
"Di depan sana banyak bajak, kalau mereka melihat orang membawa barang berharga, tentu kita akan diganggu"
Nurseta memandang lima buah keranjang yang penuh ubi merah itu, dan berkata "Akan tetapi kau membawa lima keranjang ubi, bukankah ini cukup berharga?"
"Hanya bajak kelaparan saja yang mau membajak ubi merah. Tak mungkin mereka mau bersusah payah menjualnya lebih dulu,"
Kata orang itu, akan tetapi pandang matanya membayangkan kekhawatiran.
Baru saja dia berkata demikian, tiba-tiba nampak sebuah perahu hitam muncul dari semak-semak di tepi sungai. Kanan kiri sungai yang lebar itu penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon besar, dan tidak nampak ada manusia, letaknya juga jauh dari pedusunan, sunyi teekali.
Perahu hitam itu ditumpangi lima orang yang, langsung memotong jalan. pemilik ubi merah itu memandang pucat.
"Dayung terus, cepat!"
Bisiknya kepada Nurseta.
Nurseta dapat menduga bahwa merka ini tentulah bajak yang dimaksud oleh petani ubi tersebut.
"Hei! Berhenti, apakah kalian ingin mampus?"
Bentak seorang bajak.
"Berhenti dan serahkan samua barang kalian, juga pakaian yang kalian pakai itu!"
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Teriak bajak lain.
Perahu bajak itu meluncur cepat mendampingi perahu petani itu, dan seorang diantara mereka bangkit berdiri dan mengayunkan dayung yang agak besar ke arah kepala Nurseta. Agaknya, mereka menganggap Nurseta yang masih muda itu lebih berbahaya dari pada si petani, maka perlu dirobohkan dahulu.
Melihat ini, Nurseta juga menggerakkan dayungnya menangkis sambil mengerahkan tenaga dan mendorong.
"Dukkk........ byurrr.......!"
Tak dapat dicegah lagi, orang itu terjengkang dan tercebur ke dalam air. Empat orang bajak lainnya terkejut. Mereka lalu berloncatan terjun ke air. Perahu yang ditumpangi Nurseta dan petani itu terguncang hebat dan miring. Tahulah Nurseta bahwa lima orang bajak itu hendak menggulingkan perahu yang ditumpanginya. Dan dia maklum bahwa kepandaian renangnya yang hanya terbatas, itu takkan dapat melindungi dirinya kalau sampai dia terjatuh ke dalam air. Tentulah ia akan celeka, kalau ia dikeroyok dalam air oleh para bajak yang amat mahir bergerak dalam air.
Akan tetapi, Nurseta tidak dapat mencegah mereka. Para bajak itu menyelam dan berusaha membalikkan perahu dari bawah, sehingga Nurseta tidak dapat menyerang untuk mencegah perahu terguncang, semakin lama, guncangannya semakin hebat dan akhirnya terbalik. Petani itu berteriak dan tercebur ke dalam air, akan tetapi Nurseta sudah meloncat dengan sigapnya ke atas perahu bajak yang ditinggalkan.
Dengan marah Nurseta melihat seorang bajak menusukkan goloknya ke punggung petani itu. Petani itu memekik dan terkulai.
"Keparat busuk!"
Nurseta berseru, akan tetapi karena dia tidak berdaya menghadapi mereka yang berada di dalam air, terpaksa dia mendayung perahu bajak itu ke tepi dan meloncat ke darat. Dia mengharapkan lima orang bajak itu akan mendarat pula untuk dihajarnya. Mereka telah membunuh petani ubi yang tidak berdosa itu.
Akan tetapi tiba-tiba dia melihat peristiwa yang membuat dia terbelalak dan terkejut sekali. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sudah muncul seorang gadis berpakaian serba hijau dari dalam air diantara para bajak yang juga menjadi terkejut sekali melihat seorang gadis secara tiba-tiba saja muncul dari bawah air.
Akan tetapi, lima orang itu adalah bajak-bajak yang sudah kebal akan rasa takut. maka hanya sebentar saja mereka terkejut, karena segera mereka mendapat kenyataan bahwa gadis itu adalah gadis cantik sekali, kini sikap mereka berubah menjadi liar. Mereka tertawa-tawa dan tangan merekapun berebutan hendak menjangkau tubuh gadis. yang cantik itu.
Akan tetapi, Nurseta melihat betapa kedua tangan gadis itu dengan gerakan cepat sekali telah menampar secara bertubi-tubi lima orang itu. Terdengar suara keras disusul jerit-jerit mengerikan dan lima orang itupun terkulai dengan kepala retak dan mayat merekapun terapung dan hanyut oleh arus air, mengejar mayat petani yang tadi mereka bunuh.
Wajah Nurseta menjadi pucat dan matanya terbelalak, bukan saja melihat betapa gadis itu dengan cara yang amat ganas telah membunuh lima orang bajak demikian mudahnya, melainkan terutama sekali karena dia mengenal wajah gadis berpakaian serba hijau itu.
"Wulansari....!"
Teriaknya.
Gadis yang hanya tampak kepalanya saja di permukaan air, menoleh kepadanya, memandang dengan sikap dingin tanpa senyum, kemudian menyelam kembali.
Nurseta hanya melihat bayangan hijau meluncur di bawah permukaan air dan lenyap. Ketika dia memandang ke depan, bayangan hijau itu sudah muncul jauh di hilir kemudian berenang ke tepi dan meloncat ke darat dan lenyap di antara semak belukar.
Nurseta masih terpukau, sampai lama dia memandang ke arah lenyapnya bayangan hijau itu, kemudian memandang ke arah enam mayat yang terapung perlahan mengikuti arus sungai. Iapun menarik napas panjang, perasaannya masih terguncang.
"Tidak salah, ia pasti Wulansari......., tapi sikap dan pandang matanya demikian dingin dan...... dan demikian ganasnya...."
Bagaimanapun juga, yang dibunuh oleh gadis itu adalah lima orang bajak yang jahat dan kejam, yang telah membunuh petani ubi, dan bahkan hampir membunuhnya tanpa sebab, padahal dia dan petani itu tidak membawa barang berharga. Walaupun demikian, cara gadis itu membunuh mereka, sungguh ganas, tanpa memberi kesempatan mereka melawan sama sekali. Gadis yang tak lain adalah Wulansari itu ternyata kini telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, baik ilmu di dalam air maupun ilmu pukulan yang dahsyat yang menggiriskan. Teringatlah Nurseta akan kakek yang sakti mandraguna itu, yang menurut gurunya bernama Cucut Kalasekti, kakek yang mukanya biru seperti muka ikan cucut, jubahnya kuning dan bersisik, datuk sesat dari Blambangan yang telah melarikan Wulansari itu. Benarkah gadis itu cucu kakek sakti mandraguna itu dan kini telah mewarisi ilmu-ilmunya?
Akan tetapi, teringat akan perubahan yang terjadi pada sikap Wulansari, yang dulu merupakan seorang gadis manis sederhana yang lemah lembut, kini berubah menjadi seorang gadis yang masih cantik manis, akan tetapi yang sikapnya dingin dan wataknya demikian ganas.
Setelah beberapa lamanya duduk termenung di tepi sungai, Nurseta lalu bangkit dan melanjutkan perjalanannya, kini ia jalan melalui darat dan menyusuri pantai Sungai Brantas. Terlalu berbahaya melanjutkan perjalanannya dengan perahu, apa lagi petani ubi tadi sudah mengatakan bahwa banyak bajak di sungai itu. Kalau hanya perampok di daratan, dia sama sekaii tidak takut menghadapi gangguan mereka.
Di sepanjang perjalanan, ketika melalui hutan, dia memperhatikan keadaan sekelilingnya, dengan harapan kalau-kalau gadis berpakaian serba hijau itu akan muncul kembali. Dia masih merasa penasaran. Kalau gadis itu benar Wulansari, mengapa ia tidak mau menjumpainya? Tidaklah mungkin Wulansari sudah melupakannya, walaupun sudah empat tahun mereka saling berpisah.
Tidak tampak bayangan gadis itu kembali, diam-diam Nurseta merasa kecewa. ia sendiri merasa heran, mengapa ia tidak dapat melupakan gadis itu. Setelah lewat beberapa hari, masih saja bayangan gadis itu tak pernah meninggalkan relung hatinya.
Nurseta sudah meninggalkan Sungai Brantas dan kini dia menuju ke timur, meninggalkan daerah Kediri. Gunung Kelud tampak menjulang tinggi di depannya ketika dia sudah melewati dusun Wates yang ramai. Ketika Nurseta tiba di kaki Gunung Kelud, ia melihat belasan orang mengiringi jenazah yang agaknya hendak dikubur. Seorang kakek ikut mengiringi jenazah sambil memegangi bambu pikulan jenazah dan ia menangis sesenggukan. Mereka yang memikul jenazah dan yang mengiringi dari belakang, kesemuanya adalah pria, tidak ada seorangpun yang menangis, seperti menangisnya kakek itu, tetapi mereka semua berwajah muram dan keruh. Pada wajah mereka terbayang kedukaan, penasaran dan juga ketakutan. Melihat hal ini, Nurseta kemudian tertarik, apa lagi ketika ia mendengar keluh kesah kakek itu, di antara tangisnya.
"Huk-huk....... Oh, anakku Dirun........ kenapa kau tidak menurut nasehat orang tua? Sudah berulangkali aku nasehatkan, jangan dekati siluman itu, tapi kau agaknya memang nekat dan, akhirnya begini jadinya, huk-huk"
Nurseta lalu membayangi rombongan itu dari jauh. Dia mengamati ketika jenazah itu dikubur. Ia melihat pula para pengiring tadi satu demi satu meninggalkan tempat itu setelah jenazah dikubur, akan tetapi kakek itu masih saja duduk bersila di depan makam baru itu, Ia menolak ketika beberapa orang berusaha untuk membujuknya pulang. Bahkan dia marah-marah sehingga akhirnya orang terakhir pergi meninggalkan kakek itu sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
Sunyi lengang di tanah kuburan itu setelah semua orang pergi, hanya tinggal kakek itu yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya di depan makam puteranya.
Nurseta memperhatikan dari dekat, setelah menyusup dan kini berada tidak jauh dari kakek yang usianya kira-kira sudah ada enampuluh tahun, mukanya penuh garis-garis penderitaan hidup. Nurseta melihat betapa wajahnya itu pucat dan matanya membendul merah, ia dapat menduga bahwa kakek ini tentu tidak makan dan tidak tidur serta banyak menangis.
Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri dan berkata dengan suara keras.
"Jangan kbawatir, anakku. Ayahmu inilah yang akan membalaskan dendam ini. Aku yang akan membunuh siluman betina itu"
Tiba-tiba kakek itu mencabut sebatang golok dari ikat pinggangnya dan memutar-mutar senjata itu seolah-oiah dia dikeroyok oleh banyak lawan.
Setelah napasnya terengah-engah, baru ia menghentikan amukannya, kemudian dengan langkah lebar ia meninggalkan tanah kuburan itu.
Nurseta merasa khawatir akan keadaan kakek itu. Apakah ia sudah menjadi gila karena himpitan duka? Ataukah ia benar-benar hendak pergi mencari siluman betina dan hendak dibunuhnya untuk membalas kematian puteranya? Nurseta tetap membayangi dari belakang dan ternyata kakek itu memasuki sebuah hutan di lereng Gunung Kelud, sebuah hutan yang lebat dan liar.
Di sekitar tempat itu tidak nampak ada pedusunan. Melihat betapa hutan itu masih liar, mudah diduga bahwa jarang ada orang memasuki hutan itu.
Dengan langkah yang tidak ragu-ragu, dengan muka merah dan mata masih yang beringas, kakek itu terus masuk ke dalam hutan dan akhirnya tibalah dia di depan sebuah goa yang gelap. Di depan goa itu nampak banyak semak-semak dan alang-alang. Kakek itu membabat alang-alang dengan goloknya sambil berteriak-teriak marah.
"Siiuman betina, keluarlah untuk menerima kematian! Aku datang untuk membunuhmu sebagai pembalasan dendam kematian puteraku, Dirun"
Kakek itu menantang sambil mengacung-acungkan goloknya ke arah pintu goa. Sementara itu, dari balik semak-semak yang berhadapan dengan goa itu, Nurseta memandang ke arah dalam goa. Matanya yang terlatih dapat melihat sampai ke dalam dan jantungnya berdebar. Dia melihat seorang wanita duduk bersila di dalam goa dan wanita itu usianya sekitarnya tigapuluh tahun, wajahnya cantik menggairahkan dan yang lebih hebat lagi, wanita itu telanjang bulat tanpa selembarpun pakaian yang menutupi tubuhnya yang padat dan indah. Hanya rambutnya yang hitam panjang ituulah yang menutupi tubuh bagian depan, turun dari leher kiri, menutupi sebagian dadanya dan terus ke pangkuannya.
Ketika kakek itu mengeluarkan tantangan sambil mengacungkan goloknya, wanita yang tadinya duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya, kini ia membuka matanya.
Nurseta melihat betapa sepasang mata yang indah itu mencorong seperti mata kucing dalam kegelapan. Dan wanita itu tersenyum mengejek, Begitu ia tersenyum, baru mengertilah Nurseta, mengapa wanita itu disebut siluman betina. Senyumnya itu sungguh mengandung daya tarik, manis sekaii. Akan tetapi senyuman itu mengandung ejekan, bahkan mengandung ancamnn maut.
"Tua bangka,"
Terdengar suaranya, halus lembut namun kasar "Sebentar lagi kau juga akan mampus, kalau kau ingin mati, mengapa harus mencari aku. Aku akan membuatmu lebih cepat masuk neraka. He, orang tua. Apakah kau sudah gila?"
"Siluman betina. Aku adalah ayah dari Dirun, pemuda yang menjadi korbanmu, yang kau bunuh dengan racun. Sekarang aku datang untuk membalas dendam"
"Hemm, terlalu banyak pemuda tolol yang datang ke sini, dan aku tidak ingat lagi mama mereka satu persatu. Mungkin juga ada yang bernama Dirun diantara mereka yang tolol itu. Akan tetapi, mereka itu mampus karena salah mereka sendiri, kenapa kau ribut-ribut di sini? Pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran dan mengirim nyawamu ke neraka menyusul nyawa anakmu"
"Siluman perempuan, iblis betina, mampuslah!"
Kakek itu menerjang ke dalam goa sambil mengangkat goloknya di atas kepala.
Tiba-tiba dari dalam goa menyambar angin dan sinar hitam menangkis golok itu.
"Trakkk........ auhhk.......!"
Golok itu patah menjadi dua dan tubuh kakek itu terjengkang ke belakang. Dari balik semak-semak, Nurseta terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita telanjang bulat itu sedemikian saktinya, tanpa bangkit dari duduknya, ia hanya mempergunakan sebuah benda kecil, mungkin batu kerikil, telah berbasil mematahkan golok dan membuat tubuh kakek itu terjengkang oleh hawa pukulannya.
Akan tetapi, kakek itu agaknya tidak menjadi jerih. Dia merangkak bangun kembali, dipandanginya gagang golok yang tinggal sepotong itu.
"Huhh!"
Bentaknya dan dia membuang potongan golok, lalu hendak nekat menyerbu ke dalam goa dengan tangan kosong.
"Jangan, kek, jangan berbuat bodoh, sebaiknya kakek pergi saja"
Tiba-tiba Nurseta sudah berada di belakang kakek itu dan menangkap pinggangnya, lalu ditariknya ke belakang.
Kakek itu hendak meronta, namun sekali pijat saja di punggungnya, Nurseta berhasil membuat kakek itu menjadi lemas dan menurut saja ketika dia digandeng dan dibawa oleh Nurseta. Mereka pergi dan diikuti oleh suara ketawa yang menyeramkan dari wanita itu. Suara ketawa yang halus merdu, namun bukan seperti suara manusia lagi, terkekeh kadang terbahak dan seperti ringkik kuda.
Kakek itu masih mencoba untuk melepaskan diri, tetap tidak berhasil, akhirnya kakek itu bertanya.
"Orang muda, siapakah kau dan kenapa kau menghalangi aku membunuh siluman perempuan itu? Apakah kau ini kaki tangannya?"
Nurseta berhenti di dalam hutan itu, cukup jauh dari goa yang menyeramkan tadi dan diapun melepaskan pengaruh pijatan tangannya yang membuat kakek itu seperti lumpuh.
"Maafkan aku, paman. Aku tidak menghalangi paman membunuhnya, sebaliknya mencegah agar ia tidak membunuh paman. Kenapa paman demikian nekat? Tidak tahukah paman bahwa wanita itu amat kejam dan amat sakti? Paman takkan menang melawannya"
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo